Judul : The Standard You Walk Past

Author : bafflinghaze

Pasangan : Draco Malfoy/Harry Potter

Disclaimer : Harry Potter © JK Rowling

Alih bahasa : neko chuudoku

Summary :

Saat kembali ke Hogwarts untuk Tahun Kedelapan mereka, Kepala Sekolah McGonagall memutuskan untuk menempatkan Draco Malfoy dan Harry Potter dalam satu kamar bersama. Beliau mungkin mengharapkan sebuah peranan penting yang mengarah pada persatuan asrama; tapi murid-murid lain sepenuhnya menduga hinaan dan perkelahian. Tapi tak ada yang terjadi. Hal itu, sampai Harry berjalan dalam tidur ke kasur Draco Malfoy.

xxx

Catatan penulis : Judul berasal dari kutipan oleh Lieutenant General David Lindsay Morrison, AO.

''The standard you walk past is the standard you accept.''

.

CHAPTER 1

.

Draco merapal ulang penangkal pada kualinya dan memasang pengukur waktu untuk 10 menit. Bahan yang terakhir—beberapa tetes cairan Horklump—sudah masuk ke dalam botol yang dipasangi penangkal ketika Draco membersihkan meja kerjanya. Terdengar suara ping pelan ketika lagi-lagi sebuah objek tak teridentifikasi berusaha untuk masuk ke dalam kualinya, dan Draco merasakan kepuasan gelap saat objek tersebut memantul kembali pada siapapun yang telah melemparkannya; beberapa meja di sebelah kiri baris di depannya, terdengar sebuah keluhan kaget dan aliran kata-kata dari Slughorn yang tengah membimbing murid yang tidak fokus itu.

Slughorn jarang menghampiri meja Draco di belakang kelas Ramuan. Draco tak keberatan dengan itu, dia sudah mengira bahwa Slughorn lebih mengganggu daripada membantu. Paman Severus, dia

Draco mendorong jauh-jauh pemikiran itu dan fokus kembali pada kualinya. Dengan empat menit lebih tersisa di pengukur waktu, warna susu pada ramuannya mulai memudar. Dia mengurangi sedikit panas api dan menulis catatan di jurnal ramuannya.

Potter bekerja di meja terdekat dari depan, Weasel (Weasley) dan Granger mengapitnya. Si Anak Ajaib membungkuk, dan terlihat kilatan cahaya dari tangannya yang berada di atas kuali ketika dia menuangkan sesuatu ke dalamnya. Draco mengeryit di dalam saat gumpalan asap putih membumbung dari kuali Potter.

"Harry, anakku, kau sudah hampir berhasil!" Slughorn berjalan ke arah Potter, memberikan Potter sebuah tepukan di bahu. "Sayang sekali, sayang sekali. Pergilah bekerja dengan Mr. Weasley untuk sisanya, janganlah kau khawatir!"

Potter menggumamkan sesuatu sebagai jawaban, tapi Slughorn menggelengkan kepalanya—sebuah gerakan yang luar biasa teatrikal bila dilihat dari posisi Draco, namun kemungkinan akan bikin mual bila dilihat dari jarak dekat. "Janganlah kau khawatir, Harry! Semua orang membuat kesalahan. Sekarang, Mr. Weasley—"

Pengukur waktu Draco berbunyi dalam benaknya, menarik matanya kembali ke kualinya. Jejak-jejak warna putih susu yang terakhir sudah hilang. Draco mematikan api dan melengkapi ramuannya dengan tiga tetes cairan, lalu mengaduknya pelan sebanyak tujuh kali berlawanan arah jarum jam. Mula-mula warna hijau cemerlang mengikuti batang kaca pengaduk Draco, sebelum ramuannya menetap dalam warna biru laut transparan.

Saat tiba waktunya Slughorn…berkenan untuk mengunjungi tempat kerja Draco, Draco telah memasukkan hasil ramuannya ke dalam botol dan melabelinya, mejanya telah bersih. Draco terus menatap ke wajah Slughorn, itulah kenapa dia tahu Slughorn bahkan tidak menatap padanya. Si Profesor hanya melirik botolnya, menggumamkan "Bagus," dan berjalan kembali ke sisa kelas.

