Love Is Like An Empty Bowl
By ChihaBlossom
Naruto © Masashi Kishimoto
Rate M
~enjoy~
Mobil melaju perlahan, membiaskan kehadiran penghuninya dalam diam, yang kentara hanya musik klasik mengudara menerobos gendang telinga laksana earworm yang lekat.
Naruto mengalihkan atensi pada kaca spion diatasnya, netranya menangkap refleksi Ibunya dan Hinata yang membayang dengan manis, keduanya saling menyandarkan bahu, mata mereka terpejam.
Sudut bibir Naruto mengangkat sedikit, ia tersenyum simpul.
Saphire nya kembali terfokus pada jalan berbukit di hadapannya, ia merencanakan liburan akhir pekan ini dengan matang, melihat pertunjukan kembang api di perbukitan Konoha, berlatar Monumen Konoha yang mengukir tiga wajah hokage menjadi pertunjukan menarik dan warna-warni pasti akan menyenangkan. Tentu saja dengan harapan meretas kekakuan antara keluarganya dan Hinata, semoga saja dengan liburan ini dia bisa meyakinkan ayahnya agar merestui pernikahannya dengan Hinata.
Semoga.
Suara berdehem Minato memecah kesunyian. Naruto yang sedikit melamun tiba-tiba terhenyak. Oh hampir saja ia lengah, ayahnya yang duduk disampingnya kembali menekuni surat kabar dalam diam. Tak biasanya ayahnya sediam ini, celotehnya tak terdengar sejak tadi. Biasanya ayahnya duluan yang memulai perdebatan konyol atau setidaknya mengobrol hal-hal ringan seperti menanyakan bagaimana pekerjaannya di kantor, atau bertanya tentang kabar Sakura. Ah benar, ayahnya telah kepincut dengan Sakura. Mungkin itulah alasannya ayahnya sedikit merengut ketika ia memutuskan mengajak Hinata dalam liburannya hari ini. Padahal ia belum mengenal Hinata lebih jauh, itu saja.
Lampu mobil semakin kentara, ciri jika malam mulai larut. Pohon-pohon dipinggir jalan semakin terlihat kabur karena penerangan tak cukup banyak diperbukitan itu. Naruto semakin waspada dibelakang kemudi, sedikit berhati-hati lantaran jalan semakin lama terlihat semakin kecil. Jalanan yang gelap juga membuat bulu kuduknya berdiri, ia takut jika sewaktu-waktu ada hantu menyeramkan dengan mulut robek menerkam nya dari depan seperti terlihat di film-film.
Sial. Dia jadi berfikir yang macam-macam.
Belum habis ketakutan Naruto, mobil tiba-tiba berguncang, seperti menggilas sesuatu. Sontak Naruto menginjak pedal rem, wajahnya pucat pasi.
Minato terlonjak, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling mobil kemudian menatap Naruto cemas. "Apa kita melindas sesuatu, Naruto?"
"S-sepertinya begitu, Ayah." Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Apa saja asal jangan hantu, kumohon. Pintanya dalam hati.
Hinata dan Kushina yang tertidur pulas kemudian terbangun karena guncangan tadi, khawatir jika ada sesuatu yang tidak diinginkan.
"Coba kau periksa." Minato buka suara tanpa tedeng aling-aling, tidak peka dengan apa yang dirasakan sang anak.
"T-tidak mau ayah."
Minato mengernyit heran, sama sekali tidak paham dengan tingkah aneh Naruto. Ia lalu membuka sabuk pengamannya.
"Sayang, ada apa ini?" Kushina yang terkejut namun masih diliputi kantuk belum bisa mencerna apa yang terjadi.
"Sepertinya kita melindas sesuatu," Minato mengalihkan pandangan pada Naruto yang masih mematung. "Ayo kita periksa, Naruto."
Naruto menggeleng cepat, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, air mata mulai menggenang dipelupuk matanya. Tidakkah ayahnya paham jika ia phobia hantu ? beri tekanan pada kata phobia, itu artinya dia bukan sekedar takut! tapi takut sekali!
