For Mimong's #HeartBreakerChallenge

Owari no Seraph © Takaya Kagami & Yamato Yamamoto

.

[Fik ini bernonprofit, semata hanya untuk penuangan imajinasi, bukan demi mencari finansial maupun materi].

.

Warning

AU, typo (s) misstypo (s), multi alur dan sengaja tidak saya jelaskan (semoga pembaca paham).

1st POV dan 3rd POV

Cover made by Ori91ri

.


Ada jeda cukup lama semenjak pemberi curhat itu mengungkapkan kata terakhir. Terselip isak tangis. Hatinya ternyata belum matang mengumpulkan keberanian untuk membeberkan segala permasalahannya.

"Halloo, Shinoa-san, apakah kau masih ada di sana?" suara itu diucapkan begitu pelan.

"Maaf," bunyi sesegukan keluar, "aku terlalu membawa perasaan."

"Oh baik, apa ada yang ingin Shinoa-san ceritakan lagi?" Pemilik suara berintonasi ceria itu bernama Yoichi.

"Tidak, sudah tidak ada," kali ini yang terdengar bunyi cairan hidung yang sengaja disedot. "Saran yang kudapatkan membuatku tersadar. Maaf―" lalu suaranya menangis pelan, "aku tidak bisa menahannya," kemudian semakin pecah ruah.

Meski berbeda tempat dan ruang, terpisah jarak radius meter, suara tersedu yang terdengar melalui pesawat telepon sukses menciptakan atmosfer canggung di studio.

"Shinoa-san," ini adalah pengantar kalimat terakhir sebelum acara tengah malam bertajuk 'Problemmu minggu ini' yang biasanya di dominasi oleh curhatan orang-orang putus cinta, mengakhiri pengudaraannya. "Mungkin kata-kata ini sudah basi, tapi aku hanya ingin mengingatkan." Hening sesaat, "―keputusanmu untuk meninggalkannya itu adalah hal yang tepat. Melepaskan orang yang kau suka adalah cinta yang jauh lebih besar daripada menjadikan orang itu sebagai milikmu."

Hanya terdengar suara sesegukan sebagai respon.

"Nah, Shinoa-san, apakah perkataan Mikaela-san sudah membuatmu tenang?"

"Haikk, terima kasih banyak. Saya sangat beruntung bisa bertukar cerita dengan kalian. Sekali lagi terima kasih banyak."

Sambungan telepon ditutup. Diiringi bunyi Tuut..tuut..tuut setelahnya.

"Baiklah pendengar, sepertinya Shinoa-san menjadi penelepon terakhir kita malam ini. Akhirnya kita sudah sampai di program penghujung acara."

"Program acara ini dipersembahkan oleh―"

"Shindo Mikaela."

"Dan saya si manis Saotome Yoichi."

"Kami pamit undur diri. Bye bye."

"Sayonara mata ashita. Yoo . . . "

Pelan-pelan suara kami yang meredup tertelan mentah oleh dendangan lagu berirama energik yang dinyanyikan Idol Grup wanita yang telah merajai chart tangga lagu selama empat minggu.


THE EXISTENCE OF A SMALL

Part II


Headphone dilepas. Sedikit linu di kepala terasa. Permukaan meja kuraba sebagai petunjuk. Pelan-pelan kusingkirkan tubuhku dari enyakkan kursi penyiar.

Sebuah tangan telah sigap menangkap pundakku. Sang pemilik tangan adalah rekan siaran yang ikut bercuap-cuap di sepanjang acara. Menuntun tubuhku menuju pintu keluar. Saotome Yoichi dan segenap staff stasiun radio ini memaklumi betul keterbatasanku yang tidak mampu melihat. Aku masih hidup, tapi fungsi mataku yang mati.

Bunyi gemerincing tertangkap telinga. Wajahku menoleh. Kegelapan yang tampak. Tapi aku yakin orang yang berdiri di sebelahku penuh dengan warna. Terutama di bagian parasnya yang selalu diceritakan orang-orang, bahwa dia memiliki roman muka yang cukup rupawan.

"Mika-san, jangan lupa besok jam sebelas."

"Baik."

Tanganku digandeng oleh orang yang selalu memberitahukan keberadaannya lewat bunyi lonceng yang diikat di gantungan ponsel. Meninggalkan Yoichi yang masih memiliki hak siaran tengah malam.

Hawa hangat berubah dingin. Temperatur udara yang menjadi lain memberikan tanda bahwa kami sekarang menapaki tanah di luar bangunan stasiun radio.

Sunyi, tidak terdengar suara ribut-ribut wanita. Tengah malamlah yang menjadi penyebabnya. Makhluk-makhluk berjenis hawa pasti telah berjelajah di dunia mimpi.

Biasanya, selepas aku menyelesaikan hak siaran jam matahari miring di langit, pasti ada saja terdengar suara-suara genit yang merayu 'Penuntunku' ketika dia datang menjemput.

Sudah sering aku berujar : Pilihlah salah satu wanita yang menurutmu menarik. Jangan sampai mereka salah anggapan bahwa kau homo. Respon yang kudapat hanyalah genggaman tanganku yang semakin dicengkeram erat.

"Sano, besok tidak usah buka toko. Aku dan beberapa penyiar lain menjadi perwakilan untuk menghadiri pertemuan besar para penyiar radio di Tokyo."

Kurasakan jarinya mengukir sebuah kata di telapak tanganku. Kata 'baik' lah yang terbaca oleh indera perabaku.

Sanowaki, adalah pemuda yang telah menjadi penuntun sekaligus pengasuhku selama tiga tahun belakangan ini. Dia juga salah satu pasien rumah sakit yang sama dengan tempatku menerima perawatan penyembuhan tumor. Dari sanalah bermulanya persahabatan baru.

Kecocokan kami langsung tercipta, karena kami memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama tak berorang tua. Sama-sama hidup sebatang kara. Dan sama-sama penyandang disabilitas.

Aku tidak bisa melihat sementara Sano tidak dapat bicara. Pemuda itu tidak bisu sejak lahir melainkan sejak dia baru duduk di tingkat lima sekolah dasar. Jadi, perlu diketahui, pita suara Sano memang mati fungsi, tapi dia tidak tuli.

Awalnya memang agak susah untuk kami berinteraksi. Dia bisa saja menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tapi kasusku berbeda karena kubuta. Kekurangan akan menciptakan suatu kelebihan.

Efek tumor memang telah meniadakan daya visualku, tapi di sisi lain telah menajamkan indera perabaku. Berkatnya aku bisa menguasai huruf braille.

Proses belajarnya pun pada saat kami masih berada di rumah sakit. Dia lah yang telah mengajariku, melatihku dengan penuh kesabaran. Meningkatkan intuisiku. Membiasakanku membaca ukiran yang ditorehkan jari lewat telapak tangan maupun lengan. Kegelapan sekarang bukan hal yang aku takuti. Melainkan sesuatu yang berhasil aku lalui.

Sano adalah jawaban atas keterpurukan yang selama ini kuderita. Hatinya begitu mulia, merawatku sampai sejauh ini. Dari mentari mulai menyempil, dia sudah menyiapkan air mandi hangat untukku. Menghanduki helaian pirangku yang basah dengan lembut. Memilihkan pakaian yang akan aku kenakan tiap hari. Menyajikan makanan sehat untuk aku konsumsi. Menjadi penuntunku ketika aku berada di luar rumah.

Senantiasa mengantarkan dan menjemputku usai mengudara. Sampai surya digantikan bulan, Sano masih menunjukkan pengabdiannya: menyiapkan piyama dan ranjang yang bersih untuk aku tiduri. Menungguku sampai tertidur lelap, barulah dia berhenti.

Aku masih bisa melihat dunia melalui mata Sano. Setiap pagi aku selalu disaduri beberapa kertas dengan titik-titik timbul. Dia menceritakan apa saja yang terjadi hari kemarin di benda itu. Menceritakan tentang keadaan distrik. Menceritakan apa saja yang dilakukan para tetangga. Menceritakan tentang toko usaha yang dijalaninya, ataupun menceritakan tentang pendiskripsian tayangan TV yang hanya bisa aku dengar suaranya. Ataupun menceritakan tentang apa saja yang dilihatnya ketika kami berjalan berdua di pusat kota.

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk Sano menciptakan tulisan sentuh dengan penjabaran yang begitu jelas dan panjang lebar. Aku sangat menghargai usaha kerasnya. Agar aku tidak terlalu nelangsa dengan warna gelap yang senantiasa ada.

Rasanya aku sangat sulit untuk percaya. Di antara kekejaman takdir yang kerap menggerogoti kehidupanku, Tuhan telah menyiapkan penolong berhati malaikat seperti Sano sebagai hadiah akhir.

Tiga tahun tinggal di Saporro bersama Sano, sekalipun Sano tidak pernah berbuat kasar kepadaku, apalagi melakukan pelecehan seksual. Interpretasiku mengatakan Sano hanya menganggapku layaknya keluarga yang patut dia lindungi.

Pernah suatu ketika aku bertanya: Kenapa kau begitu baik padaku, Sano?

Dia hanya mengukirkan jarinya di lenganku menuliskan kalimat : Karena kau menawan.

Dia memujiku layaknya memuja seorang wanita. Lantas aku berpikir, mungkinkah Sano suka padaku? Kalau memang iya, hatiku bingung untuk membalas perasaannya seperti apa.

Sano memang sangat baik. Kehangatannya bahkan begitu kuat melampaui kehangatan yang pernah aku rasakan. Hanya saja aku masih belum bisa melupakan Yuu-chan. Hati dan cintaku telah dibawa pergi bersama sosok Yuu-chan yang juga telah menjauh dari kehidupanku. Hati untuk mencintai sudah lama hilang sejak tiga tahun yang lalu.


