"Scrapbook"

Disclaimer : intinya, tokoh di sini bukan punya saya kecuali ceritanya *wink*

Proudly Present by Cakue-chan

.

.

[Page Four] "Memory"

.

.

.

Merah untuk Jungkook, sedangkan merah muda bagian Seokjin. Pagi itu dimulai ketika Seokjin refleks mengangkat sebelah alis, heran mendapati secarik kertas post-it oranye yang tertempel bisu di antara magnet-megnet kulkas sebelum matanya melirik Jungkook. Yang beberapa detik sebelumnya selesai menghabiskan sarapan dan berderap ke arah bak pencuci piring.

"Ini Taehyung yang buat?" tanya Seokijn ragu, menunjuk dua kotak bekal di atas konter. Jungkook menjawab dengan kedikkan bahu dan Seokjin mengerti. "Lalu ke mana dia?"

"Di kertas post-it-nya bilang pergi lari."

"Sendirian?"

"Memangnya dia punya teman?"

"Jungkook,"

"Sendiri atau tidak, bukan urusanku, Jin-hyung."

Seokjin menggeleng kecil. "Tapi kau akan bawa, kan?" Tak sampai satu sekon, ia langsung menambahkan. "Tidak, kau memang harus bawa kotak bekalnya."

Balasannya tidak ramah, tidak pula tanggapan yang mungkin selama ini diharapkan Seokjin. Tetapi ia sudah mengenal baik siapa itu Jeon Jungkook, mengenal bagaimana pemuda itu memilih untuk tidak memberikan jawaban dan lekas meraih kotak bekal yang sudah disiapkan. Tanpa anggukan, atau penjelasan lebih sampai kotak bekal merah itu dijejalkan ke dalam ransel.

Sebenarnya Seokjin juga tidak menyangka kalau dua kotak bekal itu ada di sana (termasuk secarik post it oranye yang berkata warna apa untuk siapa), tersedia dengan rapi sehingga ia bertanya-tanya pukul berapa Kim Taehyung bangun dan sengaja membekali mereka makanan yang barangkali bisa Seokjin pastikan keadaan seperti itu jarang muncul dalam kehidupan mereka. Jauh sebelum kedatangan Taehyung. Biasanya ia akan membuat bekal sendiri, terburu-buru dan tidak memerhatikan isinya. Bahkan ia tak punya waktu membuat lebih untuk Jungkook karena pemuda itu selalu berangkat lebih pagi atau sebaliknya. Seokjin sibuk di rumah sakit, tak berbeda jauh dengan Jungkook. Salah satu dari mereka terkadang pulang sangat malam, terkadang tidak pulang, atau sengaja menyibukan diri sampai benar-benar sadar bahwa sebenarnya penthouse yang mereka tinggali bersama tak ubahnya sekadar tempat istirahat dan bersinggah.

Ini adalah hal yang kecil, Seokjin tahu itu, keadaan yang seringkali luput di mata orang-orang. Bahwa suatu tempat yang kerap disebut rumah oleh kebanyakan khalayak terkadang tidak terasa seperti rumah.

"Kau pulang malam hari ini?" seru Seokjin cepat, Jungkook baru saja mencapai lorong pintu utama.

"Tidak tahu," balas Jungkook, tidak menoleh. "Tapi hari ini di sekolah juga tidak ada kegiatan apa-apa."

"Oke," Seokjin nyengir tipis. "Sepertinya aku juga tidak akan pulang terlalu malam."


~oooOOOooo~


"Jadi, Kim Taehyung, benar?"

"Nde," Taehyung mengulas senyum gugup. "Hari ini dan ke depannya, mohon bantuan Anda Manajer Jung."

Jung Hoseok mengibaskan tangan. "Alah, jangan terlalu formal. Panggil aku Hoseok-hyung juga tidak masalah." Pria itu membungkuk sembari mendekatkan bibir ke arah telinga Taehyung, lalu berbisik. "Yah, aku tidak biasa dengan sikap formal, jadi anggap saja ini rumah-rumahan toko buku."

