Aku tak sebaiknya di hatimu

Tiap waktu kita habiskan

Dan aku ingin kau tahu apa kebenarannya

Tapi terkadang ini membuatku merasa begitu sakit, oh tidak

Aku hanya tak bisa mengatakannya padamu

tidak, aku tak ingin

.

.

.

.

Pierce by : One Ok Rock

Naruto : by Masashi Kishimoto

Warning : AU, OOC, TYPO(S), EYD, ETC

Pairing : HinaSasu / SasuHina

Prequel/Sekuel dari Never Be Alone

Genre : Hurt&Comfort

Don't Like Don't Read

Happy Reading

.

.

.

.

.

.

.

"Apa yang kau lakukan di sini?!"

.

.

.

.

Aku bertanya panik melihat Sasuke berada di dalam kamarku di saat aku sedang tak ada di dalamnya seperti ini, terlebih lagi ia tengah memegang sebuah buku. Takut dan panik aku segera menghampirinya. Sasuke menengokkan sedikit kepalanya ke belakang untuk melihatku yang tengah berjalan dengan tergesa menghampirinya. Setelah sampai tepat di depannya, aku langsung dapat melihat dengan jelas buku apa yang tengah ia pegang, buku itu terbuka pada halaman awal nya. Sasuke benar-benar telah membuka buku itu. Buku berukuran sedang dan agak memanjang dengan sampul biru muda dan memiliki hiasan bunga-bunga di depan covernya. Buku diary ku!

"Apa yang sedang kau baca Sasuke-nii?!" Aku langsung menarik paksa buku itu dari tangan Sasuke. aku tak menyangka Sasuke akan masuk ke dalam kamarku selain pagi dan malam hari saat ia menyuruhku tidur, seperti ini. Terlebih di saat aku tidak berada di dalamnya. Yang lebih membuatku tak menyangka adalah Sasuke telah membaca seperempat buku diary yang sangat ku jaga itu. Aku selalu menyimpan buku itu di dalam tumpukan buku-buku tebal mata pelajaranku, sehingga keberadaannya pastilah sangat tak terlihat kecuali jika kau memang berniat untuk mencarinya. Jadi, apakah Sasuke memang benar-benar berniat untuk mencarinya?

"Entahlah." Jawabnya cuek tak sesuai dengan kenyataannya. Padahal aku sangat yakin Sasuke tau dengan jelas bahwa buku itu adalah buku diary milikku. Bahkan hadiah yang beberapa tahun lalu ia berikan.

"Kau tak perlu khawatir aku baru membaca halaman awalnya saja. Dan tak ada sesuatu yang penting di sana." Katanya lagi. Semoga saja ia memang tak berbohong mengatakan baru membaca halaman-halaman awal buku ini.

"Kalau begitu, silahkan keluar dari kamarku Nii-san." Kataku kemudian, kedua mataku telah nampak berkaca-kaca. Perasaan takut dan panik masih hinggap di dalam diriku.

Tanpa berkata apapun dan bagaikan tak mempunyai rasa bersalah ia langsung melenggang pergi keluar kamar ini. Setelah pintu kamar benar-benar tertutup dan sosok Sasuke telah menghilang di baliknya tangisku langsung pecah. Air mata yang sempat terbendung beberapa saat lalu, kini berlomba-lomba untuk keluar dari kedua mataku.

Aku takut, benar-benar takut. Aku takut Sasuke berbohong mengatakan hal itu. Aku takut jka Sasuke telah membaca buku ini hingga halaman yang terakhir kali ku tulis. Aku takut, takut sekali Sasuke tau rahasia yang telah lama ku simpan. Aku takut.

.

.

Aku memang tak seharusnya berada di hatimu

Meskipun sebenarnya aku ingin kau mengetahui kebenarannya

Tapi terkadang itu membuatku merasa begitu sakit.

Tidak!

Aku hanya tak bisa mengatakannya padamu

Tidak, aku tak ingin..

.

.

.

.

.

Libur panjang akhir semester telah tiba.

Hari yang sangat di tunggu-tunggu oleh semua murid di berbagai sekolah. Hari-hari yang akan di manfaatkan semua orang untuk melakukan hal-hal menyenangkan bersama keluarga, saudara, atau bahkan teman-teman sebaya. Termasuk diriku sendiri. Setelah aku memergoki Sasuke yang berada di dalam kamarku saat itu. Tak ada sesuatu pun yang berubah, Sasuke tetap bersikap seperti biasanya –seperti biasa setelah insiden dengan Gaara-kun, membuatku sedikit merasa lega karena ku yakin Sasuke tak berbohong mengatakan bahwa dia tak membaca buku itu sampai halaman terakhir.

Kami bertingkah seperti biasanya di depan ayah dan ibu. Menghilangkan sedikit kecurigaan mereka akan hubungan kami yang sesungguhnya sedang merenggang. Sasuke tidak bersikap aneh dan cuek lagi seperti beberapa waktu sebelumnya ia sangat baik dan memperlakukan aku sebagai adik di depan ayah dan ibu. Dan aku sangat menikmati momen-momen keluarga seperti ini.

