Yang ia sadari adalah, ia kini terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus yang menancap pada punggung tangan mungilnya. Sedikit meringis, ia merasakan kaki dan tangannya nyeri ketika digerakkan.

Kursi disampingnya berderit nyaring, ia menolehkan kepalanya, memandang seorang wanita paruh baya yang tengah tersenyum manis padanya. Sebelah tangannya terulur untuk mengelus rambut hitamnya.

"Kau sudah lebih baik?"

Kepalanya mungilnya mengangguk kecil. Tidak tahu harus berbuat apa. Rumah sakit ini terasa asing baginya. Yang ia ingat adalah dirinya yang tengah mengejar layang-layang miliknya. Lalu…

"Apa yang terjadi?"

Wanita itu menghentikan usapannya. Wajahnya berubah sendu seketika. Iris keemasannya tidak bisa mengelabuinya begitu saja. Masih dengan senyum yang agak dipaksakan, wanita itu menjawab dengan lirihan kecil.

"Kecelakaan baru saja terjadi. Beruntung kau tidak apa-apa,"jawabnya kecil. "Tetapi gadis kecil itu mengalami cidera parah. Dia sedang dalam penanganan dokter," lanjutnya dengan suara bergetar.

Ia tahu, wanita itu melihat semuanya. Dia tidak mengenalnya, tapi ia akan berterima kasih nanti karena mau membantunya.

"Kau tidak bersalah, Sayang, jangan menganggap dirimu bersalah atas segalanya."

Wanita itu bergerak untuk memeluknya. Ia sendirian. Orang tuanya sedang pergi untuk dinas. Hanya ada sang pengasuh yang bersamanya. Sang Kakak masih berada disekolahnya. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa saat ini.

Pintu ruangannya terbuka, wanita itu melepas pelukannya dan tersenyum pada dokter yang masuk dengan seorang perawat dibelakangnya. Ia meringis, menyadari adanya peralatan medis yang sedang dibawa oleh perawat itu. Berada di satu nampan yang sama.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?" dokter itu bertanya lembut padanya.

Kepalanya mengangguk. Meskipun masih sedikit nyeri, ia memaksanya.

"Kita akan mencoba membuka perbanmu dan mengobati lukamu. Ini sedikit perih, tapi selanjutnya kau akan merasa lebih baik," dokter itu membuka ikatan perban dikepalanya. Senyum wanita itu masih mengiringinya. Ia tidak pernah jauh darinya barang sedikit saja. Wanita itu terus menemaninya.

"Nah, setelah ini kau bisa pulang. Lain kali, berhati-hatilah." Dokter itu mengacak rambut hitam legamnya dan pergi berlalu dari ruangannya. Keheningan menyesap masuk ke dalam. Memeluknya. Hawa dingin rumah sakit tidak membuatnya merasa lebih baik.

.

.

Kaki kecilnya melangkah menyusuri lantai rumah sakit yang dingin. Ia sudah diperbolehkan pulang dan wanita itu bersedia mengantarnya untuk menemui gadis kecil yang menjadi pahlawannya itu. Mencoba melihat keadaannya.

"Dia akan baik-baik saja, percayalah padaku."

Nyatanya sampai detik ini ia percaya kalau gadis kecil pemberani itu akan baik-baik saja. Ia mempercayai kata-kata wanita itu. Bagaikan mantra ampuh yang sudah tertanam dikepalanya.

Dokter yang menanganinya keluar. Peluh menetes di dahinya. Anak laki-laki itu semakin mendekat untuk mendengar bagaimana kondisi pahlawannnya.

"Ia kehabisan banyak darah. Beruntung, keluarganya cepat membantu," dokter itu tersenyum kecil. "Dia sedang berjuang untuk melewati masa kritisnya." Dokter itu menambahkan.

"Bagaimana dengan orang tuanya?"

"Pihak rumah sakit sudah menghubunginya. Mereka sedang dalam perjalanan."

Anak laki-laki itu bergerak untuk mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka dari ruangannya. Gadis kecil itu tengah terbaring tidak berdaya dengan alat-alat medis yang menancap ditubuh mungilnya seakan menjawab segalanya. Kalau kehidupan gadis malang itu bertumpu pada alat-alat berat itu.

"Dia akan sembuh. Percayalah," wanita itu menghampirinya. Memegang bahu mungilnya yang terlihat bergetar. Iris kelamnya bergulir untuk melihat papan nama yang tertera disana. Bertuliskan nama sang pasien kecil itu.

Haruno Sakura.

Anak laki-laki itu mengusap air matanya. Ia mengangkat tangannya untuk memberikan ucapan selamat tinggal padanya.

"Tolong sembuhkan dia. Tolong."

Dokter itu tersenyum kecil. Memberikannya anggukan yang serasa membuat rasa yakin didalam dirinya timbul hanya karena anggukan itu. Ia tahu, sang dokter berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan nyawanya.

Dan ia berharap, ia bisa datang kemari untuk menjenguknya. Untuk melihat bagaimana keadaannya…

… dan berterima kasih karena sudah menjadi pahlawannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Innocence

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

Warning: Typo(s), Miss Typo, Alternative Universe.

.

Dedicated for nuniisurya26

.

Jadi, Sayang, hati mana lagi yang akan terluka dengan segala kepalsuan ini?

.

.

.

"Kau tidak akan melakukan hal konyol lagi, kan?" suara Itachi yang terdengar waspada membuat Sakura terkekeh kecil. Ia melirik cincin yang tersemat di jarinya.

"Tidak. Aku tidak akan melakukannya," jawab Sakura santai. Membuat Itachi masih melayangkan tatapan waspadanya pada Sakura. Masih dengan terkekeh, Sakura mencubit kecil lengan lelaki itu untuk mengurangi kerutan yang timbul di dahinya.

"Sakura, kami sangat khawatir padamu," lirih Itachi yang membuat senyum di wajah Sakura lenyap. Sakura memalingkan wajahnya, memilih untuk menatap seprai putih yang kini menjadi tempatnya berbaring. "Kumohon, jangan lakukan hal seperti ini lagi."

Sakura tersenyum samar. Tatapannya lurus ke depan, ia tidak menoleh pada Itachi yang memandangnya terluka.

"Aku hanya ingin tahu, apakah Sasuke akan melakukan hal yang sama jika aku ada di posisi Shion seperti waktu lalu," akunya jujur. Senyumnya masih terlihat, namun tatapan terluka yang terlihat jelas di mata indahnya, tidak dapat membohongi Itachi yang duduk diam memandanginya. "Aku salah besar. Aku seharusnya tidak melakukan itu. Kekanakkan. Konyol."

Suara paraunya tidak bisa memanipulasi Itachi lagi. Sakura memasang wajah seakan ingin menangis namun tidak ada tanda-tanda air mata akan tumpah darisana. Wanita itu masih menatap kosong pintu kamarnya.

"Kau tidak tahu apa yang Sasuke lakukan saat mengetahui dirimu kritis, Sakura," Itachi menyela perkataannya. Sakura menoleh, manik hijau itu terlihat redup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat disana. "Dia mengkhawatirkanmu, dia merasa hancur karena menjadi alasanmu melakukan tindakan ini."

Sakura mengangkat alisnya, kemudian tersenyum. "Ini tidak sepenuhnya salahnya, Itachi. Kau seharusnya mengatakan hal itu padanya," Sakura mengangkat bahunya. "Masalahku terlalu berat. Aku hanya merasa putus asa itu saja."

"Jangan pernah berpikiran kau penyebab dari segalanya, Sakura. Kau tidak bersalah."

"Aku menghancurkan kebahagiaan orang lain. Menghancurkan masa depan orang lain. Membuat mereka merasakan kesedihan karena diriku. Jika, kau diposisiku, apa yang akan kau lakukan?" tanya Sakura.

Itachi diam. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab segalanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang Sakura lontarkan padanya. Ini semua terlalu berat untuk ditanggungnya.

"Aku tidak mungkin bertahan seperti dirimu. Kau wanita yang kuat."

Sakura tersenyum lebar. Ia menggelengkan kepalanya meskipun ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis dihadapan kakak ipar yang disayanginya ini.

Karena mereka berdua tidak mengetahui kalau ada sosok lain yang mendengar pembicaraan mereka dari balik pintu kayu itu. Mendengarkan setiap detail kata per kata yang meluncur dari bibir sang wanita dan kemudian berlalu pergi.

.

.

"Kapan kau boleh pulang?"

Sakura menoleh, ia mengangkat bahunya tak tahu dan membuat helaan napas panjang yang terdengar hingga ke telinga pria yang kini duduk bersamanya.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Sakura mengangguk singkat. "Aku merasa baik-baik saja," jawabnya dengan senyum kecil.

Pria itu memandangnya dengan wajah terluka. Meskipun Sakura tidak lagi menoleh ke arahnya. Tatapan wanita itu menjelaskan segalanya. "Kita tahu, arti dari kalimat 'aku baik-baik saja' tidak pernah mengarah pada hal baik-baik saja, bukan?"

Sakura menoleh dengan alis terangkat. Ia hanya menyunggingkan senyum samar dan kemudian memasang wajah datarnya. Ia merasa bosan disini. Ia harus pulang dan melakukan aktifitasnya seperti biasa. Setidaknya, itu bisa membantunya menyembuhkan lukanya.

"Aku minta maaf."

Sakura menarik napas panjang. Ia menggerakkan kakinya yang terasa bebas dengan pelan. "Aku sudah bosan mendengarnya. Jangan katakan hal itu lagi, Yahiko."

Yahiko memalingkan wajahnya. Senyum pahit tidak bisa megelabuinya saat ini. Ia tahu kalau Sakura tidak pernah ingin bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Jangankan bertemu, melihatnya saja sepertinya Sakura enggan.

"Aku tahu, tapi hanya maaf yang bisa mewakilkan segalanya," Yahiko mendesah berat. "Dan aku juga tahu, kalau rasanya sulit sekali bagimu untuk memaafkanku. Mendapatkan maaf darimu karena kesalahan besarku."

"Itu sudah lama berlalu," Sakura menghembuskan napas panjang. "Aku tidak pernah ingin mengingatnya lagi. Itu hanyalah kenangan yang tidak boleh dibahas. Aku sudah menutupnya rapat-rapat," Sakura menoleh dengan dahi berkerut. "Apa kau mengerti?"

Yahiko mengangguk dalam diam. Ia ingin menjelaskan semuanya. Menjelaskan kalau ia ingin membawa Sakura pergi dari sini. Melepaskan cengkraman Uchiha Sasuke yang membuat wanita itu hancur dan terluka. Membawanya pergi sejauh mungkin dari kehidupan laki-laki itu dan membuktikan pada Sakura kalau ia sudah berubah menjadi yang lebih baik.

Tapi ia tidak bisa.

