All characters belong to Masashi Kishimoto
.
.
A Naruto FanFiction
.
Alternate Universe
Out of Character
.
Henrietta Sherevine
Presents
.
.
Sebuah Keputus[asa]an
"Kala itu kau tiba-tiba muncul dalam kehidupanku. Mengulurkan tangan, menawarkan bantuan. Membuatku mengambil sebuah keputusan ditengah keputusasaan"
.
.
Seberkas cahaya menerobos masuk melalui kaca jendela tanpa gorden dan berakhir diatas helaian merah muda Sakura. Gadis itu tengah menatap mata kelam seorang pria yang tengah duduk dihadapannya. Sakura berusaha menyelami mata itu. Mencari tahu apa yang sedang dirasakan atau dipikirkan pemiliknya. Namun nihil. Mata sekelam malam itu tak mau bercerita sedikitpun. Maka setelah menatap mata itu selama beberapa detik, Sakura hanya bisa melihat refleksi dirinya disana.
"Kuharap kau sadar betul apa yang baru saja kau katakan," Sakura membuka mulut, memecah keheningan yang mereka ciptakan sejak beberapa detik lalu. Pria didepannya masih diam, masih menatap sepasang manik hijau terang milik Sakura.
"Aku serius, Sakura. Aku berhutang padamu, ingat? Maka aku akan membayar hutangku kali ini, aku akan membantumu, bagaimanapun caranya" akhirnya ia menjawab. Dengan nada tegas dan yakin. Sakura meneguk salivanya, tahu persis orang dihadapannya ini serius, dan tak mungkin sedang bergurau atau sejenisnya, tapi, masalah ini...
"Kau sudah memikirkannya, Sasuke?" sebuah pertanyaan pertanda keraguan meluncur lagi dari bibir Sakura. Entah dengan pertanyaan seperti apalagikah Sakura akan yakin dengan perkataan Sasuke beberapa menit lalu. Tapi mau bagaimana lagi?
"Sudah. Ini keputusanku. Masalah kedepannya kita putuskan nanti. Namun kali ini, aku punya rencana untuk 'menyelamatkan'mu. Jadi ..." Sasuke menggantungkan kalimatnya diudara, membuat jantung gadis yang lebih pendek darinya itu berdegup tak karuan. Degup itu semakin lama semakin cepat, diiringi dengan pupil matanya yang melebar saat Sasuke meneruskan kalimatnya,
"Bagaimana keputusanmu?"
-1-
Saat itu Sakura baru saja tiba dirumah setelah bekerja seharian. Ia seorang dokter. Namun bukan keluhan pasien yang ia hadapi setiap hari. Melainkan manusia korban kekerasan yang ia tangani, dan orang-orang korban kecelakaan ataupun bencana alam, juga jasad mereka yang sudah mati dan dibawa padanya untuk autopsi. Sakura bekerja di kepolisian.
Bagi sebagian orang mungkin Forensik begitu tabu dan menakutkan. Namun entah mengapa baginya sangat menarik. Membantu mereka para korban sangat penting bagi Sakura. Itu yang membuatnya memohon setengah mati pada orangtuanya untuk mengambil spesialis ini. Keinginannya akhirnya dikabulkan ibunya yang overprotektif itu dengan berbagai syarat. Namun tak apa, toh semuanya harus ada pengorbanan.
Sakura bahkan belum sempat menaruh tas saat teriakan ibunya menerobos masuk gendang telinganya. Detik berikutnya ia terlonjak kaget saat mengingat janji yang ia lupakan. Janji untuk menghadiri pesta pernikahan sepupunya. Jadi dengan gerakan yang amat cepat, gadis itu melesat menuju kamar mandi, berharap dengan waktu beberapa menit saja ia sempat membersihkan diri dan mencari baju pesta yang layak dilemarinya.
Dan harapannya pun terpenuhi, karena sepuluh menit kemudian Sakura sudah berdiri menatap bayangannya yang berbalut gaun hitam selutut didepan cermin. Tangan kanannya sibuk mengeringkan rambut sementara tangan kirinya mengoleskan lip balm ke bibir pucatnya. Kemudian ia berlari menuruni tangga, menemui ibunya yang sudah menunggu sedari tadi.
-2-
Sasuke masih ingat saat teman-temannya bertanya kemana ia akan melanjutkan kuliah setelah lulus. Sosok SMA nya saat itu menjawab bahwa ia takkan meneruskan ke universitas. Berikutnya teman-temannya menyayangkan keputusannya itu, berkata bahwa nilainya yang selalu tinggi akan memudahkannya masuk ke universitas manapun yang ia mau. Saat mereka bertanya apa alasannya, Sasuke hanya diam. Pertanyaan teman-temannya akhirnya terjawab saat ia terdaftar menjadi murid Sekolah Inteljen Negara. Beberapa bahkan tak mengerti mengapa ia memilih sekolah itu, bahkan ada yang bertanya akan menjadi apa ia nanti.