Meski nyatanya ia akan bertingkah dingin lagi saat ayah dan ibu menghilang dari jangkauan kami.

.

"Kaa-san, aku ingin membersihkan diri dulu." Kataku sebelum pamit kepada Kaa-san saat tengah membntunya menyiapkan makan malam.

"Baik, nanti Kaa-san panggil ya jika semuanya sudah siap." Kaa-san memberiku izin sembari tersenyum manis kepadaku.

Aku bergegas menuju ruangan yang menjadi kamarku di lantai dua. Berniat untuk mandi, tetapi ku urungkan niat saat melihat matari di sore hari yang terlihat indah di balik jendela yang menembus ke balkon depan kamarku. Dan aku memutuskan untuk memandangi keindahan ini di balkon kamar barang sesaat.

Aku berdiri menghadap ke arah matahari yang terlihat bulat besar berwarna orange. Matahari yang sepertinya siap untuk terbenam dan kembali ke singgasananya. Saat sedang asyik memandang tiba-tiba aku merasakan kehadiran orang lain di samping kiriku. Dan kemudian ku dapati Sasuke lah yang tengah berdiri di sana. Memandang ke langit jingga yang sama, mengikuti apa yang tengah aku lakukan. Meskipun sedikit heran akan kehadirannya yang tiba-tiba seperti itu, aku berusaha untuk bersikap biasanya sampai akhirnya suara dingin dan datar Sasuke terdengar.

"Ada yang aneh." Katanya

"Hm?"

"Ada yang aneh dengan buku diary milikmu."

'deg'

"Ap-Apa ma-maksudmu Nii-san?" tanya ku sedikit takut

"Di setiap halaman yang sempat ku baca, hanya ada dan selalu nama ku yang kau tulis."

"Aku berbohong saat itu."

"Aku telah membaca semuanya, hingga halaman terakhir yang kau tulis."

"Aku lega, sekarang aku telah mengetahui kebenarannya."

"Bahwa kau juga mencintaiku kan Hinata?" aku terus memperhatikannya saat ia berbicara. Entahlah diriku sendiri juga merasa lega saat Sasuke akhirnya mengatakan bahwa ia tau kebenaran itu. Tetapi, hatiku tiba-tib bergemuruh. Seakan tersadar akan sesuatu yang sangat penting dan seharusnya tak boleh ku lupakan. Namun, sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa menyangkal atau membatah kata-kata yang barusaja terucap dari bibir Sasuke. Karena semua yang di katakannya memang lah suatu kebenaran.

Suatu kebenaran bahwa aku mencintainya.

"Maaf." Hanya itu yang dapat ku katakan, dan aku berniat untuk langsung pergi meninggalkan tempat itu dan segera menjauhi Sasuke. Namun sebelum itu, Sasuke keburu menarik pergelangan tanganku dengan keras dan membuatku langsung kembali berada di posisi semula . Ia mengubah posisi berdirinya menjadi menghadap ke arahku. Kemudian kedua tangannya beralih memegang di masing-masing sisi pinggangku dan mencoba menarikku untuk sedikit lebih mendekat ke arahnya sontak aku langsung menaruh kedua tanganku ke depan dadanya. Mencoba mendorongnya untuk menjauh.

Namun terlambat.

Sasuke telah berhasil,

Berhasil mempertemukan kedua bibir kami.

Dan aku hanya bisa membelalakan mataku tak percaya dengan apa yang saat ini tengah terjadi. Terus mencoba untuk mendorong Sasuke menjauh, namun Sasuke seperti tak peduli. Ia bahkan mengeratkan pegangannya di pinggangku. Memejamkan matanya dengan paksa seakan tak memperdulikan air mata yang kini telah membuat anak sungai di kedua pipiku.

.

.

.

.

Setelah beberapa saat berlalu Sasuke akhirnya melepaskanku perlahan, kemudian menatap sendu ke arahku yang saat ini tengah menangis sambil menutup mulut dengan kedua tanganku masih tak benar-benar percaya dengan apa yang barusaja terjadi. Sasuke menundukan kepalanya dalam-dalam, sepertinya ia baru menyesali apa yang telah ia lakukan. Ia baru saja mencium bibirku. Mencium bibir adiknya.

"Sa-Sa-Sasu-" Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja Sasuke lakukan. Air mata terus mengalir deras menuruni pipiku. Aku menutup mulut dengan kedua tanganku mencoba untuk menahan isakan yang keluar dari mulutku. Ingin sekali rasanya memanggil nama Sasuke namun nayatanya aku tak sanggup. Hening menyapa kami, hanya isakan kecilku lah yang terdengar dan Sasuke hanya diam saja mendengarkan.

"Maaf." Ujar Sasuke dengan suara lirih. Akhirnya ia mengangkat kepalanya dan mentapaku dalam. Meraih kedua tanganku dan kemudian ia berbicara kembali,

"Maafkan aku Hinata, tapi kita tak bisa terus seperti ni."

"Ta-tap-tapi kau tau kita-" Ucapanku belum sempat terselesaikan karena Sasuke keburu memotongnya dengan suara yang cukup keras.

