Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
.
.
Locked Out of Heaven
.
.
Inspired Wallbanger by Alice Clayton
.
.
.
Shion tampak menjelaskan dengan wajah bahagianya. Entah itu karena faktor kehamilan atau karena faktor lain. Aku tidak bisa menebak secara pasti. Shion masih sering bermain mata dengan laki-laki tampan. Dan mungkin saja kali ini ia tidak akan melewatkannya. Tidak peduli dengan kondisi perutnya yang mulai membuncit.
Flirting adalah hal yang wajib bagi kalangan wanita berkelas seperti kami. Ino dan aku sudah pernah mencobanya. Belajar dari beberapa film yang kami tonton dan beberapa buku yang kami baca, itu adalah kegiatan yang mudah. Mungkin bagi lelaki itu tidak akan jadi masalah. Tapi bagi wanita, itu akan menjadi masalah kecil yang akan terasa sulit diatasi jika kita terjebak pesonanya.
Oke, pikiranku mulai kabur. Aku harus kembali fokus.
Shion menutup pidato super singkatnya dengan senyum menawan. Aku tidak pernah melihat senyum seperti itu. Lagi-lagi karena faktor lain. Uchiha Sasuke masih diam di tempat duduknya. Tidak lagi berwajah menyebalkan ketika menatapku. Lebih tepatnya, aku yang tidak pernah ingin menatapnya.
Yuhi sejak tadi tampak gelisah di tempat duduknya. Ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Uchiha Sasuke di tempat ini. Aku merasa tertarik untuk mengetahui ada masalah apa antara dirinya dan Sasuke semasa dulu. Mungkinkah mereka pernah menjalani kencan satu malam? Atau one night stand seperti kebanyakan orang?
Dan tiba-tiba reaksi yang tidak kuduga muncul. Yuhi bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke luar ruangan tanpa kata. Aku mengikuti tubuh mungilnya yang sedikit bergetar. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya seperti itu. Yuhi adalah salah satu model wanita bertubuh mungil dan ia adalah anak yang baik. Aku tidak pernah mendengar adanya skandal yang terlibat di dalam dirinya selama tiga tahun menjadi seorang model.
Tempat di sebelahku kosong. Aku memandang kursi malang itu sebentar lalu mendongak, mendapati wajah Sasuke yang terlihat puas ketika melihat kursi itu kosong. Tatapan matanya tidak bisa mengelabuiku begitu saja. Aku sudah mengenal dirinya dengan begitu baik, kurasa.
Shion terlihat tidak peduli dengan perginya Yuhi yang mendadak itu. Ia bertepuk tangan setelah menyelesaikan sebuah kalimat yang tidak aku dengar sejak awal aku duduk di kursi ini. Semua para model yang hadir tampak antusias mendengarkan omong kosongnya yang jelas-jelas membicarakan tentang kerjasama antar agensi.
Rapat dibubarkan. Ino dan aku sudah berjanji untuk pergi keluar bersama. Sekedar makan siang atau berbelanja baju yang membuat pikiran kami lebih bebas.
"Aku tunggu di ruanganku, Sakura."
Aku mengangguk. Berusaha untuk tidak menoleh pada Sasuke yang sibuk menata barang bawaannya. Sesekali Shion berusaha membantunya dan ditolak halus oleh lelaki itu.
Sasuke keluar ruangan dan aku menghembuskan napas lega. Hanya tersisa aku dan Shion di dalam sini. Ia melirikku, matanya berkilat. "Mengapa Yuhi pergi? Apakah dia tidak tahu etika sopan santun?" Shion mencibir kesal. Aku menggendikan bahu acuh, tidak memedulikan perkataan Shion.
Aku keluar ruangan setelah Shion pergi. Aku kehilangan pulpen manisku di sini. Sudah berusaha mencarinya tapi gagal. Aku frustrasi. Sudah tiga kali aku kehilangan pulpen di tempat yang sama. Tiga kali. Entah itu kebetulan atau memang kutukan tempat ini. Aku keluar ruangan dengan wajah masam. Kehilangan pulpen sepertinya sangat berat bagiku.
Aku hampir saja terjatuh jika tidak ada yang menarik tanganku dan menarikku untuk tetap berdiri tegak seperti semula. Aku memandang lantai di bawahku, aku tersandung sesuatu.
Aku mendongak, mendapati wajah Uchiha Sasuke yang menyeringai sembari memegang tanganku. Ia tidak juga melepaskan tangannya sampai aku berdeham keras.
"Terima kasih."
Ia menggendikan bahunya. "Terima kasih saja tidak cukup. Kau mungkin saja terluka atau hidungmu akan patah jika membentur lantai ini." Ia menghentakkan kakinya di atas lantai, membuatku meringis membayangkannya.
"Aku sering terpeleset. Lantai ini sangat licin." Aku berusaha membela diri. Pada dasarnya, aku ini memang ceroboh.
Ia seperti ingin tertawa tapi tertahan hingga bibir tipisnya mengatup rapat. Ia masih menatapku, dan aku menyadari kalau kami hanya berdua di lorong yang menghubungkan antara ruang rapat dan ruangan para model.
Aku tersenyum miring padanya. "Kau mengunjungi para model yang berganti pakaian, begitu?" Ingin tertawa kuat-kuat tapi wajah dinginnya langsung membuatku bungkam.
"Tidak."
Aku terdiam. Ia tidak hanya menyebalkan, tapi sulit sekali diajak untuk bercanda.
"Oke. Sekali lagi, terima kasih. Aku akan memberikanmu bayi iguana jika berkunjung ke toko hewan. Kurasa bayi iguana sangat cocok untukmu. Kau adalah Ayah dari segala reptil." Aku mendesis sinis saat suaraku keluar begitu saja. Aku masih marah padanya karena insiden ular sialan itu. Ia benar-benar ingin dimutilasi.
Sasuke tidak bisa menahan tawanya. Ia benar-benar tertawa. Bukan tawa yang biasa ia tunjukkan padaku sebagai tawa mengejek, tawa kemenangan, atau tawa-tawa yang lainnya. Ini tawa murni darinya.
Ia tersenyum, mendekat ke arahku dan aku mundur dengan antisipasi. "Aku tunggu."
Dan ia pergi melewati tubuhku dengan wajah yang masih tersenyum.
.
.
Ino menatapku dengan pandangan curiga. Sejak tadi ia hanya berceloteh tentang Uchiha Sasuke dan bagaimana cara mendapatkannya.
"Aku rasa mendapatkannya tidaklah sulit," gumamku saat kami sampai di tempat makan terkenal di kota ini. Ino menatapku dengan pandangan berbinar. "Benarkah?"
Aku mengangguk. Tersenyum miring. Ingin membalaskan dendam pada Uchiha Sasuke yang dengan mudahnya masuk begitu saja ke dalam kamar apartementku. "Kau harus datang ke apartemennya dengan memakai bikini lengkap tanpa apa pun yang menutupinya." Aku tertawa dan mendapat sebuah lemparan kentang goreng dari Ino.
Ayolah, aku hanya bercanda. Aku tidak mungkin menjadikan sahabatku umpan untuk Uchiha Sasuke yang seperti kelaparan akan wanita.
Ino mencibir kesal. Ia memakan kentang gorengnya dengan lahap. Melupakan fakta kalau kami harus menjaga pola makan kami agar tetap mendapat tubuh yang bagus dan ideal.
"Aku hanya bercanda, Sayang. Jangan dianggap serius."
Aku tertawa. Ino tidak mungkin melakukannya. Ia masih memiliki harga diri yang tinggi. Kami sama-sama memiliki harga tinggi dan tidak akan pernah melakukan hal memalukan itu hanya untuk mendapatkan laki-laki pujaan.
Terlebih ini Uchiha Sasuke.
Aku pergi menuju pemesanan minuman. Aku sudah menghabiskan satu gelas cappuccino float dan aku ingin lebih.
Aku tidak sengaja menabrak seorang laki-laki tinggi dengan wajah tampan dan mata kelamnya. Aku sempat berpikir kalau ini adalah Sasuke, tapi salah. Ini bukan Sasuke. Mereka berbeda, meskipun struktur mukanya hampir sama.
Ia tersenyum, mengembalikanku ke alam sadarku. Aku tersenyum canggung dan bergerak untuk menjauhinya.
"Kau bertemu dengan siapa?" Ino melirik pada antrian tempatku memesan tadi. Aku menaikkan bahuku, "Tidak tahu."
Kami kembali larut dalam candaan kecil yang sangat aku rindukan selama beberapa bulan ini.
.
.
Aku harus mengerjakan beberapa laporan penting mengenai gambar-gambar yang ditunjukkan Naruto melalui e-mail-ku tadi sore. Aku kembali dengan cepat ke apartemenku. Tidak ingin melewatkan pekerjaan yang Naruto berikan padaku.
Bahkan aku harus menutup teleponku dengan Ibuku yang menangis dan berkata kalau ia merindukanku. Aku juga merindukannya. Aku merindukan masakannya, merindukan suara merdunya, merindukan segalanya. Aku tahu, ia begitu terpukul ketika aku memilih untuk menantang Ayahku dan tak pernah ingin menjadi seorang Sakura yang masih berumur lima tahun.
Tidak akan pernah.
Pekerjaanku hampir saja selesai. Aku mengusap mataku yang terasa lelah karena dipaksa bekerja di depan komputer selama berjam-jam lamanya. Perutku berbunyi, aku melewatkan makan malam.
Pintu kamarku diketuk. Aku berharap ini adalah pengantar makanan atau Ino atau siapa pun yang datang dengan membawa sekantung makanan untukku.
Saat aku membuka pintu, aku melihat Uchiha Sasuke yang berdiri dengan setelan jas hitamnya. Menatapku dengan mata berkilat nakalnya.
"Aku ingin mengajakmu makan malam." Ia bersuara setenang mungkin. Tidak ingin membuat keributan lagi di antara kami. Aku tersenyum miring, menyadari adanya nada canda di dalam suaranya.
"Kau baru saja terbentur meja di samping ranjangmu atau kau baru saja kejatuhan shower mandimu?" Aku bersedekap di depannya dan bersandar pada pintu.
Ia mendengus, tampak tidak tertarik dengan nada sinisku. Ia menarikku untuk masuk ke dalam apartemenku. Memaksaku untuk mengganti pakaianku.
"Aku serius, Sakura. Aku ingin mengajakmu makan malam."
Aku mengangkat tangan. Menyerah. Aku juga lapar dan aku tidak mungkin membohongi diri sendiri. Aku menerima ajakannya karena ia datang di waktu yang tepat, saat aku sedang lapar.
"Oke, tunggu di sini."
Ia duduk dengan manis di kursi bar dapurku. Memainkan hiasan pot bunga mungil milikku, ia duduk dengan tenang. Tidak membuat keributan dan tidak pula bertingkah aneh.
Hanya sepuluh menit. Aku hanya mengganti piyamaku dengan pakaian santai. Ingatkan aku satu hal, kami tidak berkencan. Hanya makan malam.
"Kenapa kau mengajakku makan malam?" tanyaku.
Sasuke mengangkat bahunya. "Aku butuh teman untuk menemaniku makan malam," jawabnya. Kami menunggu lift yang membawa kami ke lantai dasar. "Kau orang yang tepat."
"Kau bisa mengajak wanitamu," aku sengaja menekankan di kata wanita.
Sasuke hanya tersenyum miring. Ia sengaja mengabaikan sindiranku.
Pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalam. Suasana apartemen yang sepi membuatku sedikit tidak nyaman. Tidak biasanya seperti ini.
"Kau terlihat pantas memakai pakaian seperti ini," ejeknya. Aku mendelik.
"Kenapa?"
Sasuke tersenyum miring. "Aku memakai jas dan kau memakai pakaian seperti ini? Mereka akan berpikir kalau aku pergi bersama asisten rumah tangga."
Sialan.
Pintu lift terbuka. Sasuke keluar lebih dulu dan aku tetap diam di dalam. Dia menoleh, sebelah alisnya terangkat. "Silakan kau pergi saja. Aku akan kembali ke atas."