Lenganku sengaja bergelantungan sangat erat. Semakin diperkuat Sano yang rupanya khawatir pegangan kami akan terlepas di tengah pusat kota Tokyo.

Dia menekankan sifat kelewat overprotektinya di jam-jam padat kota Shibuya yang tak pernah jauh dari kata lengang. Kami menyusuri jalan dengan otoritas peningkatan perlindungan dari biasanya padaku seusai mengikuti gathering perkumpulan penyiar.

Entah kenapa intuisiku tiba-tiba bergetar di tengah jalan. Lama Sano ikut bergeming bersamaku sampai akhirnya dia membunyikan lonceng, menuntutku untuk bicara.

"Apa ada restoran bernama Palm Tree di dekat sini?"

Seperti biasa, Sano akan mengukirkan jawaban pendek di telapak tanganku, dan akan mengukirkan jawaban panjang di lenganku.

'Ada.'

Jawaban Sano mencekik leher. Pantas saja laju tungkaiku berhenti dengan sendirinya. Ternyata tempat yang banyak menyimpan kenangan tidak jauh berada dari posisiku. Seolah menarik diriku untuk mengunjunginya.

Sano mengukir lagi.

'Mau makan di sana? '

"Tidak," sahutku cepat, terkesan kaku. "Kita cari tempat lain saja. Aku ingin makan salad."

Tubuhku dituntun lagi. Tidak lama berjalan Sano membawaku ke tempat makanan siap saji yang menyediakan salad sebagai salah satu menunya.

Pemuda itu memang sangat memperhatikan asupanku. Memperhitungkan bahan-bahan yang akan dicerna oleh ususku, karena aku bekas penderita tumor. Wajar dia mempertimbangkan banyak kemungkinan. Salah makan bisa memicu kembali berkembangnya penyakit yang hampir membuatku mati.

'Aku akan mengantri, tunggulah disini.'

Membutuhkan waktu satu menit untuk Sano menuliskannya. Aku bahkan menahan geli karena jari-jarinya menari di lenganku.


"Hei Yuu!"

Mendadak tubuhku serasa dihantam bongkahan es. Beku melanda. Pundak menegang hebat.

"Benar kau Yuu."

Semoga saja itu bukan nama dari orang yang aku kenal.

"Gaya rambutmu berubah. Aku hampir tidak mengenalimu."

Ritme jantungku berdegup kencang. Aksinya membuat nadi-nadiku berdenyut gila. Serentak terdengar bersamaan sampai ke ubun-ubun.

"Oh, kau Kimizuki."

Tertusuk telak. Tepat menghunjam tempat vital di tengah yang tertutupi tulang rusuk dada. Sesak nafas sesaat.

"Tentu saja. Penampilan kita harus berubah, jangan begitu-begitu saja. Harus ada peningkatan."

Suara itu entah berasal dari mana. Tidak tahu di mana persis tepat keberadaannya. Masih rancu letak sumbernya. Tapi yang jelas pemilik suara itu ada di bagian dalam tempat ini.

"Kau tambah tinggi sekarang. Padahal dulu kau lebih pendek dariku. Masih bisa tumbuh juga ternyata. Hahahahahaha."

"Heh, mulutmu juga tidak sama ubahnya seperti dulu. Busuk!"

Tidak salah lagi, suara itu kukenali. Vokal seorang pemuda yang kerap mengalun di pendengaranku selama enam belas tahun. Suara seseorang yang teramat aku rindukan. Tetapi seseorang yang tidak ingin aku jumpai lagi di masa sekarang.

Suara Yuu-chan.

Kurogoh kantong celana. Kugenggam ponsel pintar. Diriku terlalu gugup untuk menyentuh layar. Intuisiku tidak bisa bekerja sama. Saking takutnya keberadaanku diketahui Yuu-chan, alat komunikasiku terlepas dari pegangan. Suara benda jatuh menubruk permukaan lantai terdengar.

Peluh sebiji jagung mulai menyempil. Kening kusentuh sebentar. Otakku terlalu tumpul untuk berpikir. Terlalu gegabah. Tidak mungkin aku merangkak, meraba-raba di lantai, mencari ponsel yang tidak tahu tercecer di mana. Gelagat seperti itu pasti akan menarik perhatian. Terlebih lagi karena aku buta.

"Sano, Sano, kau di mana?"

Seharusnya aku bertanya di mana letak konter kepada Sano sebelum dia menyuruhku tinggal. Sehinggga aku bisa berhati-hati melangkah ke sana. Setelah ketemu lalu memintanya membawaku segera pergi dari tempat ini juga.

Hanya saja aku tidak berpikiran sampai sejauh itu. Kemungkinan bertemu Yuu-chan di kota besar sama sekali tidak kuduga.

Mau tak mau aku harus mengangkat diri, berjalan kemana saja. Mungkin dengan cara seperti itu Sano akan menyadari keanehan pada diriku, mendatangiku, dan aku bisa mangajaknya lekas keluar.

Sayang seribu sayang, tubuhku yang terlampau gemetar menyebabkan salah satu kakiku tersandung kaki meja. Tubuhku hampir ambruk jika saja tidak ada tangan yang dengan cepat mencegahnya.

"Hati-hati."

Sungguh, rasanya aku ingin mati saat itu juga.

"Mika."


"Bagaimana kabarmu, Yuu-chan?" Sangat jauh dari perkiraan bahwa kami akan terduduk satu meja.

"Kabarku baik. Kau sendiri?"

"Kabarku juga baik," kuberikan senyuman. "Kau tambah tinggi, ya?"

Bohong besar, mana bisa aku melihat. Aku hanya mencuri dengar dari perkataan temannya barusan.

"Kau juga, sedikit gemukan sekarang."

Tertawa kecil. Aku berusaha bersikap senormal mungkin. Senormal manusia sehat. "Iya, akhir-akhir ini aku banyak makan."

Canggung sesaat. Tapi tak mengintimidasikan sumber suara lawan bicaraku yang berada di hadapan. Pandangan tetap kuarahkan ke depan.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu, terakhir kali bertemu kapan, ya?"

Bersyukur bola mataku tidak sampai diangkat. Selaput putih yang melapisi pupilnya juga telah dihilangkan. Sehingga netra biru jernih masih menetap di rongga mata.

"Entahlah, aku juga lupa sepertinya sudah lama sekali."

Bohong lagi. Masih segar bahkan terlalu segar di ingatan bahwa pertemuan terakhir kami ketika aku mengusir diriku sendiri dari apartemennya.

"Oh iya, apa kau masih bekerja di perusahaan itu, Mika?"

Meski mati fungsi tapi syaraf motorik pupilku masih jalan. Aku memutar bola mata layaknya berpikir, mencari-cari jawaban. Di hadapan Yuu-chan, tidak akan aku biarkan dan tidak boleh sampai ketahuan bahwa aku sebenarnya buta. Aktingku harus maksimal.

"Aku sudah lama berhenti, Yuu-chan. Kau sendiri masih betah di Home Televisi Shopping?"

Saling tukar pertanyaan serupa. Mudah-mudahan dengan begitu Yuu-chan cepat bosan. Membawanya segera cepat keluar dari percakapan beserta kaki-kakinya enyah dari susunan kursi di mana aku ada di seberangnya, sebelum aku tersandung kelalaian. Kelalaian yang akan menguak rahasia yang setengah mati kupendam bahwa mataku cacat.

"Aku juga sudah tidak. Sekarang aku sudah punya usaha sendiri."

"Betulkah?"

Terpancarkah kekaguman di penglihatanku yang sirna? Aku hanya speechless sejenak. Yuu-chan selalu saja selangkah lebih maju dariku.

"Ya, kapan-kapan mampirlah ke tempat usahaku."

"Oh, tentu saja, pasti aku akan datang."

Asal jawab, padahal itu teramat mustahil untuk aku lakukan. Jangankan hendak datang, sedikit pun aku tidak berniat untuk mampir di suatu hari ataupun di suatu saat nanti. Sudah lelah aku memberi penuturan apa alasannya.

"Oh iya, aku sudah lama ingin mengabarimu. Tapi semua kontakmu susah sekali dihubungi."

Sedikit antusias, "Selagi kita bertemu di sini, kau bisa mengatakannya sekarang."

Bisu sebentar. Hiruk pikuk pengunjung tempat makan siap saji unjuk perhatian. Sampai akhirnya Yuu-chan kembali mengucap, menelan suara-suara yang beraneka ragam.

"Aku resmi sudah menikah dengan Guren."

Mati rasa. Seluruh persendianku mengendur bersamaan. Jantungku bahkan seakan berhenti berdetak. Andaikata sebuah gelas kaca berada di genggaman tanganku, pasti sudah pecah karena kucengkeram hebat. Atau pecah berderai di lantai karena pegangan terlepas dengan sendirinya. Pemompa darah yang mengatur jalannya sirkulasi mati sejenak.

"Kau tahu 'kan pernikahan sesama jenis sudah dilegalkan di Amerika. Kira-kira tiga tahun lalu kami pergi ke sana untuk menikah."

Jujur hatiku amat pedih. Obat-obatan mahal, pembedahan, memilih gila sekalipun sebagai jalan tetap saja tidak akan sanggup mengobatinya. Kepedihan ini memang tak punya bentuk tapi terasa nyata. Sangat sesak dan begitu sakit tapi tak bisa dilihat.

Lantas aku jadi kembali terngiang akan momen memilukan dengan latar guyuran hujan. Hari di mana seorang yang akan buta mengambil keputusan. Memanfaatkan sisa daya visualnya untuk merekam sosok cinta dalam hatinya lewat perjanjian pertemuan. Tapi tak kunjung datang hingga tengah malam. Kesekaratan yang malah menyambutnya.

