[ 131014 | 1635 ]
The Poetry
Kaisoo
YAOI Romance
Mature/NC-21
By. Lien
:::
Musim semi yang tengah tersenyum berseri-seri itu, bagaikan pahatan Tuhan paling sempurna yang sengaja diciptakan untuk memerangkapku.
Lalu bagaimana menghindari hasrat dari dosa mematikan ketika musim semi tidak pernah datang dengan tidak sengaja?
...
.
The sultry night is riveting,
With your palpable presence
Faint scents of your lusty perfume
Fill each nook in our bedroom;
All these and our love making
Seemed vividly real in my dream.
—Dream Sijo of Victor P. Gendrano—
.
Do Kyungsoo. Orang-orang memanggilnya dengan nama Gisaeng, dan mendapat julukan pemuda musim semi karena memiliki senyuman yang cerah dan menenangkan, ia juga dikenal memiliki sifat yang berani dan fasih berargumentasi. Seorang pemuda penghibur dari salah satu rumah Gisaeng modern yangmewarisi status ibunya yang juga seorang Gisaeng .Karena bakatnya dalam bernyanyi, membuat Sijo, menari tari tradisional, dan kemahirannya memainkan alat musik, membuat ia tak bisa mengelak ketika Ibunya meminta untuk menggantikan perannya sebagai salah satu Gisaeng.
Kecerdasannya, karismanya dan rupanya yang elok menjadikan ia berada pada tingkat Gisaeng Haengsu jika dianalogikan dengan Gisaeng periode Joseon,yang hanya menghibur orang-orang yang memiliki kuasa serta dalam pesta-pesta kelas atas dan menjamu para pengusaha dalam pertemuan bisnis. Ia bukanlah seorang Gisaeng yang menggunakan hanbok seperti para Gisaeng perempuan pada umumnya hanya karena statusnya sebagai Gisaeng, sebab tanpa mengubah apapun ia yang seorang laki-laki bahkan bisa mendapatkan popularitas yang tak bisa didapatkan gisaeng wanita. Akan tetapi bukan berarti ia menolak untuk memakai pakaian tradisional itu, karena ia hanya akan mengenakannya ketika menampilkan tari tradisional.
Do Kyungsoo tidak pernah menyebutkan nama aslinya pada orang yang menggunakan jasanya maupun pada orang yang hanya lewat untuk bertanya, sehingga tidak banyak yang mengetahui identitasnya karena dia menggunakan nama Gisaeng sebagai identitas diri. Dan Jongin tidak melewatkan hal sekecil apapun ketika mencari tahu tentang kehidupan pribadi Do Kyungsoo. Satu kenyataan yang entah mengapa telah membuat Jongin resah dalam beberapa hari terakhir, yaitu hubungan Kyungsoo dengan Park Chanyeol yang bukan hanya sekedar sahabat. Chanyeol, adalah cinta pertama Do Kyungsoo, begitupun sebaliknya, keduanya menyimpan perasaan yang sama, akan tetapi perbedaan strata sosial telah menguburkan perasaan mereka.
Tanpa disadari, rasa geram merayap di dalam hati Jongin saat memikirkan hubungan dekat Kyungsoo dengan Chanyeol. Namun ia bisa mengendalikan kembali perasaannya mengingat ia sudah menarik kesimpulan dibalik keresahan itu. Jongin percaya bahwa semua yang dirasakannya hanya sebuah obsesi yang disebabkan karena terpengaruh oleh kesan Kyungsoo yang misterius dan seolah tak tersentuh. Ia bukan remaja lima belas tahun yang baru mengenal cinta, karena itu Jongin berani memastikan bahwa ia tidak sedang terpikat dalam arti perasaan mendalam terhadap Kyungsoo.
Tetapi mengapa kali ini hatinya kembali ragu dan mempertanyakan lagi perasaan gelisah itu setelah ia bertatap muka dengan Kyungsoo.
"Apa yang kau inginkan?" Kyungsoo bertanya waspada, namun nada suaranya terdengar tenang, menyembunyikan ketidaksiapannya bertemu dengan Jongin.
Jongin kembali tersenyum, menyembunyikan gejolak dadanya. "Tidakkah seharusnya kita berkenalan dengan benar terlebih dahulu? Ah, tunggu…" Jongin tiba-tiba bersedekap, tatapannya terpaku pada meja, kepalanya mengangguk-angguk seolah memikirkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. "Kupikir tidak perlu. Aku sudah mengetahui siapa kau sebenarnya, dan kau pun sudah tahu siapa aku," Ia menatap Kyungsoo dengan senyum yang membuat perasaan tidak nyaman. "Kalau begitu artinya kita sudah saling mengenal."
Sesaat Kyungsoo termangu menatap Jongin yang berdialog seorang diri. Lalu ia menumpu tangan di atas meja. "Apakah ada alasan khusus sehingga seorang Kim Jongin sampai membuang waktunya hanya untuk mencari tahu jati diri orang rendahan sepertiku? Katakan tuan Kim, apa yang kau inginkan." Kyungsoo tersenyum, tatapannya pasti, menetapkan diri bahwa ia akan memainkan peran yang seharusnya ia lakukan.
"Tidak ada alasan khusus, hanya ingin berbisnis denganmu." Jongin tak melanjutkan, ia memperhatikan wajah Kyungsoo yang menunggu. Kemudian ia melanjutkan, "Apakah kau ingin melihat Park Chanyeol mendapatkan posisi Ayahnya?" Jongin memberi jeda. Ia hanya menebak, menilik dari pertanyaan Kyungsoo mengenai pada siapa ia berpihak dalam rapat dewan direksi. Namun dugaannya tidak meleset, terlihat dari ekspresi Kyungsoo yang tampak terkejut.
Jongin menyilangkan kaki, tersenyum penuh percaya diri dan tak menunggu jawaban Kyungsoo. "Sayang sekali, pada rapat beberapa waktu lalu posisi Park Chanyeol tidak menguntungkan karena dianggap masih kurang berpengalaman untuk memegang posisi tinggi di perusahaan besar. Tetapi bukan berarti dia tidak bisa menjadi pemimpin perusahaan kami."
"Ikan besar pastilah harganya mahal. Langsung saja tuan, apa harga yang harus kubayar untuk tawaranmu itu." Kyungsoo segera menanggapi, ia tersenyum kecut mencium maksud licik di balik umpan Jongin. Sebagai seorang sahabat bagi Park Chanyeol, sungguhnya ia memang menginginkan Kim Jongin, seseorang yang memiliki kuasa berada di pihak Chanyeol. Tetapi itu bertentangan dengan keputusan tuannya, sehingga Kyungsoo tidak benar-benar ingin mengintervensi terlalu jauh. Yang dilakukannya saat itu …hanyalah melempar umpan. Dan yang dilakukannya kali ini, hanyalah memakan umpan yang dilempar Jongin.
Jongin tersenyum senang, "Kau pintar membaca situasi." Pujinya. Lantas menatap lekat pada Kyungsoo. "Aku menginginkan tubuhmu, sebagai model lukisanku, dan untukku sendiri." Jongin berkata dengan nada datar dan malas, seolah yang dimintanya adalah hal kecil. Ia sudah memutuskan apa yang diinginkannya dari Do Kyungsoo untuk meredam rasa ingin tahunya dan memuaskan hasratnya yang terpendam. Meski itu berarti harus mengorbankan harga dirinya dan menghina harga diri Kyungsoo.
Suara tawa mengejek terdengar, dan perlahan berubah menjadi kekehan sebelum akhirnya redam. Satu alis Kyungsoo terangkat dengan sorot mata miris, karena pria itu tak ada beda dengan beberapa orang berkuasa yang pernah ia temui. Sungguh licik. Angkuh. Dan meremukkan hati, ketika mengetahui hanya tubuhnya yang diinginkan pria angkuh itu, sementara jauh di sudut hati terdalam ia menyimpan bibit suci yang dengan cepat tumbuh menjadi tunas yang semakin liar.
