a/n : in this story, I apply a matter of age in the world, not Korean. Jadi umurnya asli, gak pakai ditambah satu kayak di Korea.

.

There is never a time or place for true love. It happens accidentally, in a heartbeat, in a single flashing, throbbing moment. –Sarah Dessen.

I LOVE YOU

CAST :

PARK CHANYEOL

BYUN BAEKHYUN

XI LUHAN (as Baekhyun's twin)

Etc.

.

.

Aku sangat menyayanginya. Namanya adalah Byun Luhan. Dia adalah saudara kembarku dan aku sangat menyayanginya.

Aku akan melakukan semua yang dia inginkan. Dia adalah separuh diriku yang tidak melekat dalam tubuhku. Kami berbeda hampir setengah jam dan itulah sebabnya aku menjadi seseorang yang disebut Hyung olehnya. Namun aku yang justru melarangnya memanggilku hyung. Ayolah, kami hanya berbeda hampir setengah jam di hari yang sama. Lagipula aku tak setua itu.

Hidup kami sangat istimewa. Kami dua bersaudara di keluarga Byun. Kami sangat dimanja oleh orang tua dan keluarga besar kami. Diperlakukan bak dua pengeran dalam kerajaan dan akan mendapatkan apa yang kami inginkan hanya dengan sekali tepukan tangan.

Ayah adalah seorang anggota menteri di Negara kami. Ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki bisnis sebuah restoran tradisional di dekat Gangnam. Itulah sebabnya hidup kami begitu sempurna.

Luhan sangat mirip denganku, tentu saja. Tetapi, kata ayah dan ibu ada sesuatu yang membuat kami berdua tampak berbeda di depan mereka.

Aku memiliki rambut coklat gen dari ibu sedangkan Luhan memiliki rambut hitam pekat seperti ayah. Senyum kami juga berbeda. Kata ayah, senyumku begitu manis sedangkan senyuman Luhan begitu menenangkan. Aku setuju dengan itu karena aku selalu merasa tenang jika Luhan tersenyum padaku saat aku mendapat sebuah masalah.

Aku menyayangi Luhan. Seperti yang aku katakana di awal. Tak ada yang begitu membuat hidupku sempurna selain kehadirannya yang ditakdirkan menjadi saudara separuh ku.

Semuanya begitu istimewa dan berjalan seperti yang kami inginkan, sebelum Luhan jatuh terduduk di lantai koridor menuju kantin saat kami berjalan beriringan dan mengeluh bahwa kepalanya terasa berdenyut dan ia mencengkram lengan kananku sambil meringis kesakitan.

Aku sangat khawatir dan tiba-tiba kepalaku juga ikut berdenyut saat melihatnya menyentuh kepalanya sambil tetap meringis kesakitan. Dan tanpa pikir panjang aku menelpon Tuan Kim, orang yang selalu menjaga kami berdua untuk ke sekolah dan menginjinkan Luhan pulang di tengah hari saat sekolah belum usai.

Aku tak peduli. Luhan yang terpenting.

Aku menemani Luhan saat menunggu Tuan Kim berbicara kepada guru kesiswaan kami agar menginjinkan Luhan pulang dan beristirahat di rumah.

Aku dapat menangkap pandangan matanya yang kosong dan sedang memikirkan sesuatu. Aku mengelus punggung tangannya yang terasa amat dingin.

Luhan terlihat lebih pucat dari biasanya dan hal itu membuat mataku telah tergenangi oleh air mata. Sungguh, aku tidak ingin saudaraku mengalami kesakitan.

"hiks."

"Oh Baekhyunie, mengapa kau menangis?"

Aku hanya menggeleng sambil tetap menggenggam tangan kanannya yang masih dingin dan seperti mengeluarkan keringat.

Luhan memelukku erat sekali dan aku juga membalas pelukannya tak kalah erat.

"apa yang kau rasakan Luhanie?" tanyaku sambil mengusap punggungnya.

Ia hanya membalas pertanyaanku dengan gelengan. Aku segera melepaskan pelukanku dan menatap matanya. Dan saat itu juga aku tahu bahwa Luhan telah mulai berani menyimpan sebuah rahasia di belakangku. Aku tidak memaksanya.

Mungkin Luhan memang tidak merasakan sesuatu yang serius dan aku berusaha untuk terlihat tenang di hadapannya.

Tuan Kim keluar dari ruangan dan beliau menggandeng tangan Luhan serta tersenyum menatapku.

"Guru kalian mengatakan bahwa Luhan boleh pulang, tetapi kau tetap di sekolah sampai jam pelajaran selesai." Ucapnya tenang.

Aku yang memang pada dasarnya egois dan tak mau mengalah dengan apa yang berhubungan dengan Luhan langsung menghentakkan kedua kakiku kesal.

"Tuan Kim! Aku harus menjaga saudaraku!"

Tuan Kim hanya memberikan senyuman lembutnya padaku. Ia memang akan seperti itu saat menghadapi diriku yang sulit diatur.

"tidak bisa Baekhyun."

Aku memajukan bibirku kesal dan menatap Luhan dengan pandangan memohon. Ku harap ia mengerti maksudku bahwa aku tak mungkin membiarkannya sendirian di saat ia sedang tidak dalam kondisi yang baik.

Tetapi aku salah dan aku selalu tidak berdaya jika Luhan yang mengatakannya padaku.

"tidak bisa Baekhyunie, kau harus menuruti perintah Tuan Kim."

Aku menggeleng kuat dan bisa kurasakan sebentar lagi air mata akan keluar dari mataku.

Luhan melepaskan genggaman tangan Tuan Kim dan berjalan maju untuk menarikku dalam pelukannya yang hangat.

"aku akan baik-baik saja Baek, kau bisa pegang janjiku. Jangan merajuk di depan Tuan Kim saat ini, karena dia sedang dalam mood yang buruk. Apa kau mau Tuan Kim mengacuhkanmu seharian penuh?"

Aku terkekeh dengan aliran air mata yang masih belum kering di pipiku. Aku tau Luhan tidak berbohong padaku jika Tuan Kim sedang dalam mood yang buruk, karena pada dasarnya ia sangat tahu apa yang dirasakan seseorang di sekitarnya.

"baiklah, aku mengalah untuk adikku."

Dan aku melihat Luhan yang digandeng oleh Tuan Kim melambai padaku dengan tangan kanannya saat melewati koridor yang mulai sepi karena pelajaran akan di mulai beberapa menit kemudian. Aku harus menunggu sampai pukul empat sore untuk pulang dan bertemu saudaraku di rumah.

.

All will seem more perfect when there is something we do not understand –AuthorQuote

.

Aku mendapati rumah megahku yang sepi tanpa ada seorang pun yang menyambut kedatanganku seusai pulang dari sekolah sekitar pukul lima sore.

Kamar Luhan pun kosong tanpa kehadirannya dan aku diserang rasa panic saat aku tak menemukan seorang pun di rumah itu sebelum ponsel ku berdering dan aku mengangkat telfon dari Tuan Kim yang mengatakan bahwa beliau saat ini bersama Luhan dan ibu sedang mengunjungi dokter di rumah sakit kerabat ayah untuk mengecek keadaan Luhan.

Aku merasa sangat kecewa karena mereka mengajak Luhan ke rumah sakit tanpa mengajakku. Dan dengan perasaan kesal aku memesan taxi untuk mengantarkan aku ke rumah sakit dan menyusul mereka bertiga tanpa mengganti pakaianku atau meletakkan tas ku di dalam kamar. Aku tidak peduli dan yang aku butuhkan saat ini hanyalah bertemu dengan Luhan dan memeluknya erat sambil bergumam bersamanya bahwa semua akan baik-baik saja.

Paman supir taxi itupun menyadarkan diriku dari lamunan ku tentang Luhan saat kami telah sampai di depan gerbang rumah sakit. Aku memberinya beberapa lembar won tanpa ingin meminta kembaliannya saat paman supir itu memanggilku berkali-kali untuk memberiku kembalian sedangkan aku sudah berlarian di halaman rumah sakit yang sangat luas dan berjajar mobil-mobil itu.

Tas di punggungku bergoyang-goyang dan sepatu yang ku kenakan terdengar sangat nyaring saat aku berlarian di sepanjang jalan koridor rumah sakit dengan diiringi nafasku yang terengah-engah. Dan aku baru menyadari bahwa aku begitu lupa dan lalai untuk menanyakan di mana Luhan, ibu, serta Tuan Kim berada.

Aku ingin kembali dan bertanya kepada pusat informasi sebelum aku menemukan Tuan Kim berjalan di ujung koridor, tangannya masing-masing menggenggam sekaleng minuman isotonic dan hendak berbelok ka arah kanan sebelum aku berlari mengejarnya dan menyerukan namanya dengan nafas terengah.

Lelaki itu nampak terkejut dengan kehadiranku di rumah sakit. Dia pasti lupa bahwa aku ingat letak rumah sakit milik rekan ayah itu.

"Apa yang kau lakukan di sini Tuan Muda Byun Baekhyun?"

Aku berusaha mengatur nafasku dan melirik sekaleng minuman isotonic di tangannya. Seakan mengerti, kaki tangan ayahku itu memberikan sekaleng minuman itu padaku.

"ini untukmu Baekhyun."

Dengan cepat aku membuka kaleng itu dan meneguknya cepat. "terima kasih. Sebenarnya akan kau berikan kepada siapa minuman ini?" aku mengangkat kaleng minuman yang kupegang.

"untuk saya."

Aku mengernyit. "lalu yang kau pegang untuk siapa?"

Tuan Kim tersenyum dan merangkul bahuku dan mengajakku berjalan.

"untuk saudara mu."

Aku baru sadar jika minuman di tangan Tuan Kim adalah minuman isotonic rasa jeruk, rasa kesukaan Luhan. Sedangkan yang ku minum tadi rasa original.

"maaf telah membuatmu kehilangan minumanmu Tuan Kim."

"it's okay."

Aku benar-benar menyesal karena telah membuatnya gagal minum dan aku tahu Tuan Kim pasti sangat lelah sehingga harus membeli minuman isotonic agar tubuhnya tidak terasa lelah.

Saat berbelok di ujung koridor, aku mendapati Luhan yang sedang duduk sendiri di depan ruangan dan ia sedang memainkan ponselnya. Aku langsung melepas rangkulan Tuan Kim di pundakku dan berlari cepat hingga hentakan sepatuku terdengar menggema di koridor dan membuat Luhan mendongakkan kepalanya untuk menatapku.

Ia berdiri dan ikut berlari ke arahku dan kami pun segera berpelukan saat itu juga. Sungguh aku begitu merindukan saudara kembarku ini.

"astaga, aku sangat khawatir saat aku pulang dan mendapati rumah kosong dan ternyata kau ada di rumah sakit."

"aku tak apa Baekhyunie."

Pelukan kami terlepas saat Tuan Kim menyodorkan kaleng minuman milik Luhan. Aku tersenyum saat melihatnya minum dengan cepat. Tampaknya ia begitu kehausan.

Tiba-tiba pintu ruangan di mana Luhan duduk di depannya tadi terbuka menampilkan ibu yang tersenyum teduh menatap kami. Beliau menghampiri kami dan mengelus rambutku sayang.

"Luhan hanya mengalami anemia, dia kekurangan darah karena kelelahan."

Mendengar ucapan ibu, sungguh hatiku lega sekali karena Luhan tidak mengalami hal serius. Aku memeluk Luhan dengan sangat erat.

"sudah kubilang, kau harus istirahat yang cukup dan jangan selalu pulang terlambat hanya untuk membaca buku di perpustakaan."

Kami berempat segera pulang ke rumah dan aku menyuruh Luhan untuk cepat tidur setelah makan malam.

Aku menutup pintu yang dapat menghubungkan kamarku dengan kamar Luhan. Setelah itu aku menuju kamar mandi di depan kamar kami untuk menyikat gigi.

Saat itu sudah pukul 10 malam dan aku baru ingin pergi tidur saat memastikan semua tugas sekolah Luhan telah aku selesaikan.

Dan aku mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumah dan dapat kuyakini ayah pulang. Begitu pintu utama terbuka, aku mendengar ayah yang disambut oleh ibu dan mereka memasuki kamar dengan raut wajah ibu yang sedikit lebih pucat dari biasanya. Aku yang berada di lantai dua dapat melihat semua yang terjadi dan aku dapat melihat ibu yang memasuki kamar terakhir dan tidak menutup pintu dengan rapat sehingga aku dapat melihat sedikit kejadian apa yang terjadi di dalam kamar ayah dan ibu.

