Disclaimer Naruto milik om Masashi Kisimoto
.
.
.
.
.
Aku mungkin saja sudah gila, bekerja mondar-mandir ke dalam toko―ambil ini dan ambil itu melayani pelanggan-pelanggan Nona Tsunade―itu tuh tante-tante majikanku yang bikin aku jadi panas dingin. Aku telah melakukannya selama seminggu ini seperti robot. Mula-mula aku kesulitan, mencari-cari barang di dalam toko itu seperti benda-benda kecil dengan nama-nama yang mesti membuat mataku selalu menyipit. Seringkali itu membuatku jengkel, dan bertanya-tanya manusia goblok macam apa yang punya ide memberi nama pada produk buatannya dengan nama rumit semacam itu, dan menyiksa orang keren kayak aku dengan mengulang-ulang membacanya sampai tiga kali. Seram.
Toko ini tidak sesempit yang kukira sebelumnya. Nyatanya memang panjang ke belakang, dan juga luas. Oke, itu baru seram. Di sebelah kanan adalah sebuah bilik tempat Nona Tsunade menghabiskan waktu mencoret-coret kertas, dikelilingi sekat kayu berpelitur seperti bilik warnet milik bapaknya Shikamaru, tapi sekatnya setinggi dua meter. Jadi orang tidak akan bisa melihatnya dari luar. Mungkin saja itu adalah tempat rahasianya, tempat dia barangkali menyusun rencana untuk membunuhku, atau menyimpan mayat-mayat pembeli yang menyebalkan, atau mungkin itu tempat dia menonton film blue sambil mengocok selagi aku kepayahan. Wow, itu seram banget. Lalu ada meja kasir di sebelahnya, lalu ada etalase panjang. Di sebelah kiri juga ada etalase yang panjangnya mungkin lima sampai enam meter. Ada rak-rak tinggi di sepanjang dinding-dinding dan rak pendek di tengah ruangan, tempat aneka macam barang di tata dengan rapi. Di sana, di sudut sebelah kanan, ada lorong menuju ke sebuah ruangan. Ruangan itu dijadikan tempat menyimpan stok barang dalam jumlah banyak. Pun ada bagian khusus dalam ruangan itu yang dijadikan tempat bersantai oleh si perempuan―kadang tidur-tiduran dalam bilik lainnya juga, sedikit lebih besar dan ada ekstra sofa. Itu tambah menyeramkan. Kalau kebetulan aku lewat di sana, perempuan itu selalu saja tidur membelakangikudi atas sofa. Posisinya demikian menarik sampai aku ingin sekali menungganginya. Tapi tentu saja semua itu tidak penting, sebab aku ini keren.
"Marlboro tiga pack," kataku sambil menata rokok itu ke dalam kardus. Bosku tugasnya mencatat apa yang telah kusebutkan tadi. "Gudang Garam Surya 12 dua pack. Dji Sam Soe satu pack. Lucky Strike dua pack. Dunhill dua pack..." Aku mengelompokkan produk-produk ini menjadi beberapa jenis. Kelompok ini untuk rokok. Kelompok itu untuk sabun-sabunan, lalu makanan ringan, permen, minuman bersoda, dan lain-lain. Aku menatanya dengan rapi dan keren, supaya si pembeli tidak perlu repot-repot bongkar pasang dan mengacaknya lagi di rumah. Mungkin saja itu tidak berarti apa-apa bagi si pembeli, tapi toh aku tidak terlalu senang melihat segala sesuatu yang acak dan tidak beraturan sehingga kita suka jengkel bila mencari benda tidak di tempat yang kita inginkan. Aku sering muak bila aku mencari benda tanpa tahu di mana benda itu diletakkan. Kita terpaksa membongkar ke sana ke mari dan mengacak semuanya kembali. Lalu aku akan dijadikan samsak tinju oleh ibuku.
Setelah selesai aku kembali berdiri, menatap sebentar pada pembeli yang berpenampilan mencolok itu. Dia adalah perempuan tua dengan make-up begitu tebal seolah perempuan itu telah mencelupkan wajahnya ke dalam ember cat, terkesan serampangan. Pandangan sinisnya makin menambah kesan menjijikkan pada tampang tuanya, sehingga aku jadi ingin mengepel wc dengan muka jeleknya itu. Rambutnya panjang, berwarna hitam, dikuncir ke belakang, keseluruhannya hampir mirip Badui (pedalaman) yang gagal modern. Bisa apa aku? Aku cuma pegawai, artinya aku harus bertampang semanis mungkin di hadapan para pelanggan. Apalagi perempuan itu adalah pelanggan tetap toko ini.