Kalau dihitung-hitung, mungkin masa-masa itu cintanya yang berbalas masih segar-segarnya. Melupakan sang penanti yang rupanya sudah lama ditilik oleh malaikat maut. Dan sang penanti itu adalah aku. Tragis memang.

"Syukurlah," makhluk astral macam apa yang merasuki tubuhku, sampai aku berlakon hebat benar. "Akhirnya cintamu berbalas, Yuu-chan. Selamat ya."

"Sudah kuduga," terdengar ada keceriaan di dalam untaian katanya, "kau pasti akan senang mendengarnya. Yah, asal kau tahu, aku sempat bertengkar hebat dengan ayahku ketika dia mengetahui hal ini, berbanding terbalik denganmu, Mika."

Penuh kegetiran senyum ini kuukir kembali. Semoga saja Yuu-chan tidak menaruh curiga bahwa ini sunggingan yang kupaksakan.

"Selain itu kami juga sudah mengadopsi seorang bayi."

Yuu-chan telah membagi hatinya kepada dua makhluk lain. Jatah untukku sama sekali tidak ada. Hatiku sepertinya sudah tidak berbentuk lagi. Hancur lebur. Potongannya berserakan. Memberikan warna merah darah dalam duniaku. Satu warna yang berbaur dalam kegelapan. Tambah hitam. Semakin pekat. Gelap karena kecewa. Merah karena marah yang tertahan dan pekat karena rasa sakit.

Begitu gampangnya Yuu-chan mengatakan demikian. Tidak tahukah dia bahwa selama ini aku memendam cinta?

Apakah dia tidak menyadari lewat ciuman yang aku curi waktu dulu? Atau Yuu-chan tahu tapi sengaja agar aku berhenti menyimpan perasaan terhadapnya? Atau jangan-jangan Yuu-chan berpikir tiga tahun telah berselang rasa cintaku juga telah sirna?

Salah besar, Yuu-chan. Semakin kau membuatku tersakiti, semakin besar cinta ini bertumbuh. Meski mengganjal dan teramat berat aku tetap akan menyimpannya. Bukan dosa besar 'kan Yuu-chan aku masih memilih mencintaimu? Sekalipun sembari dulu aku sudah tahu, kau tidak akan pernah bisa kugapai. Kau tidak akan pernah bisa kumiliki utuh.

"Kau benar-benar sudah dewasa sekarang, Yuu-chan."

"Tentu saja, Mika. Aku sudah bukan pria dewasa yang payah lagi. Hei apakah kau sudah menikah, Mika?"

Gelengan kuberikan sebagai jawaban.

"Kalau begitu kau harus segera menikah. Segera susul aku, Mika!"

Sekencang apa pun aku berlari tidak akan pernah bisa menyusulmu, Yuu-chan. Pernikahan bukan suatu ikatan yang aku idamkan lagi jika kau sudah mengikrarkannya dengan orang lain.

Bunyi umum notifikasi ponsel menjeda. Dilanjutkan bunyi ketukan layar yang dimainkan oleh orang yang berada di seberang tempat dudukku.

"Maaf, Mika, aku harus pergi. Guren sudah menunggu di luar. Nanti kita lanjutkan lagi, ya. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa."

Tidak bisa tertebak berapa meter jarak kursi yang aku tumpangi dengan pintu depan lalu lalang. Angka satu sampai lima puluh aku hitung dalam hati sebagai pengukur. Yuu-chan harus benar-benar kupastikan telah lenyap.

Kedua bola mataku terasa berat di hitungan ke sepuluh. Sungai kecil menganak di pelupuk di hitungan ke lima belas. Sebulir air bening meluncur bebas di hitungan ke tiga puluh tiga. Kepalaku tertunduk di hitungan tiga puluh enam.

Persikuan kanan kutumpu di meja, telapaknya menyangga kening kepala di hitungan ke empat puluh. Air mataku tumpah ruah di hitunganku yang telah buyar. Tangisanku terisak tanpa suara.

Sedikit sesak bernapas. Jejelan air menganggu sistem pernapasan. Sakit hati yang berlipat-lipat menihilkan urat maluku yang mulai tersedu di salah satu kursi tempat makanan siap saji.

Punggungku dielus, sebagian tubuhku direngkuh. Aku semakin menangis sejadi-jadinya di hamparan dada bidang seorang pemuda bisu. Meraung memilukan karena tak dapat jatah secuil pun kebahagiaan.

Baru kali ini aku sesakit ini. Baru kali ini aku sepedih ini. Dia hanya diam dan mendengarkan. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain memberikanku kehangatan.

"Sano, aku ingin pulang."


Warnanya hitam dan akan selalu senantiasa berwarna hitam. Langit-langit kamar hotel yang aku yakini telah kupandang lama. Latar malam dan efek cuaca yang terkabar buruk mengharuskan tertundanya kepulanganku ke Sapporo.

Sano lalu memesan sepetak ruangan hotel sekamar berdua. Ranjangnya cukup nyaman untuk membujurkan tubuhku yang teramat penat setelah menangisi kenyataan dunia.

Sedikit menyesal ketika aku sedu sedan tiba-tiba di tempat makan siap saji. Sepatutnya aku bahagia mendengar Yuu-chan kini telah bersanding dengan cinta sejatinya. Tapi, kandasnya hatiku yang tercabik-cabik, absolut mengesampingkan kemunafikan.

Aku menangis karena aku merasa tersakiti. Aku tersakiti karena ending cintaku resmi tak akan pernah berbalas. Itu adalah alasan dan kejelasan yang sangat sederhana.

Suara tv yang dibiarkan menyala tidak memadamkan intuisiku tentang keberadaan Sano. Meski dia bisu dan kadang-kadang muncul dan hilang segaib hantu, dia selalu datang tepat di saat aku sangat butuh.

"Sano, apa kau melihatnya?"

Langkah berjalan terdengar. Bunyi kulit bergesekan terletak di samping tempat tidur. Sano sepertinya duduk di lantai bersandar setengah badan di penyangga ranjang.

Kuubah posisi rebahan ke sisi miring kanan. Menjulurkan sebelah tangan untuk diukirkan jawaban.

'Ya.'

"Kau mendengarkan semua perbincangan kami?"

'Tidak.'

Hening sebentar.

'Hanya sebagian.'

Badan kuangkat. Kedua tungkai kaki kugeser, menjuntai di tepi ranjang. Posisiku tengah berduduk.

"Dia adalah orang yang paling kucintai, Sano."

Pegas kasur berderit. Hawa keberadaan manusia tertangkap radar perasaku. Rupanya Sano mendaratkan pantatnya di tepi ranjang tepat di sampingku.

'Dia brengsek.'

Senyum kuulas tipis. Sebiadab apa pun, dia tetap menjadi orang yang paling kucinta.

Jemariku menyentuh sebuah benda keras. Permukaan sampul buku. Sano sengaja menyodorkannya untuk aku buka. Untuk aku baca. Titik-titik timbul halaman pertama aku sentuh.

Lupakan pria jahat yang tidak pernah menyadari perasaanmu.

Terdiam. Gerakan jari kumainkan lagi meraba bagian bawah tulisan bertitik timbul. Semakin ke bawah, yang terjamah hanya lapangan kertas lembut. Halaman kubalik. Penjabaran huruf braille terpaku di halaman selanjutnya.

Memang tidak instan, tapi kau bisa belajar pelan-pelan.

Sudah tiga tahun aku mencoba. Membiarkan sosok Sano masuk ke dalam hidupku. Tapi tidak ada hasrat yang tercipta. Semakin aku mencoba untuk melupakan, kepala dan seluruh tubuh ini semakin terisi penuh oleh bayangan Yuu-chan. Begitu besarnya cintaku terhadap Yuu-chan bukan hanya membutakan syaraf penglihatan tapi juga mematikan akal sehat. Cinta yang telah menjadi racun kubiarkan tetap menjadi racun.

Sama seperti halaman pertama. Di lembaran kertas kedua hanya kalimat itu yang terpatri. Di halaman ketiga kudapati serangkaian kata-kata lanjutan.

Berhentilah mencintai. Sekarang giliranmu untuk dicintai.

Sedikit pun aku tidak akan terkejut dengan untaian kata berikutnya yang nanti akan aku sentuh.

Aku mencintaimu, Mika.

Lembar kertas yang berjilid terjatuh. Dekapan kuat menghantam tubuhku. Bagai tersihir. Tidak ada yang bisa kuberikan sebagai respon kecuali pembiaran. Sebuah penerimaan. Hanya penerimaan pelukan. Bukan penerimaan pengucapan cinta. Kalau hanya sebuah pelukan untuk membayar semua perlakuan luar biasa dari Sano selama ini tentu tidak akan membuatku rugi, bukan?

Benda lunak sedikit hangat melekat di bibirku. Lidahku kelu. Mulutku membatu. Tarian lidah Sano meminta dua katupan tepi mulutku merebak barang sesenti saja. Diriku terlampau bingung oleh hal-hal yang terjadi mendadak.

Aku ingin menolak tapi secara bersamaan aku ingin membalas sebagai hadiah terima kasih karena dia selalu berupaya menetralkan hatiku yang gamang. Tapi takutnya jika kumelakukan demikian, Sano beranggapan cintanya bersambut. Cukup aku saja yang merasakan penderitaan cinta sepihak. Sano terlalu baik hati untuk aku nodai sebagai ajang pelarian diri.

Hingga akhirnya terdengar nyata bahwa hatiku memaksa.

Kau harus pasrah, Mikaela.