"Hah?"

Hoseok mengulas cengiran konyol, tubuhnya kembali tegak. "Intinya, mohon bantuannya, Taehyung."

Manajernya ini jelas pria yang unik, Taehyung pikir. Dan ia merasa bahwa papan pengumuman lowongan part time yang dibacanya dua hari lalu itu bukan sekadar kebetulan, tapi keberuntungan. Taehyung selalu suka toko buku, ia juga suka kopi dan hujan, dan kali ini kesukaannya bertambah dengan sifat supel juga aktif sang manajer, Hoseok.

Lacuna, adalah toko buku yang simpel sekaligus menarik. Sang pemilik dengan sengaja memberikan sentuhan-sentuhan klasik kayu mahoni dan jejeran rak bernuansa rumah pohon, dua sofa ganda tidak jauh dari konter kasir, dan teritori khusus penyewaan buku. Tatanannya disusun secara sistematis berdasarkan genre, fiksi atau non-fiksi, dan kumpulan kamus termasuk buku panduan. Toko buku itu terletak di kawasan Myeongdong yang Taehyung rasa, terlihat kontradiksi dengan keramaian khalayaknya.

"Omong-omong Taehyung, kau sudah punya pacar?"

"Eh?" Taehyung mengerjapkan mata, sekali, dua kali, setelah itu berdeham kikuk. Ruangan tempat gantinya jadi terasa panas. "Ah, soal itu, tidak ada. Akhir-akhir ini aku sibuk kuliah dan, Hyung bisa lihat sendiri, sibuk juga di sini. Dobel, ehe. Jadi aku tidak punya waktu untuk berpikir sampai sana."

"Memang sibuk, atau sengaja menyibukan diri?"

O-oh. Taehyung kukuh tidak ingin menarik impresi pertama kalau Hoseok itu memang supel, tapi sekarang ia tambahkan ternyata omongannya bisa sarkastik yang diselip dengan kelakar. Terus terang saja, dia adalah tipikal orang yang sulit dibenci.

"Nah, dua-duanya mungkin benar."

"Begitu?"

"Seperti itu."

Hoseok terkekeh kecil. "Sori, yang tadi itu semacam tes kecil dariku. Dulu ada dua karyawan yang terpaksa keluar dari sini gara-gara pacarnya marah, atau terlalu sibuk di sini dan sebagainya, dan sebagainya. Termasuk seorang pelanggan yang sengaja sering datang ke sini supaya dia sibuk dan tidak dengar keributan di rumahnya. Toko buku ini, Taehyung, tak ubahnya seperti kisah." Ia mendorong bahu Taehyung agar segera berjaga di konter kasir dan berkata. "Itu cuma prolog, jangan terlalu dipikirkan. Ayo kerja, kerja."

Barangkali ia akan bertahan di sini, entahlah, kerja sambilan di toko buku jauh lebih menyenangkan daripada ia harus menerima tawaran di kafetaria kampus rekomendasi Jimin. Salah-salah ia malah menyampurkan gula untuk makanan asin dan menaburkan micin untuk minuman manis. Jimin boleh bilang kalau Taehyung memasak begitu lancar di rumah, namun ketika keadaan ricuh oleh banyak orang, semuanya bisa menjadi kacau. Lacuna memang tempat part time yang tepat untuk saat ini.

"Ah, Taehyung."

Atau mungkin tidak sama sekali.

"Ketemu juga. Harusnya dari awal aku ke sini saja daripada harus main kejar-kejaran."

Tak lebih dari sepuluh menit, astaga, saat akhirnya Taehyung berdiri mematung di belakang konter kasir dan senyum tipis Kim Namjoon pertama kali menyambutnya.