Aku mengangkat kardus-kardus belanjaannya keluar, jumlahnya mungkin dua puluh kardus, lalu kuletakkan di bak mobil Pick Up yang terparkir di beranda. Aku bolak-balik membawa kardus-kardus itu. Seusai melakukan itu, majikanku telah selesai menghitung total harganya. Ia lalu bangkit dan menyerahkan nota itu pada si nyonya kambing itu. Aku masuk ke dalam lagi sambil menyeka keringatku, memandang sekilas wajah majikanku yang penuh keringat dan terkesan hot, lalu terbesit khayalan aku menggaulinya di dalam bilik itu... Kami berpelukan, telanjang bulat, bertindihan di lantai, bersimbah peluh sambil berciuman panas, dengan badan terguncang-guncang. Oke, itu baru keren. Aku duduk di belakang etalase yang ada di kiri dengan gugup. Kubetulkan selangkanganku yang mengeras agar tidak kelihatan memalukan. Maksudku aku 'kan mengenakan celana boxer. Si Junior jadi tampak menonjol di celanaku dan itu memalukan. Aku pun mengelusnya, lalu meremasnya sambil menelan ludah. Badanku panas dingin. Aku melirik majikanku, kebetulan dia sedang berdiri sambil menunduk di balik meja kasir, hingga aku bisa bebas memelototi dadanya itu―yang gile ndro!
Dua hari yang lalu aku pernah melakukan hal yang paling memalukan dalam hidupku. Waktu itu subuh―aku baru bangun dari mimpi paling panas dalam hidupku. Aku bermimpi menggauli―memperkosa―majikanku di rumahnya―meski aku sendiri tidak tahu itu rumah siapa, di atas ranjang dengan tangannya terikat. Dalam mimpi itu aku menyiksa dadanya juga selangkangannya dengan kejam, bahkan suara desah dan erangan masih terngiang jelas di benakku sampai sekarang. Ketika aku terbangun dari mimpi itu, aku langsung ke kamar mandi, melakukan pekerjaan yang lagi trendi di kalangan pemuda-pemuda kota zaman sekarang―mengocok. Selama lima menit berlalu aku malah bosan. Itu adalah pekerjaan paling aneh yang pernah kukerjakan sepanjang umurku. Pada menit-menit pertama mungkin memang enak, tapi menit selanjutnya segalanya jadi membosankan. Aku membanting sabun di kamar mandi dengan agak muak. Dan memutuskan itu adalah kegiatan yang tidak ada faedahnya bagiku. Jadi begitulah, sampai sekarang aku tak punya cara untuk menyalurkan hasratku. Sampai sekarang hasrat itu semakin melunjak dan nyaris membuat akal sehatku lumpuh. Tahu 'kan? Berada satu ruangan dengan perempuan itu seringkali memancingku bertindak ke luar batas. Tapi untungnya sampai saat ini, selalu ada saja sistem pengerem otomatis yang bekerja bila aku berniat menabrak pembatas, seakan-akan ada seseorang di sebelahku yang terus berbisik di depan telingaku, 'Pikirkan resiko yang terjadi selanjutnya, bung!' katanya. 'Jangan pikirkan enaknya saja!'
Iya, makasih. Berkat pengerem itu, pikiranku bisa menerawang ke masa depan. Kalau aku memperkosa perempuan itu, mungkin saja dia akan berteriak kencang, lalu orang-orang akan berdatangan dan menghajarku seperti maling ketangkap basah, 'Bocah Sembilan Belas Tahun mencoba memperkosa majikannya! Sialan, aku harus menonjoknya!'.
Untuk sementara bayangan aneh itu bisa menentramkanku. Ya, untuk sementara. Aku menghembuskan napas dengan lega. Lalu aku membuat kesalahan dengan melihat padanya lagi dan hasrat itu pun kembali menguasaiku. Terserah deh. Kayaknya aku mulai kepikiran membeli sepucuk pistol untuk berjaga-jaga kalau seandainya aku nanti malah lepas kontrol, aku akan menembak kepalaku. Eh, nggak deh. Bisa saja akan jadi lebih buruk lagi. Mungkin aku akan menodongnya, lalu benar-benar memperkosanya. Lagipula siapa yang mau mati hanya karna tidak mau rencana gobloknya sampai ia lakukan. Iya, makasih pikiranku, kau memang yang terbaik. Sekali lagi aku mengamati majikanku, dia mengenakan kaos ketat berlengan panjang berwarna merah menyala sehingga belahan dadanya kelihatan jelas. Celananya panjang berwarna putih menampilkan bentuk kakinya yang gue banget! Dia memang hot, tapi tak ada yang menyaingi nona Samui dalam bentuk kaki yang sempurna. Aku bergegas pergi ke kamar mandi yang ada di ujung lorong. Kubasuh mukaku untuk meredam gairahku, dan berdiam selama beberapa saat.