Diam-diam Draco merapal mantra perisai sebelum berjalan melewati murid-murid lain untuk menaruh botol ramuannya di meja depan. Dia tidak dimantrai, kali ini, tapi itu tidak bisa menghentikan kepahitan akan pengetahuan bahwa, begitu Slughorn melihat tulisan Draco Malfoy pada label di botol, ramuannya akan dibuang. Draco bisa saja menyimpan satu botol terpisah untuk ramuan yang dia buat, kalau saja bukan karena resiko ketahuan dan kemungkinan tuduhan-tuduhan akan berbalik menyerang dirinya.

Dia harus berjalan melewati Potter dan Weasley pada jalannya ke pintu keluar. Mata Potter setengah kosong, sementara pipi Weasley merah karena frustasi. Tak ada satupun dari mereka yang mengerling pada Draco.

xxx

Draco duduk di depan mejanya di kamar asrama, sebelum fajar. Kamar untungnya kosong—Potter telah menghilang sepanjang malam. Meskipun Draco hampir khawatir;dia tahu Potter berkeliaran di malam hari. Tapi biasanya Potter selalu kembali kira-kira satu jam setelah tengah malam. Berhubung Potter masih di luar… ada kesempatan Potter akan kembali sementara Draco masih berada di ruangan mereka berdua.

Menempatkan mereka semua dalam satu asrama khusus anak tahun kedelapan adalah ide Kepala Sekolah McGonagall. Ada sangat banyak jumlah murid Tahun Kedelapan yang kembali sehingga tak ada cukup ruangan di kamar-kamar Asrama. Karena itu, McGonagall telah mengubah Menara Timur menjadi tempat akomodasi untuk sementara. Dan sebagai pengakuan bahwa murid Tahun Kedelapan telah dewasa, mereka diberikan ruangan masing-masing untuk dua orang alih-alih untuk banyak orang. Di atas segalanya, Draco diharapkan untuk mewakili Slytherin, Potter Gryffindor. Mungkin beliau mengharapkan sebuah contoh akan persatuan asrama; Draco tahu bahwa para murid menunggu dengan napas tertahan entah untuk kematiannya sendiri, atau untuk dia mengatur kematian Potter.

Mereka semua salah.

Malam saat Pesta Pembukaan adalah terakhir kalinya Draco berinteraksi dengan Potter dalam cara apapun, ketika dia dan Potter dengan sopan berjabat tangan di bawah tatapan tajam mata McGonagall, tepat setelah beliau mengumumkan alokasi kamar mereka. Draco pergi naik ke kamarnya duluan, sementara Potter tinggal di ruang rekreasi dengan para penggemarnya.

Dan hanya begitu saja. Tiga minggu telah berlalu sejak saat itu: Draco terus menghindar, dan Potter mengendap-endap sekeliling Hogwarts di malam hari melakukan siapa-yang-peduli. Dan satu-satunya waktu Draco melihat Potter adalah di Aula Besar atau di kelas. Dia tahu Potter tak pernah menatap balik padanya, selalu terlalu sibuk dengan Granger dan Weasley, atau dengan kelompok besar penggemarnya yang sedang tersenyum simpul. Draco mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia juga terlalu sibuk belajar.

Bagaimanapun juga, mereka berdua tidak akrab, dan mereka tidak berkelahi. Mereka hanya tidak punya urusan apapun dengan satu sama lain. Itu lebih baik dari apa yang bisa Draco harapkan, sejujurnya. Dengan jumlah anak laki-laki yang genap, Draco tak punya harapan untuk memiliki kamar pribadi. Dari sekian banyak murid laki-laki, Potter ada di urutan terakhir dalam daftar orang yang kemungkinan akan membunuh Draco dalam tidurnya; lagipula, apa gunanya membunuh orang yang telah kau selamatkan?

xxx

Ada sesuatu tentang Hogwarts setelah gelap. Di siang hari, dunia berkelebat, suara-suara berdengung di telinga Harry. Wajahnya terasa nyeri karena terus tersenyum, dan matanya terasa kering karena terus terbuka. Selalu ada sesuatu yang harus dilakukan, seseorang yang harus diajak berbicara. Kalau bukan Hermione dan Ron, atau mungkin Ginny, atau Neville, masih ada beberapa murid Tahun Kedelapan lainnya yang ingin berbicara dengannya soal beberapa pekerjaan, atau para anggota klub duel atau para pemain Quidditch yang meminta sarannya, atau para gadis yang terus-terusan mencoba merecokinya dengan ramuan-ramuan cinta.