Di sana terlihat ibu yang mengeluarkan sebuah kertas berwarna hitam dari amplop coklat dan terlihat ingin menangis. Ayah terlihat sangat syok saat membaca kertas hitam itu. Aku tak tau apa yang ibu berikan pada ayah karena setelah itu ibu tiba-tiba melihat ke arahku dan nampak terkejut. Kemudian ibu keluar dari kamarnya dan bertanya kepadaku.

"mengapa kau belum tidur Baekhyun?"

Aku menggeleng dan segera turun ke bawah untuk menemui ibu.

"aku merindukan ayah, bu."

Ibu mengusap sayang kepalaku dan berkata bahwa besok ayah akan menemaniku dan Luhan untuk berangkat sekolah karena ayah akan cuti besok. Aku tersenyum dan memeluknya kemudian kembali ke kamar untuk tidur.

.

Something will change with the presence of a person. –AuthorQuote

.

Aku mengetahui sesuatu tentang sekolah menengah atas di mana perjalanan cinta seseorang akan dimulai.

Ibu dan ayah sepertinya memang tak pernah mau memisahkan aku dengan Luhan karena kami selalu bersekolah di tempat yang sama meskipun di kelas yang berbeda.

Aku sangat senang karena sejak kecil kami tak pernah berpisah bahkan saat kami beranjak dewasa pun kami selalu di antar sekolah oleh mobil yang sama.

Namun sesuatu mengubah hidupku menjadi lebih indah dan berwarna. Dia teman sekelas Luhan dan aku mengetahuinya saat mengajak Luhan ke kantin bersama.

Aku melihatnya duduk tepat di belakang bangku Luhan dan sedang memainkan ponselnya. Mungkin karena ia merasa sedang dipandangi olehku, kemudian ia mendongak dan mata kami bertemu.

Ia nampak terkejut dengan kehadiranku di sebelah Luhan. Aku menebaknya bahwa ia tak tahu jika Luhan mempunyai saudara kembar.

"Luhan?" tanyanya ke arahku. Dan Luhan menoleh ke arah lelaki itu. Seakan mengerti, Luhan tertawa dan merangkul pundakku. "Ini Byun Baekhyun, kakak kembarku Park Chanyeol."

Dan sejak saat itu aku selalu mengingat namanya dalam hatiku. Park Chanyeol.

.

I'll do anything as long as you're happy. –AuthorQuote

.

Aku mengerti perasaanku pada Chanyeol sebesar aku mengerti perasaan Luhan kepada Chanyeol. Dan baru kali ini aku menyesal mengapa aku selalu ditakdirkan untuk memiliki sesuatu yang sama dengan Luhan termasuk perasaan yang sama terhadap orang yang sama.

Awalnya aku ingin mengatakan kepada Luhan tentang perasaanku pada Chanyeol di suatu malam hari dalam sesi curhat kami di kamarku. Aku ingin Luhan membantuku untuk dekat dengan Chanyeol.

Namun aku terlambat melakukannya. Luhan menarikku ke dalam pelukannya dan ia berkata riang tentang sebuah rahasia.

"aku sungguh sangat menyukainya Baekhyun! Saat ia berada di dekatku, rasanya jantungku akan meledak saat itu juga." Ucapnya berseri-seri.

Aku menatap nanar pada matanya yang berbinar saat menceritakan orang yang disukainya dan sialnya orang yang kusukai pula.

Percayalah, itu pertama kali aku berpikir egois padanya karena aku bermaksud akan mengatakan perasaanku pada Chanyeol terlebih dahulu sebelum dirinya. Tetapi sebuah fakta sangat menamparku keras saat itu juga.

"sayang, Luhan. Adik kembarmu sakit Baekhyunie." Ibu mengatakan itu dengan tangan bergetar dan tanpa menatapku.

Awalnya aku tak mengerti saat ibu mengajakku makan siang di restorannya berdua tanpa Luhan karena saudaraku itu sedang bermain di rumah temannya. Ibu berkata ingin mengatakan sesuatu yang penting padaku. Dan aku sama sekali tidak berpikir bahwa sesuatu yang penting itu adalah tentang penyakit yang diderita saudara tersayangku.

Ibu menunduk menatap butiran granula di cappuccino nya. Aku masih menatap tidak percaya pada ibu.

"apa maksud ibu dengan 'sakit'?"

Ibuku menghela nafas. "kanker darah."

Aku membulatkan mata tak percaya. "sejak kapan Bu?" aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara yang bergetar di hadapan ibu.

"sejak kalian duduk di bangku akhir sekolah menengah pertama."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. 'sudah hampir satu tahun?'

"apakah saat di rumah sakit itu bu? Tolong jelaskan padaku."

Ibu mengangguk. "ya, saat itu Luhan melakukan foto rontgen pada tubuhnya dan tidak terdapat hal-hal aneh. Luhan juga melakukan tes darah dan hasilnya akan muncul beberapa hari lagi." Ibu mengusap wajahnya kasar. Baru kali ini aku melihat ibuku begitu stress.

"beberapa hari kemudian, dokter menelpon ibu dan meminta ibu untuk datang ke rumah sakit. Beliau mengatakan bahwa hasil tes dari tes darah Luhan telah ditemukan sel kanker yang tumbuh di sel darah Luhan. Ibu benar-benar tak tahu harus bagaimana Baekhyun. Saat itu juga ibu langsung terbayang wajah saudaramu."

Aku menatap kosong pada ibu yang perlahan menangis seusai bercerita. Aku ingin menangis tetapi aku tak bisa karena aku masih terkejut dengan apa yang ibu katakan.

Seperti yang ibu katakan, aku langsung terbayang wajah seseorang yang mirip denganku.

Byun Luhan. Sekelebat bayangan dia tertawa, menangis, tersenyum, bercanda denganku, berseri-seri saat ia menceritakan rasa sukanya terhadap Chanyeol kemarin malam bersamaku, bahkan saat ia jatuh terduduk di koridor saat pertama kali ia merasa pusing.

'jadi itu semua karena ada sel kanker yang perlahan tapi pasti memakan semua kesehatannya. Astaga Byun Luhan saudaraku.'

Aku mulai merasakan mataku tergenang oleh air mata dan setetes air mata jatuh mengenai celana jeans yang kupakai. Aku mulai terisak mengabaikan semua pasang mata yang mungkin saja melihatku seperti ini.

Ibu menatapku prihatin.

"dokter bercerita bahwa sejak lahir Luhan telah memiliki sel bibit kanker lebih banyak dari orang normal lainnya. Itu sebabnya saat bayi, Luhan diberikan banyak imunisasi untuk meminimalkan peluang sel kankernya hidup dan berkembang. Tetapi sepertinya Luhan kalah jauh dengan perkembangan kanker itu. Mereka mulai membuat tubuh saudaramu melemah, dan akhirnya sel kanker itu menyerang trombositnya. Adikmu mengalami kenker darah stadium awal Baekhyun."

Aku tidak tahu perasaanku saat ini begitu ibu menyelesaikan ceritanya. Antara sedih, terkejut, marah, kecewa, dan rasa bersalah.

Luhan adalah saudaraku dan aku menyayanginya lebih dari diriku sendiri. Seluruh hidupku aku habiskan untuk selalu bersamanya bahkan sejak kami masih berada di dalam rahim ibu kami telah bersama dan saling menemani.

Dan tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa saudaraku itu mengidap suatu penyakit yang semakin hari semakin kuat dan mungkin saja suatu hari penyakit sialan itu akan merebut kehidupan adik kembarku.

Aku bahkan tak pernah sekalipun membayangkan Luhan akan meninggalkanku sendirian. Aku merasa bahwa tanpa Luhan aku tidak akan pernah hidup begitupun sebaliknya. Dan aku mendapatkan kenyataan yang amat menamparku. Kenyataan bahwa sewaktu-waktu Luhan bisa saja kalah dengan penyakitnya dan pergi meninggalkanku sendirian di dunia ini.

Tidak ada lagi orang yang mirip denganku, tidak ada lagi orang yang selalu membelaku, tidak ada lagi orang yang selalu memelukku, tidak ada lagi orang yang paling mengerti perasaanku, tidak ada lagi orang yang memiliki kebiasaan sepertiku, tidak ada lagi orang yang selalu kupeluk, kucium, dan selalu kurindukan kehadirannya.

Semua itu akan menyakitkan bagiku dan aku mengira jika semua itu terjadi mungkin aku akan mati dalam artian hidupku telah kosong tidak berarti karena separuh jiwaku ada padanya. Aku memang selalu menganggap bahwa separuh dari diriku adalah Luhan dan itu sebabnya kami menjadi saudara kembar.

"apakah Luhan akan sembuh bu?"

Aku berusaha untuk berfikir positif jika Luhan akan sembuh melalui jalan apapun.

"aku mohon Ibu, buat Luhan sembuh. Ibu harus melakukan apapun agar Luhan bebas dari kanker itu." Aku menggenggam tangan ibu erat sekali.

"aku mohon, jangan biarkan Luhan meninggalkanku. Aku mohon. Dia saudara kembarku, aku selalu ingin bersamanya bu, aku mohon." Aku mulai merengek dan membiarkan air mataku mengalir deras melalui pipiku. Ibu mengusap air mata di pipiku lembut, aku melihatnya jelas bahwa mata ibuku memerah.

"ibu akan lakukan sayang, Luhan adalah orang yang berarti untuk kita bukan?" aku mengangguk dan berharap Luhan akan kuat mengahdapi hal ini.

"apakah Luhan sudah tahu tentang penyakitnya?" ibu menggeleng dan aku mengelus punggung tangannya.

"ibu harus katakan kepada Luhan agar dia berusaha untuk mengalahkan penyakitnya."

Aku tidak tahu bagaimana reaksi Luhan. Karena yang pasti pada saat ibu mengatakan semuanya pada Luhan keesokan harinya, aku memilih untuk melihat semuanya dari lantai atas rumah kami sedangkan Luhan, ibu, dan ayah sedang berbicara di lantai bawah tepat di ruang keluarga.

Aku yakin keputusanku untuk tidak mendengar percakapan mereka jauh lebih baik daripada mendengarnya secara jelas dan menatap wajah Luhan yang terkejut dan perlahan pandangannya berubah menjadi kosong saat ayah memeluknya.

Sungguh aku tidak kuat sampai harus mengeluarkan air mataku lagi. Aku tidak tega kepada saudaraku. Mengapa orang yang sangat baik dan lembut sepertinya harus memiliki penyakit yang amat ganas itu.

Dengan cepat aku memasuki kamarku dan mengunci seluruh pintu masuk tidak terkecuali pintu yang menghubungkan kamarku dan kamar Luhan. Lalu aku mencari buku diary yang sengaja aku sembunyikan dan tidak diketahui keberadaanya oleh Luhan.

Kemudian aku keluar rumah melalui pintu belakang secara diam-diam menuju rumah pohon milikku dan milik Luhan yang dibangun oleh ayah sendiri sebagai hadiah ulang tahun kami yang ke 10. Aku mulai memanjat pohon rindang itu dan setelah sampai di atas, aku menatap apapun yang ada di dalam rumah pohon kami.

Semua barang yang ada di sana cenderung milik saudaraku. Ada banyak kanvas dan alat lukis di sana. Luhan memang memiliki hobi melukis dan ia menjadikan rumah pohon ini sebagai tempatnya menyalurkan hobinya yang sangat berbakat itu.

Aku memilih untuk duduk di teras rumah pohon. Membuka buku diaryku

Dan aku mulai menulis sesuatu di sana.

February 10th 2014

Kemarin aku mendapat kabar dari ibu jika Luhan mengidap sebuah penyakit berbahaya. Itu adalah kabar buruk di awal musim semi tahun ini. Luhan mendapatkan kanker darah di tubuhnya.

Ya Tuhan. . . aku menyayangi Luhan saudaraku. Percayalah padaku. Aku berjanji tidak akan egois padanya, maka dari itu sembuhkan Luhan ku yang manis. Jangan buat ia kesakitan.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

February 18th 2014

Aku akan pulang bersama Luhan saat jam pulang sekolah telah usai. Saat kami melewati koridor, Luhan mengeluarkan darah dari hidungnya. Aku tak dapat menahan air mataku saat ia jatuh terduduk dan lemas di pangkuanku. Aku tak peduli dengan pandangan semua siswa di koridor yang melihatku menangis. Luhan.. bertahan lah… istirahatlah di rumah sakit untuk malam ini dan kembali ceria besok.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

February 28th 2014

Aku senang Luhan menjadi semakin baik setiap harinya. Ku rasa penyakit itu akan kalah karena Luhan mengonsumsi obat secara rutin. Tadi saat makan siang, aku melihatnya makan bersama Chanyeol di meja kantin. Mereka berdua nampak serasi sekali. Aku senang jika Luhan senang. Meskipun satu minggu yang lalu Chanyeol menyatakan perasaannya kepada Luhan di dalam kelas mereka, aku tak apa. Untuk Luhan akan kulakukan semua yang dia inginkan. Apapun termasuk jika dia memintaku untuk menukar penyakitnya padaku.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

March 18th 2014

Hari ini sekolah kami libur. Aku berencana untuk mengajak Luhan jalan-jalan di sekitar komplek rumah kami. Namun Luhan mengurungkan niatnya untuk ikut karena tiba-tiba Chanyeol datang menjemput Luhan untuk mengajaknya kencan. Saat itu Chanyeol menunggu di ruang tamu dan aku hanya bisa menatapnya dari lantai atas. Luhan nampak sangat manis mengenakan kemeja yang aku berikan saat kami ulang tahun yang ke 15. Aku kira hari ini menjadi sangat baik, namun saat Luhan pulang dari kencannya bersama Chanyeol pukul 7 malam, ia mengeluh pusing dan darah lagi-lagi keluar dari hidungnya. Luhan ada di rumah sakit hari ini.

