Pernahkah Sehun bilang kalau ia hanya akan melakukan seks jika sudah menikahi Luhan?

Pernahkah Sehun bilang jika teman-teman mesumnya itu tak seharusnya memedulikan kegiatan intim dirinya dengan Luhan?

Kalau begitu, ia tarik kata-katanya sekarang.

Luhan kini ada di dekapan, menghirup dadanya yang berlapis piyama –meski begitu rasanya embus nafas Luhan merasuk hingga ke dadanya, membuatnya sedikit geli.

Sosok mungil itu pun masih dalam keadaan nyaris telanjang jika saja tak dibalut selimut –masih dengan hanya mengenakan celana dalam. Ia merengek ngantuk karena sudah menangis mendengar penuturan romantis Sehun, lantas jatuh terlelap di posisi sekarang.

Berbeda dengan Luhan yang terpejam damai, Sehun bahkan memejam mata lima detik saja tak sanggup. Bayang-bayang adegan film yang ditunjukkan Kai bermain begitu saja di kepalanya. Bedanya, sang pemain film kali ini adalah dirinya dan Luhan.

Tidak!

Jadi yah, Sehun menghabiskan malam dengan memelototi langit-langit sambil sesekali menggeleng ribut.

Sosok satunya awalnya tak terganggu, Luhan tetap tenang dalam lelapnya. Malah menelusup lebih atas hingga ke perpotongan leher Sehun.

Nafas hangat di daerah lehernya direspon gigitan bibir oleh Sehun. Rasanya ia ingin bersuara, menyuarakan kegelian yang ia dapat dari sana. Namun tak tega membangunkan Luhan, akhirnya ia menggigit bibir saja.

Sayangnya itu tak bertahan lama. Satu kaki Luhan bergerak melingkari pinggangnya, dengan lututnya yang menekan tepat dengan pusat tubuh Sehun di bawah sana.

"Oooh..." –desahan itu lolos tanpa bisa ia tahan.

Setelah itu Sehun kembali menggigit bibir, tersadar bahwa ia hampir membangunkan Luhan. Diliriknya Luhan yang masih bernafas teratur, dan ia sedikit lega.

Tapi tidak dengan satu titik tubuhnya di bagian bawah.

Dengan berat hati Sehun pun bergerak menggoyang pinggang Luhan berniat membangunkan. Tapi tak sampai dua detik karena–

"Oh sial!"

-menggoyang pinggang Luhan berarti menggoyang lututnya juga. Menggoyang lututnya berarti menggoyang miliknya juga.

Fuck you brain!

Tanpa bisa ditahan lagi akhirnya ia pun sedikit menggerakkan dadanya yang dijadikan Luhan bantalan. Dan nampaknya usahanya berhasil. Kelopak mata Luhan terbuka berat, mengerjap pelan dengan mata sayunya.

"Ada apa Hunnie?"

Luhan bergerak sedikit menjauh –tapi tidak dengan lututnya. Ia meregangkan badan dan berefek pada lututnya sehingga lebih menekan kebawah.

"Hentikan!"

Mata Luhan yang sudah lebih membulat itu lantas menatap khawatir pada Sehun yang berkeringat. Wajah memerah, serta bibir yang nampak bekas digigit. Melihatnya Luhan jadi meringis sakit.

"Kenapa? Kau bermimpi buruk?"

"Bukan itu. Tapi ..." Sehun melirik lagi ke selangkangannya yang tertimpa lutut. "... bisa tolong singkirkan lututmu, sayang? Rasanya sesak."

"Eoh? Kau mengatai aku gendut?!" Luhan yang salah tanggap segera menarik kakinya kemudian berubah posisi memunggungi Sehun. Hal itu tak ayal membuat punggung polosnya tak tertutup selimut, dan lagi-lagi Sehun bermasalah dengan itu.

Titik fokusnya kini ke punggung sempit Luhan, membayangkan seberapa lembutnya jika Sehun membelainya sekarang. Mengecupnya dan –uh– menjilatnya. Padahal ia sudah terbiasa menyentuh punggung telanjang itu, tapi entah kenapa rasanya kali ini akan berbeda.

"Kau tak minta maaf padaku?!"

Sehun kembali ditarik dari fantasi kotornya mendengar suara Luhan yang melengking. Padahal Luhan masih membelakanginya, tapi suaranya terdengar seperti tepat dari depan. Ia menghela nafas satu kali, dan sayangnya Luhan mendengar itu dan lagi pria mungil itu salah tanggap.

