Naruto menyesap secangkir kopi hangat di depannya. Asap kopinya mengepul ngepul, memberi sensasi manis dan pahit bersamaan. Ia menyukai aroma arabica yang menguar diantara gelas panas yang di genggamnya.

Naruto mematung. Aroma kopi ini mengingatkannya pada gadisnya. Pertengkaran semalam membuatnya gamang. Entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu, pikirnya.

Lelaki itu mengalihkan pandangan pada sebuah potret disudut kamarnya. Disana, seorang gadis tersenyum hangat dalam balutan Paleo berwarna warni. Rambut merah jambu sebahunya berkibaran ditiup angin. Matanya yang sewarna zamrud mengalahkan pesona laut disamping gadis itu.

Naruto menghela napas panjang.

Ia menyerah.

Ia tak lagi mengejar cinta gadis itu.

Lima belas tahun ia mencintai Sakura, memang Sakura telah menjadi gadisnya sekarang.

Tapi perlakuan itu tak pernah berubah.

Sakura tetap...

Tak pernah benar-benar memberikan hatinya.

.

.

.

Love Is Like An Empty Bowl

By Chihablossom

Naruto © Masashi Kishimoto

DLDR

.

.

.

Bunyi lonceng menggema nyaring diantara riuh suara sofran murid-murid kecil di taman kanak-kanak Konoha Academy.

"Konnichiwa sensei. Mata ashita." ucap bocah-bocah kecil itu berbarengan.

"Hai. Hati-hati dijalan ya, kita bertemu lagi besok." Hinata tersenyum manis hingga matanya menyipit, kemudian melambaikan tangan pada murid-murid kesayangannya.

Kelas kini sunyi. Hanya terdengar derak kaki-kaki jam memecah keheningan.

Hinata terduduk. Matanya meredup tatkala melihat ponselnya di ujung meja. Tadi pagi, seseorang mengiriminya e-mail, hatinya ngilu ketika mata peraknya melihat sebuah foto terlampir disana.

Sasuke. Kekasihnya, tengah bercumbu dengan seorang gadis berambut merah muda.

Sasuke-nya telah direnggut.

Sasuke yang ia cintai sejak rambutnya sebatas leher.

Sasuke yang membuatnya memanjangkan rambutnya.

Agar lelaki itu meliriknya.

Agar lelaki itu mencintainya.

Namun sejak awal, Sasuke memang tidak pernah benar-benar mencintainya. Mungkin ia saja yang terlalu terbawa perasaan.

Ia saja yang merasa jika perhatian Sasuke padanya menjadi bukti jika lelaki itu membalas perasaannya.

Padahal...

Dibelakang Hinata, Sasuke mencium seorang wanita.

Ciuman yang tak pernah Hinata rasakan selama ia memiliki lelaki itu.

Setetes air bening lolos dari kedua matanya. Dadanya sesak, seperti sebuah pisau menguliti paru-parunya.

Hinata tahu, ia harus berhenti berpura-pura.

Ia harus melihat kenyataan sekarang.

Ia telah memutuskan untuk tidak lagi mencintai Sasuke.

Sampai ia mati.

.

.

.

Hari minggu yang cerah. Naruto memutuskan untuk sedikit melepas lelahnya dengan berjalan-jalan di taman.

Sebuah Headphone ia pasang ditelinganya, sengaja ia memasang volume musiknya keras-keras.

Lagu Why-nya Sencondhand Serenade menyeret langkahnya pelan-pelan. Ia memejamkan matanya, meresapi liriknya kata per kata, lalu tersenyum miris saat bagian "Why do you do this to me?" mengalun lembut di gendang telinganya.

Pemuda pirang itu terkekeh pelan. Ia sadar jika dirinya terlihat bodoh saat patah hati seperti ini.

Siluet lelaki berambut raven terlihat di ekor mata Naruto. Ia mengalihkan pandangan pada sebuah bangku di bawah Pohon Mapple. Rahang lelaki pirang itu mengeras, seakan-akan dendam yang ia rasakan semua terkumpul pada kepalan tangannya.

Naruto berlari sekencang yang ia bisa, amarah membuatnya tak lagi memperhatikan jalanan berbatu yang dia pijak.