Beberapa tahun berlalu dan ia kini terikat kontrak dengan sebuah badan inteljen. Tak seorangpun teman SMA-nya yang tahu, karena Identitasnya kini harus ia selubungi. Walau begitu ia merasa nyaman, memecahkan kasus besar dinegaranya, menangkap para penjahat kelas kakap, menjaga perdamaian tanpa suara. Jika kinerja mereka para polisi diketahui publik, maka Sasuke sebaliknya, menjaga perdamaian tanpa seorang sipilpun tahu baginya malah merupakan sebuah kehormatan.
Jadi ia sudah terbiasa mengintai segerombol teroris, menyamar menjadi siapapun agar identitasnya terjaga. Terbiasa berurusan dengan para pembunuh bayaran yang menodongnya dengan pisau atau bahkan ada pula yang langsung mengibaskan pedang kearahnya. Semua itu membentuknya menjadi pribadi yang kuat. Selama tujuh tahun bekerja, belum ada segores lukapun yang ia peroleh dari para pembunuh yang ditangkapnya. Ia selalu berhasil melindungi dirinya. Selalu.
-3-
Pesta itu ramai. Sebuah Ballroom hotel sudah dijejali beratus-ratus manusia berbalut gaun dan tuksedo elegan yang datang untuk merayakan pernikahan kakak sepupu Sakura. Sakura jengah. Berada di keramaian tak pernah membuatnya nyaman. Jika bukan sepupunya yang menikah ia takkan mau berjejal-jejal seperti ini. Setelah menarik napas berat ia dan ibunya akhirnya masuk kedalam.
Beruntung banyak juga sepupu Sakura lain yang datang, setelah bersalaman dengan sepasang mempelai, keluarga besarnya berkumpul disebuah meja bundar besar, saling bertukar cerita sambil menyantap makanan ringan. Mereka membicarakan apapun. Tentang pekerjaan. Tentang masa lalu, bahkan tentang cerita konyol yang sampai membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Hingga nenek Sakura bercerita tentang masa mudanya, tentang bagaimana saat pertama kali ia mengenal kakeknya. Tak lama topik beralih kearah sana, beberapa sepupu Sakura juga menceritakan kisah dramatis saat mereka bertemu pasangan hidupnya. Sementara Sakura hanya menyimak, terkadang merasa geli mendengar kisah bagai drama yang mereka lontarkan. Ia tak berkomentar apapun, hingga tak sadar dimeja itu hanya dirinyalah yang belum menyampaikan cerita.
Tatapan sang nenek jatuh pada Sakura. Menatap satu-satunya cucu yang belum berkeluarga. Padahal seingatnya usia cucunya itu sudah menginjak dua puluh enam tahun. Maka dengan senyum jahil neneknya itu bertanya, "Bagaimana denganmu, Sakura? Sudah menemui calon pendamping hidupmu?"
-4-
Pekerjaannya menuntut Sasuke tinggal jauh dari keluarga. Baginya tak apa, kini tak ada hal yang ia pikirkan kecuali pekerjaannya. Namun sesekali ia mengunjungi keluarganya yang masih tinggal satu kota dengannya. Termasuk pagi itu. Pagi pertama di tahun dua ribu enam belas, ia berkumpul dirumah orangtuanya.
Pesta tahun baru dirumahnya berlangsung sederhana, pesta BBQ diloteng rumah dilengkapi obrolan-obrolan khas keluarga. Sasuke cukup menikmatinya, meskipun sehabis ini ia harus kembali bekerja.
Pagi itu mereka sarapan bersama, saling bertukar obrolan-obrolan kecil di meja makan.
"Kau nampaknya terlalu sibuk bekerja, Sasuke." Ucapan ibunya kala itu membuat Sasuke memalingkan perhatian dari telur mata sapi yang sedang ia santap.
"Yahhh...memang seharusnya begitu"
"Pikirkan hidupmu juga, pikirkan kesehatanmu ..." komentar ibunya lagi, "Kau pasti makannya tak teratur, ya?"
"Kutebak, ia turun beberapa kilo dari terakhir kulihat" kali ini kakak iparnya yang berkomentar. Sasuke hanya mendengus, "Enak saja, aku makan teratur. Seperti biasa."
"Tidak adakah hal lain yang kau pikirkan selain pekerjaan?" pertanyaan kakaknya membuat Sasuke berhenti mengunyah sejenak, tak terpikir mau menjawab apa.
"Hal lain apa yang dimaksud?" hanya pertanyaan lain yang mampu ia ajukan sebagai jawaban, maka kali ini ibunyalah yang menjawab,
"Menikah, misalnya?"
-5-
Sakura hanya tertawa lebar menjawab menanggapi pertanyaan neneknya. Semua mata kini teralih padanya. Ia berani bertaruh pasti sepupunya yang lain pun menanti jawabannya.
"Ti-tidak. Eh, setidaknya belum untuk saat ini" dan Sakura tak pernah suka menjadi pusat perhatian. Ia bersyukur karena tak lama sepasang mempelai datang menghampiri meja untuk foto bersama. Setidaknya semua anggota keluarganya yang lain tak ada yang mengungkit pertanyaan yang dilontarkan neneknya saat itu, kecuali ibunya. Karena pada esok malamnya ibunya kembali menyinggung soal itu.
"Mungkin nenekmu benar, kau sudah cukup umur untuk menikah, ah, mungkin malah sangat matang. Coba pertimbangkan perkataan nenekmu" ujar ibunya saat itu.
