Title: Lacrimosa

Rated: M - 17

Genres: Supernatural, Angst, Demon!au

Characters: Lu Han, Oh Se Hun, Wu Yifan, Kim Jongin, EXO

Author: hunhanslave

Chapters: 1/3 (changeable)

Inspired by: Yana Toboso's Kuroshitsuji

WARNING

Violence, Sexual abuse, Blood scene.

"I keep all inside because I'd rather

the pain destroy me, than everyone else."

—unknown

Chapter 1: saint and sinner

Sempurna.

Mungkin kata itulah yang bisa menggambarkan sosok Lu Han. Tak ada seorangpun yang tidak ingin memiliki kehidupan yang tanpa cacat cela seperti yang dimiliki pemuda itu.

Luhan memiliki segalanya yang orang lain inginkan. Kekayaan, wajah yang rupawan, serta kebaikan hatinya membuat Luhan menjadi pujaan setiap orang. Pemuda itu tak pernah terlihat bermuram durja, meskipun tak ada lagi sosok ayah dalam kehidupannya—hanya sosok kakak dan ibu tiri yang menyayanginya.

Luhan selalu terlihat bahagia.

Setidaknya itulah yang beursaha ia perlihatkan kepada semua orang.

.

Januari, 2020—Seoul, South Korea

Luhan membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya silau menyusup masuk memenuhi pengelihatannya. Suara hujan terdengar sayup-sayup memecah keheningan pagi itu. Pemuda berambut cokelat tua itu mengerjapkan matanya selama beberapa saat dan loteng bercat biru tua menjadi hal pertama yang dilihatnya.

Luhan mendesah pelan, lalu berusaha mengangkat tubuh telanjangnya dengan susah payah. Suara krek terdengar sesaat setelah pemuda itu berhasil menegapkan punggungnya yang terasa sangat berat—seperti memikul berkilo-kilo besi. Luhan terdiam sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak dari ranjang berspray putih itu, tak lupa ia melirik sejenak tubuh pemuda yang masih tertidur pulas dengan suara dengkuran yang sama sayupnya dengan suara hujan di luar sana.

Sisa-sisa salju semalam masih terlihat menumpuk di beberapa sudut taman saat Luhan mengintip di balik gorden biru gelap yang senada dengan cat di kamar itu. Luhan tersenyum kecut. Semalam salju turun sangat lebat, suhu udara pun lebih dingin bahkan penghangat ruanganpun sepertinya tak bisa membantu banyak.

orang-orang mencari sesuatu yang bisa membuat tubuh mereka tetap hangat dan Wu Yifan adalah orang yang sangat cerdas. lelaki itu tau bahwa Luhan adalah benda yang bisa menghangatkan dirinya, dan tentu saja Luhan tidak akan pernah menolak apa yang diperintahkan oleh Wu Yifan—Kakak tirinya itu.

Luhan menyeret kakinya menuju kamar mandi lalu mengunci dirinya di sana. Pemuda itu kembali mendesah pelan ketika melihat pantulannya di cermin besar yang berada di depannya. Lebam berwarna biru keunguan terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang pucat. Tulang-tulangnya yang menonjol keluar semakin membuat Luhan tidak ingin memandangi bayangan dirinya di cermin. Anak berusia 13 tahun dengan tubuh yang mengenaskan seperti ini? Tentunya tidak ada yang sudi berlama-lama melihatnya. Dengan langkah yang gontai, Luhan berjalan pelan kearah kubikel shower sebelum membiarkan guyuran air hangat membasuh seluruh tubuhnya. Untuk sesaat Luhan berharap guyuran air itu bisa kembali membuat dirinya menjadi suci, tetapi tentu saja itu hanyalah harapan konyol semata.

Tidak ada yang bisa mengembalikan kesucian yang telah hilang.

Udara dingin langsung menggerogoti tubuh ringkih Luhan sesaat setelah pemuda itu keluar dari kamar mandi. tetesan-tetesan air masih membasahi sekujur tubuhnya dan Luhan sepertinya tidak berniat untuk membalutkan handuk yang tergantung rapih di samping pintu kamar mandi.

"hyung…" Desis Luhan ketika mendapati Yifan tengah berdiri di samping jendela—melirik luhan sejenak sebelum kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela. Tubuh tingginya hanya berbalut celana training abu-abu, rambut blondenya yang berantakan sedikit menutupi kedua matanya.

Yifan menguap lebar sembari berjalan sempoyongan kearah Luhan yang sedari tadi tidak beranjak dari tempatnya berdiri dan ketika jarak pemuda itu dan Luhan hanya tinggal beberapa centi saja, ia menyeringai sebelum mengangkat dagu Luhan kasar dan melumat bibir Luhan singkat.

"kau tau," Yifan menyusupkan jari-jari panjangnya di rambut Luhan. "aku tidak pernah menyesal masuk ke keluarga ini karena kau, Luhan." Suara Yifan terdengar serak dan pelan tetapi selalu sukses mengintimidasi Luhan dan membuat pemuda itu bergidik ngeri.

Yifan

Bahkan hanya mendengar namanya saja dapat membuat Luhan ketakutan. Luhan tidak pernah menyangka, seseorang yang dulunya ia kagumi—seseorang yang selalu membuat Luhan bahagia bisa berubah menjadi sesosok monster yang mengerikan.

"seandainya kau tidak mendengar apapun hari itu, mungkin kau tidak akan pernah merasakan ini, adik kecilku."

Ya, Yifan benar. Seandainya saja Luhan tidak melewati kamar Yifan dan tidak sengaja mendengar percakapan Yifan dengan eommanya, tentu saja Luhan tidak akan pernah merasakan penyiksaan yang tiada henti dari kedua orang yang dulunya selalu dibangga-banggakan oleh Luhan. Tetapi kalau saja Luhan tidak pernah mendengar percakapan mereka itu, mungkin saja saat ini dirinya tidak akan pernah tau bahwa Yifan dan sang eomma adalah dalang dari kematian Zhong Ren—ayahnya.

Luhan tidak habis pikir, kekayaan dan kekuasaan dapat membutakan orang, bahkan mengubah seseorang menjadi sosok yang begitu berbeda.

"kau tidak berniat untuk membuka mulutmu dihadapan semua orang, bukan?" suara mengintimidasi itu lagi.

Luhan menggeleng pelan. Tak terbersit niat sedikutpun di kepala Luhan untuk membocorkan hal itu kepada orang lain. Bukan karena ia tidak menyayangi ayahnya, tetapi Luhan tidak ingin lebih banyak orang yang menderita. Luhan tidak ingin orang lain merasakan nasib yang sama seperti dirinya dan juga ayahnya, karena Luhan tau Yifan dan sang eomma memiliki banyak cara untuk menyakiti orang lain—mereka terlalu kuat—berdarah dingin.

Yang Luhan bisa lakukan sekarang hanyalah diam, menunggu saat yang tepat untuk berbalik menghancurkan Yifan dan Ling.

.

Januari 2024—Seoul

Luhan terbangun dari tidurnya ketika ujung cemeti yang kasar menghantam perutnya kuat. Luhan menjerit tetapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Balutan kain putih yang menyumpal mulutnya membuat Luhan tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Tangan dan kakinya diikat di ujung-ujung ranjang sementara tubuhnya dibiarkan telanjang dengan luka memar dimana-mana.

"selamat malam, Luhan." Bisik Yifan tepat di telinga Luhan. Tangan kanan pemuda itu menggenggam cemeti berwarna hitam sementara tangan kirinya dengan leluasa mengerayangi tubuh Luhan. "kau masih saja terlihat sangat cantik dengan tubuh penuh luka seperti ini." Yifan menyeringai, sementara Luhan hanya bisa menatap hyungnya itu dengan mata yang berair.

Hanya selang beberapa detik, tubuh jangkung Yifan sudah berada diatas tubuh Luhan. Cemeti yang sedari tadi dipegangnya entah dilemparkan kemana. Luhan menahan nafasnya ketika jari-jari yifan mulai bermain-main di sekitar selangkangan Luhan, memberikan sensasi seperti terbakar yang selalu Luhan rasakan ketika kulitnya bersentuhan dengan jari-jari kurus pemuda jangkung itu.

Suara hujan yang semakin berisik sepertinya membuat gairah Yifan menjadi-jadi, dengan kasar ia memasukan dua jarinya sekaligus ke dalam entrance Luhan, membuat pemuda mungil itu menjerit tertahan dengan air mata yang mengguyur deras melewati pelipisnya. Tubuh Luhan mengejang hebat ketika yifan mulai menggerakan jari-jarinya di dalam sana. Bukan kenikmatan yang dirasakan Luhan tetapi sakit yang luar biasa hebat. Sudah tak terhitung berapa kali Yifan melakukannya itu pada Luhan di hari itu dan sepertinya Yifan tidak pernah merasa puas akan apa yang dilakukannya.

"kau menyukainya." Ucap yifan sebelum meremas member Luhan lalu menekan ujungnya kuat tanpa mempedulikan Luhan yang kesakitan. Pria itu terus melakukan hal yang sama berulang kali, sebelum menggantikan kedua jarinya yang sedari tadi menganiaya entrance Luhan dengan membernya.

Yifan mendesah pelan ketika membernya diapit dinding entrance luhan yang sempit. ia menarik nafas panjang sebelum mulai menggerakkan pinggulnya cepat dan kasar. Kali ini Luhan hanya diam—tak ada teriakan tertahan lagi, pemuda berambut cokelat itu terlalu lelah—tenaganya terkuras habis dan kesadarannya semakin menghilang sementara Yifan sama sekali tidak peduli.

Yifan tidak akan pernah peduli. Bagi pemuda itu, Luhan hanyalah benda pemuas nafsu dan sekaligus alat pelampiasan amarahnya. Selama 4 tahun, Luhan tidak pernah melawan. Tetapi selama 4 tahun tersebut, ada sesuatu yang semakin hari semakin tumbuh dan menguasai diri Luhan.

Dendam.

Luhan tidak tahu kapan perasaan itu mulai menggerogoti pikirannya tetapi yang Luhan tau, rasa benci dan luka lah yang membuat perasaan dendam itu semakin hari semakin kuat, hanya saja Luhan tidak tau bagaimana caranya membalaskan dendamnya tersebut.

Luhan masih terlalu lemah—sangat lemah. Yang ia butuhkan hanyalah kembali menunggu saat yang tepat untuk membalaskan dendamnya tersebut—menghancurkan orang-orang yang sudah lebih dulu menghancurkannya. entah kapan, tetapi Luhan sudah berjanji dengan dirinya sendiri, ia tidak akan berdiam diri lebih lama lagi.

Tidak ada yang pernah tau apa yang akan dilakukan oleh Yifan. Lelaki itu memiliki pikiran yang rumit, bahkan Luhan pun tidak dapat menebak hal gila apa yang ada dalam kepala Yifan, sama seperti saat itu ketika sesuatu yang tajam perlahan mulai merobek perut Luhan.

Bau besi yang khas menyeruak bersamaan dengan cairan merah kental yang bercucuran membasahi sprei putih itu. Luhan membelalakan matanya, suara sayatan demi sayatan terdengar seperti bisikan halus yang menyakitkan. Yifan menyunggingkan senyum tipis, orbsnya menatap Luhan yang terlihat semakin tidak berdaya.

"saying sekali, Lu. Kita harus menyudahi permainan kita yang menyenangkan." Kata Yifan sambil mengelus pipi Luhan dengan tangan penuh dengan darah, meninggalkan garis merah di pipi Luhan yang langsung bercampur dengan air mata yang hampir kering.

Tidak. Luhan tidak boleh mati. Ia bahkan belum memulai apapun.

Benda tajam itu kemudian bergerak pelan menuju leher Luhan dan berhenti tepat di samping urat nadinya yang menonjol. Luhan mengatupkan kedua matanya. Ujung pisau itu mulai menyentuh kulit leher Luhan yang pucat penuh keringat. Tak lama, bau besi itu kembali memenuhi penciuman Luhan, hanya saja kali ini lebih pekat dan Luhan membenci itu—kecuali Yifan yang sepertinya menikmati aroma darah segar yang kelar dari luka sayatan yang ia buat.

"kau harusnya berterima kasih karena aku tidak langsung membunuhmu empat tahun lalu." Bibir Yifan menyapu telinga Luhan, tangannya yg kosong kini sudah berada di belakang kepala Luhan—membuka ikatan kain yang menyumpal mulut Luhan lalu melemparkan kain putih itu ke sembarang tempat. "dan hari ini, kau akan segera bertemu dengan ayahmu. Sampaikan salamku dan terima kasihku padanya."

Luhan menarik nafas berat, pasokan udara yang kini masuk ke paru-parunya semakin menipis. Pandangannya kabur, dan kepalanya terasa berputar. Apa semuanya memang akan berakhir hari itu?

Tidak. Ini belum berakhir

"aku…" ucap Luhan tersendat-sendat. "…akan membawamu…bersamaku, hyung." Luhan kembali menarik nafas, tatapannya terlihat mengerikan dibalik sorot matanya yang sendu. "kau juga…akan mati." Tambah Luhan meskipun ia sendiri tau apa yang ia katakana hanyalah keinginan semunya saja. Ia akan mati, bagaimana mungkin ia bisa membawa Yifan bersamanya? Bagaimana mungkin ia bisa membalaskan dendamnya pada yifan dan juga sang eomma? Luhan tersenyum kecil sebelum semuanya menjadi gelap dan jantungnya tidak lagi berdetak seperti yang seharusnya.

Luhan telah mati dan Yifan tersenyum puas, tak ada lagi yang akan menjadi hambatannya untuk berkuasa. Semuanya sudah menjadi miliknya.

.

.

Belum selesai, Luhan. Belum

Suara itu terus menerus terdengar. Luhan mencoba membuka matanya untuk mencari asal suara tersebut, tetapi hanyalah kegelapan yang ia temukan. Hawa dingin mulai menggerogoti tubuh Luhan, dan mulai melesak masuk ke cela tulang-tulang pemuda itu. Luhan bergidik kemudian memeluk tubuhnya yang tidak terbalut satu helai benang pun dengan kedua tangannya—berusaha menghilangkan rasa dingin yang semakin menjadi-jadi, kuku-kukunya menancap cukup dalam di lengannya tetapi Luhan sama sekali tidak merasakan kesakitan apapun.

Belum selesai.

Suara itu kembali terdengar, tetapi sekuat apapun Luhan mencari asal suara itu, kegelapan yang begitu pekat adalah hal yang ia temukan. Pemuda itu meringis, Luhan bahkan tidak tau dimana ia berada saat itu.

Bukankan ia sudah mati? Bukankah Yifan sudah membunuhnya? Lalu kenapa Luhan merasa bahwa dirinya masih hidup? Hanya saja, kali ini terasa sangat berbeda. ia meletakkan tangannya yang bergetar di depan dadanya—jantungnya masih berdetak, tetapi sangat pelan sampai Luhan pun harus benar-benar menekan tangannya untuk merasakan detakan jantungnya, dan itu membuat rasa takut mulai menghantui dirinya.

Luhan

Luhan tercekat ketika pemuda itu merasakan seseorang atau mungkin sesuatu perlahan mulai mendekatinya. Tak ada suara langkah atau apapun, tetapi Luhan dapat merasakan kehadiran sosok lain di sana—si pemilik suara itu kah?

Luhan menyipitkan matanya ketika nyala api yang entah dari mana asalnya kini melingkarinya—seperti memerangkap dirinya, dan saat itu Luhan menyadari pergelangan kaki dan tangannya di rantai.

"di-dimana ini?" Tanya Luhan dengan suara penuh ketakutan, meskipun ia tidak melihat siapapun di sana tetapi Luhan tau, ada seseorang atau sesuatu yang tengah memperhatikannya.

"Luhan." Suara itu lagi, tetapi kali ini terdengar lebih nyata—lebih dekat. "Luhan." Panggil suara itu untuk kesekian kalinya dan setiap kali suara itu memanggil namanya, sosok Yifan yang tengah menatapnya dengan tatapan dingin itu muncul di kepalanya. Suara yang mengintimidasi dan Luhan sangat membenci nada suara yang terdengar seperti itu.

Luhan melebarkan matanya ketika sesosok bayangan hitam mulai menghampirinya selangkah demi selangka. Luhan terdiam dengan tubuh yang bergetar hebat, ia tidak berani mengeluarkan satu katapun. Ketakutan terlihat jelas dari raut wajahnya saat itu.

Sosok itu semakin mendekat. Luhan bahkan dapat melihat sepasang mata merah kini menatapnya dengan tatapan yang sama mengintimidasinya dengan nada suara dari sosok itu. Luhan menarik tubuhnya ke belakang ketika jarak dirinya dan sosok itu tidak lebih dari satu meter. Sosok itu membungkukan badannya, wajahnya kini terlihat sangat jelas. Mata merahnya terlihat seperti nyala api yang bergerak-gerak mengelilingi Luhan, ujung-ujung bibirnya ditarik sehingga membentuk senyum simpul namun entah mengapa senyuman itu seperti member sensasi yang semakin membuat ketakutan Luhan menjadi-jadi.

"belum selesai, Luhan. Urusanmu belum selesai." Ucap sosok itu lalu berjongkok dan mengelus pipi Luhan yang kini basah dengan air mata. Entah kapan air mata itu keluar, Luhan bahkan tidak sadar.

"apa…apa maksudmu?" Tanya Luhan dengan suara yang bergetar.

Sosok itu terkekeh pelan, ia memajukan badannya sehingga hidunya dan Luhan hampir bersentuhan. Mata mereka berdua bertemu—fire red dan hazel. Luhan tertegun, sepasang mata merah itu seperti memikat Luhan dan memerintahkannya untuk tenang.

"Yifan." Kata sosok tersebut dengan suara huskynya yang rendah. Luhan mengerjapkan matanya beberapa kali ketika nama itu keluar dari mulut sosok berambut hitap legam di depannya.

"aku akan membantumu menghancurkan dan menlenyapkan dia, dan orang-orang yang menyakitimu." Lanjut sosok itu dengan seringaian yang menakutkan sekaligus menggoda terpampang jelas di wajah porselen miliknya.

Yifan.

Luhan kembali mengulang nama itu di otaknya. Dengan sekejap, seluruh memori yang mengerikan kembali terluang dan berputar-putar di kepala Luhan. Ya, ia tidak akan pernah lupa dengan janjinya—janjinya untuk menghancurkan dan membunuh orang yang telah merengut semua kebahagiaannya—balas dendam yang ia nazarkan sebelum Yifan membunuhnya.

Luhan memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap sosok itu. Seringaiannya terlihat lebih lebar, ekspresinya memperlihatkan bahwa ia sudah tau apa yang akan dikatakan Luhan setelah ini. Ia menggenggam tangan Luhan dan menarik Luhan untuk berdiri sebelum menangkup pipi Luhan dengan kedua tangannya yang kurus.

"katakana, Luhan." Sepasang mata merah itu terlihat semakin membara, menyalurkan rasa panas di sekujur tubuh Luhan. "katakan keinginanmu padaku."

"aku ingin membalaskan dendamku." Kata-kata itu dengan lancarnya keluar dari bibir plum Luhan, tak ada ketakutan sedikitpun di sana melainkan rasa dendam yang begitu membara seperti bara api yang melingkari keduanya saat itu.

"aku akan membantumu. Tetapi, setelah dendammu terbalas, kau harus menyerahkan jiwamu padaku sebagai gantinya. Bagaimana?" Tanya sosok itu.

Iblis

Luhan sangat sering mendengar tentang mahluk itu sebelumnya—mahluk yang menjadi musuh para penghuni Surga—mahluk yang memiliki tugas membawa manusia untuk jatuh ke dalam dosa—mahluk yang Luhan kira tidak akan pernah menyentuhnya.

Perjanjian dengan iblis.

Luhan juga pernah mendengar hal ini dan tidak pernah tersirat di pikiran Luhan untuk mengikat satu perjanjian dengan mahluk itu. tetapi nazar adalah nazar, dan Luhan sudah berjanji akan menghancurkan Yifan—mengahcurkan orang yang terlebih dulu menghancurkanya.

Luhan kembali mengatupkan matanya dan mengangguk pelan. "baiklah." Jawan Luhan, dan ketika pemuda itu membuka matanya, symbol hexagon berwarna merah api seperti terukir di kedua iris hazelnya.

Sosok bermata merah itu tertawa lepas selama beberapa saat sebelum mengecup bibir Luhan singkat. "Sehun, panggil aku Sehun."

"Sehun."

To be continue


Note:

Hello, this is hunhanslave. thank you for reading my lame and absurd story.

your comments motivated me to write kkk

see you!

p.s:

lacrimosa means weeping