Anything He Wants
.
.
.
Disclaimer: Seluruh karakter dalam fiksi ini milik Masashi Kishimoto tapi fiksi ini murni milik kami dan kami tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun selain untuk kepuasan pribadi.
.
Warning: Typo, misstypo, Alternative Universe and many more.
.
.
.
"Dan kau ... akan menjadi tawananku saat ini."
Lagi. Entah ini kali keberapa, sebaris kalimat berpotensi horror menggentayangi kepalanya. Tawanan? Pria itu pasti sudah gila. Dia manusia berdarah beku, tak memiliki hati. Dia iblis berjubah manusia.
Kalau dia manusia, coba katakan, manusia macam apa yang menggunakan nyawa sebagai tebusan?
Haruno Sakura menghela napas. Sebagian besar dari otaknya belum mampu menerima hal ini. Kemarin iblis itu masih memberinya—dan orangtuanya—waktu untuk berpikir. Berpikir akan bagaimana takdirnya selama beberapa waktu ke depan. Seolah pilihan memang berada di tangan putri tunggal keluarga Haruno itu, padahal jelas bukan.
Pilihan ada dua, menukar nyawa kedua orang yang menempati hampir seluruh isi hatinya atau…menyerahkan dirinya pada pria itu?
Nah, sekarang opsi menyerahkan dirinya pada iblis terdengar lebih baik, 'kan? Pilihan terbaik karena Sakura tak akan kehilangan kedua orangtuanya dan orangtuanya pun tetap dapat hidup dalam rumah berpondasi kenangan milik mereka.
Sakura menelan saliva-nya, emerald-nya ia gulirkan menuju benda bulat pemilik dua jarum berwarna kehitaman di dinding sana. Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam hari. Ia melangkahkan kakinya ke tangga, menuju lantai bawah.
Biasanya pada jam-jam sekarang, Sakura akan menemukan ayahnya masih menonton siaran di televisi dan ibunya yang menemani sang ayah.
Ternyata ekspektasinya memiliki akurasi. Begitu ia sampai di anak tangga terakhir, pemandangan ayahnya dan ibunya yang sedang duduk di sofa ruang tengah menyambut.
Haruno Mebuki mengulaskan senyumnya saat kedua iris matanya menangkap sosok sang anak baru saja turun dari tangga, "Sini, Nak, ayo bergabung dengan kami," tuturnya sambil menepuk-nepuk bagian tengah sofa yang kosong.
Bagaimana bisa ibunya bersikap seperti ini? Bagaimana bisa ibunya nampak menganggap semuanya bagai angin lalu? Jawabannya sangat mudah, Mebuki tak mau melibatkan anaknya. Mebuki tak mau membiarkan anaknya ikut tenggelam dalam jerat iblis jahat.
Kizashi mengelus anak rambut milik Sakura begitu putri semata wayang mereka duduk di tengah-tengah mereka. "Kau belum sempat menceritakan tentang kehidupanmu selama di sana. Bagaimana kalau kau mulai memberitahu kami sedikit?"
Sakura menggigit bibir. Fakta miris bahwa kedua orangtuanya menyiratkan bahwa ini bukan urusannya menamparnya telak. Selama ini ia tak tahu apa-apa. Sakura hidup enak di London tanpa tahu orangtuanya banting tulang sampai berkeringat darah di tanah kelahirannya. Ia anak yang tak tahu diri.
Pelan-pelan Sakura mulai memberanikan diri, ia membuka Kotak Pandora keluarganya, "Ayah, Ibu…," ia memberi jeda sejenak untuk menatapi ekspresi kedua orangtuanya. Mereka memberi atensi penuh padanya, sekarang yang harus ia lakukan adalah memutar kunci pada Kotak Pandora tersebut, "Kira-kira, bagaimana kita akan mengatasi soal Tuan yang kemarin?"
Kata-kata yang dilantunkan oleh Sakura barusan…bagai magis yang membuat seluruh tubuhmu kaku seketika. Haruno Kizashi hanya mampu menelan ludahnya membuat jakunnya naik turun, peluh sebesar biji jagung menghiasi keningnya. Sedangkan Haruno Mebuki tak mampu mempertemukan kedua netranya secara lurus menatap giok anaknya. Atmosfer mendadak berubah.
Sempat terjadi keheningan selama beberapa menit, rasanya pertanyaan Sakura mampu menggerogoti jiwa mereka dalam diam. Tidak, sampai tangan kanan Mebuki menepuk lembut bahu anaknya, ia membisikkan kata-kata penenang dengan sangat halus, "Semuanya akan baik-baik saja, itu urusan kami, Nak. Kau akan kami kembalikan ke London … jadi, pastikan untuk mendapat pekerjaan yang bagus, ya."