Aku berusaha mengatur napasku yang tak tenang. Rasanya tersiksa sekali aku berada di ruangan itu. Apa sebaiknya kucekik saja perempuan itu sampai mampus, biar dia tidak lagi menjadi penyiksa batinku? Aku keluar dari wc, berdiri sebentar sambil mengambil napas dalam-dalam, dan menghembuskannya. Begitu aku berbalik ke belakang, bayangan tubuh bosku yang duduk dengan tubuh condong ke depan menarik semua perhatianku. Aku pun tertegun, gairahku kembali bangkit, betapa melelahkannya bila gairah itu terus saja mengobarkan api dalam dadaku. Aku menelusuri punggungnya, bergeser ke dada, turun ke pinggang, lekuk pantatnya, dan kaki jenjangnya. Dadaku berdebar keras. Aku memutuskan untuk melihatnya dari dekat sampai aku bosan padanya. Aku berjalan ke arahnya dengan tubuh gemetaran. 'Tenang, bung, kendalikan dirimu,' kataku dalam hati, 'kau cuma melihat-lihat saja. Kau tidak akan melakukan apa-apa.'
Aku pun bersikap sewajarnya, lalu duduk dengan canggung. Kulirik dia, kurasakan darahku mengalir lebih cepat. Tapi kemudian ia menegakkan punggungnya, membetulkan kuncir rambutnya, dan kaos ketat lengan panjangnya. Aku memperhatikan tengkuknya, hanya sebentar. Begitu dia merapikan kaosnya, aku langsung memelototi belahan dadanya. Andai saja aku bisa memerasnya, juga menyusu di puting susunya, itu pasti akan menyenangkan. Wajahku jadi makin panas bila kubayangkan. Bulir-bulir keringat mengalir dari pelipisku. Aku menelan liur. Lalu kulihat celah di antara pangkal pahanya. Yeah, itu benar-benar menggiurkan.
Tiba-tiba saja ia mengangkat mukanya, berpaling membalas tatapanku―aku langsung mengangkat pandanganku pada matanya tepat pada saat itu. Aku melongo. Mukanya keringatan. Pipinya juga merona tipis. Tapi malah tampak seksi. Aku senang melihat wajahnya, merangsangku.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanyanya. Suaranya bergema dalam benakku. Suara yang lembut dan dalam. Dan aku teringat erangannya dalam mimpiku.
Aku berkedip, lalu menghela napas. "Bos kelihatan seksi dan menggairahkan," gumamku tanpa berpaling dari wajahnya. Pada zaman dahulu kala mungkin aku akan malu berterus terang seperti sekarang ini. Tapi kebetulan rasa maluku sudah hilang.
Matanya yang sayu itu membuka selama sedetik, lalu mengernyit. "Kau sedang merayuku ya, Bocah Ingusan? Kau mau belajar jadi pria Hidung Belang?"
Aku tidak peduli apa katanya. Kedengarannya enak saat ia menyebutku demikian. "Tidak, Bos," kataku. "Bos memang cantik dan seksi. Aku bicara jujur."
"Sudahlah. Bicaramu seperti perayu saja," gerutunya sambil menatapku dengan aneh. "dasar bocah Masa Kini. Lupakan. Omong-omong, bagaimana menurutmu di sini? Apa kau betah?"
Percaya tidak percaya, aku tak mau berpaling dari bibirnya yang merah menyala itu. "Tidak ada masalah, Bos. Aku betah bekerja di sini. Dari pada di rumah menganggur terus 'kan mending kayak gini. Selain itu aku juga punya majikan yang hot..." Aku menarik napas.
Dia mengangkat alisnya. "Jangan bersikap kurang ajar seperti itu pada majikanmu, Bocah," katanya sinis. "aku mengingatkanmu. Aku ini lebih tua darimu dan aku majikanmu. Seharusnya kau bisa menjaga sikapmu sebagai pegawaiku. Jangan katakan itu lagi kalau kau tidak mau berakhir seperti pegawai-pegawaiku yang lain."
"Terserah bos saja. Tapi aku berkata yang sejujurnya," kataku tak tersinggung.
"Itu adalah salah satu peraturan di sini, kau harus mengingatnya. Bersikaplah yang baik dan sopan. Jangan bertingkah kurang ajar."
"Yeah," sahutku tanpa minat. Kemudian kami terdiam, berhadapan. Aku mengangkat pandanganku ke matanya. Dia memperlihatkan sikap menantang disertai ejekan. Tapi aku tak marah. Aku hanya merasa tergelitik. Aku memandanginya seperti memandangi paha ayam ketika sedang lapar. Selama beberapa saat tak ada yang bicara. Kami cuma bertatapan saja. Pandanganku turun ke mulutnya yang terkatup, lalu dagunya, turun lagi ke belahan dadanya. Beberapa detik mataku tidak mau bergerak, lalu pandanganku turun lagi ke pangkal pahanya―ke garis-garis yang membentuk huruf 'Y' itu, dan aku tetap memandang ke situ tanpa takut menyinggungnya. Pandanganku kualihkan kembali ke matanya yang bersinar. Dia memang mirip banteng betina yang angkuh.