Perlahan mulut kubuka. Dengan leluasanya bibir dan pengecap Sano semakin mencumbu. Kedua tangan kekarnya berpindah mengikat kepalaku. Badannya menindih tubuhku yang semakin terbenam di atas kasur berpegas. Mungkin jika selanjutnya Sano melucuti pakaianku lalu meniduriku, aku akan bersedia.

Karena keseluruhan jasad ini hilang nilainya.

Dibunuh cinta yang dipendam berlama-lama

Kata menyerah, menggugatku untuk menurut saja.


...*...


Bola jingga berbobot cukup berat dan padat dibiarkan memantul-mantul sendirian di sudut lantai. Irisan-irisan lemon segar bececeran tidak jauh darinya. Cairan yang bercampur perasa madu yang tadinya menggenangi diameter demi diameter potongan lemon tumpah meruah turut serta menghujani permukaan lantai berbahan marmer.

Merembes, mengaliri sepanjang liuk garis petak-petak lantai di dekat bola. Menelusup ke celah-celah kecil di bagian bawah loker. Memberikan rangsangan pada alat pendeteksi makhluk-makhluk kecil penyuka gula.

Bahkan mungkin sebentar lagi para serangga yang umumnya berwarna hitam itu akan berdatangan, membentuk koloni, baik pada lemon-lemon yang terdampar, atau pada cairan manisnya, atau pada wadahnya yang kini mendarat secara salah dalam posisi terbalik. Cemilan penghasil energi terbuang percuma.

Pemandangan yang cukup menjijikan itu diabaikan begitu saja. Dalang penyitanya adalah dua pemuda yang terlihat saling mencengkeram kerah baju satu sama lain, dengan salah satu sosok berambut hitam yang tersudut di tembok.

"Apa masalahmu, Amane? Sampai harus meninggalkan sepanjang babak pertandingan! Tidak bisakah kau menidurkan keegoisanmu untuk kali ini saja, hah?! Ini kompetisi! Nama baik reputasi sekolah kita dipertaruhkan di sini!"

Tinju ganas tertolak dilabuhkan. Sebuah tangan mengemasnya dengan sangat cepat di udara. Padahal sang penerima bersedia mendapatkan hukuman. Tapi juga berniat membalas dengan serangan yang setimpal.

Tidak peduli ia salah atau benar. Egoistis dirinya yang merangkak naik mengaburkan hak wajibnya sebagai makhluk bersosial. Makhluk yang seharusnya lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan privasi.

"Hentikan, Narumi! Yuu-chan pasti punya alasan"

Dalam sekali libasan tangan tubuh si penghalat ditepis membentur kerasnya bangku panjang pengistirahatan. Menimbulkan leleran merah pada lubang hidungnya. Menyebabkan kepalanya pening sesaat akibat hempasan hebat mendadak.

Fokus kesadaran sepenuhnya kembali ketika orang yang berusaha ia lindungi meneriakkan namanya. Lalu suara hantaman-hantaman berdendang mengkhawatirkan.

Para penonton tidak berkutik. Enggan melerai ataupun membantu si pirang berdiri.

"HEI, KENAPA KALIAN DIAM SAJA!"

Teriakan itu tidak jauh lebih mengerikan dari apa yang ia lihat kemudian. Cairan yang sama merah seperti leleran yang mengalir keluar dari hidungnya tergambar jauh lebih parah pada tubuh orang itu. Menjejal keluar jauh lebih banyak. Tiada henti. Menetes-netes mewarnai kaos tim basket sekolah putih polos.

Mata Mikaela membeliak seperti hendak berlari dari tempatnya. Insting melindungi ia wujudkan dengan cara menekan di bagian kuping kiri Yuichiro yang sebelumnya telah ditutupi oleh tangan si empunya itu sendiri. Tidak mempan, pendarahan hebat masih tak terhalangi. Yuichiro merasa sedikit pusing dan hanya bisa meringkuk pasrah di rengkuhan sahabat karibnya.


Berasa tuli akibat balutan perban ekstra yang membungkus telinga kiri, Yuichiro bahkan harus mendengarkan orang yang melontarkan kalimat kepadanya sebanyak dua kali. Satu fungsi telinganya yang masih sehat rupanya luput menangkap informasi tentang pekerjaan rumah yang diberikan pengajar hari kemarin.

Celakanya, pria dewasa berjulukan 'Killer' yang berdiri di depan sana akan memperbolehkan siapa saja yang tidak mengerjakannya untuk dibebaskan dari pelajaran. Sebagai gantinya siswa itu akan menjadi maskot―berdiri dengan satu kaki sambil menjepit kedua telinganya sendiri di depan kelas. Dihujani oleh kuluman tawa, atau seringai mengejek dari manusia-manusia yang menontonnya dari deretan kursi.

Yuichiro melengos, setidaknya hari ini ia harus menjadi makhluk Tuhan yang kembali menyandang rasa tanggung jawab. Sesenti pantat sudah terangkat. Terinterupsi begitu saja tatkala sebuah buku meluncur mulus dan berhenti tepat di tengah-tengah hamparan mejanya.

Sosok pirang di sebelahnya menggeser kursi ke belakang, angkat badan, melangkah maju. Bersedia menjadi pusat tontonan konyol di depan.

Dalam perjalanan ia sempat mendapati pemuda berwajah sendu itu mengedipkan sebelah matanya. Kode yang membuat Yuichiro mengerti. Mikaela menjegal posisinya sebagai pelaku pelanggar.

Ia ingin menolak, tapi di sisi lain ia takut mengecap hukuman. Sebelah telinganya yang nyaris robek masih terasa nyeri. Tidak ingin membuat harga dirinya juga ikut-ikutan linu.

Diam dan menuruti aksi rela berkorban dari sahabat dekat semakin menggandakan rasa malunya. Rasa malu yang hanya Mikaela dan dirinya sendiri yang dapat melihatnya. Namun, teman masa kecilnya itu berupaya gigih untuk menutupinya agar cacatnya tidak tampak sama sekali.

Sampul buku dibuka. Tulisan-tulisan rapi sudah tertera indah di satu setengah halaman. Tugas essay yang ditiru bahkan dikerjakan ngebut di sekolah sekalipun tidak akan berujung selesai. Mikaela bahkan sengaja tidak menuliskan satu huruf pun di bagian kolom nama. Buku baru yang bisa dengan mudah diklaim oleh siapa saja.

Yuichiro dengan cukup enggan menorehkan tinta. Mengukir kata 'Amane Yuichiro' sebagai pemilik sah benda.

Ia jadi teringat salah satu pengurus panti pernah bercerita tentang malaikat yang tidak selalu harus bertempat di surga. Malaikat bisa saja hadir di dunia. Menjelma dalam wujud yang berbeda-beda. Tanpa cincin yang melingkar di atas kepala. Tanpa cahaya yang meyilaukan. Ataupun tanpa sepasang kepakan sayap yang mengagumkan.

Untuk pertama kalinya Yuichiro membenarkan cerita yang pernah ia dengar. Malaikat yang seperti dalam cerita memang ada. Sekarang berdiri di depan sana. Sambil menjewer kedua kupingnya dengan penyangga satu kaki saja.

.

Selimut putih tersibak. Tubuh maskulin terduduk di atas ranjang. Pandangannya menerawang, disertai sesekali kuapan. Berusaha mengingat mimpi apa yang ia alami barusan. Rasa-rasanya seperti kejadian di masa lalu yang tertayang. Tapi lupa kronologis cerita mimpinya seperti apa dan para pelakunya siapa saja. Yang Yuichiro ingat bahwa ia punya agenda nyata. Dan harus bergegas ia laksanakan segera.


Salah satu bentuk agenda nyata Yuichiro adalah mengkompromikan permintaan perutnya. Suram memandang antrian di hadapan. Mengular cukup panjang akibat pelanggan paling depan yang tampaknya masih bingung memilah milih menu makanan.

Dan sungguh ia tidak ingin dikenali oleh suara berat yang memanggil namanya dari belakang. Ia sudah letih mengesampingkan tatapan-tatapan tergoda dari kaum hawa yang mengagumi ketampanannya sepanjang pengantrian. Apalagi untuk makhluk yang satu ini. Teman saling lempar kesatiran semasa di bangku kuliah dulu. Enggan sekali ia menghadapi.

"Hei, Yuu! Benar kau, Yuu. Gaya rambutmu berubah. Aku hampir tidak mengenalimu."

Vokalisasi itu terlampau nyaring. Menyita atensi sebagian para pengantri. Yuichiro dengan penuh kemalasan hati terpaksa menyahuti.

"Oh, kau Kimizuki." Tanpa sadar kalimat itu juga menggema tak kalah keras. Terbawa kebiasaan saling menyumpah dengan nada-nada tinggi di masa mengenyam pendidikan. "Tentu saja. Penampilan kita harus berubah, jangan begitu-begitu saja. Harus ada peningkatan."

"Kau tambah tinggi sekarang. Padahal dulu kau lebih pendek dariku. Masih bisa tumbuh juga ternyata. Hahahahahaha."

"Heh, mulutmu juga tidak sama ubahnya seperti dulu. Busuk."

Kimizuki sukses menjadi perusak mood. Rasa-rasanya ia ingin pergi dari komplotan pendesak ini. Meluncur ke restoran Palm Tree yang tinggal menunggu duduk-duduk manis saja makanan tersaji datang sendiri.

Mencari celah untuk menghindar, mata Yuichiro lalu menangkap sosok pirang yang gerakan kedua tangannya seolah ingin menggapai-gapai sesuatu. Berjalan tak tentu arah menerobos apa saja yang ada di hadapannya.

"Gantikanku mengantri." Yuichiro berniat untuk keluar dari barisan. "Pesankan makanan yang sama denganmu tapi dibungkus. Oke?" Kimizuki hendak protes tapi Yuichiro sudah secepat kilat menyingkir dari antrian.

