Note : Pas saya kemarin-kemarin buka Contract chapter-chapter sebelumnya, saya 'ngeh' satu hal.
Di chapter dua, saya salah ketik lol Sakura disana ngelapor 'keadaan Kanto tak terkendali' itu salah haha :'( harusnya Kyoto, bukan Kanto. Entah kenapa saya bisa ngetik begitu, padahal dari awal saya niatnya mau ngetik Kyoto. Dan begonya lagi saya baru nyadar pas mau ngetik chapter ini haha. Kan gila kalau Naruto mau nyisir wilayah Kanto yang gede banget padahal markasnya sendiri di Kanto, persisnya di Tokyo. Saya belum sempet edit, karena males /hus/
Anyway, selamat membaca~
.
Chapter 6
Sasuke pertama kali bertemu Suigetsu saat umurnya masih tujuh belas tahun.
Laki-laki itu tak seperti kebanyakan iblis yang menunduk hormat ketika Sasuke melewati mereka di jalan. Kebanyakan iblis segan bertatap mata dengannya, tapi mereka mengikuti setiap langkahnya dengan pandangan memuja. Kebanyakan iblis menahan napas dan berjengit ketika melihat Sasuke dari jauh.
Tapi Suigetsu berbeda.
Ia berdiri dalam bayangan orang lain, hampir tak terlihat kalau saja Sasuke tak menajamkan penglihatannya. Ia terlihat tak peduli dengan kehadiran Sasuke dan malah sibuk dengan koleksi pedang-pedangnya yang aneh. Ia terlihat arogan. Ia terlihat seperti orang yang menyusahkan. Ia bahkan mengerling dan menyeringai pada Sasuke ketika mata mereka bertemu.
Tak pernah ada yang berani menggodanya selama ini selain Itachi dan sepupunya, Sai. Para pelayan di istana bahkan tak punya nyali untuk berbicara padanya satu kata pun.
Suigetsu berbeda, dan di detik ketiga setelah mereka berpandangan, Sasuke telah memutuskan untuk menjadikan Suigetsu teman pertamanya.
Contract © Red Twain - 2015
Yang berputar-putar di kepala Sasuke saat ia dan Naruto melanjutkan perjalanan mereka adalah darah, darah, dan darah.
Ia telah membunuh seekor iblis, fakta itu tak bisa dihapus semudah menghapus darah yang mengering di pedangnya. Sasuke tak mengira hal ini—membunuh iblis yang ia sendiri tak tahu namanya—bisa menimbulkan efek trauma di otaknya.
Tusukan pedang, rintihan kesakitan, pekikan kemarahan.
Sasuke memejamkan matanya untuk menghilangkan semua bayangan itu. Ia tak ingin mengingatnya. Mentalnya tak selemah ini.
"Kau mendengar sesuatu?"
Suara Naruto membuatnya membuka mata. Pria itu telah mengganti pakaiannya dengan kaus hitam ketat yang ia temukan di jok belakang mobilnya. Kaus itu jelas memperlihatkan bentuk tubuh Naruto yang ... terbentuk dengan baik.
Ini tak seperti Sasuke iri dengan bentuk tubuh pria itu atau apa. Sasuke sendiri punya tinggi dan bentuk tubuh yang sempurna seiring ia bertumbuh. Sasuke hanya tak menyangka manusia—terutama Naruto—bisa terlihat tanpa celah. Selama ini ia membayangkan manusia sebagai makhluk yang rapuh dan lemah.
Hari ini Naruto telah membuktikan semuanya salah.
"Tidak," balas Sasuke setelah beberapa saat. "Ada apa?"
"Bukan apa-apa," timpal Naruto, "Kau diam sejak kita berangkat. Ada masalah?"
Sasuke ingin menjawab bahwa masalahnya adalah Naruto, kontrak mereka, dan senyuman pria itu. Akan tetapi ia tak mengatakannya. "Sejak awal aku sudah diam, manusia. Fokus saja menyetir."