"Aku tau! Aku paham dan sangat mengerti! Tetapi tetap saja. Aku mencintaimu dan kau juga sama. berhentilah berbohong Hinata!" Aku menunduk, menyembunyikan wajahku. Isak tangis masih setia terdengar menemani kami. Diam-diam aku membenarkan ucapan yang barusan Sasuke katakan.

"Ta-tapi kita tetap ta-tak mungkin-"

'PRANG'

Kemudian suara pecahan beling dan pekikan tertahanlah yang kemudian kami dengar selanjutnya.

"Kaa-san!"

"Kaa-san!?"

.

.

.

.

.

Hal yang kutakutkan akhirnya menjadi kenyataan. Ibu mendengar apa yang kami berdua bicarakan di balkon depan kamarku tadi. Ia benar-benar kaget dan reflek menjatuhkan piring-piring berisi makanan ringan serta gelas berisi teh yang berniat ia bawakan untukku.

Ibu menutup mulutnya tak percaya dan berlari meninggalkan kamarku dengan cepat. Menuruni satu persatu anak tangga dengan tergesa sambil menangis, yang kemudian tingkahnya itu di lihat oleh ayah.

"Satomi? Satomi, hei ada apa?" ayah mengguncang-guncang bahu ibuku yang masih terisak. Ibuku masih mencoba menenangkan dirinya. Aku dan Sasuke hanya bisa terdiam menyaksikan. Tak berani melakukan apapun, hanya diam dan menunduk menanti dengan resah kalimat yang nantinya akan ibu katakan kepada ayah.

"Sa-Sasuk-kun hiks hiks..."

"Ada apa dengan Sasuke?!" suara ayah dingin terdengar menggelegar. Dalam hati aku menjerit, berteriak-teriak, serta berdoa semoga ibu tak mengatakan apapun. Takut, panik, kecewa, sedih semua emosi bercampur di kepalaku saat ini, dan di saat aku tengah kalut akan diriku sendiri, aku merasakan Sasuke menggenggam tanganku dengan erat. Mencoba untuk menenangkanku, ia menatapku dengan wajah datarnya, menatapku dalam-dalam seolah mengatakan bahwa ini akan baik-baik saja.

"Sa-Sasuke da-da-dan Hi-Hinata.. me-mereka berdua sa-sa-saling hiks hiks... saling men-mencintai hiks hiks.." susah payah dan terbata-bata sambil terisak akhirnya ibu mengatakannya di depan ayah meskipun suaranya tak begitu terdengar jelas. Ayah yang sedikit heran langsung menatap ke arah kami. Ia memandang kami berdua dengan alis mengkerut seperti masih tak mengerti maksud dari semua ini.

"Mencintai? Apa maksudnya? Wajar kalau mereka-"

"Bu-bukan! bukan itu yang kau maksud. Me-mereka berdua.. mereka.."

Ibu menyela kata-kata ayah dengan cepat, mencegah ayah menyelesaikan kalimatnya, membuat ayah langsung terdiam dan tiba-tiba bahunya menegang. Seakan tersadar akan sesuatu, ayah menghampiri kami dan menarik kerah baju Sasuke. Menyeretnya menjuah dariku, membawanya pergi masuk ke dalam ruang kerjanya menutup pintu itu dengan kencang setelah sebelumnya menyuruhku untuk mengantar ibu ke dalam kamar.

Dan aku tak tau apa yang terjadi pada Sasuke selanjutnya.

.

.

.

.

Aku membawa ibu masuk ke dalam kamarnya. membaringkannya di ranjang dengan perlahan dan meminumkannya air putih yang tersedia di nakas samping ranjang. Ibu meminumnya perlahan, kemudian ia membaringkana dirinya di atas kasur. Ia menyuruhku mendekat dan aku duduk di samping ranjangnya, ia mengelus surai indigo ku lembut dan aku kembali menangis.

"Ma-maaf, maafkan aku Kaa-san." Aku hanya bisa terus menangis di samping Kaa-san dan mengucapkan kata maaf berkali-kali.

Kaa-san tidak mengatakan apapun, tetapi ia terus mengelus puncak kepalaku lembut penuh dengan kasih sayang.

.

.

.

.

"sshh, pelan-pelan." Sasuke meringis merasakan perih pada luka memar pemberian ayah yang tengah ku obati. Aku memutuskan untuk melihat ke adaan Sasuke setelah ayah masuk kedalam kamar ibu dan menyuruhku keluar dengan nada marah.

"Ma-ma-maaf." Memelankan usapan yang ku lakukan di wajah Sasuke yang babak belur sambil menatapnya sendu, menahan air mataku agar tak kembali jatuh membasahi pipi.

Sasuke mengalihkan wajahnya, tak kuasa menatap ke arahku yang tampak berkaca-kaca ini.

"Maaf." Sasuke berujar tanpa memandangku yang berada tepat di depannya. Ia masih memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Tidak, k-kau tak perlu meminta maaf." Aku menyentuh wajah memar Sasuke . Membelainya lembut sambil terus menatap Sasuke yang masih saja memailngkan wajahnya.

"Hn."