Pintu untuknya masuk di dalam hati wanita itu sudah tertutup rapat dan tidak mungkin lagi bisa terbuka bebas semau hatinya. Ia sendiri yang menghancurkan kuncinya. Ia sendiri yang membuat kunci emas itu hancur dan pintu itu kini tidak lagi mau membuka untuknya.

"Kenapa kaulakukan itu?"

Sakura menoleh dengan alis terangkat. "Apa?"

"Percobaan bunuh diri," Yahiko bersuara berat. Ia tidak ingin menanyakan hal ini. Tapi dia harus tahu alasan dibalik Sakura melakukannya. "Kau dokter yang hebat dan berpengalaman di bidang ini. Kau tidak mungkin melakukannya tanpa alasan yang kuat."

Sakura mendengus kecil. Ia menggelengkan kepalanya dan memilih untuk memandang pohon Sakura yang sedang bermekaran dihadapannya. "Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin saja," jawabnya dengan terkekeh kecil.

Yahiko tahu, itu adalah tawa palsu. Sakura melakukannya agar dirinya berhenti membahas masalah ini. Tapi, dorongan yang kuat dari dalam hatinya mendesaknya untuk mengetahui hal ini secara lengkap.

"Jangan berbohong padaku, Sakura. Aku sudah mengenalmu jauh sebelum ini," Yahiko masih mempertahakan egonya untuk membuat Sakura bicara. Ia masih tidak mengerti mengapa sifat keras kepala Sakura masih melekat kuat pada diri wanita itu.

"Aku pernah mengalami hal yang berat dari ini. Saat aku kehilangan bayiku, hidupku ikut terbawa pergi atas kematiannya," Yahiko menahan napasnya. Tubuhnya serasa mati rasa detik itu juga. "Lalu, aku mencoba bangkit untuk melupakan segalanya. Aku menganggap itu adalah cobaan dari Tuhan untuk menguji seberapa mampu aku melewatinya."

Sakura tersenyum kecil pada Yahiko yang kini menatapnya pilu. "Kau lihat? Aku mampu mengatasinya. Meskipun sebagian hatiku hilang terbawa bersama calon anakku."

"Saat aku berusia lima tahun, sebuah kecelakaan pernah hampir menghilangkan nyawaku. Hanya karena tindakan konyolku menyelamatkan seorang anak laki-laki berwajah tampan yang terkadang memasang ekspresi wajah konyol ketika aku tidak sengaja melihatnya," Sakura melayangkan tatapannya ke depan. Ia memilih untuk memandang bunga Sakura yang sedang bermekaran indah.

"Ini seakan membuktikan kalau kematian saja tidak cukup membuat masalahku hilang. Buktinya? Aku berkali-kali merasakannya. Aku sering merasakan kematian itu sendiri. Tapi, kemudian aku bangkit dan hidup lagi. Bukankah itu lucu?" Sakura menoleh, mencoba mencari jawaban dibalik mata Yahiko yang gelap.

"Kau sendiri tidak tahu jawabannya. Aku pun sama. Aku tidak tahu mengapa aku melakukannya," Sakura memalingkan wajahnya. "Aku hanya ingin … bebas. Itu saja. Aku hanya ingin luka ini pergi dan tidak lagi membuatku menderita."

Yahiko terdiam. Ia ingin menarik Sakura ke dalam pelukannya. Namun, pancaran mata hijau itu seakan menjawab segalanya.

Sakura tidak lagi ingin bersamanya. Ia seharusnya menerima itu. Ia seharusnya tahu itu dan berhenti untuk mengharapkan segalanya berjalan baik dan sempurna seperti yang ada di dalam kepalanya. Berpikir kalau ternyata Sakura akan menerimanya dengan tangan terbuka setelah ia menjelaskan semuanya. Tapi sayangnya tidak. Ia harus melenyapkan pikiran itu dari kepalanya mulai sekarang.

"Aku tidak pernah ingin menjadi perusak kebahagiaan orang lain," bahu Sakura mulai bergetar. Ketika sebelah tangan Yahiko ingin menyentuhnya, Sakura menolaknya secara halus. "Aku tidak pernah berharap ada diposisi itu selamanya. Aku tidak pernah ingin."

Sakura menoleh pada Yahiko yang kini memandangnya dengan pandangan tak terbaca. Berusaha mengabaikan ada kilatan terluka yang tersembunyi dibalik mata gelapnya. "Bagaimana rasanya ketika kau mencintai seseorang yang tidak mencintaimu? Bukankah itu menyakitkan?"

Yahiko diam. Ini sama seperti apa yang sedang dialaminya. Sakura juga mengalaminya. Dan Uchiha Sasuke itu tidak mencintainya.

Bagaimana bisa? Mengapa?

"Apa yang terjadi, Sakura?" desak Yahiko. Ia memberanikan diri untuk mengguncang pelan tubuh rapuh wanita itu. Tapi hanya kebisuan yang bisa Sakura berikan padanya.

"Tidak apa-apa."

Hanya itu. Yahiko ingin sekali menemui Uchiha Sasuke dan menghajar lelaki itu hingga babak belur atau kalau perlu ia akan membuat wajah angkuh itu hancur dan membuatnya harus terbaring dirumah sakit untuk waktu yang lama.

"Aku harus kembali. Ini jam makan siang. Terima kasih karena sudah berkunjung." Sakura bangkit dari kursi taman itu. Tersenyum manis pada Yahiko yang memandangnya terluka. Sakura bisa melihatnya. Pria itu tidak lagi menyembunyikan perasaannya.

"Maafkan aku, Sakura."

Sakura mengangguk kecil. Terasa ambigu bagi Yahiko yang ingin mendengar langsung jawaban dari wanita itu.

Sakura berbalik setelah ia melempar senyum samarnya. Ia meninggalkan Yahiko seorang diri di taman itu. Membiarkan rasa yang pernah membelenggunya bebas bersama Yahiko yang datang untuk merubah segalanya. Tapi terlambat. Ia sudah tidak lagi ingin bersama dengannya. Sakura tidak lagi ingin kembali kepelukan lelaki itu.

Untuk selamanya.

Dengan langkah tertatih, Sakura berjalan menyusuri bebatuan taman untuk kembali menuju kamarnya. Irisnya bergulir menatap jendela penghubung antar lorong rumah sakit dan taman. Ia melihat ada Sasuke disana. Tengah berdiri memandangnya dalam diam. Lelaki itu bahkan tidak menghampirinya. Ia hanya diam seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka.

Sakura kembali berjalan. Ia masuk ke dalam pintu pembatas antara taman dengan lorong. Ia melirik Sasuke yang masih memperhatikannya dalam diam. Memilih untuk berpura-pura tidak melihatnya, Sakura kembali berjalan menjauhi sosok itu dan pergi ke kamarnya. Setidaknya, kamar adalah tempat dimana dirinya bisa melupakan masalahnya sejenak.

Setidaknya.

.

.

"Untuk apa kau kemari?"

Yahiko menghentikan langkahnya. Hanya berjarak tiga langkah dari Uchiha Sasuke saat ini. Dengan dengusan malas, pria dengan rambut oranye khasnya itu berbalik, mengangkat alisnya seolah menantang lelaki didepannya.

"Menurutmu? Kau ini cerdas. Tidak bisakah kau menebak apa tujuanku kemari?"

Jelas sekali Yahiko menantangnya. Sasuke tahu bagaimana tatapan pria itu ketika menatap istrinya. Penuh kerinduan dan penyesalan yang dalam. Berusaha menarik Sakura masuk ke dalam pelukannya lagi. Menawarinya dengan ribuan rayuan manis agar Sakura mau kembali padanya.

"Aku tahu. Jika, kau menginginkan Sakura untuk kembali padamu, bukankah ini waktu yang tidak tepat untuk bermimpi?" cela Sasuke.

Yahiko tersenyum sinis. Ia mengangkat bahunya seolah-olah tidak gentar atas hinaan Sasuke padanya.

"Yah, tidak ada salahnya bermimpi di siang hari yang terik ini, bukan? Lagipula, tidak jarang juga dari mereka yang bermimpi di siang hari, mimpi itu akan terkabul. Bukan begitu, Uchiha?"

Sasuke mengerutkan alisnya. Ia tampak terganggu dengan jawaban yang Yahiko berikan padanya. Ia sudah melihatnya sejak tadi. Saat ia berniat untuk menjenguk Sakura, wanita itu tengah duduk bersama pria itu. Mereka berbicara sesuatu yang Sasuke sendiri tidak tahu apa. Wajah Sakura yang terlalu sulit ditebak, membuatnya harus berpikir keras apa yang sedang mereka bicarakan.

Yahiko tersenyum puas memandang wajah angkuh itu sedikit luntur digantikan dengan wajah terkejut yang tampak sekilas ditunjukkan Sasuke sebelum berubah datar seperti semula.

"Kau harus belajar dari semua kejadian ini, Sasuke. Kau mencintai wanita lain, tapi di sisi lain, ada wanita yang terluka karena sikap tidak adilmu. Seharusnya, kau tahu itu. Kau harus bisa memilih diantara keduanya. Kau tidak bisa menahan salah satu dari wanita itu untuk tetap bertahan disaat hatimu tidak untuknya." Yahiko memberikan Sasuke senyum misterius. Pria itu mengangguk singkat sebelum beranjak pergi meninggalkan Sasuke bersama pikiran yang berkecamuk di kepalanya.

Yahiko benar.

Sasuke menghela napas lelahnya. Ia mengambil kursi untuknya duduk dan memikirkan semuanya. Kata-kata Yahiko terasa menamparnya dalam. Ia kalah telak. Yahiko benar. Pria itu tidak salah bicara. Penderitaan yang membuatnya belajar banyak hal. Seharusnya, Sasuke tahu itu. Maka dari itu, ia tidak bisa menjawab ucapan Yahiko yang memang benar adanya.

Ia salah.

Ia tidak bersikap adil.

Bahkan, kepada pahlawannya sendiri. Ia tidak pernah bisa membahagiakan wanita itu. Tidak bisa. Seandainya ia bisa, Sasuke tahu, Sakura tidak akan berpikir demikian. Pikiran wanita itu terlalu sulit untuk ia masuki. Sakura memiliki pemikiran yang sangat dalam, tidak tersentuh.

Ia menutup wajahnya. Memikirkan segala cara agar Sakura mau bicara dengannya. Sekali saja. Ia harus menjelaskan segalanya.

.

.

"Kemana gadis itu, dokter? Bukankah ia belum sembuh total? Mengapa ia tidak ada?"

Anak kecil itu membawa dua tangkai bunga mawar yang ia petik dari halaman rumahnya. Wanita baik hati itu sudah menceritakan segalanya pada kedua orang tuanya. Dan tangisan serta kelegaan yang menjadi reaksi orang tuanya, cukup membuatnya semakin merasa bersalah. Ia tidak tahu bagaimana kabar gadis pemberani itu.

