Disclaimer : Masashi Kishimoto
Warning! OOC, OC, AU, Typo(s), etc
Summary :
"Sasori paling tidak menyukai keributan, seseorang yang suka telat, semua yang berbau pink, sesuatu yang tidak masuk logika, dan hal-hal merepotkan lainnya. Tapi, setelah bertemu seorang gadis yang mengaku seorang peri pohon, semua yang masuk ke daftar 'sesuatu yang paling ku benci' tiba-tiba terjadi secara berturut-turut dalam hidupnya."
Don't Like Don't Read
.
.
.
Enjoy...!
Sasori melirik kamar bernuansa coklat yang ia tempati. Kamar barunya, atau kamar lamanya. Kamar ini sebenarnya adalah kamarnya saat ia masih kecil, hanya saja saat umurnya tujuh tahun dia harus pindah dari tempat kelahirannya ini karena tuntutan pekerjaan ayahnya. Meninggalkan neneknya yang tidak mau pindah kemanapun. Walaupun ibu atau ayahnya masih sering menjenguknya, terutama ibunya sebenarnya, ayahnya sibuk bekerja. Sasori hanya bisa mengunjungi neneknya saat liburan musim panas atau natal.
Sasori menghela nafasnya, berjalan menuju kasur dan merebahkan dirinya dengan nyaman. Dengan tangan yang ia gunakan sebagai bantalan, Sasori memandang atap kamarnya dengan matanya yang berwarna coklat. Tersenyum simpul saat melihat atap kamarnya penuh dengan gambar tatasurya.
Sasori lelah sekali, setelah melakukan perjalanan jauh dari Suna ke Konoha dia memilih untuk membereskan barang-barangnya di kamarnya saat itu juga. Sasori tidak menyesal telah melakukannya, dia tidak suka menunda-nunda waktu. Walaupun pada akhirnya tubuhnya terasa remuk.
Sasori hampir saja menutup matanya yang terasa berat kalau saja seseorang tidak memanggilnya dari luar kamar. Mengatakan kalau makan malam hampir selesai dan menyuruhnya untuk segera turun. Sasori menghembuskan nafas, menjawab ya dengan cukup keras sebelum bangun dari acara tidurannya. Dia berjalan dengan langkah terseret, begidik sedikit saat merasakan hawa dingin terasa.
Pintu balkon kamarnya terbuka, pantas saja terasa dingin. Sasori berjalan ke arah balkon, memandang pohon sakura besar yang berada di depan kamarnya. Jaraknya antara balkon dan pohon itu mungkin hanya sepuluh meter. Sasori bisa melihat beberapa bunga sakura yang tampak mekar. Musim semi baru mulai, itu artinya dia akan menemukan kamarnya penuh dengan kelopak sakura yang berguguran setiap kali dia masuk. Itu hal yang merepotkan.
Sasori menutup pintu balkonnya, berniat menguncinya sebelum sadar kalau kunci balkon kamarnya rusak. Mendengus sebal, Sasori memutuskan untuk menutup pintu itu dan melangkah menuju kamar mandi. Dia belum mandi setelah sampai di sini, dan badannya terasa lengket semua. Keluarganya tidak mungkin keberatan jika menunggunya sebentar.
.
.
.
"Maaf menunggu lama." Sasori berkata. Ayah dan neneknya hanya mengangguk mengiyakan. Sedangkan ibunya memandangnya dengan senyuman. Tidak ada perubahan yang berarti pada wajah Sasori, tetap datar. Tapi mata coklatnya menatap dengan lembut ke arah ibunya.
"Tak apa, Saso-chan!" Ibunya berkata menimpali. Sasori menatap ibunya dengan dahi yang sedikit berkerut. "Okaa-san, sudah kubilang jangan memanggilku seperti itu."
"Oh! Jangan begitu. Itu kan panggilan sayangku padamu!" ibunya tertawa. Sasori tau ibunya hanya mau menggodanya, tapi sebanyak apapun ibunya menggodanya, dia selalu merasa jengkel. Sasori bisa mendengar neneknya batuk untuk menutupi tawa, dan bibir ayahnya yang tampak berkedut. Sasori memutar matanya jengah.
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan yang ada di atas meja. Kita mulai saja kalau begitu." Neneknya, nenek Chiyo berkata.