Naruto menarik kerah baju Sasuke, lalu menghantam wajahnya dengan sekali pukul.

Sasuke terjerembab ke belakang, beberapa likuid merah menetes dari sudut bibirnya.

Kyaaaaaaaaaaaa...

Sakura menjerit histeris, ia kalut melihat dua orang yang tak asing baginya tengah menghujamkan pukulan satu sama lain.

"BERHENTI!" Sakura merentangkan tangannya diantara kedua lelaki itu.

Kehadiran Sakura membuat Naruto dan Sasuke terdiam untuk sesaat. Mereka berdua saling memalingkan muka.

"Kalian berdua ini kenapa sih ? Lihat! semua orang disini memperhatikan kita. Kalian seperti anak kecil."

Sakura melihat darah segar mengalir dari bibir Sasuke, kemudian menyekanya dengan sapu tangan miliknya.

Sasuke menyeringai, dengan begini seharusnya Naruto sudah tahu siapa yang lebih berarti bagi Sakura.

"Sakura," Suara Naruto sedikit bergetar tatkala menyebut gadis yang telah menghianatinya.

"Maaf Naruto-kun, semalam aku sudah menjelaskannya padamu. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan ini. Dari awal aku menyukai Sasuke, dan perasaan itu tidak pernah berubah, bahkan sampai sekarang."

"Lalu kenapa? Saat dipenginapan, saat hujan salju itu kau mengatakan jika kau menyukaiku? kau mengatakan kau ingin melupakan Sasuke. Kau mengatakan bajingan itu tidak pernah membalas perasaan-"

"Dia membalas perasaanku sekarang,Naruto" Sakura memotong ucapan Naruto bahkan sebelum lelaki itu menyelesaikan perkataannya.

"Kau... berengsek Sakura."

Sakura membatu. Perkataan Naruto barusan tidak pernah ia sangka akan terucap dari mulut Naruto yang selama ini sangat lembut padanya.

"Jaga ucapanmu, idiot." Suara baritone Sasuke menginterupsi keheningan diantara Naruto dan Sakura. Kemudian ia menarik tangan mungil wanita berambut permen kapas itu.

"Ayo kita pergi, Sakura-chan."

Naruto masih mematung meski bayangan Sakura dan Sasuke sudah tidak terlihat lagi. Seakan-akan jari kakinya dipaku pada daging-daging tanah dibawahnya.

Naruto medongakkan wajahnya menuju langit. Ia ingin menguap saja seperti awan, lalu mencair menjadi butiran-butiran air.

Senja telah membuat langit terluka, memerah bagaikan darah. Sayang luka di hati Naruto tidak berdarah seperti langit diatasnya. Jika itu bisa terjadi, mungkin rasa sakitnya tidak terlalu perih seperti saat ini.

Mata naruto menangkap bayangan seorang wanita berambut panjang berdiri dibawah Pohon Mapple beberapa meter disampingnya. Wanita itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya menjauh.

"Hei, kau. Berhenti bersembunyi disana. Berhenti mengendap-ngendap seperti pengecut."

Wanita itu berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik menuju tempat Naruto berdiri.

Dari jauh, Naruto bisa melihat mata keperakkan wanita itu, meski sedikit tersembunyi dibalik poninya.

.

.

.

"Jadi, kau pacarnya Sasuke?" Naruto mengerenyitkan keningnya.

Hinata sedikit menahan napas, "Tepatnya mantan." Suaranya sedikit mencicit karena ia merasa grogi dengan lelaki asing disampingnya.

"Lucu ya?"

"Apanya yang lucu Uzumaki-san?"

Naruto memutar matanya bosan, "Panggil Naruto saja."

"Hmm...? baiklah Naruto-San."

"Kita berdua ini seperti korban. Kita sama-sama di hianati orang yang kita sayangi. Hahaha bukankah itu lucu? Terlebih, aku telah merencanakan pernikahanku dengan Sakura. Sebulan lagi."

Hinata merasa empati dengan laki laki berkulit coklat yang duduk disampingnya ini. Hinata memang hancur, tetapi melihat Naruto ia menjadi terenyuh. Ia kasihan dengan pengorbanan Naruto yang sia-sia. Hinata jadi berpikir, laki-laki ini terlalu mencintai pacarnya atau memang bodoh sih ?