Bayangan wajah tuannya tiba-tiba terlintas dalam benak, membuat Kyungsoo tersadar pada kenyataan. Ia menghela napas, menyadari bahwa tak seharusnya ia mengkhawatirkan harapan terlarang, karena tuannya pasti tidak akan senang jika mengetahui ia kembali terbawa perasaan. Ia harus terus bermain, mengulur waktu hingga tiba saatnya ia benar-benar menarik dia ke dalam pelukan.
Kyungsoo menatap Jongin lurus dan tajam, "Sang singa menawarkan harga kuasa dengan angkuh, mengharap si ringkih menyulam benang kusut yang ia lepaskan untuk setiap lekuk tubuh. Haruskah harga diri ini kulelang di pinggir jalan untuk membenarkan hinaannya? Bahkan lalat pemakan bangkai yang bertahtakan emas pun tak pantas menawarnya. Ya, apalah bedanya sang singa dengan lalat pemakan bangkai bertahtakan emas." Kyungsoo berdecak, kemudian berdiri dari duduknya, menyampirkan selempang gitarnya sebelum menoleh pada Jongin yang tengah menatap geram. "Hey tuan, teruslah pandang rendah diriku, agar aku selalu mengingat seberapa rendahnya dirimu."
Syair menancap dalam kegelapan, menggores lubuk hati terdalam. Kesan indah pada pertemuan pertama, berubah menjadi obsesi yang bercampur dengan kemarahan, semakin memperkecil kemungkinan untuk bisa menyadari perasaannya.
Memang keterlaluan ketika meminta tubuhnya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan hasrat yang tersulut dari bara api neraka sejak ia melihat keelokan Gisaeng. Dan penghinaannya telah memancing kegelapan yang selama ini tertidur di belakang sikap tenang dan kebijaksanaan Kim Jongin.Teruslah pandang rendah diriku? Jongin akan melakukannya, hingga dia mengerti seperti apa di pandang rendah yang sebenarnya. Ia meminta sekretarisnya untuk mengatur pertemuan dengan Park Chanyeol, dengan dalih untuk membahas tentang pengangkatan direktur perusahaan. Taktik licik ia gunakan dengan memerintahkan agar sekretarisnya juga membicarakan keinginannya untuk melihat penampilan seorang Gisaeng yang banyak dibicarakan oleh kalangan pengusaha. Sudah dapat diperkirakan bahwa Chanyeol akan menangkap isyarat itu sebagai syarat dari keberpihakannya, dan ia yakin Chanyeol tak akan mengecewakan dirinya.
Dan di sinilah ia sekarang, di sebuah rumah Gisaeng bernuansa tradisional dengan ornamen dan arsitektur kayu, tempat yang tak perlu dipertanyakan lagi karena ia tahu di sana adalah rumah di mana Kyungsoo tinggal. Jongin duduk bersila di atas lantai kayu, berhadapan dengan Park Chanyeol, ia sedikit kecewa melihat sikap Chanyeol yang terkesan angkuh dan caranya menatap tampak tegas dan tajam, dia tidak terlihat seperti seseorang yang membutuhkan bantuannya atau seseorang yang berada di bawahnya dalam kasta yang semestinya.
"Jadi … tuan Kim—"
"Jongin. Cukup Jongin." Jongin segera memotong kalimat Chanyeol. "Apa kita perlu menggunakan sapaan formal?" Selagi kau menatapku dengan tatapan lantang seperti yang kau lakukan sekarang. Jongin menyeringai.
"Kurasa tidak perlu, jika itu yang kau inginkan." Chanyeol tersenyum, sepertinya sikap kaku tidak cocok dengan kepribadiannya, karena sekali ia tersenyum ketegangan menjadi cair. "Aku tidak tertarik untuk mengambil posisi direktur, tetapi karena itu adalah permintaan terakhir Ayahku, aku akan berusaha sebaik mungkin. Meskipun mereka meragukanku tetapi bukankah tidak ada yang lebih baik dariku. Bagaimana menurutmu Jongin? Aku yakin kau sudah mempelajari dokumenku."
Tidak bertele-tele, percaya diri, tutur kata mengintimidasi. Jongin membalas senyuman Chanyeol, namun senyum itu tak menyembunyikan ketidaksukaannya pada lawan bicaranya. "Aku berpihak padamu bukan karena tidak melihat yang terbaik selain dirimu. Ada sesuatu yang aku inginkan, tetapi tidak mudah mendapatkannya, sepertinya akan lebih mudah jika kau yang membantuku."
Chanyeol mengamati baik-baik perkataan Jongin, dan memikirkannya dengan hati-hati. Tak ada raut tersinggung di wajahnya mendengar kalimat sarkastis yang ditujukan pada dirinya. "Tampaknya di matamu pun aku belum cukup baik untuk memegang posisi itu." Gumamnya tanpa membantah, kemudian menatap Jongin dengan bertanya-tanya. "Baiklah. Katakan apa yang kau inginkan, aku akan membantumu."
"Mengenai seseorang yang bernama Gisaeng." Jongin mengucapkannya dengan tenang, sementara detak jantungnya menggebu hanya dengan membayangkan wajah Kyungsoo.
"Ah," Chanyeol mengingat sesuatu. "Sekretarismu sudah menjelaskannya. Tapi jika tidak keberatan, aku ingin menanyakan sesuatu yang mengganjal di pikiranku." Tatapnya waspada.
"Silahkan," tanggap Jongin ringan.
"Untuk seorang sepertimu, memanggil Gisaeng bukanlah sesuatu yang sulit, tapi kau menjadikan hal itu sebagai pertukaran untuk suaramu. Akan ada pertentangan jika kau memihakku dan kau justru mengambil resiko hanya untuk melihat penampilan Gisaeng melalui tanganku. Hal itu semakin mengganggu pikiranku saat kau mengatakan ingin melihatnya menari. Apakah ada sesuatu di balik semua itu?" Bak bidak dalam arena permainan catur, dengan penuh percaya diri Chanyeol menekan sang raja.
Satu lagi yang Jongin tidak suka dari Park Chanyeol, dia terlalu peka, cerdik dan serba ingin tahu. Tetapi bukan berarti Jongin tak bisa mengatasinya. Ia tersenyum, senyum licik yang tak tercium oleh siapapun. "Kau benar, aku bisa saja memanggilnya tanpa harus melalui jalan panjang seperti ini, tetapi kudengar juga, Gisaeng tidak begitu saja memenuhi setiap panggilan jika dia tidak menyukai tamu yang memanggilnya." Jongin tertawa, terdengar dingin. "Dengan desas-desus yang beredar mengenai pribadiku yang dingin dan menakutkan, aku tidak yakin Gisaeng akan menerima tamu sepertiku, dan aku tidak ingin memperburuk keadaan dan membuat keributan dengan menyeret paksa dia ke hadapanku."
Alis Jongin terangkat, menebak apa yang dipikirkan pria dihadapannya. Kemudian ia menyeringai melihat sorot kewaspadaan semakin tampak di mata Chanyeol. Dengan tenang Jongin meminum teh di hadapannya. "Oh, mengenai mengapa aku ingin melihatnya menari, itu karena aku hanya ingin melihatnya, tidak ada alasan khusus. Dan, tentang resiko yang kau sebutkan, mungkin karena kau belum mengenalku sehingga menanyakan hal itu, aku adalah pria yang akan mengorbankan apapun untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Apa permintaanku itu terlalu sulit untukmu, Chanyeol?"
"Tidak." Terdengar keraguan dalam jawaban singkat itu, seakan baru tersadar dengan siapa ia berhadapan, penyesalan juga terlihat di dalam sorot matanya. "Aku sudah membuat janji dengan Gisaeng, dia tidak akan mengecewakanmu karena aku mengatakan padanya bahwa kau adalah tamu penting." Menempatkan sahabatnya dengan orang yang berbahaya, itulah kekhawatiran Chanyeol yang sebenarnya.
Salah satu sudut bibirnya tertarik samar, semua berjalan sesuai keinginan Jongin. Tersimpan banyak tujuan dibalik rencananya, tak peduli jika itu adalah memperlihatkan keangkuhan ataupun menunjukkan perbuatan kejam, Kyungsoo telah memancingnya dan akan segera menyesalinya.