"Kenapa? Aku memang kekanakan! Kalau tak mau minta maaf ya sudah!"

"Astaga, Lu, bukan begitu!" Tanpa sadar Sehun ikut berteriak. Sumpah ia tak tahu kenapa sulit mengontrol diri saat ini.

"Kau berteriak padaku?!"

Kali ini Sehun menepuk dahinya pelan. Sebisa mungkin tak bersuara –ia tak ingin Luhan lebih marah nantinya. Kemudian dengan gerakan lembut ia raih sebelah bahu Luhan.

"Maafkan aku, sayang. Maaf ya?" –katanya menenangkan. Luhan tak kunjung berbalik, dan Sehun tak kunjung menghentikan usapan tangannya pula. Yang sebenarnya terjadi adalah, ia sulit menghentikan gerak tangannya.

Luhan perlahan membaik, ia memang suka jika Sehun sudah mengelus bahunya. Maka tubuh mungilnya dibawa berbalik, langsung menatap lembut kearah Sehun-nya.

"Tak apa. Maaf aku yang terlalu sensitif. Karena sebenarnya aku sedang diet, jadi wajar saja kalau aku marah dikatai gendut."

Sehun mendengarnya –meski hanya lima potong kata pertama. Karena selanjutnya atensinya tertuju penuh ke dua puting Luhan yang kecoklatan. Menatapnya bergantian sambil otaknya kembali menjelajah kemana-mana.

"Aku sudah coba meniggalkan permen kapas dan gula-gula kesukaanku. Yah jadi kau mengerti kan seberapa tersiksanya aku menjalani diet ini?"

Tak kunjung ada tanggapan. Mata Sehun tetap mengarah ke dua titik tadi, tanpa sadar lidahnya bergerak tak sabar di dalam mulut, membayangkannya tengah memainkan benda itu di mulutnya.

"Coba saja Kyungsoo tak mengataiku gendut kemarin, pasti aku tak perlu repot-repot–SEHUNNIE, MATAKU DISINI!" Luhan yang merasa tak didengar karena mata Sehun yang sibuk memerhatikan hal lain pun menghentak-hentakkan badannya gemas.

Sehun sontak terkesiap. "J-jangan marah, Lu." –suaranya putus-putus. Nafasnya juga.

"Kau tak mendengarku!"

"Tentu saja aku mendengarmu."

"Oh ya? Lalu apa yang kukatakan tadi tentang Chanyeol?"

Sehun mati kutu. Pria itu memutar-mutar bola matanya berusaha mengingat. Mendengung tak jelas selagi belum menemukan jawaban. Ketika melihat Luhan yang sudah nampak tak sabar, ia pun menjawab sebisanya.

"Bahwa Chanyeol menawarimu film biru lagi?"

"Bodoh! Aku bahkan tak membicarakan Chanyeol dari tadi!"

Sehun terbelalak, menyaksikan Luhan yang dengan gerakan cepat menyingkap selimut dan beranjak pergi dari sisinya. Mulai meraih pakaiannya yang tersampir di kursi dan mengenakannya terburu-buru.

"Aku mau pulang." –katanya dingin.

Menghela nafas berat, Sehun pun bangkit dari ranjang dan nampak sedih menyaksikan Luhan yang sungguhan marah. Ia hanya berdiri mematung di dekat ranjang.

"Kau yakin, sayang? Ini pukul satu dini hari."

Gerakan Luhan di-pause sebentar, tapi kemudian lanjut lagi.

"Kau antar aku ke rumah."

"Naik motor? Kau tak keberatan?"

"Tentu saja mobil! Aku kan... kedinginan." Kalimat yang sempat terpotong itu masih terdengar galak dari bibir Luhan. Membuat Sehun susah payah menahan tawanya agar tak keluar.

Jadi bukan karena takut kedatangan sosok menyeramkan tiba-tiba, ya?

"Tapi mobilnya dibawa orangtuaku. Mereka sedang di luar kota satu minggu ini."

Assa! Sepertinya ini malam keberuntungan Sehun.

Setelah pakaiannya rapi, Luhan tak kunjung bergerak di posisinya. Mulutnya bergetar lucu, jelas sekali ingin bersungut. Tapi ia tetap di sana, tak memandang Sehun dan hanya menjadikan sembarang objek titik fokusnya.

