Sakura melangkah dengan tertatih menuju jalan besar di pusat kota Tokyo. Hari ini, ia akan berencana untuk membeli peralatan bayi seperti pakaian bayi, keranjang bayi, tas untuk bayi dan sebagainya. Ia juga tidak lupa untuk membeli susu bagi Ibu hamil yang berusia lima bulan sepertinya.

Ia tersenyum tipis. Mengelus perutnya yang mulai membuncit dengan penuh kasih sayang. Sebenarnya, ia dilarang keras oleh kedua orangtuanya untuk bepergian seorang diri di saat ia tengah berbadan dua. Mereka—kedua orangtuanya menjaganya dengan sangat ketat.

Jalan di siang hari ini cukup ramai. Sakura sampai harus menunggu lama agar pengguna jalan lainnya mau bersabar dan bergiliran dengan pejalan kaki sepertinya.

Hari ini cuaca cukup terik. Ia harus sampai menutupi atas dahinya dengan telapak tangannya agar tidak tertimpa kilaunya sinar mentari di siang hari.

Lampu merah menggantikan lampu hijau yang telah menyala sebelumnya. Sakura dengan beberapa pejalan kaki lainnya segera berbondong-bondong untuk menyebrang jalan. Mereka—pejalan kaki saling berebut untuk mendapatkan jalan. Dan Sakura masih berusaha untuk tetap tidak merasa terdorong oleh pejalan kaki lainnya sembari kedua tangannya yang memegang kantung belanjaan di masing-masingnya.

Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kanannya. Tidak memedulikan rambu lalu lintas dengan lampu merah yang menyala jelas.

Lalu—

BRAKK

—bunyi tabrakan terdengar keras hingga beberapa dari mereka yang melihat menjerit keras.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Innocence

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

Warning: Typo(s), Miss Typo, Alternative Universe.

.


Jadi, Sayang, hati mana lagi yang akan terluka dengan segala kepalsuan ini?


.

.

.

Haruno Mebuki berlari menyusuri lorong rumah sakit dengan wajah yang basah akan air mata. Tubuhnya yang terasa rapuh karena dimakan usia harus dipaksakan berlari demi putrinya. Di sampingnya, Haruno Kizashi datang sembari menggenggam tangan sang istri dan memeluk bahu yang bergetar itu kuat. Ia juga tidak bisa menyampik fakta lain kalau ia sedang sama kacaunya dengan sang istri.

Bagaimana tidak? Putrinya sedang mempertaruhkan nyawanya di sana. Putrinya, putri satu-satunya yang mereka miliki, harus mengalami hal seperti ini.

Haruno Mebuki tidak bisa menahan bobot tubuhnya lebih lama lagi. Ia jatuh terduduk di depan ruangan Unit Gawat Darurat. Tempat dimana sang anak sedang melawan kematiannya. Suster yang berjaga di depan pintu melarangnya untuk masuk. Dokter dan beberapa ahli medis lainnya sedang berusaha untuk mengobatinya.

Kizashi menoleh pada sosok laki-laki yang duduk di kursi tunggu dengan wajah tertunduk. Kemeja putihnya telah ternodai dengan darah di setiap sisinya.

"Apa kau yang menabrak putriku? Katakan!" Teriak Kizashi. Kepala laki-laki itu mendongak. Iris kelamnya memandang wajah Kizashi yang kacau.

"Ya."

Kizashi hampir saja menampar laki-laki itu jika tidak ada seseorang yang datang dengan langkah tergesa-gesa memasuki lorong UGD. Wajah wanita itu dipenuhi dengan rasa prihatin dan wanita itu juga menangis. Di sampingnya, sang kepala keluarga juga menunjukkan wajah yang sama meskipun tidak begitu terlihat.

"Sasuke? Apa yang terjadi? Katakan padaku!" Sang Ibu mengambil tempat di samping sang anak. Tubuhnya ikut bergetar sesaat setelah sang anak yang tidak mau menjawab perkataannya.

"Dia menabrak putriku! Dia yang hampir membunuh anakku!" Mebuki duduk di depan pintu dengan telunjuknya menunjuk pada laki-laki itu. Laki-laki itu hanya menoleh, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahnya kini dipenuhi raut penyesalan.

Tak lama, dokter bersurai perak keluar. Ia tersenyum tipis dan sisa-sisa keringat yang mengalir di pelipisnya masih ada.