"A-apa masih sakit? Ke-kenapa ayah memukulmu sa-sampai seperti ni?" Pertanyaan bodoh yang takut-takut ku ajukan untuknya. Meskipun sebenarnya aku telah mengetahui apa penyebab semua ini. Aku hanya ingin tau lebih jelasnya.

Akhirnya Sasuke memutuskan untuk menatap ke arahku, kami berdua berpadangan beberapa waktu. Sebelah tangannya ia angkat untuk menyentuh tanganku yang masih berada di sebelah sisi wajahnya, ia menggenggam tanganku pelan.

"Aku mengatakan padanya Hinata. Aku mengatakan padanya bahwa kita berdua saling mencintai. Dan inilah hasil yang aku dapatkan."

Air mata itu akhirnya turun dari kedua mata Amatheysku, jatuh perlahan-lahan menuruni kedua pipiku hingga mengalir lebih jauh menyentuh lantai.

"Ma-maaf, ma-maafkan aku.. Ka-kau jadi harus seperti ini, ma-maaf."

Sasuke menggenggam tanganku lebih erat, mencoba menyalurkan ketenangan kepadaku .

"Lusa.. Aku akan berangkat ke Amerika." Sasuke mengatakannya dengan nada enggan yang terdengar jelas. Dan aku sempat tercekat beberapa detik mendengar kalimatnya barusan.

Beginikah akhirnya?

"Ya, se-sepertinya me-memang itu yang terbaik. Ki-kita be-berdua mem-memang ha-harus di pisahkan." Memang kata itu yang akhirnya ku pilih untuk kukeluarkan dari bibirku, tetapi sesungguhnya jauh di dalam hatiku aku tengah menjerit-jerut mendengar kalimat Sasuke barusan. Sungguh, aku tak ingin berpisah dengan Sasuke. Sangat tidak ingin! Aku menyayangi Sasuke, aku mencintainya! Tapi kenapa pada akhirnya kami harus di pisahkan? Kenapa akhirnya ketakutanku benar-benar menjadi kenyataan?!

Sasuke diam tak lagi mengeluarkan suara. Tangannya terus menggenggam tanganku yang lebih kecil darinya itu. Menggenggamnya dengan sangat erat seperti tak ingin melepaskannya.

Tanpa aku dan Sasuke sadari, sebenarnya ada seseorang yang tengah mengintip di balik pintu.

.

.

.

.

.

Aku terbangun dari tidur lelapku, terbangun tanpa di sebabkan oleh sesuatu apapun. tirai jendela di kamarku masih tertutup rapat. Sepertinya tak ada orang yang mencoba untuk membangunkanku pagi ini. Kemudian aku melihat ke arah jam diding, jarum jam sudah menunjukan bahwa saat ini sudah pukul 9 pagi. Rupanya hari ini aku kesiangan, aku bangkit dari posisi nyamanku dan langsung duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa yang sempat menghilang saat aku tertidur. Setelah di rasa lebih baik, aku menyingkap selimut tebal yang menutupi kakiku dan bergegas berbenah diri ke kamar mandi.

.

.

Beberapa saat berbenah di dalam kamar mandi, kini aku telah siap dengan setelan rumahan yang biasa ku pakai sehari-hari. Rambut panjangku, ku biarkan tergerai di punggungku. Bersiap untuk keluar kamar, menghadapi hari ini, satu hari yang pasti akan sulit ku lalui.

.

'cklek'

'cklek'

'cklek cklek cklek'

Berkali-kali aku mencoba memutar kenop pintu tetapi tetap saja pintu itu tak mau terbuka. Tiba-tiba panik melandaku. Aku kembali mengetuk-ngetuk pintu itu lebih keras bahkan menggedor nya. Mencoba memanggil-manggil siapapun yang ada di rumah ini, namun tak satupun dari mereka menjawab.

"Kaa-san!"

"Tou-san!"

"Nii-san!"

"Siapapun yang mendengarku, to-tolong buka pintunya!"

Tetap tak mendapat jawaban. Aku terduduk di balik pintu sambil menangis dalam diam. Aku menebak siapa yang mengunci pintu kamarnya ini dari luar pastilah ayahku. Ayah pasti sengaja mengunci ku di kamar ini agar aku tak bisa bertemu dengan Sasuke.

'tok tok tok'

"Hinata?" ketukan kecil di sertai suara yang pelan terasa. Suara itu terdengar beberapa menit setelah aku menangis. Kemudian aku bangkit dan menempelkan telinga di pintu untuk mendengar suara siapa yang telah memanggilku

"Hinata?" Sapa suara yang ku kenali

"Kaa-san! Kaa-san kau kah itu" Tanyaku.

"Ya sayang, ini Kaa-san." Jawab suara Kaa-san di balik pintu

"Kaa-san tolong buka pintunya, aku ingin keluar." Aku meminta kepada Kaa-san sembari memutar-mutar kenop pintu meskipun aku tau itu sama sekali percuma di lakukan.

"Gomen sayang, ayahmu yang menyimpan kunci nya." Suara Kaa-san terdengar sangat sedih

"Lalu dimana Tou-san saat ini, Kaa-san?" Tanyaku.

"Ia tengah pergi dengan kakakmu sayang, maaf kan Kaa-san tidak bisa membantumu." Jelas Kaa-san lagi.

"Baiklah Kaa-san, tak apa. Aku mengerti apa maksud Tou-san. Aku akan kembali tidur jika begitu."

"Sayang, Kaa-san akan menemanimu di sini. Kaa-san tak akan pergi kemanapun."

"Tak perlu Kaa-san, Kaa-san bisa kembali beraktifitas, a-aku.. aku akan kembali tidur. Jaa na."

"Hinata.." Aku mendengar suara Kaa-san yang berada di balik pintu menyebut namaku dengan lirih, namun aku tak memperdulikan dan memilih kembali menangis.

.

.

.

.

.

.

Berkali-kali tertidur dan berkali-kali terbangun di atas ranjang selama dua belas jam hingga sampai saat ini pun aku masih berada di dalam kamarku yang sepi. Ayah benar-benar tak membukakan pintu kamarku barang sebentar. Mengirimkan makanan untukku pun tidak. Tapi, entahlah mungkin saja saat aku tertidur ada seseorang yang datang kemari. Tapi, entahlah aku tak tau.

Malam yang gelap telah datang menggantikan siang hari yag terang, aku terbangun dari posisi tidur dan berjalan menuju jendela yang berada di samping pintu menuju balkon depan kamar. Menyingkap tirai jendela kemudian langsung mendapati langit malam yang terlihat indah. Langit malam yang gelap itu kini terlihat sangat ramai. Bulan terlihat seperti tengah berbahagia dengan menampakkan wujud bulat penuhnya dengan cahaya yang terang benderang. Bintang-bintangpun seakan mengerti perasaan bulan mereka ikut meraimaikan langit dengan cahayanya yang berkelap-kelip. Lama memandang ke arah langit itu kemudian mendengus sedih, entah mengapa aku merasa langit seperti tengah mengejek diriku yang tengah kesepian.

'cklek'

Suara pintu yang terbuka terdengar memecah kesunyian di dalam kamar, kemudian aku mendapati Sasuke berdiri di depan pintu yang tengah menutupnya kembali. Ia memasukan kunci yang sempat di pegangnya ke dalam saku celana yang tengah ia kenakan.

"Nii-san?" aku bertanya ragu, mengapa orang yang pertamakali ku lihat memasuki kamar menemuiku jusru adalah orang tak boleh ku temui?

"Hn." Sasuke berjalan mendekat ke arah dan berdiri tepat dibelakangku, lalu ia menengadahkan kepalanya untuk memandang ke langit yang ramai itu. Aku pun segera membalikkan tubuhku dan ikut memandang ke langit.

"Tou-san.."

"Tou-san yang mengizinkan aku kesini." Seakan mengerti Sasuke dengan cepat memotong ucapanku.

"Be-benarkah Tou-san y-yang me-mengizinkan Sa-sasuke Nii-san ke sini?" Aku ragu dengan jawaban yang Sasuke berikan dan mencoba bertanya untuk memastikan.

"Ya. Untuk yang terakhir kalinya."

'untuk terakhir kalinya ya' pikirku sembari tersenyum sedih. Apakah benar esok adalah hari terakhirku dapat bertemu dengan Sasuke?

.

.

.

.

Hening tercipta di antara kami berdua. Aku dan Sasuke sama-sama terdiam sambil memandang ke langit dan memikirkan berbagai macam hal di kepala kami masing-masing. Sasuke masih berdiri tepat di belakangku dan aku masih bertahan di dalam posisi semula sebelum Sasuke datang. Aku sama sekali tak berniat untuk mengubah posisi dan menjauh dari Sasuke yang kini sangat dekat di belakangku.

"Sudah malam Hinata, sebaiknya kau tidur." Akhirnya Sasuke yang memecah keheningan itu dan menyuruhku untuk segera tidur.

"A-aku sudah tidur seharian ini Nii-san, sebaiknya kau yang ti-tidur. Bukankah kau akan berangkat ke A-Amerika besok." Aku menyahut dengan suara lirih tanpa berniat untuk mengalihkan pandanganku dari gelapnya malam.

"Baiklah, bisakah aku menginap disini, malam ini?" Sasuke bertanya sambil membalikan tubuhku hingga berhadapan dengannya. kini aku dapat melihat wajah Sasuke yang sangat memprihatinkan. Aku menyentuh dengan lembut wajah putihnya, yang kini terlihat lebih pucat dari biasanya, di tambah dengan lingkaran hitam –kantung mata yang sangat kentara di bawah matanya. Tersenyum sedih kemudian aku mengangguk meng iyakan.

.

Kami berbaring di atas ranjangku di balik selimut tebal yang hanya menutupi sebagian tubuh kami. Aku meringkuk menyamankan posisi tidurku dengan Sasuke yang kini tengah memelukku. Kami hanya membaringkan tubuh kami tanpa melakukan apapun, hening kembali tercipta dan aku mencoba untuk menikmati momen yang terjadi saat ini. Mencoba mengenyahkan segala pikiran-pikiran menyedihkan yang selalu hinggap di dalam kepalaku sejak beberapa saat lalu. Aku mencoba untuk menikmati kehangatan yang hanya sesaat ini dengan memejamkan kedua mataku.