"Lihat apa kamu?!" semburnya tajam sambil melipat kakinya.
Aku mendesis. "Dih, pelit amet, Bos. Cuma lihat doang. Daripada bengong kayak orang susah. Mending lihatin bos, bikin saya bergairah kerja."
Aku mengambil napas panjang, dan menghembuskannya. Tiba-tiba saja dua orang memasuki toko dan mengganggu kami. Aku segera berpaling dari bosku, melihat seorang laki-laki dan seorang gadis yang tak asing lagi bagiku. Aku tahu selama ini bahwa Hinata adalah gadis yang cantik, tapi hanya itu saja, tidak ada lebihnya. Sekarang, wajahnya dihias senyum yang manis, tetapi matanya memancarkan kesedihan yang mendalam, seolah-olah ada drama romansa yang melatar-belakangi dirinya, begitu menyedihkan sampai aku tak mau mengalihkan pandanganku dari matanya. Andai saja ia menghias wajahnya dengan make-up kelas bangsawan, lalu mengenakan gaun berwarna putih seperti malaikat, dan duduk berpangku tangan di atas balkon sebuah kastil bergaya ke-Inggris-Inggris-an, dengan latar langit senja dan taman-taman bunga mawar putih di pekarangan rumah, dan menatap gerbang rumahnya di sana dengan pandangan seperti itu, sementara semilir angin menggoyangkan rambut biru gelapnya, dia pasti akan memikat mata siapa saja yang bakal melihatnya. Tapi kemudian sinar mata itu berubah hangat dan lembut... Senyumnya pun melebar hingga menampilkan sederet gigi putih tanpa cacat. Kehangatan dalam pandangan matanya terasa makin kentara hingga aku pun terenyuh. Dia menghampiriku dengan langkah terburu-buru, dan aku nyaris tergoda melompati meja kasir, lalu menyambutnya dengan pelukan rindu. Tetapi aku berhasil menahan godaan itu.
Hinata punya kecantikan khas zaman Victoria menurut penilaianku, meski sebenarnya dia bisa saja cantik pada setiap zaman mana saja―asal penampilannya sesuai, bahkan dari zaman purba sekali pun.
Hinata mengenakan celana pensil putih panjang, dan jaket hitam yang itu lagi. Jadi aku hanya bisa melihat setengah kakinya―setengah paha sampai ujung sepatunya yang bertumit tebal. Gara-gara jaket itu penampilannya terasa ganjil, bentuk tubuhnya pun jadi terlihat tak jelas. Aku tak bisa menaksir lekuk pinggulnya.
"Hai, Hinata." Aku menyapanya. "Bagaimana kabarmu? Tumben nongol."
"Ada apa? Kangen ya?" tanyanya.
"Cuma nanya doang," kataku sewot.
Mukanya jadi cemberut. "Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?"
"Baik. Makasih dah nanya." Aku melihat ke samping kepalanya, memperhatikan objek si Lamban dan Membosankan di belakangnya itu. Laki-laki itu sedang mendekati Hinata―setiap kali aku sudah menyebut namanya, kedengaran kayak Pinata. Aku mengalihkan pandanganku lagi padanya. "Kau mau cari apa, Hinata?"
"Cari kamu."
Aku merona. "Jangan becanda, ah."
Ia menatap mataku lekat-lekat. "Serius, nih," katanya.
"Masak?" sahutku salah tingkah.
Ia lantas mengangguk. "Becanda." Kata-katanya menampar harga diriku, seolah dia baru saja menerimaku jadi pacarnya, lalu memutuskanku detik itu juga. Aku langsung tidak suka padanya. "Ada Sprite kaleng tidak?"
"Ada tuh. Mau yang dingin atau biasa?"
Si Cowok menyebalkan itu berhenti di dekat Hinata, dan merangkul bahu gadis itu. Aku terpaksa harus menjadi penonton atas keromantisan mereka itu. Hinata buru-buru menepis tangan cowok itu. Mungkin dia malu bermesraan di depan umum. "Aku beli dua kaleng Sprite, Naruto, yang dingin. Tolong ambilkan."
"Lemari pendingin di sana, Pinata―Eh, Hinata." Aku menunjuk lemari pendingin di dekat pintu rolling.
"Ambilkan aku," ujarnya. "Kau 'kan pegawainya."
Padahal Lemari Pendingin itu ada di belakangnya, tapi dia bertingkah seakan dialah bosnya. Kurasa aku mulai benci slogan 'Pembeli Adalah Raja' dan gadis ini. Coba kuingat-ingat, dia pernah menginjak si Juniorku. Dia menuduhku sebagai pemerkosa. Dia juga mengataiku macam-macam. Apa ini balasan gara-gara aku membentaknya waktu itu? Aku mendengus, dan terpaksa melakukannya. Aku pergi menghampiri Lemari Pendingin, sementara mereka mengobrol santai dengan majikanku. Rupanya bosku tidak cukup banyak bicara untuk membicarakan sikapku tadi padanya.