"Dia sedang memasuki masa kritisnya. Kondisinya membaik. Beberapa lukanya bisa kami atasi dan kami butuh waktu untuk melakukan operasi lainnya yang memungkinkan sampai ia benar-benar stabil," Mebuki tidak bisa menyembunyikan wajah leganya. "Tapi … bayi yang dikandungnya harus tewas. Sebenarnya kami harus membuat pilihan, bayi itu atau sang Ibu yang harus kehilangan nyawanya." Dokter itu menyadari adanya hawa ketegangan yang terjadi di antara dua keluarga—yang berbeda itu.

Mebuki semakin menangis keras di pelukan sang suami. Dokter itu kemudian pergi. Meninggalkan Mebuki yang semakin terisak kencang.

Laki-laki itu berdiri. Wajahnya memandang lurus kepada pasangan suami istri yang hidupnya sedang tergoncang ini dan ini semua karena dirinya. Ia melangkah mendekati pintu ruangan. Mengintip dari jendela kecil yang terpasang menjadi satu bersama pintu ruangan.

Di sana, wanita yang ia tabrak sedang terbaring lemah bersama alat-alat berat yang menancap di seluruh tubuhnya. Ia memandang wanita itu sekali lagi sebelum berbalik pergi.

Keadaan sedang mengutuknya.

"Sasuke!" Teriakan sang Ibu tidak ia pedulikan. Tubuhnya bergerak semakin menjauh dari lorong. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus.

.

.

Satu minggu lagi adalah hari pernikahan mereka. Satu minggu lagi ia akan mengucap janji suci di depan pendeta dan keluarga serta para tamu yang hadir. Satu minggu lagi ia akan merasakan bagaimana indahnya kehidupan yang sesungguhnya. Satu minggu lagi…

Semuanya sirna begitu saja.

Ia telah membunuh kehidupan seorang wanita yang tidak tahu apa-apa. Wanita malang yang terkapar di depan mobilnya dengan darah yang mengalir dari kulitnya yang robek.

Ia menabrak seorang wanita. Wanita yang tengah mengandung seorang anak. Wanita yang mempunyai kehidupan baru di dalam perutnya.

Dan ia membunuhnya.

Seandainya tadi, seandainya ia lebih berhati-hati.

Seandainya sang client mau menunggunya lebih lama lagi. Seandainya perjanjian kontrak sialan itu tidak pernah ada. Ia tidak akan mengalami hal buruk seperti ini.

Tidak akan pernah.

Uchiha Sasuke—jatuh terduduk di taman belakang rumah sakit dengan darah yang masih menempel di kemejanya. Apa yang harus ia katakan pada tunangannya? Apa yang harus ia katakan?

.

.

"Kami akan membayar seluruh biaya rumah sakit putrimu sampai ia benar-benar sehat kembali. Kami akan membayar seluruh hidupnya. Seluruhnya." Mikoto—berusaha menenangkan Mebuki yang terisak pelan di kursi tunggu. Mereka—terjebak dalam keheningan yang nyata. Sasuke pergi entah kemana. Ia tahu, putranya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.

Uchiha Fugaku mengambil tempat di samping Kizashi. Dua pria ini masih sama-sama tidak mau membuka percakapan. Iris kelam Fugaku melirik pada Kizashi yang menutup wajahnya dan tubuhnya sedikit bergoncang.

Pria itu menangis.

Jika ia berada di kondisi yang sama, ia juga akan melakukannya.

"Apa kalian pikir dengan membayar seluruh tanggungan hidupnya akan membuat putriku kembali sehat? Akankah kehidupannya kembali normal?!" Mebuki berteriak dengan lirih. Membuat Mikoto yang memeluknya harus melepasnya karena perkataan Mebuki di sampingnya.

"Putriku harus mengalami hidup yang pahit selama beberapa bulan ini. Ia hampir saja menikah jika calon suaminya tidak lari bersama wanita lain. Meninggalkannya di saat hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari bersama bayi yang dikandungnya!" Mebuki kembali menutup wajahnya karena air mata yang turun membasahi wajahnya.

Fugaku terdiam bersamaan dengan tubuh Mikoto yang menegang di sampingnya. Ia menoleh ke arah lorong. Sasuke kembali dengan wajah bersalahnya. Ia menggenggam tangan sang Ibu dan menatap wajah Mebuki yang tertutupi tangannya sendiri.

"Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf," ujarnya lirih. Sasuke melirik ke arah Kizashi yang duduk melamun. "Aku akan kembali lagi. Aku harus pergi."

Mikoto berdiri untuk menyusul sang anak yang berlari menjauhi lorong. Sasuke sedang kacau. Mikoto melirik Fugaku yang mendesah kecil. Mereka sama-sama tidak tahu harus berbuat apa.

.

.

"Sayang? Ada apa?"

Sasuke meremas ponsel hitamnya dengan keras. Saat ini ia berada di dalam mobilnya. Mobil yang menabrak wanita malang yang tidak diketahui bagaimana keadaan sebenarnya.

Hatinya bergetar. Ia mendengar semua apa yang dikatakan oleh Ibu wanita itu. Ia mendengar semuanya.

Wanita itu—wanita yang kuat. Ia harus mengalami hari-hari terberat di dalam hidupnya.

Dan mungkin ia akan—

"Sasuke? Ada apa? Apa kau merindukanku? Kita baru saja bertemu saat sarapan tadi." Wanita di seberang sana terkekeh geli.

Sasuke menarik napas panjangnya.

"Aku akan menjemputmu nanti. Bersiap-siaplah."

Sasuke hampir sama akan menekan tombol end di ponselnya sesaat sebelum wanita itu membalas kata-katanya.

"Baiklah, Sayang, aku mencintaimu."

"Aku juga."

Dan ia memukul kepalanya sendiri dengan kemudi setirnya. Ia serasa akan mati sekarang juga.

.

.

Sasuke menepati janjinya. Ia menjemput wanita cantik dari rumah bergaya Eropa kuno yang terletak di perumahan elite di dekat kota. Sasuke sengaja berpakaian rapi dan bergaya formal.

Ia harus mengatakan sesuatu.

Wanita itu juga terlihat cantik dengan gaun malam yang dipakainya. Sasuke sudah memesan tempat untuk mereka berdua makan malam hari ini. Ia harus menyiapkannya dengan sesempurna mungkin.

Semua permasalahannya tersimpan rapat-rapat di dalam hatinya. Wajahnya tidak menunjukkan hal lain selain wajah bahagia karena senyum yang terus ia berikan pada wanita itu. Wanita yang akan resmi menjadi istrinya satu minggu lagi.

Satu minggu lagi.

Wanita itu—Shion masuk ke dalam mobil dengan perasaan berdebar dan juga bahagia. Sejak tadi Sasuke tidak pernah melepas genggaman tangannya.

"Kita akan kemana?"

Sasuke melirik dengan senyum misteriusnya. "Ke tempat yang paling romantis tentunya."

Shion tidak bisa menahan senyumnya lebih lama lagi. Sasuke memutar radio denganlagu-lagu romantis yang menjadi pengiring perjalanan mereka. Sesekali ia melirik kekasihnya, wajah Shion sangat bahagia. Dan ia berharap mereka bisa seperti ini selamanya.

Selamanya.

Ingin rasanya ia membunuh dirinya sendiri.

Mereka telah sampai ke tempat tujuan. Sasuke benar-benar tipikal orang yang sangat sulit ditebak. Malam ini akan ia habiskan bersama Shion. Hanya dengan kekasihnya saja. Kekasih yang sudah lama bersamanya selama lima tahun ini.

Ia sengaja mematikan ponselnya. Bukan, ia tidak akan lari dari kenyataan pahit kalau ia baru saja menabrak seorang wanita hamil yang tengah bertarung melawan kematian. Ia tidak akan lepas dari tanggung jawabnya. Maka dari itu, ia menemui Shion malam ini.

Shion masih tersenyum lebar. Sasuke melirik pada jari manis wanita itu. Di sana, tersemat cincin perak berhiaskan mutiara kecil yang ia berikan dua hari yang lalu tepat saat Sasuke melamarnya.

Pelayan datang bersama minuman dan makanan yang mereka pesan. Shion tampak bahagia dan wajahnya terlihat berseri-seri. Kecantikan dan kebaikan hatinya yang membuat dirinya takluk dengan pesonanya.

Mereka makan malam dengan tenang. Sasuke bukanlah tipe orang yang berbicara di saat makan dan Shion menerapkan prinsip yang sama.

Cocok bukan?