.

.

.

.

.

"Hinata?"

Aku kembali membuka kelopak mata saat mendengar suara Sasuke menyebut namaku.

"Ya"

"Kau belum tidur?" Tanya nya kemudian dan aku hanya tersenyum mendengarnya.

"Belum, Nii-san"

"Banyak hal yang ingin kukatakan padamu, tetapi sepertinya tak akan cukup untuk ku katakan seluruhnya."

"Katakan Nii-san, katakan. A-aku akan mendengarkan."

"Aku hanya ingin berpesan sebelum aku pergi-" jeda bebrapa detik sebelum Sasuke melanjutkan.

"Hinata, aku tak pandai dalam berkata-kata. Kau tau itu kan?" aku mengangguk kecil sambil mencoba menahan tangis yang sudah membendung dengan cepat. Kemudian ia melanjutkan

"Jadi, aku hanya akan mengatakan intinya saja."

Aku menunggu,menunggu apapun yang ingin Sasuke katakan kepadaku. aku tak bertanya dan tak menagih, hanya terus menunggu dalam diam, karena aku tau apapun yang akan Sasuke katakan nantinya , itu pastilah hal yang menyedihkan untuk di dengar olehku.

Kata-kata perpisahan.

"Aku mungkin jauh, tetapi tak benar-benar pergi," Ku rasakan Sasuke mengelus-elus puncak kepalaku dengan lembut sambil terus berbicara.

"Jika kau rindu aku, cukup pejamkan matamu dan ingatlah bahwa kita masih berbaring di bawah langit yang sama."

Setitik air mata lolos dari pelupuk mataku dan aku langsung memeluk Sasuke erat. Meyembunyikan seluruh wajahku di dalam dada bidang Sasuke. Aku menangis tanpa mengeluarkan suara. Kata-kata yang barusan Sasuke katakan sungguh membuatku ingin menangis degan keras lagi hari ini.

Aku tau Sasuke sadar bahwa aku tengah menangis, ia mencoba menenangkanku dengan terus mengelus pelan surai indigo milikku.

"A-ap-apakah kau akan benar-benar pergi besok Nii-san?" dengan suara yang lirih dan serak akupun bertanya.

"Ya, Hinata. kau harus ikut mengantarku ke bandara besok. Jadi tidurlah sekarang."

"Sasuke Nii-san, tolong jangan tinggalkan aku sampai aku terbangun esok hari."

"Ya. Aku akan menemanimu malam ini, Hinata. jadi tidurlah."

.

.

.

Cuz we, we can see how it's going to end

(karena kita, kita tau bagaimana ini berakhir)

But i got my love for you

(tapi, aku memiliki cintaku untuk mu)

Moshimo konomama kimi wo wasurete shi mattara

(jika aku hanya bisa melupakanmu)

Nidoto ai suru koto mo nai kana

(dapatkah aku mencintai lagi?)

Boku wa hontouni sore de kokoro kara shiawase to ieru kana

(akankah aku mampu memanggil kebahagiaan itu dari dasar hatiku?)

Yes, we alwasys wish tonight could last forever

(ya, kita selalu berharap malam ini akan bertahan selamanya)

I can be your side.

(aku bisa di sisimu.)

.

.

.

.

.

.

.

.

"Hinata sayang, bangunlah. Kau harus bersiap. Sasuke akan berangkat satu jam lagi."

Aku merasakan sapuan halus pada tubuhku di sertai suara halus mengiringinya menyapa indra pendengaranku, membuatku dengan enggan memaksa untuk membuka mata secara perlahan,mengerjap-ngerjapkannya sampai penglihatanku terlihat jelas sepenuhnya. Sebelum itu, aku meraba-raba tepat di sampingku namun tak menemukan apa yang ku cari. Ah, rupanya Sasuke telah pergi meninggalkanku sebelum aku membuka mata. Tapi, 'apakah Kaa-san yang menyuruh Sasuke untuk bangun duluan ya?' tanya ku dalam hati.

"Baik, Kaa-san. Aku akan bersiap sekarang."

"Kaa-san tunggu di bawah, tolong jangan terlalu lama ya sayang." Kaa-san kemudian mencium dahiku sekilas dan bangkit berdiri kemudian pergi meninggalkan kamarku, seilas aku dapat melihat wajah Kaa-san yang menatapku sedih.

Setelah berdiam diri sebentar aku bergegas menyiapkan diri untuk mengantar kepergian Sasuke ke Amerika.

.

.

.

.

.

.

.

Semua telah siap dengan diriny masing-masing. Ayah dan ibu telah berpakaian rapih begitupula dengan Sasuke. ia membawa sebuah tas berukuran sedang di belakang punggungnya dan koper besar berada di tangan kanannya. Sedangkan aku, aku hanya memakai dress biru muda selutut dengan flatshoes berwarna kream yang melekat di kedua kakiku. Sasuke sama sekali tak menyapaku saat kami berpapasan tadi, bahkan Sasuke tak memandang ke arahku juga. Namun, aku tak mempermasalahkan itu bahkan aku tak berniat bertanya tentang kejadian tadi pagi.