Lengan berpemalut putih pale tersambut. Pemiliknya menyandung kaki salah satu meja dan terkesiap ketika Yuichiro mencetuskan kalimat. "Hati-hati."

Sama kagetnya dengan si pirang. Si rambut hitam tersadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Dan si berkepala merah muda adalah penyebabnya. Telah mengajaknya bicara sekaligus menganggu konsentrasinya sehingga ia lupa.

"Mika," satu kata itu dengan spontan dilontarkan. Memahami semuanya sudah terlanjur fatal.


Mikaela senatural mungkin meraih kursi terdekat dan segera menempatinya. Mata Yuichiro tak luput mengawasi dengan pandangan sangat tak mengenakkan hati. Ikut duduk di seberangnya hanya dengan penghalat sebuah meja.

"Bagaimana kabarmu, Yuu-chan?"

"Kabarku baik. Kau sendiri?" Nada suara itu datar, sedatar yang kerap ia ucapkan dulu ketika saling berinteraksi.

"Kabarku juga baik," Mikaela tersenyum ramah, jauh lebih menawan dari yang sering ia lihat. "Kau tambah tinggi, ya?"

"Kau juga, sedikit gemukan sekarang."

Tertawaan kecil Mikaela keluarkan sebagai respon. Ungkapan beraroma kebahagiaan yang sepertinya tengah dibuat-buat. "Iya, akhir-akhir ini aku banyak makan."

Yuichiro menatapnya nanar. Apakah harus sepura-pura itu jika berhadapan langsung dengan seorang makhluk bumi bernama Amane Yuichiro?

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu, terakhir kali bertemu kapan, ya?"

"Entahlah, aku juga lupa sepertinya sudah lama sekali."

Sudah terbaca. Mikaela tentunya berbohong. Dirinya saja kelewat mengingat, apalagi si pirang itu yang nampak jelas masih sangat mencintainya. Tidak mungkin kenangan menyakitkan terlupakan begitu saja.

"Oh iya, apa kau masih bekerja di perusahaan itu, Mika?" Pertanyaan barusan terpikir acak. Hanya sekadar meciptakan sedikit lebih banyaknya durasi untuk mereka berdua bicara. Sekaligus menilai sebagus apa akting Mikaela selanjutnya.

"Aku sudah lama berhenti, Yuu-chan."

Gerakan perputaran netra biru Mikaela sempurna membuat Yuichiro pilu. Di sisi lain hatinya tersayat. Di sisi lain ia juga menahan geram.

"Kau sendiri masih betah di Home Televisi Shopping?" lanjut Mikaela.

"Aku juga sudah tidak. Sekarang aku sudah punya usaha sendiri."

"Betulkah?" tanggapan Mikaela disaduri dengan binaran pupil biru nan jernih. Sukses Yuichiro semakin terluka. Dan nyaris melumpuhkan sendinya.

"Ya, kapan-kapan mampirlah ke tempat usahaku."

"Oh, tentu saja, pasti aku akan datang."

Pikiran Yuichiro mulai terlayangkan pada satu cuplikan. Di mana tidak sekali dua bahkan terlampau sering Mikaela didapati tengah meraba-raba seragam sekolah yang sengaja tersisip rapat di lemari pakaian.

"Oh iya, aku sudah lama ingin mengabarimu. Tapi semua kontakmu susah sekali dihubungi."

"Selagi kita bertemu di sini, kau bisa mengatakannya sekarang."

Yuichiro mendadak kesal. Tiba-tiba ia serasa ingin menghancurkan sesuatu. Lalu untuk memuaskannya seuntaian kalimat meluncur tandas begitu saja. "Aku resmi sudah menikah dengan Guren."

Ekspresi Mikaela terpampang menegang bak patung. Kemauan Yuichiro menuntut untuk menambahkan lagi. "Kau tahu 'kan pernikahan sesama jenis sudah dilegalkan di Amerika. Kira-kira tiga tahun lalu kami pergi ke sana untuk menikah."

"Syukurlah, akhirnya cintamu berbalas, Yuu-chan. Selamat ya."

Bukan main jengkelnya. Entah apa yang memasuki tubuh Yuichiro. Ia semakin tersulut emosi. Tapi tetap menahan karena rasa prihatin juga ikut menemani. Itu sekumpulan kata yang teramat mengiris. Namun lawan bicaranya menyambut dengan suka cita. Menopengi dengan garis bibir yang melengkung lebar ke atas. Penuh kepura-puraan. Penuh kepalsuan.

"Sudah kuduga," Yuichiro juga bisa berlakon, "kau pasti akan senang mendengarnya." Dengarkan saja, ia juga bisa bernada ceria di sebagian perkataannya. "Yah, asal kau tahu, aku sempat bertengkar hebat dengan ayahku ketika dia mengetahui hal ini, berbanding terbalik denganmu, Mika."

Belum cukup terpenuhkan hasrat hatinya, Yuichiro semakin melontarkan kalimat yang terus-terusan menikam, "Selain itu kami juga sudah mengadopsi seorang bayi."

Sepasang mata itu menyayu. Yuichiro yakin sebentar lagi benteng kesedihan Mikaela akan terbobol. Tinggal menunggu waktu.

"Kau benar-benar sudah dewasa sekarang, Yuu-chan."

"Tentu saja, Mika. Aku sudah bukan pria dewasa yang payah lagi. Hei apakah kau sudah menikah, Mika?"

Gelengan Mikaela teramat lemah. Dirinya pasti telah lelah menerima serangan batin secara bertubi-tubi.

"Kalau begitu kau harus segera menikah. Segera susul aku, Mika!"

Cukup sudah senjata-senjata tajam itu tersisip dari tiap bahasa yang diucapkan. Pesan masuk dari Guren merupakan teguran untuk mengakhirinya. Yuichiro dengan sebelah tangan yang memainkan ponsel menolehkan arah kepala ke belakang. Celingak celinguk. Mencari-cari sosok tinggi menjulang dari tempatnya menyandarkan punggung.

"Maaf, Mika, aku harus pergi. Guren sudah menunggu di luar. Nanti kita lanjutkan lagi, ya. Sampai jumpa."

Yuichiro langsung angkat diri menemui Guren. Ucapan balasan 'Sampai jumpa' dari Mikaela sedikit pun tidak terdengar terlebih tidak dihiraukan olehnya karena terlalu antusias dengan kemunculan sosok idolanya di luar sana.


Seumpama Mikaela bisa melihat, pasti ia akan mengalami yang namanya kesekaratan untuk kedua kali. Pasalnya, persis lurus ke depan dari tempat si berkepala pirang mengenyakkan diri, berpenghalat pintu transparan, bayi mungil dengan dua ikatan rambut sejumput menjulurkan tangan menggapai-gapai Yuichiro untuk minta digendong.

Keluarga kecil nan bahagia. Pemandangan yang melewati batas kegetiran dari sekian banyak kepedihan yang telah disandang dari seorang pemendam cinta. Beruntung ia buta. Kebutaan itu layaknya anugerah. Anugerah yang mencegahnya untuk terluka lebih parah.

Kimizuki muncul. Menjeda pembicaraan Guren dan Yuichiro yang sesekali tertawa. Menyodorkan bungkusan plastik dengan beberapa makanan siap saji yang terbingkis di dalamnya.

"Setelah lama tidak bertemu, kau malah menyuruhku menjadi babu."

Perut Yuichiro terkocok. Gelak tawanya pecah. Bayi dalam gendongan terkekeh juga. Meniru para pelakon dewasa yang mengeluarkan tawa. Terinterupsi sebentar. Kimizuki lantas turut tergeli serta melihat bayi mungil itu tidak tahu menahu―asal ikut-ikutan ceria, membuat ia dan yang lainnya merasa lucu.

Pancaran aura kebahagiaan di sini berbanding terbalik dengan keadaan sosok pirang yang mulai menjatuhkan setitik demi setitik air mata.

"Maaf menunggu lama."

Tolehan tiga kepala diarahkan ke sumber suara.

"Huffttt . . . Kalau tahu begini aku tidak akan ikut mengantri. Tapi, aku tidak tahan melihat baju-baju mungil itu."

Guren menyipitkan mata. Ia bingung dengan hasrat wanita yang tidak bisa melihat barang-barang diskon menjamur. Padahal mereka bergelimang harta. Berstatus kaya raya. Kurang apa? Oh, mungkin inilah yang namanya penyakit wanita gila belanja.

"Mamma."

"Haikkk, mama di sini sayang."

Sang bayi diambil. Berpindah tangan ke dalam gendongan wanita bersurai ungu. Meninggalkan bekas sedikit ketidakikhlasan di benak Yuichiro yang sudah terlena akan keluguan keponakannya.

"Baiklah Yuu, kami harus pergi. Bila ada waktu, mampirlah sebentar ke rumah, ya."

Yuichiro mengangguk satu kali. Sebelum diizinkannya Guren beserta keluarga kecilnya pergi. Bingkisan makanan yang sudah terpesan dihadiahkan kepada mereka sebagai oleh-oleh.

Kimizuki yang tidak terlalu mengenali keluarga Yuichiro beranjak dari tempat. Ingin kembali memasuki tempat makanan siap saji. Ingin menyantap makanannya yang sepertinya hampir mendingin di permukaan meja.

Tangan Kimizuki ditarik. Yuichiro memintanya sekali lagi, "Pesankan aku sepiring salad."

Si kepala merah muda menghempaskan tangannya. Alis tertaut kesal. Decakan terlontar sebelum berkomentar. "Mengantrilah dan pesanlah sendiri. Lagipula kau belum membayar untuk makanan yang tadi!"

