Pagi hari, sehari sebelum tanggal keberangkatannya menuju India, Jean Kirschtein akhirnya mendapat navigator baru.

Ah, syukurlah. Agak lega juga akhirnya, karena dari kemarin Jean galau terus sejak diberitahu kalau Marco harus dirawat intensif dulu pasca kecelakaan—jadi belum bisa bertugas dulu untuk sementara. (Dan tentu saja, ia tidak berencana untuk mengulang kesalahannya tempo hari dengan mengizinkan si pemuda Jaeger masuk ke kokpit pesawat. Nyawanya cuma ada satu, kan sayang kalau dibuang-buang.)

Profil singkat di lampiran surat tugas mencantumkan semua yang perlu ia tahu tentang calon partner barunya itu: Connie Springer. Umurnya tepat berada di batas minimum pilot, jadi ekspektasi Jean pun tidak terlalu tinggi—karena barangkali ia pun masih fresh graduate seperti dirinya. Kalau dari pas fotonya sih pemuda plontos ini kelihatan ramah dan easygoing, tapi Jean tidak bisa tidak berpikir senyumnya agak sedikit terlalu lebar untuk ukuran orang yang dikirim ke medan tempur.

Dan sementara surat berstempel resmi itu itu terlipat rapih di saku dalam jasnya, Jean terus saja berjalan ke sembarang arah. Oke, pangkalan ini jauh lebih luas daripada perkiraannya, dan ia sama sekali asing dengan tempat ini—tapi setidaknya satu dari sedikit hal yang bisa Jean banggakan dari dirinya sendiri, adalah bahwa dia punya sense of direction yang bagus. Jadi sementara pemuda itu terus melangkah mantap seakan-akan tahu ke mana ia menuju; di belakangnya, Eren Jaeger cuma bisa mengekor patuh sambil celingak-celinguk bingung (oke, agaknya 'patuh' bukan kata yang tepat; tapi toh kelihatannya dia sama sekali tidak sadar dibawa berputar-putar).

"Jean, bukannya kita tadi sudah lewat sini, ya?"

"Belum. Interiornya memang mirip, tapi sebenarnya tempatnya beda."

Setelah berjalan agak lama—untuk memastikan Eren tidak ingat jalan mana saja yang sudah mereka lewati—, Jean akhirnya berhenti di satu ruangan besar yang berisi deretan kursi-kursi.

"Taraaa." Jean merentangkan tangan, seakan-akan memperkenalkan tempat itu ke sang rekan. "Ini aula utama."

"Oh… oke?"

"Sekarang lo tunggu di sini aja, nanti ada tim SAR yang jemput. Tapi maaf ya, gue ada briefing habis ini jadi nggak bisa nemenin."

Mata Eren memindai ruangan luas dengan dominasi warna biru langit itu, dengan tatapan kagum dan senyum sumringah. Bahkan Jean cukup yakin kalau sejak hari pertama mereka bertemu, belum pernah bocah itu tersenyum selebar ini. Suasana hatinya kentara sekali berbalik seratus delapan puluh derajat dari semalam—di mana ia terus-terusan menggerutu karena kondisi mess tanpa AC yang menurutnya sangat memprihatinkan, sampai-sampai Jean harus menendang kasurnya dari bawah supaya dia diam.

"Iya iya, nggak apa-apa, Jean. Hati-hati di jalan ya. Semoga lo dapet navigator yang kece. Semoga misinya juga sukses, supaya lo bisa balik lagi ke rumah dengan selamat." Eren menjabat tangan Jean erat-erat dan menepuk bahunya dengan mantap. "Serius, gue berhutang banyak sama lo."

"Iya, santai aja kali." Jean langsung mundur selangkah ketika Eren mulai menampakkan tanda-tanda mau memeluk. Bukannya apa-apa, sih; cuma dia memang bukan tipe manusia sentimental yang gampang terbawa suasana. "Udah ya, gue pergi dulu. Bentar lagi briefingnya mulai."

Eren mengucapkan terima kasih sekali lagi. Jean tidak mendengar karena ia sudah keburu berbalik, dan sibuk dengan rencana di kepalanya sendiri. Ia tidak tahu sampai kapan Eren akan menunggu di sana sebelum sadar kalau dia tertipu; jadi lebih baik ia bergegas mengemasi barangnya dan pindah kamar ke mess lantai dua.

Maaf-maaf saja ya, Eren, tapi bahkan di Undang-Undang tertulis kalau gelandangan menjadi tanggung jawab negara!

.

.

.

.

SKYSWIMMERS

Chapter III

( Awesome new cover by Fvvn. TYSM! )

.

.

.

.

Orang-orang tampak berlalu lalang.

Seragam-seragam cokelat sekilas mengingatkan Eren pada Mikasa Ackerman, saudara angkatnya, yang selalu mengenakan setelan yang sama setiap kali pulang. Ah, ngomong-ngomong… di mana ya dia sekarang? Apa sedang memimpin rapat strategi di suatu tempat? Atau mungkin malah sedang memimpin agresi? Entahlah, siapa yang tahu. Kemarin sih rasanya ia sempat menyebut-nyebut di India atau Vietnam, tapi sayang Eren tidak terlalu memperhatikan.

Dan entah kenapa, sekarang tiba-tiba Eren jadi merasa luar biasa apatis. Selama ini, ia cuma tahu bahwa gadis itu berstatus prajurit Angkatan Udara, yang lumayan cerdas dan memimpin sebuah unit yang codename-nya sekilas kedengaran seperti bahasa asing. Yah, dari tindak tanduknya yang kalem dan terkesan low-profile, siapa yang menyangka kalau rupanya posisi Mikasa di rantai komando lumayan tinggi?

Tapi gara-gara itu, Eren jadi sial.

(Well, sebenarnya bukan salah Mikasa juga, sih. Hanya saja yang jelas, mulai sekarang, ia bersumpah tidak akan berurusan lagi dengan properti apapun yang berada di bawah kepemilikan Mikasa Ackerman.)

