"Hima-chan!" teriak Hinata, ia melongok ke bawah tempat tidur, meja belajar dan berbagai tempat sempit di rumahnya. Byakugannya mulai diaktifkan, ia memperhatikan sekeliling rumahnya. Tadinya, ia ingin memberi kejutan untuk anaknya tercinta, tanpa menggunakan Byakugan.

Tidak ada Himawari di rumah, seharusnya sekarang sudah waktunya makan malam. Hinata memulai pencariannya keluar rumah. Ia pun tak sadar bahwa ia masih menggunakan apron. Hinata memperhatikan sekelilingnya, sejauh mata byakugannya memandang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Himawari.

Panik. Itulah yang ia rasakan saat ini. Seorang ibu yang mengkhawatirkan gadis kecilnya.


ANOTHER

WARNING!

Semi-canon

Kisah yang terinspirasi pada film 'Boruto the movie', 'Naruto road to Ninja', 'Naruto the last', 'Naruto will of fire', cerita lain dari yang telah di filmkan. Pada dasarnya, cerita ini dibuat terinspirasi setelah melihat novelisasi film (Puru belum baca lengkap novelisasinya) dan beberapa adegan trailler/spoiller yang beredar di dunia maya. Jadi, kisah ini cuma prediksi dan khayalan Puru seorang.

Genre : Familly, Friendship, Hurt/Comfort

Rate : K+

Disclaimer : Masashi Kisimoto

Pairing : (Naruto Uzumaki, Hinata Uzumaki),

Chara:

Boruto Uzumaki

Himawari Uzumaki

Menma Namikaze

Kushina Namikaze

Minato Namikaze

Hinata Hyuga

Sasuke Uchiha

Sakura Uchiha (Haruno)

Sarada Uchiha

DON'T LIKE? RnR, Fav, Foll PLEASE!

LIKE? RnR, Fav, Foll PLEASE!


Hinata menghampiri rumah Sakura, teman seangkatannya yang mempunyai anak perempuan bernama Sarada, teman satu tim Boruto, putra pertamanya. Hinata mengetuk pintu rumah, ia sudah yakin bahwa Himawari memang tidak ada di dalam sana. Hanya saja, ia ingin menanyakan sesuatu ke Sakura.

"Iya, Hinata, tumben malam-malam ke sini. Loh, Himawari mana?" Sakura memperhatikan sekeliling Hinata, tidak ada anak kecil yang bersembunyi di balik kaki jenjang Hinata.

"... iya, aku ke sini untuk menanyakannya padamu. Apa Sakura-chan melihat Himawari? Karena ia belum juga pulang, semenjak pulang sekolah.

"Himawari hilang?" nada bicara Sakura cukup tinggi, Hinata langsung membekap mulut Sakura dengan tangan kanannya.

"Iya, maaf, jangan sampai orang lain tau. Bisa bahaya, jika berita ini tersebar luas," ujar Hinata, kini tangannya sudah tidak membekap Sakura.

"Gomen ne, aku belum melihatnya hari ini. Sarada sepertinya juga tidak mengajak Himawari main hari ini. Semenjak kejadian kemarin, ia jadi lebih sering di kamarnya," terang Sakura dengan jelas.

"Begitu ya, tidak apa-apa. Aku akan mencarinya lagi," Hinata sedikit tidak bersemangat, ia kembali mengingat kejadian kemarin.

"Bibi Hinata, tumben kemari," seru Sarada dari dalam rumah. Sakura langsung membisikan sesuatu ke telinga Sarada. Anak itu mengangguk.

"Baiklah, aku akan membantu mencarinya disekitar akademi. Tunggu sebentar, sepertinya aku punya beberapa earphone wireless," Sarada merogoh sakunya, terdapat tiga alat yang dapat membantu mereka saling terhubung. Sarada memasang alat itu ditelinganya, sedangkan dua lainnya ia berikan kepada Sakura dan Hinata.

"Aku akan menunggunya di rumahmu, jika ia pulang aku akan menghubungi kalian," Sakura dan Hinata memasang alat yang sama. Mereka segera keluar dari rumah, Sakura pun memakai pakaian yang tidak beda jauh dengan Hinata, sama-sama masih mengenakan apron. Bedanya, Sakura memakai cheongsam merah tanpa lengan selutut.

Hinata mengangguk pelan sembari mengatakan terima kasih karena bersedia membantunya, ia segera berlari mendekati pintu.

"Hinata, tunggu! Biasanya Ibu dan anak akan ada ikatan batin diantara keduanya, ikuti saja naluri keibuanmu, kau pasti akan menemukannya!" Sakura tersenyum, ia merasa yakin bahwa Hinata dapat menyelesaikan masalahnya saat ini. Lagi pula, Hinata adalah pengguna byakugan, cakupan penglihatannya cukup luas.

