The Dragon Element

Crossover :

Naruto X High School DxD

Disclaimer :

Naruto © Masashi Kishimoto

High School DxD © Ichiei Ishibumi

Dan beberapa Anime yang terkait : Bukan milik saya

Dragon Element © Ryuukira Sekai

Genre : Adventure, Fantasy, Romance{Maybe}, Mystery{Maybe}

Rating : M

Pairing : Naruto.N x Harem, Kamito.K x Akame.A

Warning : Author Newbie, Typo Bertebaran, Jurus dan Kekuatan Buatan Sendiri, No-Lemon, Super OOC, AU, OC dari Anime lain, Little bit Yuri dan masih banyak lainnya

Summary :

Para pemegang Dragon Element sudah mulai terkumpul, tapi Bersamaan dengan itu, Makhluk kegelapan telah bangkit. Pertempuran tidak dapat di hindari lagi. Karena bagaimana pun, ini adalah Takdir mereka. Takdir dari Pemegang Dragon Element {Bad Summary}.


"Remember 'Don't Like, Don't Read'!"


.:::STORY START:::.


Chapter 13 : I Made Promise, So I'll Fight

Tatsumi duduk dengan santai di atas sebuah batu besar yang di sekelilingnya hanyalah daratan kosong tanpa tanda-tanda kehidupan sepanjang mata memandang. Mengangkat pedangnya dan memperhatikan bilahnya dengan tatapan kosong. Pada bilah hitam itu, Tatsumi seperti dapat melihat cerminan masa lalunya. Saat dimana dia tenggelam dalam kegelapan dan mengurung diri dari cahaya.

[Flashback]

Di kantor badan intelejen rahasia jepang, tepatnya di sebuah ruangan meeting, terdapat sekitar lima orang yang sedang duduk dan mendiskusikan sesuatu di meja berbentuk oval panjang di tengah-tengah ruangan.

"Kita tidak boleh memenuhi keinginan mereka. Jika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, negara ini akan runtuh dalam hitungan menit. Aku menyarankan kita untuk segera menghancurkan mereka semua dengan Operasi Alma Cross sebelum mereka bisa melakukan hal yang lebih berbahaya." ucap salah seorang pria berbadan besar.

"Tapi tuan, banyak sekali orang tidak bersalah di pulau itu. Jika kita menggunakan Operasi itu, itu artinya kita membuang ratusan nyawa yang tidak tahu apa-apa mengenai hal ini." balas seorang perempuan muda yang menggunakan kacamata.

"Kita bisa saja mengevakuasi orang-orang diam-diam, tapi aku yakin kita hanya bisa melakukannya untuk sekitar 30% penduduk pulau sebelum mereka mengetahui perbuatan kita dan melancarkan serangan total pada kita." adu argumen pria muda.

"Kalau begitu kita akan mengulur waktu dengan membawa barang palsu pada mereka, setidaknya itu akan memberi kita waktu tambahan untuk menaikkan presentasi evakuasi. Tapi kemungkinan terburuknya adalah mereka menyadarinya lebih dulu dan menyerang kita."

Ruangan menjadi hening karena mereka tidak memiliki ide lagi. Memutuskan untuk memecah keheningan dan menyelesaikan masalahnya lebih cepat, pria berbadan besar tadi berkata. "Apa ada yang memiliki ide lebih baik? Jika tidak ada, artinya kita akan setuju dengan opsi menggunakan Alma—"

"Tunggu dulu tuan-tuan! Ada anggota tim saya yang menjadi sandera mereka, saya tidak bisa membiarkannya begitu saja!" potong perempuan berambut putih dengan penutup mata pada mata kanannya.

"Apa anda punya ide yang lebih bagus Najenda-san?"

"Biarkan saya mengirim pasukan untuk menyelamatkanny—"

"Di tolak! Kau dengan sendiri yang mereka katakan, jika terlihat satu orang saja pasukan kita di pulau itu. Mereka tidak akan segan-segan meluncurkan rudal-rudal nuklir itu pada wilayah perkotaan. Pengorbanan kadang-kadang harus di lakukan untuk keselamatan lebih banyak orang. Dengan ini rapat di tutup. Siapkan Alma Cross sekarang juga. Musnahkan mereka sekali dan untuk selamanya!"

Dengan itu, rapat di bubarkan. Tiga anggota rapat lainnya tidak memiliki pilihan lain selain setuju dengan ketua mereka. Kini satu-satunya yang tersisa di ruang rapat hanyalah wanita bernama Najenda tadi.

'Brak!'

"Sial!" desisnya dengan memukulkan kepalan tangannya pada meja. Pintu ruangan terbuka dan masuk dua orang berbeda gender. "Bos, bagaimana hasilnya?" tanya laki-laki berambut coklat pada Najenda saat dirinya dan rekannya berdiri di belakang wanita berambut putih itu.

"Maaf." Najenda tidak menjawab dan malah memberikan pernyataan maaf. "Mereka akan melenyapkan pulau itu dengan Alma Cross. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku, Kurome. Aku tidak bisa menyelamatkan kakakmu. Maaf." ucap Najenda dengan wajah yang menunjukkan penyesalan. Alma Cross adalah torpedo nuklir yang baru di ciptakan. Kelebihannya adalah tidak bisa di deteksi oleh sonar dan radar. Torpedo itu memiliki daya ledak yang mampu melenyapkan sebuah pulau seluas belasan kilometer sampai tidak bersisa. Senjata rahasia terkuat yang dimiliki oleh pemerintah Jepang untuk saat ini.

Tidak lama setelahnya, perempuan pendek berambut hitam pendek di samping Tatsumi berbalik kemudian berlari dengan cepat menuju pintu keluar. "Kurome-chan, tung—!" Tatsumi berusaha mengejarnya, tapi pintu itu tertutup dan sosok Kurome telah menghilang.

Najenda menelungkupkan wajahnya di atas meja dengan alas lengannya dan mulai menangis. "Maaf, Kurome, Akame. Aku orang tua yang buruk untuk kalian." gumamnya bersamaan dengan suara isakan yang mulai terdengar.

Di antara perasaan ingin mengejar Kurome atau tetap tinggal untuk menghibur orang tua angkat Kurome, Tatsumi sulit memutuskan. Memutuskan untuk mengambil jalan tengah, Tatsumi berbicara. "Bos, tidak, maksudku Najenda-san. Aku ingin meminta bantuan anda, ..."


.

.

.

.

.


Kurome berada di ruang persenjataan dan mulai mengemasi senjata-senjata yang bisa di gunakannya kedalam tas besar.

Beberapa hari yang lalu, dia dan kakaknya, Akame melakukan misi penyusupan kedalam sebuah organisasi teroris berbahaya di sebuah pulau. Penyusupan mereka gagal dan kakaknya tertangkap oleh organisasi teroris itu karena berusaha mengulur waktu agar dirinya dapat keluar dari pulau itu dengan selamat. Kakaknya telah mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkannya, jadi bagaimana bisa Kurome hanya duduk diam. Dia akan menyelamatkannya, meskipun itu harus meresikokan hidup yang di berikan kakaknya. "Tunggulah, Onee-chan." ucap Kurome sambil terus memasukkan senjata sampai tasnya penuh.

Karena terlalu penuh, sebuah pistol terjatuh. Sebuah tangan terulur mengambil senjata itu. Kurome memandang lurus pada orang di depannya dengan mata sembab karena berusaha menahan tangisannya. "Aku akan tetap pergi menyelamatkan Onee-chan. Tidak ada gunanya menghentikanku." ucap Kurome dingin.

"Aku tahu itu. Karena itu aku akan ikut bersamamu." balas Tatsumi. Kurome terdiam, tidak percaya apa yang baru saja di katakan Tatsumi. Biasanya Tatsumi adalah orang yang selalu taat perintah, tidak pernah sekalipun dia mendengar pemuda di depannya melanggar perintah.

Tatsumi meletakkan pistol itu di sarung senjatanya. "Mana mungkin aku membiarkan kau pergi sendirian? Bahkan kau tidak akan bisa keluar dari markas tanpa ketahuan. Dan satu lagi, kau tidak bisa mengalahkan mereka semua hanya dengan senjata-senjata seperti ini." jelas Tatsumi sambil melirik tas penuh senjata di depannya.

"Jika aku tidak bisa mengalahkan mereka dengan senjata biasa, aku tinggal menggunakan kekuatan 'itu'. Menyingkir dari hadapanku, Onee-chan sedang menungguku." ucap Kurome dingin sambil mengangkat tas senjatanya dan menggantungnya di bahunya. Tatsumi memiringkan badannya, seakan memberikan jalan bagi Kurome. Tanpa menunggu lagi, Kurome mulai melangkah kedepan melewati Tatsumi.

Saat mereka berpapasan, Tatsumi dengan cepat menggenggam tangannya yang satunya. Kurome menoleh kesal pada Tatsumi dan di balas dengan kekehan geli. "Ayolah, Akame-chan memintaku untuk mencegahmu dari menggunakan kekuatan itu. Jika aku mengingkarinya, dia akan mengulitiku hidup-hidup. Kau tidak akan pergi sendirian, Kurome-chan. Aku akan bersamamu." ucap Tatsumi serius.

Tanpa menunggu respon balik dari Kurome, Tatsumi menyeretnya lebih dulu. "Ayo ikut aku! Najenda-san sudah menyiapkan transportasi untuk kita." ucap Tatsumi tanpa melepaskan genggaman tangan mereka.


.

.

.

.

.


Beberapa menit kemudian, Tatsumi dan Kurome sudah sampai di pulau tujuan mereka tanpa ketahuan dengan cara menyelam. Menggunakan transportasi udara atau permukaan air terlalu berbahaya jika ketahuan oleh organisasi musuh, jadi mereka menggunakan transportasi bawah air.

Mengganti pakaian mereka dengan seragam yang lebih mudah di gunakan untuk pergerakan malam. Menyimpan dua pistol di sarung senjata mereka masing-masing, sebuah rifle sederhana untuk Kurome dan sebuah sniper rifle untuk Tatsumi, tambahan beberapa megazine amunisi untuk kedua senjata mereka, serta sebilah pisau yang mereka persiapkan di rompi mereka.

"Ne, Tatsumi?" panggil Kurome saat dirinya sedang mengenakan sarung tangan hitamnya. Tatsumi yang sedang mengikat tali sepatunya menggumam sebagai respon. "Bukannya pulau ini akan di lenyapkan menggunakan Alma Cross, tapi kenapa kau tetap mau membantuku menolong Onee-chan? Jika kita terlambat keluar dari pulau ini, kau juga akan ma—"

"Entahlah. Kurasa aku hanya tidak bisa meninggalkan rekan setimku pergi seorang diri, tapi mungkin juga lebih dari itu. Tidak perlu di pikirkan. Najenda-san akan mencoba meretas kode peluncurannya, setidaknya sampai kita bertiga keluar dari pulau dengan selamat. Apa kau sudah siap?" tanya Tatsumi saat dia telah selesai dengan persiapannya, kemudian mengokang riflenya.

Kurome mengangguk dan melepaskan pengaman riflenya. Tatsumi memandang Kurome. "Ubah mode tembakmu menjadi single shoot. Kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap peluru yang kita punya. Tembaklah target yang kau yakin pasti kena lebih dulu." ingat Tatsumi sambil memasang peredam suara pada riflenya dan di jawab dengan anggukan mengerti oleh Kurome

"Kita berangkat sekarang." ucap Kurome lalu berlari memasuki hutan yang menuju langsung ke markas organisasi teroris di pulau ini. Tatsumi mengikuti Kurome dari belakang.

Beberapa menit mereka berlari, akhirnya mereka sampai di penghujung hutan. Di depan hutan itu hanyalah padang rumput hijau dan sebuah dinding besar yang terbuat dari susunan batu yang menghalangi pemandangan. Di atas dinding itu, terdapat beberapa orang yang berlalu lalang dengan persenjataan yang cukup lengkap.

Tatsumi berjongkok dan mengamati situasi di sekitar benteng dengan teropong pada riflenya. "Ada 3 sampai 5 penjaga di setiap sudut benteng. Penjagaan di gerbangnya juga tidak kalah ketat, tapi dapat di tembus dengan cukup mudah oleh mu." jelas Tatsumi. "Onee-chan pasti berada di dalam sana. Kita harus segera menyelamatkannya." ucap Kurome tidak sabaran setelah mengokang senjatanya sambil berusaha berdiri dan melangkah kedepan.

"Tunggu sebentar, aku punya rencana ..." sebelum Kurome dapat keluar dari garis hutan, Tatsumi menghentikannya dengan memegang pergelangan tangannya. Kurome menoleh pada Tatsumi dan di jawab dengan sebuah seringaian tipis.


.

.

.

.

.


"Berjaga malam-malam begini sangat membosankan. Kenapa aku harus dapat shift malam?" keluh seorang pria bersenjata lengkap sambil menyandarkan tubuhnya di pagar pembatas. "Seandainya ada target untuk di tembak, itu mungkin dapat menghilang rasa bosanku." lanjutnya dengan helaan nafas berat.

Seseorang mendekatinya. "Jangan mengeluh terus. Bekerjalah dengan benar." tegur orang itu yang sepertinya berpangkat lebih tinggi daripada orang pertama. Yang di maksud menggumam kesal lalu membalikkan badannya menghadap ke hamparan padang rumput dan hutan di depannya. "Baiklah, aku mengerti. Huh, padahal aku hanya ingin sedikit hiburan." keluhnya lagi sambil membuang nafas lelah.

Matanya tidak sengaja tertuju pada seorang perempuan berambut hitam yang memegang rifle yang keluar dari kegelapan hutan dan berhenti di tengah padang rumput. "Apakah rasa bosan dapat membuat seseorang berhalusinasi? Karena sekarang ini aku seperti melihat seorang gadis muda bersenjata lengkap di luar." gumamnya sambil menggosok-gosok matanya. Orang disampingnya secara spontan memukul belakang kepala prajurit itu. "Apa yang kau pikirkan hah?! Dia anggota dari tim mata-mata yang waktu itu!" teriaknya sambil mengokang senjatanya dan membidikkannya pada perempuan di tengah ladang rumput itu. Tersadar dari pemikirannya, dia juga membidikkan senjatanya pada perempuan itu.

Para penjaga yang lainnya juga membidikkan senjata mereka. "Cari apakah ada orang lain yang bersamanya? Tidak mungkin dia hanya sendiri. Cepat lakukan!" perintah kapten pasukan penjaga itu. Beberapa orang penjaga yang lainnya mengamati keadaan sekitar hutan dengan teropong yang memiliki mode pengelihatan malam. "Tidak di temukan keberadaan seorangpun di hutan." teriak seorang penjaga.

Kurome melepaskan pegangannya pada riflenya sehingga senjata itu menggantung di bahunya. "Aku mempunyai hal sangat di inginkan oleh pemimpin kalian! Karena itu, lepaskan Onee-chan-ku!" teriak Kurome lantang.

Sang Kapten penjaga bingung harus melakukan apa, karena itu dia meminta pasukannya melakukan pengamatan sekali lagi. "Negatif, kapten! Tidak ada seorangpun di sekitarnya!" lapor anak buahnya. Kapten itu kembali memandang Kurome dengan ragu. "Tangkap perempuan itu! Borgol dia dan bawa pada Esdeath-sama!" perintah sang kapten.