Kami berempat bergegas berangkat dengan menaiki mobil yang dikendarai oleh ayah. Aku duduk di depan di sebelah kursi pengemudi. Sedangkan, Sasuke dan ibu berada di kursi belakang. Mobil yang tengah melaju itu terasa begitu hening bagiku. Tak ada yang berniat membuka suara sedikitpun. Aku melihat dari kaca depan Sasuke yang tengah melihat datar ke luar jendela dan ibu yang tengah diam sembari menunduk sedih. Akupun melakukan hal yang sama seperti Sasuke, memandang ke luar jendela melihati jalanan dan pohon-pohon yang kami lalui sembari memikirkan banyak hal. Ayah, hanya memandang ke depan, ia tetap fokus menyetir dengan wajahnya yang stoik.

.

.

.

.

.

.

.

Setelah beberapa menit berada di dalam mobil akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Yaitu Bandara International Konoha. Secara berbarengan kami semua turun dari dalam mobil dan ayah membantu Sasuke mmengeluarkan barang-barang yang nantinya akan Sasuke bawa ke Amerika. Setelah itu, kami berjalan dengan ayah dan Sasuke berada di depan aku dan ibuyang berada di belakangnya. Aku merasakan kedua kakiku seperti berat melangkah, aku terus berusaha melangkahkan kaki ku ini untuk mengantar dan melihat Sasuke untuk yang terakhir kalinya. Menggenggam erat tangan ibuku, mencari pegangan untuk mempersiapkan hal buruk yang sebentar lagi ku lewati.

.

.

"Sasuke-kun, tolong jaga kesehatanmu sayang, jangan terlalu banyak begadang. Makanlah secara teratur, jangan lupa untuk sering-sering memberi kabar kepada kami di sini. Dan ingat jangan merepotkan paman Obito di sana ya, sayang." Kaa-san memeluk Sasuke erat sambil mengucapkan pesan-pesan dan nasihatnya kepada Sasuke yang akan segera pergi meninggalkan keluarganya dan juga negara Jepang ini. Sasuke hanya merespon dengan anggukan pelan kemudian melepaskan pelukan sang ibu dan mencium pipinya.

"Jaga kesehatanmu, belajar yang benar. Jangan membuat repot siapapun di sana. Dan ingat jangan pernah membuat ulah!" Ayah memeluk Sasuke erat , memberikan pesan terakhirnya sebelum ia melepaskan anak lelaki yang sangat di sayanginya itu untuk melanjutkan studi di Amerika.

"Baik, Tou-san." Sahutnya pelan. Kemudian ku lihat Sasuke melirik ke arahku yang tengah memperhatikannya, kemudian ia tersenyum sedikit tetapi tak menghampiriku untuk sekedar mengucapkan kata-kata perpisahan. Aku hanya membalas senyuman Sasuke dan mencoba untuk menahan kakiku untuk tak melangkah mengejar Sasuke yang kini tengah berjalan menjauh dari kami. Sesak, rasa sakit di dalam dadaku semakin tak tertahankan.

Air mata mengalir dari kedua pelupuk mataku, jatuh mengalir melewati pipi. Isakan demi isakan yang ingin keluar coba ku tahan agar tak terdengar. Melihat Sasuke yang terus berjalan menjauh langkah demi langkah di lakukannya dengan pelan. Dan aku terus melihat nya, memperhatikannya, menatapnya sedih, sambil terus menggenggam erat tangan Kaa-san yang berada tepat di sebelahku. Kaa-san juga tengah menangis, aku tau ini semua memang sangat mendadak terjadi. Bahkan aku tak pernah berpikir semua akan berakhir seperti ini.

Sasuke semakin jauh dari pandanganku, aku menggigit bibirku keras, suara tangis ini aku tak sanggup menahanya, begitupula kakiku yang seakan memaksa untukberlari. Berlalri mengejar Sasuke, berlalri untuk memeluk Sasuke dan membawanya kembali. Namun, aku tak mungkin melakukan itu kan? ini semua sudah sangat terlambat bukan? pandanganku mengabur bersamaan dengan derasnya air mata yang terus merengsak keluar. Aku menunduk dalam-dalam dan kembali mendongak setelah mendapati Sasuke yang tengah berbalik, menjatuhkan semua barang yang ia bawa dan berlari ke arahku.

Seakan rantai yang mencegahku sedari tadi telah terlepas mengungkung aku langsung melepas genggaman tanganku pada Kaa-san. Aku berlari secepat yang aku bisa untuk menggapai Sasuke yang kini juga tengah berlari. Hingga akhirnya di satu titik kami berdua dapat bertemu, kami berdua saling menggapai. Menangkap tubuh lawan ke dalam pelukan. Pelukan yang erat, sangat erat sehingga rasanya tak ingin ku lepas.

Sasuke meletakan kepalanya di atas bahuku yang kecil, ia mendekapku, memelukku, ia menangis dalam diam sangat berbanding terbalik dengan aku yang kini tengah menangis tersedu-sedu. Isak-isakan yang sedari tadi ku tahan keluar kini tumpah seluruhnya. Aku memeluk Sasuke tak kalah erat dan tak peduli bahwa saat itu kami tengah menjadi pusat perhatian sekalipun.

