London, November 1898

.

Fur Elise, Ludwig Van Beethoven.

Ruangan itu besar, elegan, dan mewah. Sepi, namun tidak hening. Nada yang mengalun dari piringan hitam di ujung ruangan itu berputar sesuai irama. Mengulang musik yang sama dalam waktu yang berbeda; fur elise, moonlight sonata, dan symphony nomor lima.

"Kau … dasar bedebah!" seorang pria berteriak. Gurat wajahnya tampak kesakitan, meski luka lebar yang menganga tepat di bagian kiri dadanya tidak akan sebanding dengan ekspresi wajahnya saat ini. Pria itu meringis nyeri, mencoba mengabaikan cairan pekat berbau tembaga yang mengalir dari dadanya tanpa berniat untuk berhenti.

"Bedebah katamu?"

Ada orang lain. Masih sama. Namun terlihat lebih muda dibandingkan sang objek yang terluka, berdiri tidak jauh dari si pria. Tampak angkuh, tegas, namun jahat.

"Kau yang bedebah," suara tawa terdengar, begitu halus. "Dan kau yang seharusnya mati."

Si pria membelalak; memohon dengan matanya untuk berhenti ketika ia melihat ujung revolver yang terlihat tak berdasar itu menyentuh tepat pelipis kanannya. Terasa dingin dan menegangkan. Mengintimidasi dan mematikan.

"Jangan … "

Senyum tipis terpoles. "Selamat tinggal—"

"… kumohon …"

Jemari bergerak di belakang pelatuk.

"—si tampan Kim."

Dan sampai bertemu kembali di dasar neraka.

Dor!

~oooOOOooo~

.

.

.

For my dear Detective,

Satu boneka tidak akan cukup untuk dihancurkan. Karena dendam sukar menghilang sebelum yang tertinggi lenyap, maka kematian tidak akan berhenti.

Ini kisah satu dekade silam yang mungkin tidak pernah diceritakan, bahkan enggan dicatat dalam sekumpulan sejarah yang berdebu.

Sayangnya, Tuan Detektif, permainan tetaplah permainan.

Tumpukan angka yang membentuk pondasi hingga pencakar langit menjadi kunci utamanya.

.

Tertanda,

White Carnation

.

p.s : 11. 02. 155.

Good Luck

.

.

.

"Verum"

Disclaimer : tokoh yang digunakan bukan milik saya kecuali ceritanya. Terinspirasi dari kemampuan seorang tokoh fiksi Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle.

Cast(s) : Kim Taehyung, Jeon Jungkook, Park Jimin, BTS member, and other cast.

Rated : M to be safe

Warning : bottom!V, of course. Twoshot, maybe.

.

.

Didekasikan untuk Hyesang-nim dan maafkan saya karena telat hadiahnya ya, Dear~

.

.

Proudly Present by Cakue-chan

.

.

Bagian Pertama

(It is capital mistake to theorize before one has data; Shelock Holmes)

.

.

.


~oooOOOooo~


"Kim Jongin, dua puluh satu tahun, putra sulung pasangan marquess asal Korea Selatan, Lord dan Lady Kim. Dan kakak dari seorang adik perempuan kecil, Kim Hyoin."

Kim Taehyung mengerutkan kening tidak mengerti, kesepuluh jemari saling bertaut dengan gugup, dan bahu menegang dalam waktu sejenak. Ia mengabaikan tumpukan dokumen yang menggunung di meja kerjanya, berusaha tidak peduli ketika benda berbahan kertas dan perkamen itu sedikit mengganggu pemandangan ruang kerja—yang biasanya—terlihat rapi.

"Marquess?" ulang Taehyung, dengan ragu yang terselip dalam nada suaranya. "Mereka berada di bawah pimpinan sang Ratu?"

"Berada di posisi kedua, kalau kau ingin tahu," Jung Hoseok, dua puluh delapan tahun dengan status masih dipertanyakan, meletakkan dokumen yang baru saja dibacanya tadi tepat ke depan Taehyung. Ia menarik kursi terdekat, menempatkannya di hadapan meja kerja pemuda berambut cokelat itu, lalu mendudukinya santai sembari menyalakan sebatang rokok. "Dan yang lebih penting, keluarga Kim adalah salah satu orang Asia yang berpengaruh dalam perkembangan ekonomi Inggris sejak dua puluh tahun yang lalu."

Bola mata Taehyung melebar. "Hyung pasti bercanda."

Hoseok nyengir kuda, "Sayangnya," katanya, menghisap puntung rokok sesaat. "Tidak."

"Oh, mari sebut saja ini konspirasi," Taehyung betepuk tangan dua kali, berdiri dari posisi duduknya, lalu berjalan mondar-mandir. "Salah satu keluarga Kim baru saja dibunuh. Dan kemarin malam asisten rumah tangga mereka menemukan mayat korban di ruangan pribadinya. Tepatnya, kapan?"

"Tepat tengah malam," jawab Hoseok lugas, "pertama, karena luka tusuk di bagian dada sebelah kiri."

Satu alis Taehyung terangkat. "Pertama? Maksudmu, ada luka lain selain itu?"

Hoseok mengangguk. "Lalu yang kedua, luka tembak di bagian kepala."

"Oh," Taehyung meringis. "Jelas sekali ini pembunuhan terencana."

"Exactly, Taehyung. Sekarang, berhenti mondar-mandir seperti itu dan dengarkan penjelasanku."

Ya Tuhan, Hoseok berani bersumpah kalau Kim Taehyung itu mungkin belum bisa memasuki umur dua puluh dua tahun. Lihat saja dari cara berpakaiannya—oh, baiklah, mungkin t-shirt putih yang dipadu sweater abu yang tampak kebesaran di tubuh kecilnya itu tidak kuno—yang jauh dari kata resmi. Ditambah lagi, ketika pagi itu Hoseok datang ke apartemen Taehyung karena perintah Komisaris Park, ia bisa melihat lingkar mata di bawah kedua mata pemuda AB itu yang terlihat begitu kentara. Dan Hoseok tidak perlu penjelasan lebih jika Taehyung menghabiskan waktu semalaman tanpa tidur yang cukup. Ah, sial. Untung saja dia Jung Hoseok. Karena jika Jungkook yang melihat, keadaan tidak akan pernah bisa membiarkan Kim Taehyung untuk keluar rumah satu langkah saja.

Dan omong-omong soal Jungkook—

"Jadi, bisa Hyung ceritakan kembali kronologinya?"

Hoseok tersentak pelan, merasa ditarik kembali ke alam nyata saat suara Taehyung menyapa gendang telinganya. Ia mendapati pemuda itu sudah duduk di kursi depan meja kerja dan menopangkan dagu dengan kedua tangan; defensif, serius, tetapi imut.

(Astaga, Hoseok sudah gila).

"Korban ditemukan tadi pagi, kurang lebih pukul lima," Hoseok memulai, sengaja meletakkan cerutunya yang mulai separuh pada wadah kecil yang sudah disediakan Taehyung, (karena pemuda itu selalu marah jika debu hasil hisapannya mengotori lantai), "ketika seorang pembantu di rumah mereka menemukan mayat Kim Jongin tergeletak tidak jauh dari meja kerjanya. Dan seperti yang tadi kujelaskan sebelumnya, diduga korban meninggal pukul dua belas malam."

Taehyung mengangguk paham.

"Seperti yang kau tahu, Kim Jongin bisa ikut berpengaruh besar karena status keluarganya sebagai Marquess. Dan mengetahui mereka memiliki musuh yang tidak bisa dibilang sedikit adalah hal yang wajar, kita bisa berspekulasi kalau salah satu di antara mereka adalah pembunuhnya."

Itu benar. Hipotesa Taehyung sebelumnya tidak jauh berbeda seperti ucapan Hoseok. Di Inggris pada era Ratu Victoria, gelar Marquess tidak hanya berpengaruh pada konsisi ekonomi, tetapi juga politik dan budaya. Nyaris mencapai semuanya. Seakan-akan mereka adalah kaki tangan sang ratu yang telah disahkan oleh pemerintah.

Keluarga Kim, salah satunya. Taehyung sering kali mendengar rumor mereka, terlebih karena ia dan keluarga itu berasal dari rumpun yang sama, Asia dan Korea Selatan. Namun, begitu ia mendengar salah satu anggota keluarga Kim tewas dengan cara mengenaskan dan diduga kasus pembunuhan, Taehyung tetap merasa terkejut.

"Dan ini …"

Taehyung menunggu, melihat Hoseok merogoh saku dalam jas resmi hitamnya sebentar, lalu mengeluarkan satu benda yang membuat kening pemuda berambut cokelat itu kembali bekerut. Benda itu terbungkus plastik tebal khusus yang digunakan polisi untuk tanda bukti.

"Anyelir putih?" bisik Taehyung tanpa sadar. Memandang spesies bunga yang terdengar langka dan meninggalkan cerita gelap di baliknya itu dengan terkejut. Ketika Jack The Ripper belum meneror Inggris beberapa tahun yang lalu. "Bunga ini ada pada tubuh korban?"

"Ya." Hoseok mengangguk yakin. "Tertancap pada luka tusukannya."

Kim Taehyung tertegun.

Jelas ini bukan masalah kecil.

"Hoseok-hyung, tolong antarkan aku menemui Komisaris Park sekarang juga."


~oooOOOooo~


Taehyung selalu mengingat hal-hal kecil yang sering terjadi di sekitarnya.

Misal, seperti ia tahu kapan Jung Hoseok akan mengeluarkan rokok favoritnya. Pria itu akan mulai mengambil benda berbentuk silinder berisi tembakau yang akan dihisapnya itu tepat ketika kepalanya penuh dengan berbagai kasus yang—sedikit—membingungkan. Dan Hoseok sering kali melakukannya di depan Taehyung (jujur saja, ia tidak suka itu), berbicara mengenai apa yang akan dilakukan dan jangan dilakukan. Mengapa bisa seperti ini dan apa penyebabnya. Lalu pembicaraan terakhir, siapa pelakunya.

Taehyung juga mengingat kapan Min Yoongi—seorang pria yang cukup tua (karena tidak ingin dibilang bukan muda lagi dengan umurnya yang mendekati angka tiga puluh)—mengetuk pintu ruang kerjanya hanya untuk mengingatkan mandi dan makan. Yoongi memang bukan asisten rumah tangganya, bukan juga seorang housekeeper atau babysitter, namun Taehyung tidak pernah merasa terbebani dengan eksitensinya di sebuah flat yang ia tempati.

Dan sekarang, Taehyung bahkan mengenal cara bagaimana Park Jungsoo—atau ia biasa menyebutnya Komisaris Park—menatapnya dengan sorot mata agak tidak suka meski cemas dan harapan sempat terselip di baliknya. Contohnya, saat ini.