Jongin terperanjat dari pergolakan benaknya ketika bilik pintu terbuka, berlawanan dengan raut wajah Chanyeol yang tersenyum cerah. Dua orang perempuan dan … Jongin menyeringgai mengenali seorang lagi memasuki ruangan, seorang pemuda yang ditunggunya, menggunakan hanbok merah gelap dengan busana bagian atas berwarna hitam, Gache tersanggul rapi di kepalanya dengan tusuk konde berwarna emas, polesan lipstik sewarna merah darah menghias bibir ranumnya, riasan yang benar-benar membuatnya tampil sebagaimana seorang Gisaeng. Jongin tersenyum kecut menilainya, menolak untuk mengakui ketakjubannya melihat sisi lain Kyungsoo.
Bak seorang gadis lugu, tariannya bercerita. Kemahirannya memang bukan cuma bualan semata. Ekspresi, lekuk tubuh, jarik lentik, gerakan anggun dan lemah gemulai, mengalir selaras bersama setiap bait Sijo yang dinyanyikan oleh ke dua Gisaeng perempuan lainnya. Jongin terlarut, diseret semakin dalam, terbuai oleh bunga-bunga musim semi, ia tak bisa mengingkari hatinya lagi, dadanya berdebar penuh antisipasi menginginkan dia. Namun baru ia sadari, mengapa Kyungsoo tak terkejut ketika melihat dirinya? Jongin melirik Chanyeol dengan pikiran menebak, mungkinkah Chanyeol memberitahu Kyungsoo siapa tamu penting yang dimaksudkan, tapi seharusnya Kyungsoo akan menolak bertemu dengannya. Tidak, Chanyeol baru saja mengatakan bahwa dia hanya memberitahu Kyungsoo bahwa tamunya adalah tamu penting. Lalu, mungkinkah Kyungsoo sudah menduga kedatangannya, itu pun terlalu tidak mungkin. Sebenarnya, kenapa?
Ketika disibukkan oleh pikirannya, Jongin tersadar ketika melihat Chanyeol tiba-tiba tersenyum bangga dengan tatapan lembut penuh kasih terhadap Kyungsoo, dan tanpa bisa dibendung, pancaran mata Jongin diliputi aura gelap ketika menemukan senyum yang sama juga tergambar di bibir Kyungsoo. Keduanya bertatapan, di depannya. Tangan Jongin terkepal kuat, menahan diri untuk tak melepas emosinya selagi Kyungsoo masih menari. Perasaan asing membuat hatinya terasa panas, kegeraman tak dapat dikendalikan, rasa posesif menyeruak tanpa diperkenankan. Jongin menunggu dengan kesabaran yang dipaksakan.
Kyungsoo membungkuk bersama kedua wanita yang bersamanya setelah ia selesai, lalu tanpa canggung menuangkan teh ke dalam cangkir milik dua pria yang menatapnya dengan tatapan berbeda.
"Kudengar kau adalah cinta pertama Gisaeng." Celetuk Jongin tiba-tiba, kesan dingin pada suaranya tak dapat disembunyikan. Ia menatap Chanyeol dan Kyungsoo bergantian, keduanya membeku, menunjukkan bahwa keduanya tak menyangka akan mendengar hal privasi yang dibuka di tempat dan waktu yang salah.
Sementara Chanyeol memperhatikan Jongin tak mengerti, dengan gerakan lembut Kyungsoo meletakkan teko yang berisi teh hijau dan menghembuskan nafas perlahan, seolah ia mempersiapkan diri untuk berperang. "Apakah menyenangkan mengetahui kehidupan pribadi seseorang, tuan?" Tanyanya sarkastis.
Jongin tersenyum kecut, tatapannya meremehkan. "Aku menawar harga untuk tubuhnya, tapi dia menolakku dengan penghinaan yang menyenangkan." Ia mengabaikan sindirian Kyungsoo, dengan tenang meminum teh sembari mengamati perubahan mimik muka Chanyeol yang mengeras, dan ia melirik tangan Kyungsoo yang terkepal diatas pahanya. "Menurutmu berapa harga yang harus kutawarkan untuk membuat Do Kyungsoo menyerah padaku, Chanyeol?" Jongin meletakkan kembali cangkir teh di atas meja.
Tak ada jawaban, ruangan menjadi sunyi dan suasana berubah tegang, Jongin benar-benar menunjukkan apa itu penghinaan dan, direndahkan. Ia menatap Kyungsoo yang menunduk. "Barang bagus pantas dihargai mahal, sepertinya aku harus membuang separuh hartaku ke dalam tong sampah untuk menyeretnya ke atas ranjangku."
Terjadi terlalu cepat. Begitu menyelesaikan kalimatnya, Jongin terlempar keras ke belakang dengan tubuh terlentang tanpa sempat menyadari pukulan Chanyeol di wajahnya, Kyungsoo terperangah, kedua wanita yang lain menjerit terkejut seraya berlari ke luar ruangan. Dengan sorot mata dikuasai kebencian Chanyeol menghampiri Jongin, mengumpat, menendang, dan terus memukul seluruh tubuh Jongin seperti seseorang yang kehilangan kewarasannya, seolah membalaskan sakit hati orang yang dikasihinya, seakan menghajar pria paling bejat di dunia. Tak ada perlawanan, Jongin tak melawan atau menghindar sedikit pun, hanya suara mengaduh yang terdengar pelan.
Kyungsoo terdiam, ia mulai tenang, meski dadanya berdetak sakit melihat darah mengalir dari hidung dan sudut bibir Jongin. Kyungsoo tetap terdiam, karena Jongin memang harus membayar, dan Chanyeol menyayangi dirinya, jadi ia tak boleh menghentikannya. Ia pun masih memiliki tujuan, karenanya masih belum waktunya ia bersikap lunak, ia masih harus membuatnya terus sibuk mengejar dirinya, masih belum. Kyungsoo menggigit bibir bawahnya, tangan mencengkram dada menahan gejolak yang seakan hampir meledak, Jongin yang terkapar lemas di bawah amukan Chanyeol semakin membuat hatinya kacau.
Chanyeol menghentikan pukulannya, ia mencengkram dan menarik kerah kemeja Jongin hingga tubuhnya terduduk. "Aku keluar dari perusahaanmu, brengsek!" Dengan terengah akibat tenaga yang terkuras Chanyeol berkata. "Bodoh sekali. Aku benar-benar bodoh. Kau membodohiku dengan rencanamu yang menjijikkan ini." Chanyeol tertawa miris, kemudian ia menatap dengan tatapan membunuh. "Aku tidak peduli bagaimana kau mengenal Kyungsoo, tapi aku tidak akan membiarkan bajingan sepertimu mendekatinya. Coba saja mengabaikan kata-kataku, saat itu aku tidak akan segan untuk membunuhmu." Ia menghempaskan cengkramannya dengan kasar, menjauhi Jongin dan menggenggam tangan Kyungsoo sebelum menariknya keluar ruangan.
Selepas Chanyeol dan Kyungsoo meninggalkan ruangan, Jongin tertawa dengan keras, ia menjatuhkan tubuhnya dan berbaring terlentang sembari menatap langit-langit ruangan, perasaan hangat di dalam hati mengalahkan rasa sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya. Jika Chanyeol tak memukulnya, mungkin ia tidak akan menyadari bahwa perasaan yang dimilikinya terhadap Kyungsoo bukanlah obsesi semata. Mulanya ia memang menyangkal karena sikap angkuhnya, dan membohongi diri sendiri dengan mengelak untuk menerima kenyataan jika pesona Kyungsoo telah memikat hatinya, tetapi kecemburuan terhadap kedekatan Chanyeol dengan Kyungsoo, sudah cukup merepresentasikan perasaan yang sengaja ia ingkarinya. Jongin tersenyum seraya memejamkan mata membayangkan wajah Kyungsoo, untuk pertama kali ia bisa berpikir dengan jernih, tanpa menggebu-gebu, debar jantungnya berubah menyenangkan.