Pintu lift hampir menutup dan dia mengulurkan tangannya untuk menghentikannya. Tatapan matanya terlihat kesal. Oh, tentu saja. Dia bermain api denganku.
"Itu hanya lelucon, Sakura."
Aku keluar. Tidak memedulikan bagaimana kesalnya dia padaku. Aku juga merasa hal yang sama. Uchiha Sasuke menyebalkan. Jika saja dia bukan sahabat dari temanku, Naruto. Aku tidak akan pernah mau mengenalnya. Hanya sebatas tetangga kamar lebih dari cukup.
.
.
Kami makan malam di sebuah café dekat apartemen. Tidak jauh memang. Hanya memakan waktu lima belas menit dari pintu keluar apartemen.
Aku memesan pasta dan segelas lemon dingin. Kepalaku terasa pusing karena tugas yang Naruto berikan. Juga dengan pemberitahuan baru tentang Uchiha Sasuke yang masuk ke dalam kehidupanku. Secara sadar atau tidak. Di sisi lain dia sahabat dari atasanku. Di sisi yang lain dia juga atasanku. Pemegang agensi terbesar yang punya profesi lain sebagai seorang fotografer.
"Kenapa harus menjadi seorang fotografer? Wajahmu lebih cocok menjadi seorang disk jockey atau CEO di perusahaan," kataku.
"Benarkah?"
Aku mengangguk. "Itu opiniku."
"Mereka juga bilang begitu,"
"Siapa?"
"Teman-temanku."
Aku menarik sudut bibirku, tersenyum lebar. "Kau punya teman?"
"Kenapa?"
"Kau ini menyebalkan. Kau tidak akan punya teman,"
Sasuke mendengus. Tetapi kemudian dia tersenyum. "Kau juga menyebalkan."
"Benarkah?" Aku tertawa. "Aku memang menyebalkan."
Pesanan kami datang. Aku mengusap perutku yang berteriak seolah minta segera diisi. Pasta yang berlapiskan saus keju itu membuat laparku bertambah berkali-kali lipat.
Aku langsung memakan pasta milikku. Tidak peduli bagaimana Sasuke menatapnya. Atau berpikiran aneh tentang diriku. Aku benar-benar lapar sekarang. Yang aku pedulikan hanyalah kondisi perutku.
"Apa?"
Sasuke menggeleng. "Kau seorang model tapi porsi makanmu tidak berkata demikian," desisnya.
Aku meneguk lemon dinginku. Menatapnya dingin. "Yang terpenting adalah kondisi perut. Aku bisa berolahraga keras nanti."
Sasuke hanya mengangguk. Ia memakan pastanya dalam diam.
.
.
"Naruto, siapa Uchiha Sasuke itu?" tanyaku ketika kami sedang duduk bersantai menikmati jam makan siang bersama di kantin kantor.
Naruto tampak terkejut. Ia menatapku lekat-lekat. "Jangan bilang kau berkencan dengannya, Sakura?"
Dari nada suaranya terselip ada rasa terkejut, rasa ketidakpercayaan, dan lainnya. Mengapa?
"Kenapa?"
Naruto menggeleng tegas. "Aku hanya terkejut."
"Dia tidak gay, kan?"
Naruto hampir saja tersedak kopinya sendiri. Mata birunya melebar dan terlihat seperti kedua bola matanya ingin keluar dari tempatnya.
"Tidak. Astaga, Sasuke pria normal."
Aku mengangguk. Merasa lega, tapi tidak merasa senang juga.
"Dia hanya punya reputasi yang buruk saja, Sakura."
Aku tertarik dengan pembicaraan ini. "Maksudmu?"
"Kau akan tahu sendiri nanti. Jangan sampai kau benar-benar tenggelam dalam pesonanya. Itu berbahaya," bisik Naruto. Ia terlihat seperti seorang mata-mata kalau begini. Nada suaranya sengaja ia kecilkan agar para pegawainya tidak mendengar yang ia bicarakan.
"Dia temanmu."
"Memang," balas Naruto. "Tapi terkadang aku tidak mengerti dirinya."
Aku terdiam. Sama seperti Naruto, aku juga terkadang tidak mengerti dengan dirinya.