"Arigatou, Sakura-chan!" Hinata bergegas keluar dari halaman rumah Sakura.

'Ikatan batin ya,' Hinata berlari mengikuti instingnya sebagai Ibu. Hanya satu tempat yang sangat ingin ia datangi sekarang. Byakugannya sudah ia non aktifkan. Ia berlari dengan tidak melompati antar atap, itu akan menjadi hal yang mencolok bagi penduduk desa, apalagi jika byakugannya aktif. Mereka bisa merasa khawatir dan menganggap sesuatu yang buruk telah terjadi pada Hinata. Memang benar, ia sendiri sedang gelisah sekarang, tapi ia belum membutuhkan perhatian dan merepotkan banyak orang, setidaknya untuk saat ini. Kepergian Hokage mereka sudah cukup membuat kegelisahan dan kekhawatiran banyak orang.

Hinata sampai di stadion yang sudah nyaris luluh lantak, tidak seluruhnya, tapi memang membutuhkan renovasi besar-besaran. Ia memperhatikan seorang gadis kecil dengan rambut biru gelap sama sepertinya, dengan poni lurus dan potongan hime. Seperti kakaknya, rambutnya menjalar keluar di samping dan belakang, dan dia memiliki ahoge di bagian atas kepalanya, yang menyerupai batang daun. Ia juga mewarisi mata sebiru langit ayahnya dan tiga garis di setiap pipi.

Gadis itu terduduk di deretan kursi penonton, mengenakan sewater pink lengan panjang dengan kemeja kuning berkerah, rok merah muda berkibar dua lapis, stoking hitam dan juga mengenakan sandal shinobi berwarna fuschia. Ia terlihat sangat menggemaskan, sayanganya hanya ada tatapan sendu yang terpancar dari sorot matanya.

'Apa Tou-chan dan Nii-chan dapat melihat bulan yang sama, bulan yang bersinar terang malam ini?' pikir Himawari dalam benaknya, matanya terpejam.

"Hima tidak mau pulang!" rengek gadis kecil yang matanya menyerupai ibunya, Hinata Hyuga. Himawari sudah bisa merasakan kehadiran ibunya, ikatan batin antara mereka yang menyebabkan mereka bisa bertemu kembali atau dari cakra Hinata yang tiba-tiba ia rasakan. Ia memandang tempat terakhir kali ayahnya berada. Tempat ujian chunnin yang merenggut ayahnya ke dimensi lain.

Hinata menghamapri anaknya, duduk di sebelahnya. "Himawari sayang, nanti tidurnya kemaleman loh!" Hinata menatap matanya lekat-lekat. Tatapan anaknya tampak sedih, mengingat kepergian kakak dan ayahnya yang mendadak. Entah kapan mereka akan kembali.

"Tidak mau, Kaa-chan saja sekarang mau pergi meninggalkan Hima," ujar Himawari, ia masih teguh pada pendiriannya.

"Ya, ada rapat dengan petinggi negara mengenai hilangnya ayahmu dan kasus pemburuan biju, dan rapat-rapat penting lainnya yang harus Kaa-chan gantikan," Hinata memandang Himawari, berharap buah hatinya mengerti.

"Tidak bisakah digantikan oleh paman Shikamaru atau bibi Sakura saja?" tanya Himawari polos. Memang ia tidak mengerti soal kepercayaan para petinggi negara lain, terutama dari kaum daimyo yang terkenal agak keras kepala.

"Mereka tidak semudah itu mempercayai paman Shikamaru dan bibi Sakura, mereka membutuhkan seseorang yang mau merelakan nyawanya, bertanggung jawab dengan apa yang dikatakan dan bisa dipercaya. Lagi pula, Shikamaru sedang diberi amanat untuk menjaga desa, begitu pula dengan Sakura yang sibuk menjadi kepala rumah sakit" Hinata berusaha memberikan penjelasan kepada Himawari.

"Hmmm, sesorang seperti Kaa-chan, bagaimana dengan bibi Hanabi?" tanya Himawari lagi, ia berharap Hinata tetap bersamanya.

Hinata menggeleng pelan. "Maafkan kaa-chan, mungkin Hima akan tinggal di rumah bibi Sakura untuk sementara."

"Tou-chan terlalu sibuk dengan pekerjaan mengurus desa, pantas saja Nii-chan sering mencari perhatian mereka, terutama perhatian Tou-chan. Nii-chan pergi menyelamatkan Tou-chan. Kaa-chan sibuk dengan pekerjaan Tou-chan yang sempat terbengkalai beberapa saat yang lalu, bunshin-bunshin Tou-chan juga sudah menghilang. Kantor akan sangat sibuk dalam beberapa hari ini. Hari ini, Kaa-chan hanya ada dirumah saat larut malam, bahkan ia baru mencariku selarut ini. Setelah Tou-chan dan Nii-chan pergi, Kaa-chan akan pergi juga, tidak tahukah kalian bahwa aku akan merasa kesepian disini?"