Orang tuanya sedang bertemu dengan kepala rumah sakit perihal tidak adanya gadis kecil bernama Haruno Sakura yang dua hari lalu dirawat di rumah sakit ini karena mengalami cidera parah akibat benturan keras antara mobil itu dengan aspal.

"Orang tuanya membawanya pergi untuk berobat," dokter itu memasang wajah bersalahnya pada anak laki-laki itu.

"Dia belum sembuh benar, kan? Mengapa orang tuanya membawanya pergi?" anak kecil itu masih belum menerima semuanya. Ia masih tidak mengerti mengapa kedua orang tuanya pergi membawa gadis kecil itu pergi sebelum kesehatannya pulih total.

"Mereka memiliki koneksi yang bagus untuk perawatan putrinya. Aku sudah berbicara pada orang tuanya, ini semua bukan salahmu. Gadis kecil itu memiliki hati yang baik, ia tulus menyelamatkanmu dari bahaya. Dan mereka mengerti," dokter itu berucap dengan nada sedih. Ia menyadari kalau wajah mungil anak itu mulai memerah karena menahan tangis.

"Terima kasih, dokter." Dia turun dari kursinya. Masih dengan menggenggam dua tangkai bunga mawar yang masih segar, ia keluar dari ruangan. Pergi menyusul orang tuanya yang kini memeluknya dengan wajah sedih.

"Tidak apa-apa, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Suatu saat nanti, Ibu yakin, kau akan bertemu dengannya. Itu pasti," anak laki-laki itu mengangkat kepalanya. Kedua iris kelamnya membulat dengan berbinar. Membuat sang Ibu tersenyum lembut, lalu melanjutkan kalimatnya. "Dan saat itu datang, kau harus memperlakukannya dengan baik. Kau harus mengucapkan rasa terima kasihmu padanya. Kau tidak boleh menyakitinya. Jika, kau menyakitinya, ingatlah hari ini. Kau paham, Sayang?"

Anak kecil itu mengangguk dengan senyum. Ia menghapus air matanya yang tumpah. Membuat sang Ibu yang melihatnya hanya mampu terdiam, kedua mata kelamnya berkaca-kaca menatap putra kebanggaannya dengan rasa haru.

"Kalau begitu, Ibu, aku akan menyimpan bunga mawar ini untuknya. Lalu, setelah kami bertemu nanti. Aku akan memberikan ini padanya sebagai rasa terima kasihku padanya."

Sang Ibu tersenyum lembut. Ia kembali menarik putranya ke dalam pelukannya. Memeluk sayang putra kebanggaannya dengan rasa haru yang teramat besar yang membuncah didalam dadanya. Berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang mungkin diketahui putranya.

.

.

Sakura menaruh buku bacaannya diatas nakas samping tempat tidurnya. Ini adalah buku dari series ketiga yang Itachi berikan padanya. Ini adalah buku favoritnya. Sakura senang sekali membacanya sebelum ia tidur.

Ia sudah menyelesaikan makan siangnya. Ia sempat berdecak karena mengetahui rasa masakan dari rumah sakit tidaklah enak. Ia memilih untuk memakan masakan rumah dibanding harus kembali memakan masakan rumah sakit yang menurutnya sangat tidak enak itu. Tapi ia harus melakukannya. Dokter memaksanya agar ia cepat sembuh. Jadi, ia menurutinya.

Pintu kamarnya diketuk, Sakura bergumam kata masuk. Pintu itu terbuka lebar, menampilkan Uchiha Sasuke yang kini memasang senyum samar padanya dengan pakaian formalnya setelah sehabis kerja.

"Hai, apa aku mengganggumu?"

Sakura menggeleng. "Tidak, masuklah."

Sasuke mengangguk singkat. Ia menutup pintu kamar itu. Menaruh bunga mawar yang baru saja dibelinya dari toko bunga di kota untuk Sakura.

Sakura memperhatikan ketika Sasuke menukar bunga di dalam vas yang sebelumnya terisi dengan bunga yang sama. Mawar. Entahlah, ia sendiri tidak tahu mengapa Sasuke sangat senang membawakan bunga mawar untuknya. Semenjak ia berada di rumah sakit, pemandangan vas ungu muda itu selalu terisi dengan bunga mawar yang masih segar adalah pemandangan yang pertama kali ia lihat ketika ia bangun dari tidurnya.

"Kenapa kau senang sekali membawakan bunga mawar untukku?" tanya Sakura tak mengerti ketika Sasuke selesai menaruh bunga mawar baru itu ke dalam vasnya.

Sasuke mengangkat alisnya, ia membuang plastik itu ke tempat sampah yang tersedia di sudut ruangan. "Kau tidak suka?"

Sakura menggeleng cepat. "Bukan begitu. Aku hanya merasa heran. Bunga mawar itu punya arti khusus bagimu?"

Sasuke diam. Ia melipat jas kerjanya, menaruhnya diatas sofa ruangan itu dan menempatkan tubuhnya senyaman mungkin di sofa putih itu.

"Bunga mawar yang sama juga ada di ruang kerjamu. Aku tidak pernah melihat adanya bunga lain disana selain bunga mawar."

Sasuke mengangkat bahunya. "Aku menyukainya."

Sakura mengangguk singkat. Ia memilih untuk kembali membaca bukunya. Setidaknya, alur buku ini lebih menarik untuk dibaca dibanding ia harus terjebak kebisuan bersama suaminya disini.

"Aku sudah bertanya pada dokter, kau boleh pulang lusa. Keadaanmu sudah membaik."

Sakura menoleh, ia memberikan anggukan singkat dan kembali tenggelam pada bukunya.

"Banyak hal yang seharusnya aku katakan padamu," Sasuke mendesah berat di tempat duduknya. Mata kelamnya memandang ke luar jendela kamar rawat istrinya. Ia tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Sakura saat ini. Ia tidak sanggup. Sekali pun, ia menoleh nanti, ia tidak bisa melihat manik cerah itu memandangnya penuh luka.

Menyedihkan? Sangat. Dia memang bodoh. Teramat bodoh.

"Mungkin lain kali." Sakura mengangkat bahunya tampak tidak tertarik dengan kalimat yang baru saja Sasuke lontarkan padanya. Ia kembali menutup bukunya, menaruhnya diatas nakas dan memposisikan tempat berbaring yang nyaman untuknya.

Sasuke menoleh, mendapati sang istri yang berbaring memunggunginya. Menghela napas panjang, ia memilih untuk mencari udara segar diluar dan meninggalkan Sakura yang sepertinya ingin berbaring untuk mengistirahatkan tubuhnya yang masih sakit.

Pintu kamar itu tertutup rapat. Sakura membuka matanya, membiarkan lelehan air mata keluar bebas membasahi bantalnya.

.

.

"Sasuke? Bagaimana dengan Sakura?"

Sasuke baru saja keluar dari kedai penjual minuman dingin, ia menatap Itachi yang langsung menyemburnya dengan pertanyaan seputar kondisi istrinya.

"Dia lebih baik. Dokter mengizinkannya pulang lusa nanti. Dia sedang tidur sekarang," jawab Sasuke singkat. Ia membuka botol dingin air putih itu dan meneguknya.

"Aku bisa membelikanmu soda kalau kau mau," tawar Sasuke ketika ia membayar untuk sebuah roti isi yang ia beli. Itachi menggeleng dengan senyum. Ia sedang tidak ingin makan apa pun. Ia menarik tangan Sasuke untuk pergi ke luar. Berkeliling rumah sakit disaat Sakura sedang tidur siang.

"Ayah dan Ibu menanyakan kabar Sakura. Ibu memiliki firasat buruk tentangnya. Aku masih merahasiakan ini," Itachi berbisik sendu yang sampai ke telinga Sasuke. Lelaki itu hanya diam, ia membuka bungkus plastik rotinya pelan tak bersuara.

"Katakan saja yang sebenarnya. Untuk apa kau menutupinya lagi?"

Itachi mendengus dengan gelengan kepala tidak mengerti. Ia mengerutkan dahinya, memandang sang adik dengan tatapan menuduh. "Kau masih mencintai Shion?"

Sasuke menghentikan kunyahan rotinya saat itu juga. Ia memandang lurus ke depan. Seakan-akan taman bunga hias itu lebih baik untuk matanya dibanding ia harus melihat wajah Itachi yang mungkin sedang memasang wajah kecewa padanya.

"Tidak," jawab Sasuke singkat. Ia kembali mengunyah rotinya. Membiarkan Itachi larut dalam pikirannya sendiri.

"Jangan bohong padaku, Sasuke."

Sasuke menghela napasnya. Ia menoleh ke arah sang Kakak dengan pandangan tak terbaca. "Bisakah kau tidak membahas Shion lagi disini? Kami sudah selesai. Itu hanya akan menjadi kenangan."

Itachi terdiam. Ia mengikuti arah pandang Sasuke yang kini memilih untuk menatap objek bunga cantik dihadapannya. "Bagaimana dengan Sakura? Dia terluka lebih dari apa yang kau tahu."

"Aku tahu."

Itachi menoleh.

"Aku tidak pernah bersikap adil padanya. Mungkin, jika Ibu tahu, ia akan membunuhku saat ini juga," Sasuke berusaha tertawa serendah mungkin. Menertawakan dirinya sendiri yang menyedihkan dan lemah. Lelaki yang tidak memiliki pendirian tetap untuk tidak menyakiti wanita lain.

Itachi ikut tertawa. Ia menepuk bahu Sasuke agak keras. "Aku masih merahasiakan ini dari Ibu dan Ayah. Biarkan saja mereka berkunjung ketika Sakura sudah kembali dari rumah sakit. Bagaimana? Kita sepakat?"

Sasuke menoleh, ia memberikan senyumnya pada Itachi lalu mengangguk singkat.

"Kita sepakat."

.

.

"Apa kau sudah membaca buku yang kubawakan untukmu?"

Sakura mengangguk dengan senyum. Dia mengangkat sejajar dengan dadanya buku bersampul cokelat emas itu. "Tentu saja. Ini seri terbaik dari keduanya. Aku menikmatinya, terima kasih."

Itachi mengangguk dengan senyum. "Sama-sama, Sakura. Sebenarnya, Sasuke yang menyuruhku untuk membelikan itu padamu. Dia tahu hobi membacamu semenjak kalian menikah. Dan ia menghapal judul buku itu lalu ia bertanya padaku. Dasar laki-laki bodoh."

Sakura tertawa kecil. Ia menaruh buku itu diatas nakas samping tempat tidurnya. "Kalau begitu, aku juga akan berterima kasih padanya."