Pisau tak kasat mata menghujam jantung Sakura. Ia sakit. Segala perlawanannya tertahan di ujung tenggorokan, sementara kedua matanya berusaha keras untuk membendung air mata yang siap menganak sungai.
Meskipun berseliweran argumen-argumen pamungkas dalam kepala, pada akhirnya yang dapat perempuan itu katakan ialah, "Baik, Ibu, Ayah."
Bohong. Tentu saja pernyataan pasrah barusan berkontradiksi seratus delapan puluh derajat berlainan dengan determinasinya. Otak pintarnya memikirkan hal lain. Mungkin opsi ini merupakan opsi yang amat salah tapi sesungguhnya perempuan itu pun tak punya jalan lain.
Hatinya terasa diiris pelan-pelan tatkala ibunya mengelus-elus kepala merah mudanya sembari memaksakan seulas senyum pahit. "Anak pintar."
Dan Haruno Sakura hanya mampu menggigit bibirnya. Ia menyalurkan rasa sakitnya kuat-kuat, melampiaskan pada mukosa bibirnya yang tidak bersalah. Kenapa nasibnya begini nelangsa? Ibu dan Ayah merupakan orang yang baik tapi kenapa? Kenapa Tuhan rasanya tidak adil? Kenapa keluarganya malah terlibat dengan iblis berdarah beku?
Haruno Kizashi yang sedari tadi hanya diam sembari mengotak-atik ponsel pintarnya mulai membuka suara, "Sakura, aku sudah memesan tiketmu. Jadwal penerbanganmu besok pagi. Lebih baik kau istirahat dan berkemas, ya, Nak."
Sakura membungkam mulutnya rapat-rapat. Ia tak memiliki niatan untuk melawan kedua orangtuanya secara langsung atau terang-terangan. Ya, ia tak akan melakukannya secara terang-terangan. Ia pun hanya mengiyakan ucapan ayahnya dan bergegas naik ke lantai atas menuju kamarnya.
Tunggu. Rasanya tak perlu ada yang dikemas. Demi apa pun ia baru saja sampai dari London dan ia tentu saja belum sempat unpacking barang-barangnya. Singkatnya semua sudah rapi. Satu-satunya yang ia butuhkan saat ini ialah; mental dengan determinasi super kuat.
Akhirnya Haruno Sakura pun hanya terduduk diam di atas kasurnya. Mulutnya berdesis lirih, penuh rasa sakit.
"Maafkan aku, Ayah, Ibu. Ini yang terbaik untuk kita."
.
.
Malam ini tidak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Di ruang kebesarannya, duduklah Uchiha Sasuke, berkutat dengan bertumpuk-tumpuk dokumen penting. Banyak sekali yang harus ia urus, mulai dari hal kecil sekedar tandatangan proposal sampai yang besar seperti persetujuan jual beli sebagian aset dengan klien. Lelah? Tentu saja tidak.
Apalagi kabar bahwa Uchiha Itachi gagal mendapatkan keturunan laki-laki sampai di telinganya. Lelahnya menguap begitu saja. Lantas sebenarnya, apa korelasi antara keturunan Uchiha Itachi yang perempuan dan dirinya?
Uchiha Fugaku, kepala keluarga dari keturunan Uchiha. Laki-laki yang berstatus sebagai ayah kandungnya itu masih menganut prinsip kolot di mana hanya laki-laki lah yang bisa memimpin. Di mata ayahnya, perempuan hanyalah barang yang dipakai untuk kesenangan duniawi. Hanya alat yang membantunya untuk menunjang hidup, tidak lebih.
Istri Itachi baru saja melahirkan anak perempuan dan itu artinya wanita itu gagal membuat suaminya naik ke tangga yang lebih tinggi dan memimpin perusahaan sebagai penerus resmi dari ayahnya. Amat disayangkan.
Tapi ini merupakan kesempatan besar untuknya bertindak satu langkah di depan Itachi. Ia harus bisa mengejar ketinggalannya dengan cara apa pun. Buktinya sekarang, langit sedang memihaknya. Langit sudah memberi jalan, tinggal ia yang melangkah, 'kan?