"Aku tak ingat nenek pernah menyuruhku menikah." Elak Sakura, walaupun ia tahu ibunya takkan bisa ia akali. Sang ibu hanya tertawa, "Tapi maksud kalimatnya pasti itu, sayang"
Sakura mengangkat bahu. Otaknya sedang mencari bahan obrolan lain, namun ibunya kembali mencercanya, "Kau...tidak sedang dekat dengan laki-laki?"
Sakura menggeleng.
"Kau ini, sepertinya terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, ya." Ujar ibunya lagi. Kali ini Sakura mengangguk.
"Kalau begitu mau ibu carikan calonnya?"
Sakura mengangkat alis tinggi-tinggi. Mengapa jadi seperti ini? Jangan bilang ibunya berniat menjodohkan atau apa. "Apaan sih, buuuuu"
Sang ibu tertawa, anak sematawayangnya kini tengah merajuk sewot. "Habis kamu ini,belum pernah rasanya kau membawa teman priamu kerumah"
Sakura pun ikut tertawa. Merasa lelucon ibunya tentang perjodohan sukses sekali membuatnya tegang.
-6-
Sasuke tersedak kuning telur yang sedang dikunyahnya. Tangannya meraih segelas air mineral dan meneguknya habis. Apa katanya tadi? Menikah? Bahkan kata itu tak pernah muncul sekalipun dibenaknya.
Kini semua mata tertuju padanya. Detik berikutnya tawa Itachi pecah, "Astaga. Wajahmu lucu sekali"
Sasuke mengernyit. Tak mengerti bagian mana yang lucu. Namun tawa itu menular, kini semua penduduk meja makan itu tertawa, kecuali dirinya tentu saja.
Mereka melanjutkan sarapan. Dimenit-menit terakhir sarapan mereka malah ialah yang menjadi bahan omongan. Tentang sikap cueknya, juga tentang penggemar rahasianya saat SMA yang kerap kali mengirimkan bunga. Astaga.
Sarapan mereka telah usai. Pukul sepuluh pagi Sasuke sudah siap di'markas'nya, menjalankan misi yang sudah menjadi makanan sehari-harinya. Menurut beberapa rekannya, misi ini sudah menginjak tahap akhir. Tinggal mengumpulkan bukti sedikit lagi dan target mereka siap ditangkap.
Tugasnya kini mendatangi target dan mengumpulkan bukti akhir. Sebelum berangkat ia mengambil sepucuk senjata dan menyelipkannya pada jaket hitam yang akan dikenakannya.
-7-
Seandainya saja omongan ibu Sakura saat itu memang hanya lelucon. Namun sayangnya tidak. Karena seminggu setelah pembicaraan mereka malam itu ayahnya memperkenalkan seorang pria pada Sakura. Awalnya sang ayah hanya memperkenalkan Kabuto Yakushi sebagai anak rekan kantornya pada Sakura, namun Sakura yakin ini semua pasti ada kaitannya dengan pembicaraan Sakura dengan ibunya minggu lalu. Karena ibunya juga sangat berantusias dala usaha perkenalan mereka berdua. Pria ini sudah beberapa kali berkunjung ke rumahnya. Dan setelah beberapa kali bertemu Sakura merasa pria ini memilki sikap dan tatapan mengintimidasi. Entah karena apa.
Bahkan sejak pria itu datang kerumah beberapa kali, Sakura masih menganggap rencana 'perjodohan' yang dilontarkan ibunya minggu lalu hanyalah lelucon. Namun saat Kabuto Yakushi mengucapkan sepotong kalimat yang terdengar sangat ganjil ditelinganya, Sakura percaya ibunya serius.
"Jadi bagaimana, Sakura? Kau mau tentukan sendiri tanggal resepsinya?"
Apa-apaan ini? Sakura bahkan belum pernah bicara akan menikah dengannya, "Resepsi apa? Apa aku pernah berkata akan menikah denganmu?"
Kabuto Yakushi lalu tersenyum, "Ah maaf, Sakura. Kurasa ini semua sudah cukup jelas bagimu. Tapi tak apa, aku akan melakukan lamaran secara resmi dengan pihak keluargamu. Mm,, bagaimana jika tanggal depan belas? Kau tahu kan semuanya sudah setuju kita menikah?"
Sakura melebarkan matanya, alisnya terangkat tinggi. Kali ini Sakura marah, tentu saja. "Setuju katamu? Jangan tanya orangtuaku karena memang mereka yang mengusulkan perjodohan ini! Memangnya kau tak memerlukan persetujuanku, ha?"
Tapi pria yang duduk dihadapannya hanya menyeringai santai, "Apa itu perlu?"
-8-
Sasuke menaiki tangga menuju suatu ruangan. Target mereka ada diruangan itu. Tugasnya kini hanya menyelipkan kamera pengawas disalah satu sisi ruangan, dan tentu saja ia takkan masuk kesana sebagai agen, ia akan menyamar menjadi petugas pengecekan listrik yang kebetulan sedang dibutuhkan target.