"Ngomong-ngomong, Sakura. Bukankah kau bersekolah di Berlin selama ini? Apa kau ikut bersama orang tuamu?"

Sakura menoleh, ia mengangguk dengan senyum. "Saat aku berumur lima tahun, aku mengalami kecelakaan hebat. Sebuah mobil hitam menabrak tubuh kecilku hingga aku tidak sadarkan diri di waktu yang lama," Sakura tidak memperhatikan wajah Itachi yang mulai berkerut seperti mengingat sesuatu. "Lalu, orang tuaku membawaku ke Berlin untuk berobat. Ayah punya kenalan dokter hebat yang mampu menangani masalahku hingga aku sembuh total."

"Mengapa bisa?"

Sakura mengangkat bahunya. Ia kemudian tersenyum lembut, mengingat bagaimana kejadian itu terjadi.

"Aku sering bermain ditaman itu. Aku sering melihat laki-laki dengan mata hitamnya tengah bermain layang-layang seorang diri. Wajahnya angkuh, tetapi terkadang ia memasang wajah lucu ketika layang-layangnya tertiup angin dan ia tidak bisa mengendalikannya," Sakura tertawa ketika mengingatnya. "Sayangnya, aku tidak tahu namanya. Aku tidak pandai bergaul semasa kecil dulu. Orang tuaku selalu melarangku bergaul dengan anak lain yang tidak dikenal. Mereka takut kalau anak itu akan melukaiku."

Sakura menoleh pada Itachi yang mulai tertarik dengan ceritanya. "Semenjak itu, aku selalu membawa sepedaku kesana untuk melihatnya bermain layang-layang."

Itachi menunduk, ia tampak mengingat sesuatu ketika Sakura mulai melanjutkan ceritanya.

"Lalu, ada dimana semuanya terjadi. Aku sedang mendorong sepedaku, lalu melihat anak itu berlari mengejar layang-layangnya yang putus. Aku terkejut. Aku berteriak memanggilnya, tapi ia tidak mendengar. Lalu, aku berlari untuk mengejarnya setelah aku tahu kalau dia berlari ke arah jalan raya."

Itachi membisu ditempatnya. Dia tidak tahu kalau selama ini wanita yang dicari Sasuke adalah dirinya. Tetapi mengapa? Mengapa Sasuke tidak menceritakan semua detail kejadian itu padanya?

"Aku tidak menyesal menolongnya. Aku bisa melihatnya kalau dia anak yang baik."

PRAAANG

Suara gelas jatuh membuat keduanya menoleh. Sakura dan Itachi menoleh bersamaan ke arah pintu kamar yang terbuka lebar karena Itachi sengaja tidak menutupnya. Ia ingin Sasuke bisa mendengar pembicaraan Sakura padanya. Ingin lelaki itu mengetahui bagaimana perasaan Sakura yang sebenarnya.

"Ibu?" Itachi bangkit berdiri dari tempat duduknya. Begitu juga dengan Sakura yang ikut terduduk diatas ranjangnya. Ia memandang Uchiha Mikoto dengan tatapan bingung dan terkejut secaraa bersamaan. Wajah Mikoto yang memerah dan pandangan mata yang berkaca-kaca membuat Sakura bingung. Apa yang terjadi?

"Ibu!" Sasuke berteriak ketika semuanya terlambat. Ia melihat sang Ibu yang memutar tubuhnya dan pergi dari sana. Pecahan gelas itu berhasil membuat seluruh perhatian pengunjung dan staf rumah sakit mengarah pada mereka. Petugas kebersihan dengan sigap segera datang untuk membersihkan kekacauan.

Sasuke menatap Itachi yang memasang wajah terkejut. Sasuke melirik Sakura yang ikut terduduk diatas ranjangnya. Itachi pergi untuk menyusul Sasuke keluar kamar.

"Apa yang terjadi?" gumam Sakura. Ia melihat petugas pria itu membersihkan pecahan gelas itu dengan diam. Tidak menjawab pertanyaan Sakura.

.

.

"Apa yang terjadi, Sasuke?"

Itachi berlari mengejar sang adik yang kini berdiri di teras rumah sakit dengan napas memburu. Ia menatap sang Kakak dengan pandangan kosong.

"Ibu mengikutimu saat kau keluar rumah. Aku bertemu dengannya di halaman ini. Dia terkejut, lalu ia bilang padaku kalau sesuatu yang tidak beres terjadi. Aku berusaha mencegahnya. Ia membawa gelas minuman itu dari rumah. Ia pamit pada Ayah untuk mengantarkan jus buah itu pada tetangga depan rumah."

"Dan terlambat," Itachi melanjutkan kata-kata Sasuke yang tertinggal.

Sasuke menghela napasnya. Ia menoleh pada Itachi yang tengah bersandar pada tiang teras rumah sakit. "Apa yang terjadi? Adakah yang Ibu dengar?"

Itachi memalingkan wajahnya sebentar. Ia mengambil napas panjang. Mengalihkan pandangan oniks gelapnya pada sang adik. "Kau tidak bercerita siapa gadis kecil pahlawanmu itu padaku dan pada Ibu dan Ayah. Kenapa? Kau berpikir kau bisa mencarinya selama ini?"

Sasuke terdiam. Ia tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya saat ini. Ia menatap Itachi dengan pandangan tak terbaca.

"Kurasa, Ibu mendengarnya. Dia akan merasa bersalah setelah ini."

Itachi menutup wajahnya. Dia menatap Sasuke dengan pandangan tajam. Sasuke berpikir untuk melawannya, tapi ia tidak bisa. Itachi benar. Semuanya akan terungkap.

"Kaupikir kau ini siapa? Menyakitinya dengan bersama wanita lain? Aku tahu, kau mencintai Shion selama ini. Tapi apa? Mengapa kaulakukan ini padanya?" tanpa sadar suaranya meninggi. Membuat Sasuke harus mundur selangkah karena suara tinggi Itachi yang membentaknya. Sasuke diam. Ia tidak bisa menyalahkan kata-kata Kakaknya.

"Memang pantas kalau setelah ini Sakura yang akan pergi darimu. Dia pantas bahagia. Sudah cukup dia menderita. Kau pernah menderita karena kehilangannya, karena kau gagal menemukannya. Tetapi pada akhirnya kau bertemu dengan wanita lain. Tapi bagaimana dengan dirinya?"

Sasuke terdiam. Ia membiarkan Itachi pergi menuju kamar Sakura dan meninggalkannya sendiri.

.

.

Sasuke pergi menuju lantai atas. Tempat dimana ruang kerjanya berada. Ia membuka pintu rahasia itu, mencari dimana kardus itu disimpan.

Ia membukanya. Menemukan puluhan foto Shion yang masih ia simpan bersamanya sewaktu mereka masih bersama. Ia membawa kardus itu ke lantai bawah, tepat dimana taman belakang itu.

Melempar kardus itu bersamaan dengan korek api yang ada di saku celananya. Ia melihat bagaimana kenangan itu terbakar habis bersamaan dengan foto itu. Itu sudah lama. Hubungan mereka sudah lama selesai.

Sasuke kembali naik ke lantai atas. Menemukan ada bingkai foto yang masih tersimpan di ruang kerjanya. Didalam laci mejanya. Ia mengambilnya, membanting bingkai foto itu ke lantai ruangannya hingga pecah berkeping-keping. Membiarkan serpihan kaca itu mengenai tangannya hingga terluka. Rasa sakitnya melebihi ini.

Ia memang tak seharusnya melakukannya. Tapi membayangkan kalau Sakura sudah menemukannya, membuat hatinya sakit. Ia tidak tahu apakah Sakura tahu tentang pintu rahasia itu atau tidak. Tapi ia tidak sanggup membayangkannya.

Karena dia tahu, sejak awal ini dimulai. Ia sudah melanggar perjanjian itu sendiri.

.

.

Sakura terbangun karena rasa hausnya. Ia meraih gelas diatas nakas tempat tidurnya. Meneguknya dalam dua kali tegukan hingga tenggorokannya terasa tidak kering lagi.

Ketika iris hijaunya bergulir ke kanan, ia menemukan Sasuke sedang berdiri memunggunginya tengah menatap kosong ke luar jendela yang berbatasan langsung dengan taman bunga hias.

"Sasuke?"

Sasuke menoleh, ia menarik kursi untuknya duduk disamping ranjang istrinya. Sakura mengerutkan alisnya ketika menangkap balutan perban yang berantakan di tangan kanan suaminya.

"Apa yang terjadi?" Sakura memposisikan tubuhnya untuk duduk. Sasuke mengikuti arah pandang Sakura, ia menyembunyikan tangannya agar Sakura tidak lagi melihatnya.

"Kau tidak melakukan sesuatu yang konyol, kan? Ayolah, cukup aku saja yang kekanakkan. Kau tidak boleh melakukannya," Sakura memaksa Sasuke untuk menyerahkan tangannya padanya. Instingnya sebagai seorang dokter tergugah. Meskipun hanya luka di tangan, ia bisa menyadarinya ketika ringisan kecil yang lolos dari bibir lelaki itu menjawab semuanya.

"Biar aku perbaiki perbanmu," Sakura membuka perban itu pelan-pelan agar Sasuke tidak merasa kesakitan ketika perban itu menarik luka di tangannya. Sakura meringis, menyadari luka robekannya terlalu dalam dan Sasuke tidak ahli mengobatinya.

"Ini bisa infeksi, kau ini bagaimana," Sakura membuka laci di samping tempat tidurnya. Disana disediakan khusus alat medis kecil seperti cairan antiseptik, alkohol, dan kapas serta perban baru. Ia mengambil semuanya dan mulai mengobati luka Sasuke secara perlahan.

Sasuke diam menuruti sang istri yang sibuk mengobati lukanya. Rasa perih mulai terasa menggigiti tangannya perlahan-lahan. Sasuke mengernyit ketika Sakura mulai membalut tangannya dengan perban baru dan mengikatnya agar tidak mudah terlepas.

"Sudah selesai," Sakura memasukkan peralatan medis itu ke tempat semula. Ia menatap Sasuke dengan pandangan bertanya. "Sebenarnya, apa yang terjadi? Apa Ibumu baik-baik saja? Bagaimana dengan Itachi?"

"Mengapa kau mau menolongku?"

Sakura mengerutkan dahinya tidak mengerti. Sasuke sengaja mengalihkan pembicaraannya atau bagaimana?

"Apa maksudmu?"

Sasuke menatap perban di tangannya, lalu beralih pada manik hijau istrinya. "Mengapa kau mau menolongku?"

Sakura menyadari kekonyolannya. Ia menatap perban di tangan suaminya dan tersenyum samar. "Aku seorang dokter. Aku harus membantu orang-orang yang terluka. Itu saja"

Tidak. Sasuke tidak ingin menanyakan kemuliaan hati wanita ini. Dia hanya ingin tahu, mengapa Sakura menolongnya di saat masa kecil dulu? Mengapa wanita itu memilih untuk mempertaruhkan nyawanya?

"Ibuku baik-baik saja. Itachi bisa menanganinya. Dia hanya terkejut. Kami tidak memberitahukannya kalau kau dirawat. Dia akan khawatir."

Sakura mengangguk mengerti. Ia memposisikan ranjangnya untuk berbaring agar lebih nyaman.

"Itachi mungkin memberitahumu tentang Shion," pergerakan tangan Sakura terhenti saat itu juga. Ia melirik Sasuke yang tampak tenang di tempatnya. Seolah pembahasan ini tidaklah penting untuknya. Atau lelaki itu sedang memakai topengnya?

"Shion pernah hamil."

Sakura sepenuhnya menoleh pada Sasuke. Wajahnya terlihat sedih, tetapi ia bisa mengendalikannya. Sasuke paham benar hal itu.

"Tapi itu bukan anakku. Dia memang menjebakku dengan bayi itu. Itachi berpikir aku menghamilinya, tapi tidak. Aku menceritakan yang sesungguhnya. Aku tidak pernah berbuat macam-macam selain sebatas hubungan khusus pada umumnya. Aku bertingkah sewajarnya."

Sakura diam. Ia tidak bereaksi tetapi Sasuke tahu kalau wanita itu mendengarkan.

"Suatu hari, aku pernah melihatnya berciuman dengan pria lain di taman kota. Aku tidak tahu siapa dia. Yang jelas, aku memutuskan hubungan kami saat itu juga. Mereka memiliki hubungan kurang lebih enam bulan dibelakangku."

Sakura menoleh dengan wajah terkejut. Ketika Sasuke memalingkan wajahnya, ia menyadari satu hal, lelaki itu juga terluka.

"Shion tidak pernah menceritakan hal ini padamu, kan? Kupikir dia mau jujur padamu mengenai masalah ini," Sasuke menggelengkan kepalanya. "Dia menyesal. Dia menyesal karena bermain api dibelakangku. Lalu, dia datang. Membawa bukti-bukti tentang kehamilannya dan bilang kalau itu adalah anakku. Dia menjebakku ketika aku mabuk ketika pesta bujang Naruto."

Sasuke mengangkat kepalanya, ia menatap jauh ke dalam mata istrinya. "Aku bersumpah, aku tidak lakukan apa pun. Naruto bersikeras menjadi saksinya. Ia selalu bilang padaku, kalau aku tidak melakukan hal itu. Dia merasa marah pada Shion, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu, aku kembali menjalin hubungan dengannya."

"Bagaimana bisa bayi itu tidak lahir?"

Sasuke menghela napasnya. "Shion takut. Takut kalau ini semua akan terbongkar. Aku sebenarnya sudah tahu kalau dia akan melakukan ini. Dia menggugurkannya dengan sengaja. Berpikir kalau ini karena kecelakaan, tapi aku tahu, dia merekayasa segalanya. Dia takut kalau bayi itu lahir, semuanya akan terbongkar."

Sakura memalingkan wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Entahlah, ia sendiri tidak tahu harus iba pada suaminya atau pada Shion.

"Pergilah."

Sasuke mengerutkan dahinya. Dia mencoba menyentuh lengan Sakura yang langsung ditahan wanita itu. "Pergilah. Aku ingin tidur."

Sasuke mengangguk singkat. Ia tidak mungkin mendebat Sakura saat ini. Jadi, ia memilih untuk mengalah dan keluar kamar tanpa kata-kata lagi.

Pintu tertutup sempurna. Sakura menghela napasnya, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamarnya. Taman itu tampak indah. Dan seketika, rasa ingin menangis itu timbul. Namun sebisa mungkin, ia menahannya. Ia tidak akan menangis. Tidak akan.

Namun pergolakan batin itu membuatnya kalah. Ia terpaksa harus membiarkan setitik air mata jatuh ke pipinya. Turun melalui rahangnya dan menetes ke lantai ubin kamar inapnya yang dingin.

.

.

"Terima kasih, dokter." Sakura menyalami dokter itu dengan ramah. Sasuke sedang membereskan kopernya dan keperluannya yang lain untuk dibawa pulang. Lelaki itu tidak kembali sejak semalam. Sakura sudah mengusirnya pergi, tetapi sifat keras kepalanya sama besarnya dengan dirinya, Sasuke hanya pergi untuk mencari udara segar lalu kembali lagi. Mereka tidur di kamar yang sama, namun di tempat yang berbeda. Sakura di ranjang dan Sasuke di sofa.

"Biar aku saja," Sakura menyentuh kain bersih untuk ia lipat. Sasuke melepaskan kain itu karena Sakura terlihat sedang dalam mood yang baik.

Selesai. Sakura menutup resleting kopernya dengan hati-hati lalu mulai menarik koper itu turun dari atas sofa. Namun, tangannya terhenti ketika lengan besar Sasuke menahannya.

"Kau belum sembuh benar," Sasuke melirik kepala wanita itu yang tertutup kapas dan perban pada bekas jahitannya. "Aku saja."

Sakura menyerah. Ia memberikan koper berwarna cokelat muda itu pada suaminya dan mereka berjalan beriringan bersama menuju mobil.

"Bisakah kita menemui Ibumu? Aku ingin tahu bagaimana keadaannya," Sakura membuka percakapan ketika mereka hampir sampai parkiran.

Sasuke menutup pintu bagasi mobil setelah ia menaruh koper berukuran sedang itu ke dalamnya. Ia membukakan pintu penumpang untuk Sakura. "Ya. Minggu depan kita bisa mengunjunginya."

Sakura mengangguk dengan senyum. Ia masuk ke dalam mobil dan memasangkan sabuk pengaman untuk keselamatannya. Sasuke ikut masuk ke dalam mobil, mengikatkan sabuk pengaman untuknya dan mulai menyalakan mobilnya.

.

.

"Ini bukan tentang Shion, ini tentang Sakura."

Itachi melirik interior ruang kerja milik adiknya. Ia menikmati lukisan bergaya aneh yang Sasuke pesan khusus dari pelukis ternama untuk ruangannya. Jika, diteliti lebih jauh lagi. Ini semua tidak untuk wanita yang pernah mengisi hatinya waktu dulu. Ini lebih mengarah pada … Sakura.

Ia sendiri sebenarnya ragu. Melihat bagaimana gaya si pelukis menggambarkan segalanya. Namun, layang-layang itu, sepeda berwarna emas, warna merah muda yang banyak mendominasi lukisan ini. Meskipun tidak terlalu kentara, tapi setiap lukisan pasti memiliki warna merah muda didalamnya. Tidak mencolok diantara warna lainnya. Sasuke pintar untuk mengatur segalanya.

Pintu ruangannya diketuk. Itachi terkejut ketika menyadari kalau jam makan siang ini, Sasuke sudah kembali secepat ini. Ia membuka gagang pintu, terkejut ketika menemukan wanita dengan iris perak menatapnya bingung.

"Shion?"

Shion membulatkan matanya. Ia kemudian menyunggingkan senyum tipis. "Selamat siang, Itachi. Bisakah aku bertemu Sasuke?"

Itachi berdeham. Ia merapikan sedikit kemeja cokelatnya. "Sasuke sedang menjemput Sakura saat ini. Hari ini Sakura dibolehkan pulang."

Shion tampak terkejut. Kedua irisnya melebar. "Oh, begitukah? Syukurlah. Kuharap, tidak terjadi hal seperti itu lagi."

Itachi mengangguk menyetujui kata-katanya. Dalam hati ia menebak-nebak, apa yang akan dilakukan Shion kali ini untuk menemui Sasuke.

"Kalau begitu, aku permisi. Mungkin lain kali saja aku bertemu dengannya. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa."

Pintu tertutup sempurna. Itachi mendudukan tubuhnya pada sofa hitam panjang milik adiknya. Matanya menerawang jauh memandang langit-langit ruangan. Pikirannya berkecamuk. Sejak semalam ia memikirkan bagaimana keadaan Sasuke dan Sakura. Dan juga sang Ibu. Ia sendiri terpaksa harus menceritakan segalanya pada sang Ibu yang membuat Ibunya menangis kencang karena menyayangkan sikap Sasuke pada Sakura.

"Tuhan, apa yang harus aku lakukan…"

.

.

"Taruh saja disitu."

Sasuke menuruti kata istrinya dengan menaruh koper itu di dekat meja rias. Sakura mendudukan dirinya di atas ranjang besar. Menatap jauh ke luar jendela dimana ia sangat merindukan rumah. Sudah lama sekali rasanya ia tidak menghirup udara luar rumah sakit.

"Aku akan berjalan-jalan ke taman," Sakura berdiri dari ranjangnya. Ia hendak membuka gagang pintu kamarnya sebelum sebelah lengan Sasuke menahannya. "Kau masih sakit," jawabnya lugas.

Sakura mendesah berat. Ia melayangkan tatapan kecewanya dan masih memaksa Sasuke untuk menyingkirkan tangan besarnya. Sasuke menyerah. Ia menarik tangannya dan membiarkan Sakura keluar. Meninggalkan seberkas senyum samar yang wanita itu berikan padanya.

Sasuke mendudukan dirinya di ranjang besar itu. Mengusap wajah lelahnya, ia memandang kosong pada koper milik Sakura. Beribu pikiran mulai berkumpul di dalam kepalanya. Dan tidak lama lagi, kepalanya akan meledak dalam hitungan menit.

Ini semua berawal dari kecelakaan itu. Sasuke tidak pernah tahu kalau takdir menuntunnya ke arah jalan yang lain. Setidaknya, ketika ia bisa menyembuhkan hatinya untuk tidak selalu dirundung rasa bersalah, ia menemukan Sakura tengah terbaring di atas aspal karena kebodohannya.

Ia tidak tahu kalau takdir mempertemukan mereka dalam keadaan seperti ini. Setidaknya, ia seharusnya tahu kalau Sakura tidak pergi jauh dari hidupnya. Seharusnya, ia mencari wanita itu dan mengucapkan rasa terima kasihnya.

Bertahun-tahun Sasuke mencarinya. Tapi nihil. Gadis itu menghilang. Dia bahkan tidak bisa mencarinya. Dia gagal. Dan ketika takdir mempertemukan mereka, Sasuke dilibatkan pada dua wanita. Wanita yang pernah dicintainya, dan wanita yang membuatnya jatuh cinta ketika ia menatap mata hijau itu untuk pertama kalinya.

Shion atau Sakura.

