Author's Note: Selamat tahun baru, teman-teman! Terima kasih atas kesetiaan teman-teman semua yang telah mengikuti 'Beautiful Disaster'! Kali ini saya membuat Auhtor's Note di bagian awal karena banyak dari teman-teman yang bertanya-tanya kapan FF ini akan update. Sebenarnya, saya sudah lama sekali selesai menulis chapter 9 ini. Namun ketika saya ingin meng-upload, FFN error, dan itu terjadi selama beberapa minggu sampai akhirnya saya menyerah. Lalu saya juga disibukkan oleh macam-macam transisi dalam kehidupan saya.
Namun alhamdulillah kali ini bisa ter-upload dengan sukses!
Jadi tanpa banyak basa-basi, inilah Chapter 9 XD
Chapter 9
Fried Chicken and Caramel Pannacota
Gaara, ayahmu mengerti apa yang terjadi antara kau dan Shion, dan ia harap itu tidak akan terjadi lagi karena Shion adalah orang yang akan selalu menemanimu ke terapis. Untuk terapis, sesuai permintaanmu, ayahmu juga sudah memecat dr. Orochimaru dan meminta terapis baru untuk membantumu. Shion akan datang sore ini untuk menjemput dan mengantarmu ke terapis baru. Kuharap kau tidak akan membuat masalah lagi.
- Kim Minami.
Hari itu hari Senin. Sejak pagi Hinata sudah mendengar suara amukan dan bunyi benda-benda yang hancur karena dilempar ke dinding dari basement. Gadis itu terlonjak setiap kali terdengar bunyi benda pecah. Sejujurnya, ini adalah salah satu hal yang tidak ia suka dari tinggal di rumah tersebut. Meskipun Gaara tidak pernah mengamuk padanya, namun setiap kali mendengar pemuda itu mengamuk membuat Hinata merasa seperti diteror. Karena itu, saat menyiapkan sarapan dan makan siang untuk hari itu, kedua tangan Hinata tak bisa berhenti bergetar.
Sejak melihat momen rapuh lelaki itu pada hari Jumat lalu, entah mengapa selama akhir pekan tersebut, Hinata merasa Gaara menjaga jarak darinya. Dia tidak pernah menatap Hinata saat si gadis membawakan makanannya ke kamar dan juga tidak pernah menegurnya jika mereka berpapasan. Biasanya jika Gaara akan pulang larut, dia juga akan memberitahu Hinata, namun selama dua hari terakhir itu, dia mengabaikan Hinata.
Gadis itu tidak tahu apa lagi yang sudah ia lakukan kali ini.
Tepat pukul delapan, suara amukan dari basement mulai mereda. Tak lama kemudian, suara langkah kaki lelaki tersebut terdengar menaiki tangga menuju ke dapur. Dia pasti hendak keluar untuk melakukan rutinitas jogging-nya.
Karena rumah tersebut jarang kedatangan tamu, Gaara menginstruksikan mereka agar selalu mengunci pintu depan dan hanya keluar masuk rumah lewat pintu belakang yang terletak di dapur. Oleh karena itu, Hinata tahu bahwa jika ia tidak segera berangkat, beberapa detik lagi ia pasti akan berpapasan dengan Gaara. Biasanya Hinata tidak masalah jika bertemu Gaara dalam kondisi apapun. Namun pagi hari dengan kondisi mood yang buruk, Hinata merasa lebih bijak apabila ia menjauhi lelaki itu.
Ketika Hinata bergegas mengambil tas sekolah dan bekal-nya, Gaara muncul di dapur. Hinata menelan ludah dan bingung menata ekspresi wajahnya. Akhirnya ia memaksakan senyumannya dan mengucapkan selamat pagi.
Namun Hinata tidak perlu mengkhawatirkan apapun karena Gaara hanya melihatnya sekilas sebelum meninggalkannya sendirian di sana.
"Selamat pagi."
Hinata nyaris tersedak napasnya sendiri ketika mendengar suara tersebut. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara tersebut. Ia bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Ketika ia akhirnya menoleh ke samping, ia yakin napasnya berhenti.
Sasuke Uchiha bersandar pada loker di samping-nya. Di samping-nya! Di samping dia, Hinata Hyuuga!
"Kau baik-baik saja, Hinata?"
Setelah kembali menemukan napas dan suaranya, serta tekad bulat untuk tidak mempermalukan dirinya, Hinata akhirnya berhasil menjawab, "S-selamat pagi, Sasuke-san."
"Wajahmu sangat merah. Kau tidak sedang sakit, 'kan?"
Hinata menggeleng-geleng. Di tengah-tengah kepanikannya, ia pun menjatuhkan semua buku yang hendak ia ambil dari lokernya. Ia tahu ia tidak hanya sedang mempermalukan dirinya di depan Sasuke, namun juga di depan semua orang yang sedang lewat di koridor saat itu. Hinata bahkan bisa merasakan tatapan menusuk dari orang-orang di belakangnya.
"Sial, sial, sial," kutuk Hinata di bawah napasnya.