Ya, benar.
Minato memutar bola matanya bosan. Tentu saja, ia baru sadar jika tempat segelap ini begitu menakutkan bagi sang anak, anaknya memang takut hantu. Tidak elit sekali phobianya itu, coba phobia yang lebih jantan. Takut kecoak terbang misalnya?
"B-biar aku saja yang periksa, paman." Ucap hinata malu-malu. Ia merasa ada yang tidak beres disini, sudah barang tentu ia harus membantu.
Minato, meskipun sedikit terkejut dengan keberanian Hinata yang berbanding terbalik dengan putranya lalu mengangguk. Ia dan Hinata kemudian membuka pintu mobil, lalu turun perlahan-lahan.
Desau angin yang meniup pepohonan melantunkan suara gesekan yang ganjil. Suhu udara yang dingin mengelus-elus kulit mereka, membuat keduanya meremang dan mengeratkan jaket yang mereka pakai.
Minato mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Gelap, terlalu gelap disana hingga ia harus menyipit untuk melihat semak belukar yang bergoyang-goyang diseberangnya. Seperti mengayun-ayunkan tangan mengajaknya menghampiri.
Suara binatang malam tak luput dari suasana mencekam itu, kadang terdengar koakan burung gagak atau kukukan burung hantu melenguh di sekeliling mereka berdua. Belum lagi suara anjing melolong dengan ringkih, seperti tengah memanggil sesuatu.
Hinata mengeluarkan ponselnya, mengaktifkan mode senter lalu mengarahkannya ke bawah mobil. Bayangan aneh terpantul dari sinarnya, perlahan lahan Ia dan Minato yang berada lima langkah di sampingnya melongok kebawah mobil.
Sesuatu tersangkut di bawah mobil itu, cukup besar hingga membuat guncangan bagi pengemudinya. Ia mengarahkan senternya semakin bawah, semakin memicingkan matanya demi melihat apa yang sebenarnya mereka lindas.
Hinata menempelkan satu tangannya ke tanah, kepalanya melongok semakin dalam ke bawah mobil, rambutnya yang panjang semakin terurai menyentuh jalanan yang berdebu. Sesuatu berwarna putih seperti kain mengintip dari sela sela ban mobil. Detak jantungnya semakin meninggi, berdebar-debar tak terkendali, Ia tak percaya apa yang dia lihat. Seketika matanya membulat, mulutnya menganga lebar.
Sebuah orang-orangan sawah.
Sial. Ia ingin tertawa terbahak-bahak. Hampir saja jantungnya copot karena mengira itu seorang wanita. Syukurlah hanya sebuah boneka. Minato terkekeh disampingnya.
"Sepertinya kita dikerjai, Hahaha." Minato tertawa terpingkal-pingkal hingga matanya berair. Ia memegangi perutnya lalu menjulurkan lidah pada anaknya di dalam mobil.
Hinata tersenyum simpul, tapi sesuatu dalam hatinya merasakan keganjilan, terlalu aneh jika ada sebuah orang-orangan sawah tiba-tiba tergeletak dijalan. Terlebih, disekelilingnya hanyalah hutan dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang, tidak ada pesawahan sama sekali. Pasti ada yang tidak beres.
Hinata mendengar Minato berhenti tertawa, pandangannya bersirobok dengan Hinata. Ah, tidak. Ternyata pandangan lelaki pirang itu tertuju ke belakang dirinya, wajah Minato tiba-tiba menegang, badannya membatu.
Sesuatu yang dingin menempel di kulit leher Hinata, tangannya tiba-tiba di cengkram dengan kuat dari belakang, sebuah kilauan menerpa matanya meski cahaya hanya remang-remang. Sebilah pisau menempel di leher jenjang gadis itu.
.
.
.
Naruto melihat ayahnya menjulurkan lidah dari luar mobil, sepertinya meledeknya yang tidak berani turun, Ia menghela napas lega melihat tingkah ayahnya yang sedikit menyebalkan. Well, itu mengindikasikan tidak terjadi apa-apa di luar sana. Tapi sejurus kemudian tingkah ayahnya berubah, dia seperti terkejut atau ketakutan ia tak tahu pasti, pandangannya mengarah lurus pada Hinata, Hinata yang sedang... Ya Tuhan !