"Bagitu ya, baiklah. Hima akan tinggal sementara dengan bibi Sakura dan Sarada-nee. Tapi, Kaa-chan harus janji bahwa Kaa-chan akan kembali dengan selamat," Himawari menyodorkan jari kelingkingnya kepada Hinata. Ibu dari gadis itu tersenyum, mereka menautkan jari kelingking satu sama lain.

"Himawari masih mau disini, mereka pasti akan sedih jika Hima tidak menyambut mereka."

'Anak ini, sama saja seperti Naruto. Susah sekali melepaskan pendiriannya, benar-benar keras kepala. Padahal, ia baru saja terluka oleh aksi ayahnya yang hanya mengirimkan bunshin untuk acara ulang tahunnya, ia juga sering kali bertengkar dengan kakaknya. Tapi, tetap saja, yang namanya keluarga, ia tetap mencintai Naruto dan Boruto,' Hinata menghela nafas, memikirkan cara membujuk putri tercintanya ini.

"Tapi, Tou-san dan Nii-chan akan lebih sedih lagi, jika saat mereka pulang Hima sedang sakit. Mereka pasti akan sangat sangat sedih," Himawari masih cemberut, ia terdiam memikirkan perkataan ibunya. Benar juga, jika ia terlalu lama disini, dirinya bisa sakit karena terserang angin dingin malam dan kurangnya waktu istirahat.

"Tidak, mereka pasti akan segera pulang. Hima anak kuat kok! Benar kan, kaa-chan?" Hinata duduk di depan anaknya, mereka duduk di deretan bangku penonton yang masih utuh. Tidak terserang pertarungan antara dua makhluk yang tidak diundang, dengan nanadaime, Sasuke dan beberapa peserta ujian chunnin yang ikut membantu.

Hinata tersenyum, ia menggenggam tangan-tangan mungil Himawari. "Bagaimana jika saat mereka pulang kita berikan masakan yang enak? Mereka pasti akan senang, Tou-chan akan senang jika ia tau bahwa Himawari memasak ramen untuknya."

Himawari mengangguk, senyumnya mengembang secerah bunga Matahari, sesuai namanya. Gadis ini memang mudah sekali ceria. Tangan mungilnya menggandeng tangan porselen Hinata. Ia ingin membuat ayahnya senang, melihat senyuman ayahnya lagi. Merayakan ulang tahun yang sempat tertunda, mengadakan acara makan bersama sebagai tanda penyambutan kepulangan mereka.

Esok, Himawari akan mengajak Hinata berdoa ke kuil. Mendoakan agar orang-orang tersayang mereka bisa pulang dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun.

Hinata dan Himawari berjalan pulang menuju rumah. Himawari tertidur di gendongan punggung Hinata, tangan mungilnya mengelilingi leher Hinata. Senyum Himawari tampak mengembang, ia tidak sabar untuk bertemu ayah dan kakaknya lagi. Hinata sudah memberikan informasi kepada Sarada dan Sakura bahwa Himawari sudah bertemu dengannya, dan sekarang ia sedang membawa pulang Himawari.

Sebuah benda kecil transparan, seukuran bola tennis menggelinding ke arah Hinata. Ia menghentikan langkahnya, memandang bola yang menentuh ujung sepatunya. Hinata bertanya dalam hatinya, ia belum pernah lihat bola kaca seperti itu. Bola itu berkedip berwarna oren secara terus-menerus, hingga kedipannya semakin cepat.

Hinata tersentak, ia menghindari bola itu dengan melompat tiga meter ke belakang.

BOOM!


Matahari tampak menyeruak melalui jendela kamarnya. Seberkas cahaya yang mengganggu pengelihatan Hinata. Ia mengerang pelan dan sedikit meregangkan otot. Hinata memperhatikan sekelilingnya, nuansa lavender memuat keindahan interior sebuah kamar yang selama ini ia tempati sebelum menikah dengan Naruto.

"Kamarku?" Hinata memegang pelipisnya, keningnya sedikit berkedut sembari mencoba mengingat kembali kejadian sebelumnya.

"Hinata, kau sudah sadar? Kau pingsan di depan taman itu membuatku panik saja! Ini sarapan dulu!" Sakura memasuki kamarnya sembari membawa onigiri dan segelas air putih.

"Dimana Himawari?" Hinata menatap kedua telapak tangannya, selimut masih menyelimuti separuh tubuhnya.

"Eh, Himawari? Siapa dia? Bukankah bunga itu banyak di toko bunga Ino?" tanya Sakura dengan polosnya, ia menaruh nampan di sebelah tempat tidur Hinata.