Shion membersihkan mulutnya dengan kain yang disediakan. Ia memandang Sasuke yang sibuk dengan anggurnya dengan tatapan memuja.

"Ada yang ingin kau bicarakan padaku?"

Sasuke meneguk habis minumannya. Iris kelamnya memandang Shion dengan tatapan lirihnya. Berharap Shion bisa mengerti apa yang ia alami.

Satu tarikan napas panjang. "Bahagialah bersama orang lain," Ia memejamkan matanya saat tubuh Shion menegang. "Aku tidak bisa membahagiakanmu. Tidak akan pernah bisa."

Shion mengepalkan tangannya erat di atas meja. Netra peraknya berkaca-kaca seiring kata-kata Sasuke yang meluncur bebas menyakiti hatinya.

"Kita akan menikah, bukan? Mengapa kau lakukan ini?" lirihnya.

Sasuke ingin sekali berdiri dan memeluk wanita itu seperti yang biasa ia lakukan padanya selama mereka bersama. Sasuke kembali menghela napasnya. Ia berhasil mengendalikan diri. Wajahnya tetap tenang.

"Aku tidak bisa mencintaimu lagi."

Dan kata-kata itu sukses membuat gelas kaca yang berisikan cairan kuning itu jatuh berkeping-keping ke lantai restaurant. Beberapa pasang mata mengarah pada mereka bersamaan dengan tatapan mata Shion yang menajam ke arahnya.

"Brengsek! Aku membencimu! Aku kecewa padamu." Shion berdiri setelah ia mengeluarkan kata-kata terakhirnya. Wajahnya merah padam dan cairan bening yang seharusnya tak ada, keluar begitu saja dari mata indahnya.

Sasuke terdiam di tempat duduknya. Ia tidak memedulikan tatapan para pengunjung yang mengarah padanya. Hatinya sudah terlanjur hancur. Hidupnya hancur hanya dalam hitungan menit. Semua yang ia rencanakan dari jauh hari tidak berguna lagi saat ini.

Pelayan laki-laki membersihkan pecahan kaca itu. Sasuke mengeluarkan beberapa lembar uang di atas mejanya dan pergi meninggalkan meja makan yang menjadi saksi bisu pertengkaran mereka.

.

.

Sasuke tidak bertemu Shion setelah itu. Wanita itu pergi dengan taksi dan ia sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak menghubunginya. Ia sudah memantapkan hatinya. Dan seandainya semua akan berjalan baik, ia akan kembali mengejar wanita itu. Itu pasti.

Sasuke melangkah memasuki lorong dan mendapati sosok Ibunya yang tertidur di pelukan sang Ayah dan juga keluarga dari pihak wanita yang masih terjaga sampai larut.

Kizashi menoleh ke arah sumber suara. Sosok Sasuke datang dengan jas hitam dan kemeja yang sudah ia ganti. Pria itu masih diam, rahangnya mengeras seiring langkah Sasuke yang semakin mendekat ke arahnya.

Sasuke mengambil tempat di hadapan Kizashi dan Mebuki. Wajah laki-laki itu terlihat … hancur?

"Aku akan bertanggung jawab. Aku janji apapun yang terjadi nanti, aku akan bertanggung jawab atas putri kalian. Ia tidak salah, aku yang salah. Aku terlalu bodoh sampai mengabaikan lampu merah yang menyala."

Mebuki hanya diam. Pelukannya semakin erat.

"Maafkan aku. Apapun aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku."

"Bahkan jika putriku tidak bisa berjalan lagi. Apa kau sanggup untuk menjadi kakinya?" Kizashi berujar pelan. Tatapan Fugaku kini mengarah padanya.

Sasuke menarik napas panjang. Ia menoleh ke belakang dan mendapati sang Ibu yang telah terbangun dari tidurnya.

"Apapun. Bahkan jika aku harus menjadi kakinya, matanya, telinganya. Aku lakukan."

Yang selanjutnya ia dengar adalah isakan Mikoto dari balik punggungnya.

.

.

Sasuke membatalkan seluruh rapat untuk hari ini. Para client penting juga terpaksa harus kembali untuk hari yang ditentukan. Mereka tidak bisa memaksa keadaan Sasuke yang masih berjaga dengan irisnya masih terbuka lebar di kursi tunggu rumah sakit.