Jongin membuka mata dan menemukan wajah Kyungsoo di atasnya, dia bersimpuh di sampingnya dan menatap datar tanpa ekspresi. Jongin menduga bahwa yang dilihatnya hanya halusinasi yang disebabkan rasa sakit di tubuhnya, ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Kyungsoo. Hangat. Jongin terperanjat kaget, dengan gerakan tergesa ia mendudukkan tubuhnya dan menatap bingung pada Kyungsoo. Ia semakin tak mengerti ketika melihat Kyungsoo merobek rok bagian dalam hanboknya yang berwarna putih, mendekatinya dan menyeka darah yang mengalir di hidungnya.
Sunyi, tak ada yang bersuara. Jongin membiarkan Kyungsoo membersihkan noda-noda darah di wajahnya, sembari menatap lekat wajah yang masih terlihat datar. Perasaannya kembali menghangat, obsesi itu, keangkuhan, kemarahan, telah menguap menjadi angin sejuk musim semi. Ia tersenyum tipis.
"Kenapa kau kembali?" Jongin bertanya, menghentikan gerak tangan Kyungsoo agar lebih fokus pada apa yang ditanyakannya.
Kyungsoo bungkam, ia justru menatap Jongin dengan rasa bersalah yang mendalam. Matanya sendu, terlihat menyimpan sesuatu yang membuat Jongin menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan olehnya. Menangkap tatapan mata itu, Jongin merasa jika perubahan sikap Kyungsoo saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang baru saja terjadi maupun dengan apa yang telah dilakukan Chanyeol.
"Ada apa?" Jongin menuntut dengan perasaan cemas karena Kyungsoo tetap diam.
Kyungsoo menarik tangannya dari genggaman Jongin. "Kau bisa berjalan? Atau ada seseorang yang bisa kau hubungi untuk—"
Kyungsoo jatuh terlentang, Jongin telah mendorong dan menindihnya. Tak memberi kesempatan untuk menghardik atau melawan, Jongin langsung menciumnya dengan kasar, seolah ingin memuaskan dahaga yang menyiksa. Ia melumat bibir Kyungsoo bergantian, menekan bibir lembutnya dan menghisap manisnya, mencumbu bibir Kyungsoo hingga terasa panas, namun ciumannya perlahan berubah kaku dan frustrasi karena rasa ingin memiliki dan tak ingin kehilangan semakin membuncah. Sejak kapan, ia terjatuh sedalam ini? Jongin mencengkram pundak Kyungsoo, berharap perasaan kasih di dalam hatinya tersampaikan. Kyungsoo mengangkat tangannya, jari-jari menyusuri rambut lembut Jongin sebelum mencengkramnya, kemudian ia membalas ciuman Jongin, dengan lebih panas, mengabaikan rasa anyir dan aroma darah yang menyeruak dalam lumatan. Jongin membeku akibat efek kejut merasakan bibirnya dieksplorasi sedemikian rupa oleh Kyungsoo, gerakannya lebih pada berantakan dan kasar, seakan ingin menyampaikan luka yang lebih mendalam dari pada yang dirasakan Jongin.
Kyungsoo membuka bibirnya, mengundang dan menggoda Jongin untuk menikmati kehangatan di dalamnya. Jongin menyambut, melilit lidah Kyungsoo dengan tak sabaran, menggelitik langit-langit dengan antusias, dan mendorong lidahnya semakin dalam sehingga Kyungsoo mengerang nikmat. Nafas keduanya memburu, kepala bergerak sinkron menyesuaikan dengan gerakan bibir yang saling menarik dan menggigit, menyesap, melumat, mencecapi apapun yang bisa memadamkan rasa haus mereka. Erangan dan desahan terdengar menyenangkan, membangkitkan hasrat semakin dalam, jantung Jongin rasanya ingin meledak merengkuh Kyungsoo dalam dekapan. Keduanya enggan untuk saling melepaskan, karena begitu mengakhirinya mereka akan kembali pada kenyataan yang menyesakkan. Kyungsoo yang memulainya, ia mendorong pundak Jongin dengan halus, hingga perlahan bibirnya terlepas dari lumatan bibir Jongin. Dan ketika Jongin menatap Kyungsoo, hanya sorot mata kesedihan yang berpadu dengan rasa bersalah mendalam yang ditemukannya.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?" Jongin bertanya, suaranya terdengar serak.
"Kalau begitu kuasai dirimu dan jangan menyerangku lagi." Sindiran ringan bernada canda, namun tak ada perubahan pada ekspresi Kyungsoo.
Jongin terkekeh samar mengingat Kyungsoo lah yang menyerangnya di tengah-tengah ciuman mereka. "Secara teori memang aku yang menyerangmu, tetapi menguasai diri, seharusnya bukan aku yang melakukannya." Ia mengusap bibir basah Kyungsoo dengan jarinya.
Kyungsoo tersenyum lembut. "Kau, harus pulang, Jongin." Pintanya terdengar frustrasi.
Punggung tangan Jongin menyentuh pipi Kyungsoo dan membelainya halus. "Kau ingin aku melupakan segalanya? Itu terlalu kejam. Aku tidak akan memilih jalan untuk kembali." Jongin menyentuh ujung hidung Kyungsoo dengan telunjuknya. "Maafkan kekasaran kata-kataku sebelumnya. Dan sepertinya aku harus berlutut untuk mendapatkan maaf dari Chanyeol."
Kyungsoo mendorong Jongin dengan perlahan dari atas tubuhnya, kemudian ia bangkit dan mendudukkan tubuhnya di hadapan Jongin yang kini juga melakukan hal yang sama.
"Malaikat yang kau lihat, memiliki sayap hitam berbulu lapuk. Aroma musim semi yang kau hirup, menyembunyikan bau busuk. Tetapi sang raja bukanlah lalat pemakan hati yang luruh, malaikat musim semi telah sengaja membutakannya hingga lumpuh. Angin tak berpihak, musim semi terombang ambing. Justru menakutkan ketika tawa Tuhan tersungging. Ia merajuk di sudut kegelapan, karma-Nya serupa cupid cinta mematahkan hati yang kelelahan. Hanya seorang tuan di belakang layar yang berhak membebaskan."
Kyungsoo mencium kedua pipi Jongin, dengan raut wajah diliputi kesedihan ia tersenyum tipis setelahnya. "Maaf."
Kyungsoo pergi dengan meninggalkan syair yang Jongin sadari berisi sebuah pengakuan. Sarat makna di dalamnya, sampai membuat kepala Jongin terasa sakit, karena hanya inti syair yang ia mengerti—Bait pertama menuturkan tentang dirinya yang telah salah memuja pesona Kyungsoo karena sesungguhnya menyimpan sesuatu yang tak elok, bait ke dua tentang Kyungsoo yang sengaja memikat dirinya, bait ke tiga mengenai ungkapan perasaan cinta Kyungsoo, dan satu baris terakhir bisa Jongin mengerti tapi tak dapat ia pahami, tuan di balik layar? Apa sebenarnya yang dia rahasiakan? Mengapa kesedihan itu adalah rasa bersalah terhadap dirinya. Jongin takut memikirkannya terlalu jauh, ia tak berani menyimpulkan atau menduga-duga, karena apapun kebenarannya ia tahu hal itu akan menjadi alasan Kyungsoo pergi darinya.
...
"Kau sudah menanyakan apa maksudnya?" Tanya Kris setelah dua minggu berikutnya Jongin datang ke bar milik Kris.
Jongin menggeleng lemah. Ia terlihat lusuh, lelah, gelisah. Ia menyapu anak rambutnya ke belakang dengan putus asa. "Dia menghilang. Bahkan tidak mengatakan kemana dia pergi pada orang-orang di rumah Gisaeng. Aku sudah melakukan segala cara untuk menemukannya, bahkan memohon dan berlutut pada Chanyeol, tapi dia juga tidak mengetahui apapun." Ia meneguk koktail dingin yang baru saja diletakkan pelayan. "Aku merasakan firasat buruk mengenai semua ini."