Satu jam, dua jam; Eren masih menunggu dengan hati berbunga-bunga. Ia sudah tidak sabar menceritakan semua pengalamannya ke Armin dan teman-temannya di kampus (dengan memotong bagian-bagian tertentu yang dirasa 'tidak perlu', tentu saja). Mereka pasti akan menganggap ia keren. Atau bahkan kalau ceritanya cukup meyakinkan, barangkali ayah dan ibu pun akhirnya akan percaya kalau kemampuannya sebenarnya tidak begitu jauh di bawah sang saudara angkat… kalau saja diberi peluang yang sama.

(Oke, walaupun mungkin Eren juga butuh sedikit kolusi dengan Mikasa—sekedar supaya ceritanya lebih terfokus pada 'perburuan Titan terakhir' dan bukan pada 'kerusakan material luar biasa yang ditimbulkan oleh pilot fighter KW'.)

Tiga jam, Eren mulai bosan, tapi masih duduk di tempatnya.

Ia tidak tahu pesawat penjemputnya berangkat dari mana. Salahnya juga sih, tadi ia terlalu senang sampai tidak terpikir untuk bertanya macam-macam. Tapi ya sudahlah. Toh ia sudah berpengalaman dengan delay pesawat yang jauh lebih parah daripada ini… jadi apa salahnya bersabar sedikit. Yang penting tetap bisa pulang!

Empat jam, Eren mulai berjalan mondar-mandir di sekitar situ; tapi tidak berani pergi jauh-jauh karena barangkali tiba-tiba saja ia dipanggil. Lima jam, ia tertidur di kursi ruang tunggu.

Menit-menit berlalu, sampai akhirnya Eren sudah tidak ingat lagi berapa lama ia berada di sana—meski ia cukup yakin jam makan siang sudah lewat. Eren mulai khawatir jangan-jangan terjadi sesuatu pada penjemputnya, atau mereka kembali lagi karena tidak menemukan dirinya, atau malah kembali dengan orang yang salah? Pemuda itu berusaha menahan keinginannya untuk bertanya-tanya—simply karena Jean bilang tidak akan ada yang tahu soal penyelamatannya ini kecuali orang-orang tertentu. Dia sih percaya-percaya saja.

Lagipula kemarin dia juga sudah pinjam ponsel Jean untuk menelepon ibunya di rumah. Setidaknya dengan begitu mereka tidak akan terlalu khawatir.

"Oi, Jaeger."

Panggilan itu terdengar bersamaan dengan suara langkah mendekat. Eren spontan membalikkan badan—tapi sayang, sosok yang datang bukanlah yang ia harapkan.

"Lho, Jean?"

Si pemuda berseragam datang menghampirinya dengan ekspresi aneh. Marah? Sedih? Campuran antara keduanya? Eren tidak bisa menjelaskan. Rambutnya berantakan, dan kedua tangannya terkepal erat-erat. Tapi belum sempat Eren bertanya apa-apa, Jean langsung mengangkat tangan, memberi isyarat pada lawan bicaranya untuk tutup mulut. "Diem. Nggak usah ngomong sebelum gue berubah pikiran."

"Eh? Udah selesai briefingnya?"

Eren bingung. Dan makin bingung lagi ketika Jean menarik lengan atasnya dengan sentakan kasar. "Ikut gue."

"Lah, mau ke mana? Nanti kalau orang yang jemput gue nyariin gue gimana? Kan lo sendiri yang bilang suruh tungguin!"

Jean tertegun sesaat. Wajahnya tertunduk untuk beberapa lama… sebelum kemudian ia menarik nafas panjang, dan mengerahkan segala kemampuannya unttuk mengatakan kalimat berikutnya:

"Maaf, tadi gue… bohong."

Eren mengangkat sebelah alis.

"Huh?"

"Nggak akan ada yang jemput lo, Eren," ujarnya dengan berat hati, "Sebenarnya…. kemarin malam sudah hari terakhir evakuasi. Awalnya lo masuk daftar korban hilang. Tapi barusan gue dapat berita kalau daftar itu nggak jadi dirilis ke media. Semua orang yang nggak ikut pesawat ke Melbourne… diasumsikan sudah tewas."

Dan sayangnya, nggak ada yang akan cukup peduli untuk mencari satu orang bocah ingusan, diantara ratusan ribu jiwa yang berada dalam bahaya. Jean ingin menambahkan, tapi ekspresi wajah Eren saat itu membuatnya urung.

"T-tapi… tadi lo bilang—"

"Lo jadi orang jangan polos polos amat kenapa sih! Nurut banget dibohongin!" bentak Jean kemudian, membuat mata Eren membulat kaget karena intonasinya yang mendadak tinggi. "Makanya lain kali jangan gampang percaya sama orang asing! Masih untung lo ketemu gue—coba kalau ketemu orang nggak bener, lo bisa diapa-apain!"

Eren masih menatap Jean, setengah tidak percaya.

"Nggak, nggak mungkin. Lagian kemarin kan gue telepon keluarga gue di Melbourne, mereka pasti bisa lapor polisi kalau—"

"Itu cuma suara. Nggak akan membuktikan apa-apa soal keberadaan lo di sini. Nggak akan ada yang percaya."

"…."

Untuk sesaat, kedua pemuda itu terdiam. Antara Jean Kirschtein yang merasa bersalah tapi masih bersikeras kalau itu bukan sepenuhnya kesalahan dia; dan Eren Jaeger yang tidak terima ditipu mentah-mentah. Jean kampret. Dikira kemarin dia pergi dari NY ke Alaska tinggal lenggang kangkung!? Kan enggak! Dia sudah mati-matian berusaha datang ke sini supaya bisa bertemu keluarganya lagi dengan badan utuh; tapi gara-gara si kuda, yang ada malah dia cuma nyasar makin jauh!

"Cih, sudah gue duga, orang kayak lo mana bisa dipercaya! Nggak butuh gue bantuan dari lo! Gue bisa pulang sendiri! Dan pokoknya kalau semua urusan Titan ini udah selesai, siap-siap aja lo dipanggil ke pengadilan!"