Gerbang besar di depan Kurome terbuka perlahan-lahan dan keluar tiga penjaga bersenjata lengkap. Mereka semua mendekati Kurome dan merebut riflenya lalu memborgol tangannya di depan tubuh. "Di mana benda itu?" tanya salah satu dari mereka. Kurome menoleh pada sang penanya dan terkekeh. "Jangan khawatir, aku membawanya. Tapi aku hanya akan memberikannya pada pemimpin kalian, bukan pada prajurit rendahan seperti kalian." jawab Kurome dengan senyum meremehkan. Para prajurit yang dimaksud menggeram menahan kekesalan mereka.

Tanpa memperpanjang sesi pembicaraan, mereka menggiring Kurome menuju gerbang. Saat mereka berada di tengah gerbang, Kurome tiba-tiba berhenti berjalan dan menundukkan kepalanya lalu mengangkat kedua tangannya lurus ke langit.

'Syuut!'

'Krashh!'

Saat mereka ingin memberikan teguran, mereka di kejutkan dengan besi penghubung borgol Kurome yang tiba-tiba hancur berkeping-keping. Kurome lalu dengan gerakan yang hampir tidak dapat di lihat, menarik kedua pistolnya dari sarungnya dan ...

'Dor' 'Dor'

... dua tubuh terjatuh di tanah dengan kepala yang baru saja di tembus oleh timah panas. Kurome terkekeh. "Three Head Shoot." gumam Kurome tanpa mengangkat kepalanya. Kurome menolehkan kepalanya pada satu-satunya orang yang masih hidup di belakangnya. "Dimana kalian menahan Onee-chan?" tanyanya dengan datar dan tatapan yang sangat dingin.

Satu orang yang sedang di kuasai rasa ketakutan itupun mengangkat senapannya dan bersiap menarik pelatuknya.

'Syuut!'

Tubuh orang itu langsung terjatuh setelah mendapatkan tembakan telak di otaknya. Tanpa memperdulikan mayat-mayat di sekitarnya, Kurome menyimpan kedua pistolnya pada tempatnya dan berjalan menghampiri orang yang mengambil senjatanya. Membungkuk untuk mengambil senjata lagi. Tangan Kurome yang memegang rifle dengan refleks terangkat saat merasakan hawa keberadaan manusia di sampingnya.

"Hey, apakah ini yang kudapatkan sebagai tanda terima kasih? Bidikan di kepala?" tanya orang itu bercanda. "Kau mengejutkanku. Jadi bukan salahku." balas Kurome lalu berdiri dan menggantungkan senjatanya di bahunya seperti sebelumnya

"Bagaimana dengan penjaga yang lainnya?" tanya Kurome sambil mengatur senapannya dan tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Tatsumi menghela nafas menghadapi sikap dingin Kurome. "Bisakah setidaknya kau menatap lawan bicaramu saat bertanya?" tanyanya balik. Kurome menoleh pada Tatsumi setelah mengokang senjatanya. "Aku anggap saja kau sudah membersihkan semuanya. Selanjutnya ke rencana kedua. Kau urus senjata nuklir mereka, aku akan menyelamatkan Onee-chan." ucap Kurome lalu berjalan lebih dulu kedepan.

Tatsumi lagi-lagi menghela nafas pasrah. "Maa, mau bagaimana lagi?" gumam Tatsumi lalu berlari kecil menyusul Kurome. "Saat sedang memikirkan Akame-chan, kau tidak pernah bersikap ramah pada siapapun." lanjut Tatsumi saat dirinya berjalan di samping Kurome.

Lorong sempit yang sangat panjang yang di terangi lampu-lampu redup di sisi dinding mereka lalui tanpa percakapan sedikitpun. Hingga pada akhirnya mereka sampai di persimpangan.

"Kurome-chan, tunggu sebentar." ucap Tatsumi tiba-tiba saat Kurome hampir mengambil langkah pada jalan yang kanan. Kurome menoleh padanya dengan wajah bingung. Tatsumi mengambil sesuatu dari saku celananya dan menggenggamnya. Tatsumi menatap Kurome. "Tutup matamu." perintah Tatsumi. Tanpa bertanya untuk apa, Kurome mengikuti apa yang di inginkan Tatsumi dan menutup matanya. Walaupun dia tidak bisa melihatnya, dia dapat merasakan kalau Tatsumi sedang memasangkan sesuatu di lehernya.

"Mungkin ini sedikit terlambat, tapi tetap saja ..." jeda Tatsumi lalu menjauhkan dirinya dari Kurome. "Kau bisa membuka matamu sekarang." mendengar ucapan Tatsumi, Kurome membuka matanya dan melihat benda yang di pasangkan di lehernya. Sebuah kalung dengan pendant bunga lima kelopak berwarna hitam yang terbuat dari batu berlian hitam. "Inikan ... tapi bagaimana kau tahu?" tanya Kurome meninggalkan sikap datarnya yang sebelumnya.

Tatsumi terkekeh dan menggaruk belakang kepalanya. "Maaf membutuhkan waktu lama. Keuanganku beberapa minggu yang lalu sedang tipis, jadi aku harus melakukan beberapa pekerjaan tambahan dari Najenda-san untuk memenuhi kekurangannya." jelas Tatsumi. Kurome menggelengkan kepalanya. "Tatsumi, bukan itu yang kutanyakan! Bagaimana kau tahu? Dan kenapa? Ini sangat mahal, Tatsumi!" ucap Kurome setengah berteriak.

Tatsumi kembali terkekeh. "Aku tahu. Karena itulah aku memberikannya. Jarang sekali aku melihat kau tertarik pada sesuatu, jadi aku mengusahakan untuk membelinya untukmu. Dan juga, kurasa ini adalah hadiah yang cocok untukmu." jelas Tatsumi lalu tersenyum tipis. "Selamat ulang tahun, Kurome-chan. Maaf membuatmu menunggu lama." lanjutnya.

Kurome menggenggam hadiah yang menggantung di lehernya dengan pandangan yang tidak pernah meninggalkan wajah Tatsumi. "Tatsumi, ..." gumam Kurome dengan mata yang bergetar. Tatsumi memberikan senyuman terakhirnya sebelum memutar tubuhnya menuju lorong tujuannya. "Kalau begitu kuserahkan Akame-chan padamu. Selamatkan Onee-chan-mu itu apapun yang terjadi. Sisanya serahkan saja padaku. Aku duluan, Kurome-chan." setelah mengatakan itu, Tatsumi langsung berlari meninggalkan Kurome.

"Tatsumi! Pulanglah dengan selamat! Aku tidak akan memaafkanmu jika kau terbunuh di tempat ini, kau mengerti?!"

Dari kejauhan, Tatsumi dapat mendengar teriakan Kurome yang menggema di sepanjang lorong. Tatsumi tidak dapat menahan dirinya untuk terkekeh. Kurome yang terkenal sangat dingin pada seluruh anggota divisinya, kecuali kakaknya, dapat berteriak seperti itu. Tanpa mengurangi kecepatannya, Tatsumi terus maju, dengan keinginan memenuhi sebuah janji yang di pegangnya pada Kurome untuk pulang dengan selamat, lagipula dia memang tidak ingin mati di tempat ini.


.

.

.

.

.


Tatsumi berada di sebuah ruangan yang sangat luas. Terdapat beberapa layar raksasa yang menempel di dinding. Puluhan komputer yang menyala. Serta tidak kurang, puluhan mayat yang berlumuran darah di lantai dengan tubuh berlubang-lubang.

Tatsumi saat ini sedang berdiri dan di depan komputer yang berada di depan layar yang paling besar. Menghela nafas lega lalu jatuh terduduk. "Ha~ah, ini sangat melelahkan. Beberapa misi level A sama sekali bukan apa-apanya untuk yang satu ini." gumam Tatsumi sambil menggenggam bahunya yang meneteskan darah. "Mungkin aku akan di paksa ke unit kesehatan lagi setelah ini." keluh Tatsumi.

Hening beberapa detik hingga Tatsumi ingat dengan sesuatu. Mengambil sebuah ponsel dari saku celananya dan menekan tombol panggil kemudian menempelkan benda itu ketelinganya. Beberapa saat kemudian terdengar nada yang menandakan telah tersambung. "Najenda-san, rudal nuklirnya sudah di amankan. Mohon kirim bantuannya segera." ucap Tatsumi lalu menutup telponnya.

"Aku tidak boleh berdiam diri saja." ucap Tatsumi pada dirinya sendiri lalu merobek kain bajunya dan mengingkatnya pada luka di bahunya. Tatsumi mengisi ulang kedua pistolnya lalu berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan itu. Dia masih punya janji pada Akame. Janji kalau dia akan menjaga Kurome dari menggunakan 'kekuatan'nya yang terlarang. Jika dia hanya berdiam diri, tidak ada jaminan kalau Kurome tidak akan menggunakan 'kekuatan'nya untuk menyelamatkan kakaknya. Dia harus cepat mencegah Kurome sebelum terlambat. Perasaan Tatsumi tidak enak. Dia hanya bisa berharap tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada kakak beradik itu.


.

.

.

.

.


Entah bagaimana cara, setelah melewati belasan baku tembak di lorong panjang yang membingungkan itu, Tatsumi berdiri di puncak kastil yang merupakan markas para teroris.

'DABUUM!'

Ledakan terjadi di bawah sana membuat Tatsumi penasaran. Dia punya perasaan buruk mengenai hal ini. Mengeluarkan teropong kecil dari sakunya, Tatsumi berdiri di ujung atap sambil mengamati sesuatu yang terjadi di bawah sana.

Mata Tatsumi membulat saat melihat Kurome yang tersandar di dinding batu dengan luka di sekujur tubuhnya. Mengarahkan teropongnya sesuai arah tatapan Kurome, dia kembali di kejutkan dengan kemunculan sosok berambut hitam panjang yang keluar dari kabut debu. "A ... Akame-chan?" ucap Tatsumi tidak percaya.

Sosok berambut hitam di bawah sana mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arah dimana Tatsumi berada. Kembali dia merasa sesuatu yang buruk saat dia melihat mata merah sosok yang di kenalinya sebagai Akame. Dan benar saja, Akame mengangkat pistolnya tepat pada Tatsumi dan menembaknya detik itu juga.

'Crashh!'

Jika saja Tatsumi tidak menyingkirkan matanya dari teropong, mungkin matanya akan bernasib sama dengan teropongnya yang hancur tertembus timah panas yang di tembakkan dari pistol biasa dalam jarak yang tidak main-main. Tatsumi meneguk ludahnya dengan detak jantungnya yang meningkat karena shock. Tembakan Akame terlalu akurat bahkan dalam jarak sejauh ini.

Tatsumi berdiri dan berlari ke jalur yang sebelumnya dia gunakan untuk sampai di atas sana. "Tsk, sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Tatsumi seraya terus mempercepat langkah kakinya melewati lorong-lorong bercabang untuk menuju tempat dimana Kurome dan Akame berada. Tatsumi yakin dengan satu hal, dari tatapan di matanya tadi, sudah pasti ada yang tidak beres dengan Akame. Dan sekarang dia benar-benar khawatir dengan Kurome. Bertarung melawan kakaknya sendiri? Bahkan Tatsumi ragu bahwa Kurome akan mengangkat senjatanya pada Akame. Kalau sudah begitu situasinya mana mungkin dia akan menang? pikir Tatsumi tanpa menghentikan atau memperlambat larinya.


.

.

.

.

.


Setelah beberapa saat, akhirnya dia menemukan pintu menuju tempat pertarungan Kurome dan Akame. Tanpa ragu sedikitpun, Tatsumi langsung mendobrak pintu itu dan melihat halaman kastil berumput yang terdapat beberapa kawah kecil bekas ledakan.

'Dor!'

Tatsumi menolehkan kepalanya ke sumber suara dan menemukan Akame yang berdiri dengan pistol yang di todongkan pada adiknya yang berlutut sambil memegangi pahanya yang berdarah. "Onee-chan, hentikan! Ini aku, Kurome, adikmu! Sadarlah!" teriak Kurome mengangkat kepalanya dengan air mata yang berlinang di bola matanya. Akame menundukkan kepalanya tidak merespon, tapi tangannya yang memegang pistol bergetar. Beberapa detik berlalu, getaran di tangan Akame berhenti bersamaan dengan Akame yang mengangkat wajahnya menatap pada Kurome.

Tatsumi entah sejak kapan berdiri beberapa meter di belakang Akame dengan sebuah pistol yang di todongkan ke kepala berambut hitam di depannya. "Hentikan, Akame-chan. Kau sudah terlalu berlebihan melukai adikmu sendiri. Sadarlah apa yang sudah kau perbuat." ucap Tatsumi.

Akame menoleh pada Tatsumi dan mengubah target pistolnya pada Tatsumi. Saat itulah Tatsumi sadar apa yang sebenarnya terjadi pada Akame. Akame menodongkan pistol padanya, tapi kenapa dia menangis? "Akame-chan, kau ...?!"

'Dor!'

Tatsumi beserta Kurome terdiam saat Akame menarik pelatuk pistolnya, tapi direksi pistolnya di ubah ke permukaan tanah di bawahnya oleh tangannya yang lain di saat-saat terakhir. Kurome menghiraukan rasa sakit di kakinya dan mencoba berdiri. "Onee-chan?" gumamnya khawatir.

Tangan Akame bergetar saat dia mengangkat pistolnya dan menempelkan larasnya di samping kepalanya. Kurome tidak peduli lagi dengan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Dia memaksakan dirinya untuk berlari dan memeluk Akame dengan erat dari belakang. "Onee-chan, kumohon hentikan. Sudah cukup." ucap Kurome mengeratkan pelukannya pada tubuh bergetar Akame.

"Hee~, sepertinya dia masih bisa melawan setelah semua proses itu. Benar-benar anak yang keras kepala."

Tatsumi menolehkan kepalanya ke jendela lantai dua kastil. Disana terdapat seorang wanita cantik berambut biru panjang yang mengenakan seragam jenderal berwarna putih. Mengenali dengan pasti siapa wanita itu, Tatsumi mendecih kesal. "Esdeath, apa yang kau lakukan pada Akame-chan?!" tanya Tatsumi sambil mengacungkan pistolnya pada wanita itu.

Esdeath menyeringai kecil dan mendekatkan sebuah telpon ke mulutnya. "Lepaskan subjek eksperimen nomor 01 sampai 06." ucapnya pada alat komunikasi itu. Beberapa saat kemudian, sebuah gerbang besar yang berada di ujung halaman luas kastil ini terbuka perlahan-lahan. Perhatian Tatsumi dan Kurome terpusat pada sesuatu yang berada di balik gerbang besar itu. "Izinkan aku memperkenalkan pada kalian hasil penelitian kami!" ucap Esdeath lantang dan gerbang yang belum terbuka sepenuhnya itu hancur berkeping-keping. Makhluk-makhluk besar satu-satu persatu keluar dan membuat Kurome dan Tatsumi terdiam tak percaya sementara Esdeath menyeringai. "Eksperimen untuk membangkitkan Monster-monster legenda dari seluruh dunia : Minotaur, Basilisk, Centaur, Chimera, Ogre, Werewolves. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi sayangnya mereka belum dewasa dan masih lemah." jelas Esdeath bangga. 5 Minotaur, 7 Basilisk, 11 Werewolves, 2 Chimera, 8 Ogre, dan 4 Centaur. Pandangannya turun pada Akame yang masih terdiam dan mengeluarkan sebuah benda persegi dengan beberapa tombol di sana. "Dan juga boneka favoritku yang baru ; Akame-chan." ucapnya sambil menekan sebuah tombol disana.