Dia harus memilih diantara keduanya. Ketika dirinya bersama Shion, bayang-bayang tentang gadis kecil yang bersimbah darah dengan rambut merah mudanya yang berubah warna selalu membayanginya. Namun ketika, ia melihat mata hijau itu membuka untuk pertama kalinya. Ada gejolak perasaan lain yang bangun dari dalam hatinya. Yang belum tersentuh siapa pun, bahkan Shion tidak bisa menyentuhnya.

Tapi kenapa? Tapi kenapa dia memperlakukan Sakura tidak adil? Tuhan akan menghukumnya. Dan Ibunya … Sasuke yakin, setelah ini Ibunya akan membencinya karena dia menyakiti wanita itu. Dan ia tidak bisa menepati janjinya.

Iris kelamnya bergulir memandang vas bunga cantik berbentuk guci dengan bunga mawar merah yang baru saja ia beli pagi tadi. Ia memejamkan matanya, berharap kalau bunga mawar itu bisa menyadarkan Sakura. Namun nyatanya, wanita itu belum tahu siapa yang ditolongnya.

.

.

Sakura duduk di sebuah ayunan kecil berbahan dasar kayu yang ada di teras halaman rumah. Udara siang ini cukup panas, namun kondisi taman yang rindang membuatnya nyaman berlama-lama disini.

Bunyi bel pintu pagar menyadarkannya dari lamunan panjangnya. Sakura menoleh ketika satpam penjaga membukakan pintu gerbang itu. Membiarkan tamunya masuk.

"Shion?"

Sakura bangkit dari tempat duduknya. Ia sedikit berlari ketika menyadari kalau Shion adalah tamunya bersama sang adik, Sara.

"Dokter Sakura?" Sara tidak bisa mencegah nada suaranya yang tinggi dan terkejut secara bersamaan. Ia diajak oleh sang Kakak untuk berkunjung ke rumah teman. Dan ia tidak tahu kalau mansion megah ini yang akan dikunjungi sang Kakak.

"Sara?" Sakura tampak terkejut. Ia menatap Shion yang menyunggingkan senyum samar padanya.

"Apa Sasuke ada didalam?"

Sakura mengangguk kecil. Ia melangkahkan kakinya lebih dulu diiringi tatapan bingung dari Sara dibelakang punggungnya. Sakura membuka pintu utama, ia menyuruh tamunya untuk duduk dan ia segera memanggil Sasuke di dalam kamarnya.

Sara duduk dengan wajah bingung. Ia sendiri masih tidak mengerti mengapa Sakura bisa ada di bawah satu atap yang sama dengan Uchiha Sasuke?

"Shion?" nada suara Sasuke tampak memberat ketika melihat Shion datang bersama Sara. Sasuke melirik Sara yang membuang mukanya dan memilih untuk memandang Sakura yang berdiri di dekat anak tangga.

Sasuke melirik sebuah kado berwarna merah berbentuk persegi panjang yang Shion bawa. Ia menoleh, mendapati Sakura yang memilih untuk menunduk menatap lantai dibawahnya.

Sara masih duduk diam. Sejak tadi matanya memperhatikan Sakura dengan tajam seakan-akan gadis itu akan memakannya saat itu juga.

"Apa yang ingin kau katakan?"

Shion terdiam. Ia melirik Sakura yang memilih untuk pergi memutar jalan lain agar tidak berada satu ruangan dengannya. Ia mengerti. Seharusnya, ini tidak terjadi. Tetapi ia harus.

"Aku tahu kalau Sakura mungkin tidak ingin melihatku lagi," Shion tersenyum kecil.

Sasuke hanya diam. Ia memperhatikan kado itu dengan seksama. Apa yang Shion berikan padanya?

"Aku izin pergi ke toilet. Dimana toiletnya?" tanya Sara ketus.

Sasuke menunjuk dengan jari telunjuknya. "Kau berjalan arah selatan. Ada di dekat dapur."

Sara beranjak pergi dari hadapan mereka berdua dan memilih untuk pergi ke kamar mandi. Meninggalkan sang Kakak dengan mantan kekasihnya disana.

Ketika, ia hendak berjalan menuju kamar mandi. Ia menemukan Sakura tengah duduk membelakanginya. Menatap ke hamparan luas taman belakang rumah. Wanita itu tampak menikmati hembusan angin siang hari. Meskipun cuaca tampak terik.

Sara segera mendekatinya. Ia sedikit mengintip ke belakang, melihat situasi kalau Sasuke sedang sibuk bersama Kakaknya. Ia mulai berjalan menyusuri taman setelah melewati pintu kaca itu untuk menghampiri Sakura yang duduk tengah melamunkan sesuatu disana.

"Bagus sekali. Nyonya Uchiha tengah duduk seorang diri disini. Kenapa? Kau tampak tidak suka melihat kedatangan Kakakku kemari, dokter?" Sara sengaja meninggikan suaranya dan terdengar sinis ditelinga Sakura.

Sakura berdiri. Ia tersenyum ramah pada Sara. Ia mencoba meraih bahu mungil gadis itu namun segera ditepisnya.

"Jangan sentuh aku! Dasar wanita perusak hubungan orang lain! Kau ini tidak tahu malu atau apa, hah!?"

Sakura terdiam. Ia mencoba sekali lagi untuk menyentuh lengan mungil Sara yang bergetar. Namun, gadis itu segera menepisnya. "Kenapa kau tidak katakan ini dari awal? Kenapa? Kau tahu bagaimana menderitanya Kakak karena ini?"

Sakura memalingkan wajahnya. Ia berhasil untuk tidak menangis dihadapan gadis itu. Sara sedang terluka.

"Shion tahu hal ini. Dia sengaja menyembunyikannya darimu."

Sara mengerjap terkejut. Kedua matanya yang basah menatap Sakura tak percaya. Ia menutup mulutnya terkejut. Sakura sudah menceritakan segalanya tentang bagaimana mantan kekasih Shion yang memilih orang lain dibanding sang Kakak. Sara mengerti. Dan ia tidak tahu kalau wanita itu adalah dokter sang Kakak, Haruno Sakura.

"Aku minta maaf. Seharusnya, aku katakan ini padamu. Tapi, Shion melarangku."

Sara terduduk dengan air mata deras dari pelupuk matanya yang basah. Sara menatap Sakura penuh terluka. "Bagaimana bisa," Sara menggelengkan kepalanya tak mengerti. "Bagaimana bisa, Sasuke juga membuatmu menderita?"

.

.

Sasuke menatap bingung pada kado yang Shion berikan padanya. Masih dengan senyum misteriusnya, Shion memandang Sasuke dengan tatapan tak terbaca miliknya.

"Kau bisa membukanya ketika aku sudah kembali nanti."

Sasuke mengerutkan alisnya.

"Semua sudah selesai, Sasuke. Aku juga ingin berpamitan padamu dan Sakura," Shion menarik sudut bibirnya. Tersenyum misterius. "Aku akan pergi ke Berlin untuk melanjutkan pendidikanku mengejar master. Sara juga akan bersekolah disana. Kedua orang tuaku memutuskan untuk menetap disana."

Sasuke terdiam. Ia melirik kado merah itu kemudian beralih pada iris perak itu. "Kapan?"

Shion mengangkat bahunya. "Entah. Kami belum memastikan tanggal keberangkatannya. Kemungkinan besar minggu depan. Mengingat Sara juga harus mengurus keperluan yang dibutuhkan untuk pindah sekolah."

Sasuke mengangguk singkat. Ia menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. "Semoga berhasil."

Shion mengangguk dengan senyum tulus. Dahinya berkerut ketika mendengar suara tangisan dari belakang rumah. Ia segera berdiri untuk mencari sumber suara dan ia menemukan Sara tengah menangis dengan Sakura yang memeluknya.

"Sara?" Shion berlari ke tengah taman. Ia menarik sang adik yang masih menangis ke dalam pelukannya. "Apa yang terjadi?" tanyanya ketika matanya bertemu tatap dengan Sakura.

Sakura melirik Sasuke yang berdiri tidak jauh dari mereka. Lelaki itu sepertinya terkejut mendengar keributan yang mereka timbulkan di taman rumah.

"Sara akan menceritakannya padamu nanti setelah dia merasa lebih baik," Sakura mengusap lembut wajah Sara yang masih menangis dan memerah. Gadis kecil itu tersenyum kecil pada Sakura di sela-sela isakannya. Ia memegang tangan Sakura yang ikut bergetar ketika bersentuhan dengannya.

"Maafkan atas sikapku yang kasar tadi, dokter. Jaga dirimu baik-baik."

Sara mengikuti langkah Shion yang menjauh dari taman belakang dan mulai pergi menuju pintu utama. Setelah berpamitan, pasangan kakak-beradik itu segera pergi meninggalkan halaman dengan mobil yang sudah menunggu mereka.

Sakura masuk ke dalam. Menemukan kado merah berbentuk persegi panjang itu ada di atas meja ruang tamunya. Sasuke ikut masuk, ia menangkap mata Sakura yang tengah memandang kado itu dengan pandangan kosong.

"Itu bukan apa-apa."

Sakura menoleh, ia mengangguk singkat dan berlalu dari sana. Ia memilih untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat. Kepalanya sedikit berdenyut nyeri karena kejadian yang baru saja terjadi. Sasuke menatapnya dengan pandangan tak terbaca ketika Sakura mulai menginjak anak tangga perlahan namun pasti itu.

.

.

Sasuke masuk ke dalam kamar mereka. Ia menaruh senampan makan malam karena Sakura masih bergelut dalam tidur pulasnya. Karena efek obat yang dokter berikan padanya. Wanita itu tidak bisa menahan kantuknya lebih lama lagi.

Ia mendorong agak jauh nampan berisikan makan malam dengan jus jeruk yang menjadi kesukaan Sakura diatas meja. Ia membiarkan Sakura tidur nyenyak malam ini dan tidak akan mengganggunya. Jadi, ia memilih untuk pergi ke ruangannya dan melanjutkan pekerjaannya.

.

.

Sakura terbangun di tengah malam karena rasa haus. Ini menjadi kebiasaannya harus meminum air putih sebelum tidur. Dan ia lupa melakukannya.

Ia melirik meja di kamarnya terdapat senampan yang berisikan makan malamnya. Ia lupa. Ia sejak tadi tidak memakan apa pun. Ia mengambil air putih dan sepiring salad sayur lalu mulai memakannya dalam diam.

Setelah selesai, Sakura kembali menaruh nampan itu ke dapur dan mencucinya dengan hati-hati agar penghuni rumah tidak terbangun karena tingkahnya. Ia tidak sengaja melihat pintu ruang kerja Sasuke yang terbuka dan lampu yang masih menyala.

Sakura perlahan-lahan masuk ke dalam. Ia ingin bertanya mengapa Sasuke tidak juga pergi tidur padahal sudah selarut ini. Ia membuka sedikit celah pintu yang terbuka itu, dan mulai masuk ke dalam.

Nihil.