Sesaat Sasuke melepaskan pelukannya, menatap kedua mataku yang telah membengkak karena menangis. Air mata terus mengalir memebuat anak sungai di kedua pipiku. Kemudian Sasuke mengecup dahiku lembut, dan sangat lama. Ia mencoba menyalurkan seluruh perasaan yang belum sempat ia curahkan seluruhnya kepadaku meski aku tau itu semua sangat tak cukup untuk menggambarkan perasaannya.

"Sa-Sa-Sasu hiks.. hiks.. Sasuke Ni.. Nii-san.." Sulit dan sangat berat aku berucap, mengeluarkan suaraku yang sangat serak itu, mencoba memanggil Sasuke.

"Ja-jaga ke-kesehatanmu ya, ja-jangan lupa makan yang teratur, pagi siang dan malam. Jangan terlalu sering ti-tidur terlalu larut itu tak baik u-untuk kesehatanmu. Da-dan jangan lupa u-untuk mandi setiap hari agar tu-tubuh mu tetap se-segar dan wa-wangi. jangan lupa u-untuk me-me-membawa bekal karena ma-makanan di sana tak be-begitu baik jika terlalu se-sering di ko-konsumsi. Ja-jangan lupa untuk... hiks.. untuk.. hiks.." banyak, banyak sekali yang mau ku katakan padamu Sasuke, namun aku tak bisa. Tak akan cukup waktu bagi kita untukku mengucapkan semua pesan dan semua yang aku rasakan padamu saat ini. Aku tak sanggup, sungguh benar-benar tak sanggup. Mengapa ini semua harus terjadi kepada kita Sasuke?

Waktu yang terus berjalan kini harus memisahkan kami, jadwal keberangkatan pesawat yang akan Sasuke tumpagi nantinya tinggal beberapa menit lagi. Dengan sangat terpaksa kami harus menyudahi perpisahan ini. Maka dengan berat hati aku mencoba melepaskan pelukan itu dan menghapus sedikit air mata yang mengalir di pipi Sasuke.

"Aku berjanji akan melakukan semua pesan yang kau sampaikan Hinata, begitupula pesan ibu dan ayah, aku berjanji akan melakukannya. Sekarang aku hanya ingin berpesan satu saja hal padamu. Jangan pernah lupakan aku! Jika kau ingin mencari kekasih, carilah yang lebih tampan dan keren dariku Hinata. kau harus janji.." Suara yang biasaya terdengar dingin dan tajam itu kini terdengar serak dan sangat menyedihkan, ini sungguh-sungguh bukan seperti Sasuke yang biasanya. Aku menanggapi dengan respon seadanya yang ku bisa. Dan tersenyum miris lah yang hanya bisa ku lakukan untuk saat ini.

"Hai, Nii-san. Se-selamat tinggal.." aku melepaskan tanganku dari pipinya dan mundur beberapa ke belakang, menjauh sedikit demi sedikit dan akhirnya berbalik, berjalan dengan sangat perlahan menuju tempat di mana ayah dan ibu yang tengah menunggu. Aku berjalan sembari sesekali menghapus air mata yag terus mengalir bagai tak mau berhenti itu. Dan aku memutuskan untuk belajar tersenyum, berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum dengan tulus, tersenyum tulus yang ikhlas layaknya aku bertekat untuk mengikhlaskan kepergian Sasuke ini.

.

.

.

.

.

.

.

.

'pada akhirnya kita tetap harus berpisah, perasaan ini memang tak seharusnya ada di antara kita berdua. Kita di takdirkan bertemu mungkin memang bukan untuk menjadi sepasang kekasih, melainkan sebagai saudara, sebagai keluarga. Sampai akhir pun aku akan tetap menjadi seorang adik yang tak mungkin bisa memilikimu. Walaupun begitu aku tak pernah menyesal mencintaimu. Dan ingatlah satu hal, meskipun kita tau bagaimana kisah ini berakhir, tetapi aku akan tetap dan selalu memiliki cintaku untukmu'.

.

.

.

.

.

FIN.

.

.

.

.

.

A/N:

Finally~

Bad ending gomeeeeennn..

Maaf banget buat beberapa orang yang minta ini di jadikan happy ending aku tak bisa mengabulkannya hiks. Karena fanfik ini memang awalnya aku buat untuk chapter awal atau bisa di bilang alurnya fanfik ku yang berjudul Never Be Alone itu, Cuma bedanya aku merubah sudut pandangnya yang tadinya memakai sudut pandang orang ke tiga, kini ku ganti dengan memakai sudut pandangnya Hinata. ya seperti itu maaf ya hehe..

Terimakasih banyak yang sudah berkenan mampir buat baca, follow, fav, review, silent reader (kalo ada) dan semuanya yang sudah kasih support, maaf gak aku sebutin satu-satu. Dan untuk Hanzama-san terimakasih sudah memberikan saran :D

Hm, ya sekian cuap-cuapku semoga kalian terhibur dengan fanfik yang kutulis ini meskipun bad/sad ending haha.

See you next time~

-Siskap906.