Aku mengambil kaleng-kaleng Sprite itu, lalu kembali saat mereka tampaknya sedang cuap-cuap tentang betapa menyenangkannya hidup di dunia ini. "Nih." Aku meletakkan kaleng-kaleng itu di atas meja kasir. "Ada lagi?"
"Roti tawar, dan selainya juga," ujar Hinata.
"Marlboro satu bungkus," kata si cowok.
"Yang benar saja," Aku menggerutu.
Tsunade menyela kami. "Jangan mengeluh. Pembeli adalah raja."
"Raja kok jalan kaki," sahutku jengkel.
"Sana. Ambil." Aku melakukan itu lagi, dan kembali. "Parfum Clemente-nya juga. Yang Lavender," tambahnya.
"Kenapa gak sekalian aja tadi?" tanyaku.
"Lakukan saja. Kau ini pegawai. Jadi jangan belagu."
"Poin pertama," sela Nona Tsunade dengan nada lain, kalau dia mengatakan, 'Itu balasanmu karna bertingkah kurang ajar padaku!'. Nadanya pas sekali. "Jangan kecewakan pelanggan." komentar bosku membuatku gemas.
Aku memandangi Hinata seolah ingin mencekiknya. "Ya, deh," kataku sambil mengambil pesanannya. Memang pada dasarnya dia itu menyebalkan, dan senang menggodaku, jadinya tiap aku kembali, selalu ada saja yang dia lupakan. Aku bolak-balik mengambil apa pun yang dia sebutkan sampai belanjaannya penuh satu tas.
Setelah membayar, Pinata―Eh, Hinata memandangku lurus-lurus. Sinar jail dalam matanya hilang. Aku membalas tatapannya. Aku teringat waktu kami bertatapan seperti ini berhari-hari yang lalu. Keadaanku nyaris seperti saat itu. Rasanya jadi tampak kayak orang bego yang ke-bego-bego-an selama dua kali. Jangan tertipu. Itulah kata-kata yang terbetik dalam hatiku. Gadis ini memang manis, dengan garis-garis wajah yang halus, tetapi berlidah tajam, berkata seenak udelnya tanpa mempedulikan perasaan kita. Aku jadi rindu pada Nona Samui. Nona Pirang bermata tajam, dengan mulut terkatup rapat, tetapi punya suara yang enak didengar itu.
"Kenapa kau melihatku seperti itu? Naksir ya?" kata Hinata mengejek.
"Heleh." Aku mendesah malas. "sok pede, bego lu."
"Jangan sok Jual Mahal deh. Tampang pas-pasan kayak kamu gak cocok jual mahal. Gak laku. Di jalan banyak, kek sampah."
"Tutup mulutmu!" semburku. Dia menyeringai. "Dasar cewek gila. Jangan bertingkah seolah lu itu cewek satu-satunya di dunia ini! Yang mau sama lu palingan cowok bego―" Cowok yang bersamanya batuk-batuk. "―dan aku tidak segoblok itu dengan jatuh cinta pada cewek berlidah tajam model sepertimu. Aku akan berpikir seribu kali sebelum itu terjadi. Sebab tiap kali ketemu KAU, aku selalu ketiban sial. Lagipula," Suaraku menenang saat kulihat rautnya berubah. "aku 'kan sudah punya pujaan hati, namanya Hanabi. Dia itu manis, imut, dan aku memujanya sepenuh hatiku. Dia adalah gadis yang akan selalu mengobati kegundahanku saat aku membayangkan bersamanya lagi." Pada titik ini aku berhenti. Jika aku menyebut tentang Hanabi, dan apa-apa yang kusebutkan barusan, maka semua itu benar adanya. Sudah kukatakan sebelumnya bahwa cintaku pada Hanabi telah menjadi bagian dari perasaanku, merasuki mimpi-mimpiku, dan telah mengakar dalam sanubariku, hingga tiap kali aku merasa amat kesepian tatkala malam-malam menjadi begitu jelek bila masuk waktu sunyinya, bayangannya akan sedikit menghiburku. Mulai terbayang sosok Hanabi yang muncul dalam mimpiku, sosok cantik bergaun putih yang disinari rembulan. Rambutnya yang panjang terurai indah... Sosok yang kecil... dan lembut... begitu lemah seolah dia adalah sosok yang rapuh dalam dunia yang kejam... hingga aku ingin sekali merangkulnya dan melindunginya. "Jadi jangan mengira semua laki-laki bakal tertarik setiap kali mereka melihatmu," tambahku dengan pikiran menerawang.
"Jadi bagaimana?" tanya Hinata dengan nada mencemooh. "apa dia meninggalkanmu atau dia mati? Wah, kasihan."