"Firasat buruk?" alis Kris terangkat penasaran.
"Entahlah, aku tidak bisa memastikan apapun." Jongin menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, mendongakkan kepala dan merenung.
"Bagaimana dengan Chanyeol?" sela Kris.
"Dia menjadi direktur. Kurasa Kyungsoo membujuknya." Jawab Jongin malas, masih mendongakkan kepala.
"Lalu bagaimana dengan Luhan?" Kris meneguk koktail dengan tenang sembari memperhatikan raut wajah Jongin.
Ya. Jongin benar-benar tertahan. Melupakan segalanya dan tak mempedulikan apapun. Bahkan ia seakan lupa di mana tempat tinggalnya bersama pemuda China itu, karenanya ia tak menyadari jika seseorang juga mengahabiskan waktunya untuk mencari dirinya selagi ia menyibukkan diri mengejar pesona malaikat musim semi. Jongin membeku menatap Kris dengan ekspresi yang tersesat.
"Tolong aku … Kris."
Jongin lupa, atau mungkin memilih lupa.
Untuk pertama kalinya Jongin yang cerdik tampak bodoh.
.
"Oh. Apa yang sudah ku lakukan, aku seharusnya sudah tahu apa artinya dia untukku.
Jika aku memintanya untuk tetap tinggal, aku tahu dia tidak akan pernah pergi.
Keras kepala, aku mengusirnya, jadi sekarang aku harus menerima hukuman."
Gisaeng ada di sana, menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung bar. Diiringi petikan gitarnya yang lembut ia mengakhiri penampilannya dengan untaian bait-bait sijo Hwang Jin Yi yang bermakna penyesalan. Dua lelaki yang duduk berjauhan memandang sendu penuh kasih mengagumi keeksotisan segala tentangnya, setiap alunan nada yang terucap dari bibirnya bagai mantra pemikat yang merenggut kesadaran pikiran, senyumnya bak sihir medusa yang membekukan seperti batu. Perangainya bersahaja, predikat penghibur tak membuatnya tampak binal ataupun murahan meski duduk di bawah lampu-lampu temaram yang erotis.
Hati seorang lelaki patah ketika senyum lembutnya ditujukan pada lelaki yang lain, Park Chanyeol tersenyum bahagia dan Kim Jongin berdiri dari duduknya dengan terluka. Jongin beranjak menjauh,
"Yang terhormat, Byuk Kye-Soo."
Langkah Jongin terhenti mendengar seruan yang bernada halus, ia menoleh dan hatinya berdesir hangat melihat senyum indah dan tatapan teduh yang dimaksudkan pada dirinya.
"Jangan membual akan pergi begitu cepat. Ketika engkau menjelajah ke laut, akan sulit untuk kembali. Bulan bersinar di atas lembah sepi, bagaimana dengan tinggal di sini untuk beristirahat."
Sekali lagi, dia mengutarakan maksudnya dalam bentuk syair Hwang Jin-Yi, memaksa Jongin untuk menerka-nerka. Bukankah itu berarti mengharapkan hal semu ketika mengartikannya sebagai penerimaan, atau bahkan permintaan. Namun ternyata harapan itu bukanlah harapan semu, dia meletakkan gitarnya sebelum berjalan mendekat, berdiri di hadapan Jongin dan berjinjit untuk menyematkan ciuman ringan di bibirnya.
Jongin menggenggam tangan Kyungsoo setelah sesaat menatap mata bulatnya yang bersinar cerah. "Aku bukan Byuk Kye-Soo, Kyungsoo." Ia menyangkal perbandingan dirinya dalam syair.
"Lalu siapa? Raja Songjong?" Kyungsoo tersenyum. "Kau lebih tampak seperti Byuk Kye-Soo yang terobsesi pada Hwang Jin-Yi."
"Lalu kau adalah Hwang Jin-Yi?" Alis Jongin terangkat, lalu menggeleng. "Dia Gisaeng yang tidak memiliki kisah cinta yang menyenangkan."
"Apa kau benar-benar berpikir aku memiliki kisah cinta yang menyenangkan?" Kyungsoo bertanya heran.
Sesaat keduanya membeku saling mengunci tatapan, kemudian Kyungsoo tertawa kecil menyadari mata Jongin melebar. Tetapi Jongin masih tetap terpaku, tentu dia segera mengerti dengan maksud pertanyaan itu. Yah, siapalah Kyungsoo, berani mencoba merangkai cerita dalam kisah cinta orang lain.
Tak ingin mengangkat kembali keraguan yang sudah ia tenggelamkan, Jongin memegang tengkuk Kyungsoo dan mendorongnya mendekat, dengan gerakan lambat ia mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka bersentuhan dengan halus. Jongin membuka bibirnya sebelum melumat bibir Kyungsoo dengan sangat menikmati, berharap perasaan cintanya tersampaikan.
...
Dalam sebuah ruangan di lantai dua bar itu mereka bercumbu, bergumul di atas ranjang dengan kecupan panas dan gerakan-gerakan nakal yang memancing, ciuman menuntut menggebu berpadu dengan nafas memburu. Kyungsoo mengangkang di atas tubuh Jongin yang berbaring, mengapit perut lelaki jangkung itu di antara pahanya, kedua tangannya meremas rambut Jongin dan lumatannya semakin liar, menciptakan erangan nikmat dari bibir keduanya. Jongin menekan tengkuk Kyungsoo ketika ia memasukkan lidah ke dalam mulut hangatnya, dan tangan yang lain mengelus halus punggung telanjangnya, dengan menggoda perlahan turun ke bongkahan pantat kenyal yang menarik perhatian Jongin, dengan kuat ia meremasnya berulang kali sehingga pantat itu bersemu merah, membuat Kyungsoo mengerang tertahan dalam ciuman.
Kyungsoo menghentikan ciumannya dan menjilat telinga Jongin. "Itu perbuatan melecehkan," bisiknya parau, namun tak ada nada marah dalam suaranya.
"Bukankah semakin membuatmu bersemangat?" balas Jongin. Ia meremas penis Kyungsoo yang berada di atas perutnya dan Kyungsoo merintih dengan tersiksa. "Lihatlah, kau sangat bersemangat." Godanya sembari membelai ujung penis Kyungsoo.
Kyungsoo menahan tangan Jongin. "Tidak ada gunanya jika hanya aku yang bersemangat, tuan Kim."
Kyungsoo mengecupi dada telanjang Jongin dengan gigitan-gigitan ringan sebelum ia semakin bergerak turun, merasakan penis Jongin dibibirnya kemudian memasukkan ke dalam mulut, menghisapnya dengan sensual, mengitari panjangnya dengan lidah dan menelan cairan yang tersedot dari lubang kecil kepala penis Jongin. Kyungsoo terus mengulanginya, kepala bergerak cepat mengocok penis Jongin di dalam mulut sampai ujung tumpulnya menyentuh pangkal tenggorokan, menciptakan geraman tertahan yang terlepas dari bibir Jongin, ia ingin menggerakkan pinggul dan mencumbu mulut Kyungsoo hingga hasratnya terlepas, namun ada yang lebih menggiurkan dari pada menyelesaikannya dengan mulut. Tanpa peringatan Jongin menarik lengan Kyungsoo dan penisnya terlepas paksa dari bibir Kyungsoo.
Ia membaringkannya, mengulurkan tiga jari ke bibirnya dan Kyungsoo melahapnya dengan segera. Lidah lembut itu bermain dengan ketiga ujung jari yang gemetar karena aliran nikmat yang membuncah, menggelitik manja, menguji pertahanan Jongin yang hampir meledak. Kyungsoo menghisap dan menjilat seolah ia melakukannya pada penis Jongin, dengan diiringi desahan-desahan yang memanggil, ia terlihat panas dan seksi. Jongin memperhatikan dengan mata semakin gelap dipenuhi kabut napsu, ia membisikkan kata cukupketika merasakan jari-jarinya basah. Dengan kakinya Jongin melebarkan paha Kyungsoo, dan sembari memasukkan dua jari sekaligus ke dalam lubangnya, Jongin menjilat puting Kyungsoo, menggigitnya kecil dan mengisapnya. Dada Kyungsoo membusung, semakin mendorong putingnya ke dalam mulut Jongin, rasa sakit di lubangnya bercampur dengan getaran-getaran keseluruh tubuh akibat ransangan yang lain. Jari ke tiga merasakan hangat dan kelembutan di dalam Kyungsoo, Jongin mulai meregangkan lubangnya, mendorong, memutar, jari-jarinya bergerak leluasa dengan antusias, geraman putus asa saling bersahutan karena tak bisa menahan kesabaran lebih lama.
