Hai semuanya! Ini adalah CHAPTER TERAKHIR dari TYA,T,AF ya :) Sebelumnya saya minta maaf (lagi) karena updatenya luamaaaaaa...sekali, semoga chapter terakhir ini does the time taken a justice! Selamat membaca dan terima kasih banyak banyak banyak atas segala dukungan dan kesabarannya! xxx -wendykei


Edogawa Conan

London, Oktober 2019

BENCI bukan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan perasaanku tentang aroma di fasilitas riset atau rumah sakit.

Mungkin "enggan" lebih tepat. Karena aroma tersebut selalu mengingatkanku pada hal-hal buruk yang pernah aku alami.

Seperti ketika aku kehilangan cintaku empat tahun yang lalu.

Kutekan bel resepsionis, dan aku segera disambut oleh perempuan muda berambut pirang yang berbicara dengan nada yang sangat riang, seolah dibuat-buat.

"Hi, may I help you?"

"Hi yes, I'm looking for a Deane Liere, a researcher in this colleage please?

"Sure, how should I let her know who you are?"

"Oh just let her know I'm Ford. Shelling is the first name."


Edogawa Conan

Tokyo, September 2019

GERIMIS kembali membasahi kota Tokyo hari ini. Aneh – biasanya di musim gugur seperti ini kalau tidak kering sama sekali ya hujan deras sekali. Namun sudah empat tahun terakhir, selalu ada gerimis yang turun pada tanggal 11 Agustus.

Aku selalu percaya bahwa ini adalah tanda bahwa dunia pun masih menangisi kepergian Haibara Ai.

Kupandangi bingkai lukisan dirinya, tersenyum kepadaku. Cantik sekali. Cincin yang tidak sempat kuberikan pada akhirnya kuletakkan tepat di sebelah tempat abu Haibara. Profesor Agasa mengukir sendiri tempat abu tersebut, yang berbunyi:

"Haibara Ai. Terlahir dari cinta, dan pergi atas nama cinta."

Perlahan, aku membuka pintu kaca tempat penyimpanan abu Haibara, dan aku membersihkannya dengan hati-hati. Tak lupa kupasang seikat bunga baby breath kesukaannya, sebelum aku menutup kembali pintu kaca tersebut.

Kupandangi lagi wajah cantiknya, namun tak lama, karena mataku mulai mengabur oleh air mata.

"Yo, Conan…"

Aku menoleh, lalu mendapati Genta, Ayumi, dan Mitsuhiko berdiri di belakangku. Wajah mereka dihiasi senyuman simpul, dan ketiganya membawa seikat bunga baby breath juga.

"Mana Professor? Kok tidak sama kalian? Bukannya kau bawa mobil, Mitsuhiko?"

"Tahu tuh, katanya masih mau nyetir sendiri. Belum tua-tua amat sampai harus disetiri anak umur 21 tahun…"

Aku mendengus tertawa. Profesor yang kini sudah hamper 70 tahun masih tidak mau mengakui bahwa usianya sudah semakin uzur dan sekali-kali boleh minta bantuan pada kami. Namun di matanya, kami masih anak-anak berusia 7 tahun yang dulu sering main ke rumahnya.

"Hey Conan-kun…" Ayumi menjulurkan dagunya ke arah mobil sedan hitam yang baru saja berhenti di luar tempat kami berada. Dari dalamnya, seorang polisi keluar, dan menuntun Mouri Ran yang diborgol kedua tangannya.

"Hai Ran," sapaku sambil tersenyum. Ran membalas senyumanku, dan serta merta menghampiri tempat abu Haibara untuk berdoa. Setetes air mata jatuh di pipinya, dan dengan bersusah payah ia mengusapnya dengan lengannya.

"Kau akan bebas bulan depan," ujarku, bukan sebagai pertanyaan, melainkan pernyataan. Ran mengangguk cepat.

"Shinichi –

"Edogawa Conan!"

"Ma-maaf, Conan-kun. Kau tahu bukan aku atau Ibuku yang mengajukan keringanan hukuman sependek ini…"

Aku menghela napas panjang. Memang janggal sekali pengadilan kasus ini. Jika kita berbicara hukum, Ran seharusnya mendapatkan hukum penjara paling tidak 15 tahun atas dasar pembunuhan disengaja. Namun hakim pada akhirnya memutuskan hanya 5 tahun penjara, atas dasar percobaan pembunuhan terhadapku.

Bahkan Bibi Eri pun tidak berani mengajukan keringanan sebanyak itu. Entah dari mana datangnya putusan hakim tersebut, kami tidak pernah tahu.

"Aku sudah tidak memikirkannya, Ran. Aku sudah capek terus-terusan berpikir bagaimana kalau, siapa yang salah, dan apakah aku bisa berbuat lebih," jawabku. Ran menunduk lemah.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Conan-kun?"

Aku terdiam sejenak, memikirkan sesuatu yang sudah ada di benakku sejak empat tahun yang lalu. Aku menghela napas sebelum membuka mulutku, tahu persis resiko untuk apa yang akan kukatakan.

"Setelah kau bebas nanti, Ran, aku mohon, jangan pernah muncul di hadapanku lagi."

Jika air mata yang langsung menggenang di pelupuk matanya adalah sebuah ekspresi kejujuran, kurasa Mouri Ran telah menerima hukuman yang setimpal untuk kejahatannya.


Yoshida Ayumi

BUKAN kematian Ai-chan yang menghancurkan hatiku.

Rencana liburan yang tidak lagi sama karena Ai-chan sudah tiada. Hari-hari di sekolah ketika aku memandang bangku Ai-chan yang penuh oleh bunga baby breath segar setiap harinya (ini dimulai oleh Conan-kun tentu saja, lalu kawan-kawan sekelas kami ikut melakukannya, atau ketika kami lulus SMA dan foto kelulusan kami tetap berempat, bukan berlima seperti yang dulu kubayangkan ketika Ai-chan kembali ke Tokyo.

Tapi tak bisa kubayangkan, jika kehilangan Ai-chan sudah sesulit ini untukku, entah bagaimana Conan-kun menghadapinya.

Setelah kejadian penembakan nahas empat tahun yang lalu itu, kami semua akhirnya diberitahu oleh Conan-kun tentang semua yang telah terjadi padanya dan Ai-chan. Bahwa ia adalah Kudou Shinichi, dan Ai-chan adalah seorang scientist bernama Miyano Shiho, lalu tentang organisasi mematikan yang memporak-porandakan kehidupan mereka.

Aku, Genta-kun, dan Mitsuhiko-kun hanya bisa mengikuti Conan-kun dalam diam sesaat setelah ia menyampaikan ultimatumnya pada Kak Ran. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa kasihan pada Kak Ran sejujurnya. Namun, dipengaruhi oleh orang lain ataupun tidak, apa yang telah dilakukannya sungguh tidak bisa kumaafkan.

Dari kejauhan, kulihat mobil VW kuning Profesor Agasa yang kini terlihat dimakan usia. Sama seperti empunya, tapi tentu saja aku ataupun tim Detective Boys lainnya tidak berani mengatakannya. Kami melambaikan tangan pada Profesor Agasa, dan kemudian aku melihat sebuah mobil lain yang rasanya kukenal.

"Hey, Ayumi-chan," Mitsuhiko-kun berbicara padaku dengan nada rendah, "…entah aku berhalusinasi atau tidak, tapi kurasa mobil sedan putih itu selalu ada di sini setiap tahun."

"Bukan halusinasi, Mitsuhiko…" kini Conan-kun yang menjawab, mengagetkanku dan Mitsuhiko-kun, "…kau tahu apa lagi yang paling aneh? Mobil itu ada di saat Haibara dikremasi empat tahun yang lalu."

"Conan-kun, apakah kau pikir…" ucapku, yang kemudian terhenti oleh telunjuk Conan-kun di bibirnya, mengisyaratkan untuk tidak berbicara terlalu banyak di depan Profesor Agasa. Biarpun Profesor berusaha menutupinya, kami semua tahu bahwa kematian Ai-chan meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi beliau.

