Haunted
.
.
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
Warning: Typo, misstypo, Mature Content, and many more.
.
.
.
Aku menutup mulutku yang terbuka lebar. Pemandangan Uchiha Sasuke dengan kaos hitamnya yang tertutup oleh jas hitamnya langsung menghantamku. Aku tidak menyangka kalau tindakanku sudah sejauh ini dan Sasuke bisa menemukanku dengan mudah.
Aku melirik Itachi yang masih duduk dengan santai dan tersenyum. Aku tidak tahu apa yang membuat lelaki itu tersenyum di saat pandangan mata Sasuke menusuknya.
"Bagus. Adikku benar-benar sangat mempedulikan wanitanya."
Itachi belum berniat turun dari mobil untuk bertemu dengan Sasuke yang kini bersandar pada mobilnya. Menatapnya baru beralih untuk menatapku.
"Aku harus turun," kataku. Itachi menahan lenganku yang bergerak untuk membuka sabuk pengaman. Aku menatapnya, mencoba meminta penjelasan ketika sosok Sasuke mulai mendekat ke arah mobil kami.
Sasuke mengetuk kaca mobil dengan keras. Aku hampir saja melompat karena wajahnya yang datar menjadi objek pertama yang aku lihat ketika aku menoleh.
Ayolah, Sakura. Kau tidak tinggal di kotamu. Kau sedang ada di negeri orang. Kau tidak boleh bertindak bodoh.
Aku memaksa melepas genggaman Itachi di lenganku. Membuka sabuk pengaman dan keluar dari dalam mobil.
Itachi kemudian menyusul keluar dari dalam mobil. Tatapannya bertemu dengan tatapan Sasuke yang tajam.
"Sehebat itukah kau bisa membawanya pergi?" desis Sasuke.
Aku masih bergetar karena takut memikirkan jika mereka akan saling menyakiti. Itachi membawa pistol yang tersembunyi di belakang saku celananya. Dan begitu pula Sasuke. Aku merasa yakin kalau Sasuke juga menyimpan benda yang sama di tubuhnya.
Itachi mengangkat bahunya. Tersenyum. "Itu bukan urusanmu, adik manis."
Sasuke mendengus. Sakura merasa tangannya ditarik seseorang, saat Sakura menyadari pemilik tangan itu adalah Sasuke, Sakura menurutinya. Pandangan Itachi masih padanya, terus menatapnya sampai aku masuk ke dalam mobil bersama Sasuke.
Belum sempat sabuk pengamanku terpasang sempurna, Sasuke sudah menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya di kecepatan tinggi. Aku tidak tahu kemana Sasuke akan membawaku. Yang jelas aku hanya diam, tidak berkata apa-apa lagi.
.
.
Mobil berhenti di parkiran khusus tamu hotel. Aku menghela napas lega. Nyawaku menjadi taruhannya saat Sasuke mengemudikan mobilnya dengan cepat dan tidak memedulikan rambu-rambu lalu lintas. Sasuke melepas sabuk pengamannya, menatap pada setir mobilnya.
"Kenapa kau tidak menyuruhku untuk pelan-pelan?" tanyanya.
Aku membuka sabuk pengamanku, ikut memandang lurus ke depan. "Kau sedang marah. Selama kau yakin kau bisa mengemudi dengan baik di saat kau marah, aku tidak akan menyuruhmu untuk pelan-pelan."
Sasuke menghembuskan napasnya, menoleh ke arahku dan kemudian turun ke mobil tanpa kata-kata.
Aku mengikutinya turun dari mobil. Sasuke sudah melangkah lebih jauh dariku. Meninggalkanku sendiri di lobi dan dirinya memilih untuk bertemu seseorang.
Sejujurnya, aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Aku tidak terbiasa diabaikan orang lain. Pengecualian untuk Ibuku. Aku memilih untuk tidak berdebat dengan Sasuke, membiarkannya mengurus dirinya sendiri dan aku naik ke atas.
.
.
Sasuke masuk ke dalam kamar sore harinya. Aku sedang duduk di kursi bar, meminum anggur beralkohol rendah dan memakan roti panggang selai kacang. Aku hanya diam, tidak berniat untuk bertanya lebih jauh lagi.
Sasuke melepas jasnya, ikut bergabung denganku setelah ia mengambil sebotol bir dan gelas kosong. Menuangkan bir itu ke dalam gelas dan meminumnya sekali tegukan.
"Aku membereskan kekacauan yang terjadi karena ulah Itachi pagi tadi."
Oh, Tuhan.
Aku berhenti memakan rotiku. "Mereka meminta ganti rugi?"
Sasuke menggeleng.