Mereka mulai berdoa kepada yang diatas atas makanan yang telah ada, sebelum memakannya dengan diiringi obrolan ringan antar keluarga. Ibunya sesekali akan menggoda Sasori atau ayahnya, yang menyebabkan tawa ringan terdengar dari keluarga kecil itu. Setelah sepuluh tahun dia tidak merasakannya, Sasori tidak bisa untuk menyangkal bahwa dia merindukan hal-hal seperti ini. Sasori bahkan tertawa, saat mendengar ibunya menggoda ayahnya dan membuatnya tersipu.
"Sasori!"
Sasori mendongak saat ayahnya memanggilnya, memandang ayahnya dengan muka datar yang sama persis dengan ayahnya.
"Dua hari lagi kamu akan masuk sekolah baru. Ayah sudah memberi tahumu kan?" ayahnya bertanya. Sasori mengangguk mengiyakan, dahinya lagi-lagi berkerut, seolah tau apa yang sedang ada di dalam fikiran anaknya, ibu Sasori bertanya, "Ada apa Saso-chan?"
"Tidak apa-apa, hanya saja, pindah sekolah di tengah-tengah semester itu menyebalkan." Sasori berkata dengan jujur, nada suaranya tetap datar walaupun dia menggerutu. Ibunya tertawa mendengar perkataanya.
"Itu bukan hal besar kan. Kamu juga pernah melakukannya!" Ayahnya berkata dengan enteng.
Sasori memutar matanya, "Itu saat aku berumur tujuh tahun."
"Lalu?" Ayah Sasori bertanya dengan acuh, lebih tertari pada makanan yang ada di depannya. Sasori mendengus, "Lupakan!" katanya dengan nada datar.
Ayahnya walaupun terlihat tidak acuh, sebenarnya juga tidak menyukai hal itu. Sebenarnya rencananya, mereka akan pindah saat Sasori sudah menyelesaikan tahun kedua si SMA. Hanya saja, setelah mendengar nenek Chiyo jatuh terpeleser di kamar mandi, ibunya ngotot pindah saat itu juga. Sasori juga merasa khawatir setengah mati setelah mendengar berita itu, dan sama sekali tidak berusaha membantah saat acara pindah mereka terjadi secara mendadak.
"Maafkan aku." Nenek Chiyo berkata. "Gara-gara khawatir terhadapku kalian harus pindah mendadak."
"Bukan apa-apa, Okaa-san!" ayah Sasori memandang nenek Chiyo dengan senyum lembut. "Kami juga keterlaluan meninggalkan Okaa-san selama sepuluh tahun ini." Sasori juga tersenyum, dia memegang tangan keriput neneknya dan meremasnya dengan lembut, sama sekali tidak mengatakan apapun, tapi jelas sekali dia juga merasakan hal yang sama. Ibunya sudah menghambur memeluk nenek Chiyo dan mengangis terisak.
.
.
.
Saat Sasori membuka matanya keesokan harinya, dia merasa sesak. Dia menarik nafas kaget saat menemukan seorang gadis dengan warna rambut yang nyaris membuatnya buta sedang ada di sampingnya.
YA DISAMPINGNYA!DI ATAS RANJANGNYA! DAN SEDANG MENGGELUNG SEPERTI KUCING DI PELUKANNYA!
Sasori bisa merasakan matanya melebar, hal yang nyaris tidak pernah ia lakukan. Dia tanpa sadar menendang begitu saja gadis itu dari kasur saking kagetnya.
Gadis itu memekik, mengerang-ngerang karena mendarat dengan muka yang mencium lantai. Detik berikutnya, gadis itu memutar kepalanya, mendelik garang ke arah Sasori dengan mata hijau emerald.
"Siapa kamu?" Sasori bertanya dengan tampang kaget, itu saja sudah memalukan, di tambah lagi Sasori bertanya dengan suara tergagap. Kemana tampang datar yang selalu Sasori kenakan.
"Kamu!" Gadis itu memekik, menunjuk-nunjuk Sasori dengan ganas. "Bagaimana bisa kamu menendang seorang gadis dari atas kasur?"
Sasori balas mendelik ke arah gadis itu. "Seharusnya aku yang marah. Ini kamarku dan ada orang yang tiba-tiba saja ada seseorang yang menempel di sampingmu saat kamu baru bangun tidur. Kamu pikir, itu hal menyenangkan?"
Sasori mengerutkan dahinya dengan tampang terganggu saat melirik rambut gadis itu, pink, warna paling ia benci, warnanya terlalu mencolok. Bahkan lebih menggelikan dari pada rambut merahnya.