"Eh, lo itu udah kepepet masih songong aja, ya? Emang lo bisa apa? Masih mau nyari orang yang bisa lo bayar?" Jean mendecih. "Salah tempat! Yang ada lo ditipu, atau malah diculik dan dijual ke orang tua lo sendiri!"

Tanpa pikir panjang, Eren meninju hidung Jean. Emosinya memuncak. "Terus mau lo apa, hah?"

"WOI NGGAK USAH PAKE OTOT BISA KALI! Gue ngomong baik-baik!"

"BAIK-BAIK, LO BILANG!?" Eren muntab. "Lo nyasarin gue separo benua dari rumah, separo bumi dari orang tua gue, dan lo ngerasa jadi malaikat? Udah sana pergi! Eneg gue liat muka lo lagi! Gue doain di jalan pesawat lo ketelen Titan!"

"Eh amit-amit! Dengerin dulu gue belum selesai ngomong!" ujar Jean sambil menangkup hidungnya yang berdenyut-denyut. "Lagian asal tahu aja, ya... semua yang bakal gue lakuin ini bukan buat lo, tapi buat keluarga lo!"

"Apa urusannya lo sama keluarga gue! Kenal juga kagak!"

"Terus kalau gue pergi, lo bisa apa? Nyolot banget sih jadi orang!"

"Tinggal lapor ke polisi sih! Bilang kalau gue kesasar, minta dianter! Beres kan!"

"Lo kira base militer kek pangkalan ojek, bisa sembarangan nganterin orang? Kalau lo tanya gue, kemungkinan terbaik paling-paling lo harus nunggu pesawat kargo! Itu pun masih dua atau tiga bulan!"

Ekspresi Eren langsung melunak. Nggak, nggak mungkin. Nggak mungkin dia bertahan di tempat ini selama itu—atau setidaknya tidak, kalau harus tinggal di mess menyedihkan yang dia tempati tadi malam. Bisa gila duluan dia!

"Terus gimana, dong!"

"…Gue anterin lo pulang. "

Sampai sini, Eren mendadak speechless.

"Tapi sebelumnya… ada yang mesti diurus dulu," tambah Jean cepat. Tentu saja dia tidak bisa sembarangan bolos dari tugas, apalagi membawa kabur pesawat, tanpa sepengetahuan atasannya. Dan meskipun kemungkinannya kecil… tapi siapa tahu saja Kapten Levi bisa memberi solusi yang lebih baik. "Udah, sekarang gue yang tanggung jawab. Yok, ikut gue ke tempat bos."

.

.

.

.

.

"Tunggu di sini."

Satu perintah, dan Eren langsung menurut. Ia bahkan tidak protes ketika kemudian Jean Kirschtein melepas epolet bintang dua di bahunya.

"Nih, simpen aja. Kurang ajar kalo lo pake ini, nipu banget," ujar Jean, kentara sekali masih sensi dengan benda itu. "Tapi sekarang pangkat lo lebih rendah dari hampir semua orang, jadi kalo ada yang lewat persis di depan lo, sapa "Selamat pagi, Sir!" sambil hormat. Oke?"

Eren mengangguk gagu. Memandang Jean Kirschtein yang kemudian berbalik membelakanginya dengan wajah bak terdakwa siap dieksekusi, punggung lurus dan tangan terkepal. Pintu kayu dengan plat elang emas diketuk tiga kali. Pemuda itu langsung masuk tanpa menunggu dipersilakan.

Dan sementara ia berdiri menghadap ruangan yang bertanda 'Dilarang Masuk kecuali Pejabat Berwenang' itu, Eren mengedarkan pandangannya ke sekitar.

Ada sebuah LCD besar dipasang di dinding, menampilkan berita-berita. Isu kemunculan Titan masih jadi headline paling panas akhir-akhir ini. Di channel itu, kamera tampak menyorot salah satu lokasi penampungan di Melbourne, dan jantung Eren langsung berdesir. Orang orang menyemut, memenuhi sebuah ruangan yang sepertinya difungsikan sebagai pusat informasi darurat. Waktu itu, Eren bahkan setengah berharap bisa menemukan wajah yang dikenalnya ditengah-tengah kerumunan—

Tapi tidak lama kemudian, suara keras yang terdengar dari dalam ruangan membuyarkan fokusnya. Disusul pintu kayu yang mengayun terbuka, dan Jean Kirschtein yang melangkah gontai keluar ruangan.

"Eh, cepat sekali. Jadi… bagaimana?"

Jean tersenyum setengah hati. "Boleh. Besok sore kita berangkat."

Eren mengerutkan dahi. Segampang itu? Mencurigakan. Lagipula raut muka si pilot juga tidak kelihatan seratus persen senang. Ia memicingkan mata; dan saat itulah, Eren tiba-tiba menyadari kalau ada satu spot kosong di dada kiri seragam Jean yang semula terisi atribut. Otomatis ia langsung mengecek jaketnya sendiri—dan akhirnya sadar apa yang hilang.

"Brifet lo mana?"

Jean kelihatan ragu sejenak sebelum menjawab. "Itu… punya gue ada di Kapten Levi."

"Kok gitu?"

"Ya nggak apa-apa. Dia kan bos gue. Suka-suka dia lah." Jean mengibaskan tangan. "Udahlah, yang penting gue dapet izin terbang. Sekarang tinggal nyari copilot sukarela, kira-kira-siapa ya yang gampang diajak kerja sama?" tanya pemuda itu, lebih ke dirinya sendiri. Tapi entah kenapa, Eren masih saja merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Jean, ambil aja brifet Mikasa nih. Buat gantiin punya lo."

"Eh sembarangan, punya orang lo kasih-kasih. Ketemu yang punya mampus gue," tolak Jean cepat, "Lagian brifet itu beda-beda levelnya; punya gue perunggu, yang punya sodara lo itu perak. Gila aja gue make atribut nggak sinkron."

"Boleh ya terbang nggak pake itu?"

"Boleh."