"Aku sudah menduga kau akan datang, Detektif Kim," pria berkepala tiga itu menggeser kursi ruang rapat kepolisian yang terletak di salah satu sisi meja melingkar, lalu mendudukinya dengan gerakan penuh wibawa. Biasa, menjaga image—pikir Taehyung. Khas sekali seorang Komisaris. "Tapi maaf, mungkin untuk kasus kali ini kau tidak perlu banyak membantu."

Sepasang alis Taehyung mengerut, antara heran atau bisa menebak secara tak pasti. "Oh, dari Korea atau Tiongkok?"

Kali ini, kening Jungsoo yang mengerut bingung, lebih kepada terkejut. Ia memandang pemuda berambut cokelat di depannya itu (yang dengan santainya ikut menarik salah satu kursi sambil mendudukinya santai tanpa dipersilakan) tanpa berkedip.

"Dari mana kau tahu?"

Taehyung mendongak. "Ya?"

"Dari mana kau tahu?" ulangnya, terdengar lebih menuntut. "Soal Korea atau Tiongkok yang kau maksud tadi, Detektif Kim."

Sebelah alis terangkat, satu lengan bertumpu sebagai penopang dagu, lalu sudut bibir tertarik usil. Taehyung mengerutkan kening beberapa saat—pose yang dilakukannya agar ia terlihat sedang berpikir—sebelum akhirnya berkata. "Well, tiga hari dua malam berada di Korea dan dua hari dua malam sebelumnya di Tiongkok. Bertemu dengan kepolisian dari tanah kelahiran, misalnya? Tapi anda lebih menghabiskan waktu dengan menghadiri pernikahan teman lama. Oh, apa anda tidak takut dengan pertikaian antara Korea Selatan dan Koreat Utara? Kudengar, mereka sedang berperang. Padahal sama-sama Korea, dasar aneh. Lalu, bagaimana festival musim dingin di Tiongkok, Sir? Anda harus sering memakai mantel yang tebal. Di sana saja suhunya sudah menurun dratis, mencapai sepuluh sampai lima belas derajat celcius. Sekarang bagaimana dengan London? Saya harap dengan suhu hampir mencapai minus empat derajat celcius tidak membuat flu anda bertambah parah, Sir."

Taehyung selalu suka melihat gurat wajah kebingungan pada setiap manusia yang ditemuinya. Itu membuatnya bertanya-tanya mengapa mereka harus memasang ekspresi yang menurutnya aneh, contohnya Park Jungsoo, tentu saja. Membuatnya menebak apa yang mereka—khususnya Jungsoo untuk saat ini—pikirkan mengenai penjelasan yang sebenarnya tidak diminta untuk dijelaskan.

Satu menit setelah permainan menebak asal yang diceritakan Taehyung, Jungsoo menghela napas berat lalu mengembuskannya cukup cepat. Terus terang saja, ia—sedikitnya—merasa terlihat bodoh.

"Seperti biasa, Detektif Kim," nada suaranya sedikit mencemooh, Jungsoo dengan segala image seorang Inspekturnya yang tidak ingin diremehkan, "membaca pikiran setiap orang dengan tepat."

Taehyung meringis pelan, memainkan jemari telunjuk di atas licinnya permukaan meja dengan gerakan memutar, lalu terkekeh dalam hati. "Saya rasa, julukan 'detektif' tidak terlalu cocok untukku, Sir," ia kembali mengeluarkan ringisan kecil. "Dan saya bukan pembaca pikiran." Ia hanya seorang penganalisis yang jenius, astaga.

"Bukan pembaca pikiran?" Jungsoo mendengus kecil, "Aku tidak perlu bertanya bagaimana caranya kau bisa menebak semua yang kau katakan tadi, Taehyung-ssi."

Walaupun begitu, Taehyung masih sempat melihat binar penasaran yang melintas pada sepasang netra gelap dan tajam Jungsoo. Menuntutnya sederet penjelasan logis tanpa dikatakan secara lisan.

"Sebelum datang ke ruang rapat, saya sempat melihat patung kucing yang tersimpan manis di meja kerja anda, Sir. Itu sejenis Maneki Neko, buatan asli Jepang tapi anda tidak membelinya di sana. Kertas pembungkus yang sudah tersobek di sisi lain meja kerja anda berasal dari Tiongkok. Teksturnya lebih lembut dibandingkan kertas pembungkus yang diproduksi oleh Jepang. Dua hari kemudian, anda menghadiri upacara pernikahan teman lama anda di Korea. Mungkin bisa dibilang tidak hanya menghadiri, karena anda juga ditugaskan untuk bertemu dengan kepolisian setempat di sana. Dan cincin itu ..." Taehyung mengarahkan jemarinya pada jari kelingking kiri Jungsoo, di mana benda kecil berwarna perak melingkar manis pada diameter jarinya, "... cinderamata yang diberikan teman anda ketika anda berkunjung ke Korea. Saya mengenal pahatan di sekitar lingkar cincinnya, itu jenis yang dibuat dari Daegu. Ya, meskipun Daegu bukan pengrajin sebuah cincin, tapi semua itu cukup menjelaskan."

"Lalu soal flu?"

Taehyung berdeham kikuk sejenak. "Hm, wakil anda—Jung Hoseok—meminta saya untuk menyerahkan ini," botol kecil plastik yang sebelumnya tersembunyi diletakkan di atas meja, lalu menggesernya pelan dan berhenti di hadapan Jungsoo. "Chlorpheniranim maleas, zat yang selalu ada di setiap komposisi obat flu. Dan sekadar saran, Sir, jangan gunakan obat ini saat berada dalam kondisi harus berkontrasi tinggi. Kandungan kimianya memberikan efek mengantuk."

Gila. Segelintir orang menyebutnya si gila menganalisis, orang berotak tidak normal karena mengingat satu kejadian yang sering diabaikan hingga ke dasar terkecil. Namun, tidak sedikit orang yang memuja keterampilan dan kemampuannya; kemampuan dari seorang Kim Taehyung. Hoseok mungkin bisa mengerti, orang yang tidak mengenalnya akan takut, dan pihak kepolisian terkadang membencinya.

"Jadi, Sir," Taehyung merapatkan kesepuluh jemari sebagai penopang dagu, memicingkan mata hingga membentuk segaris tipis, lalu membiarkan setiap sudut bibirnya kembali tertarik usil, "dari Korea atau Tiongkok?"

Jungsoo menatapnya lama.

"Orang—yang mungkin saja—akan menjadi rekan kerjaku dalam kasus ini."


~oooOOOooo~


"Apa yang kau bicarakan bersama Komisaris Park?"

"Aku tidak dibutuhkan,"

"Eh?" Hoseok menghentikan langkah, matanya bergulir mengikuti Taehyung yang berjalan santai dan melewati langkahnya begitu saja. Mereka berdua kembali bertemu di lorong kantor kepolisian, kebetulan kecil yang dibalas Taehyung dengan gerutuan tidak suka ketika tahu Hoseok menunggunya di luar. "Apa maksudmu?"

"Well, Inspektur baru saja menemukan seorang detektif yang lebih handal dariku, sepertinya," ia bergidik ngeri ketika mengatakannya. "Terserah apa katanya aku tidak peduli. Yang penting, aku tidak akan melepaskan kasus ini."

Hoseok mengernyit. "Jadi?"

Taehyung nyengir lebar. "Jadi, Hyung pasti mengerti, aku akan berusaha bekerja sama dengan—ah! Appo—" satu lengan ditarik mendadak, Taehyung nyaris terjungkal hingga suara ringisan sakit terdengar samar dan wajah nyaris membentur dada seseorang, "oh, Jungkook?" setelah itu mata mengerjap bingung.

"Oh!" Hoseok menyahut antusias. Melupakan rasa terkejutnya ketika Taehyung sudah tidak berada lagi di sampingnya, seseorang baru saja menarik lengan pemuda berambut cokelat itu. "Suatu kebetulan bisa bertemu denganmu di sini, Sherif Jeon."

Jeon Jungkook, dua puluh tahun, anggota kepolisian khusus termuda dengan kemampuan daya ingat tinggi yang disebut memori fotografi. Membantu para detektif kepolisian setempat, khususnya London yang saat ini menjadi tugas pengawasannya, dengan kecerdasaan otaknya di atas rata-rata. Pemuda seratus delapan puluh satu sentimeter itu tampak begitu berkarisma dengan caranya sendiri. Sepasang mata bulat namun tajam (Taehyung terkadang takut akan sorot matanya, tentu saja), rahang tegas di sekitar tulang pipi, dan deretan gigi berkerangka kelinci yang tersembunyi di balik belahan bibir terkatup.

"Suatu kebetulan juga bertemu denganmu, Inspektur Jung," Jungkook mengulas senyum tipis, tipis sekali. Orang bilang, putra sulung keluarga Jeon yang satu ini terkenal agak angkuh dalam menyapa. "Dan kau, Kim Taehyung," matanya mendelik cepat, melirik pemuda di bawah empat sentimeter darinya itu dengan tajam, "… apa yang kau lakukan di sini?"

Hoseok bersiul pelan.

(Informasi tambahan : kekasih resminya Kim Taehyung).

Taehyung hampir mendengus, lalu menepis pelan cekalan Jungkook di lengannya. "Belajarlah memberi sapaan lebih hangat lagi, Jeon. Dasar tidak sopan."

Jungkook menghela napas pelan, sulit juga berbincang bersama orang yang satu tipe dengan dirinya sendiri; keras kepala. "Aku melakukannya refleks saat melihatmu," ia mengerutkan kening tidak suka ketika Taehyung membalasnya dengan sepasang bola mata berotasi malas. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu,"

"Tidak sekarang," tolak Taehyung. "Aku sibuk."

"Sekarang, Kim."

"Tidak."

"Sekarang."

"Tidak dan jangan lagi mem—"

"Err, kalian berdua?" Hoseok menginterupsi, menambahkan tawa kecil di ujungnya sebagai pelepas ketegangan, setelah itu terbatuk palsu. "Aku akan pergi, sebaiknya cari tempat yang sepi untuk berdebat. Dah."

Sial, Kim Taehyung berusaha menahan setiap kata umpatan bersifat sarkastik yang akan diberikannya kepada Jung Hoseok. Pria itu meninggalkannya begitu saja tanpa merasa dosa sedikit pun. Karena, terus terang saja, Taehyung mengenal baik siapa itu Jeon Jungkook; baik luar dan dalam. Berterima kasihlah kepada kemampuan menganalisanya yang tidak pernah Taehyung minta, ia hampir bisa mengetahui bagaimana caranya menghadapi pemuda yang lebih muda dua tahun darinya itu jika dalam keadaan mood yang tidak bagus. Misalnya, seperti sekarang ini.

"Cepat katakan," sahut Taehyung ketus, kedua lengan bersilang di depan dada dan punggung bersandar sejenak pada dinding dingin di belakangnya. Omong-omong, seharusnya Hoseok tidak perlu repot-repot memberikan saran mengenai tempat yang sepi. Sepanjang lorong yang saat ini menjadi pijakannya pun sudah cukup membantu. "Setelah ini, aku akan pergi ke suatu tempat."