Sasuke mengetuk pintu. Terdengar suara langkah kaki berderap menuju pintu yang tertutup dihadapannya. Pintu itu perlahan terbuka, menampilkan sesosok laki-laki kekar berusia akhir tiga puluhan, "Oh, petugas listrik, ya? Ayo masuk"
Sasuke melangkah masuk. Tatapannya menyapu ruangan berukuran seratus meter persegi yang terlihat berantakan itu. Walaupun hanya sekilas matanya mampu menangkap sepucuk senjata yang disembunyikan diantara buku-buku yang berserakan dimeja. Target bersenjata, simpulnya.
"Ada yang perlu saya bantu?"
Target melangkah menuju stabilizator dipojok atas ruangan, "Daritadi ini berbunyi terus. Dan tak lama listrik diruangan ini semuanya mati. Aku ragu apakah ada korsleting didalamnya"
Sasuke mendekati stabilizator yang ditunjuk target. Dalam hati bersorak karena jika ia menaruh kamera pengawasnya disana, itu akan menjadi angle yang bagus sekali. Seluruh ruangan akan terlihat dari sana. Sasuke membuka penutup stabilizator itu dan bergumam, "Ah, kau benar. Ada kabel yang hangus"
Target hanya mendesah. Perhatiannya kemudian dialihkan oleh dering telepon genggam yang ia taruh diatas meja. Sasuke kemudian mengambil beberapa perkakas dari kotak barang yang dibawanya sementara target menerima telepon. Ia belum mengeluarkan kamera pengawasnya karena ia akan benar-benar membetulkan stabilizator itu dulu.
Sasuke mencongkel kabel hangus itu dan mengeluarkannya, lalu hendak berbalik untuk menunjukkannya pada target, "Jadi ini ternyata yang menyebabkan listrik disini mati semua, ini..."
Saat Sasuke benar-benar sudah berbalik, tatapannya terkunci pada revolver yang tengah diacungkan target padanya. Kali ini ia benar-benar kaget. Apa-apaan ini?
"Ternyata kau cukup pandai berakting, ya? Angkat tanganmu!"
Siapa sangka identitas Sasuke akan ketahuan secepat ini. Kaki tangan target pasti sudah menyelidiki Sasuke sejak sebelum ia masuk keruangan ini. Menanggapi bentakan target, Sasuke menyeringai sambil mengangkat sepasang tangannya keudara, "Oh, kawan. Santai saja"
-9-
Malam setelah Kabuto Yakushi mengatakan hal yang tak masuk akal padanya, Sakura segera menemui ibunya untuk berkata serius,
"Ibu tak serius akan menjodohkanku dengan Kabuto, kan?"
Nada bicara Sakura yang meninggi membuat mata ibunya melebar, "Sayang, tapi ia orang yang baik, ibu yakin..."
"Astaga, Ibuu! Berapa banyak orang baik didunia ini dan mengapa aku harus menikah dengannya? Tidak, aku tidak mau," Sakura tahu kini wajahnya pasti sudah merah. Emosinya meledak tak karuan. Sang ibu kemudian mendekati Sakura, kedua tangannya meremas lembut tangan Sakura. Matanya menatap manik emerald anak sematawayangnya, detik berikutnya sebulir airmata jatuh dari sana,
Sakura membekap mulut. Kapan terakhir ia melihat ibunya menangis? Oh, saat pemakaman neneknya. Dan sejak saat itu ia bersumpah akan meninju siapa saja yang membuat ibunya menangis. Namun apa jadinya jika ia sendirilah yang membuat ibunya menangis?
Maka sejak saat itu Sakura tak pernah mengungkit masalah ini lagi.
-10-
Target berdiri sekitar lima meter dihadapan Sasuke. Kedua tangannya mengacungkan sepucuk revolver padanya. Sasuke tahu musuhnya kini tak main-main. Namun siapa sangka target akan bergerak seagresif ini padanya? Padahal ia datang ketempat ini tanpa persiapan apapun. Karena tugasnya memang hanya menyamar dan memasang sebuah kamera pengawas. Tugas yang kelewat mudah baginya yang sudah bertahun-tahun bekerja seperti ini.
Sasuke bersyukur tadi sempat menyelipkan pistol disaku jaketnya, namun langkah apa yang harus ia ambil? Tak ada perintah dari atasan yang menyebutkan boleh membunuh target ditempat. Astaga, ia harus bagaimana?
"Siapa kau, hah? Polisi? Hahaha, lebih baik diam disana dan angkat tanganmu. Nyawamu ada ditanganku sekarang. Teman-temanmu takkan ada yang datang ketempat ini!" pria kekar itu kembali membentak. Sementara Sasuke tetap mengangkat tangannya diudara, nampak tak takut pada ancaman apapun, "Wah, kasar sekali. Dan oh, sayangnya aku bukan polisi"
"Masa bodoh! Yang jelas komplotanmu sudah membunuh banyak anakbuahku!"
"Dan anak buahmu sudah membunuh banyak warga tak bersalah"
"Diam kau, sialan!" bentakan terakhir itu sangat keras. Target melangkah mendekati Sasuke, tetap mengacungkan revolvernya, "Lebih baik kubereskan kau sekarang,"
Sasuke hanya menyeringai, sebuah rencana sudah terlintas dibenaknya. Tinggal menunggu timing yang tepat dan semua akan berakhir baik-baik saja. Seperti biasanya.