Aku menyayangimu saudaraku, kuharap kau baik-baik saja.

.

March 25th 2014

Dokter berkata bahwa kanker di sel darah Luhan semakin berkembang. Mereka sudah mencapai stadium 2 dan hal itu membuat Luhan menjadi semakin kurus dan pucat. Aku khawatir kepadanya. Ya Tuhan.. aku mohon jangan buat saudaraku merasakan sakit.

Aku menyayanginya, Byun Luhan saudaraku.

.

April 9th 2014

Malam ini aku akan tidur di rumah sakit. Luhan sejak kemarin dirawat di rumah sakit karena kondisinya amat sangat lemah. Matanya begitu memancarkan kelelahan. Astaga, seberapa ganas penyakit itu sampai mampu membuat orang yang kusayangi begitu terlihat menyedihkan dan lelah? Andai aku bisa menggantinkanmu adikku. Aku akan mengalah agar kau tidak merasa kesakitan lagi. Bukankah seharusnya memang seorang kakak yang harus rela berkorban untuk adiknya? Andai saja Tuhan menginjinkan kau memberikan penyakit itu padaku.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

April 30th 2014

Luhan harus menjalani kemo terapi untuk mengusir kanker itu. Awalnya aku menolak dan tidak setuju karena Luhan nampak kesakitan saat menjalaninya. Berulang kali dia memuntahkan segala yang ia makan. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Dia sendiri yang mengatakannya padaku saat ayah dan ibu pulang mengambil pakaian untuknya. Aku mengatakannya pada ibu dan ibu bilang bahwa Luhan harus melakukan kemo itu agar penyakitnya sembuh. Aku sungguh tidak tega melihatnya tersiksa karena kemo terapi, tetapi di satu sisi aku ingin dia sembuh. Tolong bertahanlah sedikit lagi Luhan. Dokter berkata, kau akan menjalani kemoterapi itu sekitar satu tahun untuk membersihkan sel kanker itu pada tubuhmu.

Aku menyayangimu selalu.

.

May 5th 2014

Hari ini Luhan memaksa untuk pulang ke rumah, ia merasa sudah baikan dan untungnya dokter mengijinkan ia pulang bersama kami. Setibanya kami di rumah, aku meminta Luhan agar malam ini ia tidur bersama di ranjangku. Kami tertawa-tawa menertawakan sesuatu yang lucu saat aku berada di sekolah. Kami berpelukan erat sekali. Hei ngomong-ngomong, aku sengaja bangun untuk menulis ini tepat 5 menit sebelum kami berulang tahun hihi. Aku akan mengatakannya terlebih dahulu. Saengil chukka hamnida untukku dan saudara kembarku! ^^

Aku menyayangimu Luhan, happy Birthday untuk usia 17 tahun kita kkk~ atau bisa disebut sweet seventeen kita{} :*

.

May 6th 2014

Hari ini sangat istimewa. Pertama, kami mendapat kejutan tepat pada pukul 00.05 di kamarku. Ibu dan ayah membawakan kami kue tart yang sangat lezat. Lalu ayah dan ibu memperbolehkan Luhan masuk sekolah. Di sekolah kami mendapatkan banyak sekali kejutan dari teman-teman dan fans kami kkk. Lalu pada saat pulang sekolah, Luhan memintaku untuk menunggu karena Chanyeol akan memberikan kejutan untuk Luhan. Aku sangat menyesal karena memilih untuk mengikuti Luhan secara diam-diam. Karena yang kudapati saat itu adalah pemandangan yang menyakitkan. Itu adalah pertama kali Chanyeol yang mencium Luhan. It's okay. Aku akan mencoba melupakan Chanyeol untuk Luhan. Ngomong-ngomong, Luhan tidak mengatakan kepada Chanyeol dan semua teman-teman kami bahwa ia mengidap Kanker darah. Luhan hanya mengatakan bahwa dia jarang masuk sekolah karena ada suatu keperluan di keluarga kami yang harus ia selesaikan. Entahlah, terserah apa maunya. Aku hanya mengikutinya saja. Karena Luhan tidak memperbolehkan aku untuk mengatakan yang sesungguhnya kepada siapapun. Dia memang aneh..

Aku menyayangimu Byun Luhan, saengil Chukka untukku dan kau saudaraku ^^

.

May 10th 2014

Beberapa hari setelah hari ulang tahun kami, Luhan sedikit menghindariku. Entahlah, hanya saja ia lebih sering meninggalkanku saat pulang sekolah dan langsung menuju rumah pohon kami. Setelah aku menanyakan apa alasan ia melakukan itu padaku, ia hanya tersenyum dan memelukku erat dan setelah itu ia mengucapkan satu kata yaitu 'rahasia'. Ugh Luhan mulai berani bermain rahasia bersama saudara kembarnya sendiri.

June 1st 2014

Hari ini kami mengunjungi dokter untuk menanyakan kondisi Luhan. Dokter bilang, Luhan mengalami sedikit perkembangan. Aku senang mendengarnya. Aku harap Luhan akan bertahan untuk berperang dengan penyakit itu. Aku ingin Luhan sembuh. Aku tak ingin dia menderita.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

June 5th 2014

Luhan kembali menjalani kemo terapi hari ini. Dia memintaku untuk berada di sampingnya. Tanganku terdapat beberapa cakaran akibat ulahnya. Kkk~ rasa sakit yang dialami oleh tanganku tidak sebanding dengan sakit yang dideritanya. Dokter mengatakan bahwa perlahan pasti rambut lebat milik Luhan akan rontok akibat kemo terapi. Mendengar hal itu, Luhan sangat sedih dan ia menangis sampai membuat kemejaku basah. Aku kasihan melihatnya. Aku berpikir, pasti Luhan tidak akan bisa menyembunyikan penyakitnya lagi saat di sekolah. Teman-teman, terlebih lagi Chanyeol pasti akan curiga. Astaga Ya Tuhan.. mengapa Luhan begitu tersiksa?

Aku sangat sayang saudaraku Ya Tuhan..

.

June 20th 2014

Hari ini aku akan memotong rambutku menjadi gundul hihi. Aku melakukan itu agar aku tampak mirip dengan Luhan. Aku tak mau jika Luhan tak memiliki rambut tetapi aku memiliki rambut. Itu artinya aku tak tampak mirip dengan saudara kembarku bukan? Saat kulihat wajahku dengan potongan rambut seperti ini, aku tampak aneh. Pantas saja Luhan sedih saat mendengar rambutnya akan habis karena kemo terapi. Aku yakin besok teman-teman akan terkejut dengan penampilan baruku kkk~ selamat tinggal rambut coklatku ^^

Aku menyayangimu Byun Luhan. Saranghae.

.

June 21st 2014

Tau tidak? Hari ini Luhan diperbolehkan masuk sekolah lagi setelah empat hari kemarin ia dirawat di rumah sakit. Seluruh penghuni sekolah menatap kami aneh karena kami memotong semua rambut kami. Mungkin hanya aku yang memotong rambutku dengan sengaja. Namun teman-teman kami tetap menatap kami aneh. Luhan sejak di sekolah selalu menunduk malu. Meskipun kami berdua memakai beanie kembar, sepertinya Luhan masih malu dengan penampilan rambutnya. Setidaknya ia tidak merasa terlalu malu karena aku juga merasakan apa yang ia rasakan. Aku akan selalu menemaninya meskipun seluruh dunia tidak menyukainya.

Aku menyayangimu saudaraku. Cepat sembuh.

.

July 21st 2014

Sudah satu bulan aku memotong rambutku dan sekarang rambutku mulai tumbuh kembali. Namun berbeda dengan Luhan. Rambutnya semakin habis. Kemarin dia bercerita bahwa Chanyeol sempat menanyakan tentang rambutnya yang seperti itu. Kemudian Luhan menjawabnya dengan berbohong bahwa ia memiliki sedikit masalah dengan rambutnya, maka dari itu ia memotongnya menjadi gundul. Dan sepertinya Chanyeol tidak curiga. Aku heran, mau sampai kapan Luhan menyembunyikan penyakitnya?

Aku menyayangimu saudaraku.

.

August 3rd 2014

Awal musim gugur ini, Luhan tampak sangat senang. Hampir setiap sore aku mengajaknya jalan-jalan di sekitar komplek rumah kami. Aku sempat menggodanya karena sekarang ia jarang atau nyaris tak pernah kencan dengan Chanyeol. Tiba-tiba saja ia jadi cemberut. Sepertinya aku berkata sesuatu yang salah. Aku tahu bahwa ia baru berkencan satu kali bersama Chanyeol dan setelah itu mereka tak pernah berkencan lagi. Itu semua karena penyakit sialan itu. Mereka membuat kebahagiaan saudaraku sirna. Aku harap kau cepat sembuh Luhan.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

August 29th 2014

Dokter mengatakan kepada kami semua bahwa Luhan sepertinya kalah jauh dengan pertumbuhan kanker itu. Semuanya terjadi begitu saja dan tahu-tahu kanker darahnya mencapai stadium tiga. Kemarin setelah dokter mengatakan itu, malam harinya aku tidak bisa tidur. Aku menyelinap masuk ke kamar Luhan dan menangis manatap wajahnya yang tirus. Penyakit itu benar-benar cepat hingga membuat saudaraku melemah. Hampir setengah jam aku menatap wajahnya yang sedang tertidur pulas. Aku takut sekali Luhan kalah dengan penyakitnya. Aku takut suatu saat aku memandang Luhan yang sedang tertidur, namun saat aku membangunkannya ia tak kunjung bangun. Aku takut. Luhan tidak boleh pergi. Aku tak ingin ia pergi dari keluarga kami.

Aku selalu bersamamu. Aku menyayangimu.

.

September 12th 2014

Satu jam yang lalu, Luhan pergi berkencan dengan Chanyeol. Ini kali kedua mereka berkencan dan aku tahu Luhan sangat senang. Namun berbanding terbalik denganku. Aku menangis di dalam kamarnya. Aku membayangkan semua kemungkinan buruk yang mungkin saja suatu hari akan terjadi. Ya Tuhan.. jangan Kau buat Luhan sakit. Aku mohon aku sungguh tak tega melihatnya begitu menderita. Ia sendirian berperang dengan penyakitnya. Andai aku dapat membuat kanker itu kalah. Namun aku sungguh tak tahu caranya. Aku sungguh tak bisa melihatnya sendirian menanggung beban berat itu. Aku mohon Tuhan, jangan buat saudaraku meneteskan air mata karena penyakit itu.

Aku menyayangimu Byun Luhan.

.

October 18th 2014

Sepertinya musim dingin tahun ini sedikit lebih cepat. Hari ini salju pertama turun di Seoul dan aku senang saat Luhan tertawa senang memandang langit dari balkon kamarnya. Sepertinya mulai hari ini kami harus menggunakan pakaian tebal saat ke sekolah. Aku memandang wajahnya yang berseri-seri saat salju-salju itu turun secara perlahan. Wajahnya begitu bersinar meskipun jauh lebih tirus dari tahun lalu saat kami menatap salju pertama yang turun di kota kami seperti saat ini. Aku selalu ingin menangis saat melihat wajahnya. Oh Tuhan. Aku harap aku selalu dapat melihat salju pertama bersama saudara kembarku di tahun-tahun berikutnya.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

November 1st 2014

Luhan kembali masuk rumah sakit. Ia jatuh saat kami berjalan-jalan di taman saat sore hari. Darah kembali keluar melalui hidungnya dan dengan cepat aku menghubungi Tuan Kim. Aku sungguh tak dapat melakukan apapun saat Luhan dibawa oleh suster-suster itu menuju ambulan. Ibu langsung pulang dari restoran begitu mendengar Luhan tak sadarkan diri. Saat ibu pulang, Ibu marah kepadaku entah karena apa. Kemudian ia meninggalkanku begitu saja sendirian di dalam rumah. Mungkin perasaan ibu begitu kacau sehingga ibu marah-marah padaku. Aku mengerti dengan perasaan ibu, aku tak akan mempermasalahkannya. Yang penting Luhan sembuh dan itu sudah cukup membuatku bahagia.

Cepat sembuh Luhan.

.

November 4th 2014

Sudah empat hari Luhan tidak masuk sekolah dan dirawat di rumah sakit. Aku tak mengerti mengapa ibu tak memperbolehkan aku masuk menemui Luhan. Ayah pulang dari Tokyo kemarin dan aku memintanya untuk membujuk ibu agar aku dibolehkan masuk, namun ayah malah membentakku dan berkata padaku bahwa Luhan tidak boleh diganggu. Aku tak mengerti maksudnya dan ayah langsung menyuruhku pulang. Aku begitu merindukan Luhan. Sejak kejadian di taman saat itu, aku sama sekali tidak diperbolehkan menemui saudara kembarku. Apa ada yang salah dengan ku?

Aku merindukanmu Luhan.

.

November 26th 2014

Lusa kemarin, ibu datang ke sekolah kami dan beliau mengatakan sesuatu kepada kepala sekolah. Sepertinya ibu memberi tahu pihak sekolah tentang penyakit Luhan. Yang aku tahu, Luhan sudah tidak bersekolah di sekolah kami. Saat aku bertanya kepada ibu, ia menjawab bahwa Luhan akan melakukan homeschooling. Aku yakin hari-hariku di sekolah akan berbeda sejak saat itu. Seperti saat ini, aku akan menghabiskan waktu istirahatku untuk mengunjungi perpustakaan dan membaca buku di sana. Luhan benar-benar membuat hidupku berwarna, berbeda sekali saat ia tak ada di sampingku. Aku berharap semua ini cepat berakhir.

Cepat sembuh Luhan, aku merindukanmu.

.

December 12th 2014

Tinggal beberapa hari lagi kami akan merayakan natal. Aku senang sekali. Hari ini ayah pulang membawa pohon natal baru yang diangkut oleh mobil pick up pesanan ayah. Pohon natal kami kali ini sungguh lebih tinggi dibandingkan pohon natal kami tahun lalu. Meskipun begitu, aku tidak merasakan kesenangan berarti. Melihat Luhan terduduk di kursi roda membuatku tertohok sekali. Memang sejak beberapa minggu yang lalu, Luhan harus berada di atas kursi roda. Dan karena itu, ibu dan ayah begitu memperhatikan Luhan lebih intensif. Bahkan ayah selalu pulang sore hari hanya karena ingin merawat Luhan. Aku memang tidak tahu diri. Aku tidak seharusnya merasa iri dengan Luhan karena orang tua kami begitu memanjakan Luhan dan seperti melupakan keberadaanku di rumah ini. Jujur saja, aku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Bahkan ibu sekarang tak pernah mengingatkanku untuk makan jika aku lupa dengan jam makan ku. Aku semakin sedih saat waktuku bertemu Luhan tidak sesering dulu. Maafkan aku Tuhan, jika aku merasa orang tua kami seperti ingin memisahkan aku dengan Luhan. Aku mengerti, orang tua kami melakukan itu karena mereka ingin Luhan sembuh. Aku juga ingin Luhan sembuh, maka aku tidak akan menentang mereka. Apapun akan kulakukan. Aku memang jauh dari Luhan tetapi aku tak akan lalai memperhatikannya.

Aku menyayangimu saudaraku.

.

December 24th 2014

Malam ini adalah malam natal. Tadi kami sekeluarga pergi ke gereja di kota untuk berdoa. Luhan begitu antusias. Di gereja tempat kami berdoa, terdapat pohon natal raksasa berwarna perak yang memiliki banyak sekali pernak-pernik. Luhan begitu senang melihatnya sehingga memintaku untuk mengantarnya menuju pohon natal itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan memintaku untuk mengambil fotonya dengan ponsel miliknya. Ia begitu bersinar sekali malam ini. Seperti biasa, ia mengenakan beanie berwarna merah, baju rajutan yang sama seperti yang aku kenakan. Ia memakai warna hijau dan aku memakai warna biru. Aku tertawa saat ia memintaku untuk melakukan selca bersama di depan pohon natal. Oh astaga, aku tak akan melupakan moment indah ini. Dan saat acara berdoa selesai, aku meminta ijin kepada orang tua kami agar aku pulang sedikit terlambat dan aku memilih alasan akan berkunjung ke rumah salah satu temanku. Begitu orang tua kami dan Luhan telah pulang, aku menunggu di depan gereja sambil melihat hasil foto kami berdua yang aku simpan pada ponselku. Kami terlihat sangat mirip hehe… saat gereja telah sepi, aku kembali memasuki gereja. Aku mulai berdoa meminta kepada Tuhan agar Luhan segera sembuh. Namun aku telah melakukan kesalahan. Kesalahan fatal.

Aku begitu menyayangimu Luhan. Aku harap tahun depan, dan di tahun-tahun berikutnya aku dapat merayakan natal bersamamu.

.

And now these three remain : faith, hope, and love. But the greatest of these is love. –anonym

.

Aku menghembuskan nafasku, perlahan menyatukan kedua tanganku seraya menatap ke depan altar yang masih terdapat beberapa lilin menyala.

"Tuhan. . hari ini adalah malam natal. Malam yang suci bagi kami. Bolehkah aku meminta sesuatu pada-Mu?"

Suaraku terdengar amat lirih dan bergetar. Sepertinya aku akan menangis sebentar lagi.

"bolehkan aku meminta agar Engkau tidak memberikan Luhan beban berat itu? Aku sangat menderita saat melihatnya menderita seperti itu." Setetes air mata mulai turun dari pipiku. Aku mulai berlutut di depan altar. Memantapkan hatiku untuk meminta kepada Tuhan.

"aku sungguh berjanji pada-Mu, jika Luhan bebas dari penyakit itu, aku tak akan pernah membuatnya sakit hati atau sedih. Aku tak akan merasa iri padanya. Aku berjanji."

Hening di sekitarku membuatku merasa bahwa Tuhan benar-benar sedang mendengar doaku. Aku menghela nafas sejenak.

"apa yang harus aku lakukan agar Luhan terbebas dari sakit itu? Beri tahu aku Tuhan, aku akan melakukan apapun agar Luhan sembuh. Aku akan menukarkan nyawaku jika memang itu satu-satunya cara agar Luhan tetap hidup bahagia."

Beberapa isakan terdengar menemani setiap lantunan doaku untuk Luhan.

"aku mohon, buat Luhan tidak merasakan sakit itu lagi dan Engkau bisa meminta apapun dariku Ya Tuhan. Aku akan sanggup menerimanya."

Setelah itu kulantunkan beberapa bait doa sebagai penutup harapanku. Aku berbalik berjalan keluar dari gereja, dan sebelum itu. Aku kembali menatap altar seraya bergumam sesuatu yang membuatku bertahan sampai saat ini.

"aku mencintai saudaraku, aku mengerti Kau tahu itu Ya Tuhan."

Sesaat setelah aku benar-benar keluar dari gereja. Ponsel ku berdering dan menampilkan panggilan dari ayah.

Perlahan aku meletakkan ponselku di telinga dan dapat kudengar bentakan dari ayah ku di sebrang telfon. Aku tak tahu sejak kapan air mataku turun saat ayah kami menyebut kata 'Luhan' di kalimatnya.

"Baekhyun! Kau ada di mana?! Apa kau tahu jika Luhan tak sadarkan diri?! Cepat ke rumah sakit biasanya! Cepat kau kemari! Tidak tahu diri sekali kau keluar bersenang-senang saat saudaramu sekarat!"

Saat mendengar hal itu. Aku menyesali dua hal.

Aku menyesal karena aku salah memberikan alasan kepada orang tuaku.

Aku menyesal karena doaku yang salah. Aku takut Tuhan mengabulkan doaku.

'Terbebas dari penyakit, tidak menanggung rasa sakit lagi dan sembuh dari penyakit. Itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Luhan tidak boleh terbebas dari sakitnya, tetapi Luhan harus sembuh dari sakitnya.'

.

Aku benar-benar menyesal. Malam ini kami semua menunggu di depan ruang ICU karena begitu aku sampai di rumah sakit. Ayah menyuruhku untuk segera ke ruang ICU. Ayah menyubit lenganku hingga menimbulkan memar yang kecil. Aku meringis lalu ayah serta ibu sedikit menjauh dariku. Lebih dari 2 jam kami menunggu di depan ICU. Ibu telah terlelap di kursi tunggu, ayah menyuruhku untuk menjaga ibu sedangkan beliau membeli minuman di kantin rumah sakit.

Aku melihat raut wajah lelah di wajah orang tua ku. Apalagi ibu. Aku mengerti ibu dalam waktu dekat ini suka sekali marah padaku. Aku mengerti karena ibu melakukan itu hanya sebagai bentuk pelampiasan rasa lelahnya. Mungkin jika aku menjadi ibu, aku akan melakukan hal yang sama dengannya. Aku beranjak mendekati ibu, membenarkan letak selimut yang tadi dibawakan ayah dari mobil kami.

"ibu, maafkan Baekhyun. Maafkan semua perbuatanku selama ini." Ku kecup dahi ibu dan mulai beranjak mendekati jendela ruang ICU. Aku melihat orang yang mirip denganku di sana. Terbaring lemah dengan selang infuse dan beberapa alat yang menancap di tubuh kurusnya. Perlahan air mataku turun begitu menatap wajahnya yang damai. Mengapa ia begitu sabar dengan semua beban yang ia dapatkan? Apakah ia tak merasakan sakit? Atau mungkin ia terlalu pandai menutupi semua rasa sakitnya.

Sebuah tangan menyentuh pundakku dan aku terkejut. Melihat mata ayah yang sayu dan lelah, membuatku semakin terisak. Perlahan ayah memelukku erat dan sungguh, aku tak bisa menahan derasnya air mata yang turun melalui mataku yang sembab.

"hiks ayah.."

Dapat kurasakan bahu ayahku bergetar dan aku mengerti jika ayah menangis sepertiku.

"maaf Baekhyunie, maafkan ayah karena ayah menyakitimu." Aku segera menggeleng.

"tidak ayah! Ini bukan salah ayah. Ayah sama sekali tidak menyakiti aku, ayah justru telah menjagaku selama ini. Ayah yang berusaha agar aku tidak terluka. Terima kasih ayah, karena kau telah menjagaku."

Aku berhenti sejenak, kemudian aku melanjutkan. "terima kasih ayah, karena kau telah menjaga Luhan. Menjaga ibu dan diriku. Aku menyayangi ayah dan ibu."

Air mataku telah membasahi kaus yang dikenakan ayah.

"ya sayang, ayah juga berterima kasih padamu karena kau selalu menjaga saudaramu saat kami bekerja."

Ayah melepaskan pelukan kami dan mengusap rambutku sayang. Kami tersenyum satu sama lain dan tertawa kecil. Kami memang dekat sekali dan akan menjadi layaknya teman saat kami melakukan sesi bercerita mengungkapkan gundah di hati kami. Ayah memang pahlawan bagiku dan Luhan. Aku menyayanginya.

"mau?" ayah menyerahkan sebuah susu kotak stroberi padaku. Aku menerimanya dengan senang.

"terima kasih ayah."

Semuanya tampak begitu hangat jika kami melupakan sedikit sebuah fakta bahwa salah satu dari kami sedang berjuang melawan sakit di dalam ruang ICU. Semua kebahagiaan sejenak kami seketika lenyap saat tepat pukul 1 dini hari, dokter masuk ke ruang di mana Luhan berada. Setelah beberapa menit kemudian dokter keluar dengan memasang mimic yang jelas semua orang tahu bahwa mimic itu menunjukkan jika terdapat sesuatu yang tidak beres di dalam sana.

"Luhan kristis Tuan. Luhan tidak dapat merespon apa yang saya berikan. Sepertinya kanker itu telah menang karena sekitar dua hari yang lalu kanker Luhan telah mencapai stadium akhir. Sulit untuknya sembuh, mungkin di bawah 5%. Kalaupun dia sembuh, dia tak akan memiliki hidup yang sehat karena kanker itu telah menyerang beberapa sel saraf di tubuhnya. Semua kemoterapi yang dilakukannya sepertinya gagal. Luhan begitu lemah dan kenker itu sangat cepat pertumbuhannya. Saya sangat menyesal Tuan Byun. Mungkin hanya Tuhan satu-satunya harapan kita saat ini. Jangan paksa Luhan untuk bertahan jika dia tak mampu. Tuhan akan mempunyai rencana yang baik untuk anak anda."

Dan aku mengerti apa yang dimaksud dokter itu. Luhan saudaraku. Dia tidak akan bisa bertahan. Walaupun kami melakukan pemaksaan sekalipun.

.

Never be afraid to trust an unknown future to a known God. –Corrie Ten Boom.

.

Ayah tetap memaksa aku untuk pulang dan membersihkan diri. Padahal aku tidak ingin meninggalkan Luhan di sana barang sedetik pun. Aku yakin semua orang akan berpikiran yang sama denganku.

Apakah kau bisa pulang ke rumah, membersihkan diri, mandi, makan, berganti pakaian, seperti tidak terjadi apapun padahal kau mengetahui dengan pasti bahwa saudara, terlebih saudara kembarmu dinyatakan tidak bisa sembuh dari penyakit kanker.

Namun aku tetap saja menuruti kemauan ayah. Aku tahu ayah melakukan itu agar aku tidak merasakan kesedihan mendalam.

Aku tidak menyangka bahwa natal tahun ini adalah natal paling menyedihkan sepanjang hidupku. Tuan Kim menatapku dari spion mobil saat mobil kami berhenti di depan lampu merah.

Pandanganku kosong, aku seperti tidak memiliki semangat hidup lagi. Sejujurnya, aku iri melihat banyak orang di pinggir jalan yang kulewati, mereka terlihat bahagia merayakan natal bersama orang yang mereka sayangi. Berbeda sekali denganku. Jangankan berbahagia, bahkan merayakan natal pun serasa hambar. Aku sungguh tak bisa membayangkan diriku menjadi Luhan. Aku yang seperti ini saja sudah amat sedih, apalagi Luhan? Di hari natal, ia yang harusnya bahagia bersamaku dan orang tua kami, namun pada kenyataannya ia divonis kalah dan tidak memiliki harapan hidup lagi.

Tanpa kusadari air mata kembali turun dari mataku yang terlihat sembab karena sejak penjelasan dokter dini hari tadi, aku tak berhenti menangis.

"Tuan muda Baekhyun?"

Aku tidak membalas sapaan Tuan Kim. Entah mengapa rasanya suaraku hilang seiring kesedihanku yang mendalam.

"saya mengerti perasaan Tuan muda, karena saya pernah mengalami hal serupa."

Pada akhirnya aku menatap ke arah Tuan Kim yang padangannya tetap tertuju pada jalanan, namun aku tahu pikirannya melayang jauh seperti sedang mengingat sesuatu. Aku tertarik mendengar ceritanya.

"apakah Tuan muda ingin mendengar cerita saya?"

Aku hanya menggumam dan menyandarkan tubuhku.

"saya kehilangan adik saya saat saya berusia sama seperti Tuan muda, saat itu adik saya berusia 14 tahun. Dia adalah gadis kecil yang sangat cantik. Saya selalu menjaganya dan akan memarahi siapa saja yang berani membuatnya menangis. Namun suatu hari, saat keluarga kami dalam perjalanan menuju rumah nenek di Busan, mobil kami mengalami kecelakaan."

Aku terdiam mendengar cerita Tuan Kim. Aku tak menyangka ternyata Tuan Kim memiliki masa lalu yang amat menyedihkan jika diingat.

"kedua orang tua saya selamat dan hanya mengalami luka kecil. Saya mengalami sedikit patah tulang di lengan kiri, namun adik saya yang cantik itu, dia kritis."

Aku terkejut mendengarnya.

"mengapa hanya adik Tuan Kim saja yang terluka parah?" tanyaku dengan suara yang lirih. Dapat ku lihat dari spion depan, wajah Tuan Kim terlihat muram.

"dia lupa mengenakan sabuk pengaman saat di dalam mobil. Kepalanya terbentur keras dan menyebabkan pendarahan parah. Dia dibawa ke rumah sakit. Kritis selama satu malam, dan keesokan harinya ia tidak bisa bertahan lebih lama."

Tuan Kim melirikku dari atas spion dan tersenyum tipis.

"awalnya, saya tidak ingin adik saya pergi. Namun begitu memikirkannya kesakitan berada di ruang ICU dengan alat-alat medis, dia terlihat begitu menyedihkan, saya berusaha menerima jika dia tidak kuat dan pada akhirnya meninggalkan kami."

Entah mengapa aku mengerti apa yang dirasakan Tuan Kim dahulu.

"percayalah Tuan muda, Tuhan memiliki rencana yang amat baik. Tuan muda Luhan pasti akan bahagia. Tuhan selalu memberi kebahagiaan kepada setiap manusia."

Aku hanya diam tanpa tahu apa yang harus aku keluarkan dari bibirku. Aku tetap tidak bisa menerima apa yang diucapkan oleh Tuan Kim, tapi di sisi hatiku paling dalam, aku tak mau Luhan terus menerus seperti itu.

Tiba-tiba air mataku kembali keluar dan Tuan Kim menyadarinya.

"Mungkin memang awalnya anda tidak mungkin menginginkan itu, namun percayalah pada saya Tuan, pada akhirnya Tuan akan memilih kebahagiaan Tuan muda Luhan. Seperti apa yang terjadi kepada saya dan adik saya."

Tidak. Aku tidak bisa membayangkan sedikit pun Luhan pergi. Aku begitu menyayanginya.

"saya juga menyayangi adik saya. Kim Seulmi, dia adalah adik saya yang paling istimewa. Bahkan sampai sekarang, dia masih hidup di dalam hati saya."

Aku menunduk tak mengerti dengan apa yang terjadi dalam hatiku. Tuan Kim sepenuhnya benar. Namun aku tetap tak bisa menginginkannya. Aku sangat paham bahwa aku egois untuk saudaraku. Aku menuntut agar dia berjuang melawan sakit untuk selalu dapat hidup bersamaku, namun aku sama sekali tak mengerti apa yang dia rasakan saat berjuang sendirian.

Tapi aku harus apa?

Tak mudah melihat dia yang selama ini berada di sampingmu, dan secara tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Luhan adalah hidupku Tuan Kim. Bagaimana bisa aku membiarkan hidupku mati begitu saja?"

"Tuan muda Luhan tak akan pernah mati, justru dia akan semakin hidup di dalam diri anda, Tuan muda Baekhyun. Saya tidak bermaksud membuat ini semua sulit bagi anda, namun Tuan muda Luhan memang sepertinya sudah harus merasakan kebebasannya."

Aku tidak yakin hidupku akan berjalan dengan baik saat tak ada sosok nya di sampingku.

.

Luhan tetap berada di rumah sakit hari ini. Dan ibu entah mengapa selalu memaksaku untuk tetap masuk sekolah. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa aku sekolah di saat saudara kembarku sedang di ambang batas hidupnya?

Tetapi aku paham betul. Ibu memaksaku sekolah hanya untuk membuatku tidak terlalu memikirkan Luhan dan tidak selalu dilingkupi perasaan sedih yang mendalam. Namun sepertinya semua usaha ibu sia-sia. Nyatanya seharian ini aku memilih untuk bersembunyi di perpustakaan dengan mata merah dan membengkak parah. Wajahku amat kacau dan pucat. Bahkan rambutku sama sekali belum tersentuh sisir sejak kemarin.

Aku membayangkan semuanya dan sepertinya aku mulai gila. Sekarang Luhan masih berada di sekitarku tetapi ia tidak sadarkan diri dan berada di rumah sakit. Dengan kondisi seperti ini saja, bagiku sekolah tidak ada artinya. Semuanya tampak maya di pandanganku.

Dan aku belum atau tidak bisa membayangkan apa jadinya hidupku jika Luhan telah benar-benar pergi. Pergi ke dunia yang berbeda denganku dan kami tak akan pernah bertemu lagi.

Semua itu membuatku jatuh dalam lamunan berjam-jam hingga bel pulang sekolah berbunyi menandakan pembelajaran hari ini telah usai.

Aku bergegas keluar dan tanpa disangka saat aku berjalan hendak menuruni tangga, ada sebuah tangan yang memegang tangan kiriku dan membawaku cepat menuruni tangga. Dan aku tak tahu sejak kapan Chanyeol telah berada di depanku dan membawaku begitu saja menuju taman belakang sekolah.

"katakan padaku semuanya. Katakan semua yang tidak ku ketahui Byun Baekhyun." Desisnya tajam dan penuh amarah.

"apa maksudmu?"

Chanyeol mendecih.

"mengapa Luhan berada di kursi roda?" ucapnya telak. Aku terkejut tentu saja karena sejauh ini tidak ada murid di sekolah yang mengetahui apa yang terjadi pada saudaraku.

Aku terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa.

"kau mungkin melupakan suatu fakta bahwa keluarga ku pergi ke gereja yang sama dengan keluargamu Byun Baekhyun."

Ia mencengkram erat lengan kiriku.

"akh- lepaskan Chanyeol-ssi. Ini sakit!"

"apa yang menyebabkan dirimu jatuh berlutut di depan altar? Memohon dan mengucapkan sesuatu dengan penyakit? Katakan semua padaku!"

Aku menangis tersedu. Aku tidak menangis karena cengkraman tangan Chanyeol, melainkan aku menangis karena aku tak dapat menutupi ini semua dari Chanyeol. Semua kesedihanku dan Luhan.

"Luhan sakit parah kan?!" Chanyeol membentak tepat di depan wajahku. "mengapa kau tak pernah memberi tahuku tentang ini?! Kau tahu aku adalah kekasihnya Byun Baekhyun, dan aku berhak tahu apa yang terjadi pada kekasihku!"

Aku menatap nyalang ke arahnya. Mungkin ini sudah saatnya Chanyeol tahu tentang Luhan, lagipula sejujurnya aku sudah lelah menyembunyikan kenyataan ini.

"aku bertanya kepadamu." Aku berusaha untuk kuat menatap mata Chanyeol. Dia masih menatapku tajam meminta penjelasan padaku. Aku sedikit mengatur nafasku yang serasa tercekat.

"Apa penyebab kau tidak mengetahui penyakit yang diderita saudaraku? Karena saat kau bertanya kepada Luhan, ia tak menjawabmu bukan? Lalu kau menyalahkan diriku, mengapa aku tak memberi tahu tentang hal ini kepadamu. Alasannya sudah sangat jelas Chanyeol-ssi, karena Luhan tak ingin orang-orang mengetahui penyakitnya."

Chanyeol tetap tak bergeming.

"apa yang Luhan katakan padamu saat kau bertanya padanya akan aku katakan juga kepadamu saat kau bertanya kepadaku. Itulah permintaannya. Jika Luhan melarangku memberitahu penyakitnya padamu, lalu aku harus apa? Aku tak akan bisa melawan apa yang Luhan inginkan."

Aku telah benar-benar berurai air mata saat mengatakan semuanya kepada Chanyeol. Lelaki yang ada di hadapanku hanya terdiam, tangannya melepas tanganku secara perlahan. Aku berpikir pasti dia terkejut mendengar penuturanku.

"Kau tak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi diriku Chanyeol-ssi. Luhan adalah diriku dan sejak aku tahu penyakit itu perlahan akan membunuhnya, aku pasti akan kehilangan diriku juga. Aku tidak memikirkan apapun lagi selain membuat setiap detik aku bersamanya akan selalu berarti bagi kami berdua."

Chanyeol masih terdiam sedangkan aku terus sesenggukan menceritakan semua tentang keluh kesahku terhadapnya.

"Aku selalu menangis jika mengingat bahwa Luhan akan meninggalkanku suatu hari nanti. Aku takut jika aku tak bisa berbuat banyak saat dirinya tak ada lagi bersamaku."

Aku berhenti sejenak untuk mengatur nafasku yang memburu.

"bagaimana jika kau mempunyai satu orang yang selalu bersamamu bahkan sejak kau lahir ia selalu bersamamu, menemanimu, di sampingmu, lalu suatu hari tahu-tahu dokter mengatakan bahwa orang itu sudah tidak mempunyai harapan hidup lagi. Bahwa orang itu seharusnya sudah meninggalkanmu sejak hari-hari kemarin dan alasan ia bertahan sampai saat ini hanya karena sebuah alat? Apakah kau tak menangis melihatnya tergantung oleh alat-alat rumah sakit, berada di antara kenyataan dia akan mati atau hidup?"

Aku sedikit menghapus lelehan air mataku sebelum melanjutkan,

" Aku selalu ingin merasakan sakitnya, aku merasa bukan sebagai saudara kembarnya saat mengetahui sebuah fakta bahwa Luhan menanggung kanker sialan itu sendirian dan aku tidak menemaninya menanggung penyakit itu."

Chanyeol maju satu langkah kepadaku.

"Jadi, apakah Luhan tak dapat bertahan?"

"aku tak ingin mengatakannya."

"antar aku kepada Luhan, Baekhyun-ssi. Aku mohon."

.

I just want you to be fine. Do not think about me. –authorquote

.

Pukul 5 sore aku sampai di depan rumah sakit tempat Luhan berada. Aku menunggu Chanyeol. Aku sudah bertekad akan mempertemukan Luhan dengan Chanyeol. Aku tahu sekali, Luhan sangat merindukan kekasihnya karena beberapa hari sebelum natal, Luhan mengatakan padaku bahwa ia sebenarnya ingin merayakan malam natal bersama Chanyeol.

Aku hanya tersenyum getir mengingatnya. Sadar akan fakta yang terjadi saat ini membuatku tak berdaya.

Tiba-tiba saja Chanyeol sudah berdiri tepat di depanku. Ia mengulas senyuman tipis kepadaku.

"Kau baik-baik saja?" terdengar nada khawatir di pertanyaannya padaku yang mana anehnya membuatku merasa hangat.

Dan aku segera tersadar bahwa lelaki di depanku ini adalah kekasih dari saudaraku.

Kami segera memasuki rumah sakit untuk menemui Luhan. Kami terdiam saat berjalan di koridor rumah sakit yang sedikit ramai. Dan tak lama kami sampai di depan ruang VIP tempat Luhan dirawat.

"di mana orang tua kalian?"

"ayah sedang di kantor, sedangkan ibu berada di rumah untuk berganti pakaian."

Chanyeol mengangguk, "baiklah, aku akan masuk." Aku hanya mengangguk.

Saat Chanyeol masuk ke dalam, aku sengaja tidak membiarkan pintunya tertutup sempurna. Aku hanya ingin mencuri dengar sedikit apa yang akan dibicarakan Chanyeol dengan saudaraku.

Aku dapat mengintip sedikit bahwa Luhan membuka matanya saat Chanyeol perlahan duduk di kursi sebelah ranjangnya.

Luhan tersenyum lemah.

"Luhan."

"Chanyeol, kau datang."

"Ya aku datang. Aku merindukan kekasihku."

Ku lihat dari balik punggung Chanyeol, Luhan terkekeh kecil. Aku tak sanggup menatap wajahnya yang sangat tirus itu. Membayangkan matanya yang cekung dan terlihat mengerikan.

'astaga. Apakah itu dirimu saudaraku?'

Aku memilih untuk tidak melihat ke dalam, hanya mendengar apa yang mereka katakan saja.

"Chanyeol, maafkan aku. Apakah Baekhyun-"

"Iya, Baekhyun yang memberi tahu. Dan mengapa kau menyembunyikan hal ini kepadaku Luhan? Aku sedih sekali."

"maafkan aku,"

"aku sudah memaafkanmu. Asalkan kau sembuh dan kembali bersamaku."

Aku tak mendengar suara Luhan untuk beberapa detik.

"ya, baiklah."

Aku terdiam mendengar penuturan singkat Luhan. Aku mengerti pasti Chanyeol sedih mendengarnya.

"Chan, bolehkah aku meminta padamu?"

"hhm, tentu saja. Katakan."

"tolong belajarlah untuk mencintai Baekhyun."

"Apa? Apa maksudmu? Aku hanya mencintaimu Luhan, mengapa kau meminta itu padaku?"

"aku mohon Chanyeol. Baekhyun adalah diirku jadi jika kau mencintaiku, maka kau juga harus mencintai Baekhyun."

"maaf Luhan, aku tak bisa."

"Aku mohon hiks."

Luhan menangis, aku mendengar isakannya.

"Aku mohon Chanyeol. Apa kau tahu apa yang membuatku takut untuk mati? Aku takut saat aku tidak ada di dunia ini, tidak akan ada lagi orang yang akan menjaga Baekhyun. Tidak ada lagi orang yang akan mencintai Baekhyun, tidak ada lagi orang yang akan menyayangi Baekhyun. Tidak akan lagi yang akan menyayanginya sebanyak aku menyayangi Baekhyun."

Luhan berhenti sejenak sebelum melanjutkan.

"aku takut Baekhyun sendirian di dunia ini tanpaku. Aku adalah satu-satunya orang terdekatnya, bahkan tidak dengan orang tua kami. Setiap hari hampir seluruh waktu hidupku selalu berjalan bersamanya di sampingku. Aku takut, saat aku mungkin saja pergi, Baekhyun akan merasa sendiri tanpa ada orang yang menjaganya seperti aku menjaganya. Aku mohon padamu Chanyeol.."

Aku sungguh tak mengerti mengapa Luhan harus seperti itu pada Chanyeol. Dia melakukan semua itu demi aku? Demi aku yang bahkan tak pernah melakukan apapun untuknya. Sedangkan dia melakukan itu –meminta kepada Chanyeol, untukku?

"aku mohon Luhan, jangan buat aku merasa berat untuk semakin melepasmu.. hiks" Aku menahan sekuat mungkin agar tangis dan isakan ku tak terdengar dari dalam.

"Cintai Baekhyun. Jadikan dia kekasihmu, dan jadikan dia layaknya saudara kembarmu. Aku tahu ini sulit untukmu namun aku memohon padamu Chanyeol. Aku tak mau Baekhyun sendiri. Dia kakak terbaikku. Dia yang selama ini selalu berkorban untukku, bahkan dia mengorbankan perasaannya padamu hanya agar aku bisa menjadi kekasihmu."

Mengapa Luhan harus mengatakan hal itu pada Chanyeol? Dan dari mana Luhan tahu aku menyukai Chanyeol?

"darimana kau tahu jika saudaramu menyukaiku Luhan? Jangan asal bicara." Pertanyaan Chanyeol mewakili sebagian pertanyaanku.

"Aku tahu karena aku saudara kembarnya. Bahkan aku mengerti apa yang hatinya katakan hanya dengan memandang matanya saja."

Aku tidak menyangka Luhan begitu mengerti diriku. Ini benar-benar menamparku telak karena sebuah fakta bahwa orang itu akan meninggalkanku tidak lama lagi. Ya Tuhan..

"Dia mengorbankan banyak waktunya hanya untuk merawatku. Dia mengorbankan tubuhnya sakit karena ulahku, karena bekas cakaran dariku saat aku tidak kuat menahan rasa sakit menjalani kemoterapi. Dia mengorbankan rambutnya menjadi gundul hanya agar aku tidak malu saat ke sekolah. Bukankah dia orang yang sangat menyayangiku dengan tulus Chanyeol? Bahkan saat kami masih kecil, dia pernah berjanji suatu hal padaku, bahwa dia akan selalu menemaniku meskipun seluruh dunia menjauhiku."

Aku terisak sambil menggigit keras bibir bawahku, aku berani bersumpah bahwa apa yang aku lakukan terhadap Luhan seperti yang ia ucapkan tadi tidak ada apa-apanya daripada apa yang sudah dia lakukan padaku selama ini.

"Ku mohon Chanyeol. Saat aku pergi nanti, aku tidak bisa membalas semua pengorbanan saudaraku. Aku tidak bisa lagi membalas semua rasa sayang dan cintanya kepadaku. Aku tak bisa lagi menjaganya seperti dia yang diam-diam selalu menjagaku dari jauh. Baekhyun adalah kakak dan saudaraku yang terbaik. Dan aku berharap di kehidupan selanjutnya, Tuhan akan menjadikan Baekhyun sebagai saudaraku lagi agar aku bisa berbuat kebaikan untuknya."

"Luhan.. jangan berbicara seperti itu. Kau akan sembuh." Suaraku teredam oleh telapak tanganku, bergetar, menahan segala rasa sedih di dalam hatiku. Sungguh, tidak ada hal paling menyedihkan dalam hidupku selain saat ini.

"apakah Chanyeol mencintaiku?"

"tentu saja aku mencintaimu Luhan."

"maka dari itu, jika kau mencintaiku aku mohon gantikanlah aku untuk menjadi saudara kembar bagi Baekhyun. Cintai dia Chanyeol. Cintai Baekhyunku di dunia ini saat aku sudah pergi, jaga dan cintai malaikatku."

Aku sudah tak kuat dengan semua ini dan langkah kakiku membuatku menjauh dari ruang rawat Luhan. Sungguh hatiku terasa sesak kala saudaraku mengatakan semua itu.

Taman rumah sakit yang lumayan ramai menjadi tempatku menenangkan diri. Aku melihat seorang gadis kecil duduk di kursi rodanya. Aku menghapus semua air mata di wajahku dan mulai menghampirinya yang berada tepat di bawah pohon. Gadis kecil itu memberi makan ikan-ikan di kolam dengan senang.

"Hai teman kecil, apa yang kau lakukan?"

Ia mendongak menatapku dengan iris berwarna emasnya, cantik sekali.

"Aku sedang memberi makan ikan koi itu, Oppa." Aku mulai duduk bersila di sampingnya. "mereka sangat lucu, bagaimana menurutmu?" tanyaku.

Ia mengangguk lucu hingga poni lurus di dahinya bergoyang. Rambutnya aneh, brunette di bagian atas dan sedikit pirang di bagian bawah.

"kau terlihat seperti bukan korea asli?" tanyaku penasaran. Ia menatapku dan di detik berikutnya ia tersenyum hingga matanya melengkung dengan indah.

"Ayahku seorang dari Kanada."

"Ah aku mengerti. Siapa namamu?"

Ia mengusap kedua tangannya pada celana rumah sakit sebelum mengulurkan tangan kanannya padaku. Tingkahnya benar-benar lucu dan polos. Aku jadi teringat dengan Luhan.

"Baylee , tetapi aku memiliki nama Korea." Ucapnya semangat setelah aku membalas uluran tangannya yang mungil.

"benarkah?" ia mengangguk semangat. "bolehkah aku tahu?"

"tentu saja! Nama korea ku adalah Park Gabi."

"nama yang bagus dan cantik. Sepertimu." Ia tersenyum lucu. Kemudian ia beralih menatap ikan-ikan di hadapan kami. Aku penasaran. Mengapa ia terlihat sendiri dan tidak ada siapapun di sekitarnya. Maka aku memberanikan diri untuk bertanya pada gadis kecil itu.

"Apa kau sendiri? Lalu, di mana keluargamu?" Baylee tersenyum tanpa menatap wajahku. Lama sekali ia tak menjawab hingga membuatku begitu penasaran dengan sosoknya. Namun baru saja aku akan bertanya kembali, ia menyela dengan cepat sebelum aku mengeluarkan sepatah kata.

"Ayah sedang di Kanada dan Ibu sedang bekerja di Mokpo. Bibiku kemarin malam menjengukku, namun ia kembali pulang untuk merawat anaknya di rumah."

Aku tercengang. "kau punya saudara?" dan gadis kecil itu mengangguk.

"di mana dia?"

Baylee menatap mataku dalam. Senyumnya terasa hambar dan seperti terdapat kesedihan di dalamnya.

"Bella ada bersamaku setiap hari. Nama kakakku adalah Bella." Aku tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. "Bella? Apakah sekarang dia ada bersamamu? Di mana? Mengapa aku tak melihatnya?"

Tangan mungil itu menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung. Kemudian ia berujar lirih padaku. Senyumnya semakin memudar seiring aku mendengar pengakuannya.

"Bella ada di dalam hatiku. Kata ibu, pada saat usiaku menginjak empat tahun, aku nyaris kehilangan nyawaku karena penyakit jantung dari lahir. Aku tak kan bertahan kecuali ada seseorang yang mendonorkan jantungnya padaku…"

Aku menatap mata emas gadis di sampingku. Mata itu berkaca-kaca. Sedikit aku mengerti apa yang ia rasakan.

"..Bella akan menjengukku di rumah sakit. Namun ia bersama supir kami mengalami kecelakaan. Bella tidak sadar selama tiga hari. Dan saat mendengar bahwa Bella meninggal, aku juga tidak sadarkan diri. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan tiba-tiba saja aku terbangun dengan sebuah jantung baru di dalamku. Ibu menjelaskan semuanya padaku meskipun aku kurang mengerti, beliau mengajakku ke makam Bella."

Gadis itu telah menangis tapi tak ada suara isakan yang ia keluarkan.

"Aku sedih karena sejak saat itu aku tak pernah mengunjunginya lagi. Ibu membawaku pindah ke Korea dan tak pernah kembali ke Kanada. Aku sedih karena Bella pasti sendirian di sana."

Tangan kecil itu menghapus sendiri air mata yang meluncur di pipinya yang putih.

"berapa usiamu?"

"Sembilan tahun."

"Lalu, kau dan Bella selisih berapa tahun?"

"dia satu tahun lebih tua denganku. Orang tua kami selalu berkata bahwa kami seperti saudara kembar. Aku begitu menyayanginya."

Aku mengangguk mengerti mendengar penjelasannya. "mengapa kau ada di rumah sakit?"