Mungkin Sehun sudah mencubit pipi Luhan –tingkah merajuknya terlampau menggemaskan!– jika saja ia tak ingat situasi. Tapi ia tak ingin membuat Luhan makin marah.

"Menginaplah disini, Lu." Ajaknya lagi tanpa lelah. Lagipula Sehun yakin Luhan dari tadi hanya menunggu ditawari. Ayolah, mereka sudah berpacaran dua tahun. Tentu saja Sehun hafal benar karakter kekasih cantiknya.

Luhan dengan gerakan yang terkesan terpaksa itu membuka kembali jaketnya. Berjalan lurus ke ranjang tanpa berniat melirik Sehun. Kepala mungilnya menelusup masuk ke bantal setelah sebelumnya memastikan tubuhnya terbalut sempurna oleh selimut.

Sehun terkekeh tanpa suara. Usai itu ia menyusul sosok satunya untuk berbaring di ranjang. Sama dengan sebelumnya, ia tak benar-benar terlelap. Sudah sekuat apapun juga tetap usahanya gagal. Maka terpaksa matanya hanya terpejam semampunya. Batinnya bergumam, "Satu Luhan, dua Luhan, tiga Luhan, ..." –berharap ini membantunya untuk tidur.

Tapi rupanya Luhan pun sama. Ia perlahan menyingkirkan bantal yang sebelumnya menindih kepala, memutar badannya hingga menghadap kearah Sehun. Sosok itu nampak sudah tidur, jadi Luhan tak repot-repot jual mahal lagi saat ingin memeluknya. Karena jujur, ia tak bisa tidur tanpa pelukan Sehun selama mereka diatas ranjang yang sama.

Tangan Sehun ia gerakkan untuk dijadikan bantalan, beringsut menaruh kepalanya di dada kekasihnya.

"Mimpi buruk?"

Luhan terkesiap. Ia mendongak cepat, melihat Sehun yang tersenyum tampan dengan keadaan masih terpejam. Sial, dia kan jadi malu!

"Hm." Jawabnya singkat. Tak peduli lagi dengan imejnya, Luhan pun mengatur posisi senyaman mungkin.

"Masih marah padaku, ya?"

Kini mata Sehun membuka. Langsung dihadapkan ke puncak kepala Luhan.

"Hm."

Bukannya marah, Sehun malah lega. Karena dengan Luhan menanggapinya, berarti pria mungil itu sudah melupakan emosinya.

"Tidurlah, sayang." Satu kecupan Sehun daratkan di kepala Luhan, lantas mengusap-usapnya lembut. Tangannya yang satu lagi menarik lengan Luhan agar melingkari pinggangnya, kemudian menepuk-nepuknya pelan.

Untuk sekian menit Sehun mulai diserang kantuk. Pria itu mengentikan gerak kedua tangannya yang menenangkan Luhan. Mengistirahatkan tubuhnya dan fokus untuk terlelap.

Tapi tak begitu lama–

DUK –sebenarnya tak bersuara. Hanya saja efeknya terlalu dahsyat bagi tubuh rileks Sehun.

Lutut Luhan menendang pelan kesejatian Sehun yang sudah tertidur.

"Tidak lagi..." gumamnya mengasihani diri sendiri.

"Apanya yang 'tidak lagi', Hunnie?"

Dan untungnya Luhan belum tidur. Setidaknya Sehun tak akan salah menggoyangkan tubuh Luhan seperti sebelumnya.

"Lu, kau tak marah padaku lagi kan?"

Luhan membuka malas matanya dan menatap Sehun menyipit. "Memangnya kenapa?"

"Karena aku ingin menciummu."

Mengangkat alis heran, Luhan sudah siap melontarkan pertanyaan namun Sehun lebih dulu membungkamnya. Lebih heran lagi tatkala Sehun menghisap-hisap bibirnya dengan kuat, tak seperti biasa.

"Astaga, aku tak tahan."

Sehun dengan nafas memburu mulai menggant posisi hingga ia memerangkap Luhan dengan kungkungan tangannya. Kaus yang dikenakan Luhan ditarik keatas sebatas dada, tanpa mendengar pekikan Luhan ia meraih satu putingnya. Menggigitnya gemas dan menariknya keatas.

"Ah–Sehun! Itu geli! Ahahah..."