Ketika sudah mengambil semua bukunya, Hinata kembali berdiri dan terkejut masih menemukan Sasuke di sana.
"Apa aku mengagetkanmu?"
Hinata menggeleng-geleng.
Sasuke menyeringai. "Apa kelas pertamamu?"
Keberadaan Sasuke di sekitarnya selalu membawa efek yang membuat lidah Hinata mati rasa. Saat itu, gadis malang tersebut hanya mampu mengangkat buku teks Sejarah Jepang-nya untuk menjawab pertanyaan Sasuke.
"Kita searah. Yuk, bareng."
Jantung Hinata nyaris meledak dibuatnya, kedua matanya terbelalak. Dia tidak mengerti apa yang memotivasi Sasuke pagi ini. Jumat lalu ketika Sasuke duduk di sampingnya saat kelas programming, Hinata pikir itu mungkin karena ia sudah familiar dengan Hinata yang adalah tutor-nya. Kelas programming juga tidak diikuti banyak orang, sehingga Sasuke tidak perlu malu dibicarakan oleh orang lain karena duduk di sampingnya. Namun untuk berjalan bersama Hinata, ke kelasnya, apalagi Senin pagi, itu adalah sesuatu yang sangat mustahil dilakukan oleh orang sekelas Sasuke Uchiha.
Kelas Sejarah Jepang terletak di lantai dua, persisnya di koridor paling ujung. Dari lokernya, Hinata harus melewati lobi utama dan banyak kelas-kelas lain untuk mencapainya. Saat itu Hinata berharap tubuhnya terbuat dari es yang bisa meleleh karena ia tidak tahan dengan pandangan menusuk serta bisik-bisik dari semua orang. Dengan pandangan yang terus tertuju pada ujung sepatu bututnya, Hinata semakin merasa punggungnya panas dan paru-parunya sesak karena sulit bernapas.
Dari pertama kali menginjakkan kaki di sekolah tersebut, itu adalah kali pertamanya Hinata menjadi pusat perhatian. Dan dia tidak menyukainya. Apalagi ditambah dengan kebisuan Sasuke di sampingnya, Hinata merasa ia harus melalui siksaan tersebut sendirian.
Tidak, Hinata Hyuuga sama sekali tidak menyukai ini.
"A-a-aku mau ke toilet. Kau duluan saja, Sasuke-san," Hinata menggumamkan kalimat tersebut. Ia bahkan tak yakin apakah Sasuke mendengarnya. Namun ia tidak peduli. Ia harus segera bersembunyi. Harus. Sebelum ia pingsan.
Dan kali ini bukan hanya perasaan paranoid-nya saja. Tapi Hinata benar-benar bisa merasa pandangannya menggelap.
Tanpa menunggu jawaban lelaki itu, Hinata langsung melarikan diri ke toilet dan bersembunyi pada bilik ke dua dari pintu. Setelah menurunkan tutup kloset, Hinata duduk di atasnya dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan debaran jantungnya.
Tentu saja Hinata selalu berfantasi melihat dirinya dan Sasuke berjalan bersama-sama menuju kelas, bergandengan tangan, sambil mengobrol, lalu Sasuke akan tertawa saat mendengar salah satu candaan yang ia buat. Namun Hinata tidak pernah membayangkan bagaimana dunia di sekitarnya saat itu terjadi. Dalam fantasi-nya, hanya ada dia dan Sasuke. Namun di dunia nyata, tentu saja mereka tidak sendiri.
Dan Hinata tidak menyangka bahwa ia malah justru nyaris pingsan saat salah satu fantasinya jadi kenyataan.
Hinata menggigit bibir lalu menimbang-nimbang kapan ia harus keluar dari toilet. Setelah mengecek jam di ponselnya, ia ternyata masih punya waktu lima belas menit sebelum kelas dimulai. Jadi dia memutuskan untuk tetap di situ lima menit lagi.
Ketika ia sudah benar-benar tenang, Hinata mulai memutar ulang kejadian tadi. Sasuke yang mendadak bersandar pada loker di sampingnya, Sasuke yang mengajaknya ke kelas bersama-sama.
Wajahnya memanas. M-mungkinkah Sasuke benar-benar melihatku sekarang? Hinata tersenyum memikirkan pertanyaan tersebut.
Namun mendadak suatu skenario lain terbersit dalam pikirannya.
Atau mungkinkah...Sasuke terjebak dalam suatu taruhan? Ya, itu suatu hal yang biasa 'kan? Anak-anak populer menjadikan anak-anak culun suatu taruhan untuk bahan candaan mereka. Wajah Hinata memucat karena pikirannya sendiri.
Tapi penjelasan apa lagi yang masuk akal terhadap tindakan Sasuke yang tidak biasa itu?
Hinata menatap kedua telapak tangannya yang kasar dan pecah-pecah akibat air cuci piring. Kedua tangan tersebut tidak cocok untuk bergandengan dengan tangan seorang pangeran seperti Sasuke Uchiha.