Namun sebelum rencana itu sempat terlaksana, jemari target lebih dulu menekan picu. Bersamaan dengan melesatnya peluru yang kemudian menembus jantung Sasuke.
-11-
Sakura memijat kepalanya yang berdenyut. Berbagai macam pikiran telah menganggunya sejak berminggu lalu. Pemuda bernama Kabuto itu ternyata serius. Dan Sakura kini tak tahu langkah apa yang harus ia ambil. Pilihan melarikan diri berkali-kali merasuki benaknya. Namun gadis itu tetap mencari jalan keluar yang masuk akal.
Ia melirik jam, sudah pukul dua belas dan ia belum makan apapun sejak malam. Pesta keluarga menyambut pergantian tahun tadi malam membuatnya mengantuk seharian ini. Maka setelah bangkit dari tempat tidurnya, Sakura mengambil jaket dan berniat membeli makanan. Namun matanya menangkap sebuah tabung oksigen ukuran kecil yang sengaja ia bawakan untuk temannya. Tangan Sakura kemudian meraih tabung yang ia taruh dipojok kamarnya itu. Berencana akan sekalian memberikan tabung ini nanti. Temannya yang menderita kanker paru-paru itu selalu membutuhkan tabung oksigen kemanapun ia pergi. Dan Sakura berjanji akan memberikan tabung jenis baru yang dapat dibawa kemanapun.
Demi temannya itu bahkan Sakura bersedia menyampirkan tabung yang lumayan berat dipundaknya. Membawanya makan siang dulu sebelum mengantarkan tabung itu kerumah temannya. Namun tak apa, toh hanya berjalan sebentar saja. Maka dibawah mentari Tokyo yang terik, Sakura melangkah keluar rumah.
-12-
Letusan peluru itu terdengar jelas ditelinga Sasuke. Tak sampai satu detik kemudian ia menyadari peluru itu kini sudah bersarang didalam jantungnya. Ditengah kesadarannya yang kian menipis, pria itu melihat sekilas target berlari kearah pintu. Detik berikutnya Sasuke ambruk kelantai. Posisinya yang terlentang membuat matanya yang hanya terbuka separuh bertemu dengan langit-langit ruangan yang putih.
Oh tuhan, inikah akhir hidupnya?
Diambang kesadarannya, pria itu bisa merasakan sesuatu merembes didadanya. Sudah dipastikan itu darah. Karena nyeri yang amat sangat kini mulai menjalar dari dadanya, keseluruh tubunya.
Orang bilang memori-memori lampau akan terputar kembali saat manusia sedang sekarat. Dan kini bayangan dirinya memakai seragam SD terputar dibenak Sasuke. Gambar itu kemudian berganti menjadi dirinya berbalut pakaian wisuda. Potret-potret bersama keluarganya juga muncul bergantian. Seperti inikah rasanya mati?
Mata Sasuke baru akan menutup sepenuhnya saat sebuah suara dari pintu menerobos gendang telinganya. Berikutnya bayangan seseorang meraih wajahnyalah yang ia lihat sebelum semuanya benar-benar gelap.
-13-
Sakura tengah melewati sebuah jalanan sepi saat merasakan pegal dibahunya. Ia kemudian menurunkan tabung itu sejenak. Meregangkan badan sebelum kembali menyampirkan tabung itu dibahu. Sakura mengembuskan napas kasar, apakah tuhan bersedia memberikannya jalan atas masalahnya?
Suara ledakan sesuatu membuat Sakura terlonjak kaget. Ia bersumpah itu pasti bukan suara kembang api atau semacamnya. Ia menengok kekanan dan mendapati sebuah bangunan dua lantai dengan tangga menjulur dibagian luar bangunan. Ia yakin sekali suara tadi berasal dari dalam sana. Detik berikutnya ia berasumsi bahwa suara tadi suara ledakan senjata api.
Sakura melompat kebalik pohon saat seorang lelaki dewasa berlari kasar dari lantai dua bangunan itu, mata Sakura melebar saat menyadari yang benda yang pria itu genggam adalah sejenis pistol. Lututnya mulai gemetaran, artinya didalam sana...
Pria berwajah kasar itu dengan terburu memasuki mobil yang terparkir di lantai satu, kemudian melesat bagai sedang dikejar sesuatu. Maka setelah mobil itu berlalu, entah dorongan darimana yang membuat Sakura berlari sekuat tenaga menuju bangunan itu. Instingnya mengatakan pasti ada yang terluka didalam sana. Maka dengan lutut gemetaran dan langkah terburu, Sakura membuka pintu lantai dua bangunan itu dan menemukan sesosok pria tergeletak disana.
Sakura menghampiri pria yang berlumuran darah itu, menepuk-nepuk pipinya cukup keras, "Hei, heiii! Anda masih sadar?"
-14-
Ini sudah dua jam sejak Sasuke terbangun dari tidur panjangnya. Hari ini tanggal tiga Januari. Artinya sudah dua hari ia terbaring di rumah sakit. Dua jam lalu, saat pertama kali ia membuka mata ia berpikir dirinya sudah berada dialam lain. Namun seorang suster yang mengajaknya bicara membuatnya sadar ia masih hidup. Berikutnya keluarganya muncul disana. Ibunya menangis memeluknya. Astaga, ia masih hidup. Bagaimana bisa?