Naruto menyambar knop pintu mobil, melangkah keluar tanpa pikir panjang. Seorang lelaki berambut abu-abu tengah mencengkram Hinata, ia tak bisa melihat wajahnya karena bayangan pohon menutupi tubuh pria itu, yang terlihat jelas hanya motif awan merah yang meski samar namun tertangkap oleh iris matanya. Rahang Naruto mengeras, tapi tidak berani berlaku macam-macam karena nyawa "gadisnya" sedang terancam.
"Lepaskan dia, brengsek! Apa yang kau inginkan?" Naruto berseru nyalang, buku-buku jarinya mengepal keras.
"Hahaha," lelaki itu tertawa nyaring, renyah sekali hingga rasanya Naruto ingin merobek mulut itu. "Berikan barang-barang berharga kalian idiot! termasuk mobilnya juga."
Minato berusaha tenang meski dalam hati ia mengutuk pencuri itu, juga situasi yang tidak menguntungkan baginya. "Ambil apapun yang kau mau tapi lepaskan gadis itu."
Lelaki itu tertawa lagi, lebih keras dan nada nya terdengar meremehkan. Dia mendengus. "Bagus, kalian pintar. Kalau kalian berani macam-macam, leher gadis ini terputus. Hei kau-kuning! berikan kunci mobil itu kemari!"
Naruto melangkah perlahan, ia meletakkan kunci itu di kap mobilnya. Matanya tertuju pada Hinata yang ketakutan, mata wanita itu terpejam, namun air mata mengalir membasahi pipinya. Naruto merutuki dirinya sendiri. Bodoh! jika saja ia berani keluar tentu saja tidak akan seperti ini jadinya, jika saja ia tidak ketakutan seperti pengecut, Hinata tidak akan jadi sandra si bedebah itu. Arrgh ia merasa tolol karena ketakutan pada sesuatu yang tidak logis. Ia menyesal. Sangat.
Tangan lelaki berambut abu-abu itu terjulur, mengambil kunci mobil tepat di depannya namun tetap mengeratkan kuncian pada leher Hinata. Setetes darah segar mengucur dari leher Hinata karena tergores sewaktu pencuri itu menggerakkan tangannya tadi. Gadis itu merintih kesakitan, namun pencuri itu tak memedulikannya. Darah segar meluncur ke tengkuk Hinata, menembus belahan dadanya yang putih karena salah satu sisi jaketnya tertarik ke bawah.
Pencuri itu menelan ludah, ia baru menyadari jika gadis ini sangat seksi. Tonjolan dadanya yang kontras dengan likuid merah itu membangkitkan libidonya. Tiba-tiba muncul pikirannya untuk meculik gadis ini juga. Ia ingin memuaskan kejantanannya yang mengeras dibawah, dan setelah puas ia akan menghadiahkan gadis ini pada teman-temannya yang juga kelaparan. Ya, ide bagus!
Tatapan mata jalang si pencuri tertangkap mata Naruto, Ia tak mampu lagi mengontrol emosinya. Apalagi karena pencuri itu mulai bertingkah kelewat batas. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menguliti pencuri itu. Napasnya memburu, tangannya mengepal, ia hendak menubruk penjahat itu dengan sekuat tenaga, namun kata-kata yang lelaki itu ucapkan tadi menghentikan langkahnya
Berani macam-macam, leher wanita ini terputus!
Sial.
Hinata semakin kalut, cengkeraman penjahat itu pada tangannya mulai mengendur, namun beralih mengelus perutnya, semakin lama tangan itu mengelus semakin atas menuju payudaranya, lutut Hinata melemas, ia merasa ketakutan sekaligus merasa kotor dalam waktu yang bersamaan.
Kami-sama.
Ayah.
Siapa saja tolong aku!