Hinata mengehela napas, lalu terlonjak ketika mendadak ponselnya bergetar karena ada pesan masuk.
Aku akan makan di luar hari ini.
- G
"Ah, benarkah?" Bibir Hinata melengkung ke bawah membaca pesan tersebut. Padahal pagi itu ia sudah menyiapkan ayam goreng kesukaan Gaara serta pannacota caramel untuk dessert—yang semuanya adalah kesukaan Gaara—dengan harapan untuk memperbaiki mood majikannya tersebut.
Hinata menggigit bibir. Gaara sangat jarang makan di luar—apalagi makan siang. Jika keluar, pemuda itu pasti keluar malam hari, setelah makan malam. Ini adalah kali pertama Gaara tidak makan siang di rumah.
Sesuatu pasti sedang terjadi pada lelaki itu.
Tempat yang akan dikunjunginya hari itu adalah tempat kedua yang paling dibenci Gaara seumur hidupnya.
Tempat yang pertama adalah tempat ia pernah dikurung selama setahun sebagai orang gila, yaitu Sou Fujimoto Children's Rehabilitation Centre di Hokkaido. Bahkan namanya saja baru Gaara ketahui setelah ia keluar dari tempat tersebut. Ketika masih di dalamnya, Gaara menyebutnya sebagai Tempat Buruk.
Gaara tahu bahwa ia sudah melakukan hal tak termaafkan sehingga membuatnya dikurung di sana. Meskipun itu demi kebaikannya sendiri, namun demi apapun, Gaara akan melakukan apa saja agar tidak dikirim lagi ke sana.
Terapisnya di Tempat Buruk, dr. Orochimaru, adalah orang yang sangat mengerikan. Gaara pikir para terapis seharusnya menyemangati para pasiennya, namun dokter itu tidak. Dia selalu pesimis dan menganggap Gaara tidak akan sanggup sembuh dari penyakitnya. Dia juga tidak setuju Gaara keluar dari Tempat Buruk. Namun karena ayahnya sangat kaya dan berkuasa, maka jika dr. Orochimaru masih ingin membayar cicilan rumahnya yang belum selesai, ia tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti apapun perintah dari keluarga Sabaku. Hanya saja, meskipun boleh keluar, dia tetap memberi syarat bahwa Gaara harus ikut terapi.
Oleh karena itu setiap hari Jumat, Kim Shion―seorang gadis yang bisa dibilang adik tirinya, akan mengantarnya ke klinik mewah dr. Orochimaru yang terletak di pusat kota. Akhir-akhir ini Gaara bisa mengelak dari kewajibannya tersebut dengan alasan latihan Emperor Cup. Namun nampaknya minggu itu si Iblis Minami menganggap liburannya sudah cukup dan mengirim si Setan Shion untuk mengantarnya ke neraka.
Setelah insidennya dengan Shion kemarin, Gaara sama sekali tidak berniat untuk bicara dengan gadis itu. Bukannya biasanya mereka sering mengobrol, namun sekarang kebisuan yang menggantung di antara mereka dipenuhi ketegangan. Shion tidak akan minta maaf jika ia menghajar sebuah lubang di jalan dan mengagetkan Gaara atau menghantam sebuah polisi tidur yang membuat kepala lelaki itu terhantam ke kaca jendela. Namun Gaara tetap diam dan mengabaikan Shion.
Kalau soal diam-diaman, Gaara mungkin bisa disebut sekelas juara dunia.
Mereka berdua sampai di sebuah gedung sederhana dengan dua tingkat yang sangat berbeda dengan klinik mewah milik dr. Orochimaru. Meskipun dari luar nampak sederhana, namun bagian dalamnya terlihat nyaman dan berkelas. Ruang tunggunya dilengkapi sofa-sofa kulit yang terlihat mahal, lukisan-lukisan bergaya kontemporer, serta alunan musik lembut yang menenangkan hati. Gaara dan Shion menunggu di salah satu sofa di samping pintu dengan tulisan dr. Sarutobi.
Gaara mengedikkan kepala ke arah pintu tersebut. "Dia terapis baruku?" tanyanya.
Shion mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Meskipun sudah di dalam, namun gadis itu menolak melepaskan kacamata hitamnya. Mungkin dia malu berada di situ bersamaku, pikir Gaara. Hal tersebut membuatnya menyeringai. Tentu saja semua tugas untuk mengantar Gaara ke terapis ini sangat merepotkannya. Hal ini seharusnya dilakukan ibu-nya. Namun karena perempuan sialan itu tak berani bertemu dengannya, ia menyuruh anak perempuannya.
Beberapa saat kemudian, pintu dr. Sarutobi terbuka dan keluarlah seorang pria tua berambut putih. Dia mengenakan kemeja biru, celana abu-abu, serta blazer cokelat, dan terlihat lelah. Sangat lelah.
"Gaara Sabaku?" Pandangannya beredar di ruang tunggu, sebelum berhenti pada si pemuda berambut merah.