"Masih dianggep prajurit?"

"…Sekarang, masih."

"Terus habis ini lo masih ikut misi, kan?"

Jean melirik kesal ke pemuda yang berjalan di sebelah. Diberondong pertanyaan seperti itu, jengah juga ia lama-lama. "Nggaklah."

"Kenapa?"

"Karena misinya juga besok. Jadi kecuali gue bisa membelah diri, gue harus milih salah satu; nggak bisa dua-duanya."

Kemudian hening. Eren lalu menunduk, kelihatan seperti memikirkan sesuatu. Jean memandang ke depan, mengabaikan bocah berambut cokelat itu dan tetap melangkah menuju kamar. Jam makan sudah lewat, tapi dia tidak lapar. Pikirannya sendiri campur aduk—antara merasa heroik dan merasa tolol; karena kok mau-mau saja ia mengorbankan karirnya orang yang baru saja dia kenal...

"Gue nggak mau." Eren berceletuk tiba-tiba. Langkahnya terhenti. Jean menoleh bingung.

"Huh? Apa?"

"Gue nggak mau dianter pulang."

Untuk sesaat, Jean masih berusaha memproses kalimat antitesis itu—sebelum akhirnya kesabarannya habis juga. Tanpa basa-basi, ia mencengkeram kerah Eren dan mengguncang bocah itu. "Eh, mau lo apa sih sebenarnya!? Kemarin mewek-mewek maksa dianter pulang, sekarang gilirin gue anter nggak mau! Lo main-main sama gue?!"

Eren mendorong Jean mundur. Pemuda itu terhuyung. "Ya gue nggak mau lah, kalau gara-gara gue lo jadi kena masalah!" sentaknya. Eren punya firasat kalau masalah diantara Jean dan Kapten Levi bukan cuma sekedar soal kepemilikan brifet. Dia sama sekali tidak paham dengan sistem militer, jadi ia tidak tahu masalah apa tepatnya… tapi yang jelas, ini serius. "Udah lo pergi aja sana! Mending gue tunggu sampai keluarga gue kirim tim pencari!"

Wajah Jean merah padam. Tangannya mengepal. "Nunggu tim pencari, hah? Bodoh, mau sampai kapan? Sampai lebaran titan?" Pemuda itu lalu mengeluarkan selembar kertas yang dilipat sembarangan dari saku jaketnya. Lalu menyorongkan benda itu ke dada Eren dengan kasar. "Lo masih nggak percaya! Nih, lihat, nama lo sudah masuk daftar korban dari NY! Makanya optimis itu kira kira!"

"A-apa?"

"Trus rencana lo apa, hah? Nelpon minta jemput? Berani taruhan, sampai ubanan juga nggak bakal ada yang percaya!" semburnya—sebelum sadar kalau mereka berdua mulai jadi pusat perhatian. Jean lalu menarik napas, menenangkan diri. "Udah, ini gue udah dikasih izin. Lagian gue juga nggak mungkin balik lagi ke Sir Levi dan minta brifet gue dikembaliin. Mau ditaruh di mana muka gue nanti. Yok lah."

Yah, setidaknya Jean akan mencatat ini sebagai rekor penerbangan terjauh di sepanjang karirnya yang pendek.

Tapi memang dasar Eren; bukannya berterima kasih, bocah itu malah melengos pergi dan tanpa permisi, langsung mendobrak masuk ke ruangan para petinggi. Kontan saja Jean terbelalak kaget.

"MANA DI SINI YANG NAMANYA LEVI!?"

Otomatis, otak Jean langsung membunyikan sirine tanda bahaya—dan memerintahkan diri untuk segera membekap Eren dan menyeret bocah setengah nggak waras itu keluar ruangan. Tapi entah kenapa, waktu itu Jean bahkan terlalu bengong untuk berbuat apa-apa.

Ruangan itu penuh dengan orang-orang. Rapat para pejabat, tampaknya. Tapi berkat Eren, seluruh pembicaraan langsung terputus, semua kepala serempak menoleh ke sang pemuda berambut cokelat acak-acakan yang berdiri di depan ruangan. (Meski untung saja,tampaknya tidak ada yang menyadari keberadaan satu prajurit yang mengintip sambil menatap horor dari balik pintu kayu.)

Untuk sesaat, Jean berharap mereka mengabaikan Eren dan kembali ke pekerjaannya masing-masing. Tapi sayang, kali ini doanya tidak terkabul. Jantungnya serasa copot begitu kemudian dari keheningan, tiba-tiba saja terdengar derit kaki kursi yang terdorong ke belakang. Lalu disusul sesosok pria yang bangkit dari tempat duduknya di pojok ruangan. Pria itu berambut hitam, berwajah bosan dan bertubuh pendek; menatap ke si tamu tak diundang selama beberapa detik sambil menelengkan kepalanya (dengan terjemahan ekspresi yang terbaca jelas sekali oleh Jean: "Manusia imbisil dari mana lagi ini?").

Tapi alih-alih langsung ngomel-ngomel sadis seperti perkiraannya, sang pria berepolet bintang tiga malah cuma berjalan dengan langkah santai menuju Eren Jaeger—yang entah bagaimana masih bisa bergeming di tempat tanpa gemetar sedikit pun.

"Aku Levi," sapanya dengan nada rendah yang membuat bulu kuduk berdiri, begitu mereka berdua berhadapan. Jean menelan ludah, kagum dengan nyali Eren yang luar biasa besar—tapi di saat yang sama juga mengutuk ketidakbecusannya membaca situasi. Kapten Levi bersedekap, kentara sekali matanya mengecek bahu Eren sebelum ia bicara lagi. "Ada perlu apa, kadet?"

Nadanya datar, terlepas dari penekanannya pada kata kadet, yang sudah pasti membuat Eren menyadari tiga bintang berjajar di masing-masing epolet Levi. Jean agak kaget juga sih melihat pria yang biasanya dingin itu tidak langsung menggampar Eren—yang nekat betul pasang muka super songong—dengan asbak. Tapi setiap kalimat yang diucapkan Eren selanjutnya, membuat Jean semakin mantap untuk menceburkan diri ke Atlantik, dan tidak pernah lagi berurusan dengan para petinggi angkatan udara.