~oooOOOooo~


Sehun memandangnya penuh selidik, sedikit geli, dan Jungkook yakin air liur pemuda itu bisa menetes kapan saja ketika dihadapkan dengan sekotak bekal yang lengkap; tiga buah onigiri, salad sayuran, potongan buah pir, dan beberapa butir permen rasa mint—ya Tuhan, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Taehyung. Buat kotak bekal saja seperti anak taman kanak-kanak yang mau piknik dan wisata.

"Waktunya mengaku, Jeon," cibir Sehun, sembarangan mencomot onigiri berlapis rumput laut. "Kapan kau punya pacar? Kelas mana? Apa aku kenal?"

"Bedebah." Jungkook menendang satu kaki Sehun, kemudian berbisik lebih kepada diri sendiri. "Penghuni tidak diundang itu bisanya cuma berbuat konyol."

"Penghuni tidak diundang?"

"Bukan apa-apa."

"Tapi aku dengar, lho," kejar Sehun. "Salah satu orang rumah, mungkin?"

"Bisa dibilang."

"Tumben."

"Apanya?"

"Maksudku, orang rumah. Seingatku, kau tidak pernah bawa-bawa yang seperti ini begitu lulus SMP." Onigiri dilahap cepat. "Ibumu berubah pikiran?"

.

.

.

Jungkook kecil selalu merasa bahwa masakan ibunya adalah nomor satu. Yang terbaik di antara terbaik lainnya. Ada suatu keadaan spesial, saat di mana pihak sekolah mengadakan karya wisata dan sang ibu dengan sengaja membuatkannya kotak bekal berbeda dari pada biasanya. Ibunya tahu kalau Jungkook menyukai telur dadar gulung yang rasanya sedikit manis, kimbap dengan irisan salmon, atau onigiri yang sengaja dibentuk emotikon senyum.

.

.

.

"Jungkook?"

Tepukan Sehun di bahunya membuyarkan lamunan Jungkook, ia tersentak kecil, mengernyit tidak suka, lalu menggeleng dan berdecak dalam hati. Benaknya masih mengingat pertanyaan Sehun mengenai orang rumah, kotak bekal yang sengaja disiapkan, dan dugaan terakhir yang tidak Jungkook sangka Sehun akan mengajukan pertanyaan serupa itu. Orang rumah, eh?

"Buatmu saja."

Mulut Sehun terbuka, tapi tidak jadi melontar protes ketika Jungkook menggeser kotak bekalnya menuju Sehun, berdiri hingga derit kursi bebunyi nyaring, setelah itu berjalan keluar kelas dengan kedua tangan tersembunyi di balik saku celana. Tanpa penjelasan, tanpa pula menunggu tanggapan Sehun.

Sori untuk yang tadi, Jeon—atau Jungkook memang sengaja pura-pura tidak mendengar seruan Sehun sebelum ia menghilang di balik pintu.

Katanya, rumah adalah tempat kau berpulang dan tak perlu memupuk rindu. Namun ketika kau pergi, rindu itu akan muncul karena memori yang sering terjadi termasuk yang sepele sekali pun senang sekali bermain dalam benak, tanpa mengetuk dan masuk begitu saja. Katanya, kenangan itu tidak sopan karena datangnya seperti ayam. Berisik seperti pantun-pantun yang cerewet. Bahkan tak mengenal lini masa layaknya kompas yang rusak.

Lucu sekali, definisi rumah itu, sampai-sampai hal sekecil seperti masakan rumah kesukaan pun Jungkook tak ingat.