Gaara menoleh mendengar namanya dipanggil. Meskipun pria tersebut terlihat lelah, namun matanya tetap bersinar hangat. Ia tersenyum saat melihat Gaara berdiri dan mengajak pemuda tersebut masuk ke ruangannya.
Setelah di dalam, si rambut merah mengamati ruangannya. Ruangan Orochimaru dulu dipenuhi lukisan-lukisan aneh serta beberapa penghargaan yang diterimanya semasa dia mengajar di sebuah universitas swasta dulu. Ruangan dr. Sarutobi lebih sederhana, tidak banyak hiasan-hiasan dinding yang tidak penting. Namun Gaara melihat ijazah sarjana psikologi yang pria itu dapatkan di Todai, serta ijazah master dan doktor yang ia dapatkan di Columbia University—almamater ayahnya.
Di dalam ruangan terdapat dua jenis sofa. Yang satu sofa berwarna hitam, yang satu sofa berwarna cokelat. Gaara memilih sofa yang berwarna hitam.
Dr. Sarutobi tersenyum melihat Gaara sebelum mengambil sofa di seberangnya.
Pria itu kemudian mengambil sebuah map kuning yang ada di meja di depannya, kemudian membaca isinya.
"Gaara Sabaku, hmm? Boleh aku memanggilmu Gaara?" Suaranya berat dan penuh wibawa, namun pada saat yang sama juga menenangkan.
Gaara mengangguk.
Dr. Sarutobi tersenyum lalu menutup map di tangannya dan meletakkanya di meja.
"Ceritakan tentang dirimu, Gaara."
Gaara menaikkan sebelah alisnya. Dirinya? Apa yang bisa ia ceritakan tentang dirinya yang belum diketahui oleh si dokter tersebut dari catatannya? Gaara sangat yakin selama pengobatannya, dr. Orochimaru dan semua dokternya di Sou Fujimoto menyimpan catatan perilaku hariannya dengan sangat rapih. Namun karena dr. Sarutobi tidak sedang membaca file atau kertas-kertas apapun di tangannya, Gaara pun mengambil kesimpulan kalau dia memang benar-benar ingin tahu. Akhirnya ia pun bergumam, "Aku penderita IED."
"Well, tentu saja aku tahu itu." Ia tersenyum, senyumannya yang kebapakan, "Itu saja?"
Gaara mengernyit. "Apa lagi yang kau mau tahu?" tanyanya dengan nada jengkel.
"Bagaimana dengan rumahmu? Keluargamu?"
Gaara yakin Kim Minami atau Shion pasti sudah bercerita pada dokter ini tentang keadaan keluarga mereka. Meskipun mungkin Minami pasti mengaku bahwa ia adalah ibunya Gaara. Dia selalu melakukan itu pada semua orang. Dan itu adalah salah satu alasan ia sangat membenci wanita itu.
Seolah-olah Gaara tidak punya ibu saja.
Gaara menimbang-nimbang, dan akhirnya memutuskan untuk bercerita tentang ayah dan ibunya. "Ayahku adalah orang yang sangat pintar dan hebat. Dia berasal dari keluarga yang sangat kaya. Namun ia tidak mendapatkan kekayaannya sekarang hanya karena warisan dari kakek. Ia benar-benar bekerja keras untuk semuanya hingga kami bisa hidup seperti ini. Ibuku adalah seorang apoteker, dan dia adalah wanita yang sangat cantik. Ibu juga berasal dari keluarga yang sangat kaya, jadi wajar saja kalau mereka menikah." Gaara berhenti sebentar. "Dulu kami tinggal bersama-sama di Indiana. Di musim panas, ayah akan mengajak kami berlibur ke rumah peristirahatan dan mengajarkan kami berselancar di North Carolina. Di musim dingin kami akan pergi ke Colorado dan bermain ski. Tapi aku sekarang tinggal di rumah tempat ibuku dibesarkan. Sementara mereka tetap di Amerika. Tapi begitu nanti aku sembuh, ayah berjanji aku akan kembali lagi kesana."
Dr. Sarutobi tersenyum, lalu mengangguk-angguk, "Bagaimana dengan saudaramu?"
Gaara mengernyit, namun tetap mengangguk.
"Ceritakan tentang saudaramu."
"Shion—gadis yang menungguku di luar—bukan saudaraku. Aku tidak tahu apa yang Minami katakan padamu, tapi mereka berdua bukan keluargaku. Saudara kandungku adalah kakak laki-lakiku dan kakak perempuanku. Karena kondisiku, aku tidak tinggal bersama mereka, jadi tidak banyak yang bisa kuceritakan." Gaara tidak menatap wajah dr. Sarutobi, karena hanya itu yang bisa ia katakan pada orang lain tentang keluarganya.
Dr. Sarutobi hanya menatapnya tanpa berkata apapun. "Apakah itu benar?"
"Apa yang benar?"
"Tidak banyak yang bisa kau ceritakan..."
Gaara mengangkat bahu, "Sudah kubilang, aku tidak tinggal bersama mereka. Aku bahkan tidak tahu bagaimana wajah mereka sekarang. Sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka."