Yuichiro mengabaikannya. Makanan kaya serat, vitamin dan mineral itu sepertinya sudah tidak diminati lagi. Perhatiannya terfokus pada makhluk yang tertunduk dalam. Menangis bisu di salah satu kursi.

Mereka berselisih jalan setelah melewati pintu sensor yang membelah terbuka secara otomatis. Kimizuki sudah tidak sabaran menyambut pemuas perutnya. Sementara Yuichiro tiba-tiba merasa kenyang melihat gelagat seorang pemuda yang setengah mati menyembunyikan isak tangis.

Yuichiro mendarat duduk di sebelah Mikaela. Merangkulnya setelah sebelumnya mengelus punggung Mikaela yang membungkuk. Sosok pirang itu lalu sengaja membenamkan diri. Menyodokkan pucuk kepalanya di dada Yuichiro. Menghujani mantel si rambut legam dengan air mata sampai lembab.

Terbata, diselingi seruputan cairan hidung, Mikaela berkata, "Sano, aku ingin pulang."


Jika ada penghargaan dengan nominasi aktor tebaik sepanjang masa, Yuichiro layak menjadi juaranya. Selama tiga tahun ia melakukan penyamaran. Betah berperan sebagai orang lain yang dulu sempat tidak ia suka. Meski sifat dasarnya tidak hilang—pemarah dan mudah tersulut emosi, berhubung Mikaela buta watak kotornya jadi tidak kentara.

Mulanya Yuichiro memang tidak ingin berlama-lama menjadi Sanowaki. Setiap ia ingin mengaku selalu saja diurungkan tatkala melihat senyum menawan Mikaela merekah mengucapkan terima kasih atau hanya sekadar memanggil nama samarannya. Lambat laun Yuichiro semakin nyaman dengan identitas palsu. Nyaris melupakan marganya yang bernama Amane.

Kebohongan itu dimainkan secara rapi. Berulang-ulang. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Ia sudah terbiasa bertingkah layaknya orang bisu. Saking sempurnanya, ia bahkan terlihat sebagai penyandang tunawicara betulan. Menggunakan bahasa isyarat sebagai alat komunikasi dengan penduduk sekitar.

Mahir memainkan reglet dan stylus untuk menjadi pencerita bagi si buta. Semua itu ia kuasai dalam waktu yang cukup pendek. Hanya bermodalkan satu tujuan utama: Demi menebus kesalahannya pada Mikaela.

Yuichiro tentu tahu perasaan si pirang itu terhadapnya. Melalui ciuman hambar yang Mikaela berikan. Saat itu ia belum menyadari cinta yang sebenarnya. Terlalu dadakan dan tak sempat menghayati membuatnya murka.

Selama hampir lima tahun ia menganggap itu sebagai penolakan dan kesalahpahaman. Sampai mereka lama hidup berdua. Mengikis sikap dinginnya. Meskipun tetap saja Yuichiro mengira bahwa Guren lah makhluk yang ia cinta.

Sedikit pun tidak terbesit dibenak Yuichiro untuk mengacaukan skenario perannya hari itu. Tapi kemunculan Kimizuki berhasil mangacaknya. Mengajaknya bicara setelah sekian lama tidak mengeluarkan suara. Merusak keterbiasaannya yang bisu. Sehingga terlontarlah kata ketika Mikaela hampir mencederai wajahnya. Refleks dan spontan begitu saja.

Karena sudah terlanjur kelepasan, ya sudah, Yuichiro mainkan sandiwara dadakan. Berhubung ia juga teramat kesal mendapati Mikaela yang selalu terisak ketika meraba-raba pakaian seragam. Seragam yang dulu pernah diberikannya semasa SMA.

Yuichiro dengan pias mengamati. Orang yang Mikaela rindukan sebenarnya selama ini tinggal satu atap bersamanya. Setia mendampingi. Mengasihi. Merawat. Menuntun. Menjaga Mikaela layaknya benda bernyawa yang teramat berharga.

Benar, Mikaela sekarang hartanya. Harta yang cukup dengan melihat wajahnya saja sudah membuat Yuichiro bahagia.

Tiap tetesan air mata Mikaela yang kadang-kadang terjun menjadi cermin bagi Yuichiro betapa bejat perlakuannya dulu. Sifat bak es batu beku yang sudah terlanjur mendarah daging karena tidak terima ciumannya direbut, diterima Mikaela lebih dari empat tahun.

Si pirang yang selalu diabaikan, seakan tidak pernah dianggap, mencoba untuk terus mencuatkan keberadaan di sisi Yuichiro yang terlampau sibuk bercengkerama dengan Guren. Kendati selalu mendapati perjuangan itu berakhir percuma. Kesia-siaan yang diraih Mikaela berujung penarikan diri karena divonis tumor mata.

Rencana lakon melesat begitu saja. Tertulis rinci di akal budi Yuichiro. Janji pertemuan singkat dengan Guren beserta keluarga kecil malah menerbitkan susunan sandiwara tambahan meskipun cuma lewat perkataan dusta belaka.

Ia memang ingin menghantam Mikaela lewat tusukan kata-kata. Hati Mikaela harus dibuat terkoyak. Yuichiro si pemuda tak peka. Terjahat. Terbejat. Terbrengsek, patut terdoktrin selamanya di otak Mikaela.

Anutan teori egois dan ketidakpekaannya dulu memberikan dampak permanen pada si pirang. Menimbulkan sifat pesimis, dan pikiran-pikiran negatif yang semakin menimbun banyak.

Ia wajib membuang pikiran sempit Mikaela yang sudah membludak menjadi sampah. Mendesaknya keluar dengan cara mewujudnyatakan bahwa makhluk bernama Yuichiro sampai kapanpun tidak akan pernah bersudi mencintainya. Mengada-ngada cerita : hidup sejahtera dengan Guren, mungkin akan memicu Mikaela untuk berhenti mengharapkannya.

Ia melakukan demikian bukan karena tak beralasan. Sangat paham betul bahwa sumber penyakit batin Mikaela adalah dirinya. Kejerian itu yang membuat ia merasa hina untuk datang kembali menjadi Amane Yuichiro.

Sosok Yuichiro tak pantas bertindak sebagai pembebat ataupun pengobat luka. Selamanya akan tetap menjadi zat berbahaya. Sebutan mematikan yang membuatnya bertahan dengan nama Sanowaki. Ia lebih memilih mengambil identitas orang lain sebagai pemberi cinta kepada Mikaela sampai manula, sampai ajal menjemput mereka.

Terkadang manusia memang mempunyai tindakan yang berbeda-beda dalam menyampaikan cinta dan kasih sayangnya.


Ketika yang selalu ada di pikiran terpokok pada satu orang saja. Di situlah sinyal memberitahukan bahwa di hati kita telah tertambat cinta. Yuichiro baru menyadari bahwa kehadiran Mikaela sangat bermakna tatkala keberadaan si pirang itu sudah tiada. Wujud Guren sudah tidak memberikan pengaruh besar.

Yuichiro akhirnya mencintai Mikaela.

Ironi. Dorongan nafsu tidak pernah tercipta setelah bertahun-tahun lamanya Mikaela bertengger di sisi Yuichiro. Tapi ketika tubuh itu lenyap, cinta malah memeningkan kepala. Tampaknya ini hukum karma.

Bayangan-bayangan Mikaela yang mengganggu, menuntutnya untuk segera menindak lanjuti sebelum daya pikirnya lumpuh total. Ratusan kali ia mengontak, mengirim surel, tapi jatuhnya selalu berketerangan tidak aktif.

Pernah saking terbelenggunya hati karena keinginan kuat untuk bertemu, Yuichiro mendatangi tempat Mikaela bekerja. Pupus diperoleh setelah tahu ternyata Mikaela baru saja mengundurkan diri.

Hilang arah mulai menyetir. Penyesalan acap kali menjadi buntut perkara. Dedikasi dalam pekerjaannya ternoda. Ia nyaris dipecat. Sebab di seluruh tubuhnya hanya berdengung kata 'Mika'.

Untungnya Guren senantiasa memberikan siraman. Menjaga kesadaran si rambut legam sekaligus membantu mengendalikan kehidupan agar tak berantakan. Jangan sampai pertemanan obat-obatan haram dan suntikan-suntikan kembali terulang.

Sampai akhirnya suara agak serak-serak basah itu mengoneksi ponsel pintar. Menyapa dengan tindak tanduk manis sebagai modus untuk melakukan pertemuan. Yuichiro yang di dalam sanubari teramat merindukan si pirang berbanding terbalik dengan apa yang diucapkan di luar.

Nada ketus dan tidak berminat yang malah terlempar. Padahal pasca telepon ditutup ia langsung ngebut menyelesaikan tugas embanan. Meminta izin pulang lebih awal berdalih bahwa ada urusan darurat. Sayangnya perjumpaan kelak itu tak direstui. Kecelakaan lalu lintas menyongsong tubuhnya dalam perjalanan.

Dua pekan Yuichiro tak sadarkan diri. Satu pekan lagi harus dihabiskannya di atas ranjang karena balutan gips di kaki kanan. Otaknya tidak tergeser tapi tulang kakinya. Nyatanya ia masih mengingat bahkan menyayangkan kegagalan bertemu dengan Mikaela.

Tak disangka rumah sakit adalah tempat pengganti perjamuan mereka berdua yang tertunda. Yuichiro membelalakan mata menangkap dua orang makhluk, salah satunya berhelaian pirang emas, meraba-raba sebuah buku, menduduki bangku taman yang dipayungi pohon besar.

Si pirang termenung dengan tatapan ke arah lain tapi gerakan jemarinya aktif menyusuri hamparan kertas. Piyama biru yang dikenakan memberikan anggapan pasti bahwa sepertinya Mikaela merupakan pasien juga.


Tongkat penyangga terlepas. Kaki Yuichiro yang besar sebelah terbungkus kapur batu membuatnya oleng dan nyaris mendaratkan tubuhnya ke tanah. Pegangan tangan asing segera menyeimbangkan tubuhnya yang hampir limbung.

"Ada apa Sano?"

Bunyi yang dikeluarkan dari pemilik mulut yang masih setia memegang kumpulan kertas yang tersusun, mendesir ngilu di telinga Yuichiro. Ada sesak yang dirasa tatkala Mikaela tak terbeliak sedikit pun melihat dirinya yang setengah pincang sambil membawa tongkat. Mikaela yang seolah tidak mengenali, merobek hatinya.

Sehina dina itukah ia sampai-sampai Mikaela bertingkah setidak peduli itu pada dirinya? Mengesampingkan, Yuichiro menunduk dalam. Lupa mengucapkan terima kasih pada penolong tak dikenal.

Bunyi tongkat mengetuk-ngetuk mengiringi kaki Yuichiro yang terseok. Tertegun. Tungkai yang timpang berhenti sejenak. Kepala ditolehkan lagi sebentar. Nampak sosok pemuda yang menolongnya tadi seperti menuliskan sesuatu di lengan Mikaela. Kuluman tawa si pirang dengan tatapan yang tidak fokus, melamun, menghadirkan keganjilan di benak Yuichiro ditumbuhi tanda tanya besar setelahnya.

Sakit. Ada rasa ketidaksenangan memukul, melihat keakraban yang terjalin di antara mereka.

Ah, sepertinya Yuichiro cemburu.


Menemukan seorang Mikaela yang juga mendapatkan penangan medis di tempat yang sama, mewajibkan Yuichiro untuk mengetahui apa penyebabnya.

Tongkat penyangga dibiarkan terkapar. Pemiliknya tidak karuan rasa. Terpuruk. Terpekur di tepi bawah ranjang. Mikaela buta karena menderita tumor mata merupakan kejutan pahit dan fakta yang menyiksa.

Ia mulai mengerti, kenapa Mikaela dengan mendadak mengusir diri. Memutuskan semua koneksi. Lalu berhenti bekerja. Semua karena perihal vonisan penyakit yang harus dengan apik tertutupi.

Dada dipukul-pukul, merutuk, rambut dijambak frustasi. Yuichiro menyalahkan dirinya sendiri sambil menangis. Sampai akhirnya Guren datang untuk menenangkannya.

Semuanya serba berkebalikan. Kali ini Yuichiro yang menjadi penyimak, pemerhati, berkeberadaan terlampau kecil di sekitaran Mikaela.

Selain diam-diam mengamati dari kejauhan, Yuichiro juga hilang nyali untuk langsung berhadapan. Terlebih lagi pemuda berambut cokelat yang dulu pernah mencegah tubuh Yuichiro jatuh karena belum mahir menggunakan tongkat penyangga, kerap kali menemani sosok si rambut pirang. Tanpa disadari gelagat Yuichiro ternyata juga telah dicurigai.

Di suatu ketika Yuichiro dan pria yang selalu bertengger di sisi Mikaela beinteraksi.

'Apa yang kau incar dari kami penguntit?'

Orang bisu mencoba mengajaknya bicara. Yuichiro berdecak membaca tulisan yang terketik di layar ponsel pintar. Maaf saja, ia kurang bisa bahasa isyarat untuk menyahuti.

'Jawablah menggunakan mulutmu. Aku tidak tuli!'

Seringai tipis diberikan gratis. "Bukan kau yang kuperhatikan."

Sentuhan cepat menari-nari. Layar ponsel dihadapkan lagi. 'Jadi, Mikaela ku yang kau amati?'

Menyipit. Kalimat 'Mikaela ku' berhasil menyalakan emosi tertahan Yuichiro. "Tahu apa kau tentang Mika!?"

Cukup dengan satu detik, jawaban singkat disadurkan, 'Banyak'

Berdecak lagi, "Dasar gay!" Padahal dirinya sendiri juga homo.

'Mikaela memiliki kriteria yang sangat sempurna sebagai uke. Apa urusanmu kalau aku memang gay?'

Kerah leher dicengkeram. Rupanya orang bisu tidak memiliki etika bahasa santun dalam menuliskan kalimat. Perkataannya tidak jauh busuk dari perkataan orang bejat normal yang tidak lulus sekolah dasar. "Berani meniduri Mika, kubunuh kau!"

Hingga intonasi suara yang berlainan melemahkan cengkeraman Yuichiro. Ukiran sayu mata Mikaela yang teduh, menetralkan amarah Yuichiro yang nyaris terjejal keluar.

"Sano, apa kau di situ? Kau dengan siapa?"

Tangan yang pelan-pelan merosot dari kerah piyama lawan berpindah ke depan bibir dengan satu telunjuk yang berdiri. Pemuda bernama Sano, terseringai sinis. Memahami situasi bahwa pemuda yang tadinya akan mengajak berkelahi ini tidak ingin keberadaannya diketahui.

Pundak si pirang diraih. Diarahkan lalu dituntun membelakangi si kepala hitam.

Yuichiro dengan keberataan hati menyeret langkah kakinya yang masih tak sama. Meyimpan rasa cemburu yang bertambah besar dari sebelumnya.


Sedikit bergembira mengetahui fakta bahwa orang yang bernama Sanowaki telah tercoret dari daftar pasien. Namun Yuichiro kembali menganga. Sanowaki muncul lagi dengan pakaian bebas pantas. Menjinjing tas besar seperti ingin menempuh perjalanan jauh.

Sano dua puluh empat jam nonstop hinggap di sisi Mikaela. Menjadikan kamar perawatan si pirang itu sebagai tempat tinggal. Sungguh Yuichiro tambah jengkel berjuta-juta lipat.

Semakin hari dada Yuichiro semakin terhimpit. Bukan karena ada penekanan di bagian paru-paru. Tapi karena ada rasa sakit tak kasatmata memenuhinya. Senyuman yang kerap Mikaela tunjukkan menggores luka segaris-segaris. Dari waktu ke waktu mencoret dinding hatinya. Perih.

Yuichiro tidak ingat kapan terakhir Mikaela tersenyum tulus seperti itu. Sano yang cacat suara saja sanggup mengembangkan garis bibir lebar Mikaela terpatri lebih sering. Sementara dirinya dulu, sehat lahir batin, lepas berkicau dengan bebas, tidak pernah berpikiran untuk menumbuhkan senyum si pirang.

Jangankan untuk menciptakan, senyuman alami Mikaela yang semakin meredup sedikit pun tidak disadari olehnya. Yuichiro hanya bisa membuatnya sedih karena kerap diabaikan, tidak diindahkan, tidak dipedulikan. Kegagalan yang perlahan meruntuhkan harga dirinya.

Awalnya Yuichiro hanya sekadar penasaran mengamati ruang kamar perawatan Mikaela kosong. Ia melangkahkan kakinya masuk lebih banyak ke dalam. Tidak tahunya Mikaela keluar dari kamar mandi dan hampir tergelincir karena ubin yang licin. Refleks Yuichiro membelenggu tubuh Mikaela. Kakinya yang sudah tidak digips mampu menopang dua badan sekaligus.

"Ah, Sano kau sudah kembali."

Yuichiro hanya diam. Membiarkan Mikaela menganggapnya sebagai sosok rival yang kerap membuatnya kesal.

Mikaela digiring di atas tempat tidur. Tubuh didudukan. Diselimuti sampai pinggang.

"Sano, bisa kau ambilkan segelas air? Dari tadi aku menahan haus."

Kesenangan tiada tara Yuichiro rasakan. Melayani Mikaela dengan segenap perasaan. Baru kali ini ia bisa berdekatan setelah sekian lama dari jauh memperhatikan.

"Apa di atas meja ada sepiring buah pir, Sano? Kalau ada bawa kesini juga. Tadi suster yang memotongkan."

Sajian potongan buah pir beserta likuid transparan di dalam gelas segera didatangkan. Mikaela langsung menenggak air sampai tandas. Lalu jemarinya meraba piring. Mencomot buah. Bagian depan gigi memotong. Lidah mengunyah dengan pelan.

Yuichiro dibuat tercengang. Pipinya disentuh si pirang sementara tangan lain menggapai pir asal, sampai salah satu potongannya tergugur di ranjang.

"Sano, buka mulutmu! Biar kusuapi."

Mengikuti kemauan Mikela, Yuichiro mengunyah suapan. Memandang lekat wajah tirus di depannya yang baru disadari begitu menawan. Mata Mikaela yang nampak hilang cahaya kembali mengiris sukma. Bayang-bayang penyesalan membauri. Setengah mati ia berusaha menahan gejolak untuk tidak memeluk tubuh itu karena teramat merindukan.

"Sabtu ini aku sudah diperbolehkan pulang. Tawaranmu untuk hidup bersama apa masih berlaku, Sano?"

Bagai tertelan tulang ikan. Kerongkongan Yuichiro sakit meneguk air ludah. Siapa yang tidak terluka, orang yang dicintainya meminta tinggal bersama dengan orang lain.

"Mungkin aku terkesan memanfaatkan. Tapi, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi."

Yuichiro stroke. Jadi, dirinya selama ini dianggap apa?

"Sebenarnya ada satu orang yang sudah kuanggap sebagai keluarga. Tapi―" nada suara Mikaela berubah lesu, "―sepertinya dia sudah bahagia. Aku tidak berani menyusahkannya."

Pandangan Yuichiro langsung berbayang. Cairan-cairan bening menjadi tamu matanya ingin segera turun keluar.