.
.
Kami ada di café depan gedung agensi. Aku meminta izin pulang lebih awal dan Naruto memperbolehkannya. Aku dan Ino bertemu janji di café depan gedung untuk duduk minum kopi sebentar sebelum agenda selanjutnya menghampiri.
Ino datang dengan celana jins dan kaus. Stiletto hitamnya tampak berkilau. Dia benar-benar memukau.
"Hei, Sakura. Kau melamun?"
Aku menggeleng. "Aku mengantuk."
Ino tertawa. Ia menaruh tas kecilnya di atas meja dan memesan kopi susu.
"Bagaimana?"
"Apa?" tanyaku.
"Uchiha Sasuke."
"Kau mau membayarku berapa untuk bisa mendekatkan kalian berdua?" Ino mendengus.
"Sebagai teman yang baik kau harus membantu temanmu ini, Sakura," pinta Ino. Wajahnya dibuat memelas sedemikian rupa.
"Tidak, Ino. Aku tidak yakin."
Ino mendesah berat. "Aku juga berpikiran sama."
"Kalau begitu kau jangan berkencan dengannya. Aku akan membantumu mencari pasangan yang cocok untukmu," kedua jariku membentuk huruf v dan Ino tersenyum lebar.
"Aku tunggu."
Aku tidak tahu mengapa wanita secantik dan seseksi Yamanaka Ino bisa kesulitan mendapat seorang kekasih. Bagaimana denganku? Mereka bilang kalau seorang model bisa mencari pasangan mereka hanya dengan menjentikkan jarinya saja. Aku? Saat aku menjentikkan jari, tidak ada pria yang mendekat padaku. Aku sudah mencobanya berulang kali.
Aku tidak peduli. Bagiku, harga diri dan reputasi diatas segala-galanya. Selama tidak ada skandal di kehidupanku, kurasa mencari pasangan adalah poin terakhir.
Tidak bagi Ino. Baginya, pasangan adalah poin pertama dan tertinggi dari segalanya. Tapi Ino adalah wanita yang baik. Dia tidak pernah terlibat skandal apa pun.
.
.
Aku tidak mengerti perubahan cuaca apa yang membuat senyum Shion melebar lagi hari ini. Dia sedang hamil besar, dan itu bukan halangan untuknya.
Aku sibuk dengan ponselku. Entahlah, hanya melihat galeri foto, melihat catatan lirik lagu yang kutulis, melihat daftar pria-pria tampan yang menjadi idolaku. Itu berguna untuk merubah suasana hatiku.
"Sepertinya ini akibat dari pesona Uchiha Sasuke lagi," bisik Ino di telinga kiriku. Aku menoleh dan hanya tersenyum.
"Sepertinya," jawabku. Aku melirik Shion yang masih tersenyum lebar. "Tapi dia terlihat mengerikan jika terus tersenyum seperti itu,"
Ino mengangguk. Wajahnya terlihat geli. "Dia sedang hamil besar. Tidak bisakah dia menjaga sikapnya?"
Aku mengangkat bahuku.
Lalu, pintu ruangan terbuka lebar. Menampilkan sosok pria bertubuh tinggi dengan rambut klimis hitamnya tampak menawan. Sepasang oniks gelap bagai menghipnotis seisi ruangan. Kulitnya yang putih hampir pucat, benar-benar membuat seisi ruangan yang gaduh berubah hening seketika.
Aku pernah melihatnya!
Astaga. Aku menahan napasku ketika melihatnya.
Ketika dia tersenyum, aku tahu kalau ini tidak akan baik untuk kesehatan jantungku. Sial.
"Namanya Sai. Dia menghubungiku untuk memilihkan model yang cocok untuk produk terbaru miliknya yang akan diluncurkan bulan depan," kata Shion membuyarkan pikiran nakal para modelnya.
Sai tersenyum. Ia mengambil tempat yang kosong untuk duduk. Masih dengan senyum menawannya. Sungguh, dia benar-benar tampan.
"Aku bisa terkena serangan jantung saat ini juga," lirih Ino. Aku mengangguk menyetujui perkataannya.