"Aku mau brifet temanku dikembalikan."

Levi memiringkan kepala sedikit, tapi wajahnya datar. "Hmm. Teman yang mana yang sedang kita bicarakan ini?"

"Kirschtein. Jean Kirschtein."

Yang disebut namanya serasa mau mati.

"Oh, kurasa aku pernah dengar…."

"Tentu saja! Dia orang yang barusan menemuimu, meminta izin mengantar korban insiden New York ke Melbourne."

"Ah, ya,ya. Kurasa aku ingat." Levi mengusap dagu. "Well, kau teman yang baik, kadet... tapi aku khawatir kau belum begitu memahami bagaimana cara kerja rantai komando di sini. Prajurit Kirschtein sudah mengambil pilihan yang kuberikan, jadi masalah sudah selesai dan itu bukan urusanmu."

"Tapi—"

"Sekarang kemasi barang-barangmu. Aku tidak tahu dan tidak butuh tahu bagaimana seorang kadet sepertimu bisa sampai ke sini; tapi kau akan ikut penerbangan selanjutnya ke Base Merc, dan melanjutkan pendidikanmu di akademi..." kata Levi, melirik sekilas ke jaket si pemuda untuk melihat namanya. Tapi kemudian, ia tertegun sejenak.

"...Huh? Namamu …."

Jean melongo. Ikut bingung untuk beberapa saat… sebelum akhirnya ngeh juga kalau tag nama di dada kiri Kapten Levi, bertuliskan ACKERMAN L. Sementara di jaket Eren, ACKERMAN M.

Astaga, kenapa dia tidak menyadarinya dari awal? Pantas saja nama Ackerman kedengarannya tidak asing! batin Jean sambil menepuk dahi, mengumpati dirinya sendiri. Tapi bukankah kemarin Eren sempat bilang kalau itu jaket saudaranya? Berarti secara tidak langsung, Eren masih satu keluarga dengan Levi? Atau bagaimana? Kenapa dunia begitu sempit? Konspirasi macam apa ini?

Jean tidak tahu apa insiden itu bisa berdampak baik atau buruk, mengingat kalau sepanjang sejarah, Kapten Levi anti sekali dengan KKN. Tapi dari gesturnya yang dengan curiga menyipitkan mata dan mengerutkan alis, jelas sekali kalau Levi tidak mengenal (atau setidaknya, tidak ingat) pada manusia yang satu ini. Bahkan caranya memandang Eren dari atas ke bawah, bagi Jean kelihatan seperti dia sedang menimbang-nimbang kemungkinan... apakah mungkin pemuda di depannya ini adalah si Ackerman M entah siapa itu yang barusan operasi plastik.

"Apa aku pernah mengenalmu?"

Sampai di sini, setengah mati Jean berharap Eren tidak menyebutkan nama aslinya. Karena kalau Kapten Levi tahu ini adalah si penumpang ilegal dari New York, bisa bisa tujuan pesawat pengantarnya diganti dari Melbourne ke Samudera Hindia. Salah siapa kurang ajar pada bos besar! Ini sih namanya dikasih hati minta jantung!

Dan detik itu juga, Jean langsung berharap ada Titan yang tiba-tiba jatuh dari langit. Hanya supaya semua ke-awkward-an yang tak tertahankan di ruangan itu bisa berakhir. Tapi sebelum dia sempat memikirkan apa yang harus dia lakukan, tiba tiba saja Jean sudah menemukan dirinya ikut mendobrak masuk, memosisikan diri diantara Eren dan sang kapten sambil menghormat dengan sikap sempurna.

(…sebuah tindakan bodoh yang langsung ia sesali di detik berikutnya.)

"Maaf, Sir! Izin menjelaskan!" Sayang, sudah terlambat untuk mundur. "Sebenarnya… sayalah yang bertanggung jawab untuk—"

"Jangan ganggu dia."

Seorang gadis berwajah oriental tiba-tiba saja melangkah mendekat, memotong kalimat Jean dengan suara yang tidak kalah lantang. Jean bengong, lagi. Tapi kali ini, tidak lain dan tidak bukan... adalah karena terpesona dengan rambut indah yang berkibar di depan matanya.

….Dan Eren pun sejenak terlupakan.

Levi mengangkat alis. "Oh. Ackerman dari pihakmu, rupanya. Sudah kuduga," ujarnya dengan nada bosan. "Oh, bahkan inisial kalian sama."

"M-Mikasa? Kau di sini?!"

('Oh… ternyata namanya Mikasa, ya,')

"Seorang prajurit menerima perintah dari dari kaptennya, bukan dari saudaranya," ujar Levi, mengabaikan dua pemuda yang sama-sama mendadak tablo di belakangnya. Yang satu dengan mata bulat persis kucing baru dipungut dari got, dan satunya lagi dengan ekspresi lovey-dovey minta dicium hidung pesawat.

"Eren bukan prajurit." Mikasa bersedekap. Jean menghela nafas, sedikit lega karena akhirnya bukan ia yang harus mengatakan kalimat itu." Langkahi dulu mayatku sebelum kau mengirim dia ke manapun, kecuali ke orangtua kami."

….Wow. Savage.

Gadis itu lalu melirik ke Eren, dengan tatapan yang jelas sekali meneriakkan 'Demi Tuhan, Eren, BAGAIMANA KAU BISA SAMPAI NYASAR KE SINI!?'

"Ini Eren Jaeger, saudara angkatku. Dia warga sipil. Aku sendiri yang mengantarnya ke bandara di hari ketiga evakuasi. Dia harusnya ada di Melbourne bersama keluarga Jaeger sejak dua hari yang lalu… tapi kemudian seseorang memasukkannya ke daftar korban tewas. " Bahkan Mikasa sendiri pun tampak tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi; tapi kelihatannya, buat dia membela Eren adalah prioritas mutlak. "Cek saja semua databasemu kalau kau tidak percaya."

Jean berusaha menyelipkan diri di antara pembicaraan. "Sebenarnya... ini hanya sedikit kesalahan teknis—"

"Salahku. Ceritanya panjang. Tapi singkatnya: ini cuma salah paham… yang kemudian jadi agak sedikit rumit."

Dan Jean kaget juga karena akhirnya di depan para petinggi ini, Eren Jaeger untuk yang pertama kali, mau legowo dengan mengakui kesalahannya sendiri. Terlebih ketika ia mengeluarkan sepasang evolet dari sakunya.

"Oh. Jadi ini yang kaumaksud dengan… 'orang penting yang harus degera diantar ke pengungsian'?" kata Levi sarkastis, "Hiperbola. Kukira dari semua orang, kaulah mestinya yang paling tahu kalau kita punya isu yang lebih besar daripada seorang anak yang terpisah dari orangtuanya, prajurit Kirschtein. Dan Ackerman, sebenarnya kami sudah sepakat soal ini. Kau boleh pergi."

"Tidak". Mikasa bersikeras. Ia mengambil brifet perunggu dari tangan Levi, lalu menyorongkannya ke Jean. "Katakan di depanku, aku mau dengar. Atau tidak sama sekali."

Levi memutar mata. Setengah hati menjelaskan situasinya. "Prajurit Kirschtein yang akan bertanggungjawab atas kecerobohannya. Tapi setelah itu, dia akan langsung dikembalikan ke Base Merc dengan catatan khusus: melarikan diri dari tugas. Dan karena itu, izin terbangnya harus dicabut sampai waktu yang belum ditentukan. "

Mikasa tampak tidak terima. "Sebentar, sebentar. Kau… mempercayakan nyawa saudaraku ke pilot yang baru lulus pelatihan!? Yang benar saja!"

Sampai sini, Jean tidak tahu harus merasa lega atau tersinggung. Tapi sekarang, ia jadi mulai paham kenapa Eren bisa songong setengah mampus. Back up-nya saja singa betina kayak gini!

"Dia saudaraku. Aku bertanggung jawab pada kedua orangtuaku untuk menjaganya seumur hidup; jadi aku sendiri yang akan memastikan Eren menginjakkan kaki dengan selamat ke Melbourne." Mikasa mendelik ke arah Levi. Bunga api imajiner meletup diantara mereka berdua. "Dan selama itu, lebih baik kau cari saja navigator baru. Semoga berhasil."

"Mikasa, aku bukan anak kecil—"

"DIAM, EREN."

"Ackerman. Kurasa kau tahu kalau ini termasuk ke dalam tindakan insubordinasi—"

"Dan kau mau apa? Mencabut izin terbangku? Aku tidak peduli." Mikasa melepas brifetnya sendiri, dan Jean langsung mengagumi dedikasi gadis ini. Diletakkannya benda itu di meja dengan gebrakan tegas, membuat mereka jadi tontonan seisi ruangan. "Maaf, tapi kita semua punya prioritas, Levi."

"Jaga bicaramu. "

Lalu Mikasa berbalik, dan Jean langsung melongo ketika gadis itu menarik kerah belakang Eren begitu saja.

"Uh… apa kau yakin dengan ini?" tanya Jean, ragu-ragu—karena tingkatan si Mikasa ini pun masih satu bintang di bawah Levi. Nekat juga dia kalau mempertaruhkan posisinya yang sudah di atas awan, cuma demi satu orang bocah tanggung yang luar biasa berisik kayak petasan tahun baru.

Mikasa meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Tunggu saja sampai hitungan ketiga."

(Satu—)

"Mikasa, kau bisa dipecat! Apa nanti kata ayah dan ibu!" marah Eren, meski masih dalam volume rendah karena mereka belum jauh dari pintu. "Tidak bisa ya negosiasi pakai cara yang lebih halus!?"

"Kan kau sendiri yang mulai bertindak barbar, Eren…."

(Dua—)

"Mikasa, sungguh, aku tidak keberatan dipulangkan ke akademi," bisik Jean. Karena terbawa suasana, ia jadi lupa kalau ia harusnya memanggil atasannya dengan nama belakang. Tapi waktu itu yang ada di pikirannya cuma rasa bersalah, apalagi yang membelanya seorang perempuan. "Kau tidak perlu melakukan sejauh ini—"

"Aku tidak melakukannya untukmu, tapi untuk Eren. Lagipula Levi tidak akan berani macam-macam."

"Hah? Bagaimana kau yakin?"

(Satu.)

"Oi, Ackerman!"

Meski hanya satu nama yang dipanggil, tapi dua pemuda yang berjalan di sampingnya pun refleks ikut-ikutan menoleh. Mereka belum terlalu jauh dari pintu, dan dari sana terlihat sesosok pria pendek melangkah mendekat. Baru ketika jarak mereka tinggal beberapa meter, Levi melemparkan benda kecil yang berkilau emas ke udara—beruntung, Mikasa cukup cekatan untuk menangkapnya.

"Kau benar-benar tahu bagaimana melakukan penawaran, huh?" Suaranya rendah, membuat Jean merinding. "Tapi jangan senang dulu. Karena kalau nanti aku sudah menemukan penggantimu, pasti aku akan dengan senang hati menerima tantangan semacam itu."

Kemudian, mata Levi beralih dari Mikasa ke pemuda jangkung di sebelahnya. Sang pilot langsung terkesiap. "Dan kau, Kirschtein… surat jalanmu bisa diambil nanti sore di ruanganku."

Terbata-bata, Jean menjawab perintah Levi—masih setengah tidak percaya kalau taktik Mikasa yang kelihatannya cari mati itu rupanya bisa berhasil juga (meski ia tidak akan ambil resiko untuk mencobanya, tentu saja).

"E-eh… iya, Sir..."

.

.

.

.

.

"Ren, Mikasa itu beneran sodara lo?"

"Iyalah. Kenapa emang?"

"Kok nggak mirip elo sih. Dia kayak bidadari, lo kayak tuyul. Udah berisik, songong, rese lagi."

Satu jitakan sadis mendarat di kepala Jean. "Masalah buat lo!?"

"Sekali ini beneran sirik deh gue. Keluarga lo blasteran Jepang?"

Eren mulai jengkel. Jijik juga dia lama-lama melihat ekspresi Jean—yang kelihatan sekali kalau otaknya sedang mengkhayal ke mana-mana. "Enggak, dia saudara angkat gue. Orang tuanya tentara juga, tapi sudah meninggal lama. Ayah kerja di rumah sakit waktu itu, jadi waktu tahu Mikasa ternyata sudah yatim piatu… akhirnya dia diadopsi sekalian."

Jean masih mau kepo lebih lanjut, tapi kemudian suara perempuan yang memanggil Eren dari kejauhan membuatnya urung.

Kedua pemuda itu melangkah ke arah Mikasa, yang masih dengan seragam lengkapnya berdiri di depan sebuah pesawat kecil berwarna silver.

"Ah, kau Prajurit Kirschtein?"tanyanya.

Jean langsung mengangguk sok berwibawa. Eren ingin muntah di tempat, tapi takut nanti diikat dan dibekap di bagasi pesawat waktu perjalanan pulang.

"Iya. Aku yang akan bertanggung jawab atas saudaramu," ujar Jean, "Tapi jangan khawatir, aku peringkat lima lulusan terbaik, kok. Aku akan memastikan Eren sampai ke Melbourne dengan selamat."

Mikasa mengangguk-angguk, lalu melirik seragam lawan bicaranya. Eren menduga ada salah satu label di jaketnya yg menandakan divisi Jean, karena kemudian gadis itu berkata, "Maaf, kau belum bisa ikut misi ketiga besok. Skuad Rouge atau Sirion?"

"Sirion."

"Pasukanku, kalau begitu," ujar Mikasa. Jean langsung cemberut. Kentara sekali kalau ia tidak suka didominasi oleh gadis yang ia suka. Tapi kalau mau wanita yang lebih submisif, mestinya dia cari di tempat lain! "Tapi justru bagus. Tenang saja, aku akan mengusahakan kau tidak akan kena sanksi… dengan satu syarat."

Jean mengangguk paham. Ia akan memastikan Eren bertemu dengan keluarganya tanpa kurang suatu apapun. Mana tahu ayah atau ibunya kepincut menjadikan dia sebagai menantu. Yah, namanya juga usaha.

.

.

.

.

.

"Eh adik ipar, gimana ACnya? Kurang dingin? Atau terlalu dingin? Remot TV ada di sebelah kiri lo tuh, kalau mau nonton DVD."

Eren yang sedang menikmati sodanya sambil lihat-lihat pemandangan dari atas awan, langsung menyemburkan minuman itu lewat hidung. "Dih, najis! Lo kalau mimpi kira kira dong! Realistis dikit!"

"Suka-suka gue sih!"

Eren masygul. "Nggak! Mau lo ngelamar Mikasa sambil kayang diatas pesawat pun, nggak bakal gue restuin!" teriaknya, sedekat mungkin ke mikrofon yang menghubungkan kabin dengan kokpit.

"Hahahahahahaha." Bahagia banget ketawanya, kampret.

Memutuskan bahwa ia masih belum sanggup membayangkan saudara angkatnya berdiri bareng Jean Kirschtein di pelaminan, Eren akhirnya membelokkan topik pembicaraan.

"Eh, Jean. Ngomong-ngomong… ini pesawatnya beda sama yang kemarin, ya?"

"Iyalah. Nggak level kali nganterin orang udik kayak lo pake Sirion. Tapi pake Rescario juga udah hebat banget kali. Mujur banget sih hidup lo... ini sih setipe sama jet pribadinya perdana menteri. "

Eren tertawa congkak. "Tuh kan, berarti gue beneran orang VVIP! Hahaha."

"Geer banget lo, tuyul! Sodara lo yang VVIP!"

Interior pesawat yang ditempati Eren itu memang bisa dibilang mewah; hanya berisi enam kursi berlapis beludru dengan fasilitas lux super lengkap. Tapi entah kenapa, Eren tetap saja sedikit kecewa ketika ia harus duduk di kursi penumpang. Kursi copilot di sebelah Jean sudah diisi oleh orang lain: seorang gadis ceria berambut cokelat yang memperkenalkan dirinya sebagai Sasha Brauss. Dan kalau dilihat dari wajahnya yang ramah sih, Eren yakin, kokpit akan sedamai dunia sebelum negara api menyerang.

"Oi, Eren, pakai sabuk pengaman gih. Kalo lo kenapa-napa, habis idup gue sepulang dari Aussie. Hahaha."

Eren sudah siap membalas dengan sarkasme, sebelum kemudian sadar kalau line komunikasinya dimatikan. Untuk beberapa saat dia menunggu Jean mengajaknya bicara lagi, tapi ternyata tidak. Mungkin dia sudah capek bicara? Atau memang pilot lebih suka ketenangan? Entahlah.

Walhasil, Eren sendirian lagi.

.

.

.

.

.

Kedatangan Eren Jaeger, disambut dengan tangis haru kedua orangtuanya.

Dan di sana, akhirnya Jean menyadari kalau rupanya Eren tidak sepenuhnya berbohong ketika dia bilang kalau dia putra keluarga terpandang. Buktinya, Tuan dan Nyonya Jaeger langsung menawarkan cek dengan nominal yang luar biasa untuk ukuran sebuah ucapan terima kasih—meski Jean dan Sasha terpaksa menolaknya karena bertentangan dengan kode etik ("Duh, sayang ya! Padahal uang sebanyak itu kan bisa dipakai buat beli berkarung-karung kentang rebus!" / "Iya Sha, terus habis itu lo yang direbus.").

Sesuai dengan prosedur, kedua pilot diizinkan menginap dulu di Melbourne selama satu malam sebelum keesokan harinya kembali ke markas. Dan karena satu atau lain hal, ia akhirnya menerima tawaran untuk menumpang di rumah penampungan sementara tempat Eren tinggal.