Sasuke memutar kepalanya ke arah jendela, melihat pemandangan di luar. Ia dengan cepat merasa muak. Sepanjang perjalanan ia hanya melihat puing-puing bangunan, rumah yang ditinggalkan, dan jalan yang rusak. Ia lalu melihat ke depan, menangkap bayangan peta yang setengah terbuka di dasbor mobil.
Ia membuka mulutnya, "Kemana kita akan pergi selanjutnya?"
"Sebuah pabrik di Fukuchiyama," jawab Naruto.
Ia kembali melempar tatapannya ke luar. Rumah kosong ... rumah kosong ... rumah kosong ...
Ia menyadari sesuatu yang janggal.
"Kemana perginya orang-orang?"
Sasuke yakin ia tak melihat satu orang pun ketika mereka memasuki batas wilayah beberapa saat yang lalu—orang-orang di stasiun bawah tanah tidak dihitung. Mereka seperti melompat ke dunia yang berbeda. Di sekitar markas pusat, ia melihat suasana begitu ramai. Orang-orang bisa tertawa tanpa beban disana.
Sedangkan kota ini seperti kota mati.
Naruto mendesah, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jari tangan kiri. "Saat Sakura melapor 'keadaan Kyoto tak terkendali', ia memang bersungguh-sungguh, Sasuke," jawabnya, memutar setirnya ke kanan. "Sebagian orang mengungsi, sebagian dibunuh ..."
Sasuke tercekat saat mendengar kata terakhir yang diucapkan pria itu. Kenapa manusia mempermainkan nyawa semudah itu? Mungkin rumah-rumah yang sejak tadi mereka lewati bukannya kosong, namun penghuninya sudah tak bisa membuat suara berisik lagi.
Mayat. Mayat. Mayat.
"Karena manusia yang selalu kita anggap lemah bisa menjadi sangat jahat, Sasuke."
Sasuke memikirkan perkataan Itachi beratus-ratus tahun yang lalu. Dulu ia tak mengerti maksudnya, tapi sekarang ia paham.
Manusia itu monster.
Dan Naruto, suatu saat nanti mungkin akan menjadi salah satu dari itu.
Atau,
sudahkah ia?
"... Dan disekap," lanjut Naruto, ekspresinya tak tertebak.
"Mengapa mereka ditawan?"
"Karena mereka orang penting," tukas Naruto, salah satu sudut matanya berkedut. "Kau lihat laki-laki yang berbicara padaku di stasiun bawah tanah? Kalau tak salah ia adalah salah satu anggota dewan. Yang lainnya aku tak tahu, tapi mereka adalah orang-orang yang berpengaruh di wilayah Kansai."
"Oh," respon Sasuke pendek. Ia memikirkan hal yang lain. "Misi penyelamatan ini ... hanya kita berdua saja?"
"Kita," kutip Naruto, tersenyum tipis. Ia sadar sebelumnya Sasuke hanya berkata 'kau' saja, dan sekarang Sasuke mengakui mereka berdua sebagai tim. Ia melanjutkan, "Ya, Sasuke, hanya kita berdua."
Pertengahan antara alis Sasuke berkerut. Ia tak meragukan kekuatan Naruto, setelah melihat apa yang bisa pria itu lakukan di stasiun bawah tanah. Ia juga tak meragukan kemampuannya sendiri—oke, Sasuke memang belum mengeluarkannya, tapi ia yakin ia cukup hebat. Tapi bukankah lebih baik untuk mengirim beberapa pasukan lagi untuk misi ini? Itu akan membuat segalanya berjalan lebih efektif.
Dan jika Sasuke adalah pemimpin organisasi, ia akan lebih memilih untuk terlibat di garis depan, memimpin pasukan untuk menyerang, ketimbang melakukan penyelamatan.