"Hey Profesor, aku, Ayumi, dan Mitsuhiko akan naik mobil Mitsuhiko ya. Genta akan ikut denganmu bagaimana?"

"Ah, baiklah!"

Kami menunggu sampai mobil Profesor Agasa menghilang dari pandangan sebelum kami memasuki mobil Mitsuhiko.

"Conan-kun!" desakku, dan Conan-kun mengangkat tangannya.

"Aku tidak tahu apa-apa, Ayumi-chan! Mungkin saja orang itu keluarganya meninggal pada hari yang sama dengan Haibara. Aku berusaha tidak memikirkan terlalu banyak tentang hal ini, kau sudah tahu itu…"

"Aku mengerti, Conan-kun. Tapi kalau saja, kalau saja…"

"Haibara masih hidup?"

Aku langsung terdiam, menyadari kesalahan yang barusan kubuat. Conan-kun menggeleng-geleng, tatapnya penuh dengan kepedihan.

"Ayumi-chan…"

"AKU TAHU! Aku tahu ini semua bodoh! Kalian berperilaku seakan-akan Ai-chan hanya pergi ke Amerika dan ia akan kembali lagi beberapa tahun kemudian. AI-CHAN SUDAH TIDAK ADA, AKU TAHU ITU! DAN AKU MERINDUKANNYA, ITU SAJA!"

Butiran air mata mulai turun deras di wajahku. Mitsuhiko meraih pundakku dan menariknya ke dalam pelukannya, dan aku langsung menangis tersedu-sedu.

"Sudahlah, kenapa kita bertengkar sendiri sih? Ayolah, aku antar kalian ke rumah Profesor Agasa," ujar Mitsuhiko-kun.

Kuangkat wajahku, kuusap air mataku, dan aku menyadari bahwa Conan-kun memandang mobil sedan putih itu dengan wajah setegang patung.

"Conan-kun, ada ap…"

Ucapku terpotong oleh Conan-kun yang menunjuk mobil itu. Aku menoleh, dan aku merasa seperti jantungku terlepas dari tempatnya. Kututup mulutku dengan kedua tanganku supaya aku tidak menjerit.

"Conan-kun itu kan…"

"Shhhh…sembunyi kalian!"

Conan-kun mengeluarkan ponsel berkameranya, dan membidik beberapa foto dari arah mobil tersebut. Kami menunggu sampai mobil itu pergi sebelum kami berani keluar dari persembunyian kami.

"Apa maksudnya ini, Conan-kun?!"

"Aku tidak tahu, Ayumi-chan," ujarnya, dengan mata yang masih tertuju pada gambar yang agak buram di layar ponselnya, "yang pasti aku tahu, mungkin ada cerita lain di balik kematian Haibara.

"Atau kehidupannya…" desis Mitsuhiko-kun, matanya tertuju pada foto perempuan di layar ponsel Conan-kun. Aku merinding.

Walaupun wajahnya tertutup oleh masker dan topi, aku 100% yakin bahwa perempuan itu terlihat sama persis dengan Haibara Ai.


Edogawa Conan

KAU tahu perbuatan paling bodoh di musim gugur?

Pakailah busana serba hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu bersembunyilah di apartemen tanpa pengatur udara. Pengap dan kedinginan, itulah yang akan kau dapat.

"Mitsuhiko!" desisku pada badge Detective Boys, "jangan lupakan tugasmu hanya karena gadis di toko buku itu cantik!"

Kudengar Ayumi terkekeh di sebelahku. Aku nyengir padanya.

"Diam kau Conan-kun. Tuh bilang sama Genta-kun yang dari tadi tidak berhenti beli makan di pinggir jalan…"

"Oi. Yang makan itu mulutku. Tapi mataku masih bekerja. Kau saja yang diam, Romeo jadi-jadian!"

"Apa kau bilang?!"

"SHHHH DIAM KALIAN BERDUA!" Ayumi-chan kini memarahi mereka. Aku mengacungkan jempolku padanya, dan kini giliran Ayumi-chan yang nyengir padaku.