"Kenapa?"
Gaara menghela napas. Dokter ini terus-terusan bertanya hal yang sudah ia jawab dari awal. Ia curiga dokter ini terus-terusan menanyakan hal yang sama untuk mencari celah pertahanan Gaara dan menjebaknya untuk mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia katakan. "Sudah kubilang, aku tidak tinggal bersama keluargaku karena kondisiku."
"Apa mereka pernah mengunjungimu?"
Gaara menggertakkan giginya. "Tidak."
"Apa kau tahu kenapa?"
"Aku tidak tahu." Gaara menghela napas. "Mungkin mereka membenciku."
"Bagaimana kau bisa menyimpulkan itu?"
Gaara mengangkat bahu, "Tidak ada alasan bagi mereka untuk mencintaiku. Sejak kecil aku sangat diperhatikan oleh ayah dan ibu karena kondisiku. Ayah dan Ibu tidak punya waktu untuk kedua kakakku. Mungkin itu membuat mereka tidak menyukaiku. Kenapa kau bertanya-tanya tentang mereka, sih?"
"Baiklah." Dr. Sarutobi hanya mengamatinya selama beberapa saat. "Katakan, Gaara. Apa kau tahu apa sebenarnya yang menjadi pemicu IED-mu?"
Gaara menelan ludah, wajahnya menegang.
"Gaara?"
Ia menggeleng, "Tidak," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu."
"Apa kau mau tahu?"
Kali ini Gaara menjawab dengan tegas. "Tidak. Aku tidak mau tahu."
"Kenapa kau tidak mau tahu?"
"HARUSKAH AKU MENJAWAB ITU?!" Gaara berdiri saat membentak dr. Sarutobi. Ketika ia sadar apa yang barusan ia lakukan, ia duduk kembali dan meminta maaf, "Maafkan aku, aku tidak seharusnya begitu."
Dr. Sarutobi tidak kaget dengan semburan Gaara. Ia tidak marah, namun ia terlihat khawatir. "Kau harus mempersiapkan dirimu untuk mengetahuinya suatu hari nanti, Gaara. Itu adalah bagian dari dirimu yang harus kau terima."
Gaara merasa jantungnya mulai berdegup lebih cepat dan kepalanya sakit. Memikirkan 'itu' menimbulkan efek tersebut padanya. Ia pun berusaha menyingkirkan 'itu' jauh-jauh dari pikirannya.
Setelah itu Sarutobi bertanya tentang obat-obat Gaara. "Kau seharusnya sudah tahu bahwa selain ikut sesi terapi, kau juga harus meminum obatmu dengan rutin. Itu adalah syarat bagimu untuk tidak kembali ke Sou Fujimoto. Kalau kau tidak meminum obatmu, semua ini akan sama saja."
Gaara tidak tahu apakah dr. Sarutobi hanya menebak-nebak atau ia tahu yang sebenarnya. Sebelum kedatangan Hinata, Gaara sebenarnya tidak pernah repot-repot meminum obat-obatnya yang disediakan oleh Matsuri. Namun sejak kedatangan gadis itu, dan sejak Matsuri menyerahkan tugas untuk menyediakan obat-obatan Gaara padanya, Gaara mulai mengalami konflik batin. Ia merasa bersalah jika langsung membuang obat-obatan tersebut ke tempat sampah. Akhirnya ia pun selalu berpura-pura menelan obatnya, padahal sebenarnya ia menyembunyikannya di bawah lidah. Lalu ketika Hinata pergi, ia akan ke kamar mandi dan memuntahkan semuanya di kloset.
Obat-obat tersebut membuatnya terlalu...tenang, membuatnya malas berpikir, membuatnya malas bergerak, dan membuatnya ingin memuntahkan semua makanan yang ia makan. Orang-orang tidak ada yang mengerti hal itu. Mereka semua pikir Gaara hanyalah anak manja pemberontak yang menikmati penyakit serta semua perhatian yang diberikan padanya.
Namun di depan dr. Sarutobi, Gaara hanya mengangguk dan berbohong. Dia tidak peduli dr. Sarutobi tahu atau tidak tentang kebohongannya. Dokter itu paling menambah dosis obat-obatnya untuk menghukumnya. Obat-obat yang juga tidak akan diminumnya.
"Lalu bagaimana dengan sekolah? Kau pergi sekolah atau mendapat tutor-mu sendiri, Gaara?" tanyanya tiba-tiba
"Aku pergi ke sekolah—kelas dua, di Sunagakure Private School."
"Ceritakan tentang sekolahmu."
"Tidak banyak yang bisa diceritakan. Dokterku sebelumnya bilang aku boleh tidak ikut kelas dan fokus ke penyembuhanku."
Dr. Sarutobi mengernyit. "Apa kau punya teman, Gaara?"
Gaara menggeleng. "Aku tidak punya waktu untuk berteman."
"Itu tidak benar. Semua orang butuh teman. Lalu kalau kau tidak ikut kelas dan tidak punya teman di sekolah, apa yang kau lakukan di sana?"