Diamnya Sasuke mengundang lirikan tanda tanya Naruto dari spion. Ia menghela napas, "Aku rasa sekarang pasti ada banyak pertanyaan di otakmu, bukan begitu? Sayangnya aku tak bisa menebak apapun yang ada di otakmu kecuali kau memberitahuku, Sasuke. Selain itu," Naruto mematikan mesin mobil, "Kita sudah sampai. Mari simpan pertanyaanmu sebentar dan lihatlah ke depan."
Di hadapan mereka menjulang sebuah gerbang besi setinggi enam meter dan di atasnya terpasang kawat berduri yang bergulung-gulung. Gerbang itu terlihat penyok di beberapa bagian, seperti kena tendang oleh sesuatu yang pastinya punya kekuatan lebih.
Iblis.
Sebenarnya Sasuke telah mendengar suara-suara yang bercampur mesin mobil dan suara Naruto sejak tadi, hanya saja ia merasa suara-suara itu tak cukup penting untuk diberitahukan pada si surai pirang. Itu hanya suara hembusan napas tak sabar di balik gerbang besi, seakan menanti kedatangan Naruto dan Sasuke ... untuk dibunuh.
Sasuke hanya bisa berspekulasi.
"Empat puluh," gumam Sasuke sambil mengambil senjatanya di jok belakang.
Gerakan tangan Naruto yang hendak membuka pintu mobil terhenti. Ia memutar badannya menghadap Sasuke, kepalanya miring. "Sebanyak itu?" tanyanya dengan tertarik.
Sasuke menajamkan pendengarannya. Ia mendengar tarikan napas tajam, namun tak mendengar satu katapun keluar dari mulut mereka. Sedangkan jauh di ujung sana, suara tawa menjijikan terdengar. Tawa itu persis seperti tawa pria berwajah babi di stasiun bawah tanah sebelum Naruto membungkam arogansinya.
"Empat puluh di balik gerbang, dan lebih banyak lagi di dalam sana," jawab Sasuke datar.
"Bagus. Kau ambil sisi kiri, aku sisi kanan, oke?"
"Sama sekali tak oke," balas Sasuke, tapi tak mengatakannya. Ia keluar dari mobil, menutupnya dengan sedikit bantingan, dan menghadap gerbang. Naruto berdiri di sebelahnya, telah siap dengan senjata anehnya yang masih diselimuti darah kering.
"Siap, Sasuke?"
Sasuke mendengus. Siap untuk apa? Untuk melewati mimpi buruknya yang kedua hari ini?
Sasuke menjentikkan jarinya, dan api biru seketika membakar gerbang itu. Besi itu perlahan meleleh dijilat api yang membara, membuat celah yang semakin lama semakin menganga. Sedikit demi sedikit pemandangan di baliknya terlihat Sasuke.
Ia melihat lagi ekspresi itu: wajah horor dan diliputi ketidakpercayaan. "P-pangeran ... ?" iblis-iblis itu berkata seolah dicekik. Tatapan mereka jatuh pada seragam yang dikenakan Sasuke, dan seketika pemahaman menghantam otak mereka.
Sasuke dan iblis-iblis itu, satu kaum yang sama, dipaksa untuk berada di posisi yang bersebrangan.
Lambung Sasuke bergolak. Ia berusaha memandang iblis-iblis itu tanpa ekspresi, sebelum berlari ke arah sisi yang berlawanan dengan sisi yang diambil Naruto dan menghunus pedangnya. Ia mendengar bunyi tembakan dilepaskan, pertanda Naruto sudah memulai pertarungannya.
"Apa yang Anda lakukan, Pangeran?" Sekelompok iblis di dekatnya melompat mundur begitu Sasuke menyabetkan katana-nya.
"Berusaha membunuh kalian."
Mereka tercekat. Ekspresi mereka tak membuat senang Sasuke sama sekali. Mereka terus mundur saat Sasuke mendekat, tak ada niatan sama sekali untuk balas menyerang, hanya balas menatap tolol padanya.