"Hey hey hey! Elang Putih baru saja lewat! Mitsuhiko, kenapa kau tidak bilang apa-apa?! Seharusnya kan kau lihat duluan!"

"Oi oi, aku betul-betul tidak melihatnya! Apakah Elang Putih mengambil rute lain?!"

"Tidak mungkin, kita sudah mengamati Elang Putih selama satu minggu!"

Satu minggu…satu minggu?! Oh tidak, tentu saja, bodohnya aku!

"Guys, rencana baru. Untuk sementara, akan kumatikan alat komunikasi ini. Ayumi-chan, temuilah Mitsuhiko-kun di toko buku dan tunggu kontak dariku.

Ayumi terlihat amat bingung, namun pada akhirnya menurut denganku. Segera setelah Ayumi-chan keluar dari apartemen tersebut, kurasakan sebuah metal dingin di belakang kepalaku.

Kuangkat kedua tanganku, menunjukkan bahwa aku tidak bersenjata.

"Aku bukan musuhmu, kau tahu itu…"

"Siapa saja yang mengancam identitas seseorang dalam Witness Protection Program adalah musuhku, Cool Kid. Sejujurnya aku kecewa dengan kerjamu yang serampangan, mengikuti mobilku selama seminggu lamanya. Apa kau pikir aku tidak akan menyadarinya?"

Aku berbalik, lalu menyalakan saklar lampu di apartemen tersebut. Jodie-sensei masih mengacungkan pistolnya padaku, namun bibirnya tersenyum.

"Seorang Sherlock Holmes pun bisa menjadi bodoh karena perempuan, Jodie-sensei…"

Jodie-sensei mengamankan pistolnya, namun bahasa tubuhnya masih berjaga-jaga.

"Aku cuma ingin tahu semuanya yang telah terjadi, Jodie-sensei. Empat tahun yang lalu, malam itu. Apa yang terjadi, dan apakah…apakah…"

"Haibara Ai masih hidup?"

Aku terdiam, menelah ludahku.

"Kau tadi berkata siapapun yang mengancam identitas seseorang dalam Witness Protection Program adalah musuhmu. Kalau begitu aku bisa berasumsi bahwa Haibara masih hidup, dan berada dalam Witness Protection Program?"

Kini giliran Jodie-sensei yang terdiam, menatap mataku. Rautnya tak yakin akan langkah yang harus ia tuju.

Aku merogoh kantung celanaku, dan kuraih cincin berlian yang akan kuberikan pada Haibara, serta surat yang ia tinggalkan untukku. Kusorongkan surat itu padanya.

Aku memandang Jodie-sensei membaca surat yang isinya sudah kuhafal tersebut.

"Kudou-kun,

Jika kau membaca surat ini, artinya aku sudah pergi. Entah aku mati atau pergi ke tempat yang jauh, aku tidak tahu. Aku hanya ingin kau tahu sesuatu – kau adalah satu-satunya pria yang pernah dan akan kucintai seumur hidupku. Jika artinya aku harus mati untukmu, aku bersedia melakukannya. Di manapun kau berada, apapun yang kau lakukan, kumohon berbahagialah untuk dirimu sendiri, supaya aku dapat dengan tenang mengetahui bahwa cintaku akan terus hidup melalui hadirmu.

Mencintaimu kemarin, hari ini, dan selamanya,

-Haibara Ai-

"Kau tahu, Sensei? Tulisan tangan itu adalah tulisan tangannya lima belas tahun yang lalu. Ketika kita masih berperang dengan organisasi hitam itu. Dan kau lihat cincin ini – kuberitahu ya. Aku baru saja akan melamar Haibara karena aku ingin menepati janjiku enam belas tahun yang lalu ketika aku berkata bahwa aku ingin menjaganya. Dengan nyawaku pun tak apa-apa!"

"Dan Haibara Ai tahu persis tentang itu, Cool Kid," jawab Jodie-sensei, "maka dari itu ia memilih untuk masuk ke Witness Protection Program."

Jantungku mulai berdebar sangat keras. Yang kudengar dari kata-kata Jodie-sensei hanyalah fakta bahwa Haibara Ai masih hidup.

"Aku mohon, beritahu aku apa yang terjadi empat tahun yang lalu, Jodie-sensei!"

Jodie-sensei mengangkat kedua tangannya, "Baiklah! Silakan duduk."

"Sepuluh tahun yang lalu, ketika organisasi hitam berhasil dihancurkan, kami menawarkan Witness Protection Program pada Haibara Ai. Awalnya ia menolak, lalu suatu hari ia berubah pikiran dan datang kepada kami FBI. Permintaannya hanya satu, jika suatu hari ia dalam kondisi sekarat, ia menginginkan FBI untuk memasukannya dalam Witness Protection Program dan mengganti identitasnya. Alasannya hanya satu – ia tidak mau mati dengan nama Miyano Shiho ataupun Haibara Ai. Ia tidak mau kau atau kawan-kawanmu mendengar berita tentangnya, hidup ataupun mati.

"Lalu setelah berbulan-bulan kami bekerja sama dengan Haibara Ai, kami berhasil menciptakan sebuah alat yang kemudian ditanamkan di dekat urat nadinya. Alat ini berfungsi untuk mendeteksi ketika detak jantung Haibara Ai turun atau naik secara abnormal, dan memberitahu kami untuk segera beraksi."

"Malam itu empat tahun yang lalu, aku menerima sebuah pesan dari Haibara Ai. Pesannya hanya satu, supaya kami berjaga-jaga untuk beraksi jika dibutuhkan. Aku mencoba untuk mengorek lebih banyak informasi, tetapi Haibara Ai bungkam. Beberapa jam kemudian, aku dan Shuu mendeteksi jantung Haibara hampir berhenti."

"Kami pun segera mencari rumah sakit di mana Haibara Ai berada, dan disambungkan dengan dokter yang merawatnya. Kamilah yang menyuruh dokter tersebut untuk memberitahu keluarga Haibara Ai bahwa ia telah meninggal. Sisanya, kami segera menyiapkan tubuh palsu dengan wajah Haibara Ai, yang kemudian kalian kremasikan."

Jodie-sensei terdiam sejenak, menyeruput teh yang sudah mendingin di mejanya.

"Itulah mengapa Ran mendapatkan keringanan hukuman sebanyak itu…" ujarku, hampir seperti aku bicara pada diriku sendiri.

"James-san berbicara pada hakim kasus tersebut, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang hakim tersebut lakukan pada akhirnya tidak menyalahi hukum karena hukuman yang dijatuhkan memang setimpal dengan tindak kriminalnya."

Jodie-sensei beranjak dari tempat duduknya, dan memberikan aku secarik kertas. Di dalamnya tertulis sebuah alamat yang berada di London, Inggris.

"Kau dengar aku sekarang. Malam ini, aku berada di sebuah bar di Ginza dengan kawan-kawanku. Kau berada di toko buku bersama kawan-kawanmu. Dan kau tidak mendapatkan alamat ini dariku. Mengerti?"

Aku nyengir, dan mengangguk mantap. Kubungkukkan tubuhku dalam-dalam, air mata yang tertahan akhirnya jatuh juga.

"Terima kasih, Jodie-sensei…"


London, Oktober 2019

NONA Deane Liere menampakkan batang hidungnya, dan pandangannya terkejut seperti melihat hantu.

Aku berjalan mendekatinya, semakin lama semakin cepat, dan sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, kubungkam mulutnya dengan bibirku.

"Kudou-ku –"

"Kau dengarkan aku, wanita bodoh! Kau boleh meninggalkan aku sekali, dua kali, sepuluh kali, ataupun seratus kali, tapi aku akan selalu menemukanmu lagi. Coba saja kalau berani."

Mata pirusnya memandangku tanpa bergeming. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, dan pandangku pun mulai mengabur. Segera kuusap air mataku karena aku tidak mau kehilangan sedetik pun melihat wajah yang setengah mati kurindukan itu.