Wajah Minato merah padam, semua kekesalan terakumulasi di dalam kepalanya. Ia terus memutar otak untuk mencari cara untuk membalikkan keadaan. Ia mencoba meneliti situasinya. Lelaki itu memiliki sebuah pisau, meliliki seorang sandera, namun tetap saja ia seorang diri. Sementara ia dan Naruto, dua lawan satu, kemungkinan Hinata terluka cukup besar tetapi lebih baik daripada gadis itu mati. Ia memikirkan rencana yang cukup matang, ditambah sepertinya fokus penjahat itu tengah teralihkan.
Minato berdehem.
Memberi kode.
Tangan penjahat itu telah meremas-remas dada Hinata, Ia juga menggesek-gesek selangkangannya pada bokong gadis itu. Hinata tidak tahan lagi.
Sudah Cukup!
Entah darimana ia mendapatkan keberanian, sepersekian detik Hinata menjauhkan pisau itu dari lehernya, begitu cepat namun lembut hingga penjahat itu tidak menyadarinya. Ia menyiku tulang rusuk lelaki itu sekuat tenaga, menimbulkan bunyi retakan sampai - sampai penjahat itu mundur beberapa langkah.
Sekarang!
Hinata berlari sekencang yang ia bisa, sementara Minato dan Naruto menerjang bersamaan, meninju penjahat itu bertubi-tubi. Naruto menginjak pergelangan tangan laki-laki itu sekeras mungkin, dan memungut pisau yang terlepas dari tangannya.
Hinata jatuh terduduk, Kushina kemudian keluar dari mobil dan memeluk gadis itu, ia menyeka darah dari leher Hinata dengan sapu tangannya. Sebagai wanita dia merasa lemah karena tidak bisa membantu menyelamatkan Hinata. Tapi syukurlah Hinata selamat. Ia menggenggam tangan gadis bermata perak di depannya, kemudian menangis sejadi-jadinya.
Baru saja mereka merasa tenang, tiba-tiba bunyi gedebum mengangetkan empat insan itu. Sebuah ledakan seketika menggema di dekat mereka. Asap hijau cerah membumbung keatas, sepertinya sebuah asap fluoresen ditembakkan penjahat itu ketika mereka semua lengah.
Tapi untuk apa?
Belum habis keterkejutan mereka, berpasang-pasang bayangan keluar dari sela-sela pohon rimbun di sekeliling tempat gelap itu.
Dua orang,
Empat orang,
Enam orang,
Oh tidak!
Seseorang berambut pirang yang diikat ponytail berdecih. "Ck.. Misi enteng seperti ini saja kau gagal un, malah babak belur seperti itu. Dasar idiot!"
"Sudah jangan ngomel begitu-brengsek! bantu aku berdiri."
Perkelahian dua orang penjahat di depannya membuat empat orang di seberang mereka menegang, Naruto dan Minato mundur perlahan, mereka ngeri sekaligus khawatir karena mereka kalah jumlah.
Naruto memungut kunci mobil yang terjatuh dari genggaman penjahat tadi ketika ia dan ayahnya menonjok lelaki itu habis-habisan. Namun, gerak-geriknya diketahui komplotan penjahat di depannya. Seseorang bersuara berat menodongkan pistol ke kepala pirang Naruto.
Naruto pucat, ia tak bisa menggerakan kakinya. Ia menggenggam kunci itu kuat-kuat. Tak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Serahkan kunci itu segera!"
"T-tidak."
"Kau sudah bosan hidup ternyata."
Sebuah letusan menggema dalam sunyi. Naruto menutup matanya pasrah, ia tidak bisa keluar dari situasi ini. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya di dorong dengan keras, sontak ia membuka mata dan betapa terkejutnya ia saat irisnya menangkap bayangan Hinata tengah berlari dan menubruk dirinya.