Mendapat penerimaan Luhan, Sehun makin semangat memainkan titik cokelat keras itu. Ia maksimalkan gerak lidahnya disana tanpa mengalihkan tatapannya dari Luhan yang menengadah.

Menghentikan pekerjaannya di dada Luhan, selanjutnya ia naik menjilati dagu Luhan yang sedikit berkeringat. Mengikuti garis rahangnya hingga tiba ke telinga.

"Siap, sayang?"

"Hm?" Luhan yang masih kegelian mendengar suara berat Sehun tepat di telinga pun hanya bisa bergumam bingung.

"Kita akan melakukan seks."

Mata Luhan membola dalam mili detik. Ia tangkup dua pipi Sehun dan mata rusanya berbinar-binar kekanakan. "Seks?"

Sehun mengangguk. Senyum mesumnya makin lebar. "Bagaimana?"

"Aku mau! Mau!"

Oke, ini lebih terdengar seperti seorang ayah yang menawari anaknya mainan baru.

"Tapi peraturannya," Sehun berujar menghentikan Luhan yang bergerak-gerak kesenangan. "Kita harus telanjang."

"Itu mudah." Tangan mungil Luhan bergerak melepaskan diri dari kungkungan Sehun. Berdiri di tepi ranjang, melepas satu per satu potong pakaian yang dikenakannya.

Rahang Sehun sampai terjatuh melihat kekasihnya yang membuka pakaian seolah tak ada dirinya disini. Lihat, Luhan sudah telanjang bulat sekarang!

"Giliranmu, Hunnie." Kata Luhan semangat.

Sehun berdiri perlahan, menanggalkan pakaian dengan perlahan pula. Matanya tetap fokus ke kejantananan mungil di depannya. Terlihat menggemaskan dan sangat mengundang untuk dikulum.

"Ish, kau lamban!"

Luhan yang tak sabar melihat adegan slow-mo Sehun pun beringsut mendekat. Bantu melepas pakaian Sehun. Bahkan celananya pun ia yang buka. Mulai dari celana sampai dalamannya.

Tapi baru menurunkan sedikit dalamannya,

TUK

Batang keras itu menampar dagunya sesaat terlepas dari kain.

"Sakit, Hunnie~" rengeknya manja sambil mengelus dagunya sendiri.

Sehun tak merespon. Ia tengah sibuk menikmati persentuhan kulit kejantanannya dengan dagu Luhan meski hanya sebentar. Gila, rasanya luar biasa.

"Sayang, hisap milikku."

Sehun dengan nafas memburu mengarahkan kejantanannya ke bibir Luhan. Direspon tatapan bertanya dari Luhan, dan lelaki mungil itu tak kunjung melakukannya.

"Ayolah. Kau bilang ingin tahu rasa penis?"

"Ah, kau benar." Luhan tersenyum manis sedetik, lantas langsung melahap setengah batang Sehun. Mulut kakunya bergerak-gerak minim –bagaimana pun ia kesulitan bergerak dengan mulut penuh seperti ini. Melakukan gerakan lumatan yang dibalas Sehun dengan erangan.

"Astaga, bukan seperti itu, Lu. Hisap saja, dihisap."

Karena lumatan aneh Luhan malah terasa kunyahan di kejantanan Sehun.

"Nah, benar begitu."

Satu tangan Sehun mengusap sayang belakang kepala Luhan. Matanya terpejam nikmat seraya desahannya terus terlontar –semakin berat.

Tak puas dengan sekedar hisapan, Sehun pun meraih kepala Luhan. Dua tangannya memegang sisi kepala mungil itu, digerakkannya maju mundur hingga terasa ujung kejantanannya mencapai bukaan tenggorokan Luhan.

"Hmph! Hmmp–"

Gumaman protes Luhan semakin membuatnya bergairah. Batang kerasnya turut bergetar, dan yang ada gerak tangannya semakin cepat.

"Hmp!"

"Sebentar, sayang. Ooh ini nikmat..."

Tangan kecil Luhan memukul-mukul paha Sehun sekuatnya. Ia rasanya ingin muntah dan tenggorokannya terasa sakit sekarang. Diam-diam air matanya mulai menggenang, lalu meluncur satu-satu perlahan.

Sehun tak ingin menyakiti kekasihnya sebenarnya, tapi lebih tak ingin menghentikan kenikmatannya. Dengan niatan mendapat klimaks lebih cepat, Sehun pun lebih keras menubruk pangkal tenggorokan Luhan. Benar-benar cepat hingga Luhan yang tak terbiasa jadi merasa pusing.