~oooOOOooo~


Tiga puluh menit sebelum pukul tujuh malam, Seokjin tiba di parkiran supermarket pusat kota bersama Jungkook seusai berbelanja kebutuhan sehari-hari dan tambahan bahan makanan. Keresek belanjaan dijejalkan oleh Jungkook ke dalam bagasi belakang selagi Seokjin sibuk menyalakan mesin, menunggu setelah mereka duduk di kursi sembari memasang sabuk pengaman dan mobil melaju pergi. Radio sengaja tidak dinyalakan, Seokjin biarkan saja hening mampir dan niatan untuk membuka pecakapan pun lenyap ketika ia sadar kalau suasana hati Jungkook sedang tidak berada dalam tempatnya untuk diajak berbincang. Sore sebelum shift-nya di rumah sakit berakhir, Jungkook datang dan berkata kalau dia akan menunggu sampai Seokjin selesai. Seokjin tidak meminta cerita, ia tahu Jungkook juga akan menolak jika ia bertanya langsung.

Setidaknya, Seokjin perlu waktu sampai Jungkook membuka suara lebih dulu.

"Jin-hyung,"

Ah. "Hm?"

"Hyung makan bekalnya sampai habis?"

Sepasang alis Seokjin bertaut, ia melirik Jungkook lewat sudut matanya. "Pertanyaanmu aneh," sahutnya, "tapi, ya, bekalku tentu saja habis. Aku suka onigiri dan buah pirnya. Kau sendiri bagaimana?"

"Yaah, begitulah."

"Kau oke?"

"Selalu."

"Ada masalah?"

"Tidak juga,"

"Di sekolah?"

"Negatif."

"Aku merasa seperti sebaliknya," ungkap Seokjin, dengan cepat mengalihkan fokus pada jalanan ketika Jungkook menoleh ke arahnya. "Tapi tidak apa-apa kalau belum mau cerita. Kau tahu aku, Jungkook, seperti aku mengenalmu dengan baik. Memaksa seseorang untuk mengeluarkan pikiran juga tidak bagus."

Jungkook mendengus kecil. "Aku malah merasa sedang melakukan konseling."

"Tidak ada salahnya."

"Hyung," jeda sejenak, Seokjin menanggapinya dengan gumaman yang sama, menanti hening dan ia mengerti diam adalah waktu di mana Jungkook berusaha menata frasa dan klausa dalam kepalanya. "Ada kabar dari Eomma?"

Beruntung tepat pada saat itu, Seokjin menginjak pedal rem dan mobil berhenti di pekarangan penthouse mereka. Tidak ada goncangan seperti dalam film-film atau gravitasi yang mendadak terhenti dan tubuh limbung ke depan, tidak juga bunyi decitan ban yang memilukan. Tetapi hening canggung yang mampir di antara keduanya nyata, beberapa detik setelah mesin dimatikan dan sorot lampu mobil lenyap dalam sekejap.

"Itu di luar dugaanku." Kesepuluh jemari mengerat di sekeliling kemudi, dokter muda itu menarik napas dalam-dalam. "Kenapa tiba-tiba sekali?"

Jungkook menggeleng. "Kalau Hyung tidak mau bilang juga aku mengerti."

"Tidak, bukan itu maksudku," sela Seokjin. "Ditutupi pun rasanya percuma. Kau sudah besar Jungkook, aku juga tidak akan bisa menyembunyikan segala sesuatunya darimu. Kau sudah besar dan bisa memilih apa yang akan jadi pilihanmu." Seokjin menoleh, mata bersirobok meski yang ia lihat hanyalah separuh wajah Jungkook yang membayang. "Aku hanya ... kaget. Ini pertama kalinya kau bertanya hal yang, yah, yang selama ini tidak ingin kita bicarakan."

Balasannya berupa kekeh samar, getir, tapi pertanyaan itu tidak pernah terjawab untuk saat ini. Jungkook tak memberikan waktu, Seokjin berusaha mengulur waktu, dan perbincangan itu berhenti ketika Jungkook akhirnya membuka pintu mobil tanpa berkata apa-apa lagi. Seokjin memandang punggungnya jauh, jauh, sebelum kemudian menghilang di balik pintu penthouse yang telah dibuka. Ia kembali menarik napas dan menempelkan kening pada lingkar kemudi.