(Meski sumpah, Jean sama sekali tidak tahu apa Eren memang tulus atau sengaja pakai majas litotes ketika dia bilang 'penampungan'; karena kemudian yang ada dia malah jadi bengong bak orang idiot waktu sampai di tempat mereka—yang rupanya, adalah satu rumah besar dengan fasilitas lengkap... yang kebetulan memang salah satu aset properti keluarga Jaeger di luar kontinen.)

"Jean. Minta nomor HP lo dong. Atau alamat gitu."

Malam harinya, mereka berdua ada kesempatan ngobrol. Eren yang sekarang sudah pulang ke rumah, kelihatan lebih bahagia daripada monyet di kerajaan pisang. Sementara Jean masih saja merengut sepanjang hari, merutuki kesempatannya yang hilang. Yah, malam itu, mestinya ia bersama dua ratus prajurit lainnya berangkat bertugas...

"…Jean?"

"Kalo mau modusin orang, basa basi dikit kek. Jangan main seruduk gitu, payah banget sih."

Eren menggeser duduknya menjauh. "Dih apaan sih lo. Populasi cewek di dunia masih tiga milyar kali."

"Hahaha. " Sang pilot tertawa garing, sambil menyisir rambutnya ke belakang. "Eh, tapi... gue nggak ada nomor tetap, nih."

"Lho, kok nggak ada?"

"Gue sih nomaden, Ren. Ikut perintah bos," jawabnya, "Soalnya gue masih junior; kalau ibarat permainan catur, gue ini pion… bidak paling kecil yang selalu ditaruh di garis depan. Jadi nomor gue juga ganti-ganti, tergantung wilayah. Toh kalau ada kerjaan, biasanya ada panggilan langsung dari atasan di markas."

"Yah, terus keluarga lo kalau ngontak lo biasanya pakai apa?"

"Gue udah nggak ada keluarga, Ren. Makanya gue ikut aja diperintah kemana-mana, karena memang udah nggak ada tempat buat pulang."

Eren langsung terdiam. "Oh. Maaf ya," ujarnya, "Gue nggak tahu."

"Iya iya, santai aja. Lagian buat apa juga sih lo minta. Udah beda benua juga kita, nggak bakal ketemu lagi."

"Yah kan siapa tahu nanti gue butuh ojek pesawat, kalo gue mau jalan-jalan ke luar negeri. Hahaha."

"Kupret."

"Iya maaf maaf, gue serius nih. Trus… beneran gue nggak bisa ketemu lo lagi?"

"Mungkin bisa sih… nanti kalau gue dateng ke rumah lo ngelamar Mikasa. Hahaha."

"Lo belum pernah ngerasain gamparan gue ya? Sekali hantam koma lo tujuh hari tujuh malem!"

"Iya iya, becanda. Gue tahu diri juga sih." Jean tertawa lepas, dan menggebuk punggung Eren dengan kekuatan berlebihan. "Yakali gue barani godain atasan. Mau ngajak dia bicara aja, gue mesti ambil jarak dua meter dulu sambil hormat. Hahaha."

"…."

"Gue tahu gue ngangenin. Tapi nggak usah nangis gitulah."

"Siapa juga yang nangis! Ini udaranya dingin, mata gue cuma berembun!"

Eren langsung memalingkan muka. Jean tertawa lagi. Jeda sejenak... lalu ia menghela napas panjang.

"Eh, udah malem nih... gue tidur duluan ya. Besok pagi mesti siap-siap. Lo juga, Eren, jangan begadang lama-lama."

Pemuda tinggi itu pun kemudian berdiri, meninggalkan rekannya yang masih bersandar di kursi beranda. Sementara Eren sendiri memutuskan dia belum mengantuk, dan akan duduk di sana dulu sebentar lagi. Ah, senang rasanya bisa pulang. Bukan rumah yang biasa ia tinggali, memang; tapi sepanjang kedua orangtuanya ada di sana, bagian manapun penjuru dunia tetap bisa disebut rumah, kan?

Ya, dia pulang. Dan pengalamannya, berakhir di sini.

Ia akan merindukan adrenalin dan semua ketegangan yang pernah ia alami kemarin, tentu saja... tapi kadang, hal-hal terbaik cukup terjadi sekali seumur hidup. Yah, memang sih dia tidak sehebat Mikasa, tapi paling tidak keluarga Jaeger pun akan punya cerita sendiri soal seorang pemuda yang pernah jadi fighter pilot dadakan tanpa secuil pun pendidikan formal. Dan ia yakin, cerita itu akan kedengaran makin hebat dari generasi ke generasi.

Ah, tentu saja... kalau saja hari itu ia tidak bertemu Jean Kirschtein, barangkali hidupnya tidak akan pernah semenarik ini. Satu hari saja, rupanya bisa merubah pandangannya terhadap begitu banyak hal.

Mungkin nanti kalau dia punya anak, Eren akan menceritakan semua pengalamannya; sedetil-detilnya. Mungkin ia juga akan menghasut mereka supaya mau bercita-cita jadi pilot. Mungkin Grisha dan Carla tidak akan merestui cucunya mengikuti jejak Mikasa mengambil profesi itu (sudah cukup mereka berkali-kali nyaris kena serangan jantung gara-gara anak gadisnya, terima kasih); tapi Eren tidak keberatan berdebat seumur hidup dengan mereka. Atau bahkan mungkin… ia akan menamai salah satu anak lelakinya seperti pemuda pemberani itu. Hmm… Jean Jaeger, kedengarannya tidak buruk, kan?

Mikasa akan heran, tapi dia tidak akan berkomentar apa-apa. Sedangkan si Kirschtein pasti akan langsung jemawa setengah mati kalau dia tahu; tapi tentu saja… dia tidak perlu tahu.

.

.

.

.

END.

(Selamat tinggal, Jean Kirschtein.

Terima kasih banyak.)

.

.

.

.

P. S: Thanks for reading (and reviewing)!