"A-aaah Luhan!"

Cairan putih itu menembak kasar di dalam Luhan. Menambah rasa mual Luhan dan sayangnya sekarang lelaki mungil itu tak berdaya. Ia hanya diam menunggu Sehun menyelesaikan urusannya.

Usai itu Sehun menarik kejantanannya pelan-pelan. Membuat benang cairan antara mulut Luhan dan ujung kepala kejantanannya –Luhan tak sedikit pun menenggak cairannya.

"Astaga, Lu? Kau baik-baik saja?"

Luhan tak menjawab. Jejak air matanya sudah membasahi kedua pipi, dan masih ada pula tetes air mata dari pelupuknya.

"Sayang, maafkan aku. Maaf. Aku kelepasan tadi."

Tak menghiraukan tampilan Luhan yang sangat menggoda dengan mulut penuh sperma, Sehun sekarang cemas dan merasa bersalah. Rasanya ia tadi seperti memperlakukan seorang pelacur, bukan kekasih.

Dasar kau bedebah mesum –gusarnya memaki diri sendiri.

Luhan bangkit berdiri, berlari menuju kamar mandi untuk mengeluarkan cairan yang membuatnya mual setengah mati. Suaranya terdengar memilukan di telinga Sehun. Akhirnya pria itu pun mendekat, memijat-mijat tengkuk Luhan.

"Sudah baikan?"

Luhan menoleh, matanya memicing tajam. "Apa yang kau lakukan?! Tenggorokanku sakit, kau tahu!" suara seraknya berteriak ganas.

"Iya, maafkan aku. Aku kelepasan, sungguh."

Duh, Sehun benar-benar merasa bersalah sekarang.

"Tidak mau tahu! Pokoknya kau harus merasakannya!"

Pupil Sehun melebar seketika. Seringainya tanpa bisa dicegah tersungging di wajahnya, dan ia mengangguk mengiyakan perintah Luhan. "Baiklah. Lakukan seperti apa yang aku lakukan tadi."

Luhan terpancing amarah melihat seringai lebar Sehun. Maka segera ia turunkan tubuh Sehun hingga di posisi berlutut. Tapi sebelum ia sempat mengarahkan kejantanannya, Sehun lebih dulu melahapnya.

"Ah!"

Sehun tersenyum dalam kulumannya. Ia makin semangat mem-blow batang kekasihnya, bahkan sangat dalam sampai ke pangkal tenggorokan. Ia harus menebus kesalahannya kan?

Bedanya kepala Sehun-lah yang bergerak sendiri. Sedang tangan Luhan tengah sibuk meremas-remas pundak tegap Sehun dan dijadikan tumpuan –karena kakinya mulai melemas.

Ditambah gumaman penggetar juga, Sehun melakukannya untuk Luhan.

"Ah! Ah! Sehun–lepas!"

Sehun melirik bingung pada Luhan yang nampak tersiksa. Dengan berat hati ia meninggalkan kejantanan keras itu, beralih cemas pada Luhan-nya.

"Kita lanjutkan di kamar saja. Aku tak kuat berdiri lama-lama."

Dan senyum Sehun merekah lagi.

.

.

.

.

.

"Apa yang kau lihat?"

Luhan berkata malu-malu. Wajahnya sudah merah tajam sekarang. Sebelumnya ia sudah mencapai klimaks pertama dan kini ia di posisi yang sedikit memalukan.

Kaki melebar dengan bantuan tangan Sehun, dan mata Sehun yang terpusat pada bagian pantatnya.

"Aku? Aku melihat lubangmu." Ujar Sehun, tak melepas pandangannya dari pusat kerutan Luhan.

"Oh!" Luhan memekik seperti teringat sesuatu. "Jadi lubang yang dimaksud Baekhyun itu lubang yang itu?"

"Iya, benar." Satu telunjuk Sehun bergerak mengusap kerutan menggoda itu. Diusapnya melingkar hingga pas siap menusuk ke pusatnya.

"Ini pasti sangat sempit."

"Sempit maksudnya?"

Sehun lebih memilih tak menjawab. Ia jilati jari tengahnya sendiri, melumurinya dengan pelumas. Lantas diarahkan tepat di depan lubang Luhan.

"Tahan, sayang. Ini sedikit sakit."

"A-aaah! Sehunnie!"