Setelah memastikan Kyungsoo sudah siap untuknya, Jongin mencium kening Kyungsoo penuh kasih. Ia mendorong penisnya dengan perlahan, membungkusnya ke dalam lubang hangat, yang disambut desahan menyenangkan ketika penisnya bersarang sempurna di dalam lubang Kyungsoo. Rasa takjub tak bisa disembunyikan dari ekspresi Jongin, mata Kyungsoo yang terpejam seolah meresapi rasa kehadiran penis yang bergerak di dalam tubuhnya, bibir merah yang terbuka menyebut nama Jongin dengan sensual, membuat Jongin tak ingin cepat mengakhirinya. Ia menunduk melumat bibir Kyungsoo yang terbuka, jari-jari ia tautkan dengan jari Kyungsoo, dorongan penisnya semakin cepat saat menemukan iramanya.
Pantat berbenturan dengan paha, menimbulkan bunyi bertepukan yang keras, ciuman semakin binal dengan bunyi basah dan gumaman nikmat. Tubuh Kyungsoo tersentak seiring gerakan cepat pinggul Jongin, kedua kaki menggantung kaku di udara, penis yang bergesekan dengan dinding lubangnya menciptakan rasa panas menggelenyar ke seluruh tubuh. Tiba-tiba Kyungsoo melepaskan bibirnya dari dominasi bibir Jongin hanya untuk melepas erangan nikmat ketika penis Jongin memukul keras prostatnya, cuma butuh beberapa dorongan dan gesekan cepat, ia pasti akan tumbang. Dan itu terjadi, Kyungsoo merasakan orgasme yang luar biasa, ia meneriakkan nama Jongin dengan keras, yang terdengar seperti pujian berharga bagi Jongin. Cairan kental menyemprot dan meleleh dari ujung penis Kyungsoo, namun Jongin tak menghentikan dorongan penisnya dan hanya memperlambat gerakannya.
Ketika Kyungsoo melewati orgasmenya, Jongin kembali mempercepat hujaman penisnya, bukannya semakin longgar justru lubang Kyungsoo terasa semakin erat memeras penisnya dengan bergairah, sehingga birahi yang menggelegar terasa membakar seluruh tubuh. Jongin merengkuh tubuh Kyungsoo lalu mengangkat tubuh kecil itu tanpa melepas tautan penisnya, dengan posisi yang pas Kyungsoo duduk mengangkang di atas pangkuannya, dan Kyungsoo memekik merasakan penis Jongin semakin mendesak menusuk dalam. Kedua tangan Jongin menopang tubuhnya sendiri di belakang agar tak jatuh terbaring, dan Kyungsoo mengerti ia harus bergerak, ia mengkerutkan dinding lubangnya ketika mengangkat pinggulnya sehingga penis Jongin terasa dicengkeram kuat, dan ketika Kyungsoo menurunkan tubuhnya Jongin merasakan penisnya dihisap dalam, kemudian Kyungsoo memutar dan menggoyang pinggulnya berulang.
"Oh….Kyungsoo, kau menyiksaku dengan sangat sempurna." Kepala Jongin menengadah dengan mata terpejam sembari menggeram merasakan penisnya dipilin dan diperas.
Kyungsoo merangkulkan kedua tangannya di leher Jongin, bibir bawahnya ia gigit untuk menahan rintihan nikmatnya, kemudian menggerakkan tubuhnya naik turun dengan cepat lalu memutar pinggulnya lagi. Penis Jongin timbul tenggelam dalam lubangnya, semakin membesar, memerah, dan urat-uratnya semakin tampak.
"Ah….Kyungsoo, terus begitu," Kepala Jongin semakin menengadah ke belakang, meresapi kenikmatan penisnya yang terasa diurut dalam kehangatan di tempat yang sempit. Tangannya mencengkeram seprai ranjang yang kusut, sementara geramannya terdengar menggema dalam ruangan.
"Ah, Jongin!" Kyungsoo menjerit, prostatnya kembali berbenturan dengan penis Jongin, dan miliknya sendiri semakin mengacung dengan lendir-lendir yang meleleh, "Eungh. Astaga, Jongin….disana, sangat nikmat…oh!" Seakan ingin menyiksa diri sendiri Kyungsoo menghentakkan pantatnya dengan kasar ketika ia bergerak ke bawah, dengan sengaja menghujamkan prostatnya pada penis Jongin yang sekeras batu, hingga bulir air mata mengalir karena rasa nikmat yang tiada tara.
"Jongin, ahh…aku…tidak bisa lagi. Oh…ya ampun!" Kyungsoo meracau, tangannya mencengkram punggung Jongin sebagai pelampiasan, ia benar-benar menanggung sensasi nikmat yang belum pernah ia rasakan, menyiksa dan secara bersamaan membuatnya melayang hingga pikirannya kosong.
"Terus…bergerak sayang, sebentar lagi." Jongin menahan tubuhnya dengan satu tangan dan tangan yang lain menopang pinggang Kyungsoo agar tak kehilangan keseimbangan. Ia menunduk dan memperhatikan bagaimana penisnya ditarik dan disedot ke dalam lubang Kyungsoo, rasanya semakin panas dan sesak. Ia menggeram dan mengeratkan pegangan tangannya. Sedikit lagi.
Jongin menggerakkan pinggangnya berlawanan dengan gerakan Kyungsoo, kembali mencumbu lubang hangatnya serta menghujam sangat dalam dan keras, hingga ia merasa penisnya penuh, dan ia tahu Kyungsoo pun sudah sampai pada batasnya. Jongin memeluk erat tubuh Kyungsoo dengan kedua tangan, menggigit lehernya untuk meredam geraman yang bisa saja terdengar oleh semua orang di bar. Kyungsoo melakukan hal sama, kuku-kukunya menancap di punggung Jongin, matanya terpejam dan bibirnya ia gigit, cairan putih kental kembali menyembur dari lubang penisnya, namun saat ia menikmati orgasmenya, Kyungsoo merasakan kehangatan lain menjalar di dalamm tubuhnya. Jongin telah meledakkan spermanya di dalam Kyungsoo, membanjiri lubangnya dan membasahi setiap sudut, mengirimkan aliran-aliran gelenyar manis yang membangkitkan bulu roma.
Jongin membaringkan tubuh Kyungsoo dan menindihnya, ia menggerakkan kembali pinggulnya dengan begitu pelan, memompa penisnya di dalam lubang Kyungsoo dengan tujuan ingin mengeluarkan seluruh cairannya, dan Kyungsoo menikmati dengan tenang selagi mengatur pernafasannya yang terengah. Keringat membanjiri seluruh tubuh, kepala terasa seringan kapas, dan pikiran terasa segar, keduanya mencapai kepuasan yang diinginkan.
Ruangan gelap mulai terasa dingin karena langit mendung dan gerimis. Kyungsoo berdiri menatap rintik-rintik hujan melalui jendela kaca yang mulai berembun, sembari meletakkan telapak tangannya menyentuh kaca dengan pikiran berkecamuk. Ia yang tak memakai sehelai pakaian di tubuhnya mulai merasakan dingin menjalar menyengat. Kyungsoo menghela nafas lemah, seakan mengadu lelah memikul beban hati yang berat.
"Aku akan melukismu seperti itu." Jongin menyela lamunan Kyungsoo, ia memperhatikan dari atas ranjang sembari duduk bersandar pada kepala ranjang. Dengan penuh antisipasi ia membayangkan dirinya menangkap sketsa hidup yang telah memerangkapnya, mengukir dan menggores keindahannya ke dalam kanvas putih.
