[Hunhan FanFiction]
Disc: God, Parents, Agency, Me and shuckiestglader on ffn
Genre: Romance; Fluff – Shounen-Ai
Rating: T-M (for mature scenes in upcoming chapters)
Warning: Yaoi ; Boys Love ; Typos
.
a/n : yes…its finally updated. Bacanya pelan-pelan ya gaes C: ada a/n di akhir, tolong dibaca^^
And plase do leave feedbacks/reviews ^^
HAPPY READING!
.
.
OVER THE DESTINY
Chapter 4 [Ending Chapter]
.
.
.
Sehun tidak mengetahui apa yang terjadi padanya. Kepalanya terus saja berdenyut dengan mengerikan dan kaki-kakinya hampir menyerah menopang tubuhnya. Ia keluar dari dalam kamar mandi setelah baru saja menyikat gigi dan membasuh wajahnya padahal jam sudah menunjukkan pukul 15.45 saat itu.
Selama 3 hari terhitung ia meninggalkan kediaman itu, ia masih saja belum menemukan motivasi untuk kembali ke kehidupan normalnya yang semula sebelum ia mengintai keluarga Wu.
Sehun kembali terbatuk ketika nama itu muncul dalam otaknya, kali ini sedikit lebih keras dari biasanya. Tenggorokannya terasa begitu kering. Ia tergesa-tergesa hendak minum, namun karena ia tidak mempunyai air putih biasa di apartemennya saat itu, ia mengambil sekaleng bir yang semula berada di atas coffee table nya dan menenggaknya hingga habis.
Sehun sepenuhnya sadar bahwa apapun yang ia lakukan sekarang bukan sesuatu yang sehat dan baik. Sejak kepulangannya ke apartemennya yang ada di Incheon ini ia tidak pernah mendapatkan waktu tidur yang layak, pola makannya yang menjadi benar-benar berantakan serta rokok dan pemantik yang tidak pernah jauh dari jangkauannya.
Ia rasa ia sudah tidak waras.
Pagi hingga malam dan malam hingga pagi, hanya ada satu orang yang terus saja berada dalam pikirannya. Memenuhi hampir seluruh ruang dalam otaknya dan membuatnya kacau. Sehun tidak pernah mengerti bahwa dampak yang akan ditimbulkan akan separah ini. Seluruh tubuhnya terasa kebas, dan ia begitu lelah. Ia ingin melupakannya, demi Tuhan dan seluruh semestanya, Sehun ingin melupakan semuanya (ia bahkan membuang sim card ponselnya dengan kalut setelah mematahkannya).
Ia bukanlah lelaki yang pantas bagi Luhan, setidaknya ia sadar ketika ia melihat pria mungil kesayangannya itu menahan tangis di sudut ruangan dengan bahu yang bergetar.
Sehun menjatuhkan dirinya kembali di sofanya, sebelah telapak tangannya bergerak menutupi matanya karena sinar cahaya dari lampu diatasnya yang entah kenapa begitu menyilaukan. Ia memejamkan matanya. Mungkin ini adalah efek yang ditimbulkan bila kau hanya tidur selama satu jam semalam.
Belum sempat ia memejamkan matanya selama 10 menit, ia mendengar suara ketukan. Begitu pelan hingga Sehun bahkan harus duduk terlebih dulu dan memastikan bila ia hanya berhalusinasi atau nyata. Ketukan pintu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih keras dari yang pertama meskipun masih jauh dikatakan dari cukup keras untuk di dengar seseorang.
Sehun akhirnya berdiri, berjalan ke pintu tersebut tanpa benar-benar berpikir siapa yang akan ada di baliknya.
Ketika pintu terbuka, Sehun dibuat tercekat.
.
Sehun rasa rohnya baru saja ditarik keluar paksa dari tubuhnya ketika mata keduanya yang sama-sama memerah itu bertemu. Lidahnya terasa begitu kelu dan kata-kata yang ingin ia ucapkan berhenti di ujung tenggorokannya tanpa bisa ia suarakan.
"Lu..Luhan," ujarnya begitu lirih. Nada yang ia hasilkan lebih seperti pertanyaan seolah memastikan bahwa pria di hadapannya ini asli atau hanya satu lagi ilusi konyol yang dibuat otaknya –Sehun terus saja berhalusinasi tentang Luhan beberapa hari ini–.
Otaknya masih belum dapat mencerna semuanya ketika tiba-tiba saja tubuhnya di terjang oleh Luhan. Kedalam sebuah pelukan.
Tubuh Sehun oleng kebelakang, masih saja tidak mempercayai apa yang sedang terjadi. Tangannya masih saja menggantung di udara karena terkejut. Apa ia bermimpi? Apa Tuhan begini kejam hingga ia bermimpi seperti ini?
Namun rasa hangat yang menjalari tubuhnya, jemari Luhan yang bertaut dibelakang lehernya, semua yang terasa familiar dalam dekapannya tidak berbohong. Ini bukan mimpi!
Butuh beberapa detik bagi pria yang lebih tinggi itu untuk sadar, ia segera mendekap tubuh mungil itu dengan kedua tangannya dan ketika ia sadar, ia mendengar isakan Luhan yang sedari tadi merapalkan namanya dalam pelukannya, "hiks– Se-sehun…..Sehun…hiks"
Jantung Sehun terasa diremas-remas karenanya, baru kali ini ia mendengarkan tangisan Luhan dan Sehun bersumpah ia akan membuat hari ini adalah kali terakhir Luhan menangis karenanya. Meskipun dengan sangat berat hati, ia melepaskan pelukan mereka, lalu ia kembali dibuat tertegun ketika Luhan mendongak padanya dengan mata yang bahkan lebih merah dan wajah yang basah oleh air mata. Sehun dibuat sesak melihatnya.
Ia mengangkat tangannya dan menghapus air mata yang masih saja meleleh di pipi tirus Luhan dengan ibu jarinya. "Sshh.. baby, It's okay. Look at me, I'm here." Bisiknya menenangkan sambil menatap Luhan yang juga menatapnya.
Matanya melirik pintu yang masih terbuka, menyingkirkan sebentar keinginannya untuk mendekap Luhan lagi, Sehun menarik gagang pintu itu tertutup. Matanya lalu kembali terpancang pada malaikatnya. Luhan sudah terlihat lebih tenang, terbukti dari ia yang sudah berhenti terisak.
Tanpa bisa ia tahan lagi, Sehun menarik Luhan melalui tengkuknya kedalam pelukannya lagi. Kepala Luhan bersandar pada ceruk Lehernya, dan ia tidak berhenti mengusap surai karamel Luhan dengan sayang, memberi sentuhan yang juga dirindukan Luhan. Ketika mereka berdua memutuskan untuk melepaskan pelukannya, mata Sehun jatuh pada belah bibir Luhan yang memerah alami, masih sama seperti ketika di awal pertemuan mereka beberapa bulan lalu.
Diluar komando otaknya, tubuh Sehun seolah tertarik oleh magnet tak kasat mata mendekat pada tubuh Luhan, terpaksa membuat sang pria mungil mundur dan punggungnya menemui tembok apartemen Sehun yang dingin. Wajah Sehun begitu dekat dengan wajahnya, mata Luhan sendiri juga terpancang pada bibir lawannya, sama halnya dengan Sehun. Inci menjadi sentimeter ketika bibir mendamba mereka menjadi semakin dekat. Saat itulah Sehun tersentak sadar.
Sehun buru-buru menjauhkan wajahnya, ia mundur selangkah dan menggaruk tengkuknya canggung. Ia baru saja akan mencium Luhan ketika ia sadar bahwa mungkin Luhan tidak menginginkan ciuman itu sama sekali. Ia telah menyakitinya sebegitu buruk, ingat?
Luhan juga sama canggungnya. Ia hanya berdiri dengan wajah tertunduk di tempatnya. Apa ia baru saja mengharapkan ciuman dengan Sehun setelah kejadian itu? Tentu saja ia sadar betul bahwa he's still in love with Sehun, tapi itu tidak berarti bahwa mereka harus berciuman saat pertama kali mereka bertemu setelah kejadian yang menimpa mereka bukan? Luhan merutuk dalam hati.
"Uh, Luhan.. kau bisa duduk di….manapun kau mau, kurasa." Luhan mengangguk pelan, ia berjalan kedalam dan apa yang menemui matanya benar-benar diluar dugaannya.