"Aaarrghhh!" teriak Akame kesakitan dengan kepala yang mengadah dan tubuhnya yang menggelinjang kuat. Karena terkejut dengan sikap tiba-tiba kakaknya, pelukannya menjadi longgar. Akame melepaskan pelukan Kurome dengan cepat dan melemparkan tubuh kecil Kurome pada Tatsumi yang dapat dengan sigap di tangkap olehnya. "Kurome-chan, kau tidak apa-apa?" tanya Tatsumi khawatir. Kurome menggeleng pelan dan mengisyaratkan pada Tatsumi untuk melepaskannya.

Beberapa saat kemudian, monster-monster hasil eksperimen itu sudah berkumpul di belakang Akame. Akame berhenti menggelinjang dan meluruskan pandangannya kedepan dengan mata merah kosong dan wajah tanpa perasaan. "Onee-chan?" gumam Kurome. Akame langsung mengangkat pistolnya dan menembakkannya.

'Dor!'

Untung Tatsumi memiliki insting yang tajam dan mendorong Kurome kesamping lebih dulu. Tapi sayangnya, bukan hanya Akame yang menyerang, tapi hampir semua monster yang berada di belakangnya juga bergerak. Dan sayang untuk yang satu ini, meskipun memiliki insting yang tajam, tidak ada jaminan akan berhasil bertahan hidup dari serangan monster-monster besar itu.

"Knight Of Rebellion!"

'Dhuak!' 'Bugh!' 'Jrashh!'

Tatsumi kehilangan kata-kata saat suatu sosok kesatria raksasa muncul di depannya dan Kurome. Dengan menggunakan armor megah merah bergaya kerajaan dan ukiran-ukiran emas. Sebilah Grand Sword merah beserta tameng raksasa yang juga berwarna merah. Grand Swordnya berlumuran dengan darah dari tubuh Basilisk, Werewolves dan Centaur yang terpotong menjadi dua bagian di depannya.

"Kurome-chan, kenapa ...?" gumam Tatsumi terkejut. Kurome melangkah menjauh dari Tatsumi dan berdiri dengan tegap memandang lurus pada Akame. "Maaf, Tatsumi. Tapi tidak ada cara lain lagi. Karena itu, Tatsumi, kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan? Aku akan tetap disini dan menahan mereka semua." ucap Kurome. "Tapi, Kurome-chan, kekuatan ini ...?" Tatsumi tidak dapat meneruskan kalimat lebih jauh.

Kurome membuka genggaman tangan kanannya dan tanah terbelah mengeluarkan sebilah pedang merah tipis dengan kristal hitam di gagangnya. Saat Kurome menggenggam gagang pedang yang keluar dari tanah itu, kesatria raksasa di depannya langsung memasang sikap siaga. Begitu juga dengan semua monster yang masih hidup di sekelilingnya. "Tenanglah, Tatsumi, aku tidak akan kalah oleh kekuatan ini. Aku akan mengendalikannya. Karena itu, kumohon, ..." ucap Kurome seraya menoleh pada Tatsumi dengan bola mata kirinya yang berubah warna menjadi emas terang. " ... Kumohon, cepatlah." lanjutnya.

Tatsumi menggertakkan rahangnya karena keraguan, tapi pada akhirnya dia berbalik dan berlari menuju pintu masuk kastil. Akame mengarahkan pistolnya pada Tatsumi lalu menarik pelatuknya, tapi tidak terjadi apa-apa karena sudah kehabisan peluru. Akame langsung membuang senjatanya dan mengambil pisau yang berada di sarung pisau dipinggangnya, lalu berlari mengejar Tatsumi. Saat Akame bergerak, beberapa Werewolves dan seekor Basilisk mengikutinya dari belakang.

'Jrasshhh!' 'Trank!'

Rombongan monster yang mengikuti Akame disapu bersih dengan sekali tebasan oleh kesatria raksasa dan pergerakan Akame di hentikan oleh Kurome yang muncul dan tiba-tiba menebaskan pedangnya sehingga Akame harus berhenti berlari untuk menahan tebasan itu dengan pisaunya. "Aku akan menyelamatkanmu, Onee-chan." ucap Kurome dengan wajah seriusnya. Akame memandang Kurome balik dengan tatapan datarnya. "Musuh. Hancurkan." balasnya datar membuat Kurome kembali mengeraskan ekspresinya.


.

.

.

.

.


Entah berapa menit yang berlalu, Tatsumi berhasil mencapai kamar wanita berambut biru bernama Esdeath itu setelah membereskan beberapa penjaga. Pintu kamar itu terbuka lebar saat Tatsumi menendangnya dengan kuat. "Menyerahlah, Esdeath. Lepaskan Akame-chan dan biarkan keadilan mengadili semua dosamu." ucap Tatsumi sambil masuk dengan pistolnya yang di tudungkan pada Esdeath yang dengan santainya duduk di sisi jendela sambil memandang keluar dengan senyuman puas.

"Terima kasih atas permintaanmu yang sangat sopan. Tapi sayangnya, tujuanku sudah terpenuhi. Kepingan terakhir dari 3 Legenda Kesatria Tuhan telah berhasil aku kumpulkan. Ini adalah kemenangan sempurnaku." balas Esdeath seraya menoleh pada Tatsumi dengan seringaian di wajahnya.

"Kesatria Tuhan? Jangan-jangan ...!" rasa panik dan khawatir menyelimuti Tatsumi saat dia melepaskan kewaspadaannya dan berlari kesamping Esdeath untuk memandang keluar jendela. Esdeath sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan melakukan perlawanan atau mengambil keuntungan dari kelengahan lawannya, malahan dia seperti tidak peduli dengan keberadaan sang musuh.

Mata Tatsumi membulat melihat pemandangan di matanya. Kurome terbaring telentang dengan tubuh yang berlumuran darah di sana sini. Akame berdiri di sampingnya dengan pedang milik Kurome yang berpindah tangan padanya dan sebelah kakinya yang berada di atas perut Kurome. Akame perlahan mengangkat pedangnya agar tepat berada di atas dada Kurome. Kurome tidak berdaya, tapi bahkan dalam kondisinya, dia tersenyum tipis dengan lega.

"Akame-chan, hentikan! Sadarlah sekarang juga perempuan bodoh!" teriak Tatsumi melakukan sebisanya untuk menyadarkan Akame dan menyelamatkan Kurome. Tapi tepat setelah Tatsumi mengatakan itu, Esdeath menyeringai lebar dan Akame mengangkat pedangnya lalu menghunuskannya lurus pada targetnya.

'Jrashh!'

Tusukan yang menembus daging itu terdengar sangat jelas di telinga Tatsumi. Pikirannya menjadi kosong karena suara itu terdengar berulang-ulang di kepalanya. "Ku ... Kurome ... –chan?" ucap Tatsumi terbata-bata saat kakinya menyerah membuatnya jatuh berlutut dengan tatapan kosong.

Esdeath mengeluarkan sebuah alat telekomunikasi. "Bawa tubuh gadis itu. Ambil hati dan otaknya." perintahnya pada seseorang di seberang sana. Pandangannya tertuju pada alat yang mengendalikan Akame dan tersenyum. "Kerja bagus. Kau benar-benar senjata terkuatku, Akame-chan." bisiknya dan menekan sebuah tombol.

'Crash!'

Tanpa tahu apa sebabnya, alat itu tiba-tiba hancur berkeping-keping. "Apa?" gumam Esdeath shock, tapi lebih di kejutkan lagi saat dari tubuh Akame meledak sebuah aura hitam yang sangat besar. "Ada apa ini? Kenapa dia menjadi seperti ini?"

Segera setelah pertanyaan tanpa jawaban itu keluar dari mulut Esdeath, sebuah getaran kuat mengguncang tempat itu. Tatsumi sudah tidak bisa mengingatnya lagi saat kegelapan menyelimutinya.

Saat dia terbangun, dia menemukan dirinya berada di rumah sakit dengan berbagai peralatan medis disekitarnya. Dan sebuah kenyataan mengerikan dimana pulau markas teroris itu telah menjadi sebuah daratan kering tanpa kehidupan. Semuanya lenyap. Markas teroris, kehidupan di pulau itu, dan orang yang sangat dicintainya. Dan yang bertanggung jawab untuk semua itu adalah seseorang yang dulunya dia kira sebagai sahabat terbaiknya. Seseorang yang saat itu menghilang tanpa jejak seperti di telan bumi.

Tapi Tatsumi yakin, orang itu masih hidup. Dan saat dia menemukannya, Tatsumi berjanji akan mempertemukannya dengan neraka yang pantas untuk orang sepertinya.

[Flashback End]

'Tap!'

Tatsumi tersadar dari lamunan masa lalunya saat mendengar suara seseorang yang mendarat di depannya. Mengangkat pandangannya pada sosok yang sudah dia tunggu-tunggu kedatangannya dari tadi, Tatsumi tersenyum miring seraya mengangkat tangannya yang bebas. "Yo, lama tidak bertemu, Akame-chan." ucapnya sopan tapi datar.

Akame menghilangkan sayapnya dan berdiri tegak menghadap Tatsumi. Sebuah senyum yang di paksakan muncul di wajah Akame. "Yo, Tatsumi. Kelihatannya kau sehat-sehat saja." ucapnya ramah membalas salam Tatsumi. Tatsumi mengangkat bahunya. "Seperti yang kau lihat. Begitu juga denganmu, Akame-chan. Ngomong-ngomong, apa kau mengingat tempat ini?" balas Tatsumi seraya menoleh kesamping.

Akame mengikuti arah pandangan Tatsumi pada hamparan tanah gersang disekeliling mereke. "Aku berharap aku bisa melupakannya. Karena akulah yang membuat pulau indah ini menjadi hamparan daratan mati di tengah lautan. Tempat dimana semuanya dimulai bagiku." ucap Akame dengan tatapan menerawang. Puas dengan jawaban Akame, Tatsumi kembali memandang kedepan. "Baguslah kau ingat. Karena ditempat ini juga kau akan mengakhiri hidupmu." ucapnya dengan senyuman kecil.

Akame menegang dan Tatsumi melanjutkan. "Jadi ..." Tatsumi melompat dari batu tempat duduknya dan berdiri tegak dengan seringaian di wajahnya. "... kita lupakan basa-basi ini. Dan mari kita mulai tarian kematianmu." lanjutnya dengan Elemental Sword yang di todongkan pada Akame.

Senyuman Akame lenyap digantikan ekspresi sedih. "Apa kita tidak bisa mengakhiri ini semua tanpa pertumpahan darah, Tatsumi?" tanya Akame. Senyum sinis terbentuk di wajah Tatsumi. "Jangan bercanda, Akame-chan. Kau masih berharap dapat menyelesaikan masalah dengan cara lemah seperti itu. Kau memulai semua ini dengan pertumpahan darah, jadi sudah sewajarnya aku mengakhiri ini dengan hal yang sama. Berhenti bicara dan angkat pedangmu." ucap Tatsumi.

Akame menundukkan kepalanya dengan poni yang menutupi wajahnya. "Semua ini memang salahku." ucapnya entah pada siapa. Dia mengambil sesuatu dari sakunya lalu melemparkannya pada Tatsumi.

Tatsumi menurunkan pedangnya dan menangkap benda yang di lemparkan Akame padanya dengan sebelah tangan. Tatsumi tiba-tiba saja terdiam melihat benda apa yang di telapak tangannya. Sebuah kalung dengan pendant bunga hitam. Hadiah ulang tahun Kurome yang terakhir kali dari Tatsumi. Tapi saat melihat benda itu, yang dapat di ingatnya hanyalah saat-saat kematian orang yang dicintainya. "Kurome-chan, ..." gumam Tatsumi pelan sambil menggenggam kalung itu dengan kuat.

"Satu tahun tidak pernah kulalui tanpa adanya rasa penyesalan. Dan penyesalanku bukan hanya karena aku membunuh Kurome, tapi juga karena fakta kalau kalau aku meninggalkanmu. Disaat-saat terakhirnya, Kurome memintaku untuk menyelamatkanmu jika suatu saat kau membutuhkannya. Dan aku dengan bodohnya lari dari tugas yang diberikan Kurome sehingga semuanya menjadi seperti sekarang ini. Yang bisa aku lakukan hanyalah menangisi semua kebodohanku di masa lalu. Tapi ..." jelas Akame dan memunculkan Dark Sword Element di tangan kanannya. "Beberapa malam yang lalu, Kurome muncul di sampingku. Mengatakan bahwa yang terjadi bukanlah salahku, Menyuruhku untuk berhenti menangis karena hal itu. Mengatakan kalau dia telah memaafkanku. Jujur, aku sangat bahagia kalau dia telah memaafkanku. Tapi lagi, ..." potong Akame sambil mengangkat kepalanya dan memasang kuda-kuda bertarungnya. "... aku sadar, mataku mungkin bisa untuk tidak menitikkan air mata, tapi hatiku tidak akan pernah berhenti menangis jika aku belum mengabulkan permintaan terakhirnya untuk menyelamatkanmu." tegas Akame lantang dengan mata merah darahnya yang berkilat tajam.

"Menyelamatkanku? Sudah kubilang jangan bercanda." ucap Tatsumi dengan ekspresi yang mengeras seraya memasang kalung itu Kurome di lehernya. Tubuhnya diselimuti oleh aura kegelapan pekat. Tatsumi mengangkat pedang sekali lagi dengan tatapan murka pada Akame. "Akulah yang akan membalaskan dendam Kurome dengan membunuhmu!" teriaknya dan melesat lurus pada Akame.

Akame membungkukkan tubuhnya sedikit dan menggumamkan sebuah kalimat. "Elemental Berserker : Dark" setelah mengatakan itu, tubuhnya diselimuti oleh aura hitam pekat dan saat aura itu menghilang terlihatlah Akame dengan penampilan yang sudah memasuki mode pertarungan. Menggenggam pedangnya dengan erat, Akame memperhatikan Tatsumi yang mendekat padanya dengan kecepatan luar biasa.

Saat mereka berdua sudah memasuki jarak serang masing-masing, Tatsumi membuat gerakan pertama untuk menebas Akame dari samping. Akame melebarkan kakinya dan memposisikan pedangnya untuk menangkis serangan Tatsumi. Di detik-detik terakhir sebelum konfrontasi, Pedang Tatsumi diselimuti oleh pendar aura kegelapan yang membuat Akame tertegun.

'TRANK!'

Dengan dentuman pedang keras itu, Akame dibuat meluncur kesamping karena tidak kuat menangkis tebasan itu. Akame melakukan salto di udara dan mendarat dengan badan setengah membungkuk hanya untuk menemukan Tatsumi yang sudah berada di depannya dengan pedang yang diselimuti oleh aura hitam yang lebih besar dari sebelumnya. "Matilah!"