Sebutir peluru kala itu bersarang dijantungnya. Beberapa detik saja pertolongan tak datang maka ia sudah dipastikan tewas. Namun Sasuke ingat saat itu ada yang datang menolongnya. Maka setengah jam lalu ia meminta suster untuk memanggil orang yang menolongnya saat itu. Untuk mengucapkan amat banyak terima kasih.
Pintu ruangan tempatnya berbaring terbuka, Sasuke menyipitkan mata, melihat sesosok perempuan berjas putih mendekatinya, Sasuke mengernyit heran, baru beberapa menit lalu dokter kemari untuk memeriksanya, pemeriksaan apalagi kali ini?
"Ah, maaf. Tadi sudah ada dokter yang memeriksa keadaanku. Apa ada jadwal pemeriksaan lain?" Sasuke bertanya lirih. Perempuan dihadapannya tampak mengernyit, detik berikutnya ia tertawa, "Ah, sayangnya tidak. Aku bukan dokter rumah sakit ini. Tadi ada perawat yang meneleponku, katanya anda meminta saya kemari"
Sasuke terdiam. Bukankah tadi ia meminta orang yang menolongnya kala itu untuk datang? Tapi mengapa... oh, jangan jangan... "Anda yang menolong saya dua hari lalu?"
Perempuan bermata hijau terang itu mengangguk, "Kebetulan saya lewat didepan bangunan itu saat saya mendengar...suara letusan senjata"
Sasuke mengatupkan mulutnya. Pertanyaan pertamanya tentang bagaimana ia dapat selamat kini terjawab. Yang menolongnya adalah seorang dokter. Astaga, kini ia baru tahu betapa beruntungnya ia saat itu, "Oh,,, anda berani sekali. Maksudku, yang menembak saya saat itu penjahat berdarah dingin. Dan anda...memilih masuk kebangunan itu dan menolong saya. Saya tidak tahu harus berterimakasih dengan cara apa"
Dokter muda itu kembali tertawa, "Sudah kewajiban saya. Sama-sama." Mata hijaunya kemudian melirik layar elektrokardiograf disamping ranjang Sasuke, "Kala itu anda tertembak tepat dijantung, saya sempat panik karena itu artinya ada pendarahan besar internal, namun kebetulan sekali hari itu saya sedang membawa tabung oksigen milik teman saya."
"Bagaimanapun...terima kasih banyak. Ah, bagaimana aku bisa membalasnya?"
-15-
Sakura tertawa lagi. Hingga kini masih bersyukur orang yang ia tolong saat itu selamat, "Tidak apa-apa, semoga anda lekas sembuh."
Pria bermata kelam dihadapannya kembali terdiam. Kontur wajah tampannya membentuk seulas senyum. Sakura membalas senyum itu. Detik berikutnya mereka masih bertatapan. Wajah itu bagai magnet yang memaksa mata Sakura untuk terus menatapnya.
Satu detik.
Dua detik.
Dan didetik ketiga pria itu melepaskan pandangan darinya, tangannya yang tak terhubung selang infus meraih sebuah dompet dimeja. Tak lama mengeluarkan secarik kartu nama,
"Karena kini tak ada yang bisa kulakukan, maka simpanlah ini. Ini kartu namaku. Saya...memiliki keterampilan khusus dibidang penjagaan dan... penyelidikan. Hubungi nomor disana bila suatu saat anda membutuhkan. Saya akan berkenan menolong"
Sakura membaca kartu nama yang kini sudah beralih ketangannya. Sasuke Uchiha, mmm... kolom profesinya kosong? "Maaf, apa anda polisi?"
"Sayangnya bukan." Pria bernama Sasuke itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Saya...ah anda bisa menyebutnya detektif atau semacamnya"
Mata Sakura membulat. Ia kira profesi ini hanya ada dalam film, ternyata tidak. "Oo-oh ya, saya akan menyimpan ini"
Beberapa potong kalimat mereka lontarkan lagi kala itu. Pembicaraan mereka berakhir saat Sakura berpamitan untuk kembali bekerja. Gadis itu baru akan beranjak dari duduknya saat Sasuke memanggilnya,
"Saya belum tahu nama anda"
Emerald Sakura menatap mata kelam itu sekali lagi, kali ini bersumpah tak akan memandangnya lama-lama, "Sakura. Sakura Haruno."
-16-
Ini hari terakhir Sasuke beristirahat dirumah. Hari-hari kedepannya akan diwarnai kembali dengan misi-misi membahayakan seperti kemarin. Namun apakah kejadian dua minggu lalu membuatnya trauma? Sama sekali tidak. Hanya ia jadikan pelajaran bahwa semuanya takkan selamanya baik-baik saja.
Ponselnya berdering satu kali. Tanda pesan masuk. Sasuke segera membuka pesannya dan mengernyit saat mendapati sebuah pesan gambar dari nomor tak dikenal. Sasuke segera mendownload gambarnya dan matanya melebar saat melihat foto sebuah tato ditangan yang diambil secara diam-diam. Tato ini kan...