"Aku ikut kegiatan klub dan ujian saja."
Dr. Sarutobi nampak tertarik. "Benarkah? Klub apa?"
"Sepak bola. Posisiku striker." Dan Gaara pun mulai bercerita tentang kegiatan sehari-harinya di klub, bagaimana dia merupakan ace tim sepak bola sekolahnya, dan bagaimana ia harus selalu bermain untuk mengimbangi kekurangan timnya.
"Kau kedengarannya orang yang sangat bisa diandalkan."
Gaara menyeringai. Ia tiba-tiba merasa dokter ini tidak terlalu buruk.
Kemudian Gaara mulai bercerita soal Emperor Cup. Di hadapannya, dr. Sarutobi menyimak dengan penuh perhatian. "Kau tahu Universitas Tokugawa? Setiap tahun Program Olahraga mereka selalu mengadakan kompetisi sepak bola yang diikuti semua sekolah di Jepang. Hadiahnya biasa saja, tapi aku mau ikut di situ untuk membalas kekalahan timku kemarin waktu di Kejuaraan Daerah. Sekolahku adalah salah satu sekolah dengan tim sepak bola terbaik di daerah Kanto. Tapi ada sekolah lain yang jadi rival kami, yaitu Konohagakure Private School." Sarutobi mengangguk-angguk. "Sebenarnya mereka tidak jago-jago amat, yang jago hanya ada dua orang, Sasuke Uchiha dan Naruto Namikaze, yang lainnya hanya seperti pemeran pendukung. Waktu Kejuaraan Daerah aku mengalahkan Uchiha dan menjadi MVP. Namun tetap saja dalam adu tim, tetap tim-nya yang menang, karena itu aku tidak boleh kalah di kejuaraan yang ini. Menurut Hinata, Uchiha tidak berlatih setiap hari di klub-nya. Aku tidak tahu apakah itu karena dia tidak melihat orang itu latihan secara langsung atau dia sudah memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Tapi kalau jam latihanku lebih banyak dari Uchiha, aku pasti bisa melampauinya."
Dr. Sarutobi menaikkan sebelah alisnya. "Hinata?"
Gaara memberi dr. Sarutobi pandangan bingung. Dia tidak ingat bahwa ia menyebut nama Hinata. Namun karena dr. Sarutobi bertanya, dia pun harus menjawab. "Dia murid Konohagakure juga, seperti Uchiha," Gaara menimbang-nimbang apakah ia harus bercerita soal Hinata ke terapisnya. Ia tahu apapun yang ia ceritakan di situ tidak akan keluar dari ruangan tersebut. Namun entah mengapa ia masih ragu.
"Bagaimana hubunganmu dengan Hinata?"
Gaara terdiam cukup lama. Gaara teringat tempo hari ketika berada di apartemennya, Hinata berkata bahwa ia menganggap Gaara sebagai temannya, dan menceritakan semua masalahnya. Lalu bagaimana dengan Gaara?
"Kami...kami sering mengobrol," jawab Gaara akhirnya.
"Mengobrol soal apa?"
Gaara mencoba menjawab tanpa membeberkan terlalu banyak. "Dia terkadang bercerita tentang dirinya."
Dr. Sarutobi kini nampak tertarik. "Benarkah? Lalu apakah kau adalah pendengar yang baik, Gaara?"
Pertanyaan tersebut membuat Gaara mengernyit. Gaara selalu membuat kebijakan untuk tidak peduli tentang apa yang orang pikirkan tentangnya. "Entahlah, aku tidak tahu."
"Bagaimana kau bisa bertemu dengan Hinata? Bukannya kalian beda sekolah?"
Gaara menimbang-nimbang lagi. Ia bersandar pada bangkunya, lalu memijit-mijit pelipisnya, haruskah ia bercerita? Gaara mengawasi dr. Sarutobi yang kini mengamatinya seperti spesimen di laboratorium. Mengapa ia sangat tertarik dengan Hinata? Dia baru saja mengenal gadis itu, jadi ia sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyakitnya.
Namun akhirnya Gaara bercerita soal pertemuan pertamanya dengan Hinata—di stadion saat final Kejuaraan Daerah. Kemudian ia kembali teringat pada cerita awalnya, yaitu tentang Emperor Cup dan kembali bercerita soal pertandingan-pertandingannya di Emperor Cup.
Namun respon dr. Sarutobi malah, "Apakah kau selalu bertemu dengan Hinata di setiap pertandingan Emperor Cup?"
"Tidak." Gaara kemudian teringat soal insiden dimana ia menolong Hinata yang dicopet, kemudian menceritakannya pada dr. Sarutobi. Cerita tersebut membuat dr. Sarutobi makin tertarik. Padahal Gaara sangat bersemangat ingin bercerita soal sepak bola, namun dr. Sarutobi sepertinya lebih tertarik soal Hinata.
"Jadi kau menolong Hinata karena kau melihatnya dicopet?"