"Dark Bind" Akame dengan cepat menancapkan ke tanah dan tiba-tiba tangan-tangan hitam keluar dari tanah dan menangkap kaki dan tangan Tatsumi sehingga tebasan itu seketika terhenti di samping telinga Akame dengan hentakan angin yang kuat. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Akame melepaskan pegangannya dari pedang dan mengepalkan tangan kanannya. Aura hitam berpendar di tinju Akame sehingga terlihat seperti sebuah sarung tangan. Tanpa menunggu jeda, Akame meluncurkan tinjunya pada wajah Tatsumi.

Telak mengenai wajahnya, Tatsumi langsung meluncur setelah ikatan tangan-tangan hitam ditangan dan kakinya menghilang. Akame mencabut pedangnya dan memasang kuda-kuda bertarung dengan pedangnya yang mengeluarkan pendar aura gelap seperti Tatsumi. Saat Tatsumi telah berhasil mengendalikan dirinya dan berdiri setengah membungkuk sambil mengusap darah yang mengalir dari hidung yang bertemu dengan tinju Akame, Akame melompat keudara dan menukik pada Tatsumi yang masih belum sepenuhnya sadar dan melakukan tebasan diagonal.

"Dark Wall" gumam Tatsumi dan sebuah dinding tebal muncul di antara Akame dan Tatsumi. Tanpa menghentikan tebasannya, Akame memotong dinding itu dengan sekali tebas. Tapi, mata Akame membulat saat melihat dibaliknya tidak ada apapun.

"Kau tidak boleh lengah, Akame-chan."

Akame segera membalik badannya dan mengayunkan pedangnya pada Tatsumi yang entah bagaimana sudah bersiap menebasnya dari belakang.

'TRANK!'

Walaupun terdesak, Akame berhasil menangkis serangannya dan beradu pedang di udara dengan Tatsumi. Seringaian puas muncul di bibir Tatsumi membuat Akame mendecih kesal. Akame mendorong pedang Tatsumi lalu terbang menjauh. Tatsumi tentu saja mengejarnya dan terjadilah pertarungan kejar-kejar di udara.

Akame melirik kebelakang untuk memastikan Tatsumi masih mengikutinya atau tidak. "Kalau aku jadi kau, aku tidak akan buang-buang waktu untuk menoleh pada musuhku." ucap Tatsumi dan menambahkan kecepatannya sehingga dia dalam sekejap berada di atas Akame.

Akame tidak sempat bereaksi apa-apa saat Tatsumi memutar tubuhnya dan mengirimkan tendangan yang dilapisi aura kegelapan ke punggung Akame. Akame melesat jatuh kedaratan dan menabrak permukaan dengan keras hingga menciptkan kawah kecil.

Akame bangun dan memandang kelangit dan menemukan Tatsumi yang memegang pedangnya dengan dua tangan di atas kepalanya. Sebuah seringaian meremehkan terbentuk di bibir Tatsumi saat melihat ekspresi wajah Akame. Akame mengeraskan ekspresinya dan memasang kuda-kuda dengan Elemental Sword yang dipegang di depan tubuhnya. Sebuah ledakan aura hitam berpendar disekitar tubuh Akame.

Tatsumi mengayunkan pedangnya secara vertikal dan Akame mengayunkan secara horizontal. "Hyaaaaaa!" teriak mereka bersamaan saat sebuah gelombang hitam raksasa muncul dari jalur tebasan mereka.

Gelombang gelap itu bertemu di udara diantara Tatsumi dan Akame. Tapi bukannya meledak, kedua gelombang hitam itu menyatu menjadi sebuah bola raksasa dan melahap Tatsumi dan Akame serta segala hal disekitarnya dalam sebuah kubah hitam.


.

.

.

.

.


Kamito mendarat di taman yang di penuhi dengan bunga berbagai warna dan jenis sejauh bunga memandang. Matahari bersinar dengan terang, kupu-kupu berterbangan untuk memanen nektar dari bunga, kuncup bunga perlahan terbuka menampakkan wujud aslinya. Hewan-hewan kecil seperti kelinci berlarian kesana kemari bermain kejar-kejaran satu sama lain. Kamito tidak bisa menahan senyumannya. Panorama indah di depannya merupakan sebuah perwujudan nyata dari sebuah impian kekanak-kanakan seorang yang polos akan kehidupan dunia. Sebuah impian yang dulu sangat ingin dia wujudkan untuk orang lain yang berharga baginya.

Matanya menoleh kesekelilingnya untuk menemukan sosok yang memanggilnya kesini. Pandangan terhenti pada sosok bergaun putih yang sedang berbaring dengan mata yang terpejam di hamparan bunga dan di kelilingi oleh para kelinci. "Ellis,..." gumam Kamito.

"Akhirnya kau datang juga, Kamito. Aku sudah menunggumu." Gadis berambut biru itu membuka mata merah, tapi tidak bergerak sedikitpun dari posisinya. Kamito menjadi murung. "Maaf, beberapa hal terjadi dan, yah, aku membuatmu menunggu." ucap Kamito dengan senyum lemah.

"Aku tidak terlalu peduli dengan alasannya. Karena yang penting kau datang." balas Ellis sambil menutup matanya seraya bangun dari posisi tidurannya dan berjongkok membelakangi Kamito menghadap menghadap pada setangkai mawar hitam. "Kamito, ada yang ingin aku tanyakan. Setelah kau kabur dari panti asuhan. Apa yang kau lakukan, Kamito?" tanya Ellis pelan dan mengulurkan tangan kanannya untuk memetik mawar itu.

Kamito menegang karena pertanyaan Ellis. Hari dia meninggalkan panti asuhan berarti hari dimana dia membiarkan Restia lenyap. Dan jelas sekali bagi Kamito, bahwa pertanyaan Ellis sebenarnya adalah 'Apa yang kau lakukan setelah melenyapkan Restia?'

Kamito mengeratkan kepalan tangannya. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berkelana tanpa tujuan. Berharap aku dapat melupakan segalanya tentang kehidupanku dan memulai sesuatu yang baru. Dan yah, yang aku lakukan hanyalah kabur dari kenyataan." ucap Kamito.

Ellis memetik bunga itu dan memerhatikannya dengan seksama. "Tapi kau memang memulai sesuatu yang baru. Dalam perjalananmu, kau menyelamatkan seorang gadis dan mengetahui kalau dia juga adalah seorang pemegang Dragon Element yang memiliki masa lalu yang mirip. Kalian hidup bersama dengan bahagia dan melupakan masa lalu kalian." jelas Ellis dan menekan jari-jarinya pada tangkai berduri mawar hitam itu. Kamito tidak dapat membuka mulutnya untuk membalas perkataan Ellis. Yang bisa dia lakukan hanya menahan dirinya dalam rasa bersalahnya.

"Beberapa hari setelah kau pergi, sebuah keluarga kaya mengadopsiku. Mereka memanjakanku dan memenuhi semua permintaanku. Aku tersenyum pada mereka dan bersikap ceria, tapi semua itu hanyalah kebohongan. Suatu hari, aku teringat dengan janji yang kita bertiga buat di taman belakang panti asuhan. Bahwa suatu hari kita akan membuat taman bunga sejauh mata memandang dan berlarian disana sepanjang hari dengan bahagia. Jadi aku meminta keluargaku untuk memberikankanku sebuah taman bunga yang sangat luas sebagai hadiah ulang tahunku, dan mereka tanpa berpikir apapun, mereka langsung memenuhi permintaanku. Tapi, saat itu, aku hanya berdiri seorang diri di hamparan bunga yang menjadi impian kita. Restia-nee-sama menghilang, begitu juga dengan dirimu yang meninggalkanku sendirian menghadapi penderitaan rasanya kehilangan seseorang. Kau benar-benar jahat, Kamito." ungkap Ellis panjang lebar.

Kamito tidak dapat bergerak dari tempatnya. Bibirnya menolak terbuka untuk mengeluarkan kalimat penyangkalan. Semua yang yang dikatakan Ellis, semuanya adalah kebenaran. Dalam pengelanaannya seorang diri untuk kabur dari masa lalunya, dia pernah melihat Ellis di televisi sebagai anak seorang pemilik perusahaan ternama. Di depan kamera Ellis tersenyum, tapi Kamito yang tumbuh bersamanya dapat dengan cepat mengatakan kalau senyuman itu adalah palsu. Berita tentang keluarga Ellis yang membeli sebuah pulau yang memiliki taman bunga lebih dari setengah pulaunya juga pernah didengarnya. Dan juga tentang dirinya yang meninggalkan Ellis. Semua itu memang benar dan dia tidak punya hak untuk menyangkal.

"Awalnya aku tidak pernah membencimu setelah Restia-nee-sama menghilang. Aku hanya merasa kesepian dan berharap kau ada disampingku untuk menyemangatiku. Bahkan setelah kau pergi, aku terus berharap suatu hari kau akan kembali. Aku berharap dan terus berharap, tapi harapan tidak pernah mau menjawabku permohonanku." ucapnya dan menggenggam tangkai penuh duri itu dengan tiba-tiba. Darah mengalir dari sela-sela jarinya dan jatuh di kelopak bunga tulip putih di bawahnya. Membuat kelopak polos itu memerah dan perlahan-lahan layu. "Karena itulah aku menyerah pada hal palsu bernama harapan. Dan setelah itu Lexsos datang padaku. Menjelaskan kebenaran dari hilangnya Restia-nee-sama, dan menawarkan hal yang paling aku inginkan dari dunia palsu ini. Sebuah kebahagian yang hanya bisa aku dapatkan bersama dengan Restia-nee-sama dan juga dirimu yang dulu." lanjut Ellis dan melepaskan genggamannya sehingga mawar hitam dengan tangkai berdarah itu terjatuh kembali kehamparan bunga.

Ellis berdiri dan membalikkan badannya menghadap Kamito, sementara tangannya masih saja mengalirkan darah segar. Kamito terdiam melihat pandangan pada bola mata merah Ellis yang telah kehilangan cahayanya. Hanya dengan bertatap mata seperti itu, Kamito dapat mengerti, sebagaimana putus asanya Ellis dengan harapan hingga menjadi seperti ini. Ellis pasti sangat menderita. pikir Kamito.

Ellis mengulurkan tangannya yang berlumuran darah kedepan, pada Kamito yang berjarak beberapa meter darinya. "Tidak perlu ada pertarungan diantara kita Kamito. Bergabunglah denganku dan kau, aku serta Restia-nee-sama bisa kembali bersama lagi." ucap Ellis sambil tersenyum lemah. Kamito terdiam saat nama Restia disebutkan. "Apa maksudmu dengan 'kembali bersama'?" tanya Kamito.

Sudut bibir Ellis terangkat. "Kau paham maksudku, Kamito. Jadi ayo, bergabunglah denganku." ucap Ellis dengan tangan yang masih menunggu Kamito untuk mendekatinya. Kamito tanpa sadar melangkah mendekati Ellis dengan tangan kanannya yang perlahan terangkat berusaha meraih tangan Ellis.

"Aku sangat yakin, mereka pasti akan membuat kita merasa ragu, tapi apapun yang terjadi, jangan pernah putus asa."

"Berjanjilah padaku, bahwa apapun yang terjadi, kita akan berkumpul kembali dalam keadaan selamat."

"Setelah ini semua selesai, aku akan datang padamu untuk menanyakan jawabannya. Sampai saat itu tiba, bertahanlah, Kamito-kun."

Saat tangan Kamito sedikit lagi dapat menyentuh tangan Ellis, perkataan teman-temannya terputar di kepalanya membuat gerakan Kamito terhenti. Dia telah mengikat janji dengan teman-teman sekarang, dia tidak dapat mengingkarinya begitu saja. Dia telah mengingkari janjinya dengan Ellis, dan dia tidak akan membuat kesalahan yang sama dengan teman yang dia miliki sekarang. Kamito menarik kembali tangannya dan memandang lurus pada Ellis dan di balas dengan tatapan bingung.

"Ellis, aku sangat ingin bertemu dengan Nee-chan lagi dan berkumpul seperti dulu. Tapi mengorbankan seluruh dunia untuk tujuan seperti itu, aku tidak bisa memaafkannya. Maaf Ellis, tapi kali ini aku berdiri di pihak yang berlawanan denganmu." jelas Kamito dengan nada serius. Ellis tidak terkejut, malahan dia terlihat seperti telah menebak hal ini akan terjadi. Ellis tertekekeh kecil dan menarik kembali tangannya untuk menutupi mulutnya. "Kau tidak pernah berubah, Kamito." ucapnya dan mengelap air mata yang menggenang di sudut matanya karena tertawa tadi.

Ellis mengangkat pandangannya pada mata Kamito dan tersenyum. "Sebenarnya aku tidak mau ada pertarungan diantara kita, tapi seperti yang kau bilang, kita berada di pihak yang berlawanan." ucap Ellis. Light Sword Element muncul tiba-tiba di genggaman tangannya yang di posisikan disamping tubuh. Gaun putih yang membalut tubuhnya bercahaya terang dan bertransformasi menjadi seragam sekolah serba putih. (AN : seragam di Seirei Tsukai no Blade Dance)

"Aku sudah siap, Kamito. Jadi, angkatlah pedangmu." ucap Ellis. Kamito menuruti perintahnya dan memunculkan Elemental Swordnya. Tangannya bergetar dan mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu. "Ellis, ada hal yang harus aku beritahukan padamu, sebenarnya—"

'Sring'

Sebelum Kamito sempat menyelesaikan kalimatnya, ujung pedang Ellis sudah terhunus di depan lehernya. "Hentikan. Jangan katakan kalimat itu." ucap Ellis penuh penekanan disetiap katanya. Matanya tertutup oleh poninya karena dia menunduk. Kamito menurunkan pandangannya dan melihat bahu Ellis yang bergetar. "Ellis?" gumam Kamito khawatir.

Ellis menggenggam bahunya dengan tangannya yang satunya untuk menekan getarannya. "Kamito, aku punya permintaan." ucap Ellis saat getarannya berhenti dan dia mengangkat kepalanya lagi untuk menatap Kamito. "Aku sangat ingin Restia-nee-sama kembali. Karena itulah aku bertarung. Tapi kumohon, jangan ragu melawanku. Memang hatiku telah mati, tapi aku tetap tidak akan bisa memaafkan diriku jika mengambil keuntungan dari kelemahan hatimu. Lawan aku dengan serius dan aku juga akan melawanmu dengan segenap kekuatanku." ungkap Ellis dengan nada serius.

Kamito terdiam ditempatnya. Ellis telah menjadi wadah dari Phantom Lexsos, tapi kenapa? Kenapa dia tidak berubah? Atau jangan-jangan semua itu hanyalah akting?

"Ini bukan tipuan murahan seperti itu. Aku memang tidak berubah banyak, Kamito. Yang berubah dariku hanyalah rasa kebencian padamu dan kepedulianku pada dunia ini. Meskipun aku sekarang adalah wadah Phantom, aku tetaplah Ellis, orang yang menjadi temanmu dulu. Jadi, kumohon, kabulkan permintaanku sebagai seorang teman dan bertarunglah sebagai seorang musuh. Kumohon, Kamito." ucap Ellis memohon.