"Bukan berarti kamu harus menendangku dari ranjangkan?" Gadis itu menggerutu, pipinya menggembung dengan ekspresi cemberut. Dia mengusap hidungnya yang tampak memerah. Sasori ingat itu karena dia jatuh dengan muka terlebih dahulu, tapi jangan harap Sasori akan minta maaf, dia tidak sudi.
"Salahmu kenapa menempel seenaknya di sampingku." Sasori menjawab pedas, raut wajahnya telah datar kembali. Wajah gadis itu memerah, pipinya masih menggembung, dan matanya yang berwarba hijau melirik ke manapun dengan liar. Walaupun enggan, Sasori harus mengakui reaksi yang di berikan gadis itu cukup imut. Sialnya, pipinya terasa memanas, dan Sasori buru-buru menggelengkan kepalanya.
Gadis itu menggumamkan sesuatu yang tidak bisa Sasori dengar. Sasori menaikkan sebelah alisnya. Seolah tau apa maksud Sasori, gadis itu berkata, "Diluar dingin, aku kedinginan."
"Kamu fikir aku peduli?" Sasori menyahut pedas, membuat gadis itu mendelik lagi ke arahnya. Walaupun sahutannya pedas, diam-diam Sasori melirik ke arah pakaian gadis itu. Nyaris mendengus saat melihat apa yang di kenakan gadis itu, orang tolol mana yang mengenakan dress tanpa lengan di malam hari setelah musim dingin. Nah, orang tolol itu ada di depan Sasori sekarang.
"Bagaimana bisa kamu berkata sekasar itu dengan seorang gadis?" gadis itu memekik lagi, Sasori hanya memutar matanya dengan jengah. Demi apapun, gadis di depannya ini berisik sekali.
Saat itu juga Sasori baru sadar, "Tunggu! Kamarku ada di lantai dua. Bagaimana bisa kamu ke sini?" dia memandang gadis itu dengan menuntut.
Gadis itu memandangnya dengan tampang polos dan menjawab, "Terbang tentu saja" seolah-olah itu adalah hal paling normal yang ada di dunia ini.
Sasori melongo –dia bersumpah baru kali ini dia melongo– apa-apaan. Apa tidak ada hal yang lebih aneh lagi tentang gadis ini. Gadis itu tiba-tiba saja berada di sampingnya saat dia bangun tidur, mempunyai warna rambut pink yang nyaris membuatnya buta –terlalu berlebihan sebenarnya, tapi pink tetap pink, dan Sasori benci pink–,dan sekarang gadis itu berkata jika dia terbang. JANGAN BERCANDA? Apa tidak ada hal logis yang ada di dalam gadis ini?
"Saso-chan, apa yang terjadi? Kenapa ribut sekali?" kepala ibunya tiba-tiba saja menyembul dari balik pintu, dan langsung terbelalak saat melihat ada seorang gadis pink di dalam kamarnya. Saat itu juga, Sasori tau dia ada dalam masalah.
"APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN PADA ANAK ORANG SASO–CHAN! SASO–CHAN HARUS TANGGUNG JAWAB!"
.
.
.
"Jadi kamu peri pohon sakura di depan rumah?" Ibunya bertanya dengan mata berbinar, menatap tepat ke arah gadis berambut pink yang ada di sampingnya. Gadis pink yang ada di sampingnya mengangguk dengan semangat.
Sasori memutar matanya.
"Hebat sekali!" Ibunya bertepuk tangan dengan kekanakan, terus memandang gadis itu dengan tatapan berbinar. Wajah gadis itu bersemu, dia tersenyum dengan malu-malu ke arah ibu Sasori, "Tidak sehebat itu Obaa-san. Banyak peri-peri yang sama sepertiku."
Ibu Sasori melongo memandang wajah merona gadis pink itu, sebelum pada akhirnya memekik dan memeluk gadis yang ada di sampingnya dengan gemas.
"KAAWAAII!" Ibunya memekik keras. Wajah gadis itu semakin merah, antara malu karena di puji dan sesak karena dekapan maut ibu Sasori.
Sasori memutar matanya lagi, entah untuk yang keberapa kali.
"Kalau saja kamu anakku aku pasti akan bahagia sekali. Kamu gadis paling manis yang pernah aku temui, Sakura-chan. Tidak seperti Saso-chan..." Ibunya memandangnya dengan bibir yang mengerucut.