"Pada saat mataku kabur saja, aku banyak melakukan kesalahan sehingga membuatnya kesal. Bagaimana jadinya bila aku yang sudah buta masih tetap bertahan tinggal bersamanya. Hahaha," tertawa terpaksa, "―tidak bisa kubayangkan dia nantinya akan sejengkel apa."

Sungguh Yuichiro sangat tersakiti mengingat betapa buruk sikapnya dulu. Namun Mikaela beserta kerendahan dan kebaikan hati masih tetap menganggap bahwa dirinyalah sumber masalah. Dirinyalah pembuat onar.

Tanpa sadar air mata Yuichiro mengalir.

"Sano, kau kenapa diam saja?"

Meski Yuichiro tahu Mikaela sudah tidak bisa melihat, ia tetap saja enggan menunjukkan kesedihan. Kepalanya semakin menghadap ke bawah.

Pundak kirinya ditepuk. Yuichiro menoleh. Sanowaki yang asli sudah hadir di sampingnya. Air mata langsung disapu. Bahu dikendikkan. Tangan si pemuda berambut cokelat tertepis.

Piring diletakkan di atas ranjang. Tubuh dipindahkan sepelan mungkin agar tak menghasilkan bunyi.

Memunggungi. Yuichiro hendak pergi sebelum keberadaannya disadari Mikaela. Langkahnya yang sudah kembali normal tiba-tiba terhenti. Ponsel pintar dipegang. Disentuh, ditekan-tekan. Menciptakan serangkaian tulisan. Tanpa berpaling, layar langsung ditunjukkan kepada pemuda bisu.

Kuserahkan Mika padamu. Jaga dia baik-baik.


Yuichiro merosot di salah satu kursi kafe. Berpongah dagu, mengawasi secangkir kopi berkuar asap. Kemarin ia sudah diizinkan pulang karena sudah dinyatakan sembuh. Kakinya sudah berjalan natural. Tidak pincang. Juga tidak perlu tongkat penyangga.

Alih-alih melanjutkan pengistirahatan di rumah, ia terlanjur bosan mengenyami hidupnya yang kini tinggal sendirian. Guren sudah berbaikan dengan Mahiru. Sementara ia resmi menyandang status lajang yang betah menjomblo selamanya. Hatinya sudah harga mati untuk Mikaela seorang.

Menyebut kata Mika, Yuichiro jadi hampa udara. Cinta yang tak kesampaian ternyata sesesak ini. Heran, kekuatan besar macam apa yang sanggup membuat Mikaela bertahan dengan cinta sendiri. Yuichiro saja sempat dikendalikan oleh namanya hilang arah karena putus cinta. Dan kali ini ia hilang hasrat, lenyap nafsu dan hancur hati karena Mikaela.

Masih berpongah, Yuichiro pelan-pelan mengikhlaskan Mikaela pergi bersama dengan orang lain sebagaimana Mikaela juga telah merelakannya pergi hidup sendiri. Sadar diri bahwa ia tidak akan punya kesempatan lagi untuk membayar semua kesalahan-kesalahannya. Sebab makhluk itu sudah terluka jauh lebih dalam.

Suara gempar memekik indera pendengar. Sedikit minat Yuichiro tersentil. Menampik sejenak akan bayangan Mikaela yang terus-terusan berlabuh di ingatan. Yuichiro melempar dirinya ke sumber bunyi yang membuat rusuh. Meninggalkan secangkir kopi yang sembari tadi dipandangi.

Truk pengangkut barang menubruk sebuah mobil berjenis liftback sampai penyok parah. Pengendara mobil masih terjepit di kursi pengemudi dengan aliran darah yang mengucur tak henti-henti di bagian kepala.

Yuichiro yang mendapatkan posisi ketiga terdepan sebelum dikerumuni khalayak ramai, memeriksa keadaan tubuh yang tengah sekarat. Pengamat satu langsung menekan ponsel, memanggil mobil petugas medis. Pengamat dua menatap jijik akan pemandangan leleran merah yang semakin meruah banyak.

Kelopak mata membuka lebar. Pupil hijau mengecil sempurna. Yuichiro mengenali pria sebagai pemuda bekas penghuni rumah sakit yang kerap dikesalinya dengan sebutan Sanowaki. Lekuk badan mobil dicermati sampai ke dalam-dalam. Memastikan tidak ada sosok pirang yang dicintainya tertelan sebagai korban.

Mengaku kerabat, Yuichiro ikut mendampingi mulai dari dalam mobil ambulans sampai ke rumah sakit.

Ranjang beroda digulir secepat mungkin. Sebuah ponsel terjatuh dengan gantungan berbentuk lonceng ketika ranjang berjalan melewati pintu membelah unit gawat darurat. Yuichiro yang serta merta ikut mendorong diminta berhenti sampai batas muka pintu.

Ponsel dipungut. Bercakan darah di layar sentuh diseka. Sensor sensitifitas menghantarkan cahaya menyilaukan di permukaan ponsel pintar. Keterangan tanggal, hari dan waktu tertampil lengkap sebagai tampilan layar utama.

Yuichiro mengamati ponsel sambil menggerakan tungkai. Mengangkat wajah, menatap lurus ke kaca jendela transparan yang terhubung dengan penglihatan di dalam ruangan. Tampak dokter geleng-geleng kepala kepada rekannya. Monitoring pasien dari jauh terlihat menunjukkan lima garis lurus.

Pemuda berambut hitam dengan iris hijau indah itu terpaku beberapa menit. Sampai akhirnya ia mengambil keputusan. Menggenggam ponsel temuan. Menjauhkan diri dari depan ruangan penanganan darurat. Melangkah dengan kecepatan tinggi. Menimbulkan bunyi gemirincing di sepanjang perjalanan.

Lobi rumah sakit adalah perehatan yang dipilih untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dada kembang kempis. Seluruh nadi berdenyut-denyut ceria. Senyum lebar tersungging tatkala untuk pertama kali ekspektasinya tepat sasaran.

Mikaela dengan pakaian normal tengah duduk di salah satu kursi tunggu. Sebuah tas berukuran besar berada dipangkuannya.

Dirasa penetralan tubuh sudah cukup, Yuichiro mendekat. Menggerak-gerakan ponsel sampai suara rincing loncengnya terdengar.

"Kenapa kau lama sekali, Sano? Aku sampai mengantuk menantimu."

Tangan kurus diraih. Tas yang memiliki bobot berat dijinjing. Yuichiro menggandeng Mikaela keluar dari rumah sakit.


SELESAI


Gulir ke bawah untuk menemukan omake.

a/n

Ini adalah fanfik saya ketiga. Pengalaman pertama menulis melow drama dan memakai sudut pandang orang pertama. Saya sudah melakukan beberapa kali pengeditan, karena pada perdananya fik ini penuh dengan penulisan yang salah. Dan fanfik ini saya ikutkan dalam sebuah chellenge dan berhasil menjadi salah satu pemenang.

Fanfik ini terilhami oleh salah satu episode Junjou Romantica. Dan di part 1 ada adegan yang saya ambil, bahkan ada beberapa kalimat yang saya ambil juga dari sana. Tapi, selebihnya adalah murni hasil imajinasi saya.


Trivias :

Braille : Sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh orang buta.

Reglet : Sebuah benda yang terdiri atas dua buah pelat pipih panjang yang disatukan dengan sebuah engsel. Digunakan untuk membuat titik-titik timbul yang akan membentuk suatu pola yang mengacu pada huruf-huruf Braille.

Stylus : Pen yang terbuat dari sebuah jarum atau paku yang dimodifikasi. Digunakan untuk menekan dan membuat pola titik timbul sesuai dengan pola huruf Braille.

-Snaw-


OMAKE

Cairan agak kental, bersuhu dingin, berperisa, meleleh meleleri jemari lentik yang mengapit moncong es krim. Manusia pengecap manisnya mengeluh. Musim panas tahun ini jauh lebih dasyat dari musim panas terdahulu. Efeknya mudah mencairkan benda beku.

Yuichiro yang sibuk menghitung neraca pendapatan terinterupsi sebentar, merebut es krim yang sudah tidak berbentuk dari tangan Mikaela. Noda-noda lengket dibersihkan menggunakan sepotong kain. Menyapunya sampai tak berbekas. Cincin lamaran yang tersemat di salah satu jari lentik tampak berkilau kembali setelah dipoles juga olehnya.

Manik hijau tak henti-hentinya menatap wajah yang tak pernah ubah. Sendu dengan pesona yang tahun ke tahun semakin bertambah. Yuichiro gemas. Mimik lugu Mikaela membuatnya ingin menerkam bulat-bulat. Alih-alih sebuah gigitan malah kecupan mesra yang mendarat.

Semenjak mereka sering tidur bersama, perlahan cinta mulai membiak di hati Mikaela. Meski begitu tetap saja ia kesal dengan tindak tanduk pasangannya yang kerap salah tempat.

Toko penghasil uang dengan dua pekerja bawahan bukanlah ruang yang tepat untuk beradegan romantis. Lantas Mikaela menjewer kuping pasangannya sebagai hukuman. Walaupun penglihatannya masih gelap, tapi intuisinya jika sedang kesal atau marah selalu bermain dengan hebat. Nyatanya dengan sekali layangan tangan, telinga sang pasangan tercengkam tanpa kesalahan.

Mendadak Mikaela mematung. Jari-jarinya tidak sengaja menyentuh sesuatu yang ia kenal. Bekas luka yang mungkin hanya satu orang saja yang memilikinya. Karena mempunyai ciri khas yang tidak pernah Mikaela lupa.

Ludah tertelan paksa. Mimiknya berubah serius. Mikaela bertanya dengan nada suara yang berbeda dari biasanya. "Apa . . . kau Yuu-chan?"

Yuichiro tidak punya pilihan selain memeluk tubuh Mikaela sebagai jawaban.