Harry Potter © JK Rowling

The Standard You Walk Past © bafflinghaze

Alih bahasa oleh neko chuudoku

.

CHAPTER 14

.

Ketika Harry terbangun, tangan Draco sekali lagi sedang memasai rambutnya. Mata Draco sudah terbuka dan dia memasang tampang kontemplatif.

"Aku memimpikan dirimu," kata Harry sambil merenggangkan lengan-lengannya.

Draco menoleh dan menyeringai. "Yang benar? Aku tersanjung. Karena, aku tidak memimpikan dirimu."

"Jadi memang karena tongkat sihirmu." Harry nyengir. "Aku benar kan! Kubilang juga apa!" dia menusuk perut Draco, dan cepat-cepat berguling turun dari kasur sebelum Draco bisa membalas.

Draco memutar mata. Dia melambaikan sebelah tangan malas pada Harry. "Aku harus membiarkan kau yang benar kadang-kadang. Kalau aku selalu benar sepanjang waktu, aku akan jadi terlalu sempurna."

Harry mengerang.

xxx

"Mr. Potter dan Mr. Malfoy, silakan duduk."

Harry menyentuh singkat lengan Draco sebelum mereka duduk di dua kursi yang berdampingan. Para lukisan sedang bangun dan menonton mereka dengan penasaran…dan di sana ada Dumbledore, dengan kerlipan di matanya, dan Snape setengah-berpaling dari mereka. Harry menelan ludah, kenangan mulai membanjiri dirinya.

"Aku telah berbicara dengan murid-murid lainnya," McGonagall mulai bicara, membuat Harry lega. "Kalian mungkin ingin mengetahui bahwa mereka tidak cedera atau luka-luka kecil mereka telah disembuhkan. Madam Pomfrey tidak menahan seorangpun semalam." Beliau memberi mereka tatapan menusuk. " Aku telah lalai untuk memeriksa apakah kalian berdua cedera atau tidak."

"Saya cedera," kata Draco pelan. "Harry telah menyembuhkan saya, jadi tak apa."

"Saya tidak terluka," tambah Harry.

McGonagall mengerucutkan bibir. "Aku mengerti. Kalau begitu, Mr. Malfoy, apa yang terjadi sebelum perkelahian?"

"Tak ada. Saya hanya sedang berjalan menuju Perpustakaan ketika mereka menyergap saya."

"Apa kau bisa mengkonfirmasikan hal ini, Mr. Potter?"

"Saya tidak menyaksikan awal penyerangannya, tapi saya percaya pada Draco." Harry menoleh dan tersenyum singkat pada Draco. Draco balas mengangguk.

"Aku telah menduga bahwa masih ada hal lainnya," McGonagall mendesah sedih. "Mr. Malfoy, aku mengerti jika kau tak ingin memberitahuku apa yang terjadi antara murid-murid lain dengan dirimu sendiri, dan aku akan mengambil tindakan bagaimanapun juga. Tapi pada saat ini, mungkin kaulah orang terbaik yang dapat mengungkapkan jangkauan penyerangan-penyerangan ini. Jika bisa, aku ingin mendengarkan sudut pandangmu."

"Saya berencana untuk menceritakannya," kata Draco, tersenyum lemah pada Harry. Harry balas tersenyum menyemangati.

Profesor McGonagall mengangguk serius. "Kalau begitu, laporkan padaku."

xxx

Draco melaporkan serangan-serangan pada anak-anak Slytherin yang tidak bersalah. Dia juga menceritakan kejahilan-kejahilan yang dilakukan pada mereka, tapi dia tidak menceritakan kelambanan Slughorn—jika McGonagall memutuskan untuk bicara pada Slughorn, maka Draco puas membiarkan dia menggali lubangnya sendiri dan jatuh. Mungkin Amelia sudah bicara soal ketidakgunaan Slughorn. Dia memaksa untuk menaruh harga diri dan emosinya jauh-jauh, dan melaporkan serangan-serangan pada dirinya, serta saat-saat yang dia habiskan dalam kebisuan karena kutukan.

"Apa mereka mengatakan sesuatu padamu?" tanya McGonagall, dengan campuran penasaran dan kemurkaan khas Gryffindor.

Mata Draco berkelip pada lukisan Dumbledore, yang sedang menonton kelangsungan dengan mata berkelap-kelip, dan pada lukisan Severus, yang mulai menghadap Draco saat dia mulai berbicara. Dia menatap Severus saat dia berkata dengan datar, "Saya seorang Pelahap Maut. Saya tak layak berada di sini."

Mata Severus berkilat.

Di sampingnya, Harry mengeluarkan suara batuk-batuk. "Mantan Pelahap maut. Dan menurutku kau layak berada di sini."

Draco menyentuh Harry pelan, dan Harry balas menatapnya keras kepala. "Aku serius," Harry berbisik keras-keras.

Kepala Sekolah berdiri. "Terima kasih, Mr. Malfoy, Mr. Potter. Aku jamin murid-murid itu akan dikenakan hukuman berat."

Draco bangkit berdiri dan menganggukan kepala.

McGonagall memandang Draco tegas. "Aku telah gagal dalam hal ini, dan aku tak mengharapkan pengampunan. Tapi aku bisa jamin padamu bahwa Dewan Gubernur tidak akan menghapus Asrama Slytherin dari Hogwarts selama aku masih menjabat Kepala Sekolah."

Draco menatap beliau syok. Para Dewan ingin melakukan apa?

"Terima kasih," kata Harry. Dia setengah-menggiring Draco keluar ruangan.

"Lihat, ini tak terlalu buruk, kan?" kata Harry enteng setelah pintu tertutup di belakang mereka.

Draco menatapnya kosong. "Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu. Kita kembali ke dapur." Dia berbalik tajam dan berjalan cepat.

"Kurasa. Tapi menurutku…" Suara Harry yang menerawang di belakang Draco digantikan oleh suara setengah-berlari saat Harry menyusulnya.

Amelia dan kawan-kawan Slytherin-nya menunggu di koridor depan. Dan Amelia, setidaknya, tampak agak sebal.

"Mr. Malfoy, semua yang beliau bilang akan lakukan hanyalah mengambil poin asrama dan memberi mereka detensi!"

Draco mengerling Harry sebelum menyapa Amelia. "Memang apa lagi yang bisa dilakukan McGonagall?"

"Penghinaan publik," adalah jawaban tajam Amelia. "Menurutku kita masih belum seimbang sampai mereka semua dipermalukan."

"Tidak," kata Harry, terdengar ngeri.

Wajah Amelia jatuh seketika.

Harry melambaikan tangan dan cepat-cepat berkata, "Tidak, maksudku, tidak, itu hanya akan menimbulkan kebencian—mereka—membuat mereka makin membencimu."

Draco menggelengkan kepala. "Amelia," katanya, menarik perhatian Amelia dari si penyihir malang yang tak pandai berbicara. "Penghinaan publik tak akan mempan. Publik tak akan membela Asrama Slytherin." Dan dia tak ingin membayangkan amukan para Dewan sekolah.

"Kau tak boleh melakukannya karena itu termasuk penindasan juga," potong Harry.

"Tak peduli apa alasannya, pemberitaan publik tak akan berhasil," kata Draco. "Akan tetapi, bisakah kau bayangkan murid-murid lain tetap diam saja melihat mereka dikenai detensi dan poin asrama mereka kebetulan hilang banyak?"

Amelia menggembungkan sebelah pipi. "Kurasa aku mengerti. Kepala Sekolah McGonagall adalah seorang Gyffindor, jadi mereka menyukai beliau."

Harry mencolek Draco. "Kita harus pergi ke Aula Besar sekarang. Aku ingin melihat poin asrama, atau hilangnya poin asrama."

Draco merengut. "Kita tak perlu melihatnya sekarang."

"Kau tidak mau sarapan?" tanya Amelia.

"Kami sudah makan. Duluan saja." Draco membuat gerakan menggiring sedikit.

"Kay." Amelia dan kawan-kawan Slytherin-nya berlari buru-buru dalam gerombolan kacau.

xxx

"Kenapa kau tak mau melihat jam kaca?" tanya Harry dengan nada meratap.

"Aku akan lihat nanti pada jam makan siang," jawab Draco acuh. Dia berjalan menuju dapur, tapi Harry memblok jalannya.

"Kenapa tidak?" desak Harry. "Kau tak pernah sarapan di Aula Besar."

Draco menatapnya gelap, dan Harry menirunya. Dia tahu betul kenapa Draco tidak sarapan di Aula Besar—alasan yang sama kenapa Draco biasa duduk sendirian di ujung meja dan pergi lebih awal selama jam makan yang dia hadiri. Karena Harry tahu bagaimana rasanya tak memiliki siapapun, terbelah antara diserang atau diacuhkan sepenuhnya. Tapi bukan berarti dia suka itu.

"Apa yang kau takutkan?" Harry mencoba menggedikkan bahu untuk pura-pura santai. "Kau kan Draco Malfoy agung."

"Enyah sana," gumam Draco, tapi Harry bisa melihat ujung bibirnya berkedut naik sedikit.

"Kau yakin kau tidak takut?" dorongnya.

Draco menyilangkan lengan. "Aku tidak takut," sangkalnya.

Harry mengangkat kedua alis dan menemui tatapan Draco. "Kalau begitu apa salahnya pergi turun ke Aula?"

Harry merasa dia tenggelam dalam mata Draco ketika mereka bertatapan satu sama lain. Kelopak matanya mulai berkedut saat Draco memecah keheningan dengan menghela napas gusar.

"Dasar bodoh," dia bergumam sayang. "Kalau begitu tunjukkan jalannya, Tuan Penyelamat."

Harry menyeringai penuh kemenangan. Dia mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jari Draco. Dia lalu menyeret Draco untuk melihat jam kaca.

Mereka berjalan cepat, dengan Harry terang-terangan mengabaikan protes Draco. Ketika mereka sampai di Pintu Masuk Aula, kebisingan naik dengan tajam. Murid-murid berkumpul di depan empat jam kaca. Mereka menatap jam tersebut dan berbicara sembunyi-sembunyi.

Harry menatap jam-jam kaca itu, dia merasa makin menghormati Profesor McGonagall. Beliau telah mengambil poin sangat banyak dari Gryffindor, Ravenclaw, dan Hufflepuff. Dia merengut saat dia memfokuskan diri untuk menguping ocehan mereka; kata Slytherin dan ular-ular disebutkan dengan nada pelan penuh kebencian.

"Semua staff dan murid berkumpul di Aula Besar." Suara McGonagall bangkit di atas kebisingan.

Harry menyambar lengan Draco, menariknya mendekat sebelum dia bisa kabur.

"Beliau bilang kita harus masuk," kata Harry.

"Kau bukan tipe orang yang suka mengikuti aturan," kata Draco enteng, tapi dia dikhianati oleh lengannya yang menegang dalam cengkeraman Harry.

"Kita sudah di sini. Kau tak akan mundur di menit-menit terakhir, kan?"

Draco meluruskan jubahnya. "Tentu saja tidak."

Mereka memasuki Aula, tangan Harry berkaitan erat dengan tangan Draco. Harry mengabaikan reaksi murid-murid, sebagai gantinya dia menunggu sampai Draco menyadari bahwa Harry tak akan melepaskan tangannya.

Draco mendekati Harry, meniupkan kata-kata tepat ke telinganya, "Hm, apa kau ingin duduk di pangkuanku pagi ini?"

Harry bergidik, dan pipinya memanas. "Apa aku tak boleh duduk di samping pacarku?"

Draco memberinya senyum manis yang singkat. "Kita pacar, ya?"

Harry mengangguk tegas dan akhinya berpaling dari Draco. Dia memergoki Amelia sedang memasang tampang mau muntah. Amelia langsung meringis, tapi Harry balas nyengir padanya. Dia dan Draco berjalan ke tempat Amelia, dan Amelia menggeser kawan-kawan Slytherin-nya supaya membuat ruang untuk mereka berdua.

"Masih lapar akan penghinaan publik?" gumam Draco saat dia duduk. Dia menatap sebal pada Harry saat Harry menolak untuk melepaskan tangannya. Harry bergerak-gerak canggung dan duduk di samping Amelia.

Amelia dan Lela memberi mereka cengiran lebar.

"Apa kalian melihat poinnya?" tanya Amelia semangat.

"Atau lebih tepatnya, tidak melihat poinnya?" Lela cepat-cepat mengikuti, sebelum meledak dalam tawa.

Harry mengangguk sambil nyengir. "Ketika McGonagall melakukan sesuatu, beliau melakukannya dengan benar."

Amelia menggelengkan kepala. "Rasanya sangat aneh. Seperti, aku tak percaya beliau melakukan itu."

"Membuatku lapar," kata Lela.

"Ini kan waktunya sarapan," kata Amelia garing. "Mr. Potter, bisa tolong ambilkan madunya?"

"Hanya kalau kalian memanggilku Harry," canda Harry.

Mata mereka membelalak, dan mereka berkata berbarengan, "Wow."

Harry terkekeh dan meraih pot madu.

xxx

Draco membiarkan Harry menghibur para Slytherin. Aula dengan cepat penuh oleh murid-murid yang tadinya berleha-leha di luar. Para staff sudah masuk semua, kecuali McGonagall; mereka tampak cukup kalem memakan sarapan mereka sehingga Draco duga mereka sudah tahu apa yang bakal terjadi. Berarti McGonagall sudah merencanakan hal ini sebelum beliau bicara pada dia dan Harry.

Murid Asrama Slytherin sudah duduk semua. Felicity duduk jauh di ujung, dan Draco memergoki dia mengerling mereka. Felicity menekan bibirnya rapat dan, mengejutkannya, mengangguk pada Draco. Draco membalas sapaannya. Para murid yang lebih tua tampak prihatin, berbisik sembunyi-sembunyi dan tampak tak nyaman. Mereka berbisik-bisik soal hubungan Draco dengan Harry, dan teori konspirasi kecil yang berhubungan dengan hilangnya poin Asrama.

Beberapa murid dari meja lain terang-terangan menatap Harry. Hooper sedang memasang tampang ingin membunuh, dan murid-murid di sekelilingnya juga tampak tidak senang.

Telinga Draco menangkap suara kepakan sayap. Teithirwr turun seperti malaikat pembalasan, disertai hembusan angin dan siluet gelap yang bertolak belakang dengan langit-langit Aula yang cerah. Draco menjentikkan tongkat sihir untuk mendorong piring-piring makanan menjauh darinya tepat sebelum si burung hantu mendarat.

"Teithiwr," sapa Draco. "Maaf, kau harus ke dapur kalau ingin daging mentah."

Teithiwr memberinya tatapan merendahkan, tapi dia membiarkan Draco mengambil koran-koran dan surat-surat. Si burung hantu mematuk jari Draco setelah dia selesai dan terbang kembali ke udara. Draco melongo saat Teithiwr terbang dengan pamer pada para Slytherin muda yang mudah dibikin terkagum-kagum.

Draco mengacuhkan berita di surat kabar (PELAHAP MAUT DRACO MALFOY TERLIBAT HUBUNGAN HOMOSEKSUAL DENGAN SI ANAK YANG BERTAHAN HIDUP!) dan menggunakan tongkat sihirnya untuk membuka surat dari Pansy dan Blaise.

Dear Draco,

Aku harus mendeklarasikan bahwa aku, Pansy, sudah tahu soal itu! Harry terus-terusan menatapmu selama Halloween. Kau akan mengundang dia ke Manor Natal nanti, kan? Ohh, pasti menyenangkan! Kami harus bersiap-siap untuk melihat wajahmu di koran kalau begitu. Kuharap itu bisa menghentikan hatiku untuk merindukanmu walau hanya sedikit. Dan ya, Blaise sedang bersikap bodoh lagi dalam mimpimu. Hai, Draco. Kulihat kau sudah dapat incaranmu. Harry manis juga, ya? Aku bertanya-tanya apa kau akan makin sering atau makin jarang bicara soal Harry Potter, sekarang? Lihat kan, Blaise bahkan tak sabar untuk menunggu gilirannya. Seperti yang aku bilang, Blaise bolos kelas untuk bermalasan di bawah matahari karena dia pikir itu bisa menarik murid-murid dan tentu dia dapat masalah dan…

Draco tersenyum dan melipat suratnya. Dia membuka surat dari Greg dengan sedikit waswas, tidak yakin dengan jarak di antara mereka sekarang. Foto biasa Greg mencuat, kebanyakan foto padang kosong berisi domba-domba dan kadang-kadang foto naga sedang memakan domba; ada foto Greg sedang melambaikan tangan di depan lumbung, dengan garpu rumput di tangan. Sepotong kertas menyelip keluar.

Hai Draco,

Apapun yang membuatmu bahagia. Ini hidupmu. Aku akan datang saat Natal.

Greg.

P.S. Kirimi aku foto tentang keadaanmu. (Tolong.)

Draco merasakan gumpalan kesetiaan dari surat Greg. Dia harus bertanya pada Harry apakah dia mengenal seseorang yang memiliki kamera.

"Berita bagus?" kata Harry, tepat di telinga.

Draco meremas tangan Harry. "Ya."

"Apakah surat kabar—"

Draco mendorong koran-koran menjauh dari Harry. "Abaikan saja media masa," katanya, sedikit terlalu tajam.

Harry mengerutkan dahi dan mencoba untuk meraih koran-koran. "Apa sih?"

Draco menolehkan kepala dan mencium pipi Harry. "Kau percaya pada Daily Prophet atau aku?"

Harry merona, tapi mungkin itu karena Draco diam-diam menjilat telinganya.

"Kau, kurasa," kata Harry pelan-pelan.

"Murid-murid, duduk di tempat masing-masing." McGonagall menyapu masuk, membawa keheningan bersamanya. Beliau menoleh dan mengangguk pada meja Slytherin. Pada saat beliau naik ke podium, Aula hening, disamping denting peralatan makan.

"Selamat pagi, staf dan murid-murid. Tidak diragukan lagi beberapa dari kalian bertanya-tanya kemana perginya poin-poin Asrama." Beliau berhenti untuk menatap seluruh Aula. "Yah, itu bukanlah kesalahan. Beberapa murid dari Gryffindor, Hufflepuff, dan Ravenclaw telah melakukan apa yang bisa disebut sebagai kejahatan pada Slytherin. Poin diambil berdasarkan itu, dan murid-murid tersebut akan melayani detensi sampai libur Natal."

Bisik-bisik menggelembung; McGonagall memanggil keheningan dengan segera.

"Tidak pernah, tidak pernah dalam sejarah Hogwarts kami mengizinkan penindasan di antara murid-murid! Aku ingin setiap orang yang telah melakukan itu, dan siapa aja yang tahu tentang serangan-serangan ini tapi tidak melakukan apa-apa, untuk merasa malu akan diri kalian sendiri." McGonagall mencengkeram ujung podium, mata berkilat oleh emosi. "Kita telah selamat melalui Perang. Kita berhasil hidup. Apa yang menyebabkan perang adalah perpecahan di antara kita. Jadi sekarang, kita harus bersatu. Aku tidak meminta kalian untuk memaafkan mereka yang telah melukai dan merusak dan membunuh selama perang. Apa yang kuminta adalah untuk tidak menyalahkan para Slytherin yang tidak melakukan hal semacam itu! Apa yang kuminta adalah untuk melihat orang-orang sebagaimana adanya, dan tidak diselubungi oleh prasangka-prasangka." Kepala Sekolah menurunkan cengkeramannya pada podium. "Asrama yang berbeda dimaksudkan untuk menginspirasikan persaingan sehat, bukan kebencian. Jangan ulangi kesalahan masa lalu—"

xxx

Harry bersandar pada Draco saat dia mendengarkan pidato McGonagall. Dia bisa melihat bahwa kata-kata beliau tidak mencapai semua murid; dia bisa melihat penolakan langsung di beberapa wajah mereka. Apa yang membuat Harry tetap optimis adalah beberapa murid yang mendengarkan dengan seksama, dan beberapa yang mengangguk pada kata-kata beliau; dia melihat beberapa dari mereka tampak menatap pada meja Slytherin dengan tatapan bersalah campur tatapan gelap.

Dia menemui tatapan Ron di seberang Aula, dan Ron mengangguk tegas. Tentu saja, Ron dan Hermione akan berkomitmen untuk rekonsiliasi. Harry menyadari bahwa dia bisa mengandalkan dukungan Neville, dan Ginny dan Luna dan…sepertinya seluruh anggota lama Laskar Dumbledore, kecuali Smith.

Masih ada hal lain yang perlu dilakukan. Sedikit kebencian di sekolah merefleksikan ketidaksukaan yang lebih besar di masyarakat. Harry bisa melihat setengah-judul halaman depan Daily Prophet dengan jelas, meski Draco berusaha untuk menyembunyikannya dari Harry. Tapi dia tidak sendirian dalam pertempuran ini.

Harry mendongak dan tersenyum pada Draco, yang sedang memperhatikan McGonagall. Draco menunduk dan mendaratkan ciuman ke dahi Harry.

Harry meremas tangan Draco. Mereka berdua telah melalui waktu panjang sejak awal tahun ajaran sekolah; dan dengan sedikit keberuntungan dan banyak-banyak kekeras kepalaan, mereka masih memiliki waktu yang panjang berdua.

.


.

Beberapa tahun kemudian…

.

"Semuanya! Masuk ke dalam!" teriak Harry.

Draco mengikuti Harry, melongo saat Harry menggiring Greg dan Charlie Weasley ke arah sekumpulan orang yang berkerumun di depan pohon Natal Manor. Xenophilius Lovegood, yang memerankan photographer Quibbler, sedang mengutak-atik kamera di atas flatform melayang, dengan seorang Dean Thomas yang mengintip dari balik bahu.

"Draco, apa yang sedang kau lakukan?" Harry memasang tampang letih.

"Potter, tidak perlu buru-buru untuk menyelesaikan ini," Draco bicara lambat-lambat.

Harry merengut. "Kupikir kau sudah sangat tak sabar ingin membuka hadiah-hadiahmu."

Draco menyeringai. "Menonton kau jauh lebih menarik."

Harry memutar mata. "Ayolah, ajak orangtuamu masuk ke dalam. Aku ingin mereka berdiri di samping Molly, Arthur, dan Andromeda."

Draco menarik Harry dan mencium keningnya. Hatinya menghangat saat Harry sekali lagi meremas tangannya.

"Sekarang, pergi lakukan perintah Harry," Harry bicara lambat-lambat.

"Dan kau pikir itu akan membuatku patuh?" jawab Draco garing, melebih-lebihkan gaya bicaranya.

Harry mendorong Draco menjauh. "Taruhan," katanya sambil nyengir. Dia lalu bergegas untuk mengumpulkan beberapa Gryffindor yang masih berkeliaran.

Demi kewarasannya sendiri dan demi harapannya untuk cepat-cepat mengakhiri ini, Draco melakukan perintah Harry. Mother sedang bercakap dengan Andromeda, dan Father menempel di sisi Mother. Draco menyentuh pelan lengan Mother untuk mendapat perhatian beliau.

Mother tersenyum. "Oh, ada apa?"

"Harry ingin kita bersiap-siap untuk difoto."

"Baiklah," kata Bibi Andromeda. Andromeda melingkarkan lengannya dengan Mother, dan mereka bergerak menuju kelompok yang lebih besar; Father mengikuti mereka dengan pasif.

Keluarga Weasley dan teman-teman Gryffindor Harry berkerumun bersama. Draco tidak begitu terkejut saat melihat Luna Lovegood berbincang dengan Blaise dan Theo—dia kan Lovegood—tapi dia terkejut melihat Pansy bicara pada Ginevra Weasley. Dia bertanya-tanya apakah kakeknya sedang berguling-guling dalam kuburannya—dan apakah isi hati Father sama tidak pedulinya dengan tampangnya.

Selama beberapa hari terakhir mendekati Natal, Malfoy Manor dipenuhi kerumunan keluarga Weasley dan para Gryffindor, dan kadang-kadang Ravenclaw dan Hufflepuff.

Meski begitu, itu adalah keadaan paling bahagia yang pernah Draco lihat di rumahnya.

Tangan Harry menyelip ke sekeliling pinggangnya. "Aku sangat senang," gumamnya.

Draco mengangkat sebelah alis, sambil menatap tajam kerumunan berisik itu. "Soal itu?"

Harry hanya memberinya senyuman kecil. "Ayo, kita akan berdiri dekat dengan hadiah-hadiah. Dengan begitu, kau bisa membuka hadiahmu paling pertama, tepat setelah difoto."

"Apa kau mengimplikasikan bahwa aku memiliki kendali diri yang amat kecil?"

Harry nyengir. "Aku tahu kau sebenarnya hanya anak kecil di dalam."

Draco menghembuskan napas ke telinga Harry. "Bukan anak kecil yang kau inginkan tadi malam. Kudengar kau cukup menikmati diri dewasaku."

Harry memutar mata. "Malfoy, ada anak-anak kecil di sini. Ayolah."

Mr. Lovegood memanggil minta perhatian, dan perbincangan berhenti. "Fantastis, semuanya!"

"Dad, jangan lupa bahwa kau ikut difoto juga!" panggil Luna.

Mr. Lovegood tertawa, dan melompat dari flatform untuk bergabung dengan Luna. "Ketika kita semua berkata 'cheese', kamera akan langsung mengambil gambar."

Draco menggelengkan kepala. "Keju?" bisiknya pada Harry.

"Oh, itu kebiasaan muggle," jawab Harry tak fokus. Harry menggeserkan tubuh mereka sedikit ke samping.

"Oke, tiga—"

Draco meringkukkan tangannya pada rambut hitam acak-acakan Harry.

"—dua—"

Draco menarik Harry mendekat.

"—satu—"

Mata Harry terfokus padanya; intens, gelap.

"Cheese!"

Mereka berciuman.

Amelia dan Lela menyebarkan kata-kata, "mereka ciuman lagi," Hermione tertawa, Teddy dan Victoire berkata 'cheese' lagi dan lagi dengan sangat keras dan sangat cepat, dan Draco bisa mengenali suara Father berkata cheese.

Bibir Harry melengkungkan senyuman di bibir Draco, dan bibir Draco balas tersenyum.

.

.

.

Sisa hari Natal berlalu dalam kabut warna, kebisingan, dan makanan. Dan jika Draco Malfoy memangku Harry Potter ke ranjang, menyebabkan sorak sorai dari mereka yang berkumpul, itu tidak di sini maupun di sana.

Pada hari setelah Natal, halaman depan the Quibbler menampilkan foto mereka semua—senyum dan tawa—mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru.

.

TAMAT

.

Yay! Akhirnya selesai.

Terima kasih buat siapa saja yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca fanfiksi terjemahan ini, padahal saya yakin ini masih banyak kekurangannya dan lebih gereget membaca yang asli. Hehe. Pokoknya, terima kasih ^o^.