Suaminya tidak ada dimana-mana.

Sakura menoleh ke kiri, mendapati pintu rahasia itu terbuka lebar. Tubuhnya langsung membeku. Haruskah ia masuk dan melihatnya?

Sakura maju perlahan-lahan untuk melihat apa yang Sasuke lakukan disana. Matanya tanpa sengaja menatap sang suami yang tengah duduk membelakanginya dengan sekotak kado berwarna merah yang ada di atas meja panjang itu.

Sasuke membukanya. Membongkar apa isi kado itu dalam diam dan tidak menimbulkan suara apa pun. Ia menemukan adanya surat-surat yang pernah Shion tuliskan untuknya, tetapi wanita itu tidak memberikan surat itu padanya. Lalu, ada sebuah kalung cantik berwarna perak yang berbentuk bulat dengan bola kristal cantik berwarna biru muda di tengahnya.

Sakura terpaku di tepi pintu. Di tengah lampu yang remang-remang, Sakura bisa menangkap pantulan sinar dari batu kristal itu hingga ke matanya. Ia memalingkan wajahnya, merasakan matanya yang mulai memanas ketika Sasuke mengangkat kalung itu ke atas. Memperlihatkan bagaimana cantiknya kalung itu.

Sakura menutup mulutnya. Ia memilih untuk mundur dan pergi dari sana. Ia tidak pernah berpikir untuk melihat Sasuke secara langsung seperti ini. Ia memang sudah tahu kamar rahasia ini. Tapi ketika itu, ia masuk seorang diri. Sasuke tidak mengetahuinya.

Dan saat ini, ia menangkap Sasuke ada didalamnya. Yang ia sendiri tahu, kalau kamar rahasia itu berisikan kenangannya bersama Shion selama mereka bersama. Seperti foto-foto, bingkai yang berisikan pesan, dan sebagainya.

Sakura memilih untuk pergi ke kamarnya dan kembali tidur. Ia mencoba memejamkan matanya. Namun tidak bisa. Ia tidak mungkin menangis. Karena kalau ia menangis, Sasuke akan tahu.

.

.

Sasuke menghela napas panjangnya. Ia menaruh kembali kalung cantik itu ke dalam wadahnya. Ia teringat kata-kata Shion untuk mengembalikan semua barang-barang yang pernah Sasuke belikan untuknya sesuai permintaan wanita itu.

Sasuke tidak tahu sebelumnya apa isi kado itu. Jika, ia tahu, ia akan tetap menyuruh Shion untuk menyimpannya sebagai rasa penghargaan untuknya karena hubungan mereka telah selesai dengan baik-baik.

Ia membawa kado itu jauh ke sudut ruangan. Menaruhnya diantara tumpukan kardus-kardus tak terpakai.

Sasuke menatap foto-foto yang tertempel di kamar rahasianya yang kini sudah berubah menjadi foto istrinya. Ia tersenyum kecil ketika mendapati adanya foto Sakura ketika kecil yang tidak sengaja terjatuh dari dompet wanita itu. Sasuke sengaja mengambilnya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri setelah ia mengurungkan niatnya untuk mengembalikan foto itu pada pemiliknya.

Sasuke keluar dari kamar rahasianya. Menutup kembali seperti semua dan menguncinya seolah tidak ada apa-apa dibalik rak besar itu. Ia melirik sebuah lukisan yang tertutup kain hitam di dekat meja kerjanya. Ia tersenyum kecil memandangi lukisan itu lalu berjalan pergi menjauhi ruangan itu.

.

.

Sakura menggosokkan telapak tangannya pada sarung tangannya. Ia sengaja bangun lebih pagi untuk mencari udara segar dan sarapan diluar. Ia memang tidak izin pada Sasuke sebelumnya. Ia tidak tega membangunkan lelaki itu dan ia sendiri … merasa marah pada dirinya sendiri.

Ia menatap kosong pada cincinnya sendiri. Pandangannya memburam tidak lama kemudian. Ia tidak tahu mengapa perasaannya berubah melakonlis seperti ini padahal hari masih pagi.

Ia pergi ke kedai penjual roti isi dan teh hangat. Lalu, Sakura mencari tempat untuknya duduk dan menikmati sarapannya. Ia merapatkan mantel hijau mudanya dan topi musim dinginnya karena Jepang akan dilanda musim dingin mulai hari ini.

"Hai."

Sakura menoleh setelah ia menggigit roti isinya dalam sekali gigitan. Dengan senyum dari pria itu, Sakura mau tak mau ikut tersenyum. Dengan pakaian musim dingin yang sama, pria itu memeluk tubuhnya sendiri dengan tangannya.

"Udara disini sangat dingin. Kenapa kau keluar?"

"Mencari udara segar," akunya.

Yahiko hanya mengangkat bahunya acuh. Ia ikut membuka bungkusan roti isinya dan memakannya dalam diam. "Apa kau datang bersama Sasuke?"

Sakura menggeleng kecil. Ia meminum teh hangatnya dan kembali memakan roti isinya.

"Bagaimana keadaanmu?"

Sakura menoleh dengan senyum. "Aku sudah merasa lebih baik."

Yahiko ikut tersenyum. "Itu bagus, semoga seterusnya tetap berjalan seperti itu," Yahiko membuka tutup kopi panasnya. "Aku berpikir taman ini tidak akan dilanda musim dingin. Kurasa, aku salah."

Sakura ikut tersenyum kecil. Ia kembali memakan roti isinya dalam diam.

"Sakura," panggil Yahiko.

Sakura menoleh.

"Bagaimana kalau kita pergi bersama dan menjauh dari sini? Aku bisa membahagiakanmu dari apa yang pernah Sasuke lakukan. Tawaranku masih berlaku padamu,"

Sakura teringat bagaimana sikap Yahiko saat dulu. Saat mereka masih bersama.

Sakura tersenyum samar. Ia menoleh dengan alis berkerut. "Kau pantas bahagia. Tapi maafkan aku, aku tidak bisa."

Yahiko terdiam. Ia memalingkan wajahnya agar tidak memandang wajah Sakura yang membuat hatinya terbelah.

"Aku mengerti."

"Pergilah, Yahiko. Kejar kebahagiaanmu sendiri. Aku adalah masa lalumu yang tidak lagi akan menjadi masa depanmu. Seharusnya, kau tahu itu."

Yahiko menoleh dengan mata memburam. "Apa kau memaafkanku?"

Sakura mengusap wajahnya yang pucat karena udara dingin serasa menusuk wajah manisnya. "Tentu," dengan kepalanya terangguk mantap. Membuat Yahiko tidak lagi berpikir panjang untuk menarik tubuh mungilnya ke dalam pelukan hangatnya.

"Terima kasih. Terima kasih untuk semuanya."

.

.

Sakura menggantung mantelnya di tempat mantel itu ditaruh seperti semula. Ia pergi menuju ruang kerja Sasuke dan mendapati Sasuke tengah duduk memandang sebuah lukisan yang masih tertutup kain hitam.

"Sasuke?"

Sasuke menoleh, ia berdiri dan menyuruh Sakura masuk dengan isyarat matanya.

"Kita harus bicara."

Sasuke membeku. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya dan Sakura mengetahuinya. Ia melirik rak di bagian kirinya dan menemukan kalau kamar rahasia itu tertutup rapat layaknya tidak ada apa-apa disana.

Sakura melihat cincinnya. Ia memutarkan pandangannya agar tidak menangis saat itu juga. Guna menahan pandangannya yang mulai memburam karena air mata.

"Kita tahu, kalau pernikahan ini tidak didasari dengan rasa cinta. Tapi aku berterima kasih padamu, kau mau memberitahuku tentang masa lalumu bersama Shion. Dan kurasa," napas Sakura terdengar putus-putus. "Kalian seharusnya bersama tanpa aku yang menjadi beban kalian."

Sasuke baru saja ingin memotong pembicaraannya dan Sakura menaruh telunjuk di bibirnya. Menyuruh Sasuke untuk diam.

"Sasuke, aku mencintaimu. Dan aku melanggar perjanjian kita."

Suara Sakura terdengar serak. Ia tidak bisa lagi menahan suaranya untuk terdengar normal.

"Aku minta maaf. Aku tidak seharusnya melakukan ini. Tapi ini adalah keputusan terbaik," Sakura mendekat ke arah meja kerja Sasuke. Menarik cincin dari jari manisnya dan menaruhnya di atas meja dengan sebuah senyum pilu. "Semoga kau bahagia. Aku disini, selalu mendoakan kebahagiaanmu."

Seperti mimpi-mimpi buruknya dimana semuanya akan terlihat sama. Ia tidak akan bahagia jika ini diteruskan. Tidak akan pernah bahagia. Dia pernah memimpikan Sasuke yang memilih Shion dan bukan dirinya. Dan itu cukup menguatkan hatinya untuk melepas segalanya.

"Kau tidak akan tersiksa. Begitu pula aku."

"Apa kau tersiksa bersamaku?"

Sakura memalingkan wajahnya. Ia menghapus setitik air mata yang tumpah di pipi kanannya. "Aku seperti terbakar ketika melihat matamu. Kau seharusnya tahu itu. Matamu, aku tidak pernah melihat bayanganku disana. Aku tidak pernah melihat diriku disana. Aku melihat ada orang lain disana. Di dalam matamu."

Sakura menunduk. Menyembunyikan isakannya.

"Sakura …"

"Kau pantas bahagia, Sasuke. Jangan lakukan hal ini. Aku sudah sembuh. Meskipun suatu hari nanti aku tidak lagi bisa memiliki anak, tapi percayalah. Aku sudah sembuh. Jangan membebani dirimu lagi hanya karena diriku. Aku tahu diri. Aku merusak kebahagiaan kalian dan cukup sampai disini. Aku tidak ingin merasa di neraka lagi."

Sasuke terdiam. Pandangan matanya mulai memburam ketika ia menangkap kilatan perak dari cincin milik Sakura.

"Sampaikan salamku pada Itachi dan kedua orang tuamu. Selamanya mereka adalah keluargaku," Sakura tersenyum lembut.

"Terima kasih. Aku benar-benar melepasmu," Sakura tersenyum sekali lagi. "Kita bercerai, Sasuke. Kita berpisah."

Sakura baru saja memutar tubuhnya untuk berbalik sebelum suara berat itu menahannya.

"Seharusnya, aku yang berterima kasih padamu," Sakura memutar kepalanya, mendapati senyum lembut yang diberikannya. "Karena mau menjadi pahlawanku dengan kebaikan hatimu."

Sakura menaikkan alisnya.

"Aku ingat sekali. Ada gadis kecil dengan sepeda warna emasnya datang menyelamatkanku bagaikan pahlawan," Sasuke menerawang jauh ke atas. Seakan-akan ia mengingat sesuatu yang penting. "Kau tahu apa arti bunga mawar itu untukku?"