"Hanya beberapa kerusakan dan luka di salah satu staff. Aku berinisiatif untuk bertanggung jawab atas semuanya dan mereka sempat menolak, namun aku memaksa."
Napsu makanku hilang seketika. Hanya memandangi Sasuke yang tengah meminum birnya membuatku kenyang.
"Itachi tidak benar-benar melakukannya," lirihku.
Sasuke langsung menatapku dingin. Gelas kosong itu ditaruhnya di atas meja, "Terlalu yakin? Seberapa jauh kau mengenalnya di belakangku?"
Aku memutar mataku, berusaha mengabaikan tatapan matanya yang menusuk. Entah dorongan apa yang berani membuatku berdebat dengan Uchiha Sasuke hari ini. Mungkin, untuk kedepannya aku juga akan selalu menentangnya. Membuatnya marah dan kesal. Itulah sisi burukku yang lain.
"Tidak ada. Kami tidak berbicara apapun di belakangmu. Dia tidak menceritakan apa-apa tentang dirimu. Walaupun aku ingin sekali memaksanya untuk bercerita," jawabku.
Sasuke mendorong gelas dan birnya menjauh dari hadapannya. Tatapannya fokus padaku. "Tanyalah padaku. Jangan mencari jawaban dari orang lain."
Aku memakan roti panggangku dalam diam. Tidak memberi jawaban apa-apa pada Sasuke yang masih duduk diam memandangku yang sedang makan.
"Oke."
Sasuke mengangkat alisnya.
Aku mendorong piringku menjauh bersamaan dengan gelas birnya. "Aku akan bertanya padamu dan bukan pada orang lain."
Sasuke tersenyum, bukan senyum manis atau tulus atau apalah itu. Senyum kemenangan. "Gadis pintar."
.
.
Yamanaka Ino datang untuk menemuiku malamnya. Kami memutuskan untuk bertemu di restaurant hotel dan memilih untuk tidak keluar hotel selama Sasuke masih dalam masa terburuknya.
Ino diantar oleh supir suruhan Sai. Aku ingin bertanya lebih jauh tentangnya. Kami memiliki waktu sampai tengah malam nanti. Sasuke mengizinkannya karena aku ada di bawah pengawasannya, dan itu sedikit membuatku tertantang ingin pergi darinya. Walaupun dia tahu, aku tidak akan bisa melakukannya.
"Sakura, syukurlah, aku bisa melihatmu lagi." Ino memelukku setelah kami bertemu di meja dan saling melempar senyum. Aku mengangguk, membiarkan Ino duduk.
"Mengapa kita tidak bisa pergi ke luar dan melihat indahnya Paris malam hari?" tanya Ino.
Aku menyesap kopiku, memandang cairan hitam itu lekat-lekat setelah meminumnya. "Aku memiliki hari yang buruk pagi ini. Aku tidak bisa meninggalkan hotel."
Ino mencoba tertawa. Matanya mencoba mencari sekelilingnya. Memastikan kalau tidak ada orang yang mendengarkan obrolan kami.
"Apakah ini karena Uchiha itu?"
Aku mendesah berat. Dan Ino tersenyum masam.
"Sudah tertebak."
Lalu, pelayan wanita datang membawakan makan malam untuk kami. Aku tergoda dengan iga panggang dengan taburan saus kentang yang menjadi menu andalan restaurant ini. Dua botol anggur berukuran mini juga kami pesan. Ino menginginkan minum malam ini dan juju, aku juga membutuhkannya.
Aku kembali memesan kopi dan dessert setelah makan malam selesai. Waktuku malam ini harus dihabiskan bersama Ino untuk mengobrol bersama. Kami sedang berada di kota berbeda, hal yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya bahkan dalam mimpi sekali pun. Aku tidak berani membayangkannya.
"Jadi, Ino, ada hubungan apa antara kau dan Sai?"
Ino menyesap anggurnya, hanya tersenyum dan mengangkat bahunya lalu memotong iganya dalam diam.
"Aku serius."
Ino memakan iganya, menatapku dari seberang meja. "Tidak ada. Kami hanya teman."
Aku mendengus, "Omong kosong."
Ino tertawa, kembali mengangkat gelas anggurnya dan memandangku dari tepi gelas. "Benar, Sakura. Kami hanya teman. Tidak diantara kami yang saling menyukai. Sai bilang, dia ingin mengajakku ke Paris untuk berlibur sekaligus bersenang-senang. Aku ikut saja."
Aku memutar bola mataku. Memotong igaku dengan sedikit tenaga.
Ino hanya memandangku sembari mengulum senyumnya. Wanita itu menunjuk piringku dengan pisaunya.
"Sakura, kau harus makan banyak. Kau butuh tenaga yang banyak selama di sini."