Kamito tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sebagai seorang teman, dia akan mengabulkan permintaan Ellis. "Elemental Berserker : Light" gumam Kamito dan seluruh penampilan berubah kedalam mode tempur. Dan Kamito akan bertarung tanpa ragu sebagai musuh Ellis. "Aku siap, Ellis."

Sudut bibir Ellis terangkat, tapi bukan untuk tersenyum melainkan menyeringai. "Begini lebih baik." ucap Ellis dan menurunkan pedangnya lalu berbalik dan melangkah untuk mengambil jarak. Kamito dengan mata putih saljunya terus memperhatikan punggung Ellis yang semakin menjauh.

"Kamito, sekarang ini aku sangat membencimu." ucapnya lalu berbalik menghadap Kamito. "Kau adalah alasan Restia-nee-sama menghilang. Dosa yang kau perbuat tidak dapat kumaafkan." lanjutnya dan memasang kuda-kuda bertarung dengan pedang satu tangan. "Aku sangat ingin membunuhmu. Tapi sayangnya kami membutuhkan Lexsos yang berada di dalam dirimu untuk rencana kami. Tapi tenang saja, setelah rencana kami terpenuhi, akan kuberi kau satu kesempatan untuk merubah pikiran—"

"Aku menolak." potong Kamito tegas membuat Ellis terdiam. Ellis terkekeh dan senyum sinis mengembang dibibirnya. "Jadi begitu. Berarti kau lebih memilih mati daripada bergabung dengan kami. Baiklah akan kukabulkan." ucap Ellis.

"Yang itu juga akan kutolak." tegas Kamito dan merenggangkan kakinya. "Aku telah berjanji akan kembali pada mereka. Dan aku juga telah bersumpah pada diriku sendiri." Kamito membungkukkan sedikit badannya dan mengangkat pedangnya dengan satu tangan di samping kanan tubuhnya. "Ellis, Aku akan menyelamatkanmu apapun yang terjadi. Karena aku, sejak dulu, ..." jeda Kamito sambil memejamkan matanya.

Ekspresi Ellis mengeras sejak Kamito mulai bicara tadi. "Diam kau! Aku akan membunuhmu jika kau melanjutkannya!" teriak Ellis marah sambil pegangannya pada gagang pedangnya mengerat. Mata merahnya berkilat tajam pada Kamito yang diam tidak bergerak.

Kamito membuka mata putih saljunya dengan ekspresi serius. "... Aku selalu mencintaimu, Ellis." ucap lanjut Kamito serius. "DIAM KAU!" teriak Ellis murka bersamaan dengan tubuhnya yang meledakkan aura kuat. Ellis langsung melesat kedepan dengan kecepatan luar biasa dengan Elemental Sword yang di selimuti oleh aura putihnya. Ellis mengayunkan pedangnya secara diagonal ke kepala Kamito.

'TRANK!'

Kamito dapat menahan tebasan itu dengan pedangnya yang di posisikan berlawanan dengan tebasan Ellis. Tapi serangan Ellis benar-benar tidak main-main. Jika saja Kamito tidak bersiap tadi, kemungkinan paling kecil adalah dia akan terlempar jauh. Bahkan kelopak bunga-bunga yang berada dalam radius 10 meter darinya tersapu hingga berterbangan.

"Beraninya kau mengucapkan kata itu! Sudah kubilang! Bertarunglah tanpa ragu melawanku! Jangan libatkan perasaan palsu tidak berguna itu!" teriak Ellis dan puluhan bola cahaya muncul mengambang di belakang tubuhnya dan bergetar kecil. Kamito yang mengetahui apa yang akan terjadi segera melakukan salto kebelakang dan berlari dengan kecepatan sonic. Bola-bola cahaya di sekitar Ellis melesat dengan kecepatan cahaya sebagai peluru menargetkan Kamito.

'Syuut!' 'Syuut!' 'Syuut!'

Kamito terus menghindari semua tembakan yang dia bisa sambil sesekali menebas peluru yang tidak bisa dia hindari.

"Berhenti berlari dan lawan aku!"

Kamito meluruskan pandangannya dan melihat wave cahaya horizontal yang melesat padanya. Bilah Light Sword Element Kamito memancarkan pendar aura putih. Kamito mengerem mendadak dan langsung melakukan tebasan secara vertikal memotong wave cahaya itu. Tidak berhenti disitu, dari tebasan Kamito tercipta wave cahaya yang lebih besar dari wave yang mendatanginya. Ellis yang tepat berada di depan lintasan wave itu sempat terkejut dan segera melompat menghindari gelombang cahaya itu. Ellis memandang lurus kedepan dan melihat Kamito yang berdiri dengan kuda-kuda bertarung.

"Tenang saja, aku tidak lari darimu. Aku sudah berjanji padamu akan bertarung tanpa ragu, tapi Ellis, aku tetap akan menyelamatkan. Dan aku tidak peduli jika kau tidak mau mendengarnya, tapi akan terus kukatakan sampai kau mempercayainya, bahwa aku selalu mencintaimu, Ellis!" tegas Kamito lalu berlari menuju Ellis.

Ellis memandang benci pada Kamito yang semakin dekat padanya. "URUSAIIII!" teriaknya dan tubuhnya meledakkan aura putih yang membentuk pilar cahaya ke langit dan terus meluas. Kamito tanpa ragu melesat masuk kedalam cahaya putih itu.

Taman bunga yang luas dan indah itu, sedikit demi sedikit hancur menjadi taman mati saat kedua terus melanjutkan pertarungan mereka.


.

.

.

.

.


Di sebuah daratan yang diselimuti oleh salju dan es sejauh mata memadang, seorang perempuan berdiri kaku dengan pandangan menerawang pada langit yang menurunkan kepingan-kepingan salju. Dengan penampilan yang terbilang sangat kontras untuk cuaca dengan suhu sangat dingin, sebuah hotpants berwarna putih dan badan yang balut oleh jaket berlengan pendek berwarna biru muda dan kaki yang di lindungi oleh sepatu boot putih. Rambut blonde Ponytailnya berkibar tertiup oleh angin kuat.

Wajahnya yang putih pucat menampakkan sebuah senyum senang saat dia merasakan sebuah hawa keberadaan dibelakangnya. Dia dengan cepat membalikkan badannya dan berlari menuju sosok baru itu.

'Hug'

"Hinata-chan, kau lama sekali! Aku kesepian tahu." ucap Ino ngambek setelah memeluk Hinata dengan erat dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua gunung Hinata yang di tutupi oleh jaket biru muda seperti Ino. Hinata sedikit terkejut dengan sikap tiba-tiba Ino, tapi dia tidak dapat menahan dirinya untuk tersenyum kecil dan mengelus lembut rambut Ino. "Maaf membuatmu menunggu. Kau mau kan, memaafkanku, Ino-chan?" tanya Hinata sambil tetap mengelus rambut Ino.

Ino terkekeh dan dengan kepala yang masih di antara dada Hinata, dia mengangkat pandangannya dan tersenyum. "Tidak mau~. Tidak, sampai kau mengambulkan permintaanku. Bagaimana Hinata-chan?" balas Ino penuh harap. Hinata terkejut dan bingung harus berkata seperti apa untuk membalasnya.

"Hinata-chan, ayo cepatlah atau aku tidak akan mau memaafkanmu lagi." desak Ino kesal dengan pipi yang di gembungkan. "Heh?! T-Tapi Ino-chan, ... Hmmm, baiklah. Apa syaratnya?" tanya Hinata pasrah.

Ino melepaskan pelukannya dan mendekatkan wajahnya pada Hinata. "Aku ingin Hinata-chan." ucap Ino serius sambil memandang lurus pada bola mata amethyst Hinata. Hinata mengambil langkah mundur karena tindakan dan permintaan tiba-tiba Ino. Tapi gadis blonde itu tidak membiarkannya menjauh dan menangkup sisi wajah Hinata dengan kedua telapak tangannya dan menyentuhkan dahi mereka sehingga mereka menatap dari mata ke mata. "Aku serius Hinata-chan. Aku ingin bersamamu selamanya." ungkap Ino dan melenyapkan jarak di antara bibir mereka.

'Chu~'

Mata Hinata membulat dan bergetar tidak percaya dengan tindakan Ino. Hinata memegang kedua bahu Ino dan mendorongnya dengan kuat. Ino terjatuh di permukaan bersalju dengan ekspresi terkejut. "Sadarlah, Ino-chan! Ini bukan dirimu yang sebenarnya, ini bukan Ino-chan yang kukenal! Kau bukan Ino-chan yang kucintai!" teriak Hinata.

Ino menundukkan kepalanya dan ekspresi wajahnya menggelap. Hinata segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat dia sadar telah mengatakan sesuatu yang dapat memperburuk keadaan.

Ino mencengkram gumpalan salju di bawah tangannya dengan kencang, bahkan sampai membuat permukaan putih itu menjadi sedikit merah berkat genggamannya yang terlalu kuat sehingga melukai tangannya sendiri. "Pembohong." ucap Ino datar. Badai salju bertiup semakin kencang setiap detik berlalu di sekitar mereka. "Kau benar-benar seorang pembohong, Hinata-chan!" ucap Ino lagi, kali ini dengan penekanan pada kata terakhirnya.

"Bukan begitu maksudku!" teriak Hinata agar dapat didengar Ino di tengah badai salju ini. "Lalu apa?! Kau bilang kau mencintaiku, tapi kenapa kau tidak pernah menerimaku!" bersamaan dengan teriakan itu, sebuah angin kencang bertiup menuju Hinata hingga membuatnya terlempar beberapa meter dan terbaring di atas salju.

Hinata berdiri dari jatuhnya lalu menghadap Ino yang telah berdiri juga dengan kepala yang masih di tundukkan. "Benar, aku mencintaimu, Ino-chan. Kau sahabat pertamaku yang sebenarnya dari SMP. Saat yang lainnya berteman dengan hanya karena nama keluargaku, kaulah yang pertama kalinya berteman denganku dan memperlakukanku sebagai diriku yang sebenarnya. Tentu saja aku mencintaimu. Aku mencintaimu sebagai sahabatku." jelas Hinata panjang lebar.

Memang seperti itulah kenyataannya. Saat dia masuk SMP, Naruto harus pindah karena proyek keluarganya di luar kota. Dulu Hinata tidak banyak bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya waktu itu, jadi saat dia masuk SMP, tidak ada seorangpun yang dia kenal disana. Teman-teman sekelasnya banyak yang mencoba berteman dengannya, tapi Hinata dapat dengan pasti mengatakan kalau yang mereka inginkan bukanlah sekedar pertemanan.

Perempuan ingin berteman dengannya hanya karena status keluarganya, mereka berkata manis saat di depannya, tapi berbanding terbalik saat dibelakangnya. Laki-laki ingin berteman dengannya hanya karena kepopulerannya sebagai gadis terkaya dan tercantik diseluruh sekolah. Bahkan beberapa dari mereka berusaha merayunya untuk berpacaran dan tidur dengannya hanya untuk meningkatkan status kepopuleran mereka sendiri. Hinata muak dengan kehidupan SMP. Semua orang disana mengenakan topeng untuk menutupi kebusukan mereka. Bahkan hampir semua guru disana. Karena itu Hinata memutuskan untuk menutup dirinya dari semua orang di sekolah.

Hingga suatu hari, seorang gadis dari kelas sebelah yang benar-benar tidak mengenal siapa diri Hinata pada awalnya datang dan semuanya berubah dengan cepat. Mereka berteman tanpa saling tahu identitas masing-masing selama beberapa hari. Hari-hari yang mereka lalui dipenuhi dengan kesenangan dan tawa. Sama sekali tidak ada topeng di wajah manis gadis yang dia ketahui bernama Yamanaka Ino itu. Keluarganya adalah pengusaha toko bunga kecil, dan mereka hidup dengan berkecukupan. Dia kadang-kadang bersikap agak tomboy dan mudah kesal hingga ngambek tapi sebenarnya dia orangnya ceria, peduli, dan sangat ramah. Itu adalah pertama kalinya dia mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa disebut sahabat.

Selama dua tahun mereka lalui bersama, tapi itu perlahan-lahan berubah saat Naruto pulang di tahun ketiga SMP. Waktu kebersamaan Ino dan Hinata mulai terbagi karena Naruto. Selama itu Ino selalu berusaha menempel pada Hinata dan Hinata sangat sadar dengan alasan Ino bersikap demikian, tapi dia tidak ingin mengatakan apa-apa dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Tepat setelah upacara kelulusan, Ino menyatakan perasaannya pada Hinata.

Semua berakhir dengan buruk. Hinata lari meninggalkan Ino tanpa memberikan jawaban pasti. Dan setelahnya dia tidak lagi mendengar kabar dari Ino. Menurut orang-orang yang mengenal Ino, gadis blonde itu beserta keluarganya pindah keluar kota setelah kelulusan. Hinata sangat ingin pergi menemui Ino dan meminta maaf atas semuanya, tapi sesuatu menahannya.

Bagaimana perasaanmu jika harus bertemu dengan seseorang yang pernah kau hancurkan?

Rasa bersalah, penyesalan, ketakutan untuk dibenci oleh orang itu, Hinata merasakan semua itu bahkan lebih dari itu.

"Waktu itu kau tidak bisa bicara dan kabur, tapi sekarang yang kau lakukan hanyalah bicara omong kosong. Apa seperti ini sifatmu yang sebenarnya, Hinata-chan? Seorang pembohong. Kau benar-benar yang terburuk. Aku sudah lelah dengan semua ini." ucap Ino datar dengan tubuhnya perlahan-lahan diselimuti oleh aura biru.

Ino mengangkat tangannya menuju sebuah jepit rambut bunga yang di pasangkan di poni. Jepit rambut itu adalah sebuah hadiah ulang tahun Ino dari Hinata, saat mereka masih bersama. "Kau telah menolakku untuk kedua kalinya. Jadi kurasa ini sudah tidak ada gunanya lagi." ucap Ino pelan.

"Aku tidak bermaksud menolakmu! Semua ini hanyalah kesalahan. Ino-chan, kau adalah sahabat terbaikku. Aku tidak mau itu berubah. Aku masih ingin menjadi temanmu." sangkal Hinata cepat dengan manik amethystnya yang berlinang air mata. Ino terdiam, begitu juga Hinata. Hanya ada suara dari badai salju yang bisa didengar selama beberapa saat. "Ino-chan?" panggil Hinata.

Ekspresi Ino mengeras. Jari-jarinya menggenggam kuat jepit rambut itu. "Kau tahu, Hinata-chan. Aku sudah sangat muak dengan semua ini ..." balas Ino tiba-tiba dengan penekanan pada setiap katanya. Saat ekspresi kebingungan muncul di wajah Hinata, Ino langsung menarik jepit rambut bersama dengan beberapa helai rambutnya. Ino mengangkat wajahnya yang memperlihatkan ekspresi murka. "Hal yang dinamakan persahabatan itu, ..." ucapnya datar memperlihatkan telapak tangannya, dimana jepit rambut bunga pemberian Hinata berada di dalam sebuah bongkahan es. "Lebih baik lenyap saja." lanjutnya dan bongkahan es itu hancur menjadi pecahan-pecahan kristal es yang sangat kecil dan terbang tertiup badai.