"Ya, dan aku hampir membunuh pencopetnya. Polisi yang menangkap mereka memberitahu Minami, tapi dia sepertinya tidak peduli. Aku tidak tahu apakah kau sudah tahu soal ini darinya atau belum."
Senyuman tipis menghiasi bibir dr. Sarutobi. "Itu adalah reaksi impulsif. Kau kaget karena terjadi kekerasan di depanmu. Saat itu otakmu secara otomatis membuat reaksi pertahanan diri untuk melindungi dirimu sendiri, yang membuatmu melumpuhkan mereka sebelum mereka dapat melumpuhkanmu lebih dulu," jelas Sarutobi seolah-olah itu bukan salah Gaara sama sekali kalau salah satu dari pencopet tersebut kemungkinan lumpuh seumur hidup. "Lalu bagaimana dengan Hinata? Apakah dia masih berbicara denganmu setelah itu?"
Gaara menyipitkan mata ketika mendengar Sarutobi bertanya soal Hinata lagi. Namun pertanyaan tersebut memang salah satu hal yang Gaara khawatirkan ketika ia memberitahu Hinata tentang kejadian sebenarnya yang menimpa pencopet gadis tersebut. Ia pikir gadis itu pasti akan langsung menjauhinya dan menganggapnya monster. Namun alih-alih gadis itu justru berterima kasih dan menawarkan diri memasakkan makan malam untuknya.
Mendadak ekspresi wajah Gaara melunak. "Tentu saja. Dia masih berbicara denganku." Namun Gaara tidak bercerita tentang makan malam mereka atau ketika Hinata mengunjunginya di stadion untuk memberinya lemon madu.
Mungkin nanti, tidak sekarang.
Dr. Sarutobi tersenyum, "Hinata kedengarannya cukup memenuhi kriteria sebagai temanmu."
Gaara tertegun mendengarnya, "Benarkah?"
"Mungkin kau tidak menganggapnya teman karena kau sudah terbiasa meyakinkan dirimu kalau berteman itu buang-buang waktu. Namun Hinata sepertinya menganggapmu temannya."
"Apa?"
"Aku sangat tertarik melihat perkembangan hubunganmu dengan gadis ini. Menurutku, ia bisa memberikan efek yang positif terhadap kondisimu."
"Apa kau menghindariku?"
Hinata nyaris jatuh terjengkang ketika Sasuke muncul entah dari mana di hadapannya.
Saat itu jam makan siang, dan Hinata secara otomatis bergegas menuju tempat ia biasa makan siang sendirian di dekat dinding persis di pinggir lapangan basket. Tubuh Hinata juga sudah terprogram untuk berjalan dengan kepala menunduk dan membuatnya sebisa mungkin tidak terlihat. Namun ia sangat terkejut ketika Sasuke mendadak mencegatnya.
"T-t-tidak," adalah jawaban Hinata.
Sasuke meletakkan tangannya di pinggang. "Lalu kenapa tadi pagi kau meninggalkanku sendirian?"
"A-a-aku ke toilet."
"Karena menghindariku."
Hinata menggeleng-geleng. "B-bukan begitu."
Sasuke memberinya pandangan tajam, seolah-olah menantangnya untuk berbohong. Hinata menelan ludah, ia bisa merasakan keringat dingin di punggungnya. "M-maaf jika kau merasa tersinggung karena itu."
Sasuke akhirnya menghela napas. "Ya sudahlah itu tidak penting. Kau mau ke kantin?"
Kantin adalah tempat seluruh murid Konohagakure berkumpul saat jam makan siang. Hinata pernah sekali kesana waktu hari pertamanya di sekolah tersebut, namun ketika melihat harga makanannya yang sama dengan biaya belanjanya satu minggu, Hinata pun tidak makan apapun hari itu kecuali sepotong roti cokelat dan susu pisang. Sejak hari itu dan seterusnya, Hinata selalu membawa makanannya sendiri. Selain itu, karena tidak punya teman, ia juga tidak bisa bergabung dengan meja mana pun di kantin. Akibatnya, Hinata selalu makan siang di pinggir lapangan basket.
"T-tidak. Aku akan makan di dekat lapangan basket. Bagaimana denganmu?"
"Kau tidak beli makanan di kantin dulu?"
Hinata hanya tersenyum lalu mengangkat kotak bekal-nya. "Aku sudah punya makananku di sini."
Sasuke mengamati kotak bekal-nya dengan penuh minat. "Kau buat sendiri?"
Hinata mengangguk.
"Ramen?"
Hinata berhasil menahan tawanya dengan tersenyum. "T-tentu saja tidak. Ramen tidak praktis untuk dibawa-bawa sebagai bekal."
Sasuke tersenyum miring sebelum ia menjawab, "Kau tahu kalau aku hanya bercanda, 'kan?"
Hinata membalas senyumannya. Mereka saling berpandangan selama beberapa saat, sebelum Hinata akhirnya membungkuk. "A-aku permisi dulu." Ia pun berbalik dan berjalan ke arah "dinding-nya".
"Tunggu."