Maka dari itu saat ia mengetahui bahwa keluarga Haruno menyembunyikan seorang anak gadis, otak cerdasnya mulai menorehkan skenario. Perempuan bersurai merah muda itu dapat dijadikan alat untuk menopangnya ke tangga yang lebih tinggi, bukan? Perempuan itu dapat membawanya ke langit di atas langit, bukan?
Ini tinggal masalah waktu. Sejatinya, sifat dari makhluk fana itu naif. Berlakon tidak butuh tapi sesungguhnya jiwanya sudah menjerit minta tolong. Ini berlaku juga untuk anak semata wayang dari keluarga Haruno itu.
Sebuah vibrasi pendek yang berasal dari ponselnya berhasil menghentikan kegiatannya. Notifikasi pertanda sebuah pesan baru saja masuk menghiasi layar. Serentetan nomor tak dikenal membelai indera visualnya. Nomor dari luar negeri.
Sasuke-kun. Bagaimana kabarmu? Aku selalu merindukanmu di sini. Kumohon, biarkan aku bertemu denganmu lagi, Sasuke-kun.
Tanpa perlu repot membuka secara utuh pesan itu, langsung saja Sasuke menggeser layarnya sampai ikon tong sampah muncul. Ia menghapus pesan tersebut. Alat yang tidak berguna sudah sepatutnya dibuang, bukan?
.
.
Pagi hari yang cerah, mentari terlalu bersemangat untuk membagikan sinarnya pada bumi. Lihat, Tuhan tidak memihaknya sama sekali. Alam terlalu bahagia sampai melupakan ada seseorang yang sedang dirundungi perasaan sedih yang amat sangat.
Haruno Sakura berdiri di depan rumah dengan koper besarnya bersama dengan orangtuanya yang setia mengantarnya. Taksi bandara yang dipesan ayahnya via telepon sudah bertengger manis di depan rumah.
Kedua mata Sakura nampak sembab, emerald-nya menatap lekat sosok yang telah berjuang mati-matian demi dirinya. Lagi-lagi yang bisa ia lakukan hanya lah mengigit bibirnya guna menahan air mata yang sudah memberontak ingin keluar. Tenggorokannya terasa amat sakit. Apa ludahnya sudah bertransformasi menjadi bongkahan duri di tenggorokan sana?
Ia menghambur ke dalam pelukan ayah dan ibunya. Direngkuhnya kuat-kuat sosok yang rupanya mulai tua dimakan waktu tersebut. Haruno Sakura tidak akan pernah tahu kapan ia bisa memeluk kedua orangtuanya seperti ini lagi. Boleh jadi ini adalah kali terakhirnya.
Kehangatan yang diberikan oleh orangtuanya membuat Sakura meledak. Tangisannya secara otomatis pecah begitu saja, bahunya bergetar hebat."Ayah, Ibu, tolong terima apa pun keputusanku demi kita. Aku mencintai kalian. Semoga Ayah dan Ibu selalu bahagia." Suara paraunya membeo melawan napas yang ritmenya tidak beraturan membuat kata-kata yang ia produksi tidak terdengar begitu jelas.
Meski begitu, Mebuki dan Kizashi tetap mengelus-elus punggung putri semata wayang mereka. "Jaga diri baik-baik, Sayang. Hati-hati."
Sekarang saatnya ia melepaskan diri dari pelukan kedua orangtuanya. Sakura menarik napas panjang. Ia menarik paksa kedua sudut bibirnya untuk memformasikan seulas senyum."Aku pamit. Selamat tinggal." Dan dengan lolosnya kalimat itu, Sakura pun segera menaiki taksi yang sudah menunggunya cukup lama.
Kini taksi berangkat, ibu dan ayah Sakura melambaikan tangan mereka dengan perasaan lapang. Yang ada di pikiran mereka, setidaknya anak kesayangan mereka tidak perlu terlibat dengan pria itu. Untuk sisanya, sepasang orangtua itu hanya mampu berharap. Berharap kalau nyawa mereka memiliki abilitas untuk menyelamatkan masa depan putri mereka. Semoga saja nyawa mereka cukup ditukar untuk kebahagiaan putri mereka.
Sakura menatapi sosok orangtuanya lekat-lekat sampai kedua sosok itu semakin mengecil dan pada akhirnya menghilang dari pandangannya. Perempuan itu memejamkan mata sejenak, meresapi kalimat yang akan ia luncurkan dari mulutnya. Kalimat yang akan menghantarkannya pada kehancurannya sendiri.
"Pak, maaf, aku tidak jadi ke bandara. Tolong ke Uchiha Corp."