Naruto terjatuh ditanah dengan keras sementara sebutir peluru menembus tangan Hinata. Gadis itu terjengkang, gesekan timah yang beradu dengan kulitnya membuatnya meringis dalam lengkingan suaranya. Keseimbangannya goyah, tanah yang dipijak Hinata tak mampu menahan beban tubuh gadis itu. Tanah itu ambruk, membawa Hinata melayang diudara dan terjerembab ke jurang dibawahnya. Hinata merasakan kesakitan bertubi-tubi menerpa tubuhnya akibat terbentur dengan pohon-pohon dan bebatuan. Ia menatap langit hitam diatasnya, ketakutan akan kematian tiba-tiba saja hilang dalam kepasrahannya. Tubuhnya berguling guling dan tersangkut entah dimana. Hinata hanya melihat kegelapan. Kemudian sunyi, bahkan ia tak mampu mendengar detak jantungnya sendiri.
.
.
.
Hinata mendengar suara yang terus-menerus memanggil namanya, samar namun konstan beresonansi dengan alat pengukur detak jantung disebelahnya. Ia membuka mata perlahan, cahaya menyilaukan menerpa netra keperakan miliknya, bayangan yang kabur sedikit demi sedikit membentuk warna yang ia kenal. Saphire, entah mengapa warna itu begitu menenangkan baginya saat ini.
Ia menatap bola mata itu lama, kelopak matanya basah dan sedikit merah, sepertinya pemilik bola mata itu telah menangis, tapi kenapa ?
Kini Hinata bisa merasakan tangan kanannya hangat, ia menyadari sebuah genggaman tangan yang besar tengah memeluk jari-jarinya. Ia mengedip tak percaya, ternyata Naruto tengah menggenggam tangannya sambil sesekali terisak. Ah jelek sekali penampilannya yang awut-awutan itu, seperti dia tidak pernah mandi seumur hidup, Hinata membatin. Gadis itu tertawa kecil.
Disekelilingnya ada Minato, Kushina, Neji dan oh Ayahnya dan adiknya―Hanabi juga datang ke ruangan putih itu.
Eh?
Ia terkejut bukan main, bagaimana mungkin Minato dan Ayahnya bisa bersama seperti itu?
"Hinata-chan sudah sadar, syukurlah." Naruto tersenyum riang, meski begitu kekhawatiran tercermin jelas dimatanya. Ia bersyukur, sungguh. Entah bagaimana jadinya jika Hinata tidak siuman dari koma, ia bisa menyalahkan dirinya seumur hidup. Toh, liburan itu memang idenya, hanya saja kecelakaan yang menimpa mereka diluar perkiraannya. Ditambah lagi ketika Hinata mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan hidupnya membuat ia semakin kehilangan kendali. Ia sempat menerobos hutan belantara itu dengan membabi buta, demi menyelamatkan Hinata ia rela menukar jiwanya. Bahkan ia sempat meninju tim SAR yang sekonyong-konyong berkata akan menghentikan pencarian karena lokasi Hinata jatuh terlalu terpencil. Untunglah robekan baju Hinata di sebuah dahan pohon membawa kemajuan bagi pencarian, Narutopun sempat berguling-guling menyusuri lembah curam demi menemukan Hinata, Ia kemudian menangis dan meraung-raung ketika tubuh lemah nan rapuh Hinata ditemukan. Semua emosi yang ada dalam dadanya tumpah, namun ia merasa bersyukur saat ia tahu jantung gadisnya masih berdetak meski lemah.
"Na-ru-to," Ucap Hinata terbata-bata.
"Sttt... Hinata-chan istirahatlah." Naruto mengelus pelan puncak kepala Hinata, sangat lembut seakan takut jika sentuhan kecilnya sekalipun dapat membuat gadis itu terluka.
Hinata mengembangkan senyumnya, menyenangkan rasanya diperhatikan orang lain seperti ini. Namun ia teringat kejadian mengerikan itu, ia benar-benar penasaran dengan apa yang telah terjadi.
"Ba-bagaimana k-kalian bisa selamat?"
"Hm..? Oh itu, itu karena diam-diam aku menelpon panggilan darurat di dalam mobil. Sebetulnya aku berusaha mengulur waktu sampai polisi datang. Tapi, kejadian tidak terduga menimpamu. Aku... maaf Hinata." Naruto tertunduk lesu. Sentuhan Hinata ditangannya membuat Naruto tenang, ia paham jika Hinata tidak mempermasalahkan hal itu.