Hinata menoleh ke belakang.
"Apa kau akan datang ke pertandingan Emperor Cup minggu ini?"
Karena tinggal di rumah seseorang yang sangat terobsesi untuk mendapatkan Piala Saigo Takamori, Hinata tentu saja sudah hapal di luar kepala jadwal seluruh pertandingan di kejuaraan tersebut sampai final nanti. Minggu itu SMA Konohagakure punya jadwal bertanding.
Karena Gaara memberinya hari libur setiap hari Minggu, Hinata memang berencana untuk datang. "Uhh...ya, mungkin."
Sasuke menyeringai. "Mungkin? Kenapa kau tidak yakin? Apa karena Sunagakure tidak ada jadwal untuk akhir minggu ini?"
Wajah Hinata memerah, lalu ia menggeleng. "B-bukan. A-aku mungkin saja ada urusan lain."
"Berkencan dengan Gaara Sabaku?"
Kedua alis Hinata terangkat. Ia pun berbalik dan kembali menghadap Sasuke. "Sasuke-san, sudah kubilang kalau aku tidak berkencan dengan Gaara. Kami hanya teman."
Sasuke tersenyum miring. "Itu lah yang membuatku tertarik. Kalau kau tidak tahu, Gaara Sabaku itu tidak punya teman."
Hinata menatap Sasuke selama beberapa saat. "Aku tidak mengerti, Sasuke-san. Kenapa kau sangat tertarik pada Gaara?" Saat itu Hinata merasa ia tidak sedang berbicara dengan pujaan hatinya. Keusilan Sasuke tentang hubungannya dengan Gaara yang terus menerus ini membuat Hinata ingin tahu apa yang diinginkan lelaki itu sebenarnya. "Katakan saja aku memang berkencan dengannya, lalu mengapa itu menjadi urusanmu?"
Sikap Hinata yang mendadak dipenuhi kepercayaan diri membuat Sasuke menyeringai. "Aha, kau mulai menunjukkan taringmu sekarang."
Wajah Hinata memerah, namun ia tidak menurunkan pandangannya.
"Jika itu memang benar..." Mendadak Sasuke menunduk, Hinata tidak siap ketika wajah lelaki itu mendadak hanya beberapa senti darinya, kemudian berbisik, "...maka aku harus mendapatkanmu," dengan itu, Sasuke memberikan kecupan ringan pada bibirnya.
Meskipun tidak berencana makan di rumah hari itu, namun Gaara menemukan dirinya kembali di rumah saat jam makan siang. Mood-nya sedikit lebih baik setelah menyantap habis ayam goreng yang disiapkan Hinata hari itu. Meskipun demikian, ia masih tidak bisa mencegah diri untuk tidak memikirkan kata-kata dr. Sarutobi.
"Hinata sepertinya menganggapmu temannya. Aku sangat tertarik melihat perkembangan hubunganmu dengan gadis ini. Menurutku, ia bisa memberikan efek yang positif terhadap kondisimu."
Ketika pertama kali bertemu Hinata, Gaara memang harus mengakui bahwa ia tidak terlihat seperti perempuan seusia mereka pada umumnya. Dia tidak berdandan, bajunya tidak mencolok, dan suaranya tidak melengking. Dia tidak membuat Gaara jengkel, dan itu merupakan permulaan yang bagus.
Kali pertama ia menarik perhatian Gaara adalah saat di kedai ramen—ketika Gaara melihatnya bekerja. Gaara harus mengakui bahwa ia terlihat sangat cantik.
Setelah itu, Gaara mulai menemukan fakta-fakta lain tentang gadis itu yang semakin membuatnya tertarik. Meskipun ia miskin, gadis itu selalu mensyukuri apa yang ia punya. Ia pekerja keras, koki yang handal, dan ia sangat baik hati. Gaara tidak akan pernah melupakan bagaimana ia melihat wajah gadis itu di lapangan futbol, membawakannya sebotol lemon madu dan biji bunga matahari. Dia terlihat sangat menawan.
Gaara juga tidak akan bisa melupakan bagaimana gadis itu menemaninya saat ia dalam keadaan rapuh semalam. Gaara menghela napas. Hinata adalah orang yang terlalu baik untuknya.
Mana mungkin orang sesempurna itu mau berteman dengan orang dengan mental yang tidak stabil sepertinya.
Gadis itu tinggal di rumahnya karena ia tidak punya pilihan lain.
Gaara menatap ponselnya. Hinata tidak membalas pesannya pagi itu. Mungkin ia belum membacanya. Akhir-akhir ini Hinata selalu terlihat pucat dan lelah. Mungkin karena sekolahnya sangat jauh sekarang, atau karena ia mengkhawatirkan sesuatu?
Mendadak sebuah ide muncul di kepalanya.
Gaara melirik jam di kamarnya. Saat itu masih pukul dua. Jika ia pergi sekarang, mungkin masih sempat.
Author's Note: Terima kasih sudah membaca! Sampai jumpa di chapter depan! XD
Salam,
harlotkiss