Ia tertawa kecil. "aku terjatuh dari sepeda. Lihat kakiku Oppa!" aku menatap kaki kanannya yang terbalut gips putih. Aku mengacak rambutnya gemas. "lain kali berhati-hatilah."

Ia mengangguk. "Aku harus kembali ke kamarku, sampai jumpa, Oppa!"

Aku membantunya untuk sekedar memutar kursi rodanya. Ia berterima kasih padaku dan mulai menjalankan kursi roda dengan tangannya.

Mataku menatap kolam ikan tempat Baylee memberi makan ikan-ikan koi itu. Pandanganku kosong memikirkan sesuatu. Ternyata setiap orang memiliki kisah yang menyedihkan. Aku teringat dengan cerita Tuan Kim. Beliau juga kehilangan saudara kandungnya, dan beliau bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Begitupun dengan Baylee.

Tetapi aku tak yakin dapat seperti mereka. Ini berbeda. Luhan bukan hanya sekedar saudara kandung, namun ia adalah saudara kembarku. Dia hidup selalu bersamaku sepanjang hidup.

"Aku mohon saudaraku, bertahanlah. Jangan meninggalkanku. Aku janji akan melakukan apapun yang kau minta asalkan jangan kau pergi meninggalkanku. Aku mohon Byun Luhan, aku tidak tahu bagaimana hidupku jika bagian hidupku yang lain pergi dan tidak akan kembali."

"Aku janji Luhan, aku mohon. Aku takut menghadapi semua ini sendirian tanpa ada kau yang menemaniku. Astaga Luhan.."

Aku benar-benar merasa stress dengan semua masalah ini, membuatku tak dapat berpikir jernih lagi. Sungguh semua ini membuatku tertekan sampai ke dasar hatiku.

"Apa yang harus aku lakukan agar Tuhan tak mengambilmu dariku? Hiks.. Hiks.."

Matahari mulai tenggelam hingga memancarkan sinar kuning kemerahan yang menghiasi langit. Gedung rumah sakit yang berkaca membuatku melihat bias-bias itu. Dalam hidupku, ini pertama kalinya aku takut malam datang. Aku takut jika esok hari akan datang karena aku takut jika suatu hari nanti Luhan akan pergi meninggalkanku.

"Aku sangat takut Luhan, aku tidak tega melihatmu kesakitan seperti itu. Aku adalah saudara kembarmu, seharusnya penyakit itu juga ada pada diriku agar kita merasakan sakit yang sama. Mengapa Tuhan tidak adil pada kita? Mengapa hanya kau yang menerima penyakit itu? Apa yang harus ku katakana pada Tuhan agar Ia mau membagi penyakitmu padaku?"

Aku menunduk dalam. Kini matahari telah benar-benar tenggelam. Lampu-lampu taman rumah sakit mulai dinyalakan dan beberapa pengunung memilih untuk masuk ke dalam rumah sakit sedangkan aku tetap bertahan di samping kolam ikan dan pohon oak di belakang punggungku.

"Jika kita mempunyai penyakit yang sama, bukankah jika kau terbunuh aku juga akan terbunuh? Jadi kita tidak perlu terpisah, bukan?"

"Hentikan omong kosong itu Byun Baekhyun!" aku terkejut mendapati Chanyeol yang telah berdiri di sampingku sambil memandangku dengan pandangan sendu.

"Kau memang bodoh! Apakah kau pikir Luhan akan senang saat kau merasakan sakit yang sama seperti yang dideritanya?!"

Chanyeol berjongkok tepat di sebelahku. "Jangan coba membunuh dirimu sendiri Byun Baekhyun." Tangan Chanyeol menyentuh bahu kiriku yang bergetar karena menahan tangis. Aku menepisnya. Aku mengerti dia pasti khawatir aku bunuh diri karena tidak kuat menahan masalah ini. Yang pada kenyataannya memang aku ingin sekali melakukannya.

"Jangan kau peduli padaku! Seharusnya kau hanya peduli pada Luhan! Jangan kepadaku!" bentakku.

Namun anehnya Chanyeol hanya tersenyum menatapku.

"hiks.. hiks.. hiks a-aku mohon Chanyeol hiks.. jangan biarkan Luhan pergi hiks..Luhan…"

Aku sudah tak kuat lagi menahan tangisku hingga aku menangis begitu keras di hadapan Chanyeol. Semuanya terjadi begitu saja sampai tubuh Chanyeol mendekapku, dan sesuatu mengecup bibirku lembut. Sebelum aku tak sadarkan diri dan semuanya menjadi gelap.

.

Aku terbangun setelah kurasakan sebuah tangan menyentuh dahiku. Kelopak mataku terasa amat berat sehingga butuh beberapa detik lamanya untuk mataku terbuka dan menampilkan sosok ibu yang berdiri di samping ranjang tempatku tidur.

Aku pingsan. Itu yang ibu katakan padaku. Aku baru sadar ternyata mataku berat karena bengkak setelah beberapa waktu terakhir aku habiskan dengan menangis hingga rasanya air mataku habis. Aku merasa sedikit linglung dan tidak ingat apa yang menyebabkan aku pingsan. Yang ada di ingatanku hanya pada saat Chanyeol memelukku dan dia seperti –mencium bibirku.

Itu sedikit membuatku terheran. Karena setelah itu semuanya jadi gelap dan tiba-tiba saja aku mendapati tubuhku terbaring di ranjang rumah sakit ini.

Mungkin itu hanya mimpi. Chanyeol tidak mungkin menciumku.

Aku merasa kedinginan, mungkin karena jendela rumah sakit yang terbuka di bangsal ini dan menampilkan langit malam yang kelam. Ibu tersenyum kepadaku dan seolah beliau mengerti, ibu beranjak dari tempatnya berdiri dan mulai menutup jendela itu.

Aku berusaha untuk duduk dan bersandar, tetapi sesuatu seperti membuat tanganku kesakitan. Aku memandang selang infuse yang menancap di punggung tangan kananku.

"Kau sejak kemarin belum makan?" Ibu bertanya dan aku menggeleng dengan masih menatap selang menyakitkan itu.

"Kondisimu menurun Baekhyun, dan dokter harus menancapkan infuse itu agar energi mu kembali pulih."

Dan aku hanya mengangguk pelan. Aku merasa seperti pengecut. Hanya masalah makanan saja aku begitu lemah, bagaimana jika aku menjadi Luhan? Aku tersenyum getir memikirkannya.

Ibu mengelus puncak kepalaku dan aku mengerti ibu berusaha untuk tidak membuatku tertekan lebih jauh.

"Luhan.." ibu berhenti sejenak. Aku menatapnya tak mengerti. "..saudaramu akan pulang besok siang."

Aku bukanlah anak berusia lima tahun yang tak mengerti maksud kalimat yang ibu ucapkan.

Aku kembali menangis meskipun tanpa suara dan memeluk ibu dengan erat sekali. Aku mengangguk kepada ibu.

.

Chanyeol selalu berada di sampingku sejak dua jam yang lalu. Aku mengira bahwa ibu yang memintanya untuk menemaniku di rumah kami. Semua maid yang ada bahkan tidak mengurangi rasa sepi dalam hatiku dan itu sebabnya ibu meminta Chanyeol menemaniku.

"Kau baik-baik saja?"

Aku hanya mengangguk pelan tanpa menatapnya. Aku merasa tidak baik –maksudku tentu saja aku tidak baik. Sangat tidak baik. Lalu mengapa harus bertanya? Dan aku memilih tidur menyamping untuk mendapati jendela kamarku yang di depannya terdapat pemandangan ranting pohon milik tetangga di samping rumah.

Aku merasa kosong.

Sebuah dering ponsel yang asing menggema di penjuru kamarku dan tiga detik setelahnya aku mendapati Chanyeol keluar dari kamarku untuk berbicara pada seseorang di sebrang telfonnya.

Baru saja aku menghela nafas, Chanyeol sudah kembali.

"Baekhyun, Luhan akan pulang sebentar lagi."

Mataku melirik jam weker kecil berbentuk doraemon hadiah pemberian Luhan di ulang tahun kami ke lima belas. Waktu menunjukkan pukul lima sore lebih dua puluh menit. Dan aku kembali menangis tanpa suara.

.

Kenyataan memang sering menyakitkan. Dan aku sedang mengalaminya secara langsung.

Setelah menangis selama hampir setengah jam, aku tertidur dan tahu-tahu saja aku terbangun untuk mendapati langit telah berubah menjadi gelap.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Aku mendengar suara-suara dari lantai bawah.

"Chanyeol?"

Aku memanggil lelaki itu namun tak dapat kutemukan keberadaannya. Aku putuskan untuk segera turun ke bawah dan melihat apa yang terjadi.

Aku keluar untuk mendapati kedua orang tuaku, Luhan, juga Chanyeol. Aku tidak terkejut melihat saudaraku yang terduduk di kursi roda. Dia benar-benar nampak seperti mayat hidup. Begitu mengenaskan dan aku tak yakin aku akan kuat melihat ini. Air mataku kembali menetes.

Aku segera turun dan sedikit berlari menuruni tangga dan aku segera memeluk Luhan begitu aku sampai di hadapannya. Aku kembali menangis tersedu-sedu di pelukannya. Penyakit itu benar-benar membuat tubuh yang sedang kupeluk menjadi sangat kurus. Tanganku terangkat untuk mengusap bagian belakang kepalanya yang arang akan rambut.

"hiks hiks.. Lu..hiks.." sungguh. Aku tidak mampu untuk berkata apapun bahkan sekedar untuk menyebut namanya. Lidahku terasa kelu dan terikat karena lelah mengeluarkan isakan.

Luhan membalas mengusap rambutku dengan sayang. "Aku merindukanmu Baekhyunie~"

'aku lebih merindukanmu. Aku lebih merindukanmu sampai rasanya kau tidak boleh pergi kemanapun Luhan.'

Hanya kalimat itu yang terlintas di pikiranku.

Luhan perlahan melepaskan pelukannya padaku dan dengan amat berat aku melepaskan lingkar tanganku pada bahunya yang sangat kurus hingga tulang di bahunya sangat terasa saat aku memeluknya.

"Aku ingin melihat bintang malam ini."

Ibu menghapus air matanya dan menangguk seraya tersenyum lembut kepada Luhan. "ayo! Kita melihat bintang."

Ayah mendorong kursi roda Luhan menuju halaman belakang rumah kami. Luhan menghentikan dorongan ayah dan ia berkata bahwa ia ingin berjalan, bukan hanya didorong dengan menggunakan kursi roda.

Ibu memegang tangan Luhan dan menuntunnya menuju pohon oak tua tempat berdirinya rumah pohon kami. Luhan duduk menyandarkan punggungnya pada batang pohon tua itu. Di samping kanannya terdapat Chanyeol, di hadapannya terdapat orang tua kami, dan aku duduk tepat di sebelah kirinya.

Luhan memandang langit seraya tersenyum manis. "bintangnya sungguh indah malam hari ini. Andai aku bisa menyimpannya satu." Ia kemudian terkekeh karena ucapannya sendiri.

Luhan terlihat sangat bersinar mala mini. Aku melihat ibu yang berusaha untuk tidak menangis dan ayah yang menenangkan ibu. Aku mengerti jika ayah sebenarnya ingin menangis juga, namun ia berusaha terlihat tenang agar kami tidak merasa terlalu sedih.

Aku menatap Chanyeol yang duduk tepat dihadapanku kemudian tatapanku teralih kepada Luhan.

Aku teringat apa yang dikatakan ayah tadi pagi saat di depan ruang ICU. Pada saat dokter mengatakan bahwa Luhan tak ada harapan hidup, dokter juga mengatakan kepada ayah bahwa pihak rumah sakit akan melepaskan segala bentuk peralatan medis penunjang hidup untuk saudaraku jika pihak keluarga mengijinkan. Karena bagaimana pun, Luhan tidak akan bertahan lama meskipun alat-alat itu tetap menancap di tubuhnya.

Setelah itu ayah membicarakan masalah ini kepada kami –aku dan ibu. Ibu yang pertama kali menjerit memecah keheningan di koridor ruang ICU. Setelahnya aku terisak mengetahui fakta bahwa Luhan sepertinya benar-benar akan meninggalkanku. Ayah berusaha memelukku dan ibu. Kami bertiga menangis di tengah koridor dan terus menggumamkan nama Luhan.

Awalnya ibu tidak ingin pihak rumah sakit mencabut semua alat penunjang hidup itu. Akan tetapi ayah dengan sedikit linangan air mata memberi penjelasan kepada kami.

"Kita harus melakukan itu kepada Luhan. Jika kalian sayang kepada Luhan, maka kalian juga harus rela melepaskannya. Bukan ayah yang ingin Luhan pergi, ayah pun juga tidak ingin Luhan meninggalkan kita. Namun mengertilah. Kasihan Luhan, ia sudah berjuang sampai sejauh ini hanya untuk kita. Ia sudah kesakitan menanggung semua penyakitnya selama ini. Dan kini, sudah saatnya Luhan beristirahat. Ia tidak akan merasakan sakit itu lagi setelah ini. Apakah kalian mengerti?"