Aku hanya mengangguk. Menyesap anggurku dan melanjutkan makan malamku.
"Bagaimana Uchiha Sasuke yang sebenarnya itu?" tanya Ino.
Aku menaruh gelasku. Menatap igaku yang tinggal separuh lalu beralih pada Ino. "Dingin, tak tersentuh, terlalu membingungkan dan sedikit kejam."
Alis Ino terangkat. "Sedikit kejam?" Terlihat sekali ia berusaha untuk tidak tertawa keras.
Aku mengangguk.
Ino berdeham, "Well, itu bagus. Sangat cocok dengan wajahnya yang teramat datar. Aku tidak terkejut."
"Jelas sekali dia berbeda dengan teman-mu itu 'kan?" desisku sembari menekankan kata teman pada Ino yang kini melotot padaku.
Pelayan datang membawakan dua cangkir kopi dan hidangan penutup. Sasuke tidak menghubungiku. Entahlah, aku yang mematikan ponselku atau memang dia sedang sibuk bersama pekerjaannya selama kami berada di sini.
Ino menatapku yang sedang meminum kopiku.
"Sakura," jeda sejenak. "Apa kau mengenal siapa laki-laki yang mengajakmu berdansa dengan wajah yang sangat mirip dengan Sasuke?"
Aku terbatuk ketika Ino akhirnya menanyakan pertanyaan yang tidak ingin aku bahas saat ini. Kejadian tadi pagi cukup membuatku sedikit takut. Aura permusuhan terasa kental menyelimuti mereka berdua jika mereka bertemu. Untung saja, Sasuke bisa menjelaskan pada Ino kalau aku tidak datang karena sedang sibuk bersamanya menikmati Paris dan mendapatkan sedikit kecelakaan saat sedang berjalan-jalan.
Kebohongan yang jelas sekali.
Aku menggeleng dengan memasang wajah sedih. "Sayangnya, tidak. Mungkin saja itu kerabat dekatnya? Sasuke tidak pernah menceritakan keluarganya padaku."
Wajah Ino tampak sedih ketika menatapku. Tatapan matanya berubah menjadi rasa bersalah yang langsung aku balas dengan gelengan kepala.
Salah satu petugas kamar datang menghampiri meja kami. Ia membisikkan sesuatu di telingaku, mencoba menyampaikan sebuah pesan yang ditunjukkan untukku.
Aku memandang Ino yang sabar menungguku untuk menjelaskan sesuatu mengapa petugas itu mengganggu makan malam kami berdua. Aku tersenyum pada petugas itu lalu menyuruhnya pergi untuk meninggalkan meja.
"Maaf, Ino, aku harus kembali ke kamar. Ada sesuatu yang penting." Kataku menyesal.
Ino mengangkat kedua tangannya dengan siku yang bertopang pada meja. Ia memberiku sebuah senyum menggoda. "Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Baiklah, aku membiarkanmu pergi. Kita harus banyak bercerita setelah pulang dari sini. Bagaimana?" Tangannya terulur untuk menjabat tanganku.
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. Kami sempat tertawa bersama sebelum sosok Ino menghilang di balik pintu lobi dengan sebuah mobil mewah yang membawanya pergi. Aku berdoa, semoga Ino bahagia dan kami bisa terus bersama selamanya. Dia adalah saudara terbaik yang pernah ada di hidupku.
Aku bergegas pergi ke lift yang membawaku menuju kamar. Sasuke menyuruh salah satu petugas kamar untuk mengingatkanku kalau jam makan malamku sudah selesai satu jam yang lalu. Aku sengaja melupakannya, tidak cukup hanya menghabiskan waktu sebentar ketika bersama Ino.
Dia merasa dilupakan dan aku cukup senang karena aku berpengaruh untuknya.
Aku membuka pintu kamar. Tidak terkejut ketika menemukan Sasuke yang berdiri membelakangiku dengan tangannya memegang segelas anggur. Tubuhnya yang indah dibalut dengan piyama sutra berwarna hitam. Udara malam ini cukup dingin, pihak hotel sudah menyiapkan fasilitas pemanas ruangan otomatis yang menyala ketika suhu kamar berubah. Kami tidak perlu repot untuk menyalakan perapian.
Sasuke menoleh, menaruh gelas anggurnya ke dapur dan menghampiriku yang sedang melepas stiletto.
Ketika aku mendongak, bibirnya yang panas menuntup bibirku. Mencoba masuk dengan menggoda bibirku, mengecupnya di sudut dan menarik bibir bawahku lembut. Aku memaksa membuka piyamanya, terlalu banyak minum anggur sangat berefek bagiku. Sasuke menurutinya, dia membuka bagian atas piyamanya dan masih memakai celananya.