"Tentu saja, aku kan laki-laki!" Sasori membalas dengan jengah, raut wajahnya datar seperti papan. Bibir ibunya mencebik. Sasori menghembuskan nafasnya dengan jengah, dia menyambar air putih yang ada di depannya dan menegukknya dengan cepat. Entah kenapa kepalanya jadi pusing.
"Lihatkan!" Ibunya berbisik ke arah gadis itu, yang sebenarnya sia-sia saja, karena Sasori dapat mendengarkannya dengan jelas. "Muka Saso-chan selalu seperti tembok. Padahal dia manis sekali kalau tersenyum. Hahh..." Ibu Sasori menghembuskan nafasnya dengan dramatis, Sasori berusaha sekuat tenaga untuk tidak memutar matanya lagi.
"Tapi kalau ada Sakura-chan disini kurasa tidak apa-apa!" Ibu Sasori memeluk gadis itu lagi. Gadis yang dipanggil Sakura-chan oleh ibu Sasori hanya tersenyum, membiarkan wanita berumur empatpuluhan itu memeluknya.
"Apa bagusnya gadis aneh dengan rambut pink?" Sasori menjawab kasar, sebal juga diejek terus menerus. Gadis itu mendelik ke arahnya, "Aneh?" dia berkata dengan tampang jengkel yang membuat seringaian Sasori terbentang.
"Tentu!" Sasori menyahut dengan kalem, seringaiannya semakin menjadi-jadi. "Siapapun pasti mengaggap seseorang berambut pink dengan sebutan aneh?"
Wajah gadis itu memereh sampai keleher, dan Sasori mendapati dirinya hampir tertawa geli karena melihatnya. 'Lucu sekali!', fikirnya. Benar-benar deh, Sasori heran bagaimana bisa ada wajah yang menyaingi warna rambutnya sendiri.
"Kamu!" Gadis itu mendesis dengan tampang merahnya, tampaknya siap-siap meledak.
Sasori sudah akan tertawa saat raut wajah gadis itu berubah lagi. Mukanya yang memerah kembali seperti semula. Sesaat, raut wajahnya terlihat kosong, lalu tiba-tiba saja dia tersenyum. Senyumnya sangat manis, sampai-sampai Sasori merinding. Entah kenapa Sasori merasa tidak enak.
"Bukankah terlalu kasar berbicara seperti itu kepada seorang gadis, Saso-can!" Senyum gadis itu bertambah manis, matanya yang berwarna hijau berkilat-kilat. Sasori mendapati dirinya berjengit saat gadis itu memanggil namanya seperti ibunya. Mukanya mulai merona karena kesal.
"Jangan pernah memanggilku dengan kata itu!" Sasori mendesis dengan wajah yang memerah.
"Ehhh.. kenapa tidak boleh? Padahal ku dengar kamu manis sekali saat kecil!" Gadis itu memandang Sasori dengan tampang merengut. Sayangnya, matanya berbinar dengan penuh kepuasan. "Okaa-chan, Okaa-chan, ayo cepat berangkat! Sasori ingin melihat beruang yang besar!" gadis itu tertawa, dan wajah Sasori sudah memucat.
"Okaa-chan, Sasori ingin menjadi astronot. Ayo ke luar angkasa, nanti Sasori bawakan bintang untuk Okaa-chan! " Gadis itu terkikik. Wajah Sasori sudah pucat sekali, mata hazelnya melebar dengan horor ke arah gadis pink di depannya.
Bagaimana bisa gadis itu tau semua itu, kelakuan-kelakuan aneh Sasori saat kecil. Sasori malu sekali, baru kali ini dia di permalukan seperti ini. Hanya keluarganya saja yang tau betapa manjanya Sasori saat kecil, dan saat ini seorang gadis asing berambut pink aneh tengah membongkar kelakuan memalukannya saat kecil. Sasori gelagapan sendiri.
Sasori melotot ke arah samping gadis itu, tepat ke arah ibunya yang tampak sedang menahan tawa sampai mukanya memerah. Ibunya melambaikan tangannya dengan geli, memberi tahu Sasori kalau bukan dia yang memberi tahu gadis itu.
"Berhenti tertawa, tolol!" Sasori membenta kasar, memandang nyalang ke arah gadis pink di depannya. Gadis itu menghentikan kikikannya saking kagetnya, begitu juga ibunya. Sasori bahkan terlalu marah untuk sadar.
"Jangan bertingkah seolah kita sudah kenal. Hanya karena kamu tau bagaimana aku saat kecil, bukan berarti kamu bisa bertingkah seenaknya!" Sasori mendesis berbahaya. Matanya menyorot dengan dingin ke arah gadis itu.
"Siapa yang mengajari kamu berkata kasar pada gadis, Saso-chan!" Ibunya berkata dengan tegas. Tapi Sasori terlalu marah untuk mendengarkan, dia hanya mendengus, dan berdiri dari kursinya dengan kasar, pergi begitu saja meninggalkan ketegangan yang ia ciptakan dari meja makan.
.
.
.
Sasori menyenderkan dirinya ke pohon sakura yang ada di belakangnya. Wajahnya yang biasanya datar, kini terdapat kerutan di dahinya. Sasori pasti sebal sekali. Lagipula siapa yang tidak sebal kalau ada orang yang membeberkan semua hal memalukan dalam hidupnya di hadapan orang lain. Yahh.. walaupun hanya ibunya yang tau, tapi tetap saja ego Sasori tersakiti.
Bagus sekali, sekarang dia menjadi seorang laki-laki melankolis. Sasori mengerang dalam hati.
Rasanya Sasori baru memejamkan matanya beberapa detik saat sesuatu yang lembut menyentuh pipinya. Meraihnya, Sasori dapat melihat kelopak Sakura berwarna pink. Kerutan di dahi Sasori bertambah. Dia baru ingat kalau pohon sakura ini adalah tempat gadis pink aneh itu. Gadis aneh berambut pink yang memiliki rambut sewarna pohon yang sedang ia gunakan untuk bersandar. Gadis yang memiliki nama sama dengan pohon ini. Sakura.
Oh.. tiba-tiba saja Sasori pusing. Ini semua terlalu tiba-tiba. Rasa-rasanya baru kemarin Sasori pindah kemari, dan hal-hal tidak logis satu-persatu berdatangan menimpanya. Belum lagi, besok Sasori harus ke sekolah barunya. Oh betapa indahnya hidup Sasori.
Di tengah fikiran-fikiran menjengkelkan yang terjadi hari ini, pintu gerbang depan tiba-tiba saja berdecit membuka. Sasori membuka matanya, hazelnya menangkap dua orang yang sangat familier dalam hidupnya. Ayah dan neneknya.
Dari beberapa kantung yang di bawa ayahnya, Sasori bisa menebak kalau ayahnya baru saja selesai menemani neneknya berbelanja.
Sasori memilih untuk menutup matanya kembali, membiarkan ayah dan neneknya masuk ke rumahnya, sama sekali tidak berniat menyapa. Toh, jarak mereka lumayan jauh. Dan Sasori sama sekali tidak tertarik menghabiskan nafas hanya untuk berteriak untuk bertanya. Sama sekali bukan karakternya.
"SAKURA! KAPAN KAMU KESINI!" dan pekikan neneknya membuat Sasori tersentak.
"CHIYO BAA-SAN! AKU MERINDUKANMUU!" pekikan lain menyahut. Sasori mengerang dengan keras, sekarang dia tau kenapa gadis itu tau tentang masa kecilnya. Dan dia sama sekali tidak tau bagaimana cara marah pada nenek tersayangnya. Itu artinya, gadis itu lolos untuk saat ini. Ya! Hanya untuk saat ini.
.
.
.
"Kenapa harus tidur di kamarku!" Saking kesalnya Saori, geraman rendah lolos dari bibirnya. Tangannya menunjuk-nunjuk gadis pink –yang lagi-lagi membuatnya jengkel setengah mati– dengan kurang ajar.
Ibunya menampik tangan Sasori keras, "Tidak boleh begitu Saso-chan! Itu tidak sopan!" Ibunya berkata dengan nada seperti menggurui anak berumur tujuh tahun. Sasori hanya memutar matanya dengan jengah,
"Aku tanya lagi! Kenapa cewek pink ini harus tidur di kamarku?" Sasori bertanya lagi.
Gadi itu mengerucutkan bibirnya dengan jengkel, "Jangan memanggilku seperti itu!"
"Kamu kan memang gadis pink!" Sasori menyahut dengan acuh.
"Aku punya nama Saso-chan! Namaku Sakura. Sa-ku-ra!"
"Aku tidak peduli tolol!"
Perdebatan tolol itu terus berlanjut. Dan mereka berdua jelas tidak sadar ada tiga orang dewasa yang memandang mereka dengan tertarik. Nenek Chiyo yang tampak menyimak dengan tenang perdebatan mereka, Ibu Sasori yang memandang mereka dengan mata berbinar, dan Ayah Sasori yang memandang dengan tatapan heran bercampur takjub. Heran karena Sasori jelas-jelas berbicara jauh lebih banyak dari pada biasannya, dan takjub karena gadis itu tampaknya berhasil membuat Sasori keluar dari karakter aslinya.
"Oh lupakan!" Sasori memijat keningnya yang terasa berdenyut. Dia memejamkan matanya dan menghirup oksigen dalam-dalam, menenangkan dirinya dalam diam. Bagaimana bisa dia termakan suasana sampai berdebat tolol seperti tadi. "Kutanya sekali lagi! Kenapa harus tidur di kamarku? Banyak kamar kosong gadis pink!"
Gadis itu mendengus sebal saat mendengar bagaimana Sasori memanggilnya, tapi pada akhirnya juga menjawab, "Satu karena itu kamar yang paling dekat dengan pohonku, dua karena aku suka kamarmu, tiga karena aku ingin, empat karena aku suka kamarmu, lima karena aku harus terus mengawasi pohon sakuraku, enam karena aku ingin dan sangat suka kamarmu."
"Kamu menyebutkan suka kamarku sampai tiga kali dan ingin dua kali!" Sasori menyahut dengan jengkel. Gadis itu nyengir kecil, sama sekali tidak tampak merasa bersalah. Sasori mendesah lelah. Sekarang apa yang harus ia lakuakan?
"Saso-chan kan bisa tidur di kamar lainnya. Biarkan kamar Saso-chan digunakan Sakura-chan." Perkataan ibunya langsung diangguki dengan semangan oleh Sakura. Sasori mendelik ke arah ibunya, 'Oh yang benar saja', fikirnya jengkel.
"Tidak!" Sasori menyahut dengan datar, melirik ibunya dengan sinis sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Jelas sekali menolak perkataan ibunya.
"Kalau Saso-chan tidak mau. Ya... tidur saja satu kamar." Ibunya menyahut enteng, seolah-olah yang sedang mereka bahas adalah perebutan es loli anak kecil, bukannya perebutan kamar antara dua orang remaja berbeda gender. Sasori terkadang tidak tau jalan pemikiran ibunya sendiri.
"Itu juga boleh. Dari pada kalian terus berkelahi seperti itu!" Sasori nyaris melongo saat mendengar sahutan ayahnya. Kalau ini ibunya, Sasori masih bisa memahaminya, tapi ini ayahnya, yang sifatnya hampir sama sepertinya. Oh... dunia Sasori rasanya jungkir balik.
"Tapi Oto-san. Dia perempuan dan aku laki-laki." Sasori berata dengan penekanan-penekanan pada kata tertentu. Yang di balas ayahnya dengan sebelah alis terangkat. Sasori mengharapkan hal yang lebih bagus dari itu. Seperti, 'Oh! Aku baru tau, kukira gadis ini hanya menyamar karena perilakunya sangat bar-bar!' atau 'Benar juga, seharusnya aku tidak menyetujuinya tanpa berfikir dahulu!'. Walaupun Sasori jauh lebih setuju dengan yang pertama.
"Lalu?" benar-benar bukan tanggapan yang ingin di dengar Sasori. "Kalau kamu memang laki-laki, kamu harus belajar bagaimana cara menghormati seorang gadis dengan baik Sasori! Jika masih ingin berdebat, tidur saja di ruang tamu, disana ada sofa." Oh bagus, Sasori lupa kalau kebiasaannya yang berkata pedas juga di dapatkan dari ayahnya. Lebih hebatnya lagi, dia terkena sempot hanya karena seorang gadis bodoh berambut pink. Sasori ingin menjambak rambutnya sendiri.
Tau kalau keputusan itu sudah final, Sasori berjalan ke tangga dengan tampang keruh yang terlihat jelas.
"Selamat malam!" Sakura berkata kepada keluarga Sasori dengan riang. Tidak ada hal yang lebih ingin Sasori lakukan selain menyumpal mulut gadis itu setelah ini. setelah itu, Sasori bisa mendengar hentakan kaki yang berisik di belakangnya.
Sakura sedang mengikuti Sasori sambil melompat-lompat dengan gembira, sesekali senandung riang keluar dari bibirnya. Gadis itu jelas-jelas puas dengan apa yang sudah terjadi, dan perasaan ingin menarik rambutnya sendiri dari kepalanya sangat besar, sampai-sampai Sasori benar-benar melakukannya.
Kikikan Sakura terdengar saat melihat Sasori menarik rambutnya dengan frustasi. Untuk kali ini, Sasori sama sekali tidak memikirkannya, dia terlalu pusing untuk hal itu.
.
.
.
Pagi hariya, Sasori menemukan gadis itu ada di sampingnya lagi, dengan posisi yang hampir sama. Wajah gadis itu terkubur di dada Sasori, dan tangannya terasa kaku karena di gunakan gadis itu untuk bantalan. Dengkuran halus yang terdengar seperti, 'fuuufuuu...' kecil keluar dari bibir gadis itu.
Sasori menghela nafas lelah, apa dia harus mengalami hal seperti ini setiap paginya. Setau Sasori kemarin malam dia memutuskan menyerahkan kasur tercintanya untuk gadis pink yang ada di sampingnya. Astaga, Sasori sama sekali tidak mengetahui jalan fikiran orang tuanya, bagaimana bisa mereka dengan seenaknya menaruh dua orang anak berbeda gender dalam satu ruangan.
Walaupun Sasori juga tidak akan berbuat yang macam-macam. Demi Tuhan! Sasori bahkan lebih memilih tidur di lantai dengan selimut tergelar, daripada satu ranjang dengan seorang gadis.
Dan Sasori dibuat pusing saat sadar pagi harinya dia sudah ada di kasurnya lagi. Apa dia tidur sambil berjalan? Atau saat dia kedinginan secara tidak sadar dia naik ke kasur?. 'Lupakan saja!', Sasori berfikir dengan sebal. Tidak baik, berfikir yang aneh-aneh padahal masih pagi.
Lagipula ada hal yang lebih penting untuk difikirkan, pagi ini dia harus ke sekolah barunya seperti yang di katakan ayahnya. Melirik jam yang ada di samping ranjangnya, Sasori melihat ini baru jam enam pagi. Sekolah masuk jam delapan, masih ada dua jam untuk persiapan, waktu yang lama. Sasori sama sekali tidak berniat untuk tidur lagi.
Jadi, dengan hati-hati, Sasori mengangkat kepala pink yang dengan seenaknya menjadikan bantalan tangannya dengan lembut. Dan menarik tangannya dengan lambat dan berusaha agar tidak menyenggol kepala pink itu. Saat Sasori menempatkan kepala itu di bantal, Sakura mengeluarkan dengkuran, 'Fuuufuuu...' lagi dengan agak keras.
Sasori nyaris terkikik mendengarnya. Itu lucu sekali.
Saat Sasori sudah berdiri di samping kasurnya, Sakura menggelung seperti kucing di kasur, mencoba mencari kehangatan yang tiba-tiba saja hilang. Sasori yang merasa kasihan memutuskan untuk menyelimuti Sakura sampai hanya kepalanya yang terlihat. Dan Sakura mengeluarkan dengkuran, 'Fuuufuuu...' lagi. Untuk kali ini Sasori membiarkan kikikan kecilnya keluar.
'Sakura itu manis', fikir Sasori. 'Hanya saat tidur saja.', Sasori menambahkan saat mengingat tingkah Sakura saat dia sadar.
.
.
.
Hari ke dua setelah Sakura ada di rumahnya, Sasori makin pusing dengan segala hal yang ia alami. Sasori sudah cukup pusing karena sekolah barunya. Dia sukses menarik perhatian karena pindah di tengah-tengah semester. Dan yang membuat Sasori lebih pusing lagi, Sakura dan Ibunya tampaknya senang sekali menggodanya. Belum lagi, hal-hal yang di lakukan Sakura di rumah. Sakura selalu mengekorinya ke manapun dia pergi, setidaknya hanya di rumah. Sakura akan mengikuti jika Sasori akan ke belakang rumah, awalnya Sasori ingin bersantai sebentar, tapi kacau karena Sakura terus berkicau dan mengganggu pendengarannya. Karena Sakura pergi hanya dengan selembar gaun, Sasori dengan terpaksa meminjamkan bajunya kepada Sakura. Sakura sudak mencoba meminjam baju ibunya, tapi entah kenapa ibunya beralasan baju-bajunya besar-besar dan kuno. Sasori yakin Ibunya hanya ingin mengerjai dirinya. Ibunya tau jika Sasori tidak menyukai bajunya dipakai orang lain, karena bau orang yang meminjam bajunya akan menempel di bajunya. Dan sekarang, tiga setel baju yang Sasori pinjamkan pada Sakura jadi beraroma bunga-bunga.
"Berhenti mengikutiku!" Sasori mendesis dengan sebal, sudut matanya melirik ke arah gadis dengan baju kebesaran yang sedang tersenyum manis. Sasori memutar matanya, berjalan lagi ke tempat tujuannya dan berusaha untuk mengabaikan langkah kaki di belakangnya.
Sasori hanya ingin ke dapur mencari minum, dan gadis itu tampak seperti kucing yang mempunyai tali kekang di lehernya karena terus mengekori Sasori. Sasori dibuat frustasi karenanya.
Membuka kulkas, Sasori menuangkan air dingin yang ada di botol ke gelas yang ada di tangannya. Sasori dibuat risih sendiri karena sepasang mata hijau memelototinya terus menerus. Entah untuk yang keberapa kali hari ini, Sasori mencoba mengabaikannya.
Sasori hampir setiap hari berfikir kalau saat musim semi berakhir, rambutnya besok tidak lagi berwarna merah dan berubah menjadi putih karena saking frustasinya. Dia sama sekali tidak berani berfikir harus tinggal seumur hidup dengan gadis itu. Memikirkannya saja dia sudah ngeri.
"Sasori..."
Sasori mengabaikannya, memilih menuangkan lagi air ke gelasnya dan meneguknya dengan rakus. Dia bisa kembung lama-lama.
"Sasori..."
Sasori menutup kulkas dengan suara 'BRAKK!' yang disengaja, meletakkan dengan semaunya gelas di tangannya, dan berjalan keluar dari dapur. Gadis itu mengikutinya seperti parasit.
"Sasori..."
"APAA?" Sasori berteriak dengan nada setengah jengkel, setengah frustasi. Berbalik ke arah gadis itu dengan jengkel, dan berakhir dengan mengerang karena sebuah buku mengenai keningnya. Matanya melotot memandang gadis pink yang sedang nyengir tanpa dosa ke arahnya. Ini sudah ke berapa kali kepalanya terkena lemparan benda. Sasori hampir tidak bisa menghitungnya.
"Aku tidak suka di abaikan." Gadis itu berkata dengan nada manis. Sasori mendelik sejadinya, tangannya mengusap keningnya yang memerah dan nyeri.
"Aku tidak suka diganggu!" Sasori balas mendesis dengan matanya yang setia melotot ke arah gadis itu.
Gadis itu memasang wajah cemberut, mengabaikan pelototan Sasori dan merengek seperti anak kecil, "Tapi aku bosan..."
"Kamu fikir aku peduli!" Sasori membalas bentakan. Dia berjalan meninggalkan gadis itu sendirian di dapur, mengabaikan gerutuan dan kata-kata yang menyembur dari mulut gadis yang ada di belakangnya.
Sasori pusing, dan ia benar-benar butuh ketenangan
.
.
.
"Saso-chan besok kan libur, ajak Sakura-chan jalan ya. Sekalian beli baju."
Sasori nyaris tersedak makanannya saat mendengarnya. Matanya menyorot protes ke arah ibunya yang sekarang tersenyum dengan riang ke arahnya.
"Tidak mau!" Sasori langsung menolak dengan tegas.
"Ck...ck..ck...!" Ibunya menggoyangkan jari telunjuknya dengan tidak setuju. "Tidak mau tau, pokoknya, harus mau!"
Sasori mendengus dengan sebal, dia menyendok makanan yang ada di piringnya dan mulai mengunyahnya dengan keras. Raut wajahnya kusut.
Berbeda dengan Sasori yang berwajah kusut, Sakura langsung mengukir senyum cerah. "Jalan-jalan, bolehkan kita pergi ke taman." Dia berkata dengan semangat.
"Boleh saja kok! Minta saja sama Sasori untuk mengantar, kalau tidak mau..." Ibunya mendekatkan wajahnya ke arah Sakura yang ada di sampingnya, membisikkan sesuatu yang membuat mereka berdua terkikik. Sasori sangat yakin yang mereka bicarakan adalah dirinya. Wajahnya tambak cemberut.
Dia benci dengan Sakura. Sungguh.
.
.
.
TBC
Fanfic pertama di fandom Naruto. Mohon bantuannya ya. Ini bakalan jadi dua chapter atau lebih. Aku masih bingung.
Kritik dan saran saya terima dengan senang hati...
RnR?