Hinata menginterupsi jarak antara dirinya dengan Naruto, mengusap bahu lelaki itu untuk menenangkannya.

"Aku turut prihatin karena Naruto-San tidak jadi menikah. Pasti rasanya sedih sekali. Ganbatte ne, Naruto-San."

"Aku tetap akan menikah, Hinata."

"Dengan Sakura ? tidakkah kau sadar dia sudah menghiana-"

"Denganmu."

Hinata bengong. Otaknya masih belum bisa mencerna ucapan lawan bicaranya barusan.

"Naruto-San, Anda pasti bercanda,Hihihi." Hinata terkikik meskipun ia tak menganggap hal ini lucu.

"Aku tidak bercanda, Nona Hinata. Bukankah kita sama-sama diuntungkan dengan pernikahan ini? Kita sama-sama patah hati, kita bisa melampiaskan rasa cinta kita yg hancur satu sama lain, iya kan?"

"Anda sudah gila, Naruto-San."

"Aku memang gila, Hinata. Kau, Sakura, dan Sasuke juga sudah gila. Aku telah mencintai Sakura selama lima belas tahun. Mungkin kau juga tidak ada bedanya denganku-"

Hinata mengalihkan pandangannya pada bunga-bunga lili yang warnanya kian meredup seiring malam mulai larut. Harus Hinata akui, ucapan Naruto ada benarnya. Tapi...

"Aku mencintainya terlalu lama, apa aku mendapatkan cinta Sakura ? Setitikpun tidak. Jadi buatku, Waktu bisa meluluhkan hati seseorang adalah omong kosong!"

"Menikah tanpa cinta, apa itu mungkin?"

"Entahlah... Tapi kita memiliki satu kesamaan. Kita tahu bagaimana rasanya dihianati. Maka dari itu, aku percaya kau tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan."

"Anda benar."

"Kalau begitu. Ayo kita coba. Melampiaskan rasa sakit kita satu sama lain. Memupuk cinta dari nol."

"Seperti kata pepatah, cinta itu seperti mangkuk kosong, kita dapat mengisinya sedikit demi sedikit. Tapi aku ragu karena pernikahan adalah sesuatu yang sakral."

Naruto terdiam, ia tak ingin banyak bicara lagi. Sepertinya memang ide nya kali ini agak kurang waras.

"Tapi, aku juga sudah terlanjur patah hati, anggap saja aku menggunakanmu sebagai bahan balas dendam. Tak apa kan? Simbiosis mutualisme, aku rasa cukup adil. Aku tahu ini gila Naruto-San. Tapi karena aku juga sudah gila dengan semua ini. Mari kita coba."

Mata Naruto berbinar-binar menyilaukan. Neuron-neuron otaknya saling menyengat satu sama lain, mengalirkan impuls impuls kebahagiaan pada tubuhnya.

Ia sebenarnya ragu jika ide pernikahan ini akan berhasil.

Well... yang akan terjadi, terjadilah.

Naruto menggenggam tangan Hinata lembut. Sebuah senyuman terukir di

wajah Naruto. Semburat merah muda juga menjalar di pipi Hinata. Mereka berdua terlihat seperti pasangan yang sedang mabuk.

"Baiklah, Hinata. Aku akan mengenalkanmu pada keluargaku. Ayo." Naruto menarik-narik kecil tangan Hinata.

Hinata menatap-agak sedikit melotot-pada lelaki jangkung dihadapannya. Kesadaran Hinata sepertinya sudah sepenuhnya pulih kali ini.

"Tidak secepat itu, Naruto-San. Tunggu!"

Naruto menarik tangan Hinata sambil berlari-lari kecil. Hinata mengikutinya meskipun dalam hatinya ia tak rela.

.

.

.

To be continued...

.

.

.

Author Note :

Halo halo halooooo... Sekarang author bawa cerita baru \/

Padahal fic yang kemaren aja belum dilanjutin.. Ah author mentok di ide *digeplak*

Sekalian promosi fic aku yang lain ya.. Silahkan di review ikatan dari masa depan dan conclusion.. Hehe

Keritik dan sarannya y reader.. Bakalan aku tampung di mangkuk yang gede banget :p

Review pleaseeee :D