Matanya yang gelap terhalang kabut napsu yang tertangkap jelas di mataku. Aku membuka bibirku dengan suka hati, membiarkannya masuk dan mendominasi semua.
Sasuke mendorongku ke atas tempat tidur. Napasnya berubah satu-satu. Ciuman kami terlepas. Tangan besarnya bergerak untuk membuka kancing kemejaku dengan terburu-buru.
"Aku ingin berada di dalammu, Sakura. Sekarang."
Aku tersenyum, membawanya kembali ke wajahku dan kami kembali berciuman panas. Lidahnya membelit lidahku, saling beradu di dalam mulutku dan eranganku tertahan di tenggorokan.
Sasuke mengangkat kepalanya, menenggelamkan hidungnya pada leherku dan mengigigitnya pelan di sana.
Kami akan mengalami malam yang panjang. Dan sangat panjang.
.
.
Sasuke bangun lebih pagi dariku. Dia sudah pergi keluar untuk lari pagi dan sedikit berolahraga di tempat gym sampai nanti kami bertemu untuk sarapan.
Aku mengganti pakaianku dengan pakaian olahraga. Berkeliling memutari kawasan hotel tidaklah terdengar buruk. Aku tidak butuh izin dari Sasuke untuk pergi lari pagi. Dia akan sangat kekanakkan jika dia marah padaku hanya karena aku tidak ada di kamar untuk lari pagi.
Saat aku menginjak lantai lobi, sosok Gaara datang bersama dengan seorang wanita muda cantik dengan tubuh indahnya. Jelas sekali kalau itu bukan Ibuku. Gaara adalah pria muda dan kaya. Ia bisa dengan mudah membuang Ibuku begitu saja jika tidak mendapatkan apa yang dia mau.
Tubuhku bergetar ketika tatapan kami bertemu. Wanita yang bersandar pada bahunya tidak menyadari kalau objek pandangan Gaara sedang mengarah padaku. Dia sedang sibuk dengan seorang wanita petugas receptionist.
Aku berusaha mengontrol tubuhku untuk tidak terlalu bereaksi berlebih dengan pria brengsek itu. Sasuke sudah mengatakannya kalau Gaara bukanlah orang yang baik dan berbahaya.
Tidak jauh berbeda dengan dirinya.
Aku kembali ke dalam lift. Membatalkan rencana lari pagiku dan memilih untuk pergi ke kamar. Bersembunyi di dalam lebih baik untuk sementara waktu ini. Aku tidak ingin ada keributan lagi seperti kejadian kemarin.
Itachi menghilang begitu saja. Aku merasa sedikit aman karena emosi Sasuke tidak akan mudah terpancing begitu saja. Kehadiran Itachi memperkeruh emosinya. Sasuke adalah tipikal orang yang mudah tersinggung dan marah.
Aku menyeduh kopi untuk pagiku. Memilih untuk tidak minum bir daripada harus berakhir di ranjang dengan keadaan tidak berdaya. Paris tidak boleh disia-siakan begitu saja. Sasuke sudah mengeluarkan banyak biaya untuknya, dan Sakura tidak bisa membalasnya.
Pintu kamar terbuka, aku menoleh ketika mendapati sosok Sasuke yang datang dengan kaos hitam dan celana olahraga yang menonjolkan bentuk kakinya yang besar dan kuat. Aku meneguk kopiku dengan cepat, langsung pergi ke tempat pencuci untuk mencuci gelas.
"Aku sudah memesan sarapan."
Aku mengangguk setelah mengeringkan tanganku. Mengamati Sasuke dari dapur ketika ia membuka kaosnya dan mempertontonkan tubuh indahnya yang membuatku bergairah hanya dengan menatapnya. Aku memalingkan wajahku yang memerah. Membuka kulkas dan mencari air dingin di sana.
Sasuke menarik kursi bar dan membuat suara deritan yang cukup keras sampai di telingaku. Aku menuangkan air dingin di dalam gelas dan membawanya bersamaku ketika aku mengambil tempat di sampingnya.
"Bagaimana kabar Ibuku?"
Sasuke menghentikan usapan handuknya pada rambutnya. Aku menahan napasku dalam beberapa saat, mencoba untuk tidak tercebur ke dalam ketampanannya yang sedang maksimal saat ini. Aku fokus bertanya padanya. Ketika aku bertemu Gaara di lobi, itu menghantuiku.
"Kenapa?" Sasuke melempar handuknya dan beralih memandangku. "Bukankah kau tidak peduli dengan Ibumu sendiri?"