Aku menyahut, "Bukan urusanmu. Aku mau kerja dulu. Bicara denganmu buang-buang waktuku saja."
Si cowok yang bersamanya tiba-tiba berkata, "Bung, ada apa sih denganmu?"
"Tidak ada yang bicara padamu, bung." kataku tajam. Tapi Hinata terus menatapku dengan pandangan aneh. "Apa?" tanyaku.
"Aku jadi ingin mencoba kesetiaanmu yang 'Waw' itu. Benar apa nggak atau cuma bualan saja."
"Apa maksudmu?"
Hinata menyeringai licik. Dia kelihatan kayak iblis betina jahat. "Aku akan membuatmu melupakan gadis itu, menggantikan posisinya di hatimu, dan kau akan menghamba padaku."
"Hinata, kau tidak serius 'kan?" si cowok menengahi.
Tetapi cowok itu tidak dipedulikan. "Coba saja, tapi kuingatkan padamu, kau cuma akan mendapatkan kekecewaan dariku. Karna aku tidak akan jatuh hati padamu selama-lamanya―mustahil, meskipun kau cantik, atau bahkan juga perempuan terakhir di muka bumi ini."
Hinata mengangguk bersemangat. "Kita lihat saja. Tapi satu hal sudah tercapai. Pertama, kau sudah menganggapku cantik. Itu pembukaan yang bagus."
Kata-katanya itu membuatku waspada. Kenapa aku bilang dia cantik? Apa tadi dia bertekad mengejarku? Bayangan itu membuatku besar kepala. "Kalau kau tak punya urusan lagi, Hinata, tolong pergilah, masih banyak yang harus kukerjakan." Aku berpaling darinya. "Maaf. Aku permisi dulu." Lalu aku pergi. Hinata berusaha mengatakan sesuatu, tapi jalanku kupercepat hingga aku tak terlalu peduli pada kalimatnya. Tatkala aku berada di ruangan yang dipenuhi kardus bertumpuk-tumpuk, aku menjadi terheran-heran dan tidak percaya bahwa aku baru saja melarikan diri dari makhluk bernama perempuan itu. Untuk sejenak aku merasa besar kepala. Ada gadis cakep ngejar-ngejar gue. Ampun deh. Bisa jadi cerita buat dibangga-banggakan di depan teman-teman gue nih. Pasti akan jadi seru, dan mungkin namaku akan tercoret dari daftar cowok jones yang sudah keseringan ditolak dan dikacangin oleh cewek-cewek sok baik itu. Aku membayangkan plot bagus tentang aku dan Hinata dari mulai hubungan penuh dengan drama menyedihkan sampai dengan hubungan panas yang muncrat-muncrat, seperti misalnya aku dan Hinata menjadi kekasih, lalu kami menikah, hidup bahagia bersama empat atau lima orang anak tukang ribut―aku bisa melihatnya dengan jelas dalam benakku. Kami duduk bersisian di atas ranjang sederhana. Seberkas sinar yang masuk dari jendela menyinari wajah letih Hinata yang penuh keringat, lalu ada dua bayi kembar lucu digendongannya. Air mata Hinata berlinang bagai dua garis lembut di kedua pipinya. Matanya... mata indah yang memancarkan kehangatan cinta. Aku menarik napas panjang sambil merona. Bayangan itu menghangatkan dadaku. Tetapi sosok Hanabi yang cantik dengan latar belakang suram itu mengusir semua tentang Hinata, dan membuatku kesepian. Kemudian muncullah Nona Samui, janda yang penampilannya bertolak belakang sekali dengan latar tempat tinggalnya. Penampilannya serba modern, cocoknya jadi sekretaris atau pegawai kantoran dan semacam itu, tinggal di dalam flat yang 'Wah' dengan perabotan masa kini.
Tanpa sadar pikiranku malah jadi kacau. Aku keluar ruangan dengan kepala pusing. Aku terdiam sebentar, kembali lagi memandang tubuh montok bosku. Pikiranku serta merta membaik―maksudku gairah itu kembali bangkit. Meski itu tidak mengubah keadaan menjadi lebih baik, tetapi satu pikiran dengan tujuan jelas itu lebih bagus buatku, daripada pikiran yang tidak jelas arah tujuannya, dan beragam. Aku mengecek barang-barang sekali lagi, merapikannya, menyapu lantai keramik, membuang sampah-sampah plastik di lantai. Lalu sebuah mobil box berwarna putih berhenti di depan toko.
"Bos." Aku memanggil dengan agak nyaring. Tapi si Bos tidak mendengar. Aku memutari etalase untuk melihat si bos montok itu. Aku mendapatinya sedang tidur sambil duduk! Aku pun menghampirinya dan membangunkannya. Akan tetapi aku malah jadi berhenti di dekatnya―berdiri seperti patung dengan pandangan terpaku pada bulatan menantang di bawah lengannya itu, bulatan yang membuat dadaku berdenyut. Aku tergoda untuk meraba-rabanya, lalu menyingkap bajunya, kemudian menyusu seperti bayi. Aku menelan ludah.
"Bos," kataku lagi dengan suara pelan. Perempuan itu tidak merespon. Aku mencoba lagi. Kali ini dengan memegangi pundaknya. Tapi tubuhku malah gemetaran. Kontak tubuh yang singkat itu mungkin telah menembakkanku keluar angkasa raya. Sebab gairahku seolah bocor kemana-mana. Lalu entah datang darimana keinginan 'itu' tiba-tiba saja datang. Aku memegangi bahunya lagi dengan agak bertenaga, supaya aku bisa merasakan kulitnya yang berbalut baju itu.
"Bos." kataku lebih keras. Sistem pengerem otomatis yang biasanya bekerja bila terjadi sesuatu yang salah saat ini tidak berfungsi―mungkin remnya blong―hingga aku melakukan apa yang kumau. Aku menelusuri punggungnya dengan telapak tanganku. Sebisa mungkin menikmati tiap centi apa yang kulakukan itu. Aku makin melayang tinggi. Dadaku berdebar hebat. Akal sehatku seolah meninggalkanku. Kugerakkan tanganku ke ketiaknya, diam sebentar di sana, lalu ke bawah. Aku sedikit membungkuk, kudorong lagi ke arah Si Montok itu, lalu kubuka tanganku lebar-lebar agar aku bisa merasakan sensasi gairahnya―rasanya empuk―mengalir dalam darahku. Dadaku berdenyut lebih kuat dan sesak. Semua yang kulakukan ini rasanya seperti mimpi indah saja. Aku juga bisa merasakan garis-garis bra-nya sambil menyaksikan detik-detik tanganku bergerak mulus ke dadanya, melebar, lalu mengecil menuju satu titik yang menurutku adalah putingnya. Tapi aku tidak puas. Aku ingin lagi. Jadi aku mengulanginya kembali, menjamah buah dadanya dengan penuh penghayatan sampai tiga kali. Kemudian tiba-tiba bayangan dua sosok yang memantul di dinding membuatku kecewa. Aku berhenti melakukan perbuatan bejat itu, lalu mengatur napas, dan membangunkan si bos. Kuguncang bahunya keras-keras.
"Bos!" teriakku. Ia pun terkesiap.
"Apa?" ujarnya.
"Mobil pe-ngampas-nya tuh udah datang."
Ia mengangguk dan bangkit. Aku pergi ke etalase seberang dengan jengkel. Padahal tadi rasanya enak banget. Aku duduk sambil membayangkan kejadian itu dalam otakku. Anuku keras banget. Aku pun mengelusnya pelan dengan pikiran serba berbau porno Pandanganku jatuh pada ponselku. Aku sendiri begitu tenggelam dalam khayalanku sampai-sampai tak sadar kalau kedua orang itu telah pergi. Bosku menyuruhku membereskan kardus-kardus yang menumpuk di luar. Aku melakukannya, tapi mataku terus memperhatikan buah dada si bos dan bertanya-tanya. Kapan lagi aku bisa meraba-raba dadanya? Aku mengerang kecewa sambil bolak-balik membawa kardus-kardus itu ke dalam. Saat semuanya telah beres, aku berjalan keluar. Aku berhenti sebentar di lorong untuk mengamati tubuh menggiurkan si bos. Rasa penasaranku tiba-tiba bangkit. Mungkin kesempatan untuk menjamahnya telah habis. Tapi kesempatan menikmati tubuh si bos dengan mataku selalu tersedia, seperti kata pepatah, 'Tak bisa menjamah, memelototi pun jadi. Aku pun melangkah ke arah meja kasir dengan napas tersengal-sengal. Setelah sampai di belakang meja kasir aku duduk sembari memelototi kaki si bos. Lalu sekonyong-konyong semangatku menjadi berkobar-kobar saat kudengar dengkur halus dari mulutnya. Kesempatan, pikirku. Aku tidak mau menyia-nyiakannya. "Bos," panggilku dengan suara keras. Dia tak merespon. Girang bukan main akunya. Maka aku tak perlu membuang-buang waktu memanggilnya berulang-ulang seperti tadi. Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri, mengambil kursi yang kududuki, meletakkannya di dekat si bos, lalu duduk dengan buru-buru di dekatnya. Sejenak aku memperhatikan bulatan dadanya, deru napasku memburu. Maka tanpa pikir panjang lagi, aku pun menjamah payudara si bos~terburu-buru, kadang kucubit-cubit ujungnya. Namun aku merasa apa yang kulakukan ini tidaklah memuaskan. Lantas aku pun mengangkat tangan kiriku melewati punggungnya, dan menjamah payudara kirinya. Selama beberapa waktu kemudian jamahanku tak terkendali. Buah dada itu membuatku gregetan. Aku melepas