Ia kemudian membaca pesan teks yang dikirim bersama foto itu,
Selamat siang. Maaf menganggu. Apa kau tahu sesuatu tentang lambang ini?
Sakura Haruno.
Ingatannya langsung tertuju pada kejadian minggu lalu. Saat ia memberikan kartu namanya pada seorang gadis yang menyelamatkan nyawanya, yang kala itu membuatnya tanpa ragu menyebutkan identitasnya yang selama ini hanya orang tertentu yang boleh tahu.
Jadi Sasuke mengenali lambang tato itu sebagai lambang Sumiyoshi-kai. Salah satu anak organisasi Yakuza. Dan jika sudah menyangkut Yakuza, maka sudah dipastikan orang ini berbahaya. Alasan itulah yang membuatnya langsung menelepon gadis yang baru saja mengirimkan gambar padanya,
"Halo? Ah, apa aku mengganggu?"
Suara itu Sasuke kenali sebagai suara Sakura Haruno. Maka tanpa basa basi pria itu menjawab, "Dimana kau temukan orang dengan tato itu?"
"Ah, dia...umm temanku. Ada sesuatu yang kau ketahui? Karena aku...aku curiga"
Dua kali jeda, gumam Sasuke. Ia kini berasumsi gadis itu sedang dalam tekanan. "Curiga apa?"
"Aku...melihatnya membawa senjata api kemarin. Jadi aku curiga..."
"Bisakah kita berbicara langsung?"
Jeda sejenak diseberang sana, "Apa ada sesuatu yang terjadi? Ah maksudku aku hanya menanyakan soal lambang itu" Sasuke sekali lagi menangkap nada khawatir dalam suara Sakura, "Ya. Kau tahu kan orang biasa tak mungkin memilki senjata api. Ah ada yang ingin kusampaikan juga mengenai lambang itu. Jadi kapan kau punya waktu?"
-17-
"...jadi kapan kau punya waktu?"
Sakura menggigit bibir. Apa yang ia takutkan ternyata memang nyata. Kemarin saat Kabuto sedang menerima telepon diteras rumahnya Sakura tak sengaja mendengar pembicaraannya. Karena penasaran ia akhirnya mengintip lewat jendela. Dan mendapati Kabuto sedang menyibakkan jaketnya, hal itu membuat Sakura dengan jelas dapat melihat sepucuk pistol terselip disana. Yang menarik perhatian Sakura ialah tato hitam yang terukir di kulit tangan kiri Kabuto, yang selama ini selalu tertutupi lengan panjang kemeja, namun entah mengapa saat itu Kabuto menggulung kemejanya sampai kesiku. Dengan hati-hati Sakura mengabadikan gambar itu dan memutuskan untuk menanyakannya pada satu-satunya orang yang menurutnya pantas ia tanyai.
Dan dari cara Sasuke menanggapinya, sepertinya dugaan Sakura benar, Kabuto Yakushi bukanlah orang biasa.
Nah sekarang, kapan? Besok adalah delapan belas Januari. Tanggal yang ditetapkan Kabuto untuk melamarnya. Astaga. Bagaimana?
Pikiran tentang melarikan diri kembali menggerayanginya, maka sambil menutup matanya rapat-rapat Sakura menjawab, "Besok. Bagaimana jika besok?"
Hening sejenak, sebelum suara bass diseberang sana menjawab, "Baiklah"
-18-
Gadis dihadapannya membekap mulut usai mendengar sepotong kalimat yang baru saja diucapkan Sasuke.
Jadi lambang itu memang tentang Yakuza. Tepatnya sebuah organisasi dibawah Yakuza. Padahal barusan pria itu hanya mengatakan tato itu merupakan pertanda dari suatu anggota 'organisasi cukup berbahaya'. Apa jadinya jika ia mengatakan langsung temannya itu bagian dari Yakuza?
"Jadi, Sakura. Mau memberitahuku siapakah orangnya?"
Sepasang emerald itu meredupkan cahanya, gadis yang tengah tertekan itu menjawab tanpa ragu, "Ia bukan teman. Ibuku menjodohkanku dengannya"
Kali ini ganti Sasuke yang terkejut. Alisnya terangkat tinggi, "Menjodohkan? Dan kau setuju?"
"Tidak! Aku menolak sejak awal, tapi, tapi astaga. Apa yang harus kulakukan?"
Sasuke menatap wajah pilu dihadapannya. Akhirnya ia mengerti tekanan macam apa yang gadis ini rasakan. Jadi karena dua minggu lalu ia berjanji akan menolong gadis ini sebagai balasan hutang, maka Sasuke bertanya, "Tak adakah pilihan lain? Maksudku selain menikah dengannya. Aku akan membantumu mencarikan solusi. Soal catatan kriminal orang itu biar aku yang urus nanti, sekarang yang penting kau harus lepas darinya dulu,"
"Ada. Dengan orang lain. Aku harus menikah dengan orang lain jika aku menolaknya"
Sasuke tertegun. Sebuah ide melintas dibenaknya. Namun segera dienyahkannya karena beresiko besar. Jadi ia bertanya sekali lagi, "Ia sudah melamarmu?"
"Belum"
"Kapan?"
"Hari ini"
Sekali lagi, Sasuke tertegun.
"Pasti ia –juga orangtuaku- sedang mencariku saat ini," gadis itu menunduk dalam. Mengapa semuanya menjadi serumit ini? Benak Sasuke memunculkan kembali ide gilanya tadi. Merasa tak ada jalan lain, akhirnya ia menyingkirkan keraguannya sejenak, "Aku punya solusi"
Gadis didepannya mendongak, berharap banyak atas solusi yang akan ditawarkan Sasuke.
"Aku akan mengatakan pada ibumu bahwa aku akan menikahimu. Ini satu-satunya solusi, bukan?"
Sakura hanya bisa menatap manik kelam Sasuke setelah pria itu menawarkan solusinya. Tapi, tak terpikir sedikitpun solusi seperti ini yang ia pilih. Namun nampaknya pria itu benar, tak ada jalan lain, bukan?
Hening sejenak diantara keduanya. Keduanya sibuk menyelami pikiran mereka masing-masing. Memikirkan keputusan besar yang akan mereka buat. Keputusan yang akan mengubah hidup mereka.
"Kuharap kau sadar betul apa yang baru saja kau katakan," Sakura membuka mulut, memecah keheningan yang mereka ciptakan sejak beberapa detik lalu. Pria didepannya masih diam, masih menatap sepasang manik hijau terang milik Sakura.
"Aku serius, Sakura. Aku berhutang padamu, ingat? Maka aku akan membayar hutangku kali ini, aku akan membantumu, bagaimanapun caranya" akhirnya ia menjawab. Dengan nada tegas dan yakin, seperti biasanya. Sakura meneguk salivanya, tahu persis orang dihadapannya ini serius, dan tak mungkin sedang bergurau atau sejenisnya, tapi, masalah ini...
"Kau sudah memikirkannya, Sasuke?" sebuah pertanyaan tanda keraguan meluncur lagi dari bibir Sakura. Entah dengan pertanyaan seperti apalagikah Sakura akan yakin dengan perkataan Sasuke beberapa menit lalu. Tapi mau bagaimana lagi?
"Sudah. Ini keputusanku. Masalah kedepannya kita putuskan nanti. Namun kali ini, aku punya rencana untuk 'menyelamatkan'mu. Jadi ..." Sasuke menggantungkan kalimatnya diudara, membuat jantung gadis yang lebih pendek darinya itu berdegup tak karuan. Degup itu semakin lama semakin cepat, diiringi dengan pupil matanya yang melebar saat Sasuke meneruskan kalimatnya,
"Bagaimana keputusanmu?"
Sakura menggigit bibirnya lagi. Berbagai pikiran bercampur aduk dalam benaknya. Maka akhirnya ia memutuskan, pada pria yang baru dua minggu lalu ia kenal inilah ia akan menggantungkan takdirnya, "Aku bersedia"
Hening lagi.
Sakura bahkan tak merasa dirinya baru saja dilamar. Namun ini jauh lebih baik daripada ia menikah dengan seseorang dari 'organisasi berbahaya'. Jadi kali ini ia takkan menyesali keputusannya. Yang terpenting ialah hari ini ia bebas dari cengkraman laki-laki itu, tanpa menyakiti ibunya.
Pria dihadapannya membuka suara, "Kita kerumahmu sekarang. Sebelum pria itu mengambil langkah lain saat mengatahui kau kabur disaat ia pergi kerumahmu. Tapi..."
Sasuke melepaskan cincin perak yang tersemat dijari kelingkingnya, lalu menyodorkannya pada Sakura, "Ibumu perlu bukti. Jadi pakailah ini"
Manik hijau Sakura terpaku pada sebuah cincin perak yang disodorkan Sasuke. Lalu mengambilnya tanpa ragu. Ia tak tahu apa yang akan ia katakan pada ibunya setelah ini, atau langkah apa yang akan ia ambil. Namun hari ini ia harus menuntaskan sebuah masalah. Masalah yang tak ia duga akan menjadi serumit ini.
"Pas sekali... di jari telunjuk," ujar Sakura setelah mencoba cincin itu di jari manisnya, namun amat longgar. Sebuah senyum pilu terukir di bibirnya. pria dihadapannya kini bangkit dari duduk, "Ayo kita berangkat"
Laki-laki itu berjalan duluan. Sementara Sakura mengekor dibelakangnya. Pikirannya melayang, sebuah pertanyaan mengganjal benaknya. Maka setelah berdebat dengan batinnya sendiri, ia memutuskan untuk melontarkan pertanyaannya,
"Sasuke tunggu."
Pria berjaket hitam itu menoleh,
"Bolehkah kau melakukan ini? Maksudku, aku tak mau memicu masalah lain"
Sepasang alis terangkat dihadapan Sakura, "Tentu saja. Maksudmu?"
"Kau...tidak dalam sebuah hubungan?"
Sasuke tahu benar hubungan apa yang Sakura maksud, maka dengan pasti ia pun menjawab, "Tidak. Tidak pernah ada hubungan apapun"
Sakura mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Matanya memandang kosong punggung yang kini sudah berjalan menjauh. Detik berikutnya, ia mengikuti langkah itu.
Mengikuti langkah yang bahkan ia tak tahu akan membawanya kemana.