Jungkook mengangkat alis. "Kau marah."

"Aku tidak marah, bocah!"

"Jangan panggil aku bocah," koreksi Jungkook, jelas sekali nada suaranya tersinggung, "dan kau sama sekali belum sembuh dari mood-mu yang labil itu sejak seminggu yang lalu, Detektif Kim. Memangnya kau apa? Semacam bocah lima tahun?"

"Yakaiiissh!" Taehyung mendesah frustasi, mengacak rambutnya depresi, lalu mencebik kecil. Ia enggan melayangkan pukulan tepat di rahang tegas pemuda Jeon itu. Soal analisis ia bisa bersombong diri, tetapi dalam adu fisik, Jeon Jungkook menjadi pilihan terburuk untuk dijadikan lawan. "Baiklah, kita bersikap seperti biasa lagi saja, oke?" satu pukulan ringan mengenai bahu Jungkok. "Kau bersikap biasa, begitu pula aku. Dan sekarang, aku akan pergi—"

"Tunggu sebentar, Kim," lagi, Jungkook dengan mudah menahan lengan Taehyung sebelum si pemilik pergi darinya. Kim Taehyung boleh saja gesit seperti bayangan, tapi semua itu tidak akan bisa menandingi kelincahan gerak refleks seorang Jeon Jungkook. "Dua pertanyaan lagi,"

Taehyung mendengus kecil, menunggu menjadi pilihan terbaik.

"Pertanyaan pertama, kau sudah mendengar kasusnya?"

Segaris lengkung tipis terbentuk. Simpel dan misterius. Pergerakan Taehyung melunak seketika, ia bisa berubah mood dalam sekejap waktu jika mau. Dan Taehyung mengenal betul bahwa Jungkook selalu memberikan caranya sendiri yang terkadang—sedikitnya, mungkin—membuat Taehyung berdecak kagum.

"Kim Jongin, Marquess kebanggaan sang ratu abad ini, hanya tinggal nama." Sepasang netra mahoni yang sering kali berbinar antusias itu kini menggelap; seperti orang mati, tetapi mengejar sang pelaku. "Bunga anyelir putih yang tertancap pada tubuh korban bisa menjadi petunjuk penting."

"Anyelir putih?"

Sebelah alis Taehyung terangkat. "Kenapa?"

Jungkook menggeleng. "Bukan apa-apa," lalu mengulas senyum tipis. "Pertanyaan kedua, ke mana perginya kau kemarin malam?"

"Oh, mulai lagi," gerutu Taehyung malas, menolak protes begitu Jungkook mulai merapatkan tubuh ke arahnya, hingga lengan kanan terjulur hanya untuk menempatkannya di sisi kiri kepala Taehyung. "Serius Jungkook, kalau kau bertanya kenapa aku tidak menjawab telepon rumah, itu artinya aku ada di luar. Dan jika kau bertanya lagi kenapa aku tidak mengatakan apa-apa padamu, harusnya kau tahu aku sedang berada di gedung opera. Jangan melihatku seperti itu Jeon, dua hari yang lalu aku tidak bisa menonton pertunjukan Hamlet karya William—"

Taehyung berhenti. Ia tidak menduga Jungkook akan berlaku senekat ini. Mencuri kecupan singkat di bibirnya tidak lebih dari hitungan lima sekon. Sial, seharusnya ia tahu pemuda itu bisa mencari setiap kesempatan dalam kesempitan yang ada.

"—Shakespeare." Taehyung mengerjap, sekali, dua kali, "ini di kantormu, bodoh. Kau ingin dipecat?"

"Well, Hoseok-hyung terlalu pintar memilih tempat yang cocok," ada seringai yang terpoles, manis dan mengerikan di saat bersamaan. Di saat seperti ini, ia bisa leluasa memanggil Hoseok tanpa harus menggunakannya embel-embel Inspektur. Karena demi cerutu kunonya Sherlock Holmes, Jungkook sudah menganggap pria berjiwa harapan itu layaknya seorang kakak. "Dan kepolisian harus berpikir dua kali sebelum memecatku."

"Cih, percaya diri sekali."

"Kau mengenal siapa diriku, Kim."

Taehyung mengabaikannya. "Omong-omong, bisa aku pergi sekarang?"


~oooOOOooo~


"Korban ditemukan dalam keadaan terlentang tidak jauh dari meja kerja. Diperkirakan tewas pada pukul dua belas malam. Tapi sebelum itu, Nyonya Chon—asisten rumah tangga keluarga Kim—sempat mendengar suara musik klasik yang diputar dari piringan hitam satu jam sebelum korban tewas. Dan lagu yang terdengar, fur elise karya Ludwig Van Beethoven." Hoseok menjelaskan, mereka ulang kronologi secara garis besar yang tertulis di buku catatan kecilnya.

"Pukul sebelas malam?" sepasang alis Taehyung bertautan. Ia meletakkan secangkir dejeerling hangat yang baru disesapnya sedikit dengan hati-hati di atas meja (jamuan yang diberikan ketika ia mendatangi kediaman Kim), dan kembali berkata, "Apa yang anda lakukan pada malam hari seperti itu, Madame?"

Nyonya Chon—begitu semua orang memanggilnya—mengusap ujung matanya yang terlihat bengkak menggunakan sapu tangan, setelah itu menarik napas sepanjang mungkin. Wanita tua itu terlihat pucat, rasa syok yang baru saja dialaminya membuatnya kacau.

"Akhir-akhir ini Tuan muda selalu lembur di ruang kerjanya," getar dalam nada suaranya lembut, hal ini menjadi nilai tambahan bagi Taehyung untuk tahu bahwa wanita itu berkata jujur sesuai isi hatinya. "Dan karena Tuan besar lebih sering menghabiskan waktunya di kantor sampai jarang pulang ke rumah utama, Nyonya besar meminta saya untuk mengecek keadaan Tuan muda jika sedang lembur. Untuk itu, saya akan terbangan pada pukul sepuluh sampai dua belas malam dan membawakan Tuan muda makanan kecil."

Taehyung bangkit berdiri, meletakkan ibu jari dan telunjuk di bawah dagu sambil berjalan pelan mengitari ruang tamu. Sesekali keningnya akan berkerut, lalu kali lain ia akan menggigit bibir bagian bawahnya, dan akhirnya kembali mengerutkan kening.

"Anda bilang Nyonya Kim meminta anda untuk mengecek keadaan Tuan muda,"

Nyonya Chon mengangguk.

"Lalu, kenapa Nyonya Kim tidak mengeceknya saja sendiri?"

"Taehyung," Hoseok berdeham cukup keras. "Perilakumu."

"Tidak apa-apa, Inspektur," kilah Nyonya Chon sebelum Taehyung membuka mulut ikut menimpali. "Saya cukup sering mendengar pertanyaan itu, bahkan Tuan Muda Jongin sendiri pernah menanyakannnya pada saya." Jemari keriputnya kembali mengusap mata dengan sapu tangan. (Mengenang sesuatu yang buruk membuatnya rapuh). "Akhir-akhir ini, Nyonya besar sibuk dengan jadwal panggung di beberapa gedung opera besar, khususnya Royal Opera House. Karena tidak ada waktu sama sekali untuk pulang, maka Nyonya besar menyerahkan tugas menjaga anak-anaknya kepada saya."

"Pemain opera?" Hoseok bertanya bingung; antara kagum dan terkejut. "Nyonya Kim adalah permain opera?"

"Hyung tidak tahu?" alih-alih Nyonya Chon yang menjawab, Taehyung malah memberinya tatapan meremehkan (memang kebiasaan, dan Hoseok tahu itu). "Aku menonton drama Hamlet yang ditampilkan di Opera House kemarin malam. Nyonya Kim berperan sebagai Ophelia di sana, sungguh cantik."

Perlahan, Nyonya Chon tersenyum. Tidak lebar, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa keadaannya mulai terlihat baik. "Nyonya besar memang sangat terkenal di kalangan pemain opera. Permainan sandiwaranya selalu membuat penonton kagum. Di sisi lain sangat berbakat, Nyonya besar juga disukai banyak orang karena keramahannya."

Orang bilang, Nyonya Kim—atau bisa dipanggil juga Lady Kim karena gelar sang Marquess —merupakan bangsawan wanita sempurna di antara bangsawan lainnya. Paras yang cantik dan tingkah anggunnya tidak perlu dipertanyakan. Ditambahkan lagi, kepiawaiannya dalam memerankan lakon dalam sebuah drama sudah diakui oleh semua sutradara terkenal di setiap pertunjukan opera di London. Wanita itu juga pernah bermain di teater Broadway, Amerika. Taehyung mungkin tidak mengenalnya, tapi ia pernah bertemu dengan wanita itu saat pesta dansa waltz Ratu Victoria digelar secara terbuka. Taehyung berhasil diundang menjadi tamu dengan modal kecerdasannya dalam memecahkan kasus bersama para polisi London, khususnya kawasan Whitechapel.

Namun, siapa sangka pemain opera terkenal dengan gelar Marquess seperti Lady Kim bisa mendapat musibah yang mengerikan dan terkait kasus pembunuhan keji seperti ini?

"Selain anda yang mendengar lagu Beethoven diputar saat pukul sebelas malam, apa ada orang lain yang ikut mengecek keadaan korban? Atau tahu bahwa Kim Jongin sering terjaga sampai pukul dua belas malam?"

Tidak butuh waktu sampai satu menit bagi Nyonya Chon untuk menjawab. "Tidak ada," katanya, "di rumah ini yang tahu keadaan Tuan muda hanya saya, kepala butler, dan beberapa kepala koki. Tapi yang lebih sering mengecek keadaan Tuan muda adalah saya."

"Aku juga sudah bertanya kepada penjaga dan pekerja kebun di sini, tapi kebanyakan dari mereka mengatakan tidak tahu korban akan terjaga sampai larut malam," bisik Hoseok tiba-tiba ke arah Taehyung, teringat dengan investigasinya sebelum pemuda itu datang. "Omong-omong, apa Anda tidak melihat hal yang mencurigakan di sekitar rumah?"

Nyonya Chon tampak merenung, lalu menggeleng pelan. "Saya rasa tidak ada," ia mengernyit sebentar, lalu, "Tapi saya sempat mendengar pintu tertutup di ruang kerja Tuan muda, mungkin beberapa menit sebelum lagu diputar dan berpikir mungkin Tuan muda baru saja masuk. Lalu, tepat ketika setelah musik berhenti, saya kembali mendengar pintu terbuka. Ini menjadi kesempatan saya untuk menyimpan camilan di meja kerja Tuan muda, dan begitu saya masuk …" jeda yang cukup panjang, Nyonya Chon menggeleng lemah dan kembali menenggelamkan wajahnya di antara kesepuluh jemari yang keriput. Membuat wanita itu kembali membuka luka yang baru saja yang dialaminya.