Akan tetapi, pada malam hari tak menyimpan ekspektasi kecuali keheningan Harry. Garis-garis cahaya keperakan pucat berjajar di koridor, memberikan kesan jeruji: kungkungan yang menekan benak Harry, menjaganya jauh dari memori-memori yang mengintai tepat di bawah matanya.

Rasanya seakan waktu berlalu sangat cepat ketika Harry meringkuk di kursi dekat jendela di Menara Utara, diselimuti oleh mantelnya. Warna abu pada pemandangan malam membuat dia terkantuk-kantuk, setengah terjaga.

Selipan mimpi bentrokan-cahaya-terang-gelap membuat Harry terkesiap bangun. Harry meringis, merasakan pegal dari posisinya yang tertekuk. Langit mulai menunjukan rentetan cahaya kuning merah muda sehingga dia pun kembali ke asrama.

xxx

Saat itu hampir jam enam di pagi hari ketika penangkal Draco berdesing, dan Potter memasuki ruangan.

Untuk sesaat yang singkat, Draco menimang ide untuk mengabaikan Potter seperti Potter yang telah mengabaikannya, tapi sebuah keinginan untuk benar-benar melihat Potter—untuk membuat Potter melihat dirinya—membuatnya berputar di tempat duduknya demi mengamati Sang Penyelamat.

Potter memegang beberapa perkamen di satu tangan dan Jubah Gaib yang berkilauan seperi sutra di tangan lainnya. Matanya tampak berat oleh kelelahan tapi membelalak saat Draco berbalik menghadapnya. Tiba-tiba Draco merasakan ada sesuatu yang salah: tak ada rasa tak suka, kebencian, ataupun api berpuas-diri dalam tatapan Potter.

Draco berkedip, merasa bingung. Bagaimana dia seharusnya berinteraksi dengan Potter sekarang? Mencemooh? Draco ingat kata-kata dan aksi Potter pada persidangannya—bukan uluran pertemanan, namun sebuah kesepakatan untuk saling bersikap sopan. Draco merasa tak nyaman pada saat itu, tapi Mother telah memintanya untuk menjabat tangan Potter.

Mother. Beliau ingin dia besikap sopan. Kalau bukan berkat Mr. Potter, kita semua bisa berada di Azkaban, Draco.

Draco meluruskan wajahnya dan menyapa Potter dengan satu anggukan singkat. Potter merespon dengan anggukannya sendiri, tapi matanya tetap melebar terkejut. Draco tak punya keinginan untuk mengejar percakapan bisu, karena itu dia pun berbalik lagi ke mejanya.

Terdengar suara derap di sekitar kamar yang berasal dari Potter, sebelum suara whumfp ketika Potter tumbang ke tempat tidurnya. Saat Draco meninggalkan kamarnya satu jam kemudian, Potter masih tertidur.

xxx

Harry dipasangkan dengan Ron untuk pelajaran Pertahanan seperti biasa. Hermione dipasangkan dengan Ginny. Profesor Berriky mengajari mereka dua mantra—sebuah mantra kutukan kebas sementara dan sebuah mantra perisai padat—dan tugas pasangan adalah untuk merapal bergantian. Pada saat ini, Ron-lah yang sedang merapal kutukannya. Tapi Ron merapalkannya dengan lemah, dan kebosanan menimpa Harry.

Dia hampir tak merasakan apa-apa saat perisainya hancur. Ron berteriak tanpa kata, tapi Harry hanya bisa mengumpulkan sedikit rasa terkejut saat dia terjatuh.

Harry mendengar suara tulang retak dan suara tulang rawannya terantuk, dan dia meringis.

Lambat laun, saat rasa sakit membanjiri dirinya, Harry baru menyadari bahwa tulang dan tulang rawan tadi adalah miliknya. Rasa sakit saat hidung Harry beradu dengan lantai mengingatkannya pada kaki Malfoy. Yang mana membuat dia bertanya-tanya soal malfoy. Apa yang sedang Malfoy lakukan sekarang? Pagi hari waktu itu adalah pertama kalinya Harry melihat dia sejak Pesta Pembukaan.