Badan Luhan mengejang. Benda asing yang memasuki tubuhnya membuatnya perih. Apalagi ketika Sehun lebih memasukkan jarinya, ia merasa panas.

Jari Sehun mulai bergerak memutar, posisinya sudah terbenam sempurna sekarang.

"Ah–Sehun! Aaahs–uuuh.."

Ia tak tahu orang-orang biasa menggunakan berapa jari. Tapi Sehun pikir satu saja sudah cukup. Ia kini memaju-mundurkan jarinya. Mencari titik nikmat Luhan mengandalkan jari tengahnya saja.

"Ah!" Badan Luhan melengkung begitu mendapat tumbukan halus di titik nikmatnya. Pria mungil itu menggeliat tak tahan. Dan lubang rapatnya seolah makin menghisap Sehun untuk masuk lebih dalam.

"Sabarlah, sayang."

Sehun menarik keluar jarinya. Mulai mengurut kejantanannya sekaligus meratakan cairan cairan miliknya sendiri. Tatapan laparnya tetap tertuju ke lubang Luhan yang sesaat lagi siap ia masuki.

"Aaah! Sehun! Sakit–aah!"

Tapi Sehun tak kunjung berhenti. Perlahan-lahan ia dorong masuk kejantanannya, memastikannya dilahap sempurna baru setelah itu ia menenangkan Luhan.

"Tahan, Lu. Sakitnya hanya sebentar, aku janji."

"Ungh.. Tapi jangan dimasukkan lagi, ini sudah sakit."

Lagipula ini sudah maksimal, sayang.

Sehun hanya mengangguk lembut. Bergerak mengusap pelipis Luhan yang berkeringat. Sesekali meniupnya agar Luhan tak terlalu merasa kepanasan. Ia tetap bersabar menunggu meski kejantanannya sudah mengamuk minta digerakkan. Belum lagi jepitan lubang Luhan yang mengetat.

"Ayo lanjutkan, Sehunnie."

Sehun menatap sebentar pada Luhan-nya, baru setelah yakin ia pun mulai menegakkan tubuhnya. Pinggulnya ditekan dulu, lantas mulai digerakkan maju mundur dengan lamban.

"Aaah... ngh–uuhh..."

"Ya Tuhan, Luhan. Kau nikmat sekali." Sehun susah payah menahan keinginannya yang ingin menumbuk Luhan sekeras mungkin. Ia harus hati-hati. Bagaimana pun Luhan lah yang sakit disini.

"Ah!"

Seringai Sehun nampak begitu mendapat titik yang ia incar. Usai itu ia tusukkan miliknya lebih keras, tepat menghantam ke prostat Luhan. Respon nakal dari dinding dalam Luhan pun semakin membuat keganasannya menjadi-jadi.

Tubuh mungil Luhan terhentak-hentak di kasurnya. Seirama dengan paha Sehun yang menampar bokongnya. Wajahnya merah padam dan setiap jengkal tubuhnya serasa mendidih.

"Sehun–aku–aku–aaah.."

"Sebentar lagi, Lu."

Sehun mempercepat tusukannya. Ingin cepat-cepat keluar bersama dengan Luhan-nya. Di tiga tusukan terakhir ia menghantam telak prostat Luhan.

"Aaaah Sehun!"

Mereka mencapai klimaks bersama-sama.

Ada jeda beberapa waktu sebelum akhirnya Luhan perlahan membuka matanya yang terasa berat. Menangkup sebelah pipi Sehun dan mengusapnya dengan sayang. Tatapan sayunya mengarah lurus ke mata Sehun, tersenyum begitu manis.

"Ini menyenangkan." Tutur Luhan di sela nafasnya yang terengah.

Sehun balas senyum menawan. Ia raih satu pipi Luhan dan mengusapnya –persis seperti yang Luhan lakukan.

Tadinya Sehun mau minta putaran kedua, hanya saja wajah cantik Luhan sudah nampak kelelahan. Si pria pucat pun perlahan melepas penyatuan tubuh mereka, beringsut mendekat dan memosisikan si mungil ke dalam dekapannya.

"Aku mencintaimu." Sehun berbisik diantara helai rambut Luhan.

Luhan yang terlalu lelah tak membalas, hanya tersenyum lembut di dekapan pria-nya.

.

Dan, oh ya, setidaknya usaha Kai dan Baekhyun tak sia-sia bukan?

.

.

.

.

.

Fin.