"Baiklah, kami mengerti." Taehyung berjalan mendekat, tangannya dengan refleks terangkat untuk mengusap punggung wanita yang terlihat gemetar itu. "Maaf mengganggu waktumu, Madame. Dan terima kasih atas penjelasannya, anda boleh beristirahat sekarang."

Setelah perawat pihak rumah sakit mengantarkan Nyonya Chon ke kamarnya sendiri di rumah utama keluarga Kim, Taehyung memutuskan untuk menemui Jungkook. Awalnya ia ingin melanjutkan sesi investigasi dan bertanya kepada kepala keluarga juga isterinya. Namun, wawancara terpaksa diundur ketika wanita cantik itu berteriak histeris sejak mengetahui putra sulungnya terbunuh dengan cara tidak wajar sehingga jatuh pingsan setelahnya. Ini menjadi trauma yang besar baginya, maka Taehyung menolak untuk memaksa. Yang jelas, Hoseok juga tidak menaruh kecurigaan pada Nyonya Kim karena wanita itu memiliki alibi yang kuat oleh berjuta penonton di gedung opera.

Berbeda lagi dengan Tuan Kim, pria berwajah serius itu menolak untuk diwawancara secara terbuka dan meminta pengacara terbaiknya untuk menjelaskan. Kepala keluarga memang bisa terlihat sombong dan angkuh.

"Menemukan hal yang menarik, Ma Cherie—aduh! Tidak perlu mencubitku juga Taehyug," Jungkook meringis sakit sembari mengelus pelan daerah pinggang, menggerutu dalam hati mengapa kekasihnya senang sekali membuatnya menderita.

Taehyung memicingkan mata. "Kita sedang di luar, Mon Cher. Berhenti memanggilku dengan sebutan menggelikan itu," ia melihat sekeliling, di mana taman belakang rumah utama tampak ramai oleh berbagai polisi dan pihak rumah sakit. Taman yang sangat luas, meski tidak seluas taman istana kerajaan. Taehyung hampir tergiur untuk memasuki petak-petak labirin yang berdiri indah—dan membingungkan—di hadapannya jika Jungkook tidak segera menarik satu lengannya secara paksa. Pemuda tinggi itu mengatakan soal ia yang tidak bisa mengingat jalan dengan baik dan mudah sekali tersesat. Ya, apapun itu, Taehyung tidak peduli.

"Jadi, apa yang kau dapat?" tanya Taehyung langsung setelah memastikan hanya mereka berdua yang bisa mendengar. "Menemukan hal yang menarik juga?"

"Well, lumayan," Jungkook menekan kening Taehyung usil, yang dibalas dengan gerutuan kesal selanjutnya. "Aku mendengar wawancara kepala keluarganya, si angkuh Kim itu ternyata memiliki alibi yang kuat. Sekretaris wanitanya bilang—"

"Kau yakin bukan kekasih gelap yang disimpan?"

"Taehyung," lagi, suara tuk kecil terdengar ketika buku jari Jungkook menyentuh keningnya. "Jangan memotong pembicaraan orang sebelum selesai menjelaskan. Dan ya, itu bisa menjadi hitungan. Lalu, soal yang menariknya, kau mungkin tidak akan menduga ini."

Senyum Taehyung mengembang. "Apa? Seperti bunga Anyelir putih yang bukan berasal dari London? Dari tanah kelahiran Nyonya Chon, misalnya? Yaah, meskipun dalam nadi wanita itu mengalir darah Korea, tapi dilahirkan di sebuah kota mode yang terkenal di dunia itu bisa menjadi sebuah petunjuk."

"Perancis?" satu alis Jungkook terangkat. "Pantas saja kau senang sekali memanggilnya Madame. Aku kira setiap wanita yang kau temui akan kau panggil Madame, Taehyung." Asalkan jangan menggunakan Mademoiselle, batin Jungkook. Tingkat keposesifannya bisa meningkat tajam jika ia tahu Taehyung berhubungan dengan wanita muda. Terlebih gadis-gadis London yang begitu anggun. "Aku tidak akan bertanya kenapa kau bisa tahu Nyonya Chon berasal dari Perancis, tapi yang penting, ini menyangkut soal Tuan Kim."

Gurat wajah Taehyung mengeras. "Ada apa dengan kepala keluarganya?"

"Tuan besar itu mendapatkan pesan sebelum ia menyadari kematian anaknya terjadi."

"Oh." Taehyung mengerjapkan mata. "Surat cinta?"

Ya Tuhan, Jungkook ingin menelan pemuda bertampang sok polos di depannya itu sekarang juga. Mengapa lidahnya tidak bisa berhenti mengucapkan kata yang aneh?

"Surat, Taehyung, hanya pesan singkat."

Taehyung mencebik. "Aku hanya bercanda,"

"Astaga, garing sekali."

"Kau saja yang kurang humoris," tukasnya gusar. "Jadi, dari mana aku bisa melihat pesannya?"

"Ah, itu," ekspresi Jungkook berubah cepat; dingin dan sinis. Dan Taehyung bisa melihat binar tidak suka yang melintas dalam sorot matanya. "Ini menjadi hal menarik lainnya," Jungkook membuang napas kasar. "Ada seseorang yang mengenalmu, Taehyung."

Tepat ketika Jungkook mengatakannya dan Taehyung mencoba bertanya, perbincangan mereka berdua terputus tanpa permisi ketika suara lengkingan terdengar memecah atmosfer di sekitar taman; jelas dan keras.

"KIM TAEHYUNG!"


~oooOOOooo~


Park Jimin selalu tahu apa yang akan ditemukannya dan apa yang seharusnya ia lakukan.

Seperti ketika ia mendapat panggilan dari atasan kepolisian Korea dan memintanya bekerja sebagai detektif daerah London, Jimin tahu bahwa ia bisa bertemu dengan teman lama di sana. Maka dari itu, ketika pihak kepolisian memberinya kesempatan daerah mana yang akan menjadi wewenang investigasinya, Jimin tak ragu memilih Britania Raya—atau London, untuk sekarang. Terutama kawasan Whitechapel yang selama ini menyimpan banyak sejarah mengerikan.

"Kapan kau datang, Jimin?"

"Dua hari yang lalu, dan kebetulan sekali aku datang saat kasus baru saja terjadi."

"Kau membawa kutukan, eoh?"

"Sialan kau, Kim." Jimin terkekeh geli, tidak benar-benar serius dengan perkataannya.

Taehyung tertawa renyah. "Omong-omong, aku tidak menyangka kau bisa ada di London."

Kim Taehyung, salah satu contohnya. Ketika ia mendengar kasus sang Marquess terbunuh secara mendadak dan berasal dari tanah kelahiran yang sama, Jimin tahu kesempatan untuk menyelediki kasus yang dimaksud begitu besar. Ia bahkan tidak terkejut ketika Komisaris Park Jungsoo menyebut nama Kim Taehyung sebagai alasan utama memilihnya untuk memecahkan siapa dalang di balik pembunuhan sang Marquess. Hingga akhirnya, tujuan bertemu pemuda AB yang sejak lama menjadi teman kecilnya itu bisa terjadi.

"Apapun bisa terjadi, bukan?" Jimin menarik senyum simpul. Matanya bergulir mengamati setiap sudut interior flat Taehyung ketika ia mampir. Investigasi dihentikan sejenak, kepolisian meminta mereka untuk beristirahat sebelum penyelidikan dilanjutkan. Khususnya Taehyung, pemuda itu tanpa diminta merelakan diri untuk memecahkan sebuah kode pada pesan yang dtinggalkan untuk kapala keluarga Kim. "Kau tinggal sendiri?"

"Ya dan tidak," jawab Taehyung asal. Fokusnya terbagi antara kertas lusuh yang tengah ditelitinya serius (pesan yang dimaksud Jungkook) dan mendengar ucapan Jimin. "Ya, karena aku memang tinggal sendiri. Tidak, karena flat ini bukan milikku dan Yoongi-hyung yang mengatur segalanya menjadi bersih."

"Aku bukan pembantumu, Kim Taehyung!" sang subjek yang dibicrakan menyahut dari luar, tersekat antara ruang tengah dan ruang dapur.

"Aku tidak bilang begitu, Hyung!" balas Taehyung, tidak kalah besarnya. "Jimin, bisa kau jelaskan kapan Tuan Kim bisa mendapatkan—ASTAGA! JEON JUNGKOOK! Jangan keluar kamar mandi tanpa menggunakan sandal! Kau membasahi lantainya, bocah!" tangan menggebrak meja, "Yoongi-hyung! Bukan aku yang membuat lantainya basah!"

"Aku tidak bertanya apapun, Taehyung!" sahut Yoongi, "dan berhenti berteriak!"

"Aku tidak—JUNGKOOK! Jangan masuk ke kamarku!"

Blam!

"Yak!"

Jimin melongo. Benaknya dengan refleks mengulang adegan di mana ia melihat Taehyung kecil yang berteriak nyaring dan selalu memukulinya tanpa ampun. Tidak berbeda jauh seperti Taehyung kecil, karena Jimin kecil pun tidak ingin kalah dari seorang anak yang sama-sama terlahir di tahun yang sama pula. Terus terang saja, keributan kecil ini membawanya pada masa-masa ketika dunia tidak sekejam ini dengan serangakain kasus pembunuhan.

"Aiiish! Mengganggu saja," dengusan kembali terdengar, kelima jarinya nyaris meremukkan kertas yang digenggam. "Kembali ke awal, bagaimana caranya Tuan Kim bisa mendapatkan pesan ini?"

Jimin mengeluarkan suara tawa kecil sebelum menjawab. "Pesan itu terselip di antara tumpukan dokumen. Tepatnya pukul setengah dua belas, ia baru sadar dengan keberadaan kertasnya. Dalam keadaan yang sama, tanpa amplop, tanpa pengirim yang jelas, hanya secarik kertas yang mulai lusuh."

"Ini seperti peringatan, eh?" tanya Taehyung, lebih kepada dirinya sendiri. "Mungkin Pak tua itu tidak menyadari putranya sendiri yang menjadi korban." Diliriknya sesaat kertas yang tergenggam, lalu kembali menatap Jimin. "Dan aku belum bisa memecahkan semua kodenya."

Tepat saat itu, Jungkook keluar dari kamar Taehyung. Pakaiannya sudah diganti, tidak lagi memakai seragam kepolisian, tampak kasual dan santai. Pemuda tinggi itu terlihat tidak acuh sambil menarik kursi terdekat, lalu mendudukinya tidak jauh dari tempat Taehyung berada.

"Kau pasti menyadarinya, Taehyung," sahut Jungkook membuka suara. "Ini bukan hanya sekadar pembunuhan."

"Aku kira begitu," tanggapnya setuju, "ini kasus yang biasa saja, mungkin. Tapi aku merasa ini kasus yang aneh."