Ia melihat sangat banyak kaleng bir, mungkin ada 8, 9, 10? 13? Luhan kehilangan hitungan. Kaleng-kaleng itu tercecer dimana-mana, yang baru, dan yang sudah diminum. Bahkan ada yang isinya tumpah dan mengering di karpet. Ada 2 botol suju yang isinya sudah habis dan ada sebuah lagi yang masih belum terbuka. Ada beberapa bungkus makanan instan, snack dan makanan take away menumpuk di dekat coffee table Sehun di depan TV nya. Matanya juga menangkap sebuah asbak terisi beberapa puntung rokok dan sebuah kotak rokok dan pemantik di sisinya. Luhan menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya tidak percaya.
Sehun menyadari keterkejutan Luhan dan ia membuang nafas maklum. "Maaf, Luhan… kurasa…aku sedang kacau," Sehun tertawa dengan hambar di akhir kalimatnya. Luhan menoleh pada Sehun disampingnya yang sedang memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia baru saja menyadari rahang Sehun yang biasanya tercukur bersih itu ditumbuhi rambut halus dan Luhan mengumpat dalam hatinya lagi karena otaknya justru menemukan hal itu seksi.
Mengakhiri kecanggungan mereka, Luhan akhirnya duduk di sebuah sofa –ia menempati sisi yang tidak ada kaleng birnya– dengan wajah tertunduk dan kaki tertutup rapat. Sehun menyusul dengan duduk di sebuah sofa single lain disana.
Sehun tidak mengerti bagaimana mengawali ini. Tentu saja saat hari-harinya belakangan ia ingin bertemu Luhan, namun setelah ia memiliki Luhan di hadapannya, ia bahkan tidak mengerti harus melakukan apa. Dan apa sebenarnya tujuan Luhan kemari? Sehun berasumsi bahwa Luhan datang kesini karena dirinya jelas hutang penjelasan dan juga permintaan maaf padanya. Apa hanya itu saja?
Mengesampingkan pikiran-pikiran dalam otaknya, Sehun tetap saja harus menjelaskan keadaan sebenarnya dan perasaannya pada Luhan bukan? Ia tidak ingin Luhan salah mengartikan bahwa selama ini ia hanya mempermainkannya karena ia adalah pengintai orang tuanya.
Ia menarik nafas panjang, "Dengar Luhan, aku ingin menjelaskan semuanya padamu," ia melihat Luhan yang bergerak gelisah dan akhirnya mendongakkan kepalanya menghadap Sehun. "Kumohon, biarkan aku menjelaskan dan kau bebas bertanya setelah aku selesai, oke?" Sehun tersenyum kecil ketika ia melihat Luhan mengangguk pelan dan membuatnya terlihat seperti bocah 5 tahun penurut.
"Luhan, ada banyak hal yang perlu kau ketahui tentangku. Aku besar di sebuah panti asuhan. Tidak ada yang berniat mengadopsi anak pendiam dan aneh sepertiku hingga aku berumur 18 tahun. Usiaku saat itu sudah tergolong dewasa, karena itulah ketika seseorang datang ke panti asuhan dan menawariku pekerjaan sebagai intel nasional dalam NIS, aku pun tidak menolak. Aku menjadi proffesional dalam counter-espionage setelah beberapa tahun bekerja untuk NIS. Aku pernah membunuh orang –pekerjaan mengharuskanku–, sayangku, dan aku bahkan tidak berjengit jijik melihat darah mereka. Aku kejam, aku tahu itu." Sehun berhenti sebentar guna melihat reaksi Luhan dan untunglah pria itu tidak berniat kabur dari sana.
"Suatu hari aku ditugaskan untuk mengintai sesorang, tapi kali ini jauh berbeda karena aku harus menyamar dan hidup sebagai bagian dari mereka, yaitu ayahmu. Benar bahwa akulah pria brengsek yang dialamatkan ayahmu karena aku yang memasang penyadap di ruangannya."
Sehun cepat-cepat melanjutkan ketika bibir Luhan terkuak hendak menyela. "Tapi Luhan, percayalah, bagian dimana aku bertemu dan jatuh cinta padamu benar-benar tidak ada dalam skenarioku, kau tahu….semuanya terjadi begitu saja. Bahkan hari dimana kita pertama kali bertemu adalah hari dimana aku mengetahui bahwa ternyata Kris Wu memiliki seorang anak. Dan Luhan, this mess you see on this apartment is because I'm so mad to leave you. I know I can't. Tidak ada satu menit setelah aku meninggalkanmu hari itu aku tidak memikirkanmu. I have always loved you," Sehun tidak percaya bahwa ia baru saja menyelesaikan kalimatnya karena sungguh, itu adalah kali pertamanya ia berbicara sepanjang itu dalam hidupnya.
Ketika ia mendongak untuk mengecek Luhan, ia begitu terkejut karena pria mungil kesayangannya itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dengan tubuh yang bergetar –menangis–. Sehun buru-buru menghampiri Luhan dan duduk disebelahnya dengan panik, ia memutar tubuh Luhan dengan lembut agar berhadapan dengannya,"Hei, Luhan, please, don't cry. I'm terribly sorry. Jangan seperti ini, kumohon, i know I don't deserve your apology, but–"
"Sehun, you moron. I love you!" Luhan akhirnya membuka telapak tangannya, dengan air mata yang masih meleleh ia memukul-mukul dada Sehun dengan lemah "Bodoh. Aku menghabiskan 2 hari di kamarku menangis seperti orang gila karenamu. Aku kira kau adalah bastard yang memanfaatkanku demi kepentingan mata-mata sialanmu, kau tahu! Kau tidak bisa.. hiks seperti hiks ini. You know I love you dan aku melarangmu meminta maaf seolah kau akan meninggalkanku. Tidak lagi," isaknya.
Sehun membawa Luhan kedalam pelukannya, tangannya mengelus surai halus Luhan dengan lembut sambil membisikkan kalimat-kalimat yang menenangkan Luhan. Bermenit-menit berlalu sebelum akhirnya ia merasakan Luhan berhenti bergetar dalam pelukannya dan ia kembali harus melepaskan pelukannya. Ia mengecup kedua kelopak mata Luhan dengan sayang "Baby, kau tahu aku selalu ingin bersamamu, tapi ayahmu tidak menginjinkan,"
Keheningan kembali menyelimuti mereka selama beberapa saat sebelum Luhan bersuara dengan lirih, "Ayah….ia tidak harus tahu, Sehun."
"Seberapapun sayangnya aku padamu aku tidak akan dengan tega menjauhkanmu dari keluargamu, Luhan. Aku tahu ayah dan ibumu begitu menyayangimu. Dan kurasa kau juga tentu mengerti kan," keheningan yang mencekik kembali hadir dan Sehun memutar otak bagaimana caranya untuk memperbaiki suasana. "Atau jika kau mau, aku akan menemui kedua orang tuamu dan berkompromi."
Luhan mendongak, antusias akan jawaban Sehun "Kau…benar akan melakukan itu, Sehun?"
"Ya, tentu saja. I will give you everything. Ya, setidaknya bila aku cukup beruntung Kris Wu tidak menembakku dengan senapannya begitu aku sampai di depan pagar," ujar Sehun dengan jenaka lalu ia mengelus surai Luhan kembali. Luhan sempat membeku ditempatnya mendengar kalimat Sehun karena ia melupakan tujuan awalnya untuk datang menemui Sehun.
Tujuannya yang itu… bisa menunggu.
"Kau sungguh akan melakukan itu?"
"Lihat mataku, Luhan. Believe me. I will."
Entah mengapa kesungguhan yang dapat Luhan rasakan dalam mata Sehun seketika membilas hilang kecemasannya. Ia memiliki Sehun disisinya sekarang dan itulah hal terpenting saat ini.
Luhan mengalungkan lengannya di leher Sehun dan berbisik malu-malu, senyumnya tidak dapat ia sembunyikan "Terimakasih, Sehun."
"Mmm.. apa aku akan mendapat ciuman sekarang?" ucap Sehun sambil tersenyum setengah, menggoda Luhan. Pria mungil itu memalingkan wajahnya kesamping ketika ia rasa wajahnya mulai memerah. "I take that as a yes,"
Sehun memegang dagu Luhan dengan ibu jari dan telunjuknya, membuat wajah malaikatnya itu menghadap padanya dan tanpa menunggu lagi ia mendaratkan bibirnya yang pada milik Luhan yang sama-sama mendamba. Mereka larut dalam ciuman itu. Sehun memagut dan menghisap bibir Luhan dengan lembut dan berhati-hati. Seolah bila ia salah langkah sekali pun, Luhannya akan hilang menjadi butiran sporadis. Bibir Luhan bergerak berusaha mengimbangi Sehun. Mereka saling mengecap rasa di bibir masing-masing dan ketika kebutuhan manusia akan oksigen terpaksa memisahkan mereka, Luhan berujar pelan, bibirnya bergesekan dengan milik Sehun ketika melakukannya,
"I've missed you, Hun."
"I've missed you even more."
.
.
.