Sakura terdiam.

"Itu untukmu. Aku berniat menjengukmu bersama kedua orang tuaku dan memberikan bunga mawar itu untuk rasa terima kasihku padamu. Tetapi aku tidak bisa menemukanmu dan bunga itu terus tersimpan sampai aku bisa menemukanmu."

Sakura menoleh. Ia tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Ia bergerak untuk memeluk Sasuke yang membuka tangannya untuknya. Ia berlari, memeluk Sasuke yang kini menangis di pundaknya.

"Maafkan aku. Maafkan aku."

Sakura masih menangis dan ia merasakan pelukan Sasuke mengerat padanya.

"Terima kasih untuk segalanya, Sakura."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Dan untuk selamanya, kau akan tetap menjadi matahariku. Yang bersinar sepanjang masa."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Satu tahun kemudian.

Berlin, 6 Desember 20xx.

Sakura membuka tirai jendelanya. Ini tepat satu tahun dimana kejadian itu berakhir. Dimana semuanya selesai sudah. Ia menghirup udara pagi Berlin dengan senyum merekah di wajah cantiknya. Ia menoleh, mendapati sebuah lukisan besar karya tangan seseorang yang tengah tersenyum padanya. Itu adalah dirinya. Pria itu benar-benar berbakat menggambar. Lihatlah, lukisan itu mirip sekali dengannya. Lukisan dirinya yang tengah tersenyum dengan setangkai bunga mawar di tangan kanannya.

Sakura turun dari ranjangnya. Ia merapikan vas bunganya yang selalu berisi bunga kesayangannya. Seperti tulip dan lily, tetapi tidak lupa dengan bunga yang selalu mewarnai harinya, mawar. Bunga itu mempunyai seribu kisah yang didalamnya.

Sakura turun dari kamarnya dan bersiap pergi ke klinik kecil khusus tempatnya bekerja saat ini. Ia menggosok giginya di wastafel dan mengambil handuk kering untuknya mandi.

Sembari bersenandung, Sakura masuk ke dalam kamar mandi. Ia tersenyum lebar pada cermin yang terpasang di kamar mandi mungilnya.

"Selamat pagi, Berlin. Aku siap beraktifitas hari ini!" riangnya.

Dan ia merasa benar-benar hidup…

.

.

Upacara pernikahan hari ini berlangsung khidmat. Para tamu yang hadir segera bersiap-siap menempati kursi mereka. Terdengar suara bisik-bisik kecil dari tamu yang hadir ketika pendeta melangkah ke altar dan membuka acara.

Suara riuhan kecil dari belakang membuat para tamu menoleh dengan kagum. Pengantin wanita sangat cantik dengan gaun panjang yang menjuntai hingga ke belakang. Diiringi dua gadis kecil yang cantik dengan memakai gaun putih yang sama dan ikatan sanggul dikepala kecilnya, mereka tersenyum lebar. Dengan bunga hias putih yang masing-masing mereka genggam.

Riuh para tamu seakan menandakan bagaimana meriahnya acara pernikahan ini. Semua orang memandang pengantin wanita dengan penuh kekaguman karena kecantikannya dan polesan make-up natural yang membut wajah wanita itu tampak bersinar.

Ruangan berubah hening ketika pengantin pria mengulurkan tangannya untuk menggapai tangan milik calon istrinya. Mereka saling melempar senyum satu sama lain. Penuh rasa haru dan kebahagiaan. Tidak berbeda jauh dengan para tamu yang datang.

Pendeta membacakan janji suci untuk mereka berdua. Dan para tamu mendengarkan dalam diam.

Tidak lama, sebelum suara tepuk tangan yang meriah mengiringi kedua pengantin yang resmi menjadi sepasang suami istri. Setitik air mata kebahagiaan jatuh di pipi kiri wanita cantik itu, ia mengedarkan pandangannya, mendapati ada sosok laki-laki bergaya rambut raven dengan warna hitam legam tengah tersenyum padanya.

Itu bukan senyum kepalsuan. Itu tulus dan nyata.

Ia datang bukan ingin menghancurkan pernikahannya. Bukan. Ia datang sebagai tamu kehormatan. Sebagai seorang teman.

Pengantin wanita itu melambaikan tangannya ke atas. Ia tersenyum hangat dan dibalas dengan senyum kecil dari lelaki itu.

"Kakak!"

Gadis kecil dengan rambut sanggul merah cerahnya datang dan memeluknya. Membuat sang wanita memekik terkejut dan kemudian tertawa lepas. Ia memeluk adik tercintanya dengan sayang.

Sasuke melihatnya. Bagaimana Shion yang bahagia. Bagaimana Shion yang sudah mendapatkan cintanya. Ia ikut senang. Setidaknya, semua berjalan baik. Ia sudah menikah. Ia akan bahagia selamanya.

Sara menoleh, mendapatkan Sasuke yang berdiri dengan tepuk tangan memandangnya. Sebuah senyum simpul tersungging di wajah manisnya, ia melambaikan tangannya pada Sasuke yang dibalas dengan kedipan mata dari lelaki itu.

Sara terkekeh kecil. Ia kembali bergabung bersama kedua orang tuanya dan ikut menikmati acara selanjutnya setelah pengucapan janji suci selesai diucapkan.

Sasuke tersenyum puas. Ini adalah akhir yang sebenarnya. Meskipun ia sendiri tidak tahu dimana Sakura sekarang, tapi ia selalu berdoa untuk wanita itu. Selamanya.

.

.

"Dan bagaimana kalau kita bertemu lagi?"

"Itu adalah takdir."

"Apa kau akan pergi lagi dariku?"

"Kurasa tidak. Aku akan mencoba hidup yang baru bersamamu jika takdir mempertemukan kita lagi suatu hari nanti."

.

.

Berlin memasuki musim salju dan udara dingin disana bisa membuat jalanan membeku karena kristal es yang berjatuhan dari langit. Sasuke harus menebalkan mantel bulunya malam ini.

Itachi menitipkan sebuah pesan untuknya ketika ia berada di Berlin. Ia ingin dibelikan buah tangan unik dari toko cenderamata di Berlin dan Sasuke menyetujuinya. Itu tidak masalah untuknya. Lagipula, dia memang akan membelikan buah tangan untuk keluarganya di rumah.

Sasuke masuk ke dalam sebuah toko ketika ia memparkiran Range Rovernya dengan benar agar tidak terperosok ke dalam salju yang tebal di dekat toko. Ia masuk ke dalam, disambut hangat oleh pegawai toko yang langsung mengantarnya menuju tempat yang dituju.

Tidak membutuhkan waktu lama sampai ia bisa membeli semuanya. Besok ia akan kembali ke Jepang dan melanjutkan aktifitasnya yang tertunda disana karena keperluannya di Berlin lebih mendesak. Disamping ia menghadiri undangan pernikahan Shion, ia juga harus bertemu dengan pemegang tender besar untuk proyek Dubainya nanti.

Sasuke menggosok tangannya yang telanjang tanpa ditutupi sarung tangan. Ia baru saja ingin membuka sarung tangan yang dibelinya ketika sosok wanita dengan mantel tebal berwarna merahnya tengah berkaca di spion mobilnya. Wanita itu sedikit terganggu dengan serpihan salju yang menempel pada wajah pucatnya. Ia merapikan topi musim dinginnya, dan juga ikatan rambut merah mudanya yang berantakan.

Sasuke terpaku di tempatnya. Ia hendak menghampiri wanita itu sebelum dirinya bergegas pergi lebih jauh lagi.

"Sakura?"

Wanita itu terdiam. Ia menghentikan langkahnya. Sasuke menunggu dengan waspada. Apakah ia salah orang atau tidak. Jika, diihat dari warna rambutnya … ia sangat yakin meskipun separuh wajahnya tertutup topi tebalnya.

Wanita itu menoleh dengan pandangan bingung karena seseorang memanggilnya. Dengan dahi berkerut, ia menoleh. Hembusan napasnya terlihat berat ketika uap itu keluar dari hidungnya berkali-kali lebih cepat.

Ia merasa kalau dunia runtuh saat itu juga. Ketika ia tidak bisa menggerakan tubuhnya ketika sosok laki-laki itu memeluknya setelah berlari mengejarnya.

"Sasuke?"

Yang dirasakannya adalah pelukan hangat dari seseorang yang dirindukannya selama ini. Setelah satu tahun berlalu, setelah semuanya berlalu. Ia berharap kalau ini tidaklah mimpi yang selalu membayanginya tengah malam.

"Aku merindukanmu."

Dan berharap kalau takdir yang tertulis kali ini akan membuatnya tersenyum…

… untuk selamanya.

.

.

.

.

End.

.

.

.

.

Author Note:

10000 words untuk cerita. Ga kurang. Ga lebih.

Btw, kalian bisa dengar lagu All I Ask by Adele, Hello by Adele, Dear John by Taylor Swift sampai The Weight by Shawn Mendes. Itu adalah inspirasi terbesar untuk chapter ini selain Innocence by Avril Lavigne.

Fiuh. AKHIRNYA GUYS. Setelah saya nangkring depan laptop dari jam delapan pagi baru selesai jam sembilan malam dan mikirin adegan sana-sini, akhirnyaa…

Oh, iya, chapter ini spesial untuk Kak Laura Pyordova dan Kak Nunii Surya! Yeay. Terima kasih banyak untuk dua wanita hebat itu yang memberi saya motivasi disaat saya lagi terpuruk karena sesuatu terjadi kemarin:")

Btw, rencananya saya mau buat after she gone, tentang Sasuke setelah Sakura pergi dan cerai darinya di chapter sepuluh nanti.

Oke yang tanya kenapa Sasuke blablabla, alurnya blablabla, dan Sakura blablabla, saya sudah memikirkannya. Maaf kalau endingnya kurang greget atau kurang maksimal. Saya nulis berdasarkan keinginan saya dan murni ide saya. Jadi, maaf juga kalau ini mengecewakan. Saya senang kalau masukan kalian bagus dan bermanfaat, tapi kalau tidak sesuai dengan ekspetasi kalian, saya minta maaf. Pendapat orang beda-beda, saya gabisa bikin ending semau keinginan kalian. Itu hak authornya :") /setelahinidijudgelagi/

Jadi, ditunggu aja ya kelengkapan cerita Innocence di chapter sepuluh bagi yang belum tertebak nantinya.

Terima kasih banyak untuk para reviewers, fave, follow, sampai neror saya di efbe dan PM. Saya gapernah ngerasa terganggu dan malah senang. Saya senang diberi semangat kalian. Sekali lagi, terima kasih banyak ya! Kalian memang yang terbaik *nangis*

Sampai jumpa lagi di fic yang lain. Goodbye!

Lots of Love

Delevingne