Mereka seperti bermain kejar-kejaran.
Padahal Sasuke yakin mereka bisa mengeroyoknya sekaligus. Padahal mereka punya cukup kekuatan untuk sekedar menggores kulitnya daripada menghindar.
Dan Sasuke, terlepas dari itu semua, seharusnya bisa mengejar dan menghabisi mereka semua dalam sekejap mata hanya dengan sedikit saja kekuatannya.
Tapi kenapa? Kenapa ia malah menahan kekuatannya?
Sasuke mendesis, "Apa yang kalian lakukan, idiot?" ia berlari lebih cepat dan menghadang mereka semua dengan jengkel. "Kita tak bisa berlari seharian, bodoh. Kau mengerti situasi saat ini, kan? Kita disini untuk membunuh satu sama lain. Serang aku sekarang, dan penuhi kontrak kita masing-masing."
Mereka memandangnya dengan ekspresi horor, "T-tidak, Pangeran! Kami tak mungkin melakukan itu!"
"Lalu apa?" tukas Sasuke dingin, "Membiarkanku menebas leher kalian dengan mudah?"
Keheningan yang menjawab pertanyaan Sasuke. Mulut mereka terkatup rapat. Mata mereka menatap Sasuke dengan sorot mata yang sama.
Sasuke tahu apa arti diamnya mereka.
"Lucu sekali," cemooh Sasuke. Tapi ia tak ingin tertawa. "Jangan main-main. Serang aku. Sekarang. Ini perintah dari pangeranmu."
Iblis-iblis itu menggeleng. Salah satu dari mereka berkata, "Kami tak bisa membatalkan kontrak kami begitu saja. Tapi kami juga tak bisa menyerangmu, Pangeran."
Sasuke merasa situasi saat ini terasa lucu sekaligus menyedihkan. Iblis-iblis itu dihadapkan pada pilihan yang tak bisa mereka pilih: membatalkan kontrak, atau menyerang pangeran mereka. Sementara Sasuke dengan jengkel memaksa mereka untuk menyerangnya sekaligus.
Jika Suigetsu melihatnya sekarang, ia pasti akan tertawa.
"Sial," umpat Sasuke setelah beberapa saat dan iblis-iblis itu masih bergeming pada posisi mereka. Kalaupun Sasuke berhasil memaksa mereka untuk menyerangnya bersamaan, ia tahu ia akan menang. Namun ia benci menang tanpa perlawanan.
Suara tembakan beruntun yang didengarnya seolah menjadi lecutan dari Naruto bagi Sasuke untuk segera menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing. Sasuke kembali mengumpat, "Sesuka kalian saja."
Dan ia mulai berlari mendekati mereka. Ia menikam iblis yang berbicara sebelumnya padanya, dan iblis itu membalasnya dengan senyum lemah yang membuat Sasuke tertegun sesaat. Namun ia melanjutkannya dengan menikam iblis yang lain.
Dan selanjutnya.
Dan selanjutnya sampai katana-nya dibasuh darah mereka. Ia tak ingin melihat senyum itu lagi, sehingga ia melakukannya dengan cepat. Ia menusuk jantung iblis yang satu, mencabutnya dengan tak berperasaan dan berpindah untuk menghadapi iblis yang lain.
Satu.
Dua.
Tiga.
Lima.
Sembilan.
Tiga belas.
Delapan belas.
Dua puluh dua.
Iblis-iblis itu roboh bergelimpangan di sekelilingnya, sebelum akhirnya menghilang tanpa sisa. Sasuke berdiri di tengah kubangan darah, air mukanya keras.
Dua puluh dua. Ia membunuh iblis lebih banyak daripada Naruto, tapi itu sama sekali tak membuatnya bangga.
Ia menyeka darah di wajahnya, lalu berpaling untuk melihat Naruto jauh di ujung sana menghantamkan pistolnya pada iblis terakhir yang dihadapinya, lalu menembaknya tanpa ampun.