Kedua orangtuanya sudah pulang untuk membersihkan diri bersama kedua orangtua wanita yang juga berpamitan pulang untuk beristirahat sejenak. Sang Ibu masih bersikeras untuk menunggu putrinya di sini dan Sasuke berhasil meyakinkannya kalau ia akan menjaga putrinya di sini sampai mereka kembali.

Dokter yang memeriksa baru saja keluar dari ruangan. Wajahnya terlihat lega dan bisakah ia berharap lebih?

"Pasien sudah melewati masa kritis," Sasuke menghembuskan napas lega. "Tapi ada beberapa masalah."

Sasuke mengerutkan dahinya. "Ia mengalami kelumpuhan untuk sementara waktu dan juga … kerusakan rahim yang cukup fatal karena tabrakan yang cukup ngeras mengenai perutnya."

Sasuke merasa jiwanya ditarik dari raganya saat ini juga.

"Maksudmu? Ia tidak bisa hamil lagi?"

Dokter itu mengangguk. "Kemungkinan besar, ya, sampai beberapa tahun ke depan atau bahkan selamanya. Dan untuk sementara, ia juga tidak bisa berjalan dengan normal. Jika ia sadar, ia harus terus duduk di kursi roda."

Sasuke memijit pelipisnya.

"Apa kau suaminya?"

Sasuke menggeleng pelan.

"Aku mengerti. Kalau begitu sampai nanti."

Dokter itu pergi meninggalkannya. Sasuke melangkah menuju jendela kecil dan melihat bagaimana kondisi wanita malang itu. Alat-alat kehidupan masih menancap di dalam tubuhnya. Ia tidak bisa masuk ke dalam karena dokter yang melarangnya.

Seandainya ia ada di posisi wanita itu, ia tidak tahu harus berjuang untuk hidup atau tidak.

Sasuke melihat ponselnya. Tidak ada panggilan masuk atau pesan dari Shion. Wanita itu benar-benar membencinya. Setelah ia membatalkan semua pernikahan mereka dan wanita itu akan pergi dari hidupnya.

Tubuhnya merosot jatuh ke bawah dengan kepalanya yang ia sembunyikan ke dalam lipatan kakinya. Sasuke akan menangis sekarang juga kalau ia bukanlah seorang laki-laki yang terkenal dingin di kalangan orang-orang sekitarnya.

.

.

Mebuki datang bersama Kizashi. Wajah wanita itu terlihat lebih baik dari sebelumnya. Meskipun ia masih belum ingin tersenyum atau menanggapi Sasuke dengan baik.

Mebuki mengambil tempat di samping Kizashi yang duduk di kursi tunggu berhadapan dengannya. Sasuke menarik napas panjang. Ia telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk memikirkan segalanya. Resiko yang ia ambil sebagai laki-laki dewasa dan penuh tanggung jawab.

Sasuke melangkah dan berlutut di depan Mebuki. Iris kelamnya memandang netra Mebuki yang membengkak karena menangis selama seharian penuh.

Sasuke menarik napas. Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Kizashi yang duduk tegak menunggu kata-katanya.

"Aku akan menikahi putri kalian. Apa kalian bersedia memberikan restu untukku?"

.

.

.

Tbc.

.

.

.

A/N:

YESSS, FULL OF DRAMA AND SADNESS AGAIN. HAHA. Yaampun, saya mau nangis kalau denger lagu yang sedih nyes gitu /apahubungannya

Pastinya fic ini bakalan nguras emosi lebih dari Beautiful Disaster. Gatau, saya mau banget buat fic dimana dua karakter yang berbeda sama-sama hancur. Sama kayak Beautiful Disaster but this is too way different.

Fic ini inspirasinya darimana? Oh, saya baru saja habis dari rumah sakit dimana adik saya dirawat dan jengjeng saya lihat ada pasien yang jadi korban tabrak lari dan ada laki-laki yang ternyata si penabrak. Untuk detailnya, saya gabegitu paham. Saya cuma lihat saja dan setelah itu saya pergi. (saya gabisa lihat darah soalnya)

OIYA SAYA GAJADI HIATUS HEHEHEHEHE. WELCOME TO FFN AGAINN! Hikz saya terharu banget liat kalian yang kasih semangat buat saya. Dukung saya apapun itu. Mungkin saya bakalan sering nulis di sela-sela kesibukan saya sebagai mahasiswa. Terima kasihhh *peluk satu-satu*

Love

Delevingne