Setelah Sehun dan Luhan menyelesaikan debat mereka tentang Sehun yang harus bercukur, Sehun akhirnya mau bercukur asalkan Luhan yang membantunya mencukur rambut-rambut halus itu. Jadilah mereka sekarang di kamar mandi dalam kamar Sehun. Pria itu duduk di sebuah kursi yang tinggi dan Luhan mendudukkan dirinya di konter wastafel disana.
"Aku tidak percaya aku sedang membantu pria 25 tahun bercukur," gerutu Luhan pelan. Ia mulai mengoleskan krim dengan jumlah cukup banyak dari botolnya ke rahang Sehun.
"Bukankah ini romantis, Lu?" tanpa menjawab, Luhan hanya membasahi alat pencukur dan mulai bekerja di rahang Sehun.
"Seingatku wajahmu selalu bersih dan kau terlihat selalu rapi. Apartemenmu…. Is a mess. Berbanding terbalik sekali dengan kamarmu di rumah. Apa sih yang terjadi padamu?"
Tiba-tiba pandangan Sehun yang semula menatap Luhan jatuh kebawah. Air muka pria itupun juga berubah. "Entahlah...aku kacau, Lu. Setelah meninggalkan rumahmu, yang aku pikirkan hanyalah penyesalanku terhadapmu karena telah membohongimu dan menyakitimu. Maafkan aku."
Raut Luhan melunak, ia kembali melanjutkan menyapukan pencukurnya ke sisi wajah Sehun setelah sempat berhenti "Tidak apa-apa, Hun. Setelah kau menjelaskannya tadi…aku bisa mengerti." Ia menyentuh kantung mata menghitam dibawah mata Sehun yang sejak tadi mengganggunya dengan jarinya. "Apa kau juga kurang tidur?"
"Aku benar-benar ingin mendapatkan tidur yang pantas, tapi aku tidak bisa."
Kening Luhan berkerut, "Kenapa?"
"Karena saat aku memejamkan mata, bayang-bayang wajahmu yang menangis hari itu yang akan muncul." Sehun tersenyum kecil di akhir kalimatnya namun ketika ia menyadari pias Luhan yang berganti sedih, ia buru-buru membenarkan kalimatnya, "Hei, Lu, itu bukan salahmu, oke? Kau sekarang ada disini, bersamaku. That is all that matters." Sehun menangkup pipi Luhan dengan sebelah tangannya, berusaha menenangkan pria itu.
Luhan menggigit bibirnya, lalu mengangguk. Dengan telaten ia kembali menyapukan pencukur itu, hening beberapa lama sebelum sebuah pertanyaan muncul lagi dalam otaknya "Lalu bagaimana dengan pola makanmu? Aku melihat banyak sekali junk food. Kau juga terlihat lebih kurus,"
"Apa aku akan mendapat reward bila menjawab dengan jujur?" Sehun mengangkat satu alisnya jahil. Dan luhan hanya memutar bola matanya dan bergumam tidak jelas.
"Aku hanya makan bila benar-benar lapar dan yang kau lihat benar, aku terlalu malas membuat seporsi makanan layak untukku."
Luhan kembali cemberut. Sebegitu parahnya kah Sehun ketika ia tidak ada? "Kau harus makan dengan benar, Hun. Berjanjilah padaku," Rajuknya.
Sehun mengacak surai Luhan lagi "Tentu, sugar."
Luhan sudah selesai dengan acara mencukurnya dan ia meletakkan pencukur itu kembali ke tempatnya. Ia membersihkan wajah Sehun dari sisa krim dengan lap basah yang sudah ia siapkan sebelumnya dengan perlahan.
"Sudah selesai. Sekarang minggir, aku mau turun." Luhan berusaha untuk turun dari konter wastafel itu ketika Sehun mencekal tangannya.
Luhan mencebik, "Apa lagi?"
"Kau belum memberikanku reward," Ucap Sehun sambil menekankan kata 'reward' dalam kalimatnya.
Luhan berdecak lagi. Kali ini lebih keras. "Baiklah Tuan Oh, apa yang kau inginkan?"
Sehun mengerlingkan matanya ke arah bibir pemuda itu lalu memberikan Luhan sebuah pandangan menyebalkan yang justru membuat pipinya memerah. Sehun selalu saja tahu caranya untuk menaklukannya.
Mengetahui bahwa ia tidak mungkin menolak, ia mendekatkan wajahnya dan memberikan bibir Sehun sebuah kecupan hanya untuk mendapat tatapan tidak terima dari Sehun sebagai balasannya.
"Luhan, aku ingin ciuman, bukan kecupan malu-malu seperti itu," entah kenapa, pria itu terlihat serius dengan kalimatnya. Alisnya menyatu dan ia memberikan tatapan mengintimidasi terbaiknya.
"Ya Tuhan, sejak kapan Oh Sehun yang katanya dingin dan cuek itu menjadi manja begini, hm?" Luhan mencubit pipi Sehun dan terkekeh. Ia melanjutkan kegiatannya untuk bergerak turun dari sana tapi tangan Sehun kembali menahannya.
"Astaga, apa lagi, Sehun?"
Tanpa menunggu persetujuan dari pihak lainnya, Sehun memajukan wajahnya dan mencium Luhan penuh-penuh. Lupakan Oh Sehun yang lembut dan perhatian karena sekarang ia sedang memagut dan menggigit bibir Luhan dengan gemas dan kasar. Luhan tak ayal dibuatnya mendesah sejadi-jadinya. Jari-jari lentik Luhan meraih rambut hitam kelam Sehun dan meremasnya sebagai pelampiasan sedangkan tangan Sehun sendiri bergerak mengelus dan meremas pelan pinggang Luhan, memberikan sinyal bagaimana nafsu nya yang sudah ia tahan sejak tadi meledak dalam ciuman ini. Lidah mulai dilibatkan dan Luhan rasa kakinya sudah melemas serupa puding. Ia memejamkan matanya dan hanya bisa menerima. Terlalu terlena akan pusaran gairah yang dibuat Oh Sehun-nya. Sehun kembali menjejalkan lidahnya, menggapai apa yang bisa ia gapai dalam mulut Luhan, menjelajahi rasa yang diam-diam selama ini menjadi candu rahasia miliknya.
Ia tidak berpikir ia bisa hidup tanpa Luhan disisinya.
Ketika ciuman mereka berakhir, Luhan menyandarkan dahinya di dahi pria dihadapannya sedangkan keduanya sibuk memenuhi paru-paru mereka dengan oksigen. Tangannya masih bertaut di tengkuk sang pria Oh itu dengan begitu intim.
Ketika ia mengangkat pandangannya menuju mata Sehun, ia menemukan pria itu sudah menatapnya sedari tadi dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Ketika Luhan akan membuka bibirnya untuk bertanya, Sehun sudah keburu mendekat dan menggigit kecil pipi kemerahan Luhan itu dengan gemas lalu langsung meninggalkannya dengan tawa yang menggema.
Luhan yang masih kaget akhirnya sadar ketika merasa denyutan di pipi kanannya. Sial. Bahkan pipinya yang tadi sudah memerah sehabis berciuman menjadi lebih merah lagi. Perutnya di penuhi rasa geli yang dihasilkan dari kupu-kupu imajiner yang berterbangan dalam perutnya. Luhan tidak marah, ia justru menyukainya. Sehun dan pribadinya yang tidak pernah bisa ditebak.
Dan Luhan rasa ia tidak bisa lebih bahagia lagi.
Sambil menahan tawanya, ia berteriak, terdengar cenderung seperti seorang gadis "OH SEHUUUNN!"
.
.
.
Membersihkan kekacauan dalam apartemen Oh Sehun ternyata membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Meskipun keduanya sudah membagi tugas, namun tetap saja pekerjaan yang ternyata menguras tenaga –Luhan tidak tahu bahwa ternyata apartemen Sehun sebenarnya lebih berantakan dari yang terlihat– itu akhirnya selesai seiring dengan malam menjelang.
Keduanya duduk di sofa mahal milik Sehun dengan Luhan yang berada dalam kungkungan lengan Sehun dan bersandar pada dada bidang pria itu. Tangan kanan Luhan ia letakkan pada kedua lengan Sehun yang melingkari perutnya dan tangannya yang lain sibuk menjejali mulutnya dengan snack yang ia temukan dalam kulkas Sehun sore tadi. Sedangkan Sehun sendiri, pria itu terlihat menikmatinya, terbukti dengan ia yang mendaratkan ciuman di kepala Luhan mungkin setiap 5 menit sekali. Sibuk menikmati aroma sampo dan tubuh Luhan yang ia lewatkan selama 3 hari namun terasa seperti 3 dekade.
Seperti itulah mereka menemukan kenyamanan dalam pelukan satu sama lain.
"Kau memiliki sofa yang bagus, Hun," celetuk Luhan tiba-tiba. Pemuda mungil itu masih menonton teve di depannya tanpa melihat Sehun.
Sehun terkekeh atas pernyataan tiba-tiba Luhan yang sangat random. "Well, ya, terima kasih, Lu. Kurasa."
"Aku tidak pernah mengira bahwa kau tinggal disebuah apartemen mewah, apalagi memiliki sebuah Aston Martin mahal."
Sehun tertawa, cukup keras untuk membuat Luhan melepaskan pandangannya dari teve dan memutar tubuhnya menatap Sehun. Ia merapatkan bibirnya menjadi garis tipis dan alisnya terangkat sebelah.
Sehun mengecup bibir Luhan cepat begitu bibir itu menangkap matanya. Ia tahu Luhan tidak akan menolak.
Sebelum menjawab Sehun menyempatkan untuk tertawa sekali lagi melihat ekspresi terkejut Luhan. "Aku tidak sekaya ayahmu. Tapi, Ya. You've got a pretty rich boyfie," ujarnya lalu mengacak rambut Luhan.
Luhan memiringkan kepalanya. Ekspresinya masih saja terkejut.
"Boyfie? As in boyfriend?"
Sekarang gantilah Sehun yang menaikkan satu alisnya heran, "Ya. Tentu saja. Kau tidak suka?"
Luhan berbalik lagi dan langsung menyandarkan kepalanya di dada Sehun. Tapi tentu saja mata Sehun tidak melewatkan senyum bahagia Luhan dan wajahnya yang merona. "Aku suka," meskipun Sehun tidak dapat melihat wajahnya, dari kalimatnya ia tahu pria mungilnya itu sedang tersenyum.
At least Luhan knows that they're official now.
"Apa ayahmu tahu kalau kau ke rumahku, Lu?" tanya Sehun tiba-tiba setelah keheningan menyelimuti mereka selama beberapa menit. Pria itu sedang membuat lingkaran-lingkaran acak dengan jarinya di atas telapak tangan Luhan.
Luhan terlihat menegang dalam pelukannya dan Sehun mengendurkan pelukan mereka lalu membuat Luhan berhadapan dengannya.
"Ah, jadi ayahmu tidak mengetahuinya, ya." Sehun menyentil kening Luhan dengan telunjuknya lalu membuang nafas.
"Baba dan Mama berangkat ke Jepang kemarin. Aku beralasan pada pelayan di rumah bahwa aku menginap di rumah Minseok untuk refreshing."
"Kapan mereka akan pulang?"
Luhan terdiam sebentar sebelum menjawab, "Besok…" bisiknya.
Sehun tiba-tiba melepaskan pelukannya pada perut Luhan. Luhan berdiri dari tempatnya dan melihat Sehun yang juga berdiri dari tempatnya. Dilihat dari wajah Sehun, apapun ini…tidak baik.
"Kau harus pulang, Lu." Ujar Sehun dengan tegas. Pria itu menatap Luhan dengan pandangan yang membuat Luhan menciut di depannya. Namun bukanlah Luhan bila ia kalah begitu saja.
"Dan meninggalkanmu begitu saja? Kau ingin seperti itu?"
Sehun maju selangkah mendekati Luhan, "Luhan. Kau tahu betul itu bukan maksudku," nadanya ia buat sebaik mungkin agar Luhan tidak semakin salah paham.
"Oh, maafkan karena aku tidak tahu," ujarnya sarkatis. "Aku baru tiba siang ini dan kau menyuruhku pulang setelah membantumu merapikan apartemen? Boyfriend my ass." Luhan mendorong bahu Sehun dengan kedua tangannya –cukup keras untuk membuat Sehun mundur dengan langkahnya– lalu menatapnya lekat-lekat dengan raut wajah tidak suka.
"Listen, Luhan. Aku tidak berniat untuk memicu pertengkaran disini," ujar Sehun senormal mungkin. Namun sebelum ia dapat melanjutkan, Luhan keburu mencela "Kalau begitu selamat. You just did."
"For God's sake Luhan! Listen!" Sehun akhirnya meledak juga. Pria itu meninggikan suaranya tepat dihapadan Luhan. Luhan yang tadinya terkejut menggumamkan 'Go on, duh' dengan wajah yang masih kesal.
"First, sorry for yelling at you. Dan Luhan, ketika aku menyuruhmu untuk pulang, bukan berarti aku mengusirmu. Kau bisa pulang sekarang dan aku…akan memikirkan cara untuk berkompromi dengan ayahmu. For our whole boyfriend thing."
Wajah Luhan seketika dibuatnya lunak karena penjelasan Sehun. Ia terdengar begitu bersungguh-sungguh. Dan Luhan, ia merasa berhasil diyakinkan. Ia mendadak menyesal telah menaikkan suaranya pada Sehun tanpa tahu maksud sebenarnya pria itu. Ia mendekat pada Sehun dan menolak jarak apapun yang memisahkan mereka dengan memeluk leher pria itu.
"Hun.. maaf," bisiknya menyesal. Ia lalu merasakan telapak tangan Sehun yang lebar itu membelai punggungya dengan cara yang mendebarkan. Gerakan dan polanya, serta kehangatan yang berasal dari tubuh dan telapak tangan Sehun terasa begitu familiar dan Luhan menyukainya. Sangat, sangat menyukainya.
Masih dalam keadaan berpelukan, Sehun tiba-tiba memecah keheningan mereka.
"Baby, listen." Ia menarik nafas sebelum melanjutkan,
"I kiss you because I love you, not because it's my lust. I hug you because I want you to feel warm, not because it makes me feel rested. I love you because I want to, not because I have to."
Luhan lantas mengeratkan pelukannya sambil tersenyum penuh arti. Ia merasa seperti manusia paling beruntung di dunia karena memiliki Sehun di sisinya. Ia tidak akan meminta lebih. Setelah mendengar kalimat pria itu, ia tahu, Sehun is the right person.
Mereka tengah hanyut dalam kehangatan yang mereka ciptakan. Diam-diam saling menikmati feromon yang menguar dari pasangan mereka. Mencatat dan menyimpannya baik-baik dalam setiap jengkal otak meskipun mereka tahu bahwa hati mereka akan selalu mengingatnya.
"Make out?"
Keduanya sontak bertatap-tatapan. Mereka tidak baru saja mengucapkan itu bersamaan, bukan?
.
.
.
"Sayangku, kau yakin ingin melanjutkan ini?" Sehun mengusap rambut Luhan yang menempel di dahi karena keringat dengan lembut, memperlakukan Luhan seperti kristal seharga nyawa.
Sehun tidak sadar bagaimana, namun ketika ia kembali ke bumi setelah membumbung tinggi ke angkasa oleh ciumannya dengan Luhan, yang ia dapatkan adalah tubuh polos Luhan berbaring dibawah tubuhnya.
Ia ingat betul bahwa kalimat yang terakhir itu tukar dengan lelaki manis itu terdiri dari dua kata. Ia benar-benar tidak menyangka bagaimana dua kata tersebut –yang mereka ucapkan bersamaan tanpa sengaja– akan menuntunnya pada seks perdana mereka.
Luhan mengangguk singkat sebagai jawaban. Otaknya tidak berhasil menyusun kalimat sederhana karena setiap sudut nya telah berkabut oleh nafsu.
Sehun kembali mengelus sayang rambut Luhan, "Lampiaskan rasa sakitnya padaku, jangan gigit bibirmu, lampiaskan padaku," bisiknya.
Sehun lalu mulai mendorong kejantanannya masuk perlahan, demi Tuhan dan semestanya, jika ia tidak sadar ia berhadapan dengan lelaki yang ia cintai sekarang, Sehun mungkin sudah memaksakannya masuk dalam sekali hentak, sungguh, sensasi di bagian selatan tubuhnya begitu nyata, mengirimkan impuls-impuls yang begitu gila dan memabukkan.
Sedangkan Luhan?
Ia tidak bisa menjabarkan bagaimana, namun ia merasakan tubuhnya seolah dibelah dua. Inci demi inci menembus tubuhnya, panasnya hampir tidak dapat ditahan, hingga kejantanan Sehun yang terlihat -dan terasa, Luhan batuk- seperti 8 inci itu masuk seutuhnya.
Entah mendapat pikiran dari mana, ia mengisyaratkan Sehun untuk mulai bergerak.
Awalnya berjalan begitu perlahan dan itu membunuh Luhan. For fucks sake!
Namun ketika Sehun menghentakkan pinggulnya dengan cepat dan statis, Luhan rasa ia mulai kehilangan kewarasannya.
"ah- Sehun, you—ah- are huge," desah Luhan terbata-bata. Sehun yang berada di atas tubuhnya lalu merunduk dan memberikan satu lagi tanda di dada putihnya tanpa berhenti bergerak. Meskipun Luhan tidak bisa melihatnya, ia tahu Sehun tersenyum.
Sehun menggeram rendah, menghasilkan suara serupa singa jantan. It felt wonderful. Dan Luhan lah yang membuatnya merasakan itu. Sehun menyukai bagian terakhirnya.
Luhan terus saja mendesahkan nama Sehun disetiap nafasnya, hentakan demi hentakan pada titik manis yang tidak ia ketahui ada di dalamnya membuat Luhan kehilangan akalnya. Hal itu membakar habis isi otak Luhan, hanya ada nafsu dan nama Sehun yang tersisa.
Masih dengan tubuhnya yang terhentak-hentak karena aktifitas nikmat yang Sehun lalukan di sana, dengan segala tenaga yang tersisa, ia menarik tengkuk Sehun, menghujam bibir yang sekarang terlihat basah oleh salivanya dengan bibirnya. Salahkan pria itu. Tubuh atletis Sehun –bahkan lebih menggiurkan dari yang pernah ia impikan dulu– yang mengundang liur itu berkeringat di atasnya, dan jangan lupakan mata tajam pria itu yang sesekali terpejam karena gairah.
Luhan…siapakah dia untuk menolak semua ini?
Seluruh tubuh Luhan kebas oleh rasa nikmat yang tidak bisa dijabarkan ketika telapak lebar pria itu terus saja menyentuh dan meremas tempat-tempat tepat di tubuhnya. Pandangannya selain wajah dan tubuh Sehun –sial, Luhan benar-benar menyukai dada dan abs pria itu– mengabur di ruangan. Masih tanpa melepaskan ciuman mereka, Sehun membalas dengan semangat yang sama besarnya, lidah saling berbelit, mencari dominasi.
Luhan kalut. Tubuh lengket keduanya saling beradu satu sama lain. Kulit dengan kulit. Dan bibir dengan bibir. Ia hanya mampu mendesah setiap saat.
Sesuatu perasaan aneh dalam perutnya bergejolak, menggulung-gulung didalam sana, menciptakan sensasi aneh yang minta di bebaskan,
Ia hampir sampai. "Oooohh Sehun, aku –ah hampir…sampai,"
Luhan mendengar Sehun tertawa singkat, "Benar, Luhan. Desahkan namaku seperti itu,"
Luhan terus merasakan kejantanan Sehun dalam dirinya berkedut tidak sabaran, dan ia menyadari bahwa Sehun juga sudah dekat.
Pria itu semakin tidak sabaran dan mempercepat gerakannya –Luhan heran bagaimana Sehun bisa bergerak lebih cepat dari keadaannya tadi- saat ia sadar sebentar lagi ia akan klimaks, sehingga ia menghentakkan kejantanannya semakin cepat dan dalam, bergerak statis dan konstan, bahkan hingga tubuh Luhan dibawahnya terhentak-hentak cukup keras seiring hentakkan pinggulnya.
"Se-sehhun.. aku..aaahh"
Luhan came. Cairannya mengenai perut dan tangan Sehun yang tadi digunakan untuk mengocok milik Luhan.
Dan itulah ketika Sehun merasakannya. Kejantanannya membesar di dalam sana, kedutan-kedutan itu membuatnya gila. Ia mengehentakkan miliknya semakin dalam dan ia menjemput putihnya.
Sehun menggeram rendah dengan cara yang begitu manly saat ia melepaskan cairannya sementara Luhan melenguh tidak kuasa menahan rasa nikmat. Suara terengah yang dikeluarkan Sehun terdengar begitu seksi hingga Luhan dibuatnya makin pening. Semua ini….membuat Luhan gila.
Rasa kantuk menyerangnya dan tanpa bisa melawannya, ia menyerah dan jatuh tertidur. Hal terakhir yang ditangkap oleh panca inderanya adalah bibir Sehun di dahinya dan sebuah bisikan lembut "I love you, Lu."
.
Ketika Luhan membuka matanya, ia sadar sedang dalam dekapan seseorang. Lebih tepatnya, dada telanjang seseorang. Tidak lain dan tidak bukan adalah pria yang baru saja making love dengannya. Pangeran rahasianya. Oh Sehun.
"Ah, Luhan, apa kau bangun karena suara TV?" ujar Sehun dari balik kepala Luhan.
Pria mungil itu menggosok matanya dan menguap seperti seekor kelinci. "Tidak, Hun. Aku hanya…bangun." Jawabnya masih mengantuk.
Sebuah kecupan Luhan rasakan di ubun-ubunnya. "Aku tidak bisa tidur. Karena itu aku menyalakan TV. Apa kau ingin aku mematikannya lalu kita tidur bersama?"
Luhan menggeliat di pelukan Sehun. Ketika itulah ia sadar bahwa ia memiliki sepotong kemeja yang beberapa nomor kebesaran di dirinya. Hanya kemeja. Oh Tuhan, sekarang dirinya pun tercium seperti Sehun. Pria itu pasti memakaikan kemejanya saat ia tertidur. Luhan meleleh didalam. What a sweet boyfriend!
"Tidak, tidak. Lanjutkan saja," Luhan menyamankan sandarannya pada punggung telanjang Sehun. "Asalkan kau membiarkanku tidur bersandar padamu,"
Sehun mengiyakan, lalu mengecup kepala Luhan dan kembali mengelus sayang surai lelaki mungilnya itu.
Ketika Luhan kembali memejamkan mata, ia membayangkan bagaimana ia bisa selamat hidup tanpa kehangatan pria itu. Sampai kapan ia berhak merasakan kehangatan dan rasa nyaman ini?
Tiba-tiba lelaki itu ingat akan tujuan sebenarnya mengapa ia mengunjungi Sehun. Jantungnya berdenyut menyakitkan ketika ia mengingatnya. Haruskah Luhan memberi tahu sekarang? Mereka baru saja bercinta hebat dan sekarang adalah waktu dimana benar-benar ingin Luhan nikmati bersama Sehun. Bolehkan Luhan egois?
Luhan pun teringat bagaimana cara ayahnya saat mengucapkan rencananya terhadap kekasihnya. Dalam 22 tahun Luhan hidup, itu adalah kali pertama ia mendengar ayahnya berbicara begitu serius dan Luhan…makin cemas.
"Lu, kau oke?" Sehun yang menyadari gerakan gelisah Luhan dalam dekapannya pun angkat bicara membuyarkan lamunan Luhan.
Luhan membuang nafas keras. Ayahnya akan pulang besok dan jika Sehun tidak segera diperingatkan, maka nyawanya akan terancam. Sehun mungkin akan diculik lalu dihabisi. Ayahnya menyukai pekerjaannya bersih dan tanpa meninggalkan jejak. Luhan menarik nafas lagi dan bangkit duduk dihadapan pria-nya. "Aku belum memberitahumu tujuan sebenarnya aku kesini,"
"What? Bukankah tujuanmu kesini untuk meminta penjelasan dariku?"
"Sebenarnya…bukan."
"Lalu?" Luhan terlihat serius kali ini dan firasat Sehun mengatakan bahwa apapun ini bukanlah hal yang baik. Sehun bisa melihat dari bola mata Luhan yang bergerak gelisah.
"Ayahku, Sehun,"
Luhan menarik nafas untuk kesekian kalinya. "…ia berniat membunuhmu,"
Suara Luhan begitu lirih namun hanya mereka berdua dalam ruangan itu sehingga Sehun mampu mendengarnya sama dengan Luhan meneriakkannya di depan wajahnya.
Sehun tercekat. Ia tidak baru saja mendengar bahwa ayah Luhan, the almighty Kris Wu, yang terkenal begitu disegani itu berencana akan membunuhnya bukan?
"Lulu, aku yakin sekarang bukan waktu yang tepat untuk merayakan April Fools. I get it, Luhan. Besok aku akan menghadapi ayahmu. Karena itulah aku tidak bisa tidur. Jadi Luhan, kembali tidurlah. Aku akan mematikan TV." Ujar Sehun lalu ia meraba selimut mereka mencari remote teve yang entah dimana. Luhan mencekal tangan Sehun. Wajahnya memelas.
"Sehun, aku serius. Maafkan aku. Seharusnya aku membicarakan ini lebih awal. Tapi aku tidak ingin merusak momen kita.. Aku..aku menyesal." Jelas Luhan dengan wajah tertunduk. Ada banyak sekali emosi yang dapat Sehun tangkap dari mata Luhan yang sekarang mengilat karena air mata. Salah satunya adalah rasa takut. Sehun sadar Luhan tidak sedang bercanda namun ia maklum.