"Sekarang?" Kyungsoo menoleh tercengang seraya melihat sekitar ruangan, tak ada peralatan melukis disana.
Jongin terkekeh menangkap apa yang dipikirkan Kyungsoo. "Aku sudah merekam setiap lekuk tubuhmu dan berbagai macam ekspresimu di sini." Lalu ia menunjuk pelipisnya. "Kau sudah ada dalam otak dan pikiranku, jadi aku bisa melukismu kapan saja meskipun tidak melihatmu."
"Kau sudah bisa melukis lagi?" Mata Kyungsoo membulat ketika bertanya dan tak menyadari suaranya yang terdengar antusias.
"Kau, mengetahuinya?" Kening Jongin berkerut, memandang Kyungsoo heran. "Mengenai aku yang tak bisa melukis lagi, hanya orang terdekatku yang mengetahuinya."
Tubuh Kyungsoo membeku, satu tangan yang menempel di kaca jendela terkepal, dengan menanyakan hal seperti itu sama saja ia melompat ke dalam lubang yang dibuat sendiri. "Beberapa orang yang datang ke rumah Gisaeng membicarakan tentang seorang pelukis yang….tidak bisa melukis lagi. Aku…aku hanya menebak jika itu kau." Kyungsoo terbata, matanya menunjukkan kegugupan dan terlihat bingung. Ia segera mengalihkan tatapannya dan kembali memandang ke luar jendela.
Jongin menatap lekat pada Kyungsoo sembari membaca setiap gerik anehnya. Tak lama kemudian ia menunduk menatap kedua telapak tangannya. "Sejak melihatmu aku tidak bisa melukis lagi, hal itu sangat aneh dan sangat mengesalkan. Tetapi pada akhirnya aku mengerti jawabannya." Ia menatap Kyungsoo dengan sorot mata lembut, tetapi Kyungsoo tak bergeming dan hanya mendengarkan sembari menatap hujan. "Saat mengingkari perasaan, semua menjadi kacau. Tetapi ketika menerimanya, semua terlihat lebih menyenangkan dari pada yang ku bayangkan." Jongin tersenyum mengingat sikap dirinya sendiri yang dianggap bodoh.
Kyungsoo tersenyum tipis. "Kau memang Byuk Kye Soo." Ledeknya pada Jongin.
Jongin tertawa jenaka, ia turun dari ranjang tanpa menutupi tubuh telanjangnya, menghampiri Kyungsoo dan memeluknya dari belakang dengan posesif. Kyungsoo merasakan dagu Jongin menekan di puncak kepalanya, tangan kekar melingkupi tubuh kecilnya dengan hangat, punggung yang bersentuhan dengan dada Jongin yang keras, dengan cepat merangsang tunas liar yang kini menjadi tumbuhan bunga berakar kuat, aroma tubuhnya terasa menyenangkan dan menenangkan, Jongin yang mendekapnya adalah pria yang melindungi dan mengasihi. Dengan pandangan raut muka yang sama-sama memperlihatkan perasaan nyaman, keduanya menatap hujan di luar jendela.
"Sejak kapan kau melihatku?" Setelah lama terdiam, Jongin tiba-tiba melontarkan pertanyaan.
Kyungsoo tertawa pelan, pertanyaan Jongin terasa menggelikan hati, seperti seorang bocah yang ingin mendapat pengakuan. "Kau ingin mendengar pernyataan cintaku?"
Jongin menggumam, dengan cepat mengiyakan. Kyungsoo menyampirkan tangannya di atas tangan Jongin yang memeluk perutnya. "Sebelum kau menoleh dan melihatku. Wajah tampan yang tertimpa sinar matahari terlihat lebih menyilaukan. Menyebalkan." Kyungsoo memberengut, karena mengingat bahwa tak seharusnya ia jatuh cinta semudah itu sementara ia memiliki tujuan yang sebaliknya. Namun tak sedikit pun terlihat penyesalan di wajahnya.
"Apa kau baru saja mengumpat karena menyesali perasaanmu?" Pertanyaan Jongin menuntut dan menekan, tetapi tak ada nada kesal di dalamnya, ia justru terdengar berlagak marah, yang disambut tawa keras oleh Kyungsoo. Lalu ia mengeratkan pelukannya pada tubuh kecil dalam dekapannya. "Sebelum aku menoleh dan melihatmu?" Jongin mengulangi kata-kata Kyungsoo sembari memejamkan mata, semua yang terjadi semakin terbuka dan terlihat, tapi masih tetap seperti puzzle yang kehilangan beberapa bagian. "Aku tidak ingin menyelam dan menggali lebih dalam. Dengan kau berada disisiku itu sudah cukup, aku tidak membutuhkan alasan lain."
Tubuh Kyungsoo membeku dengan tatapan kosong terpaku jauh ke luar jendela, Jongin benar-benar sudah menangkap bagian penting dari yang disembunyikannya. Apakah ia harus takut karena Jongin benar-benar telah menangkapnya, atau harus merasa senang karena beban hati dan rasa bersalah yang sedikit berkurang. Bagaimanapun apa yang dilakukannya adalah meretakkan ikatan orang lain.
"Aku tidak menyangka jika pemilik bar yang mengundangku adalah temanmu." Selagi berusaha menenangkan perasaannya ia bertanya, mengalihkan pembicaraan, hanya itu yang bisa melepaskannya dari tekanan.
"Ah, aku lupa jika Kris lebih mahir dariku dalam mencari seseorang. Terima kasih padanya sudah mempertemukan kita di sini. Aku hampir putus asa mencarimu." Jongin mengecup kepala Kyungsoo lama sebelum menyematkan kecupan ringan di lehernya. "Tapi mengapa Chanyeol juga ada di sana?" Ia mengeyampingkan perasaan cemburunya dan memperhatikan raut wajah Kyungsoo dari samping, sedikit gusar memikirkan jawaban yang akan diberikannya.
"Terlepas dari perasaan lalu kami, Chanyeol adalah seorang sahabat, kami berteman sejak masih kanak-kanak. Dialah yang mengajariku memainkan alat musik, dan dia senang sekali melihatku bernyanyi, karena itu, jika aku menyanyi di tempat-tempat umum seperti disini, dia akan datang dan bersikap seolah dia adalah seorang guru yang sedang melihat hasil latihan muridnya." Tanpa sadar Kyungsoo terkekeh mengingat wajah Chanyeol ketika serius. "Tapi aku tidak terlalu sering tampil di tempat seperti ini, jadi Chanyeol akan datang ke tempatku di waktu tertentu hanya untuk memintaku berlatih. Dia benar-benar kekanakan dan—" Refleks Kyungsoo menyentuh bibirnya dengan jari tangan, tersadar bahwa ia sangat bersemangat ketika bercerita tentang sahabatnya.
"Maaf," ucap Kyungsoo menyesal.
"Tidak apa-apa. Meskipun aku memang cemburu dengan kedekatan kalian, aku senang mendengarnya. Setidaknya sekarang aku tahu jika dia bukanlahGibu-mu." Jongin pun tersenyum, menenangkan perasaan khawatir Kyungsoo yang takut dirinya akan salah mengerti. Tetapi sebaliknya, ia merasakan perasaan lega dan tenang ketika mengetahui bahwa Chanyeol bukanlah ancaman seperti perkiraannya.
"Gibu?" Kyungsoo tertawa renyah. "Suami Gisaeng yang menyediakan perlindungan dan dukungan ekonomi?" Jongin menggumam mengiyakan dan kembali meletakkan dagunya di atas kepala Kyungsoo. Dengan nyaman Kyungsoo menyandarkan punggungnya di dada Jongin. "Aku tidak menginginkan Gibu yang menyediakan perlindungan ataupun dukungan ekonomi, tetapi seorang Gibu yang mencintaiku dengan tulus."
"Jika cinta yang kau inginkan maka kau sudah mendapatkannya dariku." Sela Jongin. Ia melepaskan pelukannya dan memutar tubuh Kyungsoo supaya berhadapan dengan dirinya, memegang kedua pundaknya dan meremasnya lembut. "Biarkan aku memilikimu, Kyungsoo." Ucapnya sungguh-sungguh penuh kasih.
Kyungsoo menyeringai, dengan hati miris mengejek kesungguhan Jongin. "Lalu bagaimana dengan sang permaisuri, tuan? Masih adakah tempat untuk seorang selir?"
Jongin tersenyum sembari melingkarkan tangannya di pinggang Kyungsoo, lalu menariknya hingga tubuh telanjang mereka menempel tanpa jarak, saling menatap membaca pikiran satu sama lain. Jongin menunduk dan menyematkan ciuman-ciuman ringan di kening Kyungsoo, kemudian hidungnya, dan di seluruh wajahnya. Kyungsoo menahan tubuhnya dengan memeluk punggung Jongin, matanya terpejam merasakan bibir Jongin kini menempel di kulit lehernya, menggigit kecil sebelum menghisapnya keras. Kyungsoo mengerang karena Jongin terus melakukannya di seluruh kulit leher dan dada, kemudian kepalanya mendongak ketika Jongin menjilat jakunnya, lidah bergerak pelan menyapu sampai ke dagu dengan sensual dan menggoda. Ia menggigit bibirnya saat Jongin beralih mencium lembut telinganya dan berbisik…
"Aku sudah menjelajahi banyak macam jalan, tidak rata, berliku dan berlubang. Memanjat lembah curam dan tinggi, menyeberangi lautan dalam keributan dan ketenangan. Sekarang perjalananku hampir selesai, memilih musim semi sebagai persinggahan terakhir. Bukan janji yang kuucapkan, tetapi ketetapan yang kutawarkan.
Akankah kau menyambut uluran tanganku?"
Kyungsoo menunduk dalam, menyembunyikan air mata yang jatuh begitu saja, kemudian seulas senyum terpatri di bibirnya.
Kurasa tuan Oh tidak akan senang karena aku meraih tanganmu.
Aku, mengkhianatinya.
...
"Tidak perlu diteruskan lagi, Kyungsoo."
Seorang pria berkulit pucat menatap dengan tatapan lelah dan putus asa di depan pemuda yang menjamunya di dalam sebuah rumah Gisaeng.
Alis pemuda itu terangkat, bertanya-tanya dari maksud perkataannya. "Kenapa tuanOh? Kau menyerah begitu cepat? Aku sudah melakukannya seperti yang kau minta, menggodanya dan mengalihkan perhatiannya selagi kau berusaha mengambil hati kekasihnya. Apakah kau gagal?"
Si pria pucat tersenyum pahit, ia meminum tehnya sebelum menjawab pertanyaan itu. "Aku sudah membujuknya berhenti melukis. Jika itu terjadi, dia pun akan berhenti menjadi asistennya, dan mereka tidak memiliki alasan untuk sering bertemu. Tapi itu tidak mudah. Dia, tetap tak melihatku bahkan saat diabaikan dan dicampakkan olehnya. Aku tidak bisa memaksakan lebih dari ini."
Pemuda bermata bulat termenung, tatapannya terpaku pada meja kayu di hadapannya. Ia mendesah halus, pikiran diliputi rasa bersalah berpadu dengan degup jantung yang berbunga-bunga hanya dengan mengingat wajahnya. "Sejujurnya aku tidak mengira kehadiranku akan membuatnya tak bisa melukis, dan itu membuatku—"
"Kyungsoo, sebaiknya kau masih mengingat apa aturannya." Sang tuan memperingatkan dengan suara rendah dan tatapan tajam setelah mengamati perilaku pemuda dihadapannya yang membuat ia cemas.
Pemuda bermata bulat tersenyum mengerti, tuannya itu sangat mengkhawatirkan dia—seorang pemuda Cina yang dicintainya namun tak bisa direngkuh dalam dekapan. "Sejak kau menyelamatkan aku dan ibuku dari kecelakaan waktu itu, aku sudah menyerahkan nyawaku padamu, dan aku sudah berjanji akan membantu apapun kesulitanmu." Ia menatap si pria pucat, sinar matanya sendu dan memohon, berharap tuannya mengerti bahwa bukan hanya dia yang putus asa. "Tapi tuan Oh, bisakah kau melepaskan keegoisanku kali ini? Aku sudah menghindar darinya sebelum kau meminta, namun seorang temannya menemukan persembunyianku. Tuan Kim, mencariku. Dia, sedang menungguku. Kali ini saja, ijinkan aku untuk bertemu dengannya."
Mata tuan Oh melebar, kegeraman terpancar dari raut mukanya menyadari sesuatu yang ternyata berjalan diluar perkiraan. Perasaan kasih yang tanpa ia sadari telah tumbuh dalam hati pemuda bermata bulat, membuatnya ingin memaki. "Kau tahu aku tidak akan mengorbankan perasaan orang yang aku cintai hanya untuk keinginanmu itu. Sudah kuperingatkan sejak awal, bukan kau yang seharusnya jatuh hati padanya, tapi dia yang seharusnya mengejarmu. Aku menganggap ini sudah selesai, kau pun harus melakukan itu Kyungsoo!"
Pemuda itu merasakan sakit atas keputusan tak terbantahkan, namun ia tersenyum. "Tetapi bagi kami ini belum selesai, tuan. Karena—"
Byuk Kye-Soo, sangat keras kepala.
.
...
Sebuah lukisan berukuran besar ditempatkan khusus di sudut ruangan yang luas, menjadi pusat perhatian dan dikerumuni dengan antusias oleh pengunjung pameran lukisan Kim Kai. Lukisan yang bertuliskan 'Poetry' di sisi atas itu sangat sederhana, diambil dari sudut pandang punggung seorang pemuda yang berada di dalam sebuah ruangan gelap, tanpa sehelai kain berdiri di depan jendela kaca yang menampilkan hujan gerimis, kepalanya menoleh ke samping dan telapak tangan kirinya menempel di kaca jendela yang berembun, tatapan sendu berpadu dengan ekspresi terluka dan kesedihan. Ketelitian dari ekspresi pada lukisan itu membuat yang melihat terenyuh, tenggelam dalam suasana kelam dari kegelisahan yang tampak pada lukisan, menciptakan decak kagum yang mengagungkan bagi siapapun yang melihatnya.
Dua orang pria berdiri berdampingan tak jauh dari lukisan itu, pria yang lebih kecil menatap takjub dan kagum sementara pria yang lain tersenyum puas melihat karyanya. Jari-jari saling bertautan erat saling mengenggam dan mengabaikan orang-orang yang mulai menatap lekat menyadari kemiripan seseorang di dalam lukisan dengan pria kecil itu. Bibir membentuk garis hati ketika dia tersenyum ceria menatap pria di sampingnya, kata terima kasih yang ingin diucapkan hanya tertelan begitu saja ketika pria jangkung itu tiba-tiba mencium pipinya.
"Wajah cantikmu yang sedang tersenyum berseri-seri itu, bagaikan pahatan Tuhan paling sempurna yang sengaja diciptakan untuk memerangkapku."
...
Tahukah kau, tuan…
Jika senandung waktu itu disebut Sijeolga, lagu musim semi yang digunakan oleh para Gisaeng untuk memikat dan menyentuh sanubari seseorang.
Dan sadarkah kau, tuan….
Jika musim semi tak pernah datang dengan tidak sengaja.
END
[ 020915 | 2340 ]
Lien
*Gisaeng. They not prostitutes but the entertainer, for the art and they entertain the high class society.
*Sangat sedikit rumah-rumah atau padepokan kisaeng tradisional yang beroperasi di Korea….— Beberapa perusahaan atau perkumpulan bisnis di Korea Selatan kadang-kadang mengundang para rekan bisnis asing ke rumah kisaeng, namun tempat yang dimaksud bukanlah seperti pada zaman dahulu, namun dengan interpretasi yang lebih modern. [Wikipedia]