cukup

disclaimer: Vocaloid © Yamaha, Crypton, etc.
pair: len/miku
warning: gaje.

.


.

Malam kembali terasa dingin. Sepi dan sunyi. Walau di berita-berita luar negeri menyatakan bahwa kota ini adalah kota yang selalu sibuk dan tak pernah mati, namun sepertinya, hari ini pernyataan itu seakan tidak berlaku lagi.

Di dalam kereta yang penumpangnya hanya satu-dua. Seorang gadis, sendirian, menyandarkan kepala pada jendela. Tak mengindahkan hawa mencekam di sekelilingnya yang melebihi mencekamnya film-film horor Amerika. Namun, tatapan matanya sudah menjelaskan; dia tidak peduli. Tidak akan.

Dia terdiam. Cukup lama.

Dingin seolah bukan lawan yang sepadan untuknya. Berbalut kaos tipis yang senada dengan warna rambutnya—hijau toska—dan rok hitam longgar yang panjangnya bahkan hanya sanggup mencapai mata kakinya; dia tetap tidak kedinginan. Entahlah. Padahal dia bukanlah pahlawan super wanita yang bertubuh baja, namun tetap saja; dia tidak merasakannya.

Miku, nama gadis itu, membiarkan kepalanya dengan sang jendela beradu. Kereta yang dia tumpangi sudah mulai berjalan beberapa detik yang lalu. Pelan-pelan namun pasti, kereta itu akan membawanya pergi. Walau dia sendiri tak tahu ke mana tempat yang dia ingin tuju.

Dia tak memikirkan apapun. Lebih tepatnya, tidak ingin memikirkan apapun.

Sudah cukup. Dalam hatinya, hanya ada beberapa kata yang daritadi terus terngiang di kepalanya:

Dia ingin pulang.

Ya. Pulang.

Ke tempat di mana orang yang dia sayangi berada; ke tempat di mana segala hal yang indah ada di sana.

Dia ingin pulang; ke tempat di mana orang itu telah menunggu. Orang itu, ya, orang itu. Lelaki sok pahlawan yang telah menjadi temannya sejak dulu. Bocah kuning sok keren, bocah kuning sok kuat. Hanya orang itu.

Dia masih ingat, saat lelaki itu melambaikan tangannya sambil tertawa lebar menampakkan jajaran giginya yang utuh itu di stasiun sewaktu Miku akan berangkat menimba ilmu di tempat yang jauh beberapa tahun yang lalu. Waktu itu, dia tak merasakan apapun. Sungguh. Dia membalasnya hanya dengan tersenyum, walau dia sendiri tak sadar; bahwa airmatanya sudah jatuh.

Tapi, itu dulu. Saat di mana dia bersikap terlalu tidak peduli pada apapun, termasuk eksistensi orang itu. Namun, nyatanya? Sekarang, dia hanya bisa merutuki waktu. Si bocah kuning itu sudah bahagia sekarang. Dia tahu semua ini karena orang itu mengabarinya berita heboh beberapa hari lalu:

'Aku akan menikah, Miku!' katanya, dengan suara yang menggebu-gebu.

Oh, demi Tuhan, Miku ingin mencakari tembok saja rasanya. Tapi, seperti itukah sikapnya terhadapnya? Dia, Miku, memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk selamanya akan tetap menjadi sahabat bagi orang itu. Teman. Kawan. Selamanya.

Mungkin karena itulah, dia memilih untuk tidak menjawab apapun saat orang itu meneleponnya. Mematikan telepon menjadi jawaban darinya.

Ah , sudahlah. Cukup. Memikirkannya saja Miku tidak sanggup. Dia tidak akan bisa menemui orang itu. Kapanpun, dan di mana pun itu.

Dia sudah memilih untuk menjauh. Pergi, sejauh yang dia mampu. Biarlah. Biar saja orang itu bahagia dengan hidupnya. Biarkan pula Miku mencari kebahagiaan untuk hidupnya. Dia mengalah.

Sebab Miku percaya; bahwa terkadang, ada beberapa hal yang menjadi indah saat tak bisa kita miliki.

Kini, kereta sudah separuh jalan. Membawanya ke tempat di mana dia sendiri pun tidak tahu.

Entahlah. Masa bodoh.

Dia tidak peduli.

Walau dalam hati, dia terlalu banyak menanggung rindu; dan terlalu ingin bertemu.

tamat.

.

.


.

a/n: ... nah, kan. gaje kan. cih, kayaknya saya emang gak bakat bikin fic ginian. maaf sekali lagi apabila saya nyampah. /\ #sungkem

oh, dan juga, selamat ulang tahun, diriku! o/