Sehun menghela nafas panjang. Ia memejamkan mata –berpikir– sementara Luhan tetap menatap kekasihnya itu dengan taat.
Sehun merasakan telapak tangan Luhan yang dingin di kulit dadanya yang telanjang. "Hun, aku.. harus bagaimana?" Sehun pun membalas dengan menggenggam telapak tangannya. Menyalurkan kehangatan dan menenangkannya.
"Bukan 'aku' lagi, Lu. Tapi 'kita'. Kita akan menghadapi ini bersama-sama, sayang. Besok pagi, besok aku berjanji akan membicarakan ini dengan orang tuamu. Setidaknya aku ingin mereka tahu bahwa I'm madly in love with their son." Ia memeluk Luhan dan mengelus kepalanya.
"Tapi Sehun, ayahku.. ia tidak akan bisa dihentikan. Kita.. kita-"
Sehun membungkam Luhan dengan mengecup bibir ranumnya sekilas. "Ssshh.. Bukankah kau percaya padaku, Lu? Dan aku pun tahu ayahmu adalah pria yang baik, ia berniat melakukan itu karena ia begitu menyayangimu, sayang."
Luhan masih saja menatapnya dengan mata rusanya yang mengilat bening karena air mata. Sehun terkekeh lalu menangkup wajah mungil Luhan. "Percayalah, Luhan, aku tidak semudah itu terbunuh. Aku sudah menghadapi beberapa ancaman pembunuhan sebelumnya. Well, aku tidak akan berbohong, memang benar kali ini aku merasa terancam."
Sehun melanjutkan, "Tapi ketahuilah. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu, karena itu aku harus bertahan hidup lebih lama. Benar?" ia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyum kecil yang mampu membilas hilang perasaan mengganjal dalam hati Luhan.
Sehun benar.
Dan Luhan, ia percaya.
Luhan menarik Sehun dalam satu lagi ciuman mendebarkan dimana keduanya menumpahkan perasaan mereka kedalam ciuman itu. Menikmati bagaimana seolah bibir keduanya memang diciptakan untuk satu sama lain.
Luhan merangkak naik ke pangkuan Sehun yang sedang bersandar pada kepala ranjang ketika ciuman manis mereka menjadi liar. Tangan Luhan masih saja sibuk meremas surai kelam lawannya, sedangkan kedua tangan Sehun sibuk mengusap kulit Luhan dibalik kemejanya. Keduanya melepas ciuman mereka setelah beberapa menit, dengan bibir keduanya yang memerah.
Ketika sibuk meraup oksigen tiba-tiba saja Luhan mengangkat wajahnya untuk menghadap Sehun dengan wajah terkejut juga geli. Luhan tidak cukup polos untuk tidak mengetahui benda keras yang terasa menusuk paha dalamnya. Sementara sang pemilik yang ia tatap memberikan ekspresi menyebalkan yang sanggup membuat sekujur tubuh Luhan panas oleh gairah.
Tiba-tiba, –Luhan sendiri tidak tahu bagaimana– ia meremas kejantanan yang mulai ereksi dari luar bokser ketat berlabel Calvin Klein itu –Sehun hanya mengenakan sepotong briefs itu sedari tadi– sambil tersenyum jahil. Menghasilkan lenguhan panjang dari sang pemilik yang begitu seksi serta manly.
Luhan would love to hear that everyday.
"Sial, Sehun. Tidak bisakah kau mengontrol adikmu ini?" tanyanya tanpa melepas genggamannya pada kejantanan Sehun.
"Fuck, Lu." Umpat Sehun dibawah napasnya. Pria itu sebenarnya berniat akan menyusun kalimat untuk menghadapi Kris Wu besok sebelum ia terlelap malam ini namun berantakan sudah rencananya. Hal itu bisa menunggu. Urusannya yang ini….harus diselesaikan sekarang juga.
"Luhan, aku ingin satu ronde lagi. You ride my cock. Dan aku tidak menerima penolakan."
Luhan pun terkekeh. Untuk apa ia menolak ketika ia juga menginginkannya?
.
.
.
Dan disinilah mereka.
Luhan duduk di samping kursi penumpang Aston Martin dengan Sehun berada di belakang kemudi. Mobil itu berhenti beberapa meter sebelum gerbang mansion Wu yang agung. Dari kejauhan, terlihat pintu mahoni raksasa yang merupakan pintu utama terbuka, menandakan sang pemilik mansion Wu telah datang.
Luhan terus saja meremas jemari dan telapak tangannya yang tak berhenti berkeringat mulai beberapa menit yang lalu. Sehun sendiri, tangannya tak melepas kemudi. Ia meremas kemudi itu, ia tidak akan memungkiri bahwa he's also nervous as hell. Beberapa spekulasi sudah memenuhi otaknya, tentang mungkin saja ia yang ditembak tepat di dahinya bahkan sebelum dapat mengucapkan salam pada Kris Wu, atau bagaimana Luhan akan direbut paksa darinya dan ia ditendang dari mansion Wu.
"Sehun…aku.. nervous," Luhan menoleh padanya, jari-jarinya sibuk ia mainkan satu sama lain.
Sehun yang menyadari kilat ketakutan, kebingungan, serta kegelisahan yang dipancarkan mata bening Luhan hanya bisa menarik nafasnya lalu mengusap kepala Luhan dan mencium keningnya. Bibirnya ia biarkan beberapa detik lebih lama di sana.
"I know, Luhan. Me too," cobanya untuk menenangkan kekasih mungilnya. "Kita tidak bisa berdiam diri di sini Luhan. Mari keluar dan aku akan menghadapi ayah dan ibumu."
"Kau berbicara seolah kau akan memulai perang di rumahku, Sehun,"
Sehun tertawa kecil, "Semoga saja ayahmu tidak memiliki niatan seperti itu, Lu. Karena aku tidak."
Sehun membantu Luhan melepas kait sabuk pengaman lelaki itu, lalu melepas miliknya juga dan membuka pintu mobil. Everything that will be, will be. Luhan menggamit tangannya lalu berjalan tepat di belakang Sehun seperti seekor anak bebek kepada induknya.
Penjaga yang berada di gerbang cukup terkejut melihat Sehun dan hampir saja berusaha menahannya ketika ia melihat Luhan juga ada di belakang punggung Sehun.
"Tuan muda Luhan, kau bersama Sehun." Ucapnya yang lebih terdengar seperti pertanyaan ketimbang pernyataan. Penjaga itu terlihat begitu bingung.
"Uh, ya. Aku bersamanya." Hening sebentar, "Ayah ada di dalam bukan?"
"Iya. Tuan Wu baru saja datang siang ini."
Sehun membungkuk kecil dengan kepalanya dan Luhan melakukan hal yang sama. Lalu keduanya berjalan beriringan ke pintu mahoni besar yang merupakan pintu utama mansion tersebut.
Tanpa di duga-duga, Kris Wu tengah berada disana, berbicara dengan salah satu pelayannya.
Tubuh Sehun dan Luhan kontan menegang, terutama ketika mata mereka bertemu dengan mata terkejut Kris yang tak dapat ia sembunyikan. Air muka Kris seketika berubah, yang tadinya ia nampak terkejut, sekarang terlihat seperti ia siap membantai seluruh kota dengan kedua tangannya. Ia mengambil langkah lebar-lebar menuju mereka.
"A-ayah," lirih Luhan disamping Sehun. Ia beringsut mundur kebelakang, berlindung dibalik tubuh kokoh kekasihnya.
"Tuan Kris Wu," ucap Sehun sambil membungkuk hormat. Ia tidak akan berbohong bagaimana dadanya bergemuruh karena rasa gugup.
Belum sempat Sehun menegakkan tubuhnya, tiba-tiba ia sudah terdorong kebelakang, kedua tangan Kris mencengkeram kerah kemejanya.
"APA KAU BARU SAJA MEMBAWA LARI ANAKKU, KEPARAT SIALAN?!" teriak pria itu lantang di depan wajah Sehun. Belum sempat Sehun menjawab, ia menemukan dirinya berada di dasar sambil memegangi rahangnya yang berdenyut sakit. Ayah Luhan baru saja meninjunya.
"Ayah!" teriak Luhan panik. Ia segera menghampiri Sehun dan membantunya berdiri. Kris yang menyaksikan adegan di depannya tidak mampu berkata-kata. Apa Luhan baru saja dicuci otaknya?
"Tuan Wu, biarkan aku menjelaskannya," Sehun berusaha berdiri tegak lagi. Ia membisikkan Luhan yang terus saja memeganginya bahwa ia tidak apa-apa.
Yifan bergeming, "Tidak ada yang harus kau jelaskan. Sehun, aku tidak pernah bercanda dengan perkataanku bahwa aku akan mengeluarkan isi kepalamu bila kau berulah." Ia menoleh pada anaknya yang terlihat kikuk karena takut. "Luhan! Masuk kedalam dan temui ibumu sebelum aku memaksamu!"
Luhan memutuskan ia tetap harus bersuara meskipun Sehun telah mewanti-wanti dirinya untuk tidak ikut campur. "Ayah, kumohon, dengarkan Sehun," melasnya.
"Dengarkan pria itu dulu, Yifan,"
Merasa namanya disebut, Yifan menoleh ke sumber suara dan menemukan Zitao dengan raut khawatir begitu jelas di wajah cantiknya.
Yifan lalu membuang nafas keras-keras. Ia tahu ia tidak akan bisa menolak permintaan istri cantiknya. Masih dengan murka, ia meninggalkan mereka dan masuk kedalam. Zitao sempat melirik Luhan dan menggumamkan sesuatu seperti 'Its okay,' kepadanya lalu mengekor mengikuti suaminya.
"Terimakasih, Lu," ujar Sehun pelan sambil menyentuh pipi Luhan dengan jarinya.
"Maafkan ayahku Sehun," dengan wajah khawatir Luhan menyentuh luka lebam dan luka robek di sisi bibir Sehun, pria itu meringis.
"Sssh, its okay. I deserve even more than this," lirih pria itu.
Ketika Sehun masuk ke dalam mansion itu, Kris Wu dan istrinya sudah duduk di salah satu sofa besar di sana. Dari gestur yang dilakukan ayah Luhan itu, Sehun tahu bahwa he is beyond pissed off dan sedang menahan diri untuk tidak membalik dan melempar semua benda yang ada di ruangan itu –Sehun melihatnya mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
Sehun membungkuk dalam-dalam di hadapan mereka selama beberapa detik, ketika menegakkan tubuhnya, ia menarik nafas panjang dan melirik Luhan dari bulu matanya.
Ia menyiapkan dirinya untuk ini, untuk saat ini. Sehun bersumpah sebagai seorang pria, ia berjanji akan melindungi Luhan dan membahagiakan lelaki mungilnya. Jika ini adalah caranya maka Sehun siap menghadapinya. Meskipun besar kemungkinan Kris Wu akan menembak dahinya sebelum ia menyelesaikan pidato panjangnya, ia tetap akan mencoba.
Ia lalu mulai dari siapa ia sebenarnya, pekerjaan dan alasan apa yang ia jalani sehingga ia diharuskan masuk ke dalam mansion Wu. Ia juga menjelaskan bagaimana pertemuannya dengan Luhan tidak direncanakan oleh siapapun, bagaimana rasa suka dan nyaman yang lama kelamaan tumbuh dalam dirinya terhadap Luhan bukan rekayasa.
Meskipun Kris tidak mengarahkan pandangannya ke arah dirinya, ia tahu pria itu mendengarkan setiap kata dan kalimat yang ia ucapkan. Sehun kembali melanjutkan,
"Aku mencintai Luhan, dan aku tidak menyesal. Aku akan bertanggung jawab atas segalanya yang telah aku mulai. Juga aku berjanji, aku akan menjaganya dan membahagiakannya," tutup Sehun.
Keheningan menyelimuti lagi.
Detik demi detik mencekik leher Sehun, mencegahnya bernafas dalam atmosfir yang memang sudah mencekik. Kris Wu masih diam di tempatnya, pria itu terlihat menerawang sebelum tiba-tiba ia berdiri.
Sehun menyiapkan tubuhnya ketika ia melihat pria itu berjalan pelan kearahnya masih dengan wajah stoic lalu berhenti tepat di sampingnya.
"Ini kesempatan terakhirmu. Bila kau menyakiti Luhan lagi maka kupastikan kau tidak akan mempunyai alasan untukku mencegah membunuhmu dengan cara tersadis yang bisa kepala kecilmu pikirkan." Lalu berlalu begitu saja tanpa repot-repot untuk menoleh.
Sehun lalu melihat Zitao memeluk Luhan dan membisikkan sesuatu pada putranya itu dengan senyuman hangatnya –Sehun tidak akan mengelak bahwa ibu Luhan adalah salah satu wanita tercantik yang pernah ia temui–.
Zitao lalu pergi meninggalkan mereka berdua menyusul suaminya yang berjalan menuju tangga ke lantai dua, "Tepati janjimu," ucapnya sambil tersenyum pada Sehun sembari berlalu.
Sehun menghampiri kekasihnya yang masih saja berdiri mematung sambil memandang ke arah orang tua mereka di lantai dua –Luhan melihat ibunya mengecup pipi ayahnya sambil mereka berjalan beriringan–.
"Yang tadi… benar-benar diluar ekspektasiku," ucapnya entah pada siapa ketika ia menyadari Sehun disampingnya.
"Ya, aku juga, Lu. Kupikir setidaknya akan ada beberapa kali suara tembakan senapan dalam ruangan ini," balas Sehun. Luhan menoleh pada kekasih tampannya lalu menyipitkan matanya tidak suka.
Ia tidak menyangka bahwa the almighty Kris Wu yang terkenal mengerikan dan sangat disegani itu akan dengan mudah menyetujui apa yang ia jelaskan. Dalam otaknya setidaknya ia akan jatuh ke lantai karena menerima beberapa tinju pria itu lagi ketika ia membuka suaranya –menilai bagaimana tempramen seorang Kris sebelumnya–. Tapi sebaliknya, pria itu hanya diam di tempatnya dan mendengarkan Sehun. Well, itu menjelaskan bahwa Kris Wu bukanlah seorang pria bar-bar dan Sehun bersyukur karena ia tidak akan ingin memiliki ayah mertua seperti itu. Oops. Namun sekarang bagaimana reaksi sang bos mafia itu tidak penting lagi karena ketika ia memiliki Luhan-nya dalam pelukannya, ia tahu that's all that matters the most.
Sehun terkekeh kecil melihat reaksi pria mungilnya lalu ia merunduk dan menempelkan dahi mereka dengan telapak tangannya mengelus surai lembut Luhan.
Luhan membuka kelopak matanya yang tadi tertutup menyembunyikan manik mata rusanya yang sebening laut di musim panas sekaligus seteduh sebuah danau di hutan terdalam. Lalu cantiknya rupa Luhan adalah bonus tersendiri bagi Sehun selain ia memiliki kepribadian yang luar biasa juga.
"I adore you, baby," bisik Sehun tanpa sadar seolah bibirnya memiliki komando sendiri atas apa yang ia ucapkan.
Luhan merona, pipi putihnya menyembulkan semburat merah muda yang sangat cantik. Matanya ia arahkan kemanapun asal bukan wajah terutama mata setajam elang pria itu. Luhan rasa bisa meledak kapan saja.
Kedua tangan Sehun masih beristirahat di pinggul sempitnya ketika suara menginterupsi momen mereka.
"Aw, such love birds,"
Otomatis kepala mereka tolehkan bersamaan ke arah arah sumber suara yang ternyata merupakan ibu Luhan. Zitao. Wanita itu berjalan dengan langkah yang tenang ke arah mereka.
"Luhan, bolehkah mama meminjam lelakimu sebentar? Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan," ujarnya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya pada Luhan yang memutar bola matanya dengan wajah memerah –lagi–.
"Aku akan berada di kamarku," dengan itu Luhan berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.
"Ada apa Nyonya Wu?" ucap Sehun yang terdengar kaku di pendengaran Zitao.
Zitao yang baru saja duduk di salah satu sofa lantas menoleh pada Sehun seolah pria itu baru saja menumbuhkan satu tanduk dari kepalanya. "Come on Sehun, drop the tense already. Aku tidak memiliki senapan di pinggangku dan aku hanya ingin menyampaikan beberapa hal. Duduklah."
Sehun menurutinya. Entah mengapa ia kembali gugup. Apa akan ada drama lagi disini?
"Aku ingin berterimakasih." Sehun tetap diam karena ia tahu Zitao belum selesai dengan kalimatnya. "Pidatomu yang tadi membuatku tersentuh. Luhan…my baby, ia menyukai orang yang tepat dan aku bersyukur karena aku tahu ia akan bahagia. Aku rasa kau perlu mengetahui ini, ketika kau meninggalkan rumah ini, Luhan mengurung dirinya dan yang ia lakukan adalah menangis seharian hingga tertidur. Ia begitu kehilangamu saat itu. Sebagai ibunya, aku tidak ingin melihatnya seperti itu lagi dan aku ingin memastikan anakku selalu bahagia. Karena itulah Sehun, tepati janjimu."
Sehun menjawab dengan mantap dan tanpa beban, "Tentu saja, nyonya Wu, aku akan menepati janjiku."
Meskipun Sehun tidak mengucapkannya panjang lebar, Zitao tahu itu sudah cukup. Wanita itu lalu berdiri, "Aku mewakili suamiku, mungkin itulah yang tidak sempat disampaikan olehnya. Ia memiliki ego yang terlalu tinggi untuk itu tapi aku harap kau bisa mengerti." ia menepuk bahu Sehun sambil tertawa dan berjalan pergi.
Setelah beberapa langkah, Zitao menyempatkan untuk menoleh padanya lagi,
"Kau bisa menyusul Luhan ke kamarnya. And try not to be too loud when you 'do' it in this house, kay,"
Sehun merutuk ketika menyadari apa yang dimaksud oleh wanita itu. Wajahnya menghangat tapi ia menolak mengakuinya.
Sial.
.
.
.
"Apa yang mama katakan padamu, Hun?" adalah hal pertama yang Sehun dengar ketika ia menutup pintu kamar Luhan.
"Bukan apa-apa,"
"Bohong. Katakan apa itu atau aku akan mengusirmu dari kamarku," ancamnya lucu. Alih-alih terlihat mengancam, rusa kecil itu justru terlihat imut dengan memeluk bantalnya.
Sehun mendekat lalu naik ke ranjang itu dan merangkak memerangkap tubuh Luhan di bawahnya. Ia dapat mencium aroma Luhan yang makin kuat –mungkin efek karena ini adalah ranjang Luhan– dan ia menghirupnya dalam-dalam.
Sedangkah Luhan…..ia memiliki perasaan tidak enak.
"Kau yakin ingin tahu apa yang ibumu katakan padaku?" bisik Sehun di telinga Luhan dengan sensual. Bibir pria itu sedikit menyentuh telinganya ketika melakukannya. Bulu roma Luhan seketika meremang dan sekujur tubuhnya memanas.
Shit, shit, shit.
Luhan sendiri kaget ketika ia justru mengangguk sambil menggigit bibirnya dan menanti apa yang terjadi selanjutnya.
Yang terjadi adalah Sehun tiba-tiba melepaskan kungkungannya lalu menjatuhkan dirinya berbaring di samping Luhan. Lelaki manis itu kontan saja speechless. Apa Sehun baru saja menggodanya?
"Ibumu mengingatkanku untuk tidak melakukannya keras-keras ketika kita di rumah ini,"
"Mama… bilang apa?" ulangnya karena Luhan rasa ia salah dengar. Apa ibunya baru saja memberitahu Sehun untuk bersikap lembut padanya ketika…seks?
"Iya, sayang, kau tidak salah dengar. Your mom told me not to get too loud when we have sex, Lu." jawab Sehun enteng lalu ia merasakan sebuah bantal mendarat di wajahnya dengan cukup keras. Luhan pelakunya.
"Yah! Kau bohong! Mana mungkin ibuku berkata seperti itu!" sergahnya sambil tetap memukulkan bantalnya ke tubuh Sehun.
Sehun akhirnya bangkit duduk, "Apa perlu kita bertanya kepada ibumu, Luhan? Jika aku berbohong maka kau bisa mengusirku sekarang." Luhan yang langsung terdiam dengan wajah memerah itu memalingkan wajahnya ke samping.
Sehun ingin tertawa namun ia menahannya –meskipun tawanya akhirnya tetap terdengar– "Aw, apa rusaku merajuk, huh?"
Sehun tetap tidak mendapat jawaban sehingga ia mencoba lagi, "Tenang saja, kita tetap bisa melakukannya dengan keras di apartemenku, Lulu," godanya. Suaranya merendah tanpa ia sadari. Tangannya merambat ke pinggang sempit kekasihnya hanya untuk menerima cubitan, cukup keras jika kau tanya Sehun.
Luhan bergegas berdiri dan melarikan diri, kemana saja, asal saja tidak dengan Sehun yang sepertinya siap untuk menyerangnya di ruangan ini. Pergerakannya terhenti ketika ia merasa dua lengan kekar melingkari tubuhnya dan memutar tubuhnya, memerangkapnya sekali lagi.
Namun disanalah Luhan merasa aman dan nyaman. In Sehun's embrace, he finds his home.
Luhan berusaha menahan diri. Memalingkan wajahnya berkali-kali agar wajahnya yang memerah tidak tertangkap oleh Sehun yang sekarang sedang memehartikannya itu. Luhan seharusnya lebih bisa menahan diri dan bukannya malah tampak seperti gadis SMU yang sedang kasmaran.
Screw it. Bibirnya memang tidak bisa diajak berkerja sama.
Jadi disanalah ia justru menyiasati ciuman, Luhan menarik tengkuk prianya dan memberikan sebuah ciuman –a pretty heated one– dengan mata tertutup karena ia tidak bisa lagi menahan kebahagiaan yang berkumpul dan meletup-letup di dadanya. Ia bahagia karena mereka tidak akan perlu bersembunyi dan mencuri waktu untuk bersama-sama. Mereka bisa pergi ke tempat umum seperti pasangan lainnya. Memberi makan gerombolan merpati di taman atau pergi ke bioskop yang tidak pernah bisa Luhan lakukan dengan Sehun sebelumnya karena ayahnya memiliki selegiun mata-mata.
Dan Luhan rasa ia bisa merasakan bahwa Sehun juga sama bahagianya. Bibir pria itu bergerak dengan semangat bersama miliknya, lidah lihainya pun juga aktif bermain disana.
Oh, betapa Sehun tidak pernah seringan ini ketika berciuman dengan Luhan karena ia tahu ia tidak perlu lagi pasang telinga tajam-tajam mencegah mereka ketahuan. Ia ingin membawa Luhan saat itu ke apartemennya dan mengulang percintaan hebat mereka.
Ketika ciuman mereka terlepas, Sehun membuang nafas berat seolah menyesal ciuman mereka harus selesai. Rasanya ia tidak akan pernah puas merasakan belah plum Luhan yang manis dan mencandu. Ia mengelus pipi Luhan, meraskan betapa lembutnya kulit lelaki mungil itu dibawah jarinya. Sehun kemudian merunduk lalu mengistirahatkan kepalanya di ceruk leher Luhan sambil sesekali mengecup kulit mulus itu. Kedua lengannya merasakan bagaimana Luhan terasa pas dalam pelukannya seolah ia lahir untuk berada dalam buaiannya, melengkapinya. Dengan kepalanya yang masih berada di sana, ia berbisik,
"I can't explain how much I love you, and I can't explain why."
Mungkin tidak harus ada alasan spesifik untuk itu. Mungkin, ketika dua orang saling memiliki satu sama lain, alasan itu bukanlah hal yang penting lagi.
"I'm not sure that you can understand how much I'm in love with you,"
Mungkin ia tidak mengerti. Mungkin ia tidak bisa. Atau mungkin, ia bisa. Mungkin, jika Luhan merasakan perasaan yang sama seperti bagaimana Sehun mencintainya.
Did that make them soulmates?
"I understand, Sehun. I understand because I do, too." ujar Luhan lembut lalu mereka berbagi satu lagi ciuman manis nan mendebarkan dimana mereka menumpahkan perasaan mereka disana.
Yes.
That did make them soulmates.
.
.
.
OVER THE DESTINY
END
.
.
a/n : GW PINGIN NANGIS GAAAAEEEEEESSSSSS HUHUHU AKHIRNYAAAA SELESAII! QAQ Aku ngerjainnya sambil jatuh bangun nih huhuhu maafkan karena terlambat bangett… I took 10 freaking months to update this dan saya meminta maaf T_T selain karena writer block, my excuses are : waktu itu emang ga semangat karena sedikitnya feedback (review), terus ada uas dan unas, dan setelah unas ternyata ada beban SNMPTN yang bikin kepikiran. Setelah snmptn selesai, baru bisa lanjutin lagi deh T_T . aku sendiri gemes banget karena aku jujur aja ga bisa liat ff ini yang belom selesai-selesai.. kalian bisa liat di awal, mungkin ada jarak sekitar 5k words sampe gaya penulisannya yang berubah ya? Itu garagara jarak ngerjainnya juga berbulan-bulan.. orz and I feel terribly sorry for that.
Semoga ini masih bisa menghibur ya dan bisa meninggalkan kesan buat readers sekalian #tssaaah xD
Ditunggu bangeeettt reviewnya ya! toloooong review/ kasih feedback kerja ku ini huhu biar aku tau kalo ada orang yang baca :') tapi jangan cuma favorite atau follow aja,kasih review dulu biar aku tau tanggepan ffnyaa :D wkwk aku tau kalian pasti baik hati dan tidak sombong kan yaa /plak/
Thankyou for reading sweeties! C: