Folie a Deux
Summary: "Terkadang, kita merasakan kenyataan dalam kebohongan."
Atau Draco dan Harry terpaksa bertingkah seperti sepasang kekasih untuk mendongkrak popularitas masing-masing. Harry Potter dan keinginannya untuk keluar dari sebutan 'aktor kelas 2'. Sementara Draco dan obsesinya untuk membuktikan diri di dunia musik.
Disclaimer: As always… Harry Potter punya Ibu J.K. Rowling. Ide dari ff ini muncul dari saya yang kebanyakan baca rumor fake relationship beberapa selebriti. Dan karena saya lagi jatuh cinta sama lagu Take me to church-nya Hozier. Judul Folie a Deux artinya shared madness between two dari istilah psikologi untuk psikosis atau delusi yang dialami dua orang terasosiasi dekat sekali (biasanya suami-istri atau ibu-anak). Jangan tanya kenapa saya judulin begitu... Oh iya... Folie a Deux juga judul album ketiganya Fall Out Boy... Apa lagi ya? Segitu aja.
Rate : T (untuk sekarang)
.
.
.
"Oke. Ini hari terakhir shooting... uhmmm..." Ron selalu benci bagian ini. Ia tidak pernah pintar memberikan kata-kata terakhir yang memotivasi, atau setidaknya sedikit berkesan di hati. Tidak pernah ada yang bilang padanya bahwa ketika ia menjadi sutradara ia tetap harus berhadapan dengan publik, memberikan sepatah dua patah kata di depan banyak orang. Tentu, ia bisa memerintah dan memberikan instruksi dengan baik selama itu berhubungan dengan scene di filmnya. Tapi inti dari Ron berhenti dari kelas akting bersama Harry dan menekuni pekerjaan sebagai sutradara adalah untuk berada di belakang layar, yang artinya ia bisa tetap terlibat produksi film tanpa harus berhadapan dengan terlalu banyak sorotan.
Ron mendengar kekehan jahil Harry di sebelahnya, "Oke… ini akan memakan waktu lama, jika kalian menunggu Ron menyelesaikan pidatonya." Harry tahu ia mungkin akan dianggap tidak sopan memotong pidato 'singkat' Ron, sutradanya yang dengan kata lain orang yang mempekerjakan Harry di film ini, tapi melihat wajah Ron memerah sambil berusaha memberikan deathglare ke arahnya adalah sesuatu yang menyenangkan. Harry bangga pada kemampuannya untuk menjadi annoying.
"Whatever… Intinya, kalian sudah bekerja keras." Ron menyisir ke belakang rambut merahnya dengan gugup lalu kembali menatap ke arah seluruh artis dan crew-nya. "Saya menghargai kerja keras kalian dan semoga mereka yang menonton film ini juga dapat memberikan penghargaan yang sama. Thank's." ujarnya sambil menutupnya dengan senyum tipis yang berkesan kikuk. Lalu tepuk tangan membahana di seluruh ruangan, Ron tidak bisa melihatnya karena Harry memeluknya erat sekali sambil mengacak-acak rambutnya.
"You did a great job, Ron!" ujar Harry yang kini mem-pittingnya, sambil tertawa-tawa bahagia sekali. Ron mengingatkan dirinya bahwa meskipun Harry berbadan pendek dan cukup kurus, ia punya tenaga yang cukup besar dan dia terkadang lupa soal hal itu.
"Shit! Oxygen!" teriak Ron sambil menjauh dari Harry dan bernafas dengan terengah-engah. Ia bisa mendengar tawa dan beberapa kikikan geli. Ron sejujurnya sangat kesal dengan tingkah Harry yang terkadang menjadi maniac ketika terlalu senang. Tapi yah... dia tidak bisa bohong kalau dia juga bahagia saat ini.
Jadi, oke. Sepertinya sesekali membiarkan Harry memeluknya seerat itu tidak terlalu buruk.
Tiba-tiba saja Ron merasakan tepukan ringan di pundaknya. Ketika berbalik ia menemukan senyum dingin di wajah Draco Malfoy. "Kerja bagus, Ronald Weasley…" Ron tersenyum lebar dan menyambut jabat tangan dari pria itu. Lalu pemuda pirang itu berdehem ringan, menatap Harry yang kini berdiri di belakang Ron, berdiri terkaget-kaget melihat seorang 'DRACO MALFOY' mendatangi lebih dulu sutradaranya dan memujinya…? Really? Ini hanya berarti dua hal, jika Draco Malfoy tidak baru saja terbentur sesuatu atau ia mungkin mendapat kabar bahwa esok kiamat dan memutuskan untuk bersikap sedikit lebih manusiawi sebelum mati? Entahlah.
Ron menyingkir sedikit dan membiarkan Draco dan Harry memiliki sedikit ruang. Selama beberapa saat seluruh nafas di ruangan itu seperti terhenti. Semua perbincangan seperti masuk ke mode mute. Ini bukan tanpa alasan hal ini menjadi begitu luar biasa. Karena sebagai lawan main di sebuah film yang memakan waktu produksi cukup lama, dua orang ini tidak pernah terlihat akur. Ron biasanya, untuk film-film sebelumnya, lebih dipusingkan oleh tuntutan ini itu dari produser. Untuk film ini, entah bagaimana sebagian besar stres Ron terpakai untuk memastikan bahwa dua aktor utama di filmnya tidak mulai saling bunuh begitu kamera berhenti merekam ekspresi saling jatuh cinta di mata keduanya. Ron menghargai profesionalisme mereka di depan kamera, tapi alangkah bersyukurnya Ron jika ia sehari saja bisa shooting dengan tenang tanpa mendengarkan perdebatan mereka.
Draco Malfoy menegakkan sedikit postur tubuhnya kini, berdiri menatap Harry dengan tatapan dingin yang sama seperti biasanya, dan dengan kadar kebencian yang entah kenapa rasanya hanya ia tujukan pada Harry. Harry menatap balik dengan sedikit api kemarahan dan sedikit rasa penasaran. Draco menarik nafas dan mulai bicara, "Kau juga tak begitu buruk, Potter…" dan seringaian tipis menghiasi wajah tampan Draco. Harry untuk beberapa saat lupa bahwa ia bisa bicara, jadi ia hanya diam di situ selama beberapa detik dan memproses bahwa kejadian barusan memang benar-benar terjadi.
Sampai kemudian Draco Malfoy pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Harry. Harry dengan tatapan yang masih penuh keterkejutan mengikuti langkah Draco Malfoy yang keluar ruangan diikuti dengan manajernya, Blaise Zabini.
Harry berbalik kembali pada Ron. Orang-orang mulai kembali bergerak normal dan mode mute di ruangan itu sepertinya sudah berakhir. Tapi keterkejutan di wajah Harry masih luar biasa kentara terlihat oleh siapapun. "Itu barusan siapa?!" tanya Harry dengan cukup hiperbolis di depan wajah Ron.
Ron memutar bola matanya dan memukul dengan cukup keras belakang kepala Harry yang berhadiah "Awww!" yang sama hiperbolisnya dengan kalimat terakhir yang ia keluarkan pada Ron. "That hurts!" protes Harry kali ini lebih terdengar normal dari reaksi-reaksi sebelumnya.
"Yah… kurasa kalau sekedar mencubitmu, kau masih tidak akan percaya kalau Draco Malfoy baru saja memujimu…"
Harry memutar bola matanya, "Dia memujimu, entah kenapa aku merasa ia baru saja mengejekku."
"Dia bilang 'kau tidak begitu buruk' Harry. Kau tahu itu artinya 'kau luar biasa' jika manusia normal yang mengatakannya."
Harry memutar sebal sekali lagi bola matanya. Dan membiarkan dirinya sedikit menjauh dari Ron yang mulai dikelilingi crew yang bergantian memberikan selamat padanya dan beberapa artis lain di ruangan itu mulai berbaris menunggu giliran bersalaman untuk mengucapkan selamat pada Ron.
Harry menyingkir menuju pojok sepi dimana beberapa bir dan makanan ringan tergelar di sebuah meja. Variant makanan yang ada di meja makan itu hari ini lebih beragam dibandingkan hari-hari sebelumnya. Sepertinya petugas catering mereka merasa harus memberikan makanan yang layak untuk perayaan rampungnya shooting film ini. Harry membuka sekaleng bir dan bersandar pada dinding. Menyaksikan dari jauh wajah Ron yang makin memerah karena ucapan selamat dan pujian. Atmosfer kebahagiaan yang memenuhi ruangan. Ia bisa melihat Hermione, manajernya, memberikan sebuket bunga pada Ron, dan berusaha keras untuk tidak tersenyum malu-malu seperti gadis remaja. Tidak begitu berhasil, pikir Harry.
Hal yang paling menyebalkan selain bertengkar dengan Draco Malfoy selama proses syuting film ini adalah menyaksikan bagaimana Ron dan Hermione saling menggoda namun belum juga ada yang benar-benar mengambil inisiatif untuk mengajak berkencan atau menikah saja sekalian. Harry benar-benar sebal karena itu membuatnya menjadi tempat sampah curhatan dua orang sahabatnya itu antara satu sama lain. Terkadang Harry nyaris terlalu muak dan berpikir untuk mengurung keduanya di toilet, Harry tidak akan membiarkan mereka keluar sebelum mereka jadian atau setidaknya berciuman.
Karena serius, ia tidak ingin mendengar bagaimana bibir Hermione terlihat begitu atraktif untuk Ron atau begitu uniknya bibir Ron untuk Hermione.
Harry menenggak beberapa tegukan dari kaleng birnya. Menatap ke atap ruangan. Mereka sedang ada di sebuah rumah tua, dengan dominan kayu mahoni yang dicat putih. Harry menatap ke arah kursi goyang di ujung ruangan, tempat adegan terakhirnya. Ia menangis di sana. Sambil memeluk fotonya dan Draco yang saling merangkul dan terlihat bahagia di masa muda. Harry menyentuh pipinya tanpa sadar dan masih merasakan sisa make up tebal yang membuatnya terlihat 40 tahun lebih tua dari seharusnya.
Harry menggeleng, ketika tanpa sadar selama beberapa menit ia menatap foto di ujung meja. Foto yang sekitar sejam lalu ditangisinya. Foto ia dan Draco Malfoy.
Tidak. Harry menggeleng. Itu foto karakter mereka. Sepasang sahabat yang saling jatuh cinta dan berjuang bersama untuk memperjuangkan kelangsungan hubungan mereka.
Pemuda berambut hitam yang cukup acak-acakan itu tersenyum lembut pada foto itu. Dan berpikir bahwa seandainya, hanya seandainya Draco Malfoy tidak bersikap terlalu menyebalkan, Harry mungkin kini akan dengan senang hati merangkul Draco dan berfoto sambil tersenyum bahagia.
Karena sejujurnya Draco punya kemampuan akting yang bagus. Damn! Seburuk apapun sikap Draco pada media dan fansnya, atau pada para mantan kekasihnya sesama selbritis, ia adalah salah satu pemenang Oscar tahun lalu sebagai pemeran pembantu dan punya segudang penghargaan lainnya di ajang bergengsi lain. Film terakhirnya, Built God, Then We Talk mendapatkan penghargaan film terbaik di festival film cannes dan mendapatkan penghargaan pertamanya di ajang academy awards. Ia juga pengisi suara di beberapa episode Wild Life dari Discovery Channel yang jadi program favorit Harry. Musik yang dibuatnya juga tidak begitu buruk, meskipun tidak sesuai dengan selera telinga Harry.
Dan mungkin saja mereka bisa berteman. Karena bagi Harry membahas mengenai akting dan film bisa membuatnya merasa bersaudara dengan siapapun yang juga mencintai hal ini. Yah, ia tahu bahwa Draco juga penyanyi, tapi ia tetap seorang aktor. Dan biasanya Harry tidak pernah kesulitan menemukan bahan perbincangan dengan sesama rekan.
Harry mendesah. Mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya, lalu tertawa sarkastik pada diri sendiri.
.
.
.
"Baiklah... itu tadi penampilan dari Draco Malfoy dengan Time isn't healing yang ada di urutan nomor 10 Billboard minggu ini. Draco, silahkan bergabung kembali…"
Draco berjalan mendekat dan senyum wanita muda yang membawakan acara pagi di BBC ini melebar. Wanita tadi memberikan gesture agar Draco kembali duduk di sofa panjang yang disediakan untuk tamu yang datang ke acara ini. "Jadi… Draco… 10 besar Billboard? Bagaimana perasaanmu?"
Pemuda yang pagi itu menggunakan kemeja berwarna abu dengan aksen garis-garis tipis berwarna putih pada lengannya itu berusaha untuk menahan senyum angkuhnya. "Amazing..." ujarnya disertai tawa bahagia yang mungkin tidak mencapai sudut matanya. Tentu karena Draco setengah berakting. Ia bahagia, tentu saja. Ini pencapaian terbaik lagunya sepanjang karir bermusiknya. Tapi 10 besar setelah hampir 4 bulan single ini keluar, bukan pencapaian yang ia targetkan.
Dan ini adalah lagu penjembatan menuju album ketiganya. Dan Draco Malfoy paham betul seberapa sakralnya album ketiga. Album pertama adalah hidangan pembuka, kau bisa membiarkan dunia mencicipi musikmu tapi kau tidak boleh terlalu idealis. Album kedua biasanya adalah fase eksplorasi, para pemusik biasanya mulai mengembangkan ide bagaimana ia ingin dikenang dan oleh tipe pendengar seperti apa musiknya ingin dicintai. Jika, kau tidak cukup sukses dengan album pertama dan kedua. Kau masih bisa dimaafkan. Tapi album ketiga adalah penentuan.
Draco bisa membuktikan diri lewat album pertama dan album keduanya di pasar Inggris dan Irlandia. Juga beberapa negara lain di Eropa, tapi belum ada yang berhasil menembus pasar Amerika. Produsernya menawarkan Draco beberapa opsi dari label yang menaunginya. Mengubah image dan juga berarti mengubah musiknya dengan genre yang lebih mudah diterima pendengar. Atau kolaborasi untuk single andalan dengan beberapa nama terkenal yang sedang terkenal di pasar musik Amerika. Draco lebih condong pada yang kedua jika saja nama-nama yang ditawarkan padanya bukan nama-nama yang musiknya ia anggap sampah.
Draco tiba-tiba saja bisa mendengar kata-kata sinis produsernya padanya, "Kau tidak bisa mendapatkan segala yang kau inginkan, Malfoy…" Draco benci nama belakangnya pada kalimat itu. Butuh seni untuk membuat nama keluarga yang sebenarnya netral terdengar seperti ejekan atau kata-kata yang mencemooh. Dan biasanya Dracolah yang lebih jago soal hal itu.
Ia menarik nafas dan berusaha menyingkirkan pikiran soal tawaran beberapa solusi lain yang diberikan padanya. Memfokuskan pandangannya pada bros mawar yang dikenakan pembawa acara berblazer hitam di depannya.
"Kau tahu, seringkali kesuksesan harus dicicipi sedikit demi sedikit…" Draco menambahkan. Wanita muda yang sudah mewawancarai selama 15 menit sebelumnya kini tampak mengangguk-angguk terkesan.
Rubbish! Maki Draco dalam hati. Ia sama sekali tidak percaya soal kerja keras bisa mengubah sesuatu. Ia dibesarkan dengan prinsip bahwa ada sebagian orang yang memang ditakdirkan untuk berhasil di suatu bidang. Dan sebagian lain hanya sekedar pelengkap penderita. Draco berhasil di akting, di bisnis dan di dunia sosialita. Ada beberapa cacat memang untuk catatan sifat angkuh Draco. Tapi ia merasa wajar untuk bersikap angkuh, ia berhak untuk angkuh dengan segala pencapaiannya kini.
Tapi musik, cerita lain. Draco berbakat, Draco punya cukup uang untuk membuat musiknya sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa campur tangan banyak pihak, meksipun bukan berarti menyingkirkan keseluruhan mereka yang ingin campur tangan. Draco punya banyak fans fanatik yang akan membeli apapun yang ia lempar ke pasaran. Tapi tetap saja, untuk musik, Draco adalah golongan kedua. Pelengkap penderita.
Draco dituntut untuk menjadi golongan yang pertama di setiap bidang yang digelutinya. Ia tahu, karena ia sudah membuat dirinya sendiri yang menuntut hal itu.
"Oke. Kita pindah ke topik lain. Kami punya sesuatu di sini." Wanita berambut merah darah di depannya menunjuk layar besar di belakang mereka. Sebuah foto muncul, salah satu foto yang diambil dari lokasi syuting Folie a Deux. Draco menggunakan baju kuning dan celana hijau tertawa bodoh sambil menari di tengah hujan. Sementara Harry Potter memandanginya keheranan sambil memegang sebuah payung hitam erat-erat.
Draco ingin mati rasanya. Itu adalah adegan terkonyol yang pernah dilakukannya. Tidak, peran di film ini adalah peran yang sangat konyol yang pernah diambilnya. Ditambah ia tidak menyukai orang-orang semacam Ronald Weasley. Sialnya sutradara itulah yang membawa nama Draco memenangkan penghargaan sebagai pemeran pembantu pria terbaik di ajang Academy Awards. Film sebelumnya, Built God, Then We Talk adalah sebuah sukses besar baik di pasaran maupun secara kualitas dari sebuah karya seni. Jadi, ia tak bisa melawan Blaise yang begitu saja menyetujui kerjasama lainnya dengan Weasley satu itu.
"Kau berperan sebagai Tom Bernard, benar?" Draco mengangguk. Dan membiarkan wanita itu tersenyum tergelitik membaca dekripsi dari peran yang dimainkannya. "Seorang pemuda 'gila' yang tinggal di desa terpencil bernama Houstern dan bersahabat dengan Peter Jason, seorang pemuda aneh yang penyendiri… Film ini… Tidak, peran ini sama sekali tidak terdengar seperti peran-peranmu yang lain? Kau dikenal sebagai pemeran bad guy atau para tokoh utama yang berkepribadian dingin. Apa yang membuatmu tertarik dengan peran ini?"
Draco mengusap dagunya, berusaha tampak memikirkan jawaban yang tepat. Dan terlihat benar-benar peduli mengenai peran yang dimainkannya. "Well, menjadi aktor berarti mengembangkan berbagai sisi kepribadian yang bisa dimiliki manusia. Aku bisa menjadi jenius yang dingin seperti ketika memerankan tokoh detektif Hawk, atau menjadi pemuda menyebalkan yang pekerjaannya adalah menyiksa binatang-binatang seperti di Rise of planet Apes, atau pembunuh psikopat yang jatuh cinta pada jasad korbannya. Ini bagian dari pekerjaan kami dan Ronald Weasley bukan sutradara yang buruk." Sesuatu yang harus Draco akui kebenarannya.
Ia tidak membenci pemuda itu seperti sebelumnya. Ronald Weasley mungkin tidak punya kekayaan atau datang dari keluarga terpandang. Tapi ia jelas-jelas salah satu sutradara paling berdedikasi yang pernah dikenalnya. Jadi, Draco menghormatinya kini atas nama profesionalitas. Dan jika sepanjang syuting film terbarunya kemarin Draco terus menerus berusaha mencari bahan pertengkaran dengan lawan mainnya, Harry Potter. Itu bukan karena ia berusaha mengganggu konsentrasi sutradaranya. Hanya saja ia tahu bahwa mereka berdua bersahabat. Dan Harry Potter seorang gay. Jelas sekali bahwa pemilihan peran ini disaputi nepotisme dan Draco membenci hal tersebut. Lagipula Harry Potter bukan aktor yang ada di level yang cocok untuk bermain peran dengan Draco.
Draco adalah pemenang yang memborong berbagai macam penghargaan sementara Harry adalah tipe yang terus dinominasikan tapi tidak pernah memenangkan satupun penghargaan.
Harry Potter adalah salah satu golongan kedua di dunia akting, si pelengkap penderita. Bukan berarti aktingnya buruk, hanya saja sekeras apapun ia berusaha untuk menjadi lebih baik, ia tidak punya kemampuan untuk menjadi lebih baik lagi daripada sekedar si pelengkap penderita. Setidaknya itu yang Draco pikirkan sebelum melihat kerja keras pemuda itu. Sesuatu yang biasanya Draco abaikan, karena mereka yang berusaha lebih keras dari seharusnya biasanya adalah mereka yang tidak bisa menerima bahwa mereka sudah gagal sejak awal dan tidak bisa menerima kenyataan ketika kegagalan benar-benar menampar mereka di akhir.
Tapi Harry berbeda, ia menjadi lebih baik dari minggu ke minggu. Ia tidak gagal di akhir. Ia membuktikan diri.
Harry Potter mematahkan teori Draco, ketika ia berpikir bahwa aktingnya tidak mungkin memiliki kemajuan. Dan di adegan terakhir, ketika Harry menangisi foto mereka berdua. Wajahnya menggambarkan nostalgia dan kerinduan, siluetnya yang tertimpa cahaya sedemikian rupa agar nampak seperti senja. Dan ketika ia membisikkan nama dari perannya.
Draco harus mengakui bahwa ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya. Ia tergerak. Seakan bahwa benar-benar ialah yang dirindukan. Dan entah mengapa ia merasakan sesak di dadanya menggambarkan keinginan yang begitu dalam. Untuk menggenggam dan memandangi pemuda itu. Tentu saja, Draco tidak akan pernah mengakuinya jika Harry bisa membuatnya merasa seperti itu.
Tapi ia bisa mengakui satu hal. Harry Potter berkembang, mau tidak mau, Draco harus mengakui kesalahan teorinya.
"Jadi… Draco, bisa ceritakan sedikit tentang film ini?" Draco mengerjap. Sepertinya selama beberapa saat ia melamun dan membiarkan presenter muda ini mengoceh sesukanya. Draco benci ketika tanpa sadar ia masuk ke mode autopilot, ia pasti kebanyakan mengangguk-angguk dan mengiyakan apapun yang dikatakan lawan bicaranya. Semoga ia tidak mengiyakan sesuatu yang bodoh.
"Settingnya sekitar tahun 80-an, tidak tahu tahun pastinya. Tipe-tipe film keluarga, sebenarnya. Karena Tom punya isu tentang kedua orang tuanya yang tidak cukup memberinya perhatian. Dan Peter memiliki isu keagamaan dan sikap keras orang tuanya dalam mendisiplinkan anak-anak mereka. Dan sebagai tambahan tema gay yang terasa cukup kuat."
"Tipe-tipe cerita slice of life yang penuh drama seperti dua film sukses lainnya dari Ronald Weasley sepertinya?" Draco tersenyum dan mengangguk kecil.
Ia melanjutkan, "Pada awalnya dua pemuda ini tidak berteman. Peter Jason yang diperankan oleh Harry berasal dari keluarga yang sangat taat dan ketat soal agama dan moral, sementara Tom adalah kebalikannya, keduanya orang tuanya bekerja dan sama sekali tidak peduli soal agama, kapitalis sejati, meskipun mereka mengirimkan anaknya ke sekolah katolik yang sama dengan Peter, itu hanya karena sekolah itu yang biayanya paling murah di sekitar lingkungan mereka."
"Tunggu dulu... kalian bermain sebagai murid high school?"
Draco tersenyum lebar dan mengangguk. "Apa Ronald Weasley tidak merasa kalian terlalu tua untuk peran ini…?"
"Yah, tapi kini ada yang disebut dengan team make up artis. Lagipula pada dasarnya saya dan Harry bukan tipe yang terlalu tinggi atau terlalu kekar." untuk beberapa saat presenter tersebut memperhatikan tubuh Draco dan wajahnya.
Wanita muda berambut merah darah untuk memainkan bahunya menunjukkan sikap menyetujui. "Kurasa kami tidak bisa protes untuk hal itu... Kalian berdua memang sama-sama baby face." ujarnya yang diiringi dengan tawa yang begitu renyah. Draco mengimbangi untuk beberapa saat tawa tersebut dengan kekehan ringan.
"Ah... Saya mulai bisa membayangkan plotnya, kau pasti mem-bully Peter? Kurasa kau tetap bad guy di film ini." presenter yang masih coba Draco ingat-ingat namanya itu terlihat antusias dan sedikit mengerling genit ke arah Draco di ujung kalimat. Draco tak bisa menahan diri untuk tidak mengernyit kikuk ke arah wanita itu.
Draco cepat mengganti ekspresi dan tertawa mengimbangi antusiasme si presenter, "Ini bagian menariknya, pada dasarnya justru Tom-lah yang dibully. Memag tidak secara kentara tapi ia adalah tipe yang dihindari di sekolah katolik ini. Semacam pendosa yang harus kau hindari. Tidak pernah ada konfrontasi langsung tapi yah... Di mejanya selalu ada coretan-coretan penghinaan dan terkadang surat-surat kaleng yang mengancam dan menyuruh Tom keluar dari sekolah itu."
"Wow! Kedengarannya menarik... lalu bagaimana bisa akhirnya kedua tokoh ini berteman?"
Draco menjilat sedikit bibir bawahnya dan bersiap mengeluarkan ekspresi paling seduktif yang dimilikinya, "Oh... Kau harus menontonnya jika ingin mengetahuinya…" ujarnya diakhiri kerlingan nakal ke arah kamera.
"Kau tahu sekali cara mempromosikan sesuatu, Draco…" tawa presenter itu masih tidak terdengar dibuat-buat. Dan jika kau melihat cukup dekat di balik pipinya yang memang sudah kemerahan karena make-up, ada semu merah lain dan itu reaksi dari apa yang baru saja Draco perbuat. "Kau juga mengisi soundtrack untuk film ini, betul?"
Draco mengangguk, "Ya… Liriknya didapatkan dari puisi yang diberikan Ronald Weasley padaku… Dia bilang itu bukan lirik miliknya, kuharap kami tidak akan dituntut soal hak cipta karena penggunaan puisi tersebut." Draco terkekeh, ada beberapa suara tawa dari bangku penonton. Sebelum sempat presenter muda itu memberikan komentar Draco cepat melanjutkan, "Lirik yang indah dan sangat kuat menurutku. Saya berusaha untuk membuat melodi yang dalam dan sedikit berkesan mencekam. Kami juga sedang menggarap video klipnya." Wanita itu mengangguk sekali. Dan Draco bisa melihat wanita itu sedikit ragu-ragu ketika menilik pertanyaan berikutnya di daftar pertanyaannya.
"Pertanyaan terakhir mengenai film ini, Draco…" Draco bisa melihat semu merah tadi belum memudar justru semakin gelap dan entah mengapa Draco punya perasaan tidak enak soal pertanyaan berikutnya. "Peran yang kau mainkan kali ini... Gay? Benar?" Draco tidak tahu harus menjawab dengan kalimat apa pertanyaan tersebut, jadi ia hanya mengangguk sambil melebarkan senyum 'ramah' miliknya.
"Dan lawan mainmu adalah Harry Potter yang seperti kita tahu memang seorang gay dan pernah terlibat sebuah skandal di masa lalunya... Bagaimana tanggapanmu mengenai hal ini? Karena kami dengar ini juga jadi isu yang hangat diperbincangkan di antara para fans."
Draco menumpulkan sedikit senyumnya dan berusaha agar tampak serius ketika menjawab pertanyaan ini. Dan entah mengapa ia tidak begitu kaget soal pertanyaan ini. "Sama sekali tidak ada yang mengganggu soal fakta itu menurut Saya. Potter aktor yang baik. Seperti jawaban sebelumnya, menjadi aktor berarti mengeksplorasi berbagai sisi manusia, dan meskipun bagi sebagian besar orang bahwa percintaan sesama jenis adalah tabu, kita tidak bisa menutup mata bahwa mereka ada."
Penonton di studio yang cukup besar itu bertepuk tangan pada kalimat Draco. Wanita muda berambut merah darah itu berdiri. Mengucapkan terima kasih dan mengajak Draco yang juga ikut berdiri untuk bersalaman. Kemudian mempromosikan single Draco sekali lagi dan sebagai tambahan yang tidak Draco kira, ia juga meminta pemirsanya untuk mengantisipasi Folie a Deux. Dan setelah mengingatkan untuk tetap menyaksikan episode selanjutnya, wanita itu meminta audiensnya berdiri dan berkata, "Draco Malfoy, Saudara-saudara…" Draco berdiri untuk menghormati standing ovation yang diberikan penonton di studio padanya.
Untuk sementara Draco bisa melupakan soal peringkat 10 tangga lagu atau produksi album ketiganya yang tersendat.
.
.
.
Harry selalu suka hari-hari pertama liburan setelah selesai melakukan pengambilan gambar sebuah film, terutama yang makan waktu panjang seperti Folie a deux. Dengan masih sisa-sisa kelelahan ia biasanya akan menghabiskan 2 sampai 3 minggu berdiam diri di apartemennya di London. Ia selalu berhasil meminta Hermione untuk mengosongkan jadwalnya, ia mungkin akan tetap mengambil jadwal wawancara singkat di beberapa stasiun radio. Lagiupla pada dasarnya Harry bukan aktor yang paling ditunggu kemunculannya.
Jadi ia merasa jauh lebih menyenangkan untuk membereskan berbagai kekacauan di tempat tinggalnya yang nyaris tidak ia urus selama proses syuting, memanggil layanan salon langganannya untuk merawat diri (sesuatu yang sebelum menjadi aktor tidak pernah Harry lakukan, tapi yah, merawat tubuh sekarang jadi bagian dari pekerjaan), dan tentu saja menggunakan kasur empuknya dengan sebaik-baiknya (karena biasanya malam-malam ketika proses shooting Harry nyaris tidak pernah berhasil mencapai kasur untuk tidur).
Ia mungkin hanya akan keluar rumah untuk pergi ke toko sayur dan buah di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Ia berusaha untuk tidak makan junk food selama beberapa hari. Semacam detoksifikasi karena selama proses shooting dimana ia sampai ke apartemen di waktu-waktu yang tidak memungkinkan untuk memasak makanan yang layak, ia pasti akan menelepon restoran fast food atau tempat pizza langganannya. Dan makanan-makanan catering di tempat shooting tidak pernah ada yang bisa dikategorikan sesuai dengan pola hidup sehat.
Seperti sore ini, ini hari kedua belas dari 'program penenangan diri pasca shooting'. Istilah yang Hermione berikan untuk kebiasaan Harry ini. Ia tengah mengiris tipis-tipis wortel dan mengaduk perlahan mayonaise yang ia buat sendiri. Hari ini menu makan malamnya adalah salad standar dan sedikit kentang panggang, dimakan sebelum jam 6 petang. Harry benci mengakuinya, karena sampai sekarang ia merasa bahwa diet sama sekali tidak terdengar maskulin, walau begitu harus ia akui ia menjaga pola makannya. Ini sudah bagian dari gaya hidupnya. Satu peraturan yang harus kau miliki ketika berusaha bertahan di dunia hiburan, suka tidak suka, adalah menjaga agar tubuhmu menyenangkan untuk dipandang.
Beberapa orang memang tidak peduli soal hal itu, terutama untuk beberapa komedian yang memang mengandalkan, katakanlah kelemahan tubuhnya, untuk membuat lelucon. Atau beberapa penyanyi yang lebih ke arah menjual kualitas musik mereka dibandingkan citra tubuh dan penampilan. Tapi Harry, sayangnya, bukan tipe seperti itu. Ia adalah tipe aktor yang mengincar peran-peran utama di film-film. Ia sudah punya masalah dengan tinggi badan, ia tidak ingin menambah masalah itu dengan berat badan.
Ponsel Harry kini speakernya mengudarakan lagu stayin' alive dan hanya di dapurnya saja Harry cukup berani untuk menari mengikuti irama lagu. Jadi yah... ini sore yang menyenangkan. Harry berpikir untuk menonton beberapa film horror dengan reputasi paling buruk. Kau tahu? Film-film horror yang lebih mengarah ke menjijikan daripada menyeramkan. Harry suka film-film horror seperti itu.
Ia sedang berpikir untuk menonton The Assylum atau The Last Exorcist ketika lagu stayin' alive-nya berhenti dan tergantikan dengan dering standar pada ponsel pintarnya. Ia menuju ujung meja makan yang tak begitu jauh dan masih berada di sekitar dapur. Harry menengok ID peneleponnya dan menemukan nama Hermione di sana.
Mengernyit sesaat, karena jika ada seseorang yang tahu bahwa Harry paling tidak suka diganggu selama proses 'penenangan diri'nya. Itu pasti Hermione sebagai manajernya. Tapi yah... mungkin ada sesuatu yang penting?
"Hallo?" Harry seharian ini nyaris tidak bicara pada siapapun jadi entah mengapa suaranya terasa aneh di telinganya.
"Ouh sebentar aku bicara dulu dengan— Harry! Ada berita bagus!"
"Tentu saja harus berita bagus. Kau sendiri yang tahu aku tidak suka diganggu selama 'program penenangan diri'." Harry bisa membayangkan Hermione sedang memutar sebal bola matanya di ujung lain saluran.
"Oke. Superstar... Dengar… Malam ini, jam 8 malam, ada pesta perayaan rampungnya folie a deux... Ron mengundang beberapa nama terkenal, dan coba tebak siapa yang bersedia datang?" di ujung sana nada excited Hermione tidak terganggu dengan ketiadaan antusias dari pihak Harry.
Harry menghela nafas, terdengar malas menebak-nebak, "Mahatma Gandhi? Houdini? Kurt Cobain? John Lennon?"
Ada dengusan kesal, "Kita sudah sampai pada titik kesepakatan bahwa secinta apapun kau pada film horror, kita tak pernah bisa mengundang mereka yang sudah mati untuk ikut pesta koktail, oke?" berhenti sesaat. Nada suara Hermione kembali mengandung antusiasme yang sama seperti sesaat tadi, "Seseorang yang kita dengar akan me-remake The Woman in Black tahun depan?"
"Oh! Shit! Really?" Harry tanpa sadar meloncat beberapa kali. Hermione tertawa-tawa bahagia di ujung sana.
"Yuppp…" pada huruf 'p' Hermione sengaja memainkan bunyi 'pop' dan itu terdengar menyenangkan. Harry tahu betul sahabat sekaligus manajernya itu sedang memasang tampang sok serba tahunya saat ini. "So, now you might want to go make yourself look pretty? Or you can stay at home, eat salad, and watch horrible horror movie? Terserah padamu…"
"Nah... Aku pergi, tapi aku tidak perlu tampak cantik untuk mendapatkan peran Arthur Kipps. Lagipula, ada seseorang yang lebih harus tampak cantik, kurasa…"
"Siapa?" Hermione bertanya cepat.
"Seseorang yang sedang berusaha menjadi kekasih tuan rumah misalnya?" Harry tertawa senang karena berhasil membuat Hermione menjeritkan namanya sebal. Biasanya ia menghindari kesempatan untuk menggoda Hermione karena balasannya bisa saja lebih menyakitkan. Cubitan di lengan atan pukulan Hermione tidak pernah bisa dikategorikan sebagai serangan main-main gadis yang jatuh cinta. Lebih seperti tenaga dalam para petarung dari negeri Cina.
Setelah itu sambungan telepon terputus begitu saja karena ada suara lain yang terdengar memerintah memanggil Hermione. Ia hanya sempat menggumamkan soal mobil jemputan Harry akan datang pukul 7 lebih 15 menit. Sebelum kemudian telepon ditutup dengan begitu absurd.
Tidak seperti Harry yang perkerjaannya yang bisa dibilang selesai begitu proses syuting selesai. Hermione harus tetap datang ke kantor agensinya dan mengatur jadwal Harry. Memastikan kelancaran pembayaran dan pelunasan segala tagihan Harry. Membuat entah laporan tentang apa yang harus ia berikan pada atasan mereka di agensi. Bukan sebuah pekerjaan yang santai. Jika ada yang berpikir bahwa menjadi manajer artis itu menyenangkan karena punya kesempatan untuk sering bertemu dengan artis dan mereka dibayar untuk mengetahui segala hal pribadi tentang para artis. Entahlah, Harry ingin menonjok orang itu dan berteriak soal betapa naifnya orang tersebut.
Harry berharap ia bisa cepat berada di tatanan artis-artis sekelas Draco Malfoy atau mereka yang sudah pernah sekedar menjadi calon penerima academy awards. Jadi, ia bisa keluar dari agensi dan membayar orang-orangnya sendiri. Membuat Hermione tidak perlu direpotkan dengan berbagai laporan entah apa untuk atasan mereka kini.
Harry bukan artis baru. Ia sudah menekuni dunia akting sejak kecil. James Potter dan Lily Potter, kedua orang tuanya adalah aktor dan aktris yang cukup punya nama. Sayangnya Harry sempat berhenti dari dunia hiburan selama masa remajanya. Bukan tanpa alasan ia meninggalkan dunia yang membuatnya jatuh cinta sejak kecil, ada sebuah kejadian yang tak biasa Harry bicarakan. Semua orang tahu kejadian itu. Setidaknya semua orang yang dulunya menyukai akting Harry ketika ia masih artis cilik.
Kemudian ia masuk lagi ke dunia akting setelah dipaksa ibunya untuk mengambil kelas akting seminggu sekali sambil mengisi waktu kosong liburan musim panas pertamanya ketika ia masih menjadi mahasiswa jurusan teknik kimia. Dan kemudian sadar bahwa ia terlalu mencintai dunia ini untuk sepenuhnya meninggalkannya dan berusaha berhenti menjadi selebritis.
Sayangnya, judul-judul film yang Harry bintangi belum bisa mengangkat lagi namanya, beberapa peran pembantu di drama-drama terkenal belum bisa membuatnya seterkenal dulu ketika ia masih kanak-kanak. Dan yah... image Harry Potter sebagai artis cilik yang berusaha keras bertahan di dunia hiburan tidak membantu mengangkat pamornya.
Bukan berarti Harry tidak bahagia dengan pencapaian film-film atau drama yang dimainkannya. Setiap peran yang ia mainkan selalu bermakna sesuatu untuk Harry. Hanya saja masyarakat… Orang-orang… mereka tidak pernah mengukur sesuatu dari sudut pandang yang benar-benar positif bukan? Bukankah omong kosong ketika 'mereka' berkata untuk menjadi dirimu sendiri lalu membicarakan tentang betapa 'aneh'nya dirimu menurut standart mereka di belakangmu?
Tapi, mungkin setiap dari kita adalah bagian dari omong kosong ini. Harry berpikir untuk beberapa saat. Ya, ia juga bagian dari semua omong kosong ini. Jadi terserah. Ia akan melakukan apapun yang ia suka, sebaik yang dia bisa. Dan berusaha keras untuk tidak mempedulikan apapun yang orang-orang katakan tentang dirinya.
Harry menatap celemek hijaunya, dan titik-titik noda yang berkeliaran di sana. Harry mengangguk pada dirinya sendiri. "Yah... Mandi bukan ide buruk…" gumamnya pada sepi. Sambil menahan senyum excited di bibirnya. Ia menyelesaikan masakannya dengan terburu-buru tanpa memutar kembali stayin' alive dan menuju kamar mandi.
Sambil berdoa dalam hati. Ia bisa mendapatkan peran yang diidamkannya ini.
.
.
.
Untuk seseorang yang sebenarnya tidak menyukai acara sosialita semacam malam ini, Harry tahu dirinya tersenyum terlalu lebar. Ia tidak pernah berusaha sekeras ini sebelumnya. Ia bertemu dengan nama yang dijanjikan Hermione, James Thomas Watkins. Hermione tahu betul Harry jatuh cinta pada Eden Lake, film horror lainnya besutan sutradara tersebut. Salah satu film yang dapat review 'cukup positif' dari Harry, "Untuk sebuah british horror movie , tetap klise seperti biasanya, tapi brutal dan luar biasa! Kau harus menontonnya!" Dan sampai sekarang Hermione tidak pernah menontonnya.
Hermione membenci film horor dengan segala logika yang dimilikinya. "Mereka hanya dibuat untuk membuatmu ketakutan! Ayolah! Manusia bodoh mana yang membayar untuk membuat dirinya ketakutan?!" di suatu hari yang buruk setelah accident Harry yang kakinya terkilir di sebuah setting sitkom yang dibintanginya dan memaksa Hermione untuk membawakan DVD-DVD film horror kesayangannya ke rumah sakit.
Harry mendebat balik Hermione, "Manusia bodoh yang sama yang membaca cerita-cerita angst dari novel-novel terjemahan!" menunjuk sebuah novel yang ditulis seorang penulis keturunan Amerika-Cina tentang kehidupan di istana yang saat itu ada di tangan Hermione. Mereka mengakhiri perdebatan tersebut dengan dengusan sebal Hermione.
Pikiran pemuda yang tersenyum menyeringai pada kamera papparazi yang menyebar di seluruh taman tempat pesta ini digelar, kembali ke tempat seharusnya. Harry berdehem pelan lalu, tersenyum sekali lagi ke sebuah jepretan kamera dengan ukuran senyum yang terlihat jauh lebih normal daripada yang sebelumnya. Ia bergegas mencapai Hermione yang menggunakan dress berwarna biru metalik yang sedikit terlalu ketat, yang mungkin jika dipakai gadis lain akan membuat mereka terlihat murahan, entah bagaimana aura Hermione berhasil membuat dress itu terlihat anggun di tubuhnya.
"Berhenti menyeringai, Harry!" Hermione menjentikkan jarinya di depan wajah Harry yang tak bisa berhenti tersenyum. Pemuda itu membiarkan Hermione merapikan dasinya dan menepuk untuk menyingkirkan 'entah apa' dari pundak Harry yang tertutupi jas silver.
"Kau mau dengar yang dikatakan James Watkins padaku? Dia bilang bahwa aku punya potensi yang bagus untuk peran ini!" ujarnya yang kini memeluk Hermione erat dan terlihat seperti anak umur 5 tahun yang terlalu banyak memakan permen sebelum makan malam. Dagunya bersandar pada bahu Hermione yang tertutupi kain dari dressnya.
"Oke Harry! Kembali ke bumi sekarang juga, kau sunguh-sungguh harus berhenti menyeringai."
"Ayolah Hermione... Kau harus mengakui kau sebenarnya terobsesi dengan seringaianku…" ujar Harry sambil mengerling menggoda ke arah Hermione.
Hermione memutar bosan bola matanya, "Aku tidak tahu apa ada cara yang lebih sopan untuk membuatmu menghentikan senyum maniak itu! Tapi kuingatkan kau punya reputasi dan image yang harus dijaga, oke?" dan Hermione jika tidak bisa dikatakan seperti ibu yang kewalahan menghadapi antusiasme anaknya, tidak ada penjelasan lain yang lebih tepat untuk menggambarkan Hermione yang berusaha melepas pelukan Harry padanya.
Harry akhirnya berhenti memeluk Hermione dan berusaha merapikan ekspresi wajahnya agar tidak terlalu apa istilahnya... Creepy? Ya semacam itulah. Ia menarik nafas dan mengatur bibirnya untuk tersenyum lebih layak. Senyum aktor Inggris pemalu yang tampak terlalu manis untuk ada di wajah seorang pria. Harry benci jika ada yang menyebutnya cantik, dan lebih benci lagi ketika foto-foto dirinya yang diambil di pemotretan resmi atau oleh fans atau papparazi membuatnya harus mengakui hal itu. Tapi saat ini Harry tidak peduli, ia tersenyum ramah pada beberapa orang lainnya. Bahkan mengajak basa-basi beberapa kritikus film yang muncul di pesta tersebut.
Bahkan Rita Seeker! Harry bangga pada dirinya sendiri karena bisa bertahan selama 3 menit dan mendengarkan wanita itu membual soal beberapa nama artis yang baru saja ditemuinya di pesta ini. Biasanya Harry sangat menghindari perempuan itu, bahkan jika ia perlu mengubur dirinya hidup-hidup ia akan melakukannya. Dan ketika ia berpikir untuk tidak perlu melakukan itu wanita itu tiba-tiba saja memotong kalimatnya sendiri dan bertanya pada Harry, "Ah! Aku ingin bertanya satu hal, apa poin dari mengambil pekerjaan ini Harry? Maksudku... Kau Gay... Kau tidak akan mendapatkan pujian karena berakting sebagai gay, ya kan?"
Pemuda itu mematung untuk sesaat. Ia benci hal ini. Setiap kali ia berpikir bahwa ia bisa terus maju menjalani hidup dan melakukan sesuatu, menghasilkan karya. Orang-orang akan kembali pada orientasi seksualnya. Seakan hal itulah satu-satunya yang bisa diingat darinya.
"Ron mempercayakan peran ini padaku. Ia berusaha memberikan pesan pada karyanya dan aku ingin membantunya." Itu seharusnya alasan yang cukup bagus untuk menutup mulut siapapun. Tapi jelas bahwa Rita Seeker bukan 'siapapun'.
"Yah... Tapi mungkin tidak di film ini... Kau sadar bukan bahwa menjadi gay sudah menghambat banyak hal dalam karirmu... Kau seharusnya tidak membiarkan dirimu memerankan…" wanita itu membuat ekspresi menilai pada penampilan Harry yang akan dengan mudah membuat siapapun merasa tersinggung. "Yah dirimu, Kau tahu?" lalu ia tertawa begitu riang seakan ada sesuatu yang sungguh-sungguh lucu untuk ditertawakan.
"Orang belum melupakan 'kejadian itu' Harry... mereka akan mulai membicarakannya lagi... Kau tahu? Manusia senang menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain untuk melupakan kesalahan dirinya sendiri…" ia tertawa lagi, kali ini nadanya lebih mengejek dari sebelumnya. "Dan yang paling menyenangkan adalah aku selalu bisa mendapatkan uang dari hal itu…"
"Well, tapi kurasa kau mungkin cuma berusaha membantu Mr. Malfoy junior untuk melengkapi penghargaan aktingnya? Hmmm? Aku sudah bisa melihat pemuda itu memegang Oscar untuk peran utama kali ini… Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah layak kau dapatkan?" Harry tanpa sadar mengepalkan telapak tangannya, membentuk tinju yang ia tahan untuk tidak ia keluarkan. Ia membenci darahnya yang mendidih.
Ini hanya komentar bodoh. Bukan pertama kali ia menghadapinya. Ia pernah menghadapi yang jauh lebih buruk tentu saja.
Ia tahu betul bahwa orang-orang bicara semaunya.
Harry pun terkadang begitu. Tanpa sadar. Atau terkadang sadar namun tanpa benar-benar sadar akan konsekuensinya.
Harry menarik nafas dan ketika berhasil mengendalikan kemarahannya, ia hanya tersenyum tipis pada wanita dengan dandanan menor tersebut. Lalu pergi menjauh. Ke sudut lain pesta.
Ini malam yang menyenangkan. Ia belum sempat bicara lama dengan Ron karena ia harus berkeliling dan menjadi tuan rumah yang baik. Hermione juga sedang berkeliling untuk membantu Harry mendapatkan kontak-kontak yang mungkin ia butuhkan untuk kelangsungan karirnya.
Karir yang mungkin tidak bergerak lebih jauh. Harry mendesah. Ia seharusnya tidak membiarkan komentar tadi mengganggu pikirannya.
Tak lama ia melihat Draco Malfoy datang, dengan setelan biru muda yang nampak mengkilap dan dasi hitam, ia dengan segera dikerubuti para wartawan. Bisik-bisik pujian bisa ia dengar dari beberapa pembicaraan. Harry, suatu hari nanti, ingin menjadi seseorang yang kehadirannya membawa dampak seperti itu. Tapi yang bisa Harry lakukan kini hanya memandang dari jauh.
Jadi, Harry mengambil segelas wine lalu menyingkir ke sudut sepi taman.
Pesta berlangsung hangat dan menyenangkan, musik jazz mengalun ringan diselingi beberapa penyanyi kenalan Ron yang datang dan menyanyikan lagu andalan mereka di panggung sederhana. Harry selalu merasa amazing dengan kemampuan Ron untuk membuat pesta di antara selebrita dan sosialita yang digelarnya tidak terasa seperti kumpulan mereka yang gila perhatian dikumpulkan dalam satu ruangan. Entah mengapa, pesta Ron selalu berhasil terasa lebih ramah lingkungan untuk mereka yang semi-semi introvert seperti Harry. Yah, setelah dipikir ulang mungkin karena Ron juga semi introvert seperti Harry.
"Menikmati waktumu, Potter." Harry berharap ia tidak dibesarkan sebagai gentleman Inggris di saat-saat seperti ini. Ia berharap ia adalah remaja apatis, yang memang adalah sebenarnya ia di satu sisi. Tapi Harry tidak bisa mengabaikan begitu saja suara menyebalkan yang menyebut namanya dengan nada yang hanya bisa dimiliki satu orang di dunia ini; Draco Malfoy.
Jadi Harry berbalik, seperti seharusnya ia bersikap, "Kukira kita sudah sepakat untuk berhenti berdebat begitu proses shooting selesai...?"
Draco melebarkan seriangaiannya. Seringai tokoh antagonis yang anehnya membawanya memenangkan salah satu penghargaan paling bergengsi di bumi ini untuk para penggelut layar lebar. Harry membenci seringai antagonis itu, juga mata keabuan Draco yang tampak cemerlang dalam kelabu, juga rambut platinumnya yang tersisir rapi dan tampak mengkilap, juga hidung mancungnya yang begitu pas dengan kontur wajahnya. Harry benci semesta yang membuatnya harus mengakui bahwa Draco Malfoy adalah salah satu specimen paling menarik yang pernah dilihat matanya.
"Aku hanya berusaha terlihat ramah, Potter..." Harry mengenyit. Ada dua kata yang tidak seharusnya berada dalam kalimat Draco barusan yaitu kata berusaha dan ramah. Pertama, Karena Draco adalah pangeran pewaris perusahaan besar dan ia adalah putra tunggal salah satu keluarga yang masih berkerabatan dengan keluarga kerajaan. Ia memiliki bakat alami dalam berakting dan kemampuan bermusik yang cukup mumpuni. Ia tampan dan ia tidak pernah kehabisan wanita yang mengejar-ngejarnya meskipun sudah menjadi rahasia umum bahwa para mantan kekasih pria yang berdiri di hadapan Harry saat ini, dibuang begitu saja, sia-sia. Sungguh! Harry tidak yakin apa ia pernah benar-benar berusaha untuk mendapatkan sesuatu? Oke. Mungkin untuk karir bermusiknya yang memang tidak begitu cemerlang seperti karir aktingnya. Tapi ia menyandingkan kata berusaha dengan kata ramah. Dan itu ditujukan pada Harry Potter. Jadi, tolong biarkan Harry merasa bingung untuk beberapa saat karena itu sama sekali tidak masuk akal.
Dan di atas segala ketidakmasukakalan itu, Draco tidak memperdengarkan nada sarkastik di kalimat barusan.
Setelah beberapa saat terbebas dari pikiran hiperbolisnya. Harry menggeleng masih dengan tampang yang terkaget-kaget. "Apa yang sedang kita mainkan sekarang, Malfoy? Aku tahu bagimu, aku hanya aktor kelas dua yang bahkan tidak perlu repot-repot berusaha karena pada akhirnya aku akan tetap si kelas dua. Kau sudah bisa memastikan kegagalanku. Kau mengkritik aktingku, yang oke.. mungkin beberapa fair… Tapi kebanyakan adalah tikaman tepat pada harga diriku. Jadi, maaf jika ini terdengar kasar... Tapi apa maumu saat ini?"
Draco memainkan tampang dimana ia tampak terluka dengan kalimat Harry. Harry memutar bola matanya untuk ekspresi itu ketika Draco mulai berkata, "Bukankah aku sudah bilang bahwa kau tidak begitu buruk?"
Harry menenggak habis isi gelas winenya. "Ya. Dan aku tidak mau tahu hinaan apa yang ada di balik kalimat itu." Ia lalu pergi begitu saja meninggalkan Draco. Ia tidak sama sekali berbalik untuk memeriksa ekspresi pria itu ketika ia meninggalkannya. Harry tidak butuh melihat seringaian antagonisnya atau tawa mengejek yang dikeluarkannya.
Harry Potter membenci Draco Malfoy.
Jadi ia butuh lebih banyak alkohol untuk menyingkirkan pikiran tentang adegan ciuman mereka yang diulang berkali-kali. Dan ketidakmampuan Harry untuk mengendalikan pandangan matanya dari bibir pemuda itu. Shit! Mengapa semesta sepertinya tidak ingin membiarkan Harry berada dalam mood bagus terlalu lama.
Ia pergi ke arah kerumunan orang-orang. Mencari-cari di antara mereka yang menggunakan gaun-gaun mahal dan tuxedo yang Harry malas perkirakan harganya, dimana kira-kira Hermione dan Ron berada. Biasanya rambut ginger Ron lebih mudah ditemukan, tapi sepertinya Ron sekalian mengadakan ginger gathering di pesta ini. Karena Harry sudah dua kali salah orang. Memalukan. Setelah berkeliling beberapa saat ia menyadari bahwa seperempat yang hadir di pesta malam ini berambut merah seperti keluarga Weasley.
Harry menyerah dan mengambil segelas brandy, karena lidahnya mulai bosan dnegan rasa manis wine. Ia menurunkan setengah semangatnya untuk berkeliling mencari-cari. Tapi masih sesekali menengok kanan kiri senadainya saja wajah dua orang yang paling familiar baginya di pesta itu lewat di sekitarnya.
Di tengah taman ada air mancur kecil yang dihiasi sapuan cahaya hijau dan merah yang bergantian dengan ungu dan biru. Hiasan di tengah air mancur adalah sebuah patung marmer putih berbentuk beruang yang duduk memeluk teddy bear. Harry memandangi sambil lalu mata beruang itu.
Taman luas itu jadi nyaris terlihat tak berujung ketika temaram lampu berkelap-kelip di pinggiran. Dan lampion-lampion dengan cahaya kekuningan temaram saja membantu penglihatan.
Harry sudah lelah mencari ketika ia mendengar suara gugup Ron mengudara ke seluruh taman. "Selamat Malam…" Harry berbalik dan menemukan Ron di panggung berukuran sedang di ujung taman. Panggung yang tak begitu tinggi dibangun dengan kayu mahoni yang dicat putih. Harry mencatat dalam kepalanya bahwa ia menyukai hiasan mawar merah di sekitar dedauanan yang menjadi dekorasi.
"Tenang saja. Tidak ada pidato part 2. Hanya sedikit ucapan terima kasih pada kalian semua yang menyempatkan datang. Dan yah… seperti yang saya ceritakan untuk kata-kata pembuka film ini terinspirasi dari cerita dalam sebuah puisi yang saya minta untuk Draco Malfoy ubah menjadi sebuah lagu yang rencanya akan menjadi original soundtrack untuk film ini. Dan coba tebak? Draco benar-benar berbakat, kurasa kalian sudah tahu itu. Jadi, mari kita sambut Draco Malfoy untuk naik ke atas panggung." Harry menyaksikan lampu sorot yang kini bergerak mengiringi langkah anggun Draco. Nampak gagah dan tampan meskipun di ekspresi mukanya ada alur kebosanan.
Harry tidak bisa menahan senyum sinis menyaksikan Draco Malfoy yang kini berinisiatif untuk mengulurkan lebih dulu jabat tangan ke arah Ron. Padahal pada film sebelumnya, Harry selama berjam-jam menerima keluhan Ron melalui pesawat telepon soal Draco Malfoy. Dari sekedar kata-kata angkuhnya yang menyayat hati sampai ancaman berhenti dari kesuluruhan proses produksi ketika mereka tinggal membuat 2 adegan akhir. Kenyataan bahwa mereka menandatangani kontrak atau apapun tidak akan menghentikan Draco Malfoy dari melakukan tindakan apapun yang diinginkannya. Entahlah. Draco Malfoy adalah seorang aktor yang punya karisma dan di luar itu semua, ia punya aura pem-bully yang luar biasa. Ada banyak urban legend soal aura mematikan yang dikeluarkannya.
Dan Harry merasa itu tidak berlebihan ketika pertama kali bertemu dengan pemuda itu. Hanya saja, Harry sudah biasa menantang kematian, jadi menantang Draco Malfoy untuk berdebat di setiap adegan film mereka- yang bagi aktor lain mungkin dianggap bunuh diri.
Pemuda berkacamata minus itu menengok lagi ke panggung dan melihat Ron masih terus berbicara di atas sana. Aneh, jika mengingat biasanya Ron menghindari untuk berbicara di depan umum terlalu lama. Mungkin karena ini pestanya, entahlah. "…film ini tidak akan pernah ada jika bukan karena aku mengintip buku puisi Harry Potter…" Harry dan mata minusnya bisa melihat dari jauh bahwa Ron sedang menyeringai jahil ke arahnya. Seringaian yang biasanya ia keluarkan ketika ia punya ide bagus-menurutnya- untuk menjahili Harry. Sementara Draco masih sibuk menyetel gitarnya untuk mendapatkan nada yang ia inginkan.
"Jadi... Hey! Draco! Bagaimana kalau kau membiarkan Harry membacakan beberapa bagain dari lirik lagu ini?" Harry menelan ludah, melihat wajah Draco yang samar-samar mengeras, gesture tubuh Draco membahasakan ketidaksetujuan dengan ide yang Ron lontarkan.
Ide buruk, Ron... Harry membiarkan tangan kanannya memasuki saku celana dan berusaha mengabaikan pandangan orang-orang yang mulai mengarah padanya. Harry tahu Draco akan menolak, ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan sakit hati jika Draco mengatakan sesuatu yang tajam soal ia tidak ingin berdiri sepanggung dengan aktor kelas 2 macam Harry. Ia hanya berdoa semoga Draco tidak sejahat yang legenda katakan soal dirinya, dan menolak untuk tampil sama sekali. Itu akan mempermalukan Ron di pestanya sendiri.
Harry tidak ingin melihat adegan semacam itu.
Rasanya adegan beberapa hari lalu ketika Draco Malfoy datang menghampiri Harry di hari terakhir syuting terulang kembali. Semua orang menahan nafas dan mulai berbisik-bisik. Menunggu jawaban dari Draco. Beberapa tatapan sinis mulai mengarah pada Harry. Harry tidak takut untuk balik membalas tatapan sinis itu, hanya saja ini sudah lewat jam 9 malam dan ia sedang terlalu lelah untuk memancing keributan tambahan.
Draco Malfoy melepas pegangan tangannya dari gitarnya, lalu menarik miknya yang tersimpan pada stand mic. "Tidak masalah kurasa…" sama sekali tidak ada keraguan. Nada suaranya datar dan tampang stoic dari wajah aristokratis Draco Malfoy sama sekali tidak mengherankan siapapun. Tapi 3 kata terakhir digumamkannya dihadiahi decak keheranan yang menyebar di beberapa sudut taman.
Di balik kacamatanya Harry membelalak, terkaget-kaget dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia baru mulai merespon ketika mendengar namanya diumumkan Ron untuk naik ke atas panggung. Seorang pelayan mendekatinya dan berbaik hati mengambil gelas brandy dari tangannya. Harry dengan kikuk menggumamkan terima kasih, lalu mulai berjalan mendekati panggung.
Ia bersyukur karena di sistem peredaran darahnya kini mengalir alkohol dan kepalanya terasa jauh lebih ringan. Setidaknya ia bisa lebih mudah mengabaikan mata-mata yang mulai menjudgenya saat ini. Juga ketakutan dan demam panggung yang biasanya menyerangnya jika harus mendadak membacakan karyanya di depan umum. Harry menyisir rambut hitamnya ke belakang, berusaha menyingkirkan adegan ketika ia kabur ke belakang panggung setelah memenangkan lomba puisi di sekolahnya dan guru bahasa Inggrisnya memintanya untuk membacakan karyanya.
Harry tidak mengerti kenapa mereka ingin Harry membacakan puisi yang ditulisnya. Ada alasan bagus kenapa ia hanya berani memposting online denga nama samaran puisinya selama bertahun-tahun. Karena ia tidak ingin membacakannya. Dan Ron tahu betul hal itu.
Harry melempar death glare ke arah Ron ketika ia sampai di depan panggung.
Ketika menerima mic dan kerlingan menggoda dari Ron yang kemudian mulai menuruni panggung. Harry berdiri di tengah panggung di samping Draco Malfoy yang kursi tinggi sambil memangku gitar akustiknya. Draco Malfoy mamandanginya dengan tatapan yang menggambarkan pertanyaan, tapi Harry tidak bisa memikirkan apa tepatnya pertanyaan yang Draco Malfoy ajukan padanya.
Draco Malfoy menjauhkan bibirnya dari stand mic untuk berbisik pada Harry, "Kau mau membacakan bagian mana?"
Harry mengerjap, pupilnya membesar sedikit akibat alkohol. Untuk beberapa saat ia mengingat-ingat demo yang Ron kirimkan padanya 5 hari lalu. Berusaha mengingat bagian mana dari puisinya yang Draco Malfoy ubah menjadi chorus, bridge… ia mengangguk pelan, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. Menjauhkan mic di tangannya dan balik berbisik pada Draco.
"Bridge sebelum pengulangan chorus terakhir. Aku bisa membacakan chorusnya sekali dan kau menyanyikannya sekali lagi?" Draco mengangguk setuju.
Dan tanpa basa-basi mulai memetik gitarnya. Pemain keyboard di sisi lain panggung memasuki harmoni syahdu, Harry menyukai melodi awal lagu ini. Berkesan gelap. Mengakomodasi perasaan ketersesatan yang ada pada kata-kata Harry.
"My lovers got humour
She's the giggle at a funeral
Knows everybody's disapproval
I should've worshipped her sooner", Harry harus mengakui suara Draco berkesan berbeda dari lagu-lagu top 10-nya yang biasanya lebih ringan, Meskipun tidak bisa dikatakan pop juga. Harry tidak tahu kalau suara Draco bisa mengalunkan keputusasaan dan keinginan memberontak dari kata-kata Harry.
"If the heavens ever did speak
She's the last true mouthpiece
Every Sunday's getting more bleak
A fresh poison each week", Draco Malfoy berhenti sesaat, dramatisasi perasaan dari melodi yang dipetik gitarnya. "'We were born sick,' you heard them say it."
Harry menutup mata dan menggumamkan kalimat yang sama. Tarian nada dari jemari Draco Malfoy menyambung ke verse berikutnya. Harry menatap ke arah pemuda itu. Terpesona dengan penjiawaannya. Kata-kata Harry menjadi miliknya, menyatu dalam harmoni dari musik yang digubahnya. Harry terlalu takut untuk melihat bagaimana orang-orang di depan panggung bereaksi pada kata-katanya. Jadi, ia mempertahankan kelopak matanya untuk tetap menutup.
Membiarkan musik dan suara Draco Malfoy membangun kepercayaan dirinya.
Harry tersenyum simpul ketika Draco sampai pada bagain chorus, "Take me to church
I'll worship like a dog at the shrine of your lies
I'll tell you my sins and you can sharpen your knife
Offer me that deathless death
Good God, let me give you my life", mengulang bagian itu sekali lagi dengan kesesakan perasaan yang lebih mencekam.
"If I'm a pagan of the good times
My lover's the sunlight
To keep the Goddess on my side
She demands a sacrifice
Drain the whole sea
Get something shiny
Something meaty for the main course
That's a fine-looking high horse
What you got in the stable?
We've a lot of starving faithful
That looks tasty
That looks plenty
This is hungry work" Harry membuka mata di ujung verse kedua. Suara tercekat Draco benar-benar membahasakan kemuakan yang ingin Harry kemukakan. Musik mengalun, suara Draco membaur, mengulang chorus. 'Berbicara' dengan kata-kata Harry yang kini menjadi miliknya, dalam balutan nada yang dengan tepat menyampaikan makna. Harry untuk pertama kali tidak menyesal membiarkan orang lain menggunakan kata-katanya. Lucunya, bahwa orang tersebut adalah Draco Malfoy. Harry menahan tawa sarkasmenya.
Harry menarik nafas, sedikit lagi bagian Harry yang akan 'bicara'.
Draco sengaja menurunkan satu tangga nada gitar yang dipetiknya. Lalu petikan Draco menghilang perlahan-lahan dengan elegan, membiarkan tarian jemari pemain keyboard yang menemani suara Harry Potter berikutnya.