Suasana senyap mengambil alih.
Ia melihat Naruto mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan begitu mata mereka bertemu satu sama lain, Sasuke menangkap seringai kecil terpasang di bibir Naruto.
Pria itu berlari kecil ke arahnya, napasnya sedikit memburu. Sepertinya pertarungan terakhir tadi cukup banyak menghabiskan energi bagi Naruto.
"Lihat dirimu sekarang, Sasuke. Lucu sekali," komentar Naruto geli begitu melihat darah membasahi wajah dan seragam Sasuke. Ia sendiri hanya terciprat sedikit darah di bagian leher, mungkin pria itu berhati-hati agar darah tak mengotori bajunya seperti beberapa saat yang lalu. Ia lantas menjatuhkan kedua pistolnya, mengelap tangannya pada celana yang dikenakannya dan meraih Sasuke.
Sasuke tak sempat menghindar ketika kedua ibu jari Naruto mengusap darah pada dahinya dengan lembut. Ia tergagap, "Ap-apa yang kau lakukan, idiot!?" sentaknya, menepis tangan Naruto.
Pria itu menghela napas, "Memangnya apa lagi yang kulakukan, Sasuke? Tentu saja membersihkan darah pada wajahmu sebelum mengering."
"Tak perlu."
"Nah, jangan keras kepala, Sasuke. Anggap saja ini ucapan terima kasihku. Kau membunuh iblis-iblis itu lebih banyak daripada aku."
Perkataan Naruto membuat Sasuke kehilangan kata-kata. Matanya mendadak kosong.
Naruto entah kenapa seperti tahu apa yang dipikirkan Sasuke, tapi ia tetap diam. Ia menarik Sasuke yang kehilangan minat untuk menolak perlakuannya, dan mulai membersihkan wajah Sasuke.
Ia memulainya dengan kening, lalu ibu jarinya bergerak ke pelipis. Cairan merah pekat itu terbawa jari Naruto, berkumpul dan mengalir ke bawah tertarik gravitasi. Kedua ibu jarinya kemudian berpindah pada jembatan hidung Sasuke, menyeka darah ke arah yang berlawanan dan sampai ke pipi.
Sasuke mengerjap. Mata Naruto melengkung karena tersenyum. Tinggi mereka hampir setara—ia dua senti lebih tinggi dari pria itu—sehingga Sasuke bisa melihat dengan jelas iris biru Naruto yang memandang wajahnya dengan geli. Ibu jari Naruto kini bergerak ke bagian bawah telinganya, lalu turun ke leher ...
Lalu Sasuke mendengar rintihan.
"... ngar suara tembakan, Bos."
"Aku tak mendengarnya."
"Kau tahu telinga kami ... sedikit sensitif, Bos."
Terdengar gumaman bercampur rintihan. "Mungkin teman-temanmu sedang bermain-main disana. Abaikan saja." jeda. Lalu bunyi kursi diputar, dan bunyi sobekan kertas dan ketukan pena. "Jadi, Sawamura-san, kau akan menandatangani perjanjian sialan ini atau tidak?"
Rintihan lagi. "A-aku ... Aku ..."
"Kau tahu 'kan aku bukan orang yang sabar, Sawamura-san."
Bunyi decitan kursi. "Kau lihat mayat-mayat itu?" suara orang menangis terdengar. "Ya, kau pasti melihatnya. Mereka adalah orang-orang yang menentangku. Kau mau berakhir seperti mereka?" jeda oleh dengusan.
"Pa .. Papa ..." lalu isak tangis.
"Oh! Benar! Keluargamu, kalau begitu? Anakmu di ujung sana terlihat menggoda untuk dicekik sampai mati."
Suara tersedak, lalu isakan yang semakin keras.
"Tidak ... Tuan, kumohon j-jangan lakukan apapun pada keluargaku ..."