Minato maju selangkah, menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia berusaha untuk tenang dan menarik napas dalam-dalam. "Hinata, maaf jika aku sudah berperasangka buruk padamu. Dan terimakasih telah menyelamatkan Anakku, aku sungguh berhutang budi. Aku rasa dengan ketulusanmu yang seperti itu tidak ada lagi alasan untukku tak merestui hubungan kalian." jeda sesaat ketika Minato mengalihkan pandangannya kepada Hiashi―Ayah Hinata. "Aku dan ayahmu telah setuju melangsungkan pernikahan kalian, dua minggu lagi. Jadi cepatlah sembuh ya."
Hinata menganga, apa ia tidak salah dengar ? apa ia sedang bermimpi ? dia kan belum memberi tahu ayahnya jika dia akan menikah. Aduh gawat!
"Ehem."
Suara deheman Hiashi membuat tubuh Hinata meriang. Dengan takut-takut ia memandang ayahnya.
"Bocah pirang itu telah menjelaskan semuanya, Hime. Soal perselingkuhan, soal ide gila kalian, dan kecelakaan itu. Ayah juga sudah menotok nya selama seharian sebagai hukuman karena telah mencelakakanmu." Hiashi melirik tajam Naruto yang tertunduk lesu, kemudian melanjutkan ucapannya "Ayah memang kecewa karena kau tidak menceritakan masalah ini dari awal, tapi ayah percaya padamu, ayah juga mengerti posisimu." Hiashi memandang Naruto dan Hinata bergantian, "Ayah mengenal Naruto saat dia berlatih di Dojo kita waktu kecil, mungkin kau tak ingat dia karena kau terlalu kecil waktu itu. Meski sering berbuat onar tapi Ayah tau dia adalah pria yang baik dan pasti bisa menjagamu. Lagipula, baguslah kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan Si Uchiha itu. Dia terlalu memperalatmu Hime, dan Ayah tidak suka itu. Ayah ingin yang terbaik untukmu." Hiashi tersenyum sedikit, sangat samar karena ia tak terbiasa tersenyum lebar seperi orang lain. Lagipula percakapan tadi adalah kalimat terpanjang yang ia ucapkan seumur hidupnya.
Hinata tersenyum cerah, secerah matahari di bulan Juli. Ia menyentuh dan menggenggam tangan ayahnya erat. "Terimakasih, Ayah."
.
.
.
Sasuke memijit pelipisnya, kepalanya pening mendengarkan ocehan Sakura seharian. Selalu saja ada hal yang ia permasalahkan. Dia tidak ada waktu, Sakura mengomel. Dia dekat dengan wanita, Sakura mengomel juga. Padahal dia sedang bekerja dan wanita itu hanya klien nya saja.
Shit!
Dan sekarang Sakura sedang membanding-bandingkan dirinya dengan Naruto. Sasuke tersinggung, lelaki manapun tidak suka jika dirinya dibanding-banding dengan orang lain, terlebih seorang Uchiha dibandingkan dengan si dobe itu, Tidak. Harga dirinya tersakiti.
"Naruto bisa mengantarku belanja, dia selalu ada waktu untukku. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Tapi kau Sasuke-kun ? Sepertinya kertas-kertas itu lebih menarik bagimu dibandingkan aku." Sakura merengut. Dia sebenarnya marah ketika tidak bisa memamerkan pacar tampannya pada Ino, lagipula masa Sasuke tidak bisa menjemputkan pulang sekali saja ? Dia bosan jika harus terus menerus naik Taksi.
Sasuke berdecak, "Aku bukan Naruto, Sakura."
"Setidaknya sedikit perhatian padaku saja ! Aku sudah menunggumu belasan tahun. Dan ini yang aku dapatkan ?"
"Sepertinya Hinata tidak banyak bicara sepertimu."
Kata-kata Sasuke barusan membuat hati Sakura ngilu. Emosinya tak dapat ia tampung lagi. Nada suaranya meninggi.