Suara tersaring kembali ke telinga Harry saat Ron membalik tubuhnya sambil berkata, "Maaf, maaf," lagi dan lagi. Seluruh kelas berisik saat murid-murid lain dan Berriky mengerumuninya. Di sudut matanya, dia melihat Hermione, dan tiba-tiba dia merasa ringan saat tubuhnya diangkat dari lantai.

"Aku baik baik saja, Ron. Hanya resiko Pertahanan," kata Harry, sambil melihat wajah Ron mengendur oleh kelegaan.

Berriky sedang mengatakan sesuatu, tapi Harry fokus pada Hermione dan Ron saat mereka mengapungkan tubuhnya keluar dari ruangan kelas.

Hermione menatapnya khawatir. "Bagaimana perasaanmu, Harry?"

"Aku baik," Harry mencoba tersenyum, tapi hidungnya terlalu menyakitkan.

Hermione menggelengkan kepalanya pelan, dan Harry merasakan pintu-pintu terbuka sebelum mereka memasuki ruangan kesehatan bercat putih. Agak sedikit linglung, dia melewatkan perasaan ringan saat Hermione menurunkan dia ke ranjang putih. Aroma tajam ramuan penambah darah mendahului Madam Pomfrey saat beliau memasuki area penglihatan Harry.

"Siang, Madam Pomfrey," gumam Harry.

Pomfrey merengut, tapi rengutannya berkurang oleh nada bicaranya yang penuh kasih. "Mr. Potter, tampaknya mustahil bagi dirimu untuk melewati tahun sekolah tanpa terluka."

"Apakah ini parah?" tanya Hermione sambil condong ke depan.

"Mr. Potter akan dapat kembali ke ruangannya malam ini. Hanya saja bersabarlah." Madam Pomfrey merapal beberapa mantra cepat. Dia pergi sebentar, kembali membawa ramuan yang kemudian Harry minum dengan patuh.

"Hidung patah dan beberapa tulang retak kecil. Berbaringlah, Mr. Potter." Madam Pomfrey mengangkat tongkat sihirnya. "Ini akan terasa sakit."

Harry menahan dorongan untuk memutar matanya. Memangnya kapan penyembuhan terasa tidak sakit? Ron, yang berada di sebelah kanannya, tampak sedikit pucat saat hidung Harry berderak-terbalik kembali ke bentuknya semula, makin pucat lagi saat mendengar suara gertakan tulang yang patah itu sembuh.

Madam Pomfrey mengangguk puas. "Sekarang, Mr. Potter, kau harus tinggal diam. Kau bisa pergi untuk makan malam, tapi tidak sebelumnya."

"Oke," Harry menjawab pelan.

Madam Pomfrey menggelengkan kepalanya, memberikan Hermione dan Ron sebuah tatapan datar. "Ms. Granger dan Mr. Weasley, tolong pastikan Mr. Potter mendapatkan istirahatnya."

"Tentu saja, Madam," Hermione segera menjawab. Madam Pomfrey pun pergi saat Hermione dan Ron duduk di kursi di sisi ranjang.

"Hermione, Ron, aku akan baik-baik saja sendirian," kata Harry. Tampaknya Ron hampir percaya padanya, tapi Hermione jelas-jelas tak percaya. "Kalian harus menghadiri kelas."

Hermione menegang, tapi pada akhirnya, mereka berdua tinggal di sisinya.

Mereka berbincang soal hal-hal biasa, terkadang hanya Hernione dan Ron sementara Harry terkantuk-kantuk, dan terkadang mereka bertiga. Itu membuat Harry merindukan saat-saat dimana hanya ada mereka, saat hanya ada mereka bertiga melawan seluruh dunia—bukannya dia ingin Perang atau Voldemort kembali.

Pada akhirnya Madam Pomfrey kembali dan mengumumkan bahwa dia sudah cukup sehat untuk pergi. Hermione masih khawatir, dan dia terus tinggal di sisinya saat makan malam, yang terdiri atas dirinya mengaduk-aduk makanan di piringnya saat dia menerima simpati dan semoga cepat sembuh dan memberi tahu Ron bahwa dia akan jadi Auror yang hebat kalau dia bisa menumbangkan 'Harry Potter agung'. Ron memerah mendengar itu, sementara seluruh sisa meja tertawa.

xxx

Kembali ke ruang rekreasi, Ron dan Hermione saling berbagi lirikan, dan Hermione tidak menyuruh mereka untuk mengerjakan PR. Sebaliknya, dia menaruh sebuah tangan yang hangat di lengan Harry.

"Harry, mungkin sebaiknya kau langsung tidur malam ini," dia berkata.

Harry berkedip dan berbalik pada Ron, tapi Ron sedang mengangguk-angguk pada kata-kata Hermione.

Rasa bersalah menjalari urat nadi Harry. Dia telah membuat kedua temannya khawatir sampai-sampai Ron bahkan tidak membuat lelucon soal Hermione yang setuju untuk tidak mengerjakan PR.

Ron menggenggam tegas lengannya yang lain. "Ayo sobat, kami harus memastikan kau dapat istirahat malam ini."

Harry membiarkan mereka menemaninya ke kamarnya. Akan tetapi—

"Aku akan baik-baik saja," protes Harry, merasa malu saat Hermione membantunya membuka sepatu dan jubah luarnya, lalu mentransfigurasi sisa pakaiannya menjadi piyama, dan mengirimkan mantra kebersihan ke giginya.

"Harry," gusar Hermione.

Ron membuka tirai kasur Harry, mengangkat selimutnya. "Ayo naik."

"Aku bukan anak kecil," gumam Harry, tapi wajah tulus Ron menjaganya dari memutar matanya.

"Kami khawatir padamu, sobat," kata Ron sambil merengut. Dia menarik maju Harry.

Dengan patuh, Harry memanjat tempat tidurnya dan berbaring diam saat Hermione dan Ron membenahinya. "Tapi aku memang baik-baik sa—"

"Tidurlah, Harry," Hermione meluruskan rambutnya dan menutup kelopak matanya.

Ternyata Harry pastilah sangat lelah karena dia terlelap dengan segera…dengan gambaran Hermione dan Ron berdiri di samping tempat tidurnya, seolah mereka berdua adalah orang tuanya.

xxx

Suara lengkingan penangkal Draco yang paling dalam menarik Draco hingga terjaga. Warna biru putih yang menenangkan dalam mimpinya hancur menjadi kegelapan malam. Tangannya segera menyambar tongkat sihirnya dari bawah bantal bahkan sebelum matanya terbuka. Cahaya bulan dan moonstone—batu bulan—miliknya memberinya penerangan cukup untuk mengacungkan tongkat sihirnya pada si penyusup.

Sosok itu berdiam di sudut tempat tidur Draco, di sisi jendela di mana Draco membiarkan tirainya terbuka. Sebuah suara jeritan-rintihan yang teredam muncul, dan Draco merangkak mundur saat si penyusup—seseorang—POTTER!—tumbang ke atas kasur.

Berbagai skenario konspirasi dan lelucon jahat memenuhi bagian benak Draco yang histeris. Bagian yang lainnya memaksanya untuk menenangkan napasnya, untuk memeriksa, untuk mendengarkan. Penglihatan Draco menajam oleh mantra nonverbal, mengizinkan dia untuk mengamati wajah Potter dalam bayangan cahaya keperakan. Mata Potter tertutup dan mulutnya terbuka, saliva berkilau menggenang di sudut mulutnya.

Sesudah jantung Draco berhenti berdentam di telinganya, dia bisa mendengar napas dalam dan teratur Potter yang menandakan dia sedang tertidur.

Draco menutup matanya untuk sebentar saja. Tapi saat dia membukanya lagi, Potter masih ada di sana. Bloody Merlin. Dia menjentikkan tongkat sihirnya, mengapungkan si bodoh itu dari kasurnya, dirinya sendiri bangkit dari kehangatan selimutnya. Tirai ranjang Potter terbuka dan selimutnya acak-acakan. Merasa jengkel, Draco menurunkan Potter di atasnya.

Draco sangat berencana untuk meninggalkan Potter seperti itu, tapi kemudian si Anak-Yang-Bertahan-Hidup-Untuk-Mengganggu itu hanya harus membuat suara rintihan kecil, menggigil, dan meringkukkan badan. Dengan asal, yang mana tak akan pernah diajarkan oleh Mother, Draco membenahi Potter dengan benar di ranjangnya dan merapalkan mantra penghangat.

Gemetaran Potter berhenti, dan setiap suara rintihannya memudar.

Hampir tak bisa menahan diri untuk menjentik dahi Potter dengan kekanakan, Draco kembali ke kasur miliknya sendiri, masih hangat. Kelelahan menarik Draco kembali tidur.

xxx

Meningkatkan kejengkelan Draco, hanya dua jam kemudian saat dia dipaksa untuk terjaga lagi. Yang membangunkannya adalah suara jeritan, dan untuk sedetik yang menghentikan-jantung, Draco pikir itu adalah dirinya. Dia mengangkat tangannya ke mulutnya, tapi mulutnya tertutup, dan jeritan itu terus berlanjut.

Draco membuka tirainya dengan jentikan tongkat sihirnya. Kamarnya tampak kosong, sejauh yang bisa dia lihat, selain dari Potter. Potter-lah yang sedang menjerit. Draco tercabik antara dorongan untuk membenamkan kepalanya dan menunggu sampai jeritannya selesai dan yang lainnya, dorongan gila untuk mendatangi dan menenangkan Potter. Dia bertanya-tanya apakah kebisingan ini terdengar dari luar.

Dia membayangkan kemungkinan pasti orang-orang lain menganggap ini adalah kesalahannya.

Fuckity-fuck.

Draco melemparkan selimutnya dan bergerak cepat ke tempat tidur yang satunya. Dia mengayunkan tongkat sihirnya untuk membenahi ulang Potter, merapikan tempat tidurnya dan mengeringkan selimutnya yang basah oleh keringat. Tapi Potter terus berteriak-teriak, dan mengacak-acak segalanya lagi.

Tapi apa yang akan Mother lakukan?

Draco merengut. Mengingat bahwa Draco berhutang pada Potter beberapa hutang-nyawa, Mother akan mendesak Draco melakukan sesuatu untuk membantu. Untuk menenangkan Potter, untuk meringankan mimpi buruknya, jika Draco berada dalam posisi yang memungkinkan untuk melakukannya.

Draco menempatkan sebelah tangannya dengan tidak yakin ke dahi Potter. Dahi Potter hangat, tapi tidak demam. Apakah dia harus berbicara untuk menenangkan Potter? Akan tetapi, jeritannya menurun menjadi rintihan menyedihkan.

Tangannya yang berada di dahi Potter menutupi bekas lukanya. Tanpa bekas luka itu, bahkan tanpa tatapan hijau itu, Potter tampak polos. Helaian rambut hitam menggelitik jari-jari Draco.

Menguatkan dirinya, Draco mulai mengelus dahi Potter, rambut Potter.

Cara rambut hitam itu terpisah di antara jari-jarinya—begitu pucat kontras—sangat memikatnya. Dan hal itu tampaknya benar-benar berhasil, rintihan dan gemetaran itu menghilang, terasa sepenuhnya tak nyata.

Satu tahun lalu, Draco tidak berpikir dia akan hidup. Bagaimana bisa dia membayangkan berada dalam situasi macam ini? Berkelahi satu sama lain selama hampir tujuh tahun, berada di pihak yang berbeda dalam sebuah perang terkutuk, dan sekarang… Pelahap Maut sedang membantu si Anak Emas.

Draco menarik mundur tangannya saat menyadari bahwa Potter telah tertidur dengan damai lagi. Sebuah mantra Tempus memberitahunya bahwa masih kurang dari satu jam hingga waktu bangun tidurnya yang biasa, dan dengan pasrah Draco pun melakukan aktifitas paginya lebih awal.

xxx

Langit tiba-tiba berubah gelap, dan Harry mengerti, di belakang benaknya, bahwa ini hanyalah mimpi. Tapi itu tak menghentikan tumbuhnya ketakutan yang ia ingat. Jubah-jubah hitam dan topeng-topeng putih berkilau. Harry lari, tapi otot-ototnya terasa lamban. Mereka menangkapnya—apakah mereka benar-benar menangkapnya di kenyataan?—dan kemudian Cruciatus dimulai lagi. Harry mencoba untuk menyeret tubuhnya menjauh, dan untuk waktu yang terasa singkat, rasa sakitnya berhenti, dan langitnya makin cerah—dan kemudian kembali saat Harry melihat Cedric, melihat dia mati lagi dan lagi dan lagi—

Di suatu tempat, Harry bisa merasakannya, adalah tempat yang aman. Mungkin tempat itu hanya berada di ujung horizon—dan dalam sekejap, Harry berada di sana—di sana dalam kelembutan yang putih, dan terima kasih Merlin dia tak bisa melihat atau merasakan keberadaan Pelahap Maut lagi—rasanya seolah waktu membentang dan ini adalah selamanya

Bahkan dalam mimpi, hal itu terlalu bagus untuk bertahan, dan kegelapan pun turun dan dinding-dinding menutupnya. Lemarinya. Panik tiba-tiba menghantamnya—dia sudah terlalu besar untuk masuk ke dalam lemarinya sekarang! Dia menggedor pintu lemari, dan pintunya terbuka, menampakkan Bibi Petunia.

"Waktunya bekerja, nak," cemoohnya, dan Harry tersandung keluar dari lemarinya dengan syukur. Hanya untuk menatap horror saat Bibi Petunia berubah menjadi Bellatrix, dan dia mengacungkan tongkat sihirnya pada Harry dan menyeringai

Harry bangun, hampir melompat dari kasurnya, tongkat sihir teracung. Napasnya terdengar keras di telinganya, dan butuh waktu sedetik bagi kegelapan mimpinya untuk memudar, untuk digantikan oleh kilauan perak dari jendela dan kilau emas Lumos dari meja Malfoy. Kepala Malfoy tersentak ke arah Harry, tongkat sihir terangkat. Harry tiba-tiba merasa bodoh, dan dia menjatuhkan lengannya yang memegang tongkat. Muka Malfoy melembut, dan dia memberi Harry sebuah anggukan singkat dan berpaling, meninggalkan Harry untuk merasakan kekosongan di mana mereka biasanya saling bertukar hinaan.

Saat itu masih dini hari, matahari bahkan belum terbit.

Jadi inilah kapan Malfoy mengerjakan tugas-tugasnya.

Harry menggelengkan kepalanya, anggota badannya terasa lelah. Tempat tidurnya berantakan, dan seluruh ruangan terasa…kosong. Dia cepat-cepat berganti jubah, mengepak tasnya, dan turun menuju ruang rekreasi lebih awal.

Ruang rekreasi murid Tahun Kedelapan luas dan bundar, dengan dua perapian bergemuruh di kedua sisi dan dua pasang tangga yang mengarah langsung ke kamar-kamar asrama. Panji-panji keempat asrama menghiasi dinding, tapi ruangan itu sendiri dilengkapi oleh warna coklat muda dan hijau. Api menyala hangat, dan dengan rasa syukur yang tidak kecil, Harry meringkuk di salah satu sofa.

Hermione membangunkan dia kemudian, pelan-pelan mengguncangnya hingga bangun. "Harry, sarapan."

Harry memerah dengan segera, merasa kepergok. "Maaf, aku bangun terlalu awal, dan aku—"

Hermione tersenyum kesal, menariknya berdiri. "Ayolah Harry, tak apa." Hermione mengerling ke arah tangga menuju asrama laki-laki. "Ron akan segera turun, kelaparan untuk sarapan—sekarang."

Sesuai aba-aba, Ron berlari menuruni tangga. "Hermione! Harry! Sarapan menunggu! Kita harus segera sampai di sana sebelum semua bacon-nya habis—" Untuk sesaat dia merengut. "Seamus sialan menjebakku kemarin. Aku tidak akan terjatuh pada jebakan yang sama lagi."

Hermione memberi Harry cengiran rahasia dan mengaitkan lengannya dengan lengan Ron. "Ayo kita pergi kalau begitu," katanya, kegelian mewarnai nada bicaranya.

Harry mendapati dirinya tersenyum ketika dia mengikuti mereka berdua keluar.

.

-bersambung-

.

Catatan lainnya : Fanfiksi Hogwarts tahun kedelapan. Abaikan epilog DH. Alur cerita pelan. Mengandung sedikit saja adegan dewasa (di chapter yang masih jauh).