Ada satu hal yang membuat Jimin tidak nyaman berada di dekat seorang Jeon Jungkook. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskannya ketika pemuda itu memandangnya dengan tatapan yang sedkit, err… tidak bersahabat, sepertinya. Namun, hal terpenting yang semakin membuat Jimin penasaran adalah, bagaiamana setiap aksi yang dilakukan sang polisi kepada Taehyung dalam detik-detik yang bisa Jimin tangkap. Demi Tuhan, bukannya Jimin berpindah profesi sebagai seorang penguntit, ia hanya bisa langsung menebak bagaimana ekspresi, senyum, seringai, gurat wajah, tatapan mata, nada bicara, dengusan, kekehan, bahkan makna dari suara tawa yang menunjukkan sifat dan sikap manusia dengan satu kali pandangan. Dan ketika ia bertemu dengan Jeon Jungkook, Jimin seolah memiliki gerakan autopilot untuk tahu apa yang dipikirkan pemuda itu ketika melihatnya termasuk siapa statusnya bagi Kim Taehyung.

Well, mungkin sedikit menjengkelkan. Bukan hanya karena Jimin bisa membacanya dengan jelas, tapi karena rasanya ia sudah dikalahkan begitu saja sebelum perang dimulai oleh bocah yang katanya berprofesi sebagai polisi berbakat itu.

"Kemampuan mikro ekspresi, eh?"

Jimin tersentak pelan, lalu menoleh pada sumber suara. Di sampingnya, Taehyung memandangnya dengan sorot mata sulit diartikan. "Apa maksudmu?"

"Kau mengeluarkan kemampuanmu lagi, Park," entah mengapa Taehyung suka sekali memanggil marga pada setiap orang di dekatnya. "Kau menatap Jungkook dengan tatapan ingin membunuh, atau menelannya bulat-bulat, mungkin?" suara tawa terdengar kecil, Taehyung seperti bisa menikmati leluconnya yang terkesan garing.

(Padahal Jungkook sudah pernah memperingatinya untuk jangan pernah mengeluarkan sebuah lelucon).

Jungkook, yang merasa menjadi objek tidak langsung pembicaraan, ikut melirik Jimin dengan sudut matanya. "Siapa cepat dia dapat, Park Jimin-ssi," sahutnya tiba-tiba, mengabaikan tatapan tidak ramah Jimin yang ditujukan untuknya. "Salah sendiri kau terlambat datang dan kalah sebelum berperang."

Krak.

Oh, Jimin rasa ia mendengar sesuatu. Yah, mungkin seperti benda yang patah dan tanda siku-siku imajiner di pelipisnya. Bocah Jeon itu, tidak lebih dari si sialan yang tidak mengenal sopan santun. Terkutuklah dengan kecerdasannya (baiklah, Jimin akui itu. Hanya sedikit, sungguh), tapi ia tidak akan pernah mengakui eksitensi Jeon Jungkook dalam teritori hidupnya. Terutama untuk Kim Taehyung.

"Ng, sungguh, aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan dan kau Jeon Jungkook, berhenti menatapku seperti itu,"

Siapkan jawaban untuk setiap pertanyaanku nanti, Taehyung, katanya. See? Jimin bahkan bisa membaca dengan jelas lewat sepasang netra malam Jungkook. Terlalu jelas, malah. Terus terang saja, itu membuat rasa tidak sukanya meningkat drastis.

"Kau mungkin bisa mengetahui segala hal, Taehyung," terutama tentang kasus dan serangkaian pembunuhan termasuk siapa pelakunya. Namun, Jimin menggantungkan kalimat akhir itu di ujung lidahnya tanpa berniat dikeluarkan secara lisan. Ia berdiri, meregangkan otot sejenak sebelum akhirnya mengambil mantel yang tersampir. "Tapi, ada beberapa hal yang seharusnya tidak kau ketahui."

Sudut bibir Taehyung terangkat sinis. "Oh, benarkah? Apa saja yang tidak bisa aku ketahui, Park Jimin?"

"Kau bisa mencarinya sendiri," ketika Taehyung melemparnya dengan bantal dan telak mengenai wajah, Jimin terkekeh pelan. "Orang yang mungkin saja mengincarmu, Taehyung."

Jungkook mendelik, tapi Jimin tidak peduli.

"Hah," Taehyung hampir mendengus, "tidak ada orang yang mau mengincarku, Park. Yang ada …" matanya menggelap dengan sekilas, hanya melintas, karena Jimin berhasil menangkapnya meski sesaat. "… aku yang mengincar mereka."

Ada seringai, tipis nyaris tidak terlihat, memoles gurat wajah yang dulunya pernah terluka itu dengan manis. Jimin lagi-lagi tahu, Kim Taehyung mungkin bisa ditakuti dan dibenci pada saat bersamaan. Ditakuti oleh para pelaku, tetapi dibenci oleh polisi, detektif, inspektur, bahkan komisaris sendiri yang merasa terlihat dungu dan seakan putus harapan jika Kim Taehyung tidak mengambil andil dalam menangani kasus. Kim Taehyung mungkin bisa terlihat gila, dengan segala analisis sembilan puluh sembilan koma sembilan persennya yang membuat orang takjub; mendekati kata sempurna. Namun, sesuatu yang terlihat sempurna tidak akan selamanya sama. Baginya, bagi Park Jimin, Kim Taehyung di matanya adalah sebongkah porselen yang bisa hancur kapan saja hingga menjadi kepingan terkecil lalu terlupakan.

"Pukul tujuh malam, aku harus pergi memberikan laporan," mantel sudah terpakai rapi, suhu London ketika musim dingin memang tidak pernah main-main. "Nah, Taehyung, aku harap kita bisa bekerja sama dalam kasus ini."

Taehyung mendecih. "Katakan hal itu pada si Tua Park dan dia akan membenciku selamanya,"

"Tanpa Komisaris Park memintamu pun, kau akan lebih dulu menjadi rekannya, Taehyung," timpal Jungkook kemudian. "Tidak perlu berpura-pura kalau kau bisa setia menuruti perintahnya."

Jimin mengedikkan bahu lalu terkekeh samar. Ia membawa satu tangannya untuk mengacak asal puncak kepala Taehyung sebelum memutuskan beranjak ke bawah di mana pintu keluar menunggu.

"Jimin," panggil Taehyung, "kalau kau mencari makan malam, jangan mencarinya di daerah Baker Street karena itu tidak berguna. Musim dingin bisa membuat orang London menjadi gemuk. Dan jangan membuat mood Komisaris Park bertambah buruk saat kau menyebutkan namaku dalam laporanmu nanti. Ah, hati-hati saat melangkah, Park. Kau bisa terjatuh seperti tadi pagi dan sungguh, itu akan berakibat fatal jika tulang ekormu retak."

Satu, Jimin tidak akan terkejut (dari mana Taehyung tahu ia akan mencari makan malam atau kebodohan kecilnya tadi pagi ketika ia terjatuh dan membuat pinggulnya terasa sakit). Dua, Jimin tidak akan bertanya. Dan ia juga menolak untuk mencari tahu bagaimana bisa Taehyung bisa menebaknya dengan begitu tepat menuju sasaran.

"Tentu, trims Taehyung." Balas Jimin singkat. "Kau bisa menghubungiku kapan saja untuk bantuan," tambahnya sebelum menghilang, "dan, oh—Jungkook,"

Yang dipanggil menoleh malas.

"Tenang saja, aku belum kalah pada perang yang kau maksud. Menurutku, adanya perang kedua mungkin tidak buruk juga." Bibirnya memulas senyum. Jimin tak perlu menunggu Jungkook menanggapinya bagaimana, karena ia sudah mengetahuinya lewat tatapan pemuda itu sebelum Jimin benar-benar pergi meninggalkan gedung flat Taehyung.

Malam ini, London menjadi kota terdingin yang pernah Jimin rasakan.


~oooOOOooo~


"… ini kisah satu dekade silam yang belum pernah diceritakan …"

Jungkook melirik jengah ketika—lagi-lagi—Taehyung merapalkan sederet kalimat sama yang keluar dari bibir tipisnya sejak satu setengah jam berlangsung yang dihabiskan dengan keheningan tanpa perbincangan yang jelas. Taehyung tampak sibuk dengan kertas lusuh yang sedari tadi enggan dilepasnya, tampak serius dengan kacamata berbingkai hitam bertengger di hidung, kening mengerut begitu kentara, dan ibu jari yang terjepit di antara gigi geraham atas juga bawah. Jungkook sempat berpikir ngeri jika Taehyung berhasil memutuskan ibu jarinya dalam hitungan sekon.

"… satu dekade silam, dekade silam, dekade silam …." Gumamnya tanpa henti, menyerupai bisikan seorang peramal. "Kira-kira, apa yang terjadi saat sepuluh tahun yang lalu?" tanyanya kepada diri sendiri, tidak sadar Jungkook bisa saja mendengar.

"Kasus pembantaian keluarga dengan gelar Duke sebelum keluarga Kim diangkat menjadi Marquess."

Seakan kabut hitam di sekeliling dunia kecilnya hancur, Taehyung mengerling penasaran. Tidak menoleh, ia hanya mendapati Jungkook di sana; duduk santai dengan kaki bersilang di atas sofa. Sesaat, Jungkook seperti melihat kilatan aneh yang melintas dalam binar mata Taehyung. Atau mungkin hanya perasaannya saja.

"Dari mana kau tahu?"

Kening Jungkook berkerut samar. "Aku menanyakan hal yang sama padamu."

Taehyung melepas kacamata, lalu menghela napas lelah sembari menyandarkan punggung pada sandarkan kursi. Jungkook tahu pemuda itu lelah, sangat lelah. Namun, ia juga tahu memerintah Taehyung beristirahat dalam keadaan serius dan terlarut dalam kasus sudah pasti menjadi sia-sia. Seseorang yang keras kepala akan sulit ditaklukan oleh orang yang keras kepala pula.

"Aku pernah mendengar cerita singkatnya," mulainya lirih, seakan memutar memori yang sudah lama tersimpan; berdebu karena sudah lama tidak tersentuh. "Kalau tidak salah, saat Inggris sedang tidak mengalami pergejolakkan politik dan masa di mana terjadinya revolusi besar-besaran dilakukan."

"Kau benar," Jungkook berdeham pelan, lalu mengubah posisi agar lebih menghadap ke arah Taehyung. "Salah satu keluarga berdarah asli Korea Selatan berhasil meningkatkan ekonomi Inggris secara pesat. Sesuatu yang terjadi di luar kendali, juga mencengangkan sebenarnya. Pada saat itu, Ratu Victoria tidak segan-segan mengangkatnya langsung menjadi keluarga dengan gelar terhormat, yaitu Duke. Gelar yang melebihi Marquess."

"Duke, ya?"

Jungkook tak mengerti mengapa Taehyung bisa tertawa sinis seperti itu.

"Menurutku, Duke hanyalah nama yang lebih sopan digunakan untuk sebutan anjing penjaga sang ratu," ia membuang napas kasar, setelah itu melakukan gerakan mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk; gestur yang dilakukannya ketika Taehyung berpikir keras. "Tak aneh gelar Duke bisa menjadi sesuatu yang dibenci oleh setiap keluarga bangsawan. Gelar ini memikiki koneksi lebih luas lagi dengan sang ratu. Kaki tangan, kepercayaan, wewenang, kebebasan, semuanya diberikan untuk dan oleh sang ratu."

"Alasan utama kenapa mereka dibantai begitu kejam,"

Taehyung mengangguk singkat. "Ada dua versi cerita yang kudengar. Pertama, semua angota keluarga dibunuh secara masal, tanpa menyisakkan satu anggota sekalipun. Beberapa sumber mengatakan rumah mereka dibakar, tapi beberapa juga bilang pembantaian dilakukan dengan cara pembunuhan tertutup. Yang jelas, nama keluarganya habis tidak bersisa. Lalu yang kedua," jari telunjuk dan tengah terangkat, membentuk huruf V yang Taehyung acungkan ke sana kemari. "… satu dari empat anggota keluarga yang dibunuh, berhasil terselamatkan."

Sherlock Holmes pernah berkata; untuk mengungkap suatu kasus pembunuhan, berpikirlah seperti pembunuhnya.

Ketika ia pertama kali bertemu Kim Taehyung dalam sebuah kasus yang membuat kepolisian nyaris mengangkat bendera putih kepada lawan, Jungkook menganggap pemuda bergolongan darah AB itu adalah manusia berakal tidak waras, tetapi jenius. Tidak waras, karena Taehyung kerap kali berkata bahwa si pelaku mengambil tindakan sebaliknya dari perkiraan para detektif. Mengeluarkan berbagai premis yang bersifat implikasi, di luar nalar manusia biasa, bahkan hampir terlihat mustahil. Saat itu, tak ada satu pun orang yang percaya padanya meskipun Jungkook tahu Komisaris Park terlihat ragu dengan pikirannya sendiri. Dan jenius, karena apa yang dikatakannya adalah benar. Sempurna. Titik terang yang membuat kasus berhasil ditutup dengan hasil memuaskan.

Perlahan-lahan, Jungkook mulai mengerti. Jalan pikiran seorang Kim Taehyung bisa dikatakan lebih dari sekadar unik. Taehyung tidak hanya menempatkan diri sebagai seorang korban atau pun sang penyelidik, tapi ia juga menempatkan posisinya sebagai seorang pembunuh.

Maka, tak salah jika orang seperti Jeon Jungkook bisa memberikan perhatian lebih kepada Kim Taehyung. Dimulai dari rasa kagum (meskipun secara diam-diam), rasa kagum merambat pada penasaran yang memuncak, setelah penasaran mencoba mendekati, dan saat mendekati berubah menjadi menyukai; menyimpan perasaan lebih dari sekadar tahu atau kenal, akhir dari menyukai hati kecilnya berbisik ingin memiliki sepenuhnya. Hingga rasa memiliki itu tidak akan jauh berbeda untuk melindungi.

"… kau mengerti kan, Jungkook?"

Satu, dua, tiga, Jungkook mengerjapkan mata. "Apanya?"

Taehyung menganga, sepasang bola matanya melebar sempurna. "Astaga! Kau tidak mendengarkanku sama sekali?!" ia menggelengkan kepala dengan gerakan dramatis, lalu mendesah pasrah. "Kau jahat, Jeon."

Taehyung dengan ekspresi terkejut dan memberenggut marah seperti itu sungguh terlihat imut, dan Jungkook tahu bahwa sudut hatinya selalu memberontak untuk melakukan penyarangan kecil. Ia segera berdiri, hanya untuk membawa dua kakinya melangkah pelan mendekati si gila analisis dengan kemampuan mengamatinya yang tajam.

"Menurutmu, apa motif si pelaku membunuh korban dan mengirimnya pesan berisi petunjuk?" tanya Taehyung telak, memberikan kalimat bernada sarkastik saat ia tahu tubuhnya mulai membeku karena Jungkook memakunya dengan sorot mata yang begitu dalam; lekat, lembut, dan penuh nafsu.

"Jawabannya mudah," bisik Jungkook parau, tepat di sisi kanan telinga Taehyung ketika jarak tubuhnya sudah berada begitu dekat. Sebelah tangannya tidak diam dan merayap di meja terdekat samping kursi yang diduduki Taehyung hanya untuk mengambil dasi yang tergeletak bisu tidak jauh dari kacamata Taehyung tersimpan, lalu menarik kedua lengan si manik mahoni dan mempertemukannya dengan dasi yang mengikat erat. "Balas dendam."

"Kenapa …" Taehyung balas berbisik, suaranya tercekat di ujung tenggorokan. Terlebih ketika ia merasakan Jungkook menarik dagunya cepat hingga Taehyung terpaksa mendongak, (sial, jika saja kedua tangannya tidak terikat oleh dasi sialannya juga, Taehyung sudah pasti memberikan tamparan telak). Dua biner malam yang memandangnya lamat-lamat itu membuat sel-sel saraf motoriknya lesu dalam kungkungan peluh. "Apa yang kau lakukan bo—"

Kalimatnya tidak pernah selesai, setidaknya untuk saat ini. Seharusnya Taehyung menyadari lebih cepat bagaimana desir alirah darahnya akhir-akhir ini mudah mencandu ketika putra sulung keluarga Jeon di hadapannya itu mulai mencumbu. Terutama soal kecupan selamat datang yang mengklaim bibirnya dengan begitu mudah, begitu ringan, dan begitu menggairahkan. Seharusnya ia tahu kepakan sayap kupu-kupu yang bergerumul di sekitar perutnya akan mudah memberontak. Memaksa untuk lepas dari sarang emas yang mengurungnya dengan begitu brutal; menggelitiknya tanpa ampun. Dan seharusnya ia mengerti, Jeon Jungkook selalu memberikan semuanya kepada Kim Taehyung. Selalu. Baik itu sebuah ciuman, sentuhan nakal, bahkan rasa posesifnya yang tinggi.

Taehyung melenguh pelan. Jeon Jungkook yang ia kenal tidak mengenal kelembutan dalam suatu hubungan yang bersifat intim dan lebih menuju fisik. Serampangan bisa menjadi nama tengahnya, terburu-buru juga penuh emosi yang mengikuti. Jungkook selalu bisa melambungkan dirinya jauh ke atas langit, sebelum akhirnya kembali dihempaskan ke dasar bumi.

"Balas dendam …" Taehyung menarik oksigen sebanyak mungkin, tepat tiga puluh detik setelah pagutan terlepas, "… tidak akan menyelesaikan apa—bloody hell, Jungkook!" ia memekik ketika jemari-jemari panjang Jungkook merayap di sekitar perut ratanya, sedangkan si pemilik jari membenamkan seluruh wajahnya di seluk beluk lehernya yang terbuka. "Berhenti bertindak bodoh dan lepaskan ikatannya!"

"Kau terlalu banyak protes," gumam Jungkook, memberikan sensasi geli sekaligus candu bagi Taehyung ketika dua belah bibir pemuda itu bergerak di sekitar perpotongan leher dan bahu telanjangnya. "Dan menggerutu akan banyak hal—aw!"

Taehyung menendangnya tepat di tulang kering, menggagalkan bibir Jungkook untuk menyentuh perut ratanya yang Taehyung tahu akan dibanjiri oleh berbagai macam kecupan. Jungkook selalu tahu bagaimana membuatnya tampak kecil dan tidak berguna.

"Jangan cium perutku, bocah. Aku tidak suka,"

Jungkook mengusap denyutan ngilu yang menjalar di sekitar paha dan selangkangannya, akan jadi memar, sepertinya. Terkutuklah kau, Kim Taehyung.

"Sudah pukul sembilan malam, lepaskan ikatanku dan pergi sana," tidak ada perintah dalam nada suaranya, hanya sebuah peringatan kecil yang diucapkan denga sedikit tidak rela.

"Aku tidak akan pergi,"

"Pergi,"

"Tidak,"

"Pergi,"

"Kau pasti akan begadang lagi semalaman,"

"Pergi,"

"Satu jam lagi, sampai aku melihatmu tertidur le—"

"Pergi,"

"Tae."

"Jungkook, pergi."

Hening sejenak.

"Komisaris Park akan lebih membenciku jika salah satu polisi kesayangannya terlambat menjalankan tugas. Dan kau, Jeon Jungkook, bereskan dulu apartemenmu sebelum memerintahku untuk tidur lebih awal."

"Apa ini? Kau takut terhadap Komisaris Park?"Jungkook tersenyum meremehkan.

"Faktanya, tidak. Aku tidak takut pada komisaris aneh itu. Tapi yang menjadi opininya, koneksiku akan jadi sedikit sulit jika berhubungan dengan kepolisian. Sekarang aku minta kau—"

"Ya, ya, ya," Jungkook mengibaskan sebelah tangan malas di depan wajah Taehyung, menunduk sejenak hanya untuk mencuri satu kecupan di bibir pemuda itu (dan melepaskan ikatan dasi di lengan Taehyung, tentu saja), berjalan menjauh sambil mengambil mantel yang tersampir, lalu beranjak meninggalkan. "Selamat malam, Tae. Jangan begadang lagi, ingat, aku mengawasimu."

"Ya, ya, ya," Taehyung mencibir sebal, "bereskan apartemenmu, Jeon. Dan ingat, aku mengawasimu."

Jeon Jungkook tak perlu bertanya mengapa Taehyung bisa mengetahui keadaan apartemennya.


~oooOOOooo~


11.00 p.m

Fur Elise, Ludwig Van Beethoven.

Tangannya gemetar—tidak, sekujur tubuhnya gemetar.

Ada sesuatu yang menghambat jalur pernapasannya tepat di bagian tenggorokan dan kerongkongan; menjeratnya erat, memerangkapnya terlalu rapat. Indera penciumannya menolak untuk digunakan, bahkan bibir yang seharusnya mengeluarkan oksigen pun mengkhianati perintah sel otaknya.

Kulitnya mulai membiru, terutama darah yang mengalir di sekitar wajahnya. Ia seperti merasakan tremor yang berlebihan untuk jemari-jemari yang menggapai tidak berguna. Jangankan untuk menarik udara sebanyak mungkin, mengucap kata seperti tolong saja begitu sulit dilakukan.

"Lihat apa yang terjadi pada anakmu."

Hentikan! Batinnya berteriak panik.

"Dan kau seharusnya ingat mengenai dosa busukmu yang selama ini disembunyikan,"

Bola matanya membelalak. Antara terkejut dan napas yang mulai menipis.

"Kau ingat padaku? Tidak?" suara tawa getir terdengar; mengerikan dan penuh luka. "Lihat mataku, apa aku mengingatkanmu pada seseorang?"

Ia ingat. Demi Tuhan, ia mengingatnya!

"Hidungku, bibirku, dan cara bicaraku. Cari sampai dasar memorimu yang sudah kau hapus dulu, cari dengan benar. Ingat kembali, apa yang sudah kau lakukan kepada kami. Apa yang sudah kau rebut, kau hancurkan, dan kau lenyapkan dengan mudah. Lihat aku, dan ingat baik-baik … siapa aku,"

Pening. Ia tidak tahan lagi. Dunia seakan mengecil di sekelilingnya. Matanya pun enggan bertahan untuk terbuka.

Namun, ia tetap mencoba mengeluarkan suara.

"Ma …"

Hilang. Hilang. Hilang.

Napasnya menghilang.

"…af …"

Satu seringai sinis; maaf katamu?

"Kau terlambat."

Satu jeratan erat, satu tarikan cepat, dan satu cahaya yang terakhir dilihatnya.

"…ukh..."

Suara pekikan kecil; lemah, lemah, dan melemah tanpa henti.

"Selamat tinggal, bedebah Kim."

Setelah itu, sepi mendominasi.


~oooOOOooo~


Suara apa itu?

Park Jimin mengerang kecil, mengutuk apa saja begitu gendang telinganya tidak terasa hening ataupun tenang. Sesuatu membuatnya terjaga, memaksanya membuka mata. Tangan kiri spontan menggapai nakas samping tempat tidur, mengambil benda apapun yang bisa mengeluarkan suara dering yang begitu nyaring. Benda seperti… telepon, astaga. Mengapa telepon apartemennya bisa berisik sekali?

Mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang belum terkumpul penuh, Jimin mencoba bangkit. Butuh perjuangan sedikit besar ketika kantuk tetap menyerang kedua matanya dan ia harus bisa berjalan lima langkah dari tempat tidurnya menuju benda sialan yang terus mengeluarkan bunyi monoton; terletak di atas meja ruang tengah. Benar-benar mengganggu.

Jimin mengerjapkan mata cepat, lalu mengangkat gagang hingga suara deringnya berganti menjadi suara serak.

"Halo? Dengan kediaman Park—"

"Jimin!"

Ia tersentak, mendadak rasa kantuknya pergi entah ke mana. Sepertinya Jimin mengenal suara di ujung sana.

"Park Jimin, cepat kemari sekarang!"

Suara Taehyung.

"Ada apa?" tanyanya was-was, "Taehyung, di mana kau sekarang?"

"King's Road, kantor gedung direktorat Lord Kim nomor 155," suaranya terputus-putus, lelah dan terengah menyamarkan setiap frasa yang diucapkannya. Jimin bisa mendengar keributan-keributan kecil di ujung sana, bercampur antara teriakan histeris dan nada panik Taehyung ketika berbicara. "Kode yang di kertas itu, semuanya mengarah di sini. Korban selanjutnya …"

Jimin membeku. Gagang telepon digenggamnya lebih erat tanpa sadar.

"Apa … maksudmu?"

Perlahan-lahan, benaknya mulai berspekulasi. Menghubungkannya dengan kasus kematian Kim Jongin pada saat tempo hari.

"Satu boneka tidak akan cukup dihancurkan"

[Satu korban selesai, korban lain mengikuti]

"Karena dendam sukar menghilang sebelum yang tertinggi lenyap"

[Dendam yang tidak akan pernah hilang sebelum kepala keluarga ikut mati]

"… maka kematian tidak akan berhenti."

[Pembunuhan akan terus berlanjut]

"Ini kisah satu dekade silam yang mungkin tidak pernah diceritakan... "

[Pembalasan untuk sepuluh tahun yang lalu]

"Tumpukan angka yang membentuk pondasi hingga pencakar langit menjadi kunci utamanya."

[Sebuah gedung bertingkat]

"Dan terakhir, beberapa angka yang ditulis,"

Napas Jimin memburu. "Katakan."

"Sebelas, dua, seratus lima puluh lima."

Apa maksudnya? Dasar angka bedebah!

"Dan Jimin," jeda sejenak, yang terasa satu windu bagi Jimin, "Lord Kim baru saja ditemukan tewas pada pukul sebelas malam."

Skakmat.

[Pukul sebelas. Korban kedua. Alamat nomor seratus lima puluh lima]

Jimin melirik angka jarum jam.

"Jimin… cepat kemari…"

Pukul satu dini hari.

~oooOOOooo~

.

.

For my dear Detective …

Orang bodoh seperti kalian akan mati. Pergi dan tidak akan bisa kembali. Empati hanya berakhir menghancurkan segalanya.

Rasakan bagaimana perih yang enggan pergi. Aku di sini, di antara kalian yang berusaha menemukan.

.

Tuan Detektif, dunia ini hanyalah panggung sandiwara.

.

Tertanda,

White Carnation

.

p.s : 109201082538985

Setiap awalan, satu dan akan selalu menjadi kunci utama.

Hasil dua angka pertama lalu tiga dan sebelum akhir yang menentukan.

Lisankan angka dan hasilkan sebuah frasa.

Good Luck

.

.

~oooOOOooo~

"Sudah diputuskan, ini merupakan bunuh diri."

Brak!

"Jangan bercanda, Komisaris!" protes Taehyung tidak terima, kaki kiri menendang ujung meja yang terletak paling dekat. Suaranya menggema di sekeliling ruangan kantor eksklusif sekaligus tempat kejadian perkara, melampiaskan kesal yang memburu di relung hati. Intuisinya baru saja ditolak, spekulasinya tidak terima dengan akal terbuka. Taehyung jelas tidak bisa menerima semua ini dengan lapang dada. "Sudah jelas ini pembunuhan berantai."

"Komisaris," panggil Hoseok ragu, "maaf jika ini terdengar lancang, tapi aku setuju dengan apa yang baru saja Taehyung katakan." Begitu Jungsoo menatapnya tajam, Hoseok meringis dalam hati.

"Korban diperkirakan tewas akibat penyempitan pembuluh darah di sekitar tenggorokan. Hal itu terjadi karena benda lain menghalangi jalur pernapasannya. Dengan kata lain, si pelaku membunuh korban dengan cara mencekiknya. Dan anda bisa melihatnya sendiri," ia menunjuk meja kantor yang berantakan, karpet lantai yang tidak berbentuk lagi kerapihannya, dan sang korban yang terdiam bisu tidak jauh dari kursi yang terbalik. "Pada saat si pelaku mencoba melakukan pembunuhan, korban dengan spontan akan memberontak. Pecahan kaca yang berserakan tidak jauh dari meja tidak mengarah secara vertikal, tetapi horizontal. Itu menjadi contoh kecil bahwa tangan korban menggapai benda terdekat dalam keadaan panik. Korban tidak berpikir untuk membuat kegaduhan agar orang lain bisa mendengar bahwa dirinya dalam bahaya, namun dia hanya mencoba untuk melemahkan si pelaku dengan gerakan refleks untuk mengenai titik vital di bagian kepalanya."

Memperjelas apa maksudnya, Taehyung beringsut ke arah raga tak bernyawa yang tergeletak mengenaskan dalam keadaan bisu, terbatasi oleh garis putih yang digunakan sebagai tanda. Ia menahan rasa mual sekuat tenaga ketika menatap sepasang netra hitam yang membelalak dengan kosong. Bibir setengah terbuka tanpa mengeluarkan hembusan napas. Dan kedua lengan yang terkulai tidak wajar di sekitar leher dan samping tubuhnya.

Kim Joomyeon. Empat puluh lima tahun. Sang Marquess utama keluarga Kim yang kabarnya akan dinobatkan menjadi seorang Duke oleh sang ratu dalam dua minggu ke depan.

Tidak ada orang yang menduga gelarnya sebagai Duke bisa kandas dengan begitu ringan sebelum ia sendiri menyandangnya dalam keadaan hidup.

"Lihat jarinya, kelingking dan jari manis saling merapat. Sedangkan jarak antara jari tengah dan telunjuk tidak terlalu besar. Lalu, ibu jari memisahkan diri. Kelima jarinya itu berada dalam posisi melengkung yang menunjukan bahwa korban menahan gerakan si pelaku dengan pemberontakan brutal," tarikan napas dilakukan. "Pada bagian lehernya, terdapat guratan-guratan samar berwarna merah, membentuk simpul tali tambang yang digunakan untuk mencekik. Beratnya sekitar dua ratus gram, panjangnya tidak lebih dari dua meter, dan bahan dasarnya adalah plastik. Ketika si pelaku melakukan aksinya, kedua tangan korban akan berada di antara leher dan tali; menghalangi agar serat tali tidak mengenai kulitnya langsung. Meminimalisir kemungkinan terjerat lebih kuat. Tapi, si pelaku terus mencekiknya lebih kuat, hingga akhirnya korban menyerah."

Taehyung menoleh kesal, menatap sang komisaris tertinggi seakan berkata; bagian mananya yang kau sebut dengan bunuh diri?

"Selain itu, anda pastinya mengerti, anyelir putih dan pesan yang ditinggal si pelaku sudah menjawab lebih dari cukup bahwa kasus ini bukanlah bunuh diri."

"Kau mungkin bisa menyebutnya kasus pembunuhan, Detektif Kim," kata Jungsoo berat, ada keengganan ketika ia menanggapi semua hipotesis yang dijelaskan begitu detail oleh Taehyung. "Tapi, hasil penyelidikan yang telah didapat mengatakan tidak ada satu pun sidik jari yang ditemukan pada benda-benda di dalam ruangan juga tubuh korban. Pihak keamanan pun sudah memutar ulang kamera cctv dan hasilnya tidak ada orang lain yang masuk selain Kim Joonmyeon sendiri. Ditambah lagi, bisakah kau menjelaskan cara bagaimana korban menyelinap masuk saat pintu dan semua jendela terkunci? Melarikan diri pun tidak ada gunanya, karena semua polisi sudah mengecek bahwa jendela dan pintu masih dalam keadaan sama; terkunci dari dalam."

Logikanya, jika si pelaku berhasil membunuh korban dengan cara menyelinap ruang kantor dan menunggu waktu yang tepat untuk membunuh, maka kemungkinan rute kabur yang lebih tepat adalah keluar lewat jendela. Seorang pembunuh dituntut untuk berpikir cerdas dan kritis, meski pada akhirnya suatu kesalahan kecil bisa mengakibatkan hasil yang fatal.

Apa yang dipikirkan Jungsoo adalah, jendela tidak akan bisa ditinggalkan dengan keadaan terkunci dari dalam jika si pelaku menggunakannya sebagai jalan keluar.

"Ini pembunuhan tertutup."

Ketika Taehyung berusaha mempertahankan argumen dan menolak kalah dari hasil yang tidak sesuai, seharusnya ia sadar jika mempercayai Park Jimin (yang secara tidak langsung memiliki pemikiran yang sama sepertinya) bukanlah sebuah kesalahan.