"Oh bagus. Sekarang kau membanding-bandingkan aku dengan wanita itu? Baiklah, ternyata aku salah telah meninggalkan Naruto untukmu. Catat ini. Dia tidak pernah menelantarkanku sepertimu. Dia selalu menuruti apa yang aku mau."
"Cukup Sakura. Jika dia memang sebaik itu dimatamu, kenapa kau tak kembali saja ke pelukan si baka itu!"
"Akan kulakukan seperti maumu."
Sakura membanting pintu Apartemen Sasuke dan meninggalkan lelaki itu dengan perasaan dongkol.
.
.
.
Pukul 10.00
Hari Pernikahan
Denting lonceng menggema disapu angin, bunyinya bergemerincing mencubit semesta Naruto. Ia dengan tuxedo hitam dan rambut pirang yang klimis―karena ditata sang ibu kini gusar, karpet merah yang ia tapaki separuh jalan terasa tak habis-habis. Altar putih di ujung pandangan dan gubahan bunga Lily of the Valley disepanjang mata memandang membuat lelaki itu gugup tak terkendali.
Di depan Altar, seorang pendeta berwajah oriental tersenyum dan memberinya isyarat untuk berbalik badan. Ia menurut, seketika dilihatnya seorang wanita berjalan anggun menujunya. Kulitnya yang seputih porselen dan baju pengantin yang terbuka di bagian pundaknya membuat sebagian besar tamu undangan terpana, belum lagi ia mengenakan gaun dengan belahan kaki yang tinggi hingga pahanya. Menonjolkan kaki putihnya yang ramping. Naruto menelan ludah, Para tamu undangan tak berkedip.
"Aku bersedia."
Suara lembut nan memikat itu menyeret Naruto kembali ke dunia nyata, tatapan dan senyuman istrinya memerciki hatinya, ia bagai tersengat alus listrik ribuan volt. Namun ia tak mati, malah bahagia.
Rasa yang taksa ini menyedot kesadarannya. Apakah ia telah jatuh cinta pada wanita ini ? Apa wanita ini masih pelampiasan cintanya ? Atau perasaan ini hanya karena hutang budi ? Ia tak tahu, ia tak paham sama sekali.
Yang ia tahu, Wanita itu kini miliknya.
Pendeta disebelahnya menggumakan kata yang ia nanti selama dua minggu ini. Iris Lavender dan Saphire semakin dekat, embusan napas kian kentara menerpa kulitnya. Wangi lavender dan citrus beradu, menjadi harmoni yang berepetisi dengan waktu.
.
.
.
To be continued
.
.
.
Author Note :
Nah loh dipotong pas adegan itu kakakakakak *dibanting*
Aku usahain update tepat waktu.. Paling nggak 2 mingguan, tapi tetep aja suka molor waktunya. Gomen ne, minna..
Akhirnya naruhina nikah yeay :D *tebar sapu lidi*
Chapter depan bakalan nyeritain asam manis pernikahan mereka, kira kira endingnya naruhina atau kembali ke pasangan mereka yang dulu ya?
Oh iya, maaf kalo banyak typo bertebaran, tangan ini memang lengket banget sama ke-typo-an T.T
Balas review yuks..
Akbarjr121
Kaku ya? Maaf ya diksinya kurang, author masih belajar soalnya hehe
Setya566
Udah aku panjangin di chapter ini yaa...
Eva manurung940
Aduh aku tersanjung *kasih cium* #dichidori makasih udah mu ripiuuu ya ini udah di update.
Esya27BC
Aku juga berharap gitu sih. Cuman tergantung ke perasaan mereka sendiri, tapi cinta itu tumbuh sedikit demi sedikit loh jadi yg sabar ya nunggu hinata posesifnya.. Hihi
ChacaSavika
Emm sampe sini udah bisa nebak siapa yang jatuh cinta duluan? :p
Annafitry
Aaaa makasihhhh... Endingnya masih beberapa chapter ke depan kok, hurt nya malah belum dimunculin sama sekali hohoho *author jahat
IndigoRasengan
Ah aku panggilnya apa ya ? Nama kamu keren ya, iya makasih sarannya indigo-san :)
Bebek kuning
Aku manggilnya bebek apa kuning? Aduduh unyu banget namanya :3 pada akhirnya minato merestui kok karena dia udah ngeliat ketulusan Hinata :')
Ade854
Halo halo maaf updatenya telat yaa.. Makasih udah review :D
Damchuu93
Iya aku juga benci orang serakah.. Sukanya yang baik hati dan pandai menabung wkwkwkw *ditendang ke kutub utara
Mita622
Sasu udah mulai nyesel nih, apalagi sakura.. Hohoho
Kiki andrian94
Ahh makasih ya, aku takut hinata jadi absurd banget.. Tengkyuuuu
DrunKenMist99
Hai makasih ya ^^ ini udah d lanjut senpai..
Naruto boruto
Chapter ini sedikit lebih panjang.. Mudah mudahan gak bertele tele ya.. Makasih buat semangatnya boruto Hiks.. *peluk*
Nana
Aduh bisa aja ngerayunya hehe.. Updatenya gak akan bertahun tahun kok nanti fic ini berdebu *ceilah* selama ga sibuk aku pasti usahain update cepet :D
Guest
Sengaja di bikin begitu.. Aku aja yg nulis bingung saking rumitnya hahaha *di getok himawari*
Hinata Lovers
Waaa gimana ya? Aku nulis sesuai kebutuhan cerita aja sih, tapi gak sekeji itu bikin hidup hinata sengsara hahaha.. *puk puk hinata
Byakugan no Hime
Jadi kok himeeee tapi scene nya sedikit ah kasian mereka pegel kalo pernikahanya seheboh raffi & gigi wkwk #dasaremakemakgosip :D
Cute Guest
Wah makasih kalo suka judulnya, aku juga agak lama sih mikirin judul yg cocok nuat ff ini *curcol* udah bisa nebak siapa yg jatuh cinta duluan gak dari chap 3 ini? *kedip kedip gaje. Konflik manis tar chapter depan ya..
Ahra
Halo ahra, syukurlah kalo feel nya dapet, thanks udah review ya
Zahra
Makasih udah nunggu kelanjutannya dengan sabar, review lagi? Hihi
Pencari fic naruhina
2 minggu lebih termasuk lama ga ya? Hee ini udah update, selamat membaca :))
Yuka
Kira kira naruhina atau balik ke pasangan masing masing? Ikutin terus sampe ending ya hohoho
Mrf4k3
Hehe ini udah dilanjut ya mr fake, feel naruhina belum ada kan belum pada jatuh cinta, nanti coba aku eksplor lagi perasaan keduanya, thanks masukannya ya :))
Rechi
Sudah terjawab di chapter ini ya pertanyaan kamu. Jawabannya karena kecelakaan. Wkwkwk eh nggak deng, karena ketulusan keduanya yg membuat minato luluh..
Dragon Hiperaktif
Hai hai ini udah dilanjut. RnR ya? *wink
Natsu819
Jeruk? Emmm aku gak bisa bikin jeruk jerukan wkwkw ada juga paling gak secara eksplisit walaupun ini rated M. Chiha masih kecil kakak *dibakar rame rame* :D
Ikha Hime
Hihi nikahnya jadi tuh walaupun cuma sedikit doang diceritainnya. Ahahah maaf ya dipotong disana.. Endingnya masih rahasia deh :p
Amzah520
Kayak dessy ratnasari aja no comment hihihi.. Thanks for review :))
Haizahr Hana
Wah kejam nih wkwkwk tapi setuju deh sama kamu, gak cuman sakura, cwe serakah mah emang pantes d gantung *author kompor* ckck
Akhir kata, makasih banyak buat yang setia nunggu cerita ini dan bersedia meluangkan waktu buat baca ff gaje ini. Hehe
Sekali lagi, author masih belajar dan jangan sungkan kasih kritik saran ya readers ;)
Mind to RnR?
Subang, 10 oktober 2015
With Love,
Chiha