"No Masters or Kings
When the Ritual begins
There is no sweeter innocence than our gentle sin" Draco berbalik menyaksikan mata sendu yang membungkus emerald Harry Potter. Getar di suaranya bukan karena kegugupan, Draco tahu pasti. Itu bagian dari luapan emosi. Draco berbalik dan menilik penonton mereka yang terdiam. Dimanipulasi ketersimaan.
"In the madness and soil of that sad earthly scene
Only then I am human
Only then I am clean" teriakan penuh kemuakan pada kalimat pertama entah bagaimana bisa berimbang kemudian dengan bisikan kemarahan di dua kalimat terakhir. Draco untuk beberapa saat terpesona dengan wajah Harry Potter yang memerah.
Bibir bagian bawahnya yang mengkilap karena tanpa sadar digigitnya. Emeraldnya yang menatap kerumunan dengan tatapan kekecewaan. Lalu ia menarik seringai tipis, seringai antagonis yang tak pernah Draco lihat di wajah Harry Potter sebelumnya.
Lalu dengan sinis bersuara, "Amen. Ameeen… Aaameeen…" matanya menutup. Suara seraknya menghipnotis khalayak. Senyap tiba-tiba. Tak ada yang berani bersuara hingga kemudian nada-nada keyboard kembali mengudara.
Kepala Harry Potter bergerak mengikuti alunan melodi keyboard yang mencekam. Dia tidak memainkan melodi yang sama ketika Draco menyanyikan chorus. Dentingannya berbeda. Sesuatu yang terasa lebih dalam. Gelap yang nyaris mendekati sirna. "Take me to church. I'll worship like a dog at the shrine of your lies." Ada senyuman menggoda, seakan Harry Potter benar-benar menawarkan dirinya. Benar-benar menyerahkan dirinya.
Draco tidak mengerti bagaimana, tapi ia menemukan sensualitas dari emerald Harry yang tampak terluka ketika mulai mengucapkan kalimat berikutnya, "I'll tell you my sins and you can sharpen your knife." Harry Potter mendesah pasrah. Draco tak mengerti apa yang membuatnya meneguk ludah, "Offer me that deathless death…" ujung kalimat yang menggantung menghipnotis Draco untuk mendekat.
Di emerald Harry Potter tersirat luka. Ia tampak rapuh dalam keindahan yang terjamah. Dan Draco ingin menjamahnya. Jadi, tanpa sadar ia kini berdiri berdampingan, menatap Harry Potter dengan ketersimaan. "Good God, let me give you my life." Harry Potter berbisik. Suaranya mengandung energi mistis yang menggerakkan Draco mendekat. Menghabisi jarak.
Ia lupa jika ia masih harus bernyanyi.
Ia lupa bahwa ia tidak pernah tertarik berurusan dengan Harry.
Ia lupa bahwa ia berada di atas panggung kini.
Ia lupa bahwa ada puluhan papparazi yang siap menangkap momen ini.
Draco Malfoy kini hanya merasakan bibir merah Hary Potter yang terasa lembab dan manis. Ia bisa mencium wine dan entah apa. Draco sadar bahwa yang ia cium adalah lelaki ketika tak merasakan tekstur lipstick pada bibir Harry. Tapi entah mengapa ia tak peduli, ia menjilat bagian bawah bibir Harry, untuk meminta akses. Tangan kanannya menjebak leher Harry agar tak menjauh dari jangkauannya kini. Sementara tangan kirinya menyusup ke rambut Harry dan mengomandoi gerakan kepala mereka. Draco merasakan kekagetan, meskipun begitu Harry tak sungguh-sungguh memberontak. Ia hanya diam tak membalas dan meskipun setengah pasif ia membuka bibirnya. Membiarkan Draco memperdalam ciuman mereka.
Ciuman.
Ciuman? Kesadaran tiba-tiba membanjiri logika Draco. Ia melepas ciuman itu, sedikit banyak menghempaskan kepala Harry agar menjauh dan mundur satu langkah. Ia masih mendengar alunan chorus dari keyboard di sisi lain panggung. Draco menengok pada wajah wanita muda yang penuh pertanyaan dan secara profesional tetap memainkan keyboardnya meskipun terjadi adegan tak semestinya di panggung mereka. Draco berbalik ke arah penonton dan mengabaikan reaksi keheranan di wajah-wajah yang menyaksikan ciuman barusan.
Menyelesaikan lirik terakhir lagunya dan memetik gitarnya hingga nada penghabisan. Setelah menggumamkan terima kasih. Ia berbalik ke sebelahnya. Sekilas ia bsia melihat siluet Harry Potter yang berjalan tergesa menuruni tangga panggung.
Ia menyimpan gitarnya dan mengikuti langkah tergesa tersebut.
.
.
.
Apa-apaan barusan?!
Harry berjalan menembus kerumunan dan ratusan jepretan yang tiba-tiba saja terfokus padanya. Langkah kakinya berjalan lurus entah ke mana. Ia hanya berusaha sebisa mungkin menghindari kerumunan wartawan dan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Matanya memaku tanah. Harry hanya berharap bahwa kakinya membawa dirinya ke arah luar taman atau ke arah rumah Ron dan Harry bisa menyembunyikan diri di sana.
Harry berhenti akhirnya ketika papparazi yang menahan langkahnya sudah tak memungkinkan untuk ditembusnya seorang diri. Ia ingin menangis. Keterengah-engahan nafasnya memperburuk kepanikan di kepalanya. Pemuda itu merasa terjebak, di sebuah ruang sempit dan blitz kamera terasa menyayat kulitnya.
Mendadak ia merasa kembali 15 tahun. Ketika karirnya hancur dan semua orang menjauh.
Ketika satu hal kecil mengenai seksualitasnya seakan mengancam dunia. Dunia yang mencintainya berbalik memaki-makinya. Harry ingin menangis dan ia tidak peduli. Ia akan menangis jika saja ia bisa menangis saat ini. Tapi tidak, ia tidak bisa. Secara fisik matanya terasa terlalu kering. Harry tidak mengerti kenapa. Campuran kepanikan dan alkohol sama sekali tidak membantu Harry untuk memecahkan masalahnya kini. Mencari jalan keluar.
"Menjauh darinya!" Harry mendengar suara dan menyingkirkan beberapa kamera di belakang tubuhnya. Lalu sebuah tangan yang merangkul pundaknya, suara yang tak dikenalinya itu berbisik pelan. "Kau tidak apa-apa?" Harry baru bisa mengidentifikasi bahwa suara itu suara pria. Tapi tidak bisa menemukan dalam memori otaknya yang panik, siapa pemiliknya.
"Get away!" teriak suara yang kini pemiliknya merangkul Harry begitu erat. Harry membiarkan kakinya mengikuti ke mana kaki pemuda itu melangkah. Harry mengangkat sedikit kepalanya, dan melihat bahwa kali ini ia ada di jalan yang benar untuk menuju ke tempat parkir. Setelah beberapa teriakan dan balasan makian dari beberapa papparazi. Mereka sampai dekat sebuah mobil sedan hitam yang Harry gunakan ketika datang ke pesta petang tadi. Hermione sudah ada di dalam mobil itu. Membukakan pintu belakang untuk Harry dan tangannya terulur ke arah Harry. Harry dengan terburu-buru menyambut uluran tangan itu dan membiarkan Hermione memeluknya.
Sedetik kemudian sebuah suara menginterupsi kelegaan Harry, "You're safe now, Potter…" Draco Malfoy?! Ketika Harry mengenali suara itu dan berbalik untuk memastikan siapa yang membantunya. Pintu mobil itu tertutup. Klakson sedan itu dengan ribut berusaha menyingkirkan kerumunan papparazi yang kini menjebak laju mobil. Harry menengok lewat kaca belakang mobil dan melihat siluet jangkung yang kemudian ditelan kerumunan papparazi. Mobil Harry mulai bergerak sedikit demi sedikit.
Harry berbalik duduk seperti seharusnya. Memberanikan diri menatap Hermione. Hermione tersenyum mengayomi ke arahnya. Gadis itu menggeleng pelan, kemudian membawa Harry kembali ke pelukannya.
Berbisik pelan, "It's allright now…"
.
.
.
TBC
Note: Ok. Saya tahu harusnya saya ga mulai ff berchapter lainnya, tapi ide ini berkeliaran terus di kepala saya. Saya janji bakal selesaikan astronaut. Tapi ga janji soal yang ini. Bisa aja ff ini nasibnya kaya 'firework' yang ga saya beres-beresin karena idenya ilang begitu saya mulai nulis astronaut. Atau kaya 'once upon a time' yang saya ubah haluan jadi ide cerita buat proyek novel, makanya ga saya lanjut. Tapi mungkin… Cuma mungkin… kalau reviewnya menyenangkan saya bakal lanjut. Ceritanya di kepala saya juga pendek aja sih…. Paling 5 atau 6 chapter… Doakan saja.. *peace*
Untuk adegan ciuman Drarry di atas saya terinspirasi dari ciuman Gerard Way sama Frank Iero. Siapapun kalian yang merasa fujo dan belum pernah melihat that infamous kiss… kalian harus lihat! Cari di youtube atau di mana deh terserah kalian.. hahaha -_-v
Jadi.. uhm.. yah… Ditunggu komentarnya.. *senyum malu-malu*