~oooOOOooo~


Setelah menghabiskan waktu meneliti korban dan tempat perkara selama dua jam, Jungkook tahu jika Tehyung sudah berada di ambang batas limit pertahanan tubuhnya. Detektif aneh AB itu tidak akan bisa bertahan barang satu menit, meski akhirnya Taehyung bersikeras menolak istirahat sebelum hipotesanya berhasil mencapai kata sepakat bersama sang komisaris sebelum menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan berantai keluarga Kim.

"Petunjuk apa yang kau dapat dari pesan ini, Jimin?"

Jungkook mendengar Taehyung bertanya. Ia bahkan sampai bisa melihat kantung hitam di bawah mata pemuda itu ketika wajahnya terlihat. Lagi pula, tanpa bertanya pun, Jungkook benar-benar yakin jika Taehyung sudah bisa membaca kode sebenarnya di balik pesan kedua yang ditinggalkan si pembunuh.

"Aku hanya bisa menemukan kata 'Opera' dalam pesan ini."

Opera, Jungkook mengulang kembali kata yang disebut dalam benak. Rumah opera, topeng, musik klasik, ia tersenyum dalam hati. Taehyung selalu suka drama teater.

Taehyung tersenyum miring. "Tepat seperti dugaanku,"

Namun, Jimin tetap melanjutkan. "Jika kutulis ulang, akan menjadi seperti ini," ia menyimpan buku catatan kecil di atas meja. Jungkook ikut mengintip ketika Taehyung mulai membaca dengan kening berkerut.

O… rang bodoh seperti kalian akan mati. P… ergi dan tidak akan bisa kembali. E… mpati hanya berakhir menghancurkan segalanya.

R… asakan bagaimana perih yang enggan pergi. A… ku di sini, di antara kalian yang berusaha menemukan.

"O… P… E… R… A."

"Kau tahu apa maksudnya?"

"Lebih dari sekadar tahu," itu Jungkook yang menjawab, tidak merasa terganggu ketika Jimin mendelik sinis ke arahnya dengan tatapan tidak ramah.

"Aku tidak bertanya padamu, Sherif." Balas Jimin culas, dengan kernyitan tidak suka yang tercetak samar pada bagian temporal. "Dan aku tidak ingat kau juga mengambil andil dalam kasus ini,"

Jungkook siap membalas balik, tetapi Taehyung menghentikannya lebih cepat. "Aku yang meneleponnya kemari, Jimin. Tidak apa-apa, daya ingatnya yang kuat akan membantu."

Jimin mengangkat alis. "Oh, benarkah?"

Jungkook bersumpah, emosinya meningkat dengan tajam begitu nada meremehkan itu bergema di sekitar lorong yang dipantulkan mengenai gendang telinganya.

"Aku tidak yakin kau bisa mengingat selama itu," lagi, Jimin tertawa renyah. "Ingatan fotografimu tidak dibutuhkan di sini, Jeon."

Taehyung menggigit bibir. "Jimin—"

"Ada perbedaan yang terlihat di antara Anyelir putih yang disimpan si pelaku hari ini dan pembunuhan sebelumnya. Anyelir putih yang pertama dipetik pada dua hari sebelum pembunuhan yang terjadi. Kau bertanya kenapa aku bisa mengetahuinya? Karena salah satu kelopak pada bagian mahkota bunga sebelah kanan, lima sentimeter ujung kelopak dari tangkai mulai menguning; layu. Sebelum itu terjadi karena penguapan, namun akhirnya layu sepenuhnya karena noda darah. Lalu, pada bagian tangkai, terdapat serabut kecil yang masih tertanam di ujungnya. Berbeda dengan Anyelir putih sebelumnya, tangkai bunga yang kali ini terlihat lebih rapi dan terawat meskipun tidak sesegar bunga yang baru saja dipetik. Kau tahu kenapa? Ya, karena si pembunuh tidak memetiknya langsung. Tapi membelinya dari seorang penjaga toko bunga."

Orang bilang, kemampuan memori fotografi adalah sebuah anugerah. Kau bisa mengingat apapun yang sering kali orang lupakan hanya dalam hitungan detik hingga melekat dalam benak selamanya dalam jangka waktu yang begitu panjang.

Namun, bagi Jeon Jungkook, kemampuan ini membuatnya tersiksa dan bahagia di saat bersamaan.

Ia mengingat baik bagaimana potongan tubuh manusia yang tak diketahui lagi bentuknya ketika menghadapi kasus mutilasi. Mengingat bagaimana setiap tarikan jemari polisi saat melepaskan pelatuk hanya untuk menembus jantung sang pendosa. Mengingat suara detik jarum jam pada angka dua belas dalam sebuah eksekusi mati. Mengingat noda merah berbau tembaga yang masih segar, mengeras termakan waktu, dan menghitam dimakan usia. Mengingat ekspresi setiap pelaku yang berhasil ditangkapnya; memohon, putus asa, pasrah akan kematian, atau kosong seperti orang mati.

Ia juga mengingat bagaimana Kim Taehyung yang selalu berada di sisinya. Melepas kepergian tugasnya dengan dua sudut bibir yang tertarik begitu simpel, namun memberikan kekuatan tersendiri pada setiap sel-sel saraf di tubuhnya; neukleous, akson, dendrit, modus ranvier, sel schwan, bahkan tabung myelin dengan gerakan secara spontan. Spontan ketika kedua lengan menarik tubuh ramping Taehyung untuk mendekat ke arahnya hingga meninggalkan satu kecupan singkat pada bibir pemuda itu.

Jungkook selalu mengingatnya.

Kecupan, ciuman, sentuhan nakal, lekuk tubuh, seluk beluk perpotongan leher, sorot mata penuh sayu, peluh yang membanjiri, sensasi panas sekaligus menggoda juga menggairahkan, dan bagaimana rasa juga aroma yang ditinggalkan Taehyung ketika mereka bersama; bercumbu, bercinta, bahkan menyatukan diri di bagian akhir. Hal-hal terkecil mengenai Kim Taehyung akan tetap melekat dalam kotak memori Jungkook yang tersimpan secara khusus; istimewa dan tersendiri.

"Jimin, apa kau ingat saat pertama kali bertanya 'apakah aku mengenal Kim Taehyung'?"

Jungkook tidak perlu tanggapan dari sang subjek yang ditanya.

"Saat itu, kau berkata datang ke London untuk menemui teman masa kecilmu. Seorang anak laki-laki kecil yang tingginya hanya berbeda tiga sentimeter darimu. Kalian lahir di tahun yang sama, memiliki kehidupan yang jauh berbeda, meski akhirnya waktu memaksa kalian berpisah dan kau berusaha mengejar ketertinggalanmu. Hingga akhirnya aku sadar, kalian memiliki mimpi yang sama."

"Jungkook."

Satu panggilan lirih, Jungkook mendadak berhenti.

"Hentikan." Taehyung menggeleng kecil. "Sudah cukup."

"Kenapa?" Jungkook mengeluarkan tawa sengal dalam hembus napasnya yang mulai memburu. "Apa karena Komisaris Park tidak akan mempercayai detektif barunya hanya karena aku lebih cerdas?" ia mendengus pongah, "atau karena kau—Kim Taehyung yang sering diabaikan eksitensinya—akan selalu berada jauh di atasnya?"

"Jungkook,"

"Dan kau, Park, aku bahkan bisa mengingat nomor telepon, nomor kepolisian, nomor kartu tanda pengenal, bahkan setiap deretan angka yang berada pada daftar kontak buku teleponmu. Aku juga ingat—"

"Jeon Jungkook!"

"Kau selalu membelanya Kim Taehyung!" teriak Jungkook akhirnya, emosinya sudah memuncak pada tingkat tertinggi. "Satu hal yang selama ini kubenci, sifat labilmu itu tidak pernah bisa menye—"

"Hentikan."

Jeon Jungkook terkadang bisa membenci Kim Taehyung dalam keadaan tertentu. Seperti ketika pemuda itu lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan kesehatannya sendiri. Mengakibatkan alergi yang menjangkit tubuhnya terhadap dingin kembali kambuh karena rasa lelah yang terus dipacu untuk terus berpikir, bekerja, berpikir, dan bekerja lagi.

Tidak jauh berbeda dengan hari ini, di mana ketika Taehyung menyentuh lengannya dengan gerakan nyaris mencekal sebelum akhirnya ditariknya kembali dengan gerakan panik.

Dan Jungkook tahu, ada satu hal yang disembunyikan Taehyung saat ini.

Mendadak, rasa marah yang seharusnya ia tunjukkan kepada Park Jimin lenyap dalam sekejap dan berganti menjadi perasaan was-was. Dingin. Ia sempat merasakan sensasi beku yang menjalar di saraf-sarafnya ketika Taehyung menyentuh lengannya. Menghantarkan perasaan tidak nyaman yang membuat bulu kuduknya meremang refleks.

Jungkook mendesah frustasi; antara cemas dan kecewa. "Taehyung, kau demam."

Tawa lemah mengudara. "Dasar bodoh, aku tidak terlihat seperti orang sakit."

Dua detik setelah kalimat akhir terucap, Taehyung menabraknya cukup keras.


~oooOOOooo~

.

tbc


Glossarium :

Duke : gelar tertinggi dari lima pangkat gelar dalam kebangsawanan Inggris.

Marquess : gelar yang berada di bawah Duke tapi di atas Earl, gelar ini biasa ditugaskan untuk menjaga dan membentengi kerajaan.

Madame : panggilan nyonya dalam bahasa Perancis.

Mademoiselle : panggilan nona dalam bahasa Perancis.

Ma Cherie : sayang untuk wanita dalam bahasa Perancis

Mon Cher : sayang untuk laki-laki dalam bahasa Perancis


A/N : /tepar/

Untuk Hyesang-nim, maaf saya telat dan manalagi ini belum selesai, ihik. Semoga tidak mengecewakan 8"D

Udah, saya engap 8"D pertama kalinya bikin tema kayak gini dan saya bingung sendiri, ihik. Untuk kemampuan Tae, itu bentuk jatuh cinta saya sama tokoh Sherlock dan Poirot :') thank's for Sir Arthur dan Agatha Christie untuk tokohnya yang begitu mengagumkan *bow* dan serius, sebenernya pengen dibuat onsehot, tapi saya keburu engap dan akhirnya dibagi dua bagian, kayaknya itu juga. Untuk latar, saya emang sengaja ngambil tema western. Demi apanya akhirnya kesampaian juga bikin victorian!era :"DD/nanges *lebaykamu*

Maafkan kalo ada typo (emang sering ninggalin sih) dan kasih tau aja kalo ada nanti saya perbaiki :"3

Terima kasih sudah baca dan kotak review selalu terbuka kok~

.

p.s : yang tersembunyi tak selamanya menjadi kunci dan kau akan menemukan jawaban.