Hinata jatuh berlutut di atas salju dengan wajah shock tidak percaya. "K-Kenapa?" gumam Hinata terbata. Ino tersenyum sinis sambil memandang rendah pada Hinata. "Menjadi sahabatmu tidak akan memberikan hal aku inginkan. Untuk mewujudkan keinginanku, aku harus menghancurkan batas itu. Ino-chan sahabatmu telah lama mati. Aku yang sekarang adalah musuhmu. Persahabatan kita, kenangan yang kita buat, dunia ini, teman-teman yang kau cintai, bahkan dirimu, Hinata-chan. Akan aku hancurkan semuanya untuk mencapai tujuanku!" jelas Ino lalu memunculkan Ice Sword Element di tangan kanannya.

"Ino-chan, kumohon! Hentikan semua ini! Aku tidak mau bertarung denganmu! Jangan paksa aku!" teriak Hinata dengan air mata di pipinya yang perlahan-lahan membeku di cuaca ekstrim ini. Ino membungkukkan badannya dengan senyum sinis yang semakin mengembang mendengar pernyataan Hinata. Dan dengan kecepatan sepersekian detik, Ino sudah berada didepan Hinata dengan sebelah kaki yang diangkat kebelakang siap menendang. Mata Hinata membulat dan tanpa sempat berbuat apa-apa, ...

'Dhuak!'

Hinata terlempar kuat hingga punggungnya menabrak sebuah gunungan salju. Darah perlahan keluar dari sudut bibirnya karena dampak tendangan Ino yang terlalu kuat. Pandangan Hinata terfokus pada Ino yang berdiri dengan pedangnya yang di tancapkan di permukaan salju.

"Itu tidak boleh~, Hinata-chan. Kau harus bertarung melawanku. Jika tidak~, ..." ekspresi ala psikopat gila terbentuk di wajahnya. "... bisa saja sebentar lagi kau akan mendapatkan beberapa paket berisi Hanabi-chan yang telah terpotong-potong loh~. Apa yang kau inginkan sebagai paket pertama? Kepala? Otak? Jantung? Atau Hati?" lanjutnya sambil menjilat bibirnya. Mata Hinata membulat kembali. Hinata berusaha bangkit kembali. "Apa yang kau lakukan pada Hanabi?!" tanya Hinata marah.

Ino tertawa terbahak-bahak atas respon Hinata. "Harus kuakui Hinata-chan, Hanabi-chan benar-benar mirip denganmu. Wajar saja yah, kalian adalah kakak dan adik. Tapi aku kecewa. Hanabi-chan benar-benar tidak cocok denganku. Sudah kuduga hanya kaulah yang kuinginkan. Hinata-ku tersayang~" ucap Ino memprovokasi.

Ice Sword Element muncul di genggaman tangan Hinata. Dengan sekali hentakan permukaan salju di belakang Hinata meledak saat Hinata melesat kedepan dengan kecepatan sonic. Ino tersenyum meremehkan dan mencabut pedangnya lalu mengayunkan secara diagonal dengan satu tangan.

'TRANK!'

Pedang mereka beradu dengan suara benturan yang sangat keras. Salju disekitar mereka tersapu bersih hingga memperlihat lantai esnya yang berkilauan. "Dimana Hanabi?" teriak Hinata dengan suara yang bergetar. Ino hanya tersenyum. "Seperti perkiraanku. Wajah Hinata-chan saat lagi marah, kalau dilihat dari dekat benar-benar kawaii~." ucap Ino terpesona.

Hinata menggertakkan giginya kesal dan menambahkan kekuatan pada pedangnya. Saking kuatnya daya adu mereka, lantai es dibawah mereka mulai retak. "Sekali lagi aku tanyakan! Dimana Hanabi?!" geram Hinata penuh penekanan.

Sudut bibir Ino terangkat. "Disebuah tempat, yang tidak akan pernah aku beritahukan padamu sebelum menghancurkanmu." ucap Ino lalu mendorong balik pedang Hinata kemudian bersalto kebelakang sambil melempar pedangnya pada Hinata.

Hinata menghindari pedang itu dengan memiringkan tubuhnya sehingga pedang itu menancap di lantai es. Hinata segera melesat pada Ino dengan ekspresi marah. Tapi saat Hinata melihat Ino yang menyeringai, dia merasakan sebuah bahaya datang dari belakangnya.

'Crassh!'

Lantai es dibelakang Hinata hancur berkeping-keping saat seekor golem es muncul kepermukaan dengan tinju yang melesat pada Hinata. Karena terlambat menyadarinya, Hinata berakhir terkena tinju itu dan tertekan ke permukaan es dengan sebuah kawah berukuran sedang. Golem es itu membuka tinjunya dan mengangkat tubuh Hinata dengan ibu jari dan telunjuknya.

Ino berjalan kedepan Hinata dengan sudut bibir yang terangkat melihat wajah kesakitan Hinata. "Ada apa Hinata-chan? Apa cuma segini tekadmu untuk melawanku?" tanya Ino lalu meluncurkan tinju lurus dengan kuat keperut Hinata.

Hinata memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya untuk meredam erangan kesakitannya. Ino mengangkat pandangannya pada Hinata dengan pandangan bosan. "Kau membuatku kecewa, Hinata-chan. Jika hanya seperti ini, lebih baik kau lupakan tentang menyelamatkan dunia, lupakan semua teman-temanmu yang sedang bertarung habisan-habisan, lupakan tentang menyelamatkan adikmu, dan lupakan tentang menyelamatkanku. Kau yang sekarang tidak punya kesempatan untuk menang. Menyerahlah." ucap Ino bosan.

Hinata tidak mengatakan apa-apa dan menurunkan pandangannya ke permukaan es. Ino menghela nafas lelah dan berbalik. "Ini sama sekali tidak menyenangkan. Sampai jumpa Hinata-chan. Nanti aku akan menemuimu lagi saat ritual kebangkitan akan dimulai." pamit Ino dan berjalan menjauh.

"Mungkin aku akan meminta Helios untuk memperbolehkanku ambil bagian dipertarungannya." gumam Ino saat dirinya sudah cukup jauh dari Hinata.

"Aku telah berjanji pada diriku sendiri. Tidak akan kubiarkan kau ikut campur dalam urusan mereka."

'Crasshh!'

Permukaan es bergetar dan dinding es raksasa muncul menghalangi jalan Ino. Mengetahui dengan pasti siapa yang melakukannya, Ino berbalik dengan pandangan bosan. Tapi saat melihat Hinata, senyum puas tersungging di bibirnya. Hinata berdiri dengan kepala sedikit menunduk dengan golem es yang terpotong-potong menjadi belasan bagian disekitarnya dan Ice Sword Element yang dipegang dengan satu tangan mengeluarkan uap dingin pekat.

"Maaf Ino-chan. Aku melakukan banyak kesalahan dimasa lalu dan menyakitimu. Aku pantas dipanggil bodoh, lemah, pecundang dan semua sebutan buruk yang lainnya. Aku sangat ingin kau memaafkanku hingga tingkatan dimana aku akan melakukan semua yang kau perintahkan. Karena itu aku sudah membulatkan tekadku. Aku akan melawanmu, mengembalikan Ino-chan yang sebenarnya dan menerima semua hukuman yang akan dia berikan setelahnya!" tegas Hinata lantang.

"Apa yang kau bicarakan? Ino-chan yang sebenarnya? Akulah Ino-chan yang sebenarnya. Ino-chan yang kau harapkan sudah lama mati. Dia tidak akan pernah kembali!" ucap Ino lalu maju melesat pada Hinata.

Hinata merenggangkan kakinya dan memasang sikap siaganya. "Tidak, kau salah. Aku masih dapat merasakannya. Ino-chan masih hidup, jauh didalam tubuh itu, didalam kegelapan. Karena itu aku akan mengalahkanmu dan membawanya kembali." ucap Hinata seraya mengangkat kepalanya memperlihatkan iris biru muda.

"Berhenti mengoceh omong kosong dan menyerahlah terhadap harapan tidak berguna itu!" teriak Ino lalu menebaskan pedangnya saat sudah berada dalam jarak serang.

"Elemental Berserker : Ice"

'Krak!'

Bilah pedang Ino tertahan oleh kubah es tipis yang muncul melindungi Hinata. Ino mendecih kesal dan mengangkat pandangannya sedikit dari bilah pedangnya dan membuatnya bertemu dengan sepasang mata biru muda yang bersinar dari balik kubah es. Ino segera melompat mundur saat instingnya mendeteksi bahaya.

Tepat setelah dia melompat mundur, kubah es meledak dan Hinata melesat keluar dari kabut dingin menujunya dengan penampilan yang sepenuhnya berbeda. Ino tidak sempat bereaksi saat Hinata menangkap pergelangan kakinya dan membawanya naik kelangit yang anehnya langsung menghentikan badai esnya saat Hinata berubah. Ino berusaha memberontak, tapi sebelum pemberontakannya memberikan hasil, Hinata memutar tubuhnya dan melemparkan Ino kepermukaan dengan kekuatan penuh.

Punggung Ino sukses mendarat dengan keras. Tapi tampaknya Hinata tidak berniat untuk memberikan jeda pada Ino untuk mengambil nafas karena saat Ino membuka matanya, ratusan tombak es telah melesat padanya.

Ino berguling kesamping dan segera berdiri lalu berlari menghindar. Tombak-tombak es itu terus mengikutinya layaknya rudal kendali. Selagi berlari, Ino bersiul puas. "Hinata-chan benar-benar mengerikan kalau sudah marah." gumamnya lalu mengeratkan genggamannya pada Ice Sword Elementnya.

Hinata yang kini mengambang diudara menatap datar pada Ino yang terus menghindar dari serangannya. Ino tiba-tiba mengerem mendadak dan memutar balik arah. Dengan tombak yang terus menghujaninya, Ino terus berlari mendekati posisi Hinata.

Ino menyeringai dan pilar duri-duri es tajam muncul dari permukaan es menargetkan Hinata yang berada di udara. Melihat ada pilar yang menuju padanya, Hinata menghindar kesamping. Ino menambah kecepatannya dan berlari menaiki salah satu pilar es itu. Saat Hinata menyadarinya, Ino sudah berada di ujung pilar dan melompat kepadanya dengan pedangnya yang di tebaskan. Hinata bereaksi dengan cepat dan menangkis tebasan Ino.

"Bagus sekali Hinata-chan~. Ayo, buat ini menjadi lebih menarik!" teriak Ino semangat dengan seringaian mengerikannya.


.

.

.

.

.


Erza terbang di atas sebuah pulau yang hampir keseluruhannya merupakan area vulkanik. Daratan yang hitam, gunungan kecil yang mengeluarkan lava, sungai lava yang mengalir menjadi keseluruhan pemandangan di pulau ini.

Erza mengedarkan pandangannya untuk menemukan sosok pemuda yang memanggilnya kemari. Hingga akhirnya pandangannya terpusat pada sosok yang berdiri di tepi lubang raksasa yang berisi magma panas mendidih. Erza mengepakkan sayapnya dan terbang mendekatinya.

Belum sempat kaki Erza menyentuh daratan dengan sempurna, dari dalam tanah muncul duri-duri besi tajam yang melesat menujunya. Erza mengepakkan sayapnya balik dan terbang keudara menghindari duri-duri itu. Tapi baru saja dia lepas dari itu, ratusan panah turun dari langit layaknya hujan.

Erza memunculkan Steel Sword Element di tangan kanannya dan sebuah bola besi muncul dengan sendirinya disampingnya. Bola itu terbang ke atas Erza dan membesar lalu berubah bentuk menjadi dinding tebal. Panah-panah itu menabrak dinding besi Erza dan patah.

Erza turun dan mendarat dengan tenang karena dinding itu akan melindunginya dari serbuan panah. Tapi baru saja dia mendarat dan meluruskan pandangannya sebuah jarum kecil melesat padanya. Erza refleks memiringkan kepalanya sedikit dan jarum itu berlalu hanya dengan sedikit menggores pipinya. Darah perlahan-lahan keluar dari luka gores itu menuruni pipi putih Erza.

"Sambutan yang sangat hangat, Gray." ucap Erza seraya mengusap bekas lukanya dengan punggung tangannya. Gray berbalik menghadap Erza dengan ekspresi santai dan sudut bibir yang sedikit terangkat. "Seperti biasanya, refleks cepatmu itu benar-benar menakjubkan." ucap Gray.

Erza tersenyum tipis dan menghilangkan dinding besi diatasnya saat hujan panah dari Gray berhenti. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Erza memasang posisi bertarungnya.

Gray menaikkan alisnya bingung. "Apa kau tidak akan mencoba untuk meyakinkanku dengan kata-kata dulu? Aku yakin teman-temanmu yang lain sedang mencobanya." tanya Gray bingung. Erza terkekeh pelan tanpa menurunkan siaganya. "Aku telah mengenalmu sejak kita berumur 3 tahun. Kau bukanlah orang yang dapat di yakinkan dengan kata-kata. Dirasuki Phantom ataupun tidak, kau tidak akan pernah mendengarkanku. Karena bagimu, semua yang aku katakan tidak pernah memiliki arti. Semua larangan dariku, adalah tantangan bagimu. Semua permohonanku, hanyalahan sebuah rengekan bayi bagimu. Bahkan permintaan maaf hanyalah jalan lain untuk membuatmu lebih membenciku. Bukankah begitu, Gray Fullbuster?" ungkap Erza panjang lebar dengan penekanan pada setiap akhir kalimatnya.

Gray dibuat terdiam. Dan untuk sepersekian detik, tatapan di bola matanya sekilas melemah. Tapi tidak bertahan lama saat dia menggelengkan kepalanya dan kembali memandang lurus pada Erza hanya untuk menemukan gadis berambut merah itu tersenyum seakan mendapatkan hal yang di incarnya. Erza langsung melesat kepada Gray dengan pedang yang siap menebas kapan saja.

Gray segera menciptakan Steel Sword Element di tangannya dan menyilangkannya di depan tubuhnya untuk menahan tebasan yang akan datang.

'Trank!'

Pedang mereka beradu dengan hentakan kuat. Tapi setelah beberapa saat, tidak ada satupun dari mereka yang bergerak dari posisi mereka sekarang. Dengan mata yang saling bertatapan, Erza memandang sendu pada Gray. "Kau tahu, Gray? Seminggu setelah kau pergi dari rumah, aku pergi ke rumah sakit menemui'nya'. Kondisi'nya' waktu itu sangat lemah dan dokter bahkan bilang 'dia' hanya dapat bertahan beberapa hari lagi." jelas Erza dengan suara yang menyerupai bisikan.