Pria itu duduk. Sesekali ia berbicara dengan asistennya yang setia mengikutinya di sampingnya.
Aku bisa menduganya. Ino adalah kandidat terbaik di antara semuanya. Sai pasti memilih Ino. Aku yakin sekali.
"Dia. Aku pilih dia."
Suara riuh langsung menghampiriku. Aku menoleh pada Ino yang tersenyum lebar padaku. Dan Shion yang menunjukku dengan telunjuk lentiknya. "Namanya Haruno Sakura."
"Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri.
Shion mengangguk malas. Di antara para model lainnya, aku sering membuat atasanku ini jengkel. Aku keras kepala dan dia tidak suka dibantah. Kami tidak cocok.
Sai mengangguk dengan senyum. Dan aku hanya bisa tersenyum. Untuk bayaran? Aku tahu ini akan besar. Aku bisa pindah ke apartemen yang baru dan lebih bagus tentunya.
"Untuk kontrak dan lainnya, aku akan mengurusnya." Shion berkata setelah Karin mengantarkan map merah padanya. Aku masih duduk diam di tempat, mengabaikan bagaimana reaksi model lain yang gagal mendapat tawaran menggiurkan dari pria tampan itu.
Shion keluar lebih dulu diikuti dengan para model yang lain. Sai juga pergi bersama asistennya. Dan Ino harus kembali lebih awal karena mendapat telepon penting. Hanya tersisa aku dan beberapa orang lainnya di gedung. Aku mengambil tasku, bersiap kembali ke rumah sampai aku melihat Sai sedang bersandar di lorong.
"Sakura?"
Aku menoleh. Tersenyum padanya. "Hai."
"Senang bertemu denganmu lagi," ucapnya dengan senyum. Sial. Pria ini sering sekali tersenyum.
"Aku juga," jawabku.
"Kau akan pulang? Secepat ini?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Aku punya pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku harus kembali."
"Ah, aku mengerti." Sai tersenyum. Ia memainkan kunci mobil di tangannya. "Bagaimana kalau aku mengantarmu?"
Mataku melebar. Jelas sekali aku terkejut. Bagaimana bisa seorang CEO super sibuk macam Sai bisa mengantarkanku pulang? Ini sedikit aneh. Tetapi aku tidak mungkin menolaknya, kan?
"Kau mengantarku pulang?" tanyaku mengulangi pertanyaannya.
Sai mengangguk dengan senyum. "Kenapa? Aku akan kembali ke kantor setelah mengantarmu."
Aku terdiam. Memikirkan apakah aku harus menerima ajakannya atau tidak.
"Bagaimana?"
Aku mengangguk. "Baiklah."
Sai tersenyum. Ia berjalan lebih dulu di depanku dan aku mengikutinya di belakang. Kami memang sedikit canggung. Tidak biasanya atasan tertinggi mengkontak modelnya langsung seperti ini. Biasanya mereka akan berkomunikasi dengan pihak asistennya dan bukan atasannya.
Kami sampai di lobi. Aku berjalan di sampingnya karena Sai menyuruhku untuk berjalan di sampingnya. Kami mendekati pintu kaca gedung, sampai dimana aku melihat Uchiha Sasuke berjalan masuk dengan jas abu-abu di tangannya dan pandangan matanya yang tajam begitu kami bertemu.
Tidak. Tidak. Bukan padaku. Tapi pada pria di sampingku.
Wajah Sasuke berubah dingin. Ini tidak biasanya. Saat aku melirik Sai, ia hanya tersenyum. Tetapi bukan senyum yang ia tunjukkan sebelumnya pada kami. Senyumnya berbeda
Terlihat seperti senyum kemenangan? Entahlah, sepertinya begitu.
Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka berdua?
.
.
.
.
Tbc.
.
.
.
.
Author Note:
Maaf banget karena saya lama ga update ceritanya hwhw. Mood saya berubah-rubah kalau mau nulis fic soalnyaa /menanges
Ah, yaa! Thank you so much buat yang nungguin Locked Out of Heaven, ditunggu aja next chapternya, ya!
Lots of Love
Delevingne