"Sakura, jangan bercanda! Himawari, anakku!" ujar Hinata, ia menatap mata Sakura. Gadis bersurai merah muda itu malah tertawa terbahak-bahak.

"Anak? Siapa? Kau saja belum menikah Hinata, Hahahaha!" Sakura tertawa sampai perutnya sakit dan meneteskan air mata.

Hinata terdiam mendengar pengakuan Sakura. Ia turun dari kasur, memegang pundak Sakura dengan tangan bergetar. Liquid bening mulai mengalir dari matanya.

"Sakura, tolong katakan yang sebenarnya! Aku sudah menikah dengan Nanadaime, aku memiliki dua orang anak, namanya Boruto Uzumaki dan Himawari Uzumaki!" bentak Hinata di hadapan wajah Sakura. Gadis musim semi itu terdiam menatap wajah pucat Hinata.

"Kau sungguh? Sepertinya kau harus ke rumah sakit deh! Kan, hokage saja baru sampai Rokudaime. Tsunade-sensei pun belum ada keinginan pensiun hingga saat ini. Ada-ada saja pikiranmu Hinata!" Sakura duduk di tepi tempat tidur Hinata.

Hinata membuka jendela lebar-lebar, kepalanya menyembul keluar jendela. Ia mengamati patung wajah Hokage. Tidak tertera wajah suaminya disana.

Hinata tersentak, kakinya langsung lemas seketika. Memerosotkan diri di dekat jendela, ia masih memikirkan kejadian dalam hidupnya selama ini. Apa pernikahan itu cuma mimpi belaka? Anak-anak mereka hanya angan-angan belaka? Hinata mencengkram kepalan tangannya dengan kuat. Ingin rasanya ia memeluk Naruto sekarang juga, ingin Naruto mengatakan bahwa ia istri sah nya, dan perkataan Sakura tadi hanya sekedar bunga tidur.

"Hinata, tidak usah berkhayal terlalu jauh, cepat dimakan sarapannya! Maaf aku tidak bisa berlama-lama menemanimu, aku harus kembali ke rumah sakit," Sakura beranjak dari kamar Hinata.

"Sakura," Hinata masih terdiam, ia memandang telapak tangannya yang basah oleh air mata dan darah dari cengkraman tangannya. Ini bukan mimpi, buktinya ia bisa merasakan sakit.

"Apa Sasuke sudah pulang?"

Sakura terhenti, ia berbalik melihat Hinata yang terlihat sangat rapuh sekarang.

"Belum, ia masih berkelana sekarang."

"Apa kau masih setia menunggunya?," Hinata berbalik, ia memandang wajah Sakura yang sepertinya sedikit shock dengan kalimat yang diutarakan Hinata.

"Tentu, aku akan selalu menunggunya," Sakura tersenyum kemudia berbalik pergi meninggalkan Hinata.


"Menma, anak siapa yang kau bawa pulang ini? Apa ini anak gelap mu?" terdengar suara seseorang yang memasuki indra pendengaran Himawari.

"Jeelas saja bukan, ia ku temukan pingsan di depan taman," ujar pria yang menjadi lawan bicara wanita sebelumnya.

Himawari mengerjapkan kedua matanya. Perlahan cahaya memasuki lensa matanya. Ia memperhatikan Ayahnya yang berbincang dengan seorang wanita paruh baya yang tidak begitu ia kenal. Dirinya tersenyum lebar, ia inisiatif melepas selimutnya, berlari menuju ayahnya dan melompat memeluk kaki jenjang ayahnya.

"Tou-san sudah pulang! Kapan Tou-chan pulang? Dimana Nii-san?" tanya Himawari dengan raut wajah gembira. Pria yang kakinya ia peluk hanya terdiam, tidak membalas perkataan sang anak.

"Hah, T-Tou-chan?! Cepat jelaskan padaku, Menma! Anak siapa ini?" tanya wanita berambut kemerahan dengan sodet di tangan kirinya dan apron merah yang terikat di pingganggnya.

"Menma? Siapa itu Menma, Tou-chan?"

.

.

ANOTHER

.

.

pururukuru

.

.

.

TBC~

.

.

.

Puru kembali membawakan fic baru. Story pertama dengan pairing NaruHina di lengkapi genre Family dan character para generasi berikutnya karya Puru. Jangan bingung dengan chapter ini, di chapter depan ada penjelasannya. Soal fic yang satu lagi 'The best gift ever' belum di update karena di pikiran Puru ada dua ending yang sama-sama bagus, jadi bingung mau pilih yang mana. So, tunggu aja updatenya :v

Btw, Naruto udah mau ultah ya?

Buat flame, boleh-boleh saja. Puru terima semuanya kritik, saran, yang mau mencurahkan isi hatinya di kolom review juga boleh! FavnFol pliss!

.

.

.

23/09/15