Dengan berat hati kami menuruti keputusan ayah untuk mencabut seluruh alat di tubuh Luhan. Kemudian ibu tertidur di kursi tunggu koridor karena lelah menangis dan ayah mengajakku menuju taman rumah sakit untuk berbicara.

"Ayah juga sangat menyayangi Luhan dan tidak ingin kehilangannya. Tetapi kali ini, ayah tidak ingin egois. Ayah ingin Luhan tenang dan tidak kesakitan lagi. Selama ini, kita telah egois kepada Luhan. Karena kita menyuruhnya bertahan dan membiarkannya kesakitan. Namun sekarang saatnya kita mengalah padanya. Apakah kau mengerti maksud ayah, Baekhyun?"

Saat itu aku menangis tersedu-sedu.

"Aku akan kehilangannya, ayah. Aku tidak bisa kehilangan saudara yang aku sayangi. Luhan tidak boleh meninggalkan aku."

"Luhan tidak meninggalkanmu, nak. Luhan aka nada selalu di hatimu. Kita akan selalu bersama Luhan meski ia tidak ada di samping kita. Maka dari itu, relakan dia pergi ya? Kasihan adikmu, dia telah menderita."

Setelah itu ayah menyuruhku untuk pulang dan menunggu kepulangan Luhan.

Dan ini semua terjadi.

Aku menatap kosong ke arahnya.

Chanyeol tersenyum kemudian memeluk tubuh saudaraku.

"Chanyeol yang terbaik." Bisiknya.

Kemudian Chanyeol melepaskan pelukannya. Luhan tersenyum dan kemudian menatap kedua orang tua kami. Ibu menangis tersedu dan segera memeluk saudaraku.

"Ketahuilah anakku, ibu sangat menyayangimu. Ibu akan memberikan apapun asalkan kau bahagia. Jadi, apa yang ingin kau minta dari ibu?"

Aku menangis tanpa suara menatap wajah ibu yang sangat sembab. Aku mengerti, ibu pasti amat sedih karena kehilangan salah satu buah hatinya.

"Aku meminta ibu untuk selalu tersenyum. Untuk selalu menyayangi ayah dan Baekhyun. Apakah aku bisa mendapatkannya?"

"Tentu saja sayang. Itu yang akan kau dapatkan." Ibu dengan berat melepaskan pelukannya.

Ayah mendekat dan berganti memeluk Luhan erat.

"Ayah sangat sayang kepada Luhan. Ayah ingin kau bahagia dan baik-baik saja anakku." Luhan mengangguk. Aku terheran padanya. Mengapa di saat seperti ini ia tak menangis? Bahkan Chanyeol saja sempat menitikkan air mata.

"Aku akan menjaga diriku agar baik-baik saja untuk ayah. Ayah juga harus baik-baik saja." Ayah mendekap erat sekali tubuh Luhan, seakan jika ayah melonggarkan pelukannya sebentar, maka Luhan akan pergi.

Luhan mengelus punggung ayah dan ayah mulai melepaskan pelukannya.

"Ayah jangan menangis." Ayah mengangguk dan menghapus air matanya.

Aku semakin menangis kala Luhan menatapku. Mata indah itu menatapku. Aku sama sekali tak bergerak. Dan aku terkejut kala Luhan mendekat ke arahku, memelukku dengan pelukan hangatnya. Aku membalas pelukannya erat dan menyembunyikan wajahku di ceruk lehernya yang putih.

"Hiks hiks hiks.." Aku tak mampu berkata-kata dan hanya terdengar isakan dariku.

Luhan mengelus rambutku lembut sekali.

"Baekhyunie mengapa menangis? Siapa yang membuatmu menangis? Aku akan membuatnya menyesal karena membuat kakak cantikku menangis." Mendengar penuturannya yang polos, aku semakin terisak keras.

"hiks.. hiks.."

Jika Luhan pergi, lantas siapa yang akan menenangkan aku saat aku menangis? Siapa yang akan memarahi orang yang membuatku menangis?

"Baekhyunie hyung?" Aku tercekat saat ia memanggilku hyung. Selama ini ia selalu menolak untuk memanggilku hyung, namun sekarang tanpa dipaksa Luhan mau memanggilku seperti itu.

"Terima kasih telah mau menjadi saudara kembarku. Kau mau berbagi denganku, bahkan kau mau berbagi tempat saat kita ada di dalam perut ibu." Aku dan Luhan terkekeh kecil.

"Bukankah aku baik sekali, karena mengijinkanmu untuk bersamaku? Menemaniku dalam perut ibu berdua saja?"

"Aku yang memperbolehkan kau menemaniku Luhanie."

Kami tertawa bersama. Lebih tepatnya Luhan yang tertawa sedangkan aku hanya tersenyum lebar sesekali terkekeh kecil.

"Berjanjilah kau akan baik-baik saja Luhanie."

"Kau juga Baekhyunie."

"Tak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan sayangku padamu."

"Begitu pun aku."

"Aku selalu merindukanmu. Aku ingin memelukmu seperti ini terus."

"Aku juga."

"Aku tak akan melupakanmu."

"Aku juga tak akan pernah."

"Aku akan selalu bersamamu adik kembarku."

"Ya, aku tahu itu."

Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Luhan. Tanganku tergerak untuk meremas kaos yang dikenakannya.

"Berjanjilah kau akan menungguku Luhanie."

"Aku berjanji. Kita akan bertemu lagi Baekhyunie, aku yakin itu."

Aku mengangguk. "Tentu saja, bukankah selamanya kita akan menjadi saudara kembar?"

Sekarang ia yang mengangguk.

"Apakah kau takut?" bisikku. Ia mengangguk kemudian menggeleng. Aku tak mengerti. Baru aku akan bertanya, ia menyela dan seolah mengerti apa yang ada di pikiranku saat ini.

"Awalnya aku takut karena aku akan sendirian.." Luhan menjeda kalimatnya, mengatur nafasnya yang semakin terasa berat. Air mata ku menetes melalui daguku. Aku mengerti apa yang ia maksud dengan 'sendirian'. Luhan akan pergi kali ini, sendirian, tanpa diriku dan semua keluarganya. Kami akan di sini, namun Luhan akan pergi. Aku kembali terisak.

"..Namun aku tidak takut lagi. Karena aku yakin Tuhan akan mempertemukan kita lagi nanti, entah kapan." Ucapannya yang seolah tidak akan terjadi hal-hal menyedihkan mampu membuatku tersedu-sedu.

Aku memeluknya erat sekali. "Luhan jangan pergi, aku mohon." Lirihku di depan telinganya.

"Jangan sedih Baekhyunie.."

"Maaf, maaf karena aku tak mampu berbuat banyak untukmu. Maaf karena aku selalu ingin menang darimu. Maaf karena tak ada yang mampu aku lakukan untukmu. Maaf karena selalu membuatmu sedih Luhan. Maaf . . aku-"

"sstt- tenanglah. Jangan menangis seperti itu nanti asmamu kambuh."

Aku sungguh tak habis pikir mengapa Luhan masih sempat-sempatnya mengkhawatirkan aku di saat hidupnya yang tinggal beberapa baris lagi akan berakhir.

'Cukup, jangan buat aku semakin tak rela kau meninggalkan aku dengan segala kesalahanku padamu yang tak mampu aku tebus saudaraku'

"Berjanjilah apapun yang terjadi kau akan menungguku. Tunggu aku, dan percayalah bahwa aku tak akan melupakanmu barang satu detik di setiap hidupku."

"Aku percaya padamu Baek, aku percaya."

Kami tetap berpelukan erat sekali. Kupejamkan mataku dan berusaha mengabaikan bahwa mungkin saja ini adalah pelukan terakhir yang Luhan berikan padaku.

'Luhanie jangan pergi! Tetaplah di sini, jangan meninggalkan Baekkie sendirian di rumah.'

'Eomma menyuruh Luhan untuk ikut, Baekkie kan ada appa di rumah.'

'Luhanie mengapa tidak mau tinggal saja?'

'Eomma yang memaksa, lagipula ini hanya dua hari saja.'

'Jangan pergi.'

'Luhan akan sebentar saja, nanti juga kembali bersama eomma. Baekkie percaya kan Luhan akan kembali lagi?'

'Baiklah, Baekkie akan percaya. Aku percaya Luhanie akan kembali nanti. Jangan lupa bawakan kue stroberi yaa.'

'Tentu, asalkan Baekkie percaya Luhan akan pulang lagi nanti. Jadi jangan sedih.'

'Aku percaya Luhanie akan pulang kok, hehehe.'

"Baekkie percaya pada Luhanie." dan aku percaya kau akan baik selalu tanpaku.

Sekelebat bayangan masa kecil kami terputar di benakku seperti putaran film usang yang mengharuskan aku mengingatnya kembali di saat-saat terakhir kami bersama.

Aku masih ingat saat itu Luhan dan Ibu mengikuti tour di luar kata di saat aku sedang sakit demam. Ayah menemaniku di rumah dan Luhan serta ibu mengikuti tour itu tanpa aku dan ayah. Saat itu aku percaya bahwa Luhan akan kembali dengan membawakan aku satu keranjang buah stroberi segar. Namun sekarang aku lebih percaya bahwa setelah Luhan pergi ia tak akan pernah kembali lagi ke rumah. Tak pernah lagi berdiri di balik pintu rumah kami dengan membawa keranjang besar berisi stroberi. Tak pernah lagi ia tertidur di kamarku setelah hampir dua jam ia bercerita bagaimana serunya mengikuti tour itu. Menceritakan bagaimana rasa rindunya ia padaku di saat ia pergi.

"Aku menyayangi Baekhyun, Ibu, Ayah, dan Chanyeol. Aku merindukan kalian semua."

Luhan melepaskan pelukannya padaku dan seketika hatiku terasa kosong dan hampa.

"Aku lelah, ingin tidur."

Ucapannya begitu terdengar seperti terompet kematian di telingaku.

"Tidurlah sayang."

Dalam hati aku ingin sekali berteriak pada ibu agar ia mencegah Luhan tertidur.

Luhan tersenyum dan begitu manja ia kembali memelukku dan meletakkan kepalanya pada bahu kananku. "Aku ingin tidur di pelukan saudaraku hehe.."

Aku tersenyum kecil dan nafasku terasa memendek di kala Luhan menarik nafasnya panjang. Kedua tangannya kugenggam erat dan seolah bibirku ingin berkata dengan lantang 'Jangan tidur Luhan! Ayo bangun!'

Namun aku mengerti, Luhan telah pergi meninggalkan kami sendirian tanpa ada satupun di antara kami yang menemaninya. Dan aku mengerti, tak akan pernah Luhan kembali esok hari dan membuatku terusik oleh suara merdunya yang membangunkanku dari mimpi indahku. Tak ada Luhan yang kembali pulang dan bercerita tentang perjalanannya saat bepergian selama dua jam dan berakhir tertidur di ranjangku.

Yang ada hanyalah Luhan pergi tanpa kembali dan membuatku menangis sepanjang hari karena merindukannya.

.

December 27th 2014

Dear Luhan, selamat jalan. For ur beloved twin.

.

.

.

.

Next chapter

"Diberitahukan untuk seluruh warga sekolah kita tercinta, bahwa kita telah kehilangan salah satu keluarga kita tercinta, Byun Luhan yang telah meninggal kemarin malam. Mari kita berdoa untuknya."

.

Telah tertempel suatu surat di madding sekolah.

Byun Luhan teman kami, selamat jalan kawan. Kami akan selalu mengenangmu dalam sesuatu yang baik dan berjasa. Semoga kau bahagia. God always bless you.

.

"Aku akan pergi Kyungsoo, aku akan ke Los Angeles bersama orang tuaku."

.

"Selamat tinggal Seoul. Aku akan merindukan mu."

.

.

.

.

.

.

.

To be continue

.

Note for me : uhm okay aku membuat fanfic ini sejak mungkin 4 bulan yang lalu dan yeah- baru sekarang aku publish. Ini oneshoot awalnya, namun karena terlaluuuu panjang jadi aku memutuskan untuk membagi dua. Ini saja udah 40 page -_-

Aku hanya menyalurkan hobby saja, so silakan kalau mau respon. Kalau yg tidak mau juga its okay.

Ps : ini bakal jadi chanbaek di chapter depan. Aku sengaja bikin di chapter ini sangat sedikit moment mereka /evil laugh/ enaknya ada enaena nya chanbaek atau tidak ya?

Sorry for typo. I'm just an ordinary person who don't have the perfection. bye