Supir taksi yang memegang kendali atas mobil yang dikendarai pun melirik lewat kaca spion, "Baik, Nona," responsnya singkat.
Sejujurnya Sakura merasa amat sangat bersalah pada kedua orangtuanya tapi sekali lagi, ia tak punya pilihan. Ini merupakan satu-satunya opsi yang paling baik yang bisa ia lakukan. Sakura tidak peduli jika dirinya harus menjadi tumbal asal seluruh keluarganya bisa hidup bahagia tanpa rasa khawatir.
Jika ia membuka kebenarannya pada ayah dan ibunya, sudah pasti mereka tidak akan memberikan izin. Maka dari itu Sakura nekat bergerak sendiri. Determinasinya sudah kuat, ia siap menjadi tawanan dari pria itu.
Taksi bandara tadi berhenti tepat di depan gedung pencakar langit milik Uchiha Corporation satu jam kemudian. Sakura menurunkan koper besar miliknya dari bagasi taksi setelah membayar tarifnya. Perempuan itu mulai melangkah menuju resepsionis di lantai satu.
Ia menjadi pusat perhatian, tentu saja. Sebuah koper yang besar diseret di tangan kanan juga pakaian nonformal seadanya membuatnya nampak lusuh. Sementara orang-orang yang berseliweran di sini memakai baju formal dan jas hitam. Ia terlihat mencolok, bukan?
Kaki jenjang yang dibalut dengan mother denim melangkah mendekati meja resepsionis. Begitu sampai, segera saja ia disambut. "Selamat pagi, Nona. Apa ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah sembari memamerkan senyum manis.
"Iya, aku ingin bertemu dengan Uchiha Sasuke," balas Sakura. Ia telah menyelidiki sedikit latar belakang orang yang meminta nyawa kedua orangtuanya sebagai pengganti uang itu tadi malam.
Kedua alis perempuan yang sedang bertugas di meja resepsionis nampak nyaris menyatu, "Apa Anda telah membuat janji?" tanyanya kemudian.
Sakura menggeleng pelan, membuat anak-anak surai merah mudanya turut bergoyang mengikuti pergerakan kepalanya. "Tolong bilang saja putri dari keluarga Haruno ingin menemuinya, kumohon. Ini sangat mendesak." Sakura menyatukan kedua tangan di atas dada, pose memohon.
Perempuan yang berjaga di meja resepsionis itu nampak menekan beberapa nomor yang tidak Sakura mengerti. Ia berbicara sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali. Setelah sambungan telepon itu ditutup, ia kembali menghadapi Sakura. "Tunggu sebentar di sini, Hatake Kakashi-sama akan datang dan menjemputmu langsung."
Tanpa sadar kening Sakura membentuk sebuah lipatan. Siapa pula Hatake Kakashi? Ah, ia tak peduli. Yang penting ia sudah berhasil di langkah pertamanya untuk menemui Sasuke. Untuk selanjutnya Sakura hanya bisa pasrah.
Tak butuh waktu lama untuk Kakashi datang menjemputnya. Begitu sosok bermasker hitam berdiri di hadapan Sakura, ia segera bertanya untuk memastikan, "Nona Haruno?"
"Iya?"
"Mohon ikuti saya," titahnya singkat. "Koper Anda biar saya yang urus," tambahnya kemudian.
Sakura menolak halus tawaran Kakashi, ia memilih untuk membawa sendiri kopernya. Dengan setia perempuan yang identik dengan musim semi itu mengekor Hatake Kakashi melewati pintu yang hanya bisa diakses oleh orang dalam perusahaan menuju lift.
Pria dengan rambut perak itu menekan tombol lantai atas yang ternyata memerlukan akses khusus. Tentu saja tidak sembarang orang bisa memasuki lantai kramat tersebut. Beberapa menit kemudian mereka sampai di lantai yang di maksud. Kakashi menuntun Sakura melewati beberapa lorong dan belokan sebelum akhirnya ia sampai di depan sebuah ruangan dengan double door yang terbuat dari kayu berkualitas bagus dengan berbagai ukiran berdetail kecil.
Tok!
Tok!
Kakashi mengetuk pintu besar itu secara perlahan sebelum secara otomatis pintu itu terbuka sendiri. Sakura mengedarkan pandangannya ke sekitar, menelaah lingkungan asing yang baru saja pertama kali ia lihat. Ruangan milik Uchiha Sasuke terlihat luas. Terdapat rak buku gigantik di sisi kanan dan kiri dindingnya. Ruangannya bernuansa kombinasi antara merah marun, hijau, dan cokelat dengan lampu kristal yang menggantung di atas.