"Kudou-kun aku adalah bom waktu untuk siapapun di sekelilingku…"

"Dan aku akan menghentikan bom itu setiap kali, sebelum bom itu meledak. Itu janjiku padamu, dan aku tidak akan mati dengan tenang kecuali aku menepatinya…"

Kukeluarkan cincin berlian yang dari kantung celanaku, dan aku bersimpuh dengan satu lutut di hadapannya.

"Deane Liere. Haibara Ai. Miyano Shiho. Apa dan siapapun namamu, kau adalah satu-satunya perempuan yang akan aku cintai seumur hidupku. Aku mencintaimu, sepuluh tahun yang lalu, hari ini, dan seterusnya…"

Orang-orang di sekeliling kami mulai menyadari apa yang terjadi, dan tidak sedikit dari mereka yang mulai menonton.

"Haibara Ai, maukah kau menikahiku?"

Haibara tertawa di tengah-tengah tangisannya. Segala yang telah aku lalui bersama dengan dirinya bermain di kepalaku, seperti film kaleidoskop. Jantungku masih berdegup kencang, menunggu jawaban dari cinta matiku.

Dan, Haibara pun mengangguk, mengiyakan permohonanku.

Lalu aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Ruangan itu tiba-tiba menjadi riuh oleh orang-orang yang bertepuk tangan untuk kami, sedangkan aku memeluk Haibara dengan erat. Memeluknya seakan aku takut akan kehilangannya sekali lagi.


Tokyo, Oktober 2019

"HEY, Kudou-kun…"

"Hm?"

"Jadi kalau aku menikahimu apakah aku akan menjadi Ny. Kudou atau Ny. Edogawa?"

"Hmmm…akte lahirku sih sekarang sudah Edogawa Conan. Jadi Ny. Edogawa deh…"

"Hm, okok…"

Aku menarik selimut yang menutupi kami berdua di sofa di mana kami sedang bersantai dengan secangkir coklat panas. Udara memang belum terlalu dingin, tapi tidak ada waktu yang tidak tepat untuk secangkir coklat panas dan selimut hangat.

Aku dan Haibara telah kembali ke Tokyo sejak kami bertunangan di London. Setelah mengurus surat ganti nama untuk mengembalikan nama Haibara Ai dari Deane Liere, Haibara kini resmi kembali ke rumah Profesor Agasa. Hanya saja, kebanyakan ia menghabiskan waktunya di rumahku. Yang, tentu saja, bukan hal yang kubenci.

"Oh ya…bagaimana kau tahu namaku Deane Liere di London? Jodie-sensei saja tidak tahu. Dia hanya tahu fasilitas riset tempatku bekerja lho…"

Aku mendengus tertawa, "Nona Haibara sayang, kalau kau mau bersembunyi dariku, kau harus lebih pintar dariku, ya. Kau pikir kenapa aku memberi nama Shelling Ford kepada resepsionis tempatmu bekerja?"

Haibara nyengir, "Well, kupikir nama yang dibuat dari anagram Irene Adler sudah cukup pintar, tapi ternyata tidak ya?"

Aku mengusap rambutnya, dan mengecup lembut dahinya, "Tentu saja pintar, sayangku. Tapi tidak cukup pintar untuk calon suamimu ini…"

Haibara terkekeh geli, lalu ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Ingin rasanya kuhentikan waktu supaya aku bisa menikmati kebersamaan ini selamanya. Namun kemudian, kusadari bahwa aku AKAN menikmati kebersamaan ini selamanya.

Karena aku telah berjanji, aku tidak akan pernah membiarkannya pergi lagi. Haibara Ai, wanita yang kucintai sepuluh tahun yang lalu, hari ini, dan selamanya.


Sekali lagi terima kasih banyak amat sangat sekali untuk segala dukungannya ya! Untuk yang RR nya nggak sempat saya balas maaf sekali ya saya udah coba untuk balas satu-satu tapi buanyaakkk sekali yang masuk (terimakasih, lagi!). Semoga kita bisa ketemu lagi di fanfic selanjutnya ya. HIDUP COAI SELAMANYA! xxx -wendykei-/p