~oooOOOooo~


Nyaris mendekati tengah malam dan batang hidung Taehyung belum saja tampak.

Namun selang beberapa detik di mana tik-tok jam terus berdetik, Jungkook terbangun karena dering bel interkom yang ditekan berulang kali. Ia menutup laptop dengan sedikit panik, berjaga-jaga jika suatu saat Seokjin mendapatinya tidak tidur meski ia yang pertama keluar dari kamar. Seokjin muncul setelahnya lalu mengekor di belakang begitu Jungkook mencapai pintu, satu tangan memutar kunci dengan suara harus klek, dan pintu terbuka.

Kemudian, tubuh sempoyongan maju, menabrak Jungkook cukup keras dan bau alkohol menguar kuat.

"Sampaiiiii!" Teriak Taehyung sambil mengangkat tangan kiri, ranselnya tergeletak begitu saja di teras. Keseimbangan Jungkook goyah, ia lekas berlutut dan berusaha menahan bobot tubuh Taehyung di antara kedua lengannya. "Malam ini tidak ada bintang, yeay! Tapi aku lihat bulan sabit, langitnya tersenyum! Oh, oh, Jungkook!" Rambut cokelat Taehyung berkibar bebas ketika mendongak. Ugh, bau alkoholnya memuakkan. "Coba kau senyum! Senyuuummm!"

"Hyung!" Panggil Jungkook, melenting sekuat mungkin begitu Taehyung berusaha menggapai wajahnya. "Dia sudah gila, bantu aku!"

"Apa sih yang kau pikirkan, Tae," Seokjin berdecak, merangsek maju dan menarik lengan kanan Taehyung tanpa tedeng aling-aling. Rintihan kecil lolos, dari Taehyung, sehingga Jungkook menarik lengan kirinya sepelan mungkin. "Sofa dulu, Jungkook, sofa. Dia tidak bisa diam—argh! Jangan injak kakiku Taehyung!"

"Ups." Taehyung ber-ehe panjang. Kelopak matanya tidak fokus. "Sakit, ya?"

Jungkook mendelik ngeri. "Astaga."

Perlu sekiranya waktu bagi Jungkook dan Seokjin sampai Taehyung berhasil mengempaskan bokong di atas sofa. Jungkook berderap cepat menuju dapur sedangkan Seokjin berusaha mempertahankan posisi Taehyung agar tidak langsung tertidur. Kepergian Jungkook tidak lama, ia kembali membawa segelas air mineral dan biarkan Seokjin yang menangani. Dalam hal ini, pria itu yang lebih tahu dan lebih cekatan.

"Toleransimu buruk, Tae."

"Seratus untuk Jin-hyung! Padahal aku cuma minum dua botol soju, lho!"

"Aku tidak butuh informasi itu. Sekarang, minum."

"Ini apa? Jus semangka?"

"Ya, ya, ini jus semangka."

"Oh, terima kasih!" Gelasnya tidak langsung kandas, tapi setidaknya Taehyung tak memuntahkannya begitu air mineral ditelan. "Perasaanku saja atau jus semangka sudah berubah rasanya?" Sekilas, meski tak mencapai dua sekon, sorot matanya sempat fokus. Memandang Seokjin dan Jungkook bergantian sebelum akhirnya tertawa samar. "Terserahlah. Pokoknya aku sayang kalian."

Bola mata Seokjin melebar, tak jauh berbeda dengan Jungkook, ada waktu di mana mereka menoleh dan saling menatap, lalu berpaling kembali pada Taehyung.

"Kau mabuk." Sinar mata Seokjin teduh, melembut. "Ayo, kami antar ke kamar."

"Tidak, tidak, yang itu benar kok," kilah Taehyung, bibirnya mengulas senyum ganjil. "Sini coba kemari kalian berdua."