Dengan perlahan ia melangkahkan kakinya menuju pintu yang rasanya siap melahap jiwanya. Tangan kanannya setia menyeret koper besar sementara ritme dari organ kardiovaskularnya mulai bertingkah.
Ia menelan ludahnya gugup. Kepalanya refleks menoleh ke arah belakang saat mendengar pintu besar tadi menutup dengan rapat. Kakashi juga tidak lagi ada bersamanya. Kini tinggal dirinya sendiri dan sosok pria berjas hitam yang kemarin yang sedang duduk di singgasana kebesaran miliknya. Sakura melangkahkan kakinya mendekati meja pria itu.
Laki-laki itu menelisik perempuan yang berdiri di hadapannya dari atas sampai bawah. Kedua tangan ia silangkan di atas dada. Sesuai dengan ekspektasinya. Makhluk fana itu naif, pernyataannya benar, 'kan?
Sasuke mulai membuka suaranya, "Apa kau sudah siap menukar dirimu dengan nyawa kedua orangtuamu?" Ia bertanya tanpa menampilkan ekspresi yang bermakna. Tak ada intonasi pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Sakura mengalihkan emerald yang sempat terpaku di lantai kayu yang licin karena dipernis. Ia menantang netra jelaga yang menatapnya rendah. "Demi orangtuaku ... aku siap menjadi tumbalmu, Tuan," balasnya tanpa gentar sedikitpun. Sungguh berlawanan dengan hatinya.
Brak.
Sebuah map plastik berwarna hitam dilempar ke atas meja. Disusul dengan Sasuke yang kembali berkicau, "Kalau begitu tandatangani kontrak ini dan ingat satu hal." ia menggantungkan sejenak kalimatnya. Kemudian barritone-nya menyahut lagi, "Sekali kau torehkan tandatangan di atas sana maka ...
...tak ada jalan untuk kembali."
Perempuan itu menganggukkan kepalanya tegas, "Tapi Tuan, mohon maaf. Aku juga punya beberapa kondisi yang harus kita sepakati," Sakura menambahkan.
Sasuke mengendikkan bahu, "Itu bisa kita diskusikan nanti."
Baik. Sementara ini Sakura berada dalam posisi di mana ia sangat terdesak. Ia tak bisa berbuat banyak. Asal nyawa orangtuanya selamat ia tak apa.
Ia pun mendekatkan dirinya menuju meja kebesaran milik Uchiha Sasuke, hendak mengambil map hitam yang dihempas ke atas meja tadi. Alangkah terkejutnya ia tatkala tangan kanan pria itu menarik kuat leher bajunya dengan gerakan cepat, membuat jarak mereka terhapus cukup banyak.
Seberusaha mungkin Sakura menahan sakit karena bagian leher bajunya yang ditarik membuatnya sedikit tercekik. Hembusan napas Tuan Iblis membelai telinganya, pria itu berbisik rendah,
"Ada satu hal lagi yang perlu kau catat," jeda sebentar sebelum laki-laki itu melanjutkan kalimatnya. "Jangan pernah melawanku atau bertindak sesukamu...
...Karena kau hanyalah alat untuk menunjang hidupku." Bisiknya rendah dengan aura dingin yang rasanya bisa menusuk tulang.
Detik itu juga Haruno Sakura tersadar bahwa ia baru saja menjual dirinya pada iblis yang memenjarakan dirinya dan ... tidak ada jalan untuk kembali.
.
.
.
.
.
tbc
.
.
a/n:
Mohon maaf sebesar-besarnya karena author yang bertanggungjawab atas chapter kedua begitu php dan bala :")) Setelah dua tahun baru update, ya ampun. Silakan demo saya :") /gak. Well, makasih banyak atas review-nya di chapter kemarin! Fave, follow, dan juga yang udah baca ... makasih banyak, ya! Semoga masih ingat cerita ini, haha xD Gimana chapter ini? Semoga tidak menjatuhkan ekspektasi kalian, ya x"))
p.s: Btw, aku bukan author the autumn evening hehe.
Haloo, saya author kedua yang ngecek typo dan kawan-kawannya. Anw, maaaaaaff sekali untuk update yang lelet tapi bagaimana? Semoga puas, ya xD btw, ada yang udah bener jawab siapa saya di chap awal hehe. Big thanks buat semua yang udah kasih masukan, fave, follow, dll. Wihh, udah dua tahun nganggur tapi masih bersedia nunggu. Terima kasiww :"33