satu tanganku, memberanikan diri menyibak bajunya sedikit, lantas menelusupkan satu tanganku ke dalam bajunya. Aku bisa melihat baju itu menggelembung. Kulitnya mulus. Aku menggerakkan tanganku pelan-pelan ke atas. Mataku mengawasi kepala pirang si bos. Aku mengerjap sebentar sambil menjilat bibirku. Jantungku berdebar makin keras, lalu mematung. Pandanganku berpaling pada telapak tanganku yang telah memegangi payudaranya. Aku terdiam bagai patung. Kulit dada si bos dan juga garis-garis bra-nya terasa jelas di tanganku. Tubuhku gemetaran bersimbah peluh, panas dingin terbakar nafsu. Jakunku naik turun. Sambil terengah kuelus buah dadanya, kuremas, kuelus lagi sampai ke belahan dadanya, lalu turun, dan kurasakan sesuatu yang tidak rata di bagian tengah bra itu~mungkin kait branya. Lantas jari-jariku memeriksa. Ah, sudahlah, tidak ada waktu buat membuang-buang waktu. Aku kembali meremas buah dada itu, memainkannya, tapi lagi-lagi aku tak puas. Tangan kiriku ikut menelusup ke dalam bajunya. Jadilah sekarang mukaku menempel di bahunya. Wangi tubuhnya menguar lebih jelas merangsang indraku. Aku pun lalu menciumi bahunya, mengendus wangi itu, turun ke ketiaknya sambil kuputar-putar benda montok itu. Pelan-pelan wajahku bergerak begitu saja mendekati dada si bos, kemudian berhenti saat mulutku berada di ujung susunya. Tanganku meremas, mulutku mengecup, lantas mengemut. Tapi baju dan bra majikanku menggangguku. Aku tambah nekad. Masa bodoh dengan apa yang akan terjadi nanti.
Aku berhenti memainkan dadanya, kedua tanganku turun ke bawah bajunya. Kemudian kusingkap bajunya perlahan-lahan ke atas sembari kupandangi mata terpejam si bos. baju itu naik dengan lambat ke atas. Napasku tersengal. Tapi, akhirnya baju itu pun tersingkap sampai ke atas dadanya. Mataku melebar. Aku terpaku sebentar pada dada montok itu yang hampir tumpah~mengaguminya. Kujelajahi dengan pandanganku, ternyata benar, yang ditengah-tengah itu adlah kait branya. Aku kemudian tersadar, tak boleh membuang waktu. Aku harus menikmatinya sepuas-puasnya. Aku mendekatkan wajahku ke ujung susunya. Kuciumi wanginya dalam-dalam, kuemut, kulahap, kugosok hidungku, kembali kulahap dengan mulutku. Tapi tetap saja bra berwarna coklat itu menggangguku.
Aku pun berbuat lebih jauh lagi. Aku memperhatikan belahan dada itu selama sesaat, lalu tanganku begitu saja mendorong bra itu ke atas. Pelan... Pelan... dan berharap dia takkan bangun. Pertama-tama, yang tampak adalah bagian bawah susunya, lalu bra itu naik makin ke atas, tersingkap memperlihatkan sesuatu yang berwarna coklat. Semangatku naik. Aku mengecup bagian itu, dan menjilatinya dengan lidahku. Kudorong lagi branya ke atas sampai sesuatu yang agak menonjol masuk ke dalam mulutku. Aku terdiam. mungkin ini hanya mimpi belaka. Aku... Menyusuu... Menghisap putingnya seperti permen sambil memperhatikan buah dada itu, dan kuremas-remas... Nyot nyot dikenyot nyoooottttt... Kujilat ujungnya seperti orang kelaparan, kupilin dengan bibirku, kukenyot kayak bayi goblok. Ditengah-tengah gairah yang meletup-letup itu, sekonyong-konyong sebuah gerakan memacu adrenalinku. Aku menahan napas begitu terkejut~jantungku rasanya seakan berhenti berdenyut saat kulihat bosku menegakkan duduknya tiba-tiba dan menangkap basahku sedang mencabuli susu kanannya. Aku meramalkan sebuah yang akan terjadi padaku setelah ini. Yang terburuk mungkin saja aku akan hidup mengemban julukan Naruto si Cabul di mana-mana. Semua orang akan mengenali wajahku, dan gadis-gadis akan memandangiku dengan jijik. Aku akan jadi bahan olokan teman-temanku, keluargaku akan malu, dan mungkin aku akan dipenjara selama bertahun-tahun... Lalu gantung diri... Tidak. Mungkin sebaiknya aku pindah saja ke suatu kota terpencil, di Antah Berantah, hidup dengan nama Robin Hood dan hidup bahagia selama-lamanya...
SEGITU AJA DULU