Diburu rasa bingung, Seokjin menurut. Sebelah alis Jungkook terangkat tetapi tidak sempat menghindar begitu Taehyung menarik keduanya dalam sebuah pelukan. Tidak erat, tidak juga renggang. Telapak tangannnya halus, entahlah, menepuk punggung Seokjin dan Jungkook layaknya seorang kawan yang sudah lama tak saling bersua.

"Aku punya keluarga lagiiiii," bisik Taehyung antusias, suaranya teredam di antara celah leher Jungkook dan Seokjin, mengapit kedua pipi. Gerak-gerik di kakinya seperti bocah yang baru bisa berjalan. "Toh tidak akan ada sapu atau telapak tangan yang melayang nanti."

Protes yang keluar nihil. Jungkook tidak mempertanyakan bagaimana bisa mata dan pipinya memanas di saat seperti ini, atau ketika Seokjin berusaha menarik oksigen sebanyak yang paru-parunya perlukan, tidak juga menarik diri dan Jungkook paham ada saat di mana seharusnya ia mencoba mengandalkan apa kata hatinya dibandingkan logika.

.

Atau ketika Seokjin dan Jungkook membalas pelukan Taehyung tanpa pemuda itu minta untuk melakukannya. Mengesampingkan fakta bahwa betapa konyolnya mereka bertiga berpelukan tidak jelas di tengah malam seperti ini.

.

Dan menunggu hingga kenangan-kenangan itu muncul. Random seperti roll film lama, tetapi begitu rapi dan cantik laiknya susunan scrapbook.


~oooOOOooo~


.

.

.

"Pulang, sekarang. Kau menyetir dan jangan minum soju satu botol pun."

"Oppa, kau terlalu kolot."

"Hyoin, kau ini perempuan. Tolong jangan—"

"Aku tutup teleponnya, pesta dimulai. Dah!"

.

(Esoknya, tertimbun di balik headline mana pun, media cetak atau internet, semuanya memuat hal yang sama; berita tergulingnya sebuah mobil di ujung jalan sudut kota, terjerembab pepohonan dan melesak di dasar jurang. Dua orang tewas, sepasang kekasih, kecelakaan terjadi karena keseimbangan buruk dan pengemudi yang mabuk.)

.

.

.

Ada masa di mana Seokjin memimpikan hal yang sama dan terkadang ia tidak ingat akhir dari kisahnya.

Tapi, tidak. Seokjin hanya beralasan.

Ia hanya pura-pura dan berusaha untuk melupakan.


tbc


a/n : sebelumnya, terima kasih yang sudah menyempatkan review chapter kemarin ya 8"D /maafjugagaksempatbalesduluhuhu/ tapi saya ingin menanggpi review dari seorang anon :kalau boleh jujur, pemikiran saya awalnya juga gitu, kok. Mungkin lebih baik cerita ini gak dilanjut aja, mengingat betapa ngaretnya saya dan suka seenaknya apdet. Akan tetapi, sayangnya, keegoisan saya lebih mendominasi 8"D ada satu hal dalam fanfiksi ini, yang mengingatkan akan diri saya sendiri. Dan akhirnya saya putuskan bagaimana caranya membuat cerita ini selesai sampai akhir. Meski berkurang pembaca, meski berdebu, meski saya seenaknya dan akhirnya malah gantungin pembaca. Tapi toh, keputusan tetap ada di saya. Jadi, mohon maaf sekali, saya akan tetap melanjutkan fanfiksi ini /meskipunjatohnyanantitetepngaretmaafkan/. Dan terima kasih sudah mengingatkan, secara gak langsung jadi catatan buat saya juga :"DD

oh ya, setelah saya perang sama batin(?), kayaknya Scrapbook bakal berhenti di chapter 8 atau 10 :"D /ataumungkinkurang/ sedari awal saya nulis fanfiksi ini emang mau dibuat pendek tapi padat/gimana. Semoga saja tidak meleber huehuehue. Maaf atas kengaretan ini dan terima kasih sudah baca /o/