Sasuke kembali mengerjapkan matanya. Ia melihat Naruto telah mengambil senjatanya, dan Sasuke bisa berasumsi kalau darah pada wajahnya telah bersih. Atau setidaknya, telah cukup bersih untuk membuat Naruto menarik tangannya dari wajah Sasuke. Ia tak memperhatikan, karena fokusnya berada pada percakapan yang didengarnya entah darimana.
Naruto memperhatikannya. Sebelah alisnya terangkat, "Ada masalah?"
"Ada masalah," ulang Sasuke.
Bahu Naruto menegang, merasakan keseriusan dari dua kata yang lolos dari mulut Sasuke.
Sasuke mendapatkan firasat buruk.
"Pimpin jalan, Sasuke," kata Naruto. Pegangannya pada pistol mengerat.
Sasuke mengangguk dan mereka berlari melewati bangunan-bangunan pabrik yang terbengkalai. Ia mengandalkan pendengarannya untuk mencari asal suara yang didengarnya tadi.
Srek. Srek. "Jadi?"
"Aku—aku akan menandatanganinya, Tuan. Berjanjilah kau akan melepaskan keluargaku."
"Mm. Bagus." Srek. Srek. Lalu bunyi ketukan pena.
Sasuke berbelok ke arah bangunan bobrok di dekat gudang penyimpanan.
"Aku mendengar suara langkah kaki, Bos."
"Diamlah, Kamio."
Sret. Sret.
"A-aku sudah menandatanganinya. Sekarang p-penuhi janjimu, Tuan. Bebaskan keluargaku."
"Heh." terdengar suara kekehan. Makin lama makin keras. "Kamio, Shinji, ikat pria tua ini."
"Ap—"
Sasuke melirik Naruto. Situasinya semakin buruk.
" ... pi kau sudah berjanji, Tuan! Kau akan—"
"Sejak kapan aku berjanji, hah? Memangnya kau mendengar aku mengucap kata 'janji' padamu?"
"K-kau ..."
Isak tangis makin terdengar jelas.
"Kamio, bakar pria tua ini."
Sasuke tersentak, larinya melambat. Naruto menyadari gelagatnya, keningnya mengerut. "Buruk?" tanyanya, walaupun tanpa bertanya pun ia sudah bisa menebak jawabannya dari reaksi Sasuke.
"Hn," responnya singkat.
Mereka semakin dekat.
"Tapi Bos, kurasa membakarnya terlalu ekstrim. Kita bisa membunuhnya dengan cara biasa."
Rintihan dan isakan bergema di ruangan itu.
"Hari ini kau banyak sekali bicara, Kamio. Diamlah, dan lakukan saja tugasmu."
Mereka memasuki sebuah gedung, melewati kerangkeng besi besar di tengah-tengah berisi beberapa orang yang memandang mereka dengan lemah begitu ia dan Naruto melewatinya. Naruto berhenti di awal tangga, memandang kerangkeng itu.
"Mereka bisa menunggu, Naruto," kata Sasuke, memanggil pria itu dengan namanya untuk kali kedua hari itu. Naruto melempar tatapannya pada kerangkeng sekali lagi sebelum mengikuti Sasuke menaiki tangga dengan terburu-buru.
"Bos ..."
"Ah, ya. Pastikan anak kecil itu melihat ayahnya dibakar."
"T-tidak ..."
"Papa ... P-papa ..."
Sasuke mendengarnya dengan jelas. Dan mungkin juga Naruto. Mereka bergerak lebih cepat daripada sebelumnya. Tempat yang mereka tuju ada di depan mata.
"Bakar sekarang."
"PAPAAAAAAA!"
Naruto dan Sasuke mematung di pintu masuk.
Api merah di depan mereka menari-nari layaknya mengejek Naruto dan dirinya yang datang terlambat. Pria dalam api itu menggeliat-geliat dalam kesengsaraan, sementara sang gadis kecil di ujung sana menjerit sekuat tenaga dengan jeritan yang memekakkan telinga Sasuke.
Naruto terlihat menjadi orang yang paling syok di antara mereka. Mata pria itu membelalak melihat figur terbalut api di hadapannya. Genggaman pistol di tangannya melemah, dan sedetik kemudian pistol dengan pisau itu jatuh ke lantai tanpa peduli benda itu mungkin saja melukai kakinya.
"Siapa kalian?"
Fokus Sasuke beralih pada pria dengan tawa menjijikan tak jauh darinya. Pria itu terlihat cukup muda, mungkin sedikit lebih tua dari Naruto. Di sisi kanan dan kiri pria itu, berdiri dua sosok iblis berambut merah dan hitam, masing-masing menatapnya dengan terkejut.
Sasuke mendesah. Sudah cukup dengan semua reaksi ini. Ia jengah.
"P-pangeran?!"
Sasuke memutar mata.
Pria yang mereka panggil bos itu mengerut bingung. "Pangeran?" beonya. "Maksud kalian, pangeran dunia iblis?" tanyanya, hampir tak percaya.
Kamio dan Shinji tak merespon.
"Pangeran kalian dalam ... dalam ... dalam seragam Pasukan Gerhana? Kalian pasti bercanda."
Tapi mereka tahu itu sama sekali bukan candaan. Bahwa darah yang mengering di seragam Sasuke adalah bukti kalau Sasuke ikut terlibat dalam pelenyapan empat puluh anak buah pria itu di pintu gerbang.
Pria itu menjadi panik, "K-Kamio, Shinji, serang mereka!"
"T-tapi Bos—"
"Sekarang, tolol!"
Mereka berdua ragu-ragu bergerak mendekatinya. Sasuke tetap diam di tempatnya, mengikuti pergerakan Shinji dan Kamio. Sasuke tahu mereka tak akan mungkin menyerangnya, mengingat bagaimana iblis-iblis di pintu gerbang memperlakukannya.
Mereka tak akan berani menggores luka di kulitnya setipis apapun itu.
Kamio melayangkan kepalan tangannya pada Sasuke, tapi ia berhenti di tengah-tengah. Wajahnya keruh.
"Apa yang kau lakukan, idiot?!"
Mereka berdua terpaku di depan Sasuke.
"A-aku ... tak bisa melakukannya, Bos."
"Sial!" pria itu mengeluarkan pistol dari sakunya. Moncongnya mengarah pada Sasuke. "Sialan! Sial sial sial!"
Dor!
Tembakan pertama dilepaskan, dan Sasuke menghindarinya dengan mudah.
Dor! Dor! Dor!
"Sialan!" umpatnya. Tak satupun pelurunya mengenai sasaran. Di tengah kekesalannya itu, matanya menangkap sosok Naruto yang tak bergerak di ambang pintu.
Sasuke sempat melupakan keberadaan Naruto. Pria itu masih menatap lurus pria yang terbakar dengan ekspresi tak terdefinisi. Jeritan sang gadis kecil masih menggema di tempat itu.
Sasuke tak mengerti mengapa Naruto bereaksi seperti itu. Itu bukan seperti Naruto yang tenang dan selalu memberinya senyum. Itu bukan seperti Naruto yang membasmi puluhan iblis dengan mudah. Itu bukan seperti Naruto yang biasanya. Ada aura gelap dan berat menyelimuti pria itu. Ia seperti kehilangan fokus pada suasana di sekelilingnya. Perhatiannya tersedot sepenuhnya pada pria yang telah menjadi abu.
Naruto perlahan mulai melangkah seperti mayat. Ia tak peduli pada moncong pistol yang mengarah padanya. Ia seolah tak peduli lagi pada apapun. Ia berjongkok di depan abu pria tua itu, meraih segenggam dan membuka telapak tangannya. Abu itu jatuh melalui sela-sela jemarinya, mengotori tangannya.
Dan Sasuke melihat pandangan pria itu menggelap.
Ia berdiri, melesat mengambil senjatanya yang tergeletak dalam hitungan detik, dan—
Dor! Dor!
Kedua iblis di depan Sasuke lenyap, tanpa iblis itu tahu bahwa pistol telah menembus kepala mereka saking cepatnya gerakan Naruto.
Belum sempat Sasuke merespon, Naruto kembali bergerak ke arah sang pemimpin. Mata pria itu membulat, tangannya yang memegang pistol gemetar.
"M-menjauh dariku!"
Tapi Naruto terus bergerak maju.
"Kubilang menjauh dariku!"
Dor!
Peluru itu melesat mengenai bahu Naruto, membuatnya mundur sedikit. Pria itu mengira Naruto akan berhenti, tapi si surai pirang tetap melanjutkan gerakan kakinya seolah tembakan tadi bukan apa-apa baginya. Ia membanting pria itu ke lantai, menghantamkan kepalanya pada tembok dan menginjak dadanya. Tatapannya sedingin es.
Sasuke bersumpah tak ada yang lebih menakutkan dari Naruto saat itu.
"J-jangan ..." pria itu merintih. Ketakutan membanjiri wajahnya yang pias. Sasuke tak tahu apa pria itu ketakutan karena sebentar lagi kematian akan datang padanya, atau ketakutan pada Naruto itu sendiri.
Naruto mengokang pistolnya. "Mati," desisnya sebelum menekan pelatuknya.
Dor!
Pria itu mati seketika.
Untuk sesaat Sasuke dan Naruto bergeming. Bahkan sang gadis kecil pun tak berani mengeluarkan suara. Ia melihat kemarahan menguasai Naruto. Bahunya yang terluka dibiarkan begitu saja.
... Bahunya yang terluka ...
Sasuke tersentak, buru-buru mendekati Naruto. "Bahumu terluka," katanya, tak tahu harus melakukan apa. Darah merembes, membasahi kaus hitamnya yang semakin gelap.
"Aku tak apa-apa," tukas Naruto dingin.
Sasuke kembali tersentak. "Tapi—"
"Aku tak apa-apa, Sasuke!" sentak Naruto, mengejutkan Sasuke. Ekspresinya keras. Ia berjalan meninggalkan Sasuke di ruangan itu sendirian.
Kemana perginya Naruto yang hangat dan bersahabat?
Apa ini memang sifat aslinya?
Sasuke memutar pandangannya ke sekeliling. Si gadis kecil telah menghilang.
Ia benar-benar sendirian.
Tbc
How was it?
Special thanks to : Lady Spain, CorvusOnyx, Eun810, Hwang635, Jasmine DaisynoYuki, Collin Blown YJ, Habibah794, D, shin, Komozaku Natsuki, MeHatsuki, DieNsL, sekikaoru, Hero Dan, Sapphire Blue Hatsuki RyeoGyu, Oranyellow-chan, BellaClaw, Kita Nakamura, nicisicrita, shin . sakura . 11, mybaeNS, and especially you :) maaf saya gak bisa balas satu-satu, tapi saya baca semuanya. Review kalian menambah semangat saya haha :)
Untuk pertanyaan :
Kapan momen NaruSasunyaaaa?
Be patient, ladies. Ini NaruSasu. Udah pasti endingnya NaruSasu. Momen mereka akan tiba pada waktunya, like I said before. Dan kapan itu, red? Next chapter, i promise.
Nanti Sui sama Sasu bakal bertarung satu sama lain?
Nah. Saya gak mungkin kasih bocoran chapter depan kan? /grin
Red jangan tobat dari yaoi.
Haha. Biarkan Sasuke yang memutuskan /hus
Oh ya.
Minal Aidzin wal Faidzin. Selamat hari raya idul Fitri bagi yang merayakan :)
-red