Ekspresi Gray seketika mengeras dengan tatapan murka dimatanya. "Kauuu ..." desis Gray marah. Tapi tepat sebelum Gray mengeluarkan amarahnya, Erza lekas bicara. "Tapi 'dia' tetap berjuang melewati perkiraan dokter dan terus hidup." ucap Erza membuat Gray terdiam seperti beberapa saat yang lalu. "Dalam perjuangan'nya' untuk tetap hidup, 'dia' terus menggumamkan namamu. Dia ingin bertemu denganmu lagi, Gray!" ucap Erza melanjutkan, membuat tatapan di bola mata Gray melemah setiap katanya. "Kondisi'nya' sekarang sedang dalam keadaan koma, tapi 'dia' telah dinyatakan terhindar bahaya. 'Dia' sangat mencintaimu hingga 'dia' dapat mengubah takdir'nya' sendiri. Jadi Gray, kumohon hentikan ini semua. Kau tidak bisa begitu saja menghancurkan dunia dan kehidupan'nya' saat dia telah berjuang untuk bisa bertemu lagi denganmu!" teriak Erza dan melepaskan pedangnya lalu mengambil kesempatan atas kelengahan Gray untuk maju dengan tinju yang terkepal erat menargetkan wajah Gray.

Kurangnya konsentrasi karena kata-kata Erza, Gray tidak sempat melihat serangan yang di lancarkan Erza padanya tepat waktu. Dia baru tersadar, saat tubuhnya terpental kuat hingga terguling di tanah hitam beberapa meter. Gray bangun dan menyentuh pipinya yang memar disertai darah yang mengalir di sela bibirnya. Tapi ada rasa yang aneh. Asalnya bukan dari sakit ataupun darah, tapi entah kenapa pipinya terasa basah?

'Tap' 'Tap' 'Tap'

"Gray, aku tahu kau yang asli masih ada di dalam sana. Dan aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku benar-benar menyesal. Kau boleh membenciku seumur hidupmu, tapi kumohon, setidaknya pikirkan 'dia' yang menunggumu untuk kembali."

Gray mengangkat pandangannya dan melihat Erza yang berjalan menujunya. Dari pengelihatannya yang sedikit agak kabur, Gray akhirnya mengerti benda apa yang membuat pipinya basah.

Erza membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya pada Gray. "Kembalilah, Gray Fullbuster. 'Dia' menunggumu." ucapnya menunggu Gray untuk meraihnya. Air mata mengalir di pipi Gray dan jatuh kepermukaan tanah saat dia menatap Erza dan mengulurkan tangannya untuk menggapai uluran tangan di depannya.

'Deg!'

Pupil hitam Gray secara tiba-tiba mengecil dan pergerakannya terhenti saat tangannya tinggal sedikit lagi mencapai Erza. Menyadari ada yang aneh dari Gray, Erza terus memperhatikan wajah Gray dengan seksama, tapi sayangnya Gray menunduk dan wajahnya ditutupi oleh poninya. "Gray?" gumam Erza khawatir dan lebih membungkukkan badannya kedepan memastikan keadaan Gray.

Tapi yang dilihatnya saat mendekatkan diri, adalah sudut bibir yang terangkat. Mata Erza membulat dan otaknya memerintahkan tubuhnya untuk segera menjaga jarak secepat mungkin. "Inangmu sangat menarik, Ferros."

'Sring!'

Sebuah duri besi tajam meluncur dari dalam tanah tepat ke wajah Erza. Pupil Erza mengecil melihat duri itu semakin mendekat ke wajahnya.

'Jrash'

Sebuah keajaiban Erza dapat menghindar dengan memiringkan kepalanya kesamping dalam keadaan terjepit seperti itu. Meskipun begitu, seharusnya Erza tahu bahwa musuhnya tidak akan balas menyerangnya hanya dengan satu serangan saja. Karena pikirannya hanya terfokus pada serangan yang menyerang kepalanya, dia tidak menyadari kemunculan duri kedua yang dengan telak menusuk paha kirinya hingga tembus.

Kening Erza berkerut menahan rasa sakit, tapi dia sama sekali tidak diberikan waktu untuk berpikir banyak saat dia melihat kaki Gray melesat ke wajahnya.

'Bugh!'

Erza terlempar kuat, bahkan jauh lebih kuat dari saat Gray yang terlempar. Dia baru berhenti terlempar saat tubuhnya menabrak batu hitam raksasa berbentuk kerucut. Debu akibat benturan menghilang dan memperlihat kondisi Erza setelah menerima serangan Gray.

Sebelah sayap besi membalut tubuhnya dan mengurangi dampak benturan dari tendangan Gray dan melindungi tubuhnya dari luka signifikat lainnya. Satu-satunya luka yang harus Erza khawatirkan saat ini hanyalah pahanya yang terus-terusan mengeluarkan darah segar.

"Kau benar-benar mengenal Gray luar dan dalam ya, Erza Scarlet? Tapi sayangnya, rencanamu kali ini berakhir sangat mengecewakan."

Tapi tampaknya untuk sekarang ini, lukanya berada di urutan kedua dalam kamus hal-hal yang perlu di khawatirkan. Gray berdiri didepannya dengan tampang sombong dengan tatapan mata kosong yang mengerikan. Erza harus mengatakan kalau 'rencana untuk bicara' dari awal memang berisiko tinggi.

Menahan rasa sakit dan kesalnya karena dipandang rendah, Erza mengangkat kepalanya menatap lurus pada mata kosong Gray—, tidak, mata Phantom Ferros. "Jadi bagaimana rasanya, Phantom brengsek? Menjadi inang dari seseorang berhati lembut seperti Gray. Pasti merepotkan bukan?" tanya Erza.

Gray terkekeh. "Yah, dia benar-benar merepotkan. Setiap kali hati lemahnya membuatnya ragu, aku harus bertindak untuk memaksanya membuat pilihan." ungkap Gray.

Erza menggertakkan giginya kesal. Dia kesal pada Phantom Ferros. Gray tidak berhati lemah, dia memiliki hati yang kuat. Kekuatan hati yang dia miliki membuatnya selalu memikirkan orang-orang disekitarnya, dan tidak pernah mencoba sekalipun untuk membuat mereka menderita. Dan Phantom brengsek yang berada di dalam tubuhnya dengan seenaknya saja memaksanya untuk mengambil tindakan yang berlawan dengan keinginan sejatinya.

'Tidak dapat dimaafkan.'

Melihat ekspresi menarik yang diberikan Erza, Gray(Ferros) menyeringai. "Apa kau marah karena rencanamu memperdayai Gray gagal, Erza?" tanya Gray(Ferros).

"Phantom!" desisi Erza disertai dengan kemunculan Steel Sword Element di tangan kanannya. Melihat tanda bahwa Erza akan bertindak, Gray mengeluarkan pedangnya dan menodongkan ujungnya ke wajah Erza. "Dengan ini Checkmate, Erza." ucap Gray dengan seringaian kemenangan di wajahnya.

Erza menutup matanya, menghirup dan menghembuskan nafas panjang guna mengontrol emosinya. "Ferros, aku sangat marah, hingga ketitik dimana aku akan menghancurkan semua yang ada disekelilingku untuk melampiaskan amarahku. Ferros, tidak, Gray sebelum aku benar-benar menghajarmu, aku ingin kau tahu. Semua yang aku katakan tadi, ..." jeda Erza seraya membuka matanya menatap lurus pada mata hitam Gray. "Bukanlah sebuah kebohongan."

'Jrash!'

Mata Gray membulat saat sebilah pedang menancap ditengah punggungnya sepersekian detik setelah ucapan Erza. Kehilangan fokusnya pada Erza walau hanya sedetik, adalah sebuah kesalahan besar. Dia tidak sempat memikirkan bagaimana ada sebuah pedang menancap di punggungnya, tapi dia yakin, Erza yang sekarangnya ini, adalah Erza yang di kuasai amarah.

"Kau tanya apa aku marah? Akan kujawab, aku sekarang benar-benar kesal. Dan biar kuberitahu kenapa." Entah sejak kapan, Erza sudah berdiri sejajar dengan Gray tanpa menghiraukan luka kakinya yang masih berdarah. Sayap Naga Besi terbentang lebar di punggungnya. Dan dengan wajah yang menunjukkan amarah, dia melakukan sebuah tebasan dengan Steel Sword Element yang mengeluarkan pendar aura metalic.

'DHUUAARR!'

Ledakan besar terjadi akibat dampak tebasan Erza. Sosok Gray melompat keluar dari kabut debu tanpa luka sedikitpun di tubuhnya. Saat tebasan tadi hampir mengenainya, Gray berhasil mengambil langkah mundur untuk menghindar sebelum terlambat. Satu hal yang pasti, sedetik saja Gray terlambat, dia tidak akan keluar dari kabut debu dengan luka yang minim.

"Kau tidak mengenal Gray sama sekali Ferros. Dan kau dengan seenaknya mengambil alih tubuhnya dan memaksakan keputus-asaan padanya."

Kabut debu perlahan-lahan tertiup memperlihatkan siluet Erza dengan sayap naganya yang menekuk membentuk bola menutupi sosok Erza dengan perlahan. Sebelum benar-benar tertutup oleh sayap, Gray sekilas melihat mata merah penuh amarah yang tertuju pada satu titik.

"Aku bersumpah akan menghancurkanmu dan merebut Gray kembali. Elemental Berserker : Steel."

Kata-kata terakhir yang berupa janji dari Erza sebelum sayap besi itu menjadi bola sepenuhnya, mengisolasi Erza yang merubah wujudnya dari dunia.

Gray membeku, keringat dingin mengalir di pelipisnya merasakan aura intens dari bola besi yang melindungi Erza. Setiap detik yang berlalu membuat aura itu menjadi semakin kuat dan kuat hingga mampu membuat setiap makhluk hidup yang berada disekitarnya tak dapat mengambil nafas tenang, tak terkecuali Gray.

Tidak tahan dengan intimidasi ini, Gray mengangkat tangannya ke atas dan partikel-partikel besi berkumpul menjadi ratusan tombak dengan beberapa diantaranya memiliki ukuran jauh lebih besar dari yang lainnya. Tanpa menunggu hingga Erza keluar dari bola itu, Gray langsung memerintahkan senjata-senjata yang melayang di udara tersebut untuk meluncur ke satu titik.

'DHUAAR!' 'BLAAARR!'

Ledakan besar terjadi saat semua senjata itu melakukan kontak dengan targetnya. "Apakah berhasil?" gumam Gray tanpa mengalihkan tatapannya sedetikpun dari pusat ledakan. Dari efek ledakannya, seharusnya itu cukup memberikan luka signifikan pada targetnya.

"Apa kau bodoh, Gray?"

Suara yang berasal dari tengah kabut debu itu membuat Gray terdiam tak percaya. Tubuh membeku tak bergerak. Pupilnya mengecil saat kabut debu di depannya perlahan tertiup memperlihatkan sosok Erza yang berdiri tanpa luka sedikitpun di tubuhnya, bahkan tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia pernah terluka di manapun. Rambut merah dan jubah peraknya berkibar tertiup angin.

"Sudah kubilang padamu bahwa aku akan menghajarmu. Karena itu jadilah anak baik dan diam disana agar semua ini cepat selesai." ucap Erza sembari menodongkan ujung Elemental Swordnya pada Gray.


.

.

.

.

.


Dan yang terakhir dari Lima Dragon Element, Helios.

Di puncak Piramida, Naruko duduk santai pada balok batu besar penyusun piramida sambil memainkan game di smartphonenya. Sementara rekan-rekannya yang lain telah memulai pertarungan mereka masing-masing, hanya Naruko saja yang masih nganggur karena kakaknya belum datang. Menit berlalu dengan cepat, hingga layar smartphone-nya menampilkan tulisan 'Game Over'. Dengan pandangan yang menyiratkan kebosanan, Naruko mematikan gamenya. Tapi saat Naruto berniat mematikan smartphonenya, pandangannya terhenti pada wallpaper yang dia gunakan.

Dalam foto itu, terdapat dirinya dengan kakaknya yang sedang berbagi sebuah syal dan tersenyum lebar kearah kamera. "Onii-chan, ..." gumamnya dengan jari tangannya yang bebas terangkat mendekati foto tersebut.

'Drrrtt~'

Gerakan jarinya terhenti tepat sebelum menyentuh layar saat smartphonenya bergetar dan menampilkan sebuah panggilan masuk. Nama yang tertera pada layar itu membuat Naruko sedikit kaget. Tanpa menunggu lagi, Naruko segera menekan opsi terima dan menempelkan smartphonenya di telinga kirinya. "Moshi moshi, Onii-chan!" ucap Naruko.

'Greb!'

Dari belakang Naruko, sepasang lengan melingkar di lehernya seiring dengan sedikit tambahan beban pada punggungnya. Mengenali siapa yang berada di belakangnya sekarang ini, kembali membuat Naruko kaget dan menjatuhkan smartphonenya dengan pupil mata yang bergetar. "Moshi mo, Naruko. Merindukanku?" tanya Naruto seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Naruko.

Perasaan untuk berbalik dan balas memeluk kakaknya harus ditahan Naruko karena dia tahu, pertemuan mereka saat ini, adalah pertemuan yang akan memutuskan takdir bukan hanya mereka melainkan seluruh dunia. Tidak ada waktu dan tempat untuk melepaskan perasaan rindunya dalam setting ambang kehancuran ini.

"Onii-chan, lepaskan Naru." ucap Naruko bergetar menahan perasaan sejatinya. Jujur, Naruko sangat menginginkan momen ini terhenti dan dia bisa memiliki waktu lebih banyak dengan kakaknya. Dia ingin memeluk kakaknya, dia ingin berbicara lebih banyak dengan kakaknya, dia ingin terus bersama kakaknya. Tapi sayangnya, takdir yang mereka emban sekarang ini adalah takdir yang tidak akan pernah dapat bersama. Disamping kesamaan darah yang mengalir ditubuh mereka, mereka sekarang adalah musuh yang harus bertarung hingga salah satu dari mereka terbunuh.

"Onii-chan tidak akan melepaskanmu, Naruko."

Ini ketiga kalinya Naruko dikejutkan oleh Naruto dalam waktu yang sangat singkat. Balasan itu, Naruko tidak pernah menyangka dia akan mendengar kalimat itu lagi setelah sekian lama. Kalimat yang selalu diucapkan Naruto untuk menenangkannya dan membuatnya merasa aman.

Naruto mengeratkan pelukannya dan memejamkan matanya, menyamankan posisi pelukannya pada Naruko. "Onii-chan tidak akan melepaskanmu." bisik Naruto dengan kalimat yang sama.

Naruko memegang lengan Naruto yang melingkar dilehernya. "Onii-chan. Hentikan ini. Kita harus segera bertarung." ucap Naruko pelan, perlahan-lahan mulai tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Dia harus segera lepas dari kondisi ini sebelum Phantom-Helios memutuskan untuk mengambil alih tubuhnya sepenuhnya.

"Hm, aku tahu itu. Tapi kumohon, ... " jeda Naruto dengan suara lirih. Naruko mengerjap bingung saat tangannya yang melakukan kontak dengan lengan Naruto merasakan sebuah getaran. "Onii-chan ...?" gumam Naruko seraya mencoba menolehkan kepalanya agar setidaknya dapat melihat ekspresi Naruto.

"... Jangan Khawatir Naruko. Aku baik-baik saja. Karena itu, biarkan tetap seperti ini beberapa saat lagi." ucap Naruto sebelum Naruko dapat menolehkan wajahnya. Naruko yang mendengar permintaan itu, kembali meluruskan pandangannya dengan raut wajah khawatir yang masih menghiasai wajahnya.

Layaknya waktu telah terhenti, mereka berdua tenggelam dalam keheningan.

"Kau bertingkah agak aneh. Apa sebenarnya yang kau inginkan, Onii-chan?" tanya Naruko berusaha untuk menyembunyikan kekhawatirannya dibalik nada datar. Naruto tidak menjawab seakan tidak mendengar pertanyaan Naruko. "Onii-chan, jika yang kau inginkan hanya untuk mengulur waktu, itu tidak akan ada gunanya. Atau jangan bilang kalau kau berpikir kalau kau tidak ingin bertarung melawan adikmu?" tanya Naruko dengan nada yang mulai meningkat. Naruto kembali diam tidak merespon, walau sebenarnya dia mendengar pertanyaan Naruko dengan jelas.

Merasa diabaikan, Naruko merasa kesal dan kembali angkat suara. "Hentikan pemikiran naif seperti itu! Kau tidak akan bisa menyelamatkan siapa-siapa jika kau tidak mau bertarung. Kau ingin menyelamatkan dunia ini bukan? Kalau begitu lawan aku, Onii-chan!" teriak Naruko kesal bertentangan dengan ekspresi yang dia keluarkan.

"Sejak kecil aku selalu menjanjikanmu banyak hal dan ujung-ujung aku malah mengingkarinya. Aku pernah berjanji akan mengajakmu ketaman bermain pada akhir pekan, tapi saat itu aku malah terkena demam dan kita membatalkannya. Aku berjanji akan mengajarimu naik sepeda, tapi aku malah melupakannya. Bukan hanya itu saja, masih banyak janji yang aku ingkari. Tapi yang paling penting, janji tentang aku tidak akan meninggalkanmu, janji bahwa aku akan terus bersamamu, juga telah aku ingkari sejak hari itu." jelas Naruto panjang lebar dengan pelukan yang kembali mengerat.

Naruko diam, tidak tahu harus apa dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya. Tapi untuk sekarang dia hanya bisa diam dan membiarkan Naruto memeluknya sembari mendengarkan pernyataan Naruto yang lainnya.

"Hari itu, seminggu sebelum keberangkatan kami, kau bertingkah aneh. Naruko, waktu itu, kau sudah merasakan apa yang akan terjadi pada kami bukan? Kau sudah melihat kecelakaan itu entah bagaimana, tapi kau tidak tahu bagaimana harus memberitahu kami. Apa aku benar?" tanya Naruto.

Naruko menegang. "Ap— ... Bagaimana Onii-chan bisa tahu? Tidak, tapi kenapa? Jika Onii-chan sudah tahu, kenapa Onii-chan tetap pergi? Kenapa Onii-chan tidak memberitahu Tou-chan dan Kaa-chan?" tanya Naruko beruntut.

Perlu jeda beberapa detik sebelum Naruto membalas pertanyaan Naruko. "Mungkin karena aku terlalu bodoh. Waktu itu aku menemukan buku Diary milikmu dan tanpa sengaja membaca isinya. Awalnya aku berpikir kalau kecelakaan itu hanyalah imajinasimu, tapi aku tidak pernah menyangka akan benar-benar terjadi. Seharusnya aku percaya denganmu dan melarang Tou-san dan Kaa-san untuk pergi. Jika saja aku melakukan itu, semua ini tidak akan pernah terjadi. Kau tidak perlu menderita." jelas Naruto.

Naruko menundukkan wajahnya, emosinya campur aduk. Dia kecewa, dia ingin marah pada Naruto atas kebodohannya, tapi dia tahu bahwa itu tidak sepenuhnya salahnya.

"Sebagai seorang kakak, mungkin aku bisa disebut sebagai salah satu kakak terburuk dalam sejarah dunia. Bukan hanya membuat adikku menderita, aku bahkan juga melibatkan seluruh dunia dalam prosesnya. Ne, Naruko, apa pernah terpikir olehmu?" tanya Naruto dengan nada rendah. Naruko bergumam bingung merespon pertanyaan kakaknya.

"Bahwa aku tidak seharusnya menjadi kakakmu. Bahwa aku seharusnya tidak pernah ada dalam hidupmu jika itu hanya akan membuatmu terluka. Apa kau pernah berpikir seper—?!"

'PLAKK!'

Tidak tahan mendengar semua yang dikatakan kakaknya, Naruko memberontak melepaskan diri dari pelukan Naruto dan berdiri lalu melayangkan telapak tangannya sekuat tenaga ke pipi kiri Naruto yang sukses membuat Naruto bungkam.

Naruko memandang pada Naruto dengan tatapan tajam yang menggambarkan seberapa kesalnya dia sekarang. Naruto yang terdiam berlutut didepannya dengan pipi yang mendapatkan memar merah.

"Bagaimana Onii-chan bisa berpikiran seperti itu?" tanya Naruko sambil berusaha menahan nada suaranya tetap tenang. Naruto masih diam dengan tangannya yang perlahan terangkat menyentuh pipinya dengan tatapan bergetar. Kening Naruko semakin tertekuk atas respon diam Naruto.

Kekesalan yang memuncak membuat tubuhnya bergerak tanpa pikir panjang. Kedua tangannya mencengkram kerah jaket Naruto dan memaksanya untuk bertatap mata. "Jawab pertanyaanku, Onii-chan! Apa yang kau lihat di bola mataku? Apa disana terlihat seorang adik yang membenci kakaknya? Jawab aku!" desak Naruko.

Dengan pandangan yang bergetar karena bentakan Naruko, Naruto menghindari bertatap mata dengan Naruko dengan menoleh ke kanan. Tindakan Naruto semakin memancing emosi Naruko. Melepaskan tangan kirinya dari kerah jaket Naruto, Naruko kemudian melayangkannya untuk memberikan tamparan keras di pipi kanan Naruto.

'PLAKK!'

Karena tamparan itu, pandangan Naruto dipaksa kembali tertuju pada Naruko. Dan kali ini Naruko tidak membiarkannya untuk mengalihkan pandangannya. Dia menempelkan dahinya dengan Naruto dan membuat mereka saling bertatapan tanpa jarak. "Kubilang lihat mataku! Apa disana terlihat seorang adik yang tidak mengharapkan kakaknya?!" desak Naruko.

Sapphire bertemu dengan Violet, Naruto terdiam tak dapat berkata apa-apa. Tatapan dimata Violet itu, seperti tatapan seseorang yang impiannya diremehkan, bahkan jauh lebih dalam dari itu.

Melihat Naruto yang tidak juga memberikan respon, Naruko mendorong Naruto sehingga kakaknya jatuh terbaring dipermukaan balok batu penyusun piramida.

"Seorang manusia hanya dapat berjuang untuk orang yang mereka sayangi, mereka tidak pernah berjuang untuk orang yang mereka benci! Hal itu juga berlaku padaku! Aku melakukan semua ini untuk orang yang aku cintai! Semuanya untuk Onii-chan! Untuk menciptakan dunia dimana Onii-chan bisa bahagia tanpa menanggung beban apapun!" jeda Naruko untuk mengambil nafas. "Sebuah kehidupan tanpa Onii-chan dihidupku? Lebih baik aku mati saat aku dilahirkan daripada menanggung penderitaan seperti itu!" teriak Naruko dengan air mata yang menggenang di sudut matanya.

Naruto dengan poni yang menutupi sebagian wajahnya tersenyum. "Bahkan setelah semua penderitaan yang aku sebabkan ..." jeda Naruto disertai dengan kekehan kecil. Mendengar tawa Naruto membuat Naruko merasa seperti sedang diejek dan diremehkan. "Jangan pernah menganggap remeh impian—!" Naruko terdiam tidak dapat melanjutkan ucapannya saat melihat setitik air mengalir dari mata Naruto. "Onii-chan, apa kau—"

'Greb!'

Kalimat Naruko dipotong saat Naruto tiba-tiba berdiri dan memeluknya. "Terima kasih, Naruko. Bahkan setelah semua yang kau lalui, kau masih mau menganggapku sebagai kakakmu. Aku benar-benar senang. Terima kasih." ucap Naruto senang dengan air mata yang mengalir dipipinya. Naruko yang dipeluk oleh Naruto dengan tiba-tiba tentu saja merasa terkejut, dan sedikit malu. Di dalam pelukan hangat kakaknya, dengan kepalanya yang berada tepat di dada bidang Naruto, semburat merah muncul dipipinya. "O-Onii-chan,..."

"Terima kasih, Naruko. Berkat kata-katamu, aku akhirnya bisa membulatkan tekadku." ucap Naruto seraya melepaskan pelukannya. Naruko mengadah menatap wajah kakaknya, menunggu kalimat yang akan memulai sesi pertarungan mereka.

"Seperti kata-katamu tadi, manusia hanya dapat berjuang untuk orang yang mereka sayangi. Aku juga akan berjuang untukmu, Naruko. Aku pasti akan menyelamatkanmu beserta dunia ini." tegas Naruto.

Naruko tersenyum tipis. "Aku juga tidak akan kalah! Meskipun kau Onii-chan, aku tidak akan menahan diri seperti waktu itu!" ucap Naruko lalu sayap naga angin tercipta dipunggungnya. Naruko mengambil beberapa langkah mundur lalu melompat kebelakang dan mengepakkan sayapnya sehingga dia melayang di udara.

Sayap naga api muncul dipunggung Naruto dan membawa Naruto melayang sejajar dengan Naruko. "Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu lagi, Naruko." ucap Naruto lalu menciptakan Elemental Swordnya.

"Majulah Onii-chan!" tantang Naruko seraya menciptakan Elemental Swordnya juga. "Ini adalah pertarungan terakhir. Penentuan tekad siapa yang paling kuat disini. Harapan Onii-chan untuk menyelamatkan dunia atau keinginanku untuk menciptakan dunia impian." ucap Naruko seraya memasang posisi bertarungnya.

Naruto juga memasuki mode bertarungnya. Senyum miring muncul dibibirnya. "Benar, ini adalah pertarungan terakhir. Karena itulah, aku, sebagai seorang kakak untuk terakhir kalinya akan menepati janji terakhirku padamu! Elemental Berserker : Fire!" teriak Naruto.

Api berkobar menyelimuti tubuh Naruto dan mengubah penampilan Naruto kedalam mode Berserkernya dan menghilangkan sayap naga apinya. Naruko yang melihat Naruto sudah siap untuk memulai pertarungan mereka tersenyum puas. Naruto menatap lurus pada Naruko dengan tatapan serius. "Aku siap kapan saja, Naruko!" tegas Naruto. Naruko tanpa menunggu undangan lainnya pun melesat kedepan menuju Naruto.

"Naruko, berjanjilah satu hal padaku. Hasil apapun yang diciptakan oleh pertarungan ini, ..." ucap Naruto tanpa mengalihkan perhatiannya dari Naruko yang terus mendekat setiap sepersekian detiknya.

Naruko mengayunkan pedangnya secara horizontal pada wajah Naruto, tapi Naruto bertindak dan memposisikan pedangnya untuk memblock serangan Naruko.

Tapi tepat sebelum pedang mereka bersentuhan, Naruko membelokkan arah tebasannya ke atas dan mengganti elemennya disaat yang bersamaan menjadi elemen tanah. Dengan Sword Five Element yang dipegang erat dengan kedua tangan, Naruko mengayunkan pedangnya secara vertikal lurus ke kepala Naruto.

Seperti Naruko yang mengubah arah pedangnya dengan cepat, Naruto juga mengubah posisi pedangnya menjadi horizontal di atas kepala untuk menangkis serangan Naruko.

'TRANK!'

Dikarenakan sifat elemen tanah yang lebih unggul dari elemen api, membuat Naruto terdorong kebawah dengan kuat oleh tekanan serangan Naruko. Masih dengan posisi pedang yang beradu, Naruko menambah daya tekannya yang semakin mempercepat kecepatan jatuh mereka.

'DEBUMM!'

Mereka mendarat di permukaan pasir dan menciptakan kawah berukuran kecil dengan pedang yang masih beradu. Naruko dengan ekspresi seriusnya menatap Naruto. "Onii-chan, tadi kau ingin bilang sesuatu bukan? Apa itu?" tanya Naruko menanyakan tentang perkataan Naruto sebelumnya yang tidak selesai.

Dengan ekspresi yang sama seriusnya, Naruto membalas. "Berjanjilah, setelah pertarungan ini selesai, jangan membenci siapapun. Itu adalah permohonan terakhirku padamu." ucap Naruto dengan tenang.

Perlu waktu bagi Naruko untuk memproses arti kalimat Naruto, dan saat dia menyadarinya, Naruto tersenyum tipis dan mengalirkan apinya pada bilah pedangnya. Memberikan sedikit dorongan pada pedangnya, Naruto kemudian memperbaiki kuda-kudanya dan membelokkan arah tebasan Naruko kesamping tubuhnya. Dan tidak berhenti cukup disitu, Naruto memutar pedangnya dan melakukan tebasan pada tubuh Naruko yang tanpa pertahanan.

Melihat pedang berlapis api itu hampir mengenai tubuh sampingnya, Naruko spontan mengganti elemennya menjadi petir dan berteleport beberapa meter dari Naruto.

Tapi meskipun tidak mengenai targetnya, ayunan pedang Naruto tidak berhenti dan berlanjut hingga membentuk sebuah pola lengkungan dari api yang bertransformasi menjadi sebuah wave api yang melesat menuju Naruko.

Dengan wave api yang menuju padanya, Naruko merenggangkan kakinya dan menggenggam pedangnya dengan kedua tangan. Bilah pedangnya mengeluarkan arus listrik statis dan tepat saat wave itu berada dalam jangkauan serangannya, Naruko menebasnya. Wave api itu hancur, tapi Naruko tidak bisa dikatakan sepenuhnya selamat dari serangan itu. Jaket yang dia kenakan robek disana-sini seketika setelah wave api itu hancur.

"Aku yakin kau paham maksud dari perkataanku tadi, tapi Naruko, aku sama sekali tidak berniat untuk menahan diri. Karena itu lawan aku dengan serius! Seperti perkataanmu, ini adalah pertarungan terakhir!" ucap Naruto lantang dengan bilah pedangnya yang ditodongkan pada Naruko.

Naruko melepaskan sikap siaganya dan menancapkan pedangnya di pasir bersama dengan sayapnya yang menghilang. Melepaskan jaketnya lalu membuangnya. Naruko mencabut kembali pedangnya dan balas menodongkannya pada Naruto. "Bersiaplah, Onii-chan. Aku tidak akan menahan diri untuk serangan berikutnya." ucap Naruko lalu maju melesat kedepan dengan pedang yang dipegang dengan satu tangan.

Naruto menurunkan pedangnya dan balas berlari menuju Naruko dengan pedang yang dipegang dengan satu tangan juga.

.

.

.

.

.


Berlatarkan dunia yang berada diambang kehancuran, lima orang yang mengemban takdir yang sama telah memulai pertarungan mereka. Selamatkan dunia atau selamatkan orang yang berharga bagi mereka. Hati yang dipenuhi keraguan perlahan-lahan mulai terkikis oleh sebuah keyakinan dan harapan. Pertarungan terakhir ini, akan menentukan masa depan.


.

.

.

.

.


...:::To Be Continued:::...


.

.

.

.

.

Ryuukira Sekai. Log Out. ^_^