Aku meminum airku, membasahi tenggorokanku yang terasa kering tiba-tiba. Ditatap seperti itu olehnya membuatku terbakar.
"Mau bagaimana lagi, dia tetap Ibuku," jawabku santai. "Jadi, dimana dia sekarang? Aku tidak ingin menghubunginya."
Sasuke hanya diam. Ia kemudian bangun dari kursinya dan mengambil ponsel pintarnya dari meja samping tempat tidur. Saat Sasuke pergi untuk lari pagi, dia tidak membawa ponsel.
"Hubungi saja. Dia tidak akan tahu kalau itu kau," ucapnya datar dan mendorong ponsel itu ke arahku.
Aku mengerutkan alisku, menatap ponselnya lalu bergantian pada Sasuke yang masih duduk diam menatap lurus ke arah kulkas besar.
"Kau gila?" desisku.
Ia menoleh cepat. "Kau baru saja bilang sesuatu padaku?"
Aku mendesah. "Kau gila."
Sasuke mengusap wajahnya. Ia tampak menyerah namun di sisi lain wajahnya terlihat keras ketika ia menatapku.
"Aku hanya ingin sarapan bersamamu dan menjalani hari yang baik. Jangan buat perdebatan denganku." Titahnya dan pergi ke kamar mandi. Meninggalkanku bersama ponsel hebatnya.
Aku menatap ponsel itu. Entah apa yang harus aku lakukan dengannya. Aku juga memiliki ponsel namun tidak sebagus miliknya. Mungkin Sasuke juga tahu bagaimana keadaanku yang sebenarnya.
Aku mendorong ponselnya menjauh. Memilih untuk tidak menghubungi Ibuku untuk saat ini. Setibaku dari Paris, aku akan bertemu dengannya dan menanyakan kabar apa dia baik-baik saja.
Tapi, pikiran tentang Gaara yang datang bersama seorang wanita muda menghantam pikiranku. Mungkinkah saat ini Ibuku menjadi gelandangan di jalan? Gaara menendang pantatnya keluar dari kamar apartemen yang mahal itu? Mungkinkah?
Banyak kemungkinan yang terjadi. Aku tidak akan sanggup jika harus memikirkan bagaimana kondisi Ibuku nanti. Mau bagaimana pun juga dia tetaplah Ibuku. Wanita yang pernah memberikan hidupnya untukku di saat dia melahirkanku. Wanita yang pernah mencintaiku saat Ayahku masih hidup.
Sasuke keluar dari kamar mandi dengan jubah mandinya. Aku tidak menyadarinya sampai sebuah tatapan terasa membakar leherku. Aku masih menggunakan pakaian olahragaku.
"Kau berolahraga?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Tidak jadi."
Sasuke hanya mengangguk.
Aku berpikir dia akan marah padaku karena aku tidak meminta izinnya ketika aku keluar kamar. Semenjak insiden dengan Itachi beberapa hari yang lalu, itu terasa menakutkan bagiku.
.
.
Setelah aku mandi dan berganti pakaian, Sasuke menunggu di sofa dan dia memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih. Seperti pakaian resminya. Aku menahan napas untuk beberapa saat. Mencoba fokus pada rambutku yang masih tergerai.
Ino sempat menghubungiku malam ini. Tapi, aku tidak menjawabnya. Aku sangat lelah meladeni Sasuke yang tidak ingin berhenti sampai pagi dan terus meminta lebih untuk seksnya. Aku sendiri, menurutinya sampai jatuh tertidur dan tidak tahu apa-apa.
Aku memakai sedikit pelembab di wajahku dan memakai sabuk kecil untuk pinggangku. Gaun tanpa lengan hingga sebatas lutut menjadi pilihanku saat ini. Sasuke menyuruhku untuk memakai ini saat kami sarapan.
Aku hanya mengikat rambutku dan tidak punya ide untuk menyanggulnya atau menatanya jadi lebih baik lagi.
Sasuke berdiri di belakangku, menatapku dari tepi pintu saat tatapan kami bertemu di kaca rias. Aku mendesah, mencoba melihat penampilanku sekali lagi dan sempurna. Aku menyebutnya terlalu bagus untuk ukuran wanita sepertiku yang tidak begitu memperhatikan penampilan.
Sasuke berjalan mendekat, memelukku dari belakang ketika tubuhku secara refleks mendekat ke arahnya. Dia tidak banyak bicara pagi ini. Aku menghela napas, mengusap lengannya yang ada di perutku lembut.
"Kau sangat cantik." Napasnya memberat ketika ia membenamkan hidungnya di leherku.
Aku hanya tersenyum malu. Menunduk untuk menyembunyikan kedua pipiku yang sedikit merona. Sasuke tidak pernah memujiku seperti ini sebelumnya dan aku merasa entahlah bahagia mungkin?
Sasuke memutar wajahku agar aku bisa menatapnya. Masuk ke dalam mata hitamnya yang tak berdasar. Aku menahan napasku ketika hidungnya mendekat dan tidak ada jarak lagi di antara kami ketika bibirnya menutup bibirku.
Sasuke memundurkan wajahnya, menarik napas panjang ketika dia hanya menciumku di pipi kilat. Ia menarik tanganku, menggenggamnya erat. "Aku berjanji untuk mengajakmu sarapan dan berlibur menikmati Paris. Dan hasrat sialan ini membunuhku," lirihnya dengan napas berat.
Ia kemudian menatap mataku lagi. "Tapi, aku janji kita akan benar-benar menghabiskan waktu malam kita setelah menyelesaikan semuanya." Dan menyeringai.
Aku hanya diam tidak bereaksi apa-apa sampai tangannya menggenggam tanganku dan rasa hangat melingkupi tubuhku secara cepat. Efek yang diberikan Sasuke padaku tidak main-main. Tidak hanya di atas ranjang saja, dia memberiku efek yang berbeda ketika berada di luar ranjang.
Kami pergi untuk sarapan bersama dan seorang pelayan laki-laki menyambut kami ramah di depan pintu lift. Sasuke masih menggenggam tanganku dan tidak berniat melepasnya.
Kami bertemu dua pelayan lainnya yang tengah berdiri di sebuah meja kosong dan menarik kursi mewah itu ketika kami datang.
Aku tersenyum pada pelayan itu dan mendapati tatapan Sasuke yang mengeras padaku ketika aku menoleh ke arahnya. Aku hanya mengangkat bahu padanya dan dia mendesah. Membiarkan pelayan mengantar sarapan untuk kami.
"Terlihat sangat menggiurkan," ucapku ketika sarapan sudah terhidang di atas meja dan aku tidak bisa tidak tersenyum untuk makanan super menggairahkan ini.
Sasuke hanya tersenyum, menuangkan anggur di gelasnya dan gelasku. "Makanlah. Kau butuh energi yang banyak untuk hari ini."
Aku memotong daging asapku dan memakannya, memandang Sasuke yang kini tengah menyesap anggurnya. "Ya, untuk berkeliling Paris, bukan? Aku akan makan banyak demi itu."
Sasuke mengerutkan dahinya, bibirnya mengatup membentuk garis keras. "Tidak hanya itu saja."
"Lalu?" aku menaikkan sebelah alisku.
Sasuke mendesah, menaruh gelasnya dan mulai memotong daging asapnya.
"Jangan bercanda, Sakura."
Aku terkekeh. "Aku tidak tahu apa maksudmu. Jadi, aku tidak bercanda."
Sasuke mendongak untuk menatapku yang hanya memberikan senyum meledek padanya. Aku melihat matanya yang sempat menajam saat aku mencoba menggodanya, namun tatapan itu kembali melembut.
"Ibumu baik-baik saja. Aku memberinya sebuah kamar di apartemen milikku dan menyuruh pegawaiku memberikan pelayan yang terbaik untuknya." Sasuke berkata agak santai setelah memakan satu gigitan daging asapnya.
Aku mendongak, mencoba mencari kebenaran di matanya dan mendesah lega. "Baguslah. Terima kasih."
"Sama-sama. Itu sesuai kesepakatan kita di awal."
Aku mengangguk lesu. Membiarkan rasa laparku tetap mendominasi dan tidak begitu memikirkan kata-kata Sasuke yang entah mengapa membuat hatiku terasa sakit. Aku memang menyukainya, jatuh cinta padanya dan wajar saja jika hubungan ini berdasarkan kesepakatan dan napsu seorang Uchiha Sasuke membuatku berpikir keras untuk tidak terjun terlalu dalam padanya. Memiliki perasaan yang jelas-jelas akan membuatku patah hati.
Terkadang aku sendiri tidak bisa menentukan apakah aku benar-benar mencintainya atau aku membencinya karena dengan mudahnya memintaku apa saja yang dia inginkan.
Aku menjatuhkan garpuku tanpa sadar. Membuat Sasuke menatapku yang bergerak untuk mengambil garpuku dan menaruhnya di ujung piring. Napsu makanku hilang seketika karena memikirkannya.
Aku tidak berani menatap matanya. Sampai suara beratnya mengganggu telingaku. "Kau memikirkan Ibumu atau ada hal lain yang tersembunyi di kepala cantikmu?"
Aku mendesah berat, memberanikan diri menatap matanya. "Tidak ada."
Sasuke hanya mengangguk, kembali memakan sarapannya dengan tenang dan aku memejamkan mataku sejenak. Mengambil udara banyak-banyak untuk mengisi paru-paruku yang kosong.
Ponsel Sasuke berbunyi dan itu membuatku menoleh ke arahnya. Tatapan kami bertemu beberapa lama dan Sasuke menjawab ponselnya dengan suara tenang.
Aku menyesap anggurku dan memilih untuk meminum anggur lebih banyak pagi ini. Perutku sudah terisi sebagian dan ia tidak akan memberontak keluar jika aku meminum dua gelas anggur saja pagi ini.
Ketika aku memandang ke sisi kananku, aku mendapati Gaara yang tengah sarapan bersama seorang wanita muda yang aku lihat tadi dan mereka terlibat obrolan yang serius. Mataku terkunci ke arahnya untuk beberapa lama saat Sasuke masih serius menerima sebuah panggilan dari entah siapa.
Mata Gaara yang tajam langsung terarah padaku. Kami saling bertatapan dan aku melihatnya menyeringai padaku. Aku memutuskan tatapan kami secara sepihak dan kembali pada Sasuke yang menatapku dengan serius.
Sasuke menutup teleponnya dengan napas memberat. Ia memandangku dengan matanya terbakar karena rasa marah. Aku mencoba menggenggam tangannya dan berpikir untuk menariknya kembali. Tanganku tertahan di atas meja bagaikan ada perekat yang sengaja ditaruh di sana untukku.
"Ayo, pergi."
Sasuke menarik tanganku dan membawanya pergi. Aku menoleh sekali lagi pada Gaara dan mendapatkan lelaki itu sedang tertawa senang dan melambaikan tangannya padaku.
"Sial."
Sasuke menoleh padaku. "Ada yang salah?"
Aku menggeleng. Mengikuti langkah Sasuke masuk ke dalam mobil dan membiarkannya membawaku ke tempat yang dia inginkan. Aku sedang tidak ingin membuatnya marah.
Pikiran tentang Ibuku dan Gaara menyeruak masuk dan memberontak di dalam pikiranku. Walaupun Sasuke sudah mengatakannya kalau Ibuku baik-baik saja, aku tetap tidak tenang.
"Sakura,"
Aku menoleh pada Sasuke yang sedang mengemudi.
"Ibumu adalah kelemahanmu, apa aku salah?"
Aku menahan napasku dalam waktu yang lama dan membuangnya perlahan-lahan.
"Ya."
"Kenapa?" Sasuke bertanya lagi.
"Entah. Aku terikat hubungan yang baik dengannya sejak aku masih memakai popok. Jika, dia menangis, aku akan menangis. Dia sedih, aku ikut merasakannya. Aku tidak tahu itu berlaku atau tidak sampai sekarang. Tapi, kurasa masih."
Sasuke melajukan mobilnya berbelok ke sebuah tikungan.
"Kenapa kau membencinya?"
Aku menarik napas panjang. "Banyak alasan. Kematian Ayahku yang begitu tiba-tiba dan karena itu dia menjadi berubah. Menjadi wanita yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan. Aku berpikir dia tidak lagi mencintaiku seperti dulu jika tidak karena uang."
Sasuke hanya diam dan fokus menatap lurus ke depan.
"Tapi, dia tetaplah Ibuku. Aku memilih untuk menjauh darinya agar perasaanku tidak hanyut mengalir bersamanya. Jika, dia mati, mungkin sebagian diriku juga akan mati dan sebagian lagi tetap hidup. Sama seperti Ayahku, ketika Ayahku pergi, sebagian diriku hilang bersamanya."
Aku mendesah, tidak berniat melanjutkan pembicaraan ini lagi.
"Mengapa Gaara mengejarmu melalui Ibumu?"
Aku memutar mataku, mengalihkan pandanganku ke luar jendela dan terdiam selama beberapa saat. "Entahlah. Kurasa dia tahu kelemahanku. Hanya aku satu-satunya orang terdekat Ibuku. Tidak ada lagi. Aku tidak tahu kalau Gaara bernapsu padaku dan melampiaskannya dengan cara yang tidak masuk akal."
Sasuke mendesah berat sebagai jawabannya. Lalu, dia menepikan mobilnya di sebuah tempat yang bergaya Eropa kental dengan kayu sebagai pondasi dominan rumahnya. Rumah itu tidak kecil dan cukup besar. Aku tidak memperhatikan jalan ketika Sasuke membawaku kemari.
Sasuke membukakan pintu mobil untukku. Dia menarik tanganku dan kami saling berpegangan tangan ketika masuk ke dalam. Sasuke masih diam, tidak ingin menjelaskan apapun dan aku juga menjaga mulutku agar tetap diam.
"Ini rumahmu?" Oh, bagus Sakura.
Sasuke menghela napas berat. "Ya. Dulu saat aku masih anak-anak."
Tidak ada nada kegembiraan atau pancaran mata kerinduan yang ditunjukkan Sasuke untuk rumah ini. Aku tidak tahu apakah rumah ini memberikannya sebuah luka atau penderitaan di masa lalu yang tidak ingin ia ingat lagi. Tapi, mengapa dia membawaku kesini?
Aku masuk ke dalam setelah pintu terbuka. Rahang Sasuke mengeras ketika dia menemukan Itachi sedang duduk di dekat perapian dan meminum sebotol bir dengan tenang.
"Halo, aku tidak menyangka akan bertemu adik kecilku dan kekasihnya." Itachi bersuara tanpa menoleh ke arah kami. Aku mengamati Sasuke dari ujung mataku. Rahangnya semakin mengeras dan tatapan matanya juga terasa membunuh.
Itachi berdiri dengan tawanya yang berderai. Membuang botol bir itu ke dalam perapian dan api di perapian semakin berkobar besar. Mata Sasuke tidak lepas dari Itachi. Sasuke bagaikan predator yang siap memburu mangsanya.
"Sasuke," panggilku. Sasuke tidak menjawab panggilanku. Ia melepaskan genggaman tangan kami dan bergerak ke depan untuk memukul wajah Itachi.
"Mati kau!"
Aku berteriak ketika tubuh Itachi terlempar ke belakang dan suara seorang wanita yang berteriak dari arah belakang rumah membuat pertengkaran mereka terhenti dan aku berdiri membeku di tengah ruangan.
Aku berlari menuju sumber suara dan mendapati teriakan Sasuke yang menyuruhku untuk tetap diam di bawah pengawasannya. Itachi duduk dengan bibirnya yang robek dan mengeluarkan darah. Aku masih bersikeras untuk berlari memberi mencari tahu darimana sumber suara itu berasal.
Sasuke mengejarku di belakang. Aku tidak mempedulikan suaranya yang terdengar marah ketika dia memanggilku. Aku bersyukur kecepatan lariku sedikit lebih cepat darinya dan dia masih belum bisa mengejar langkahku.
Rumah masa kecil Sasuke sangatlah luas. Aku harus memutar beberapa lorong untuk mencari dimana sumber suara itu.
Aku masuk ke sebuah ruangan, menemukan seorang wanita paruh baya tengah jatuh dengan tangannya terikat di belakang punggungnya. Pecahan kaca dari gelas mengenai tangannya dan dia merintih kesakitan.
Langkah Sasuke menggema di belakangku. Aku menoleh ke belakang, mendapati tatapan Sasuke yang mengeras ketika memandangi wanita itu. Dia maju dan mengabaikanku yang masih membeku di tepi pintu.
"Apa Ibu baik-baik saja?"
Aku menutup mulutku. Menyadari kalau Sasuke baru saja memanggil wanita itu Ibu. Wanita itu mengangguk dan kedua matanya yang senada dengan Sasuke mengeluarkan sebulir air mata dan rintihan kesakitan.
Sasuke membuka ikatan itu dengan sebuah pisau yang ia selipkan di balik celananya. Aku menghampiri wanita itu, memberikannya segelas air dan dia meminumnya.
"Terima kasih." Lirihnya.
Aku mengangguk. Menyingkirkan pecahan kaca itu dari sekitar tangannya dan tanpa sengaja tanganku tergores cukup dalam dan aku memekik. "Aww!"
"Hati-hati." Sasuke menatapku dan kembali membantu Ibunya yang kepayahan membuka ikatan tangannya.
Aku mencari keran air untuk membasuh telapak tanganku yang tergores pecahan kaca. Saat aku memutar tubuhku, aku melihat Sasuke yang tengah membopong wanita itu ke belakang rumah dan tidak menatap ke arahku ketika kami berpapasan.
Punggung Sasuke semakin jauh dari pandanganku. Aku tidak tahu kemana Sasuke membawa wanita yang dia panggil Ibu itu. Yang aku tahu Sasuke membawanya ke belakang rumah yang sangat luas dan aku tidak berani menginjak kakiku ke sana.
"Kembali ke mobil!"
Sasuke berteriak dari arah belakang rumah. Tanpa banyak kata lagi, aku segera berlari menjauhi lorong dan pergi menuju mobil.
Aku tidak menemukan sosok Itachi lagi di dekat perapian. Jantungku semakin berdegup kencang ketika aku mendengar suara tembakan dari arah belakang rumah. Aku berhenti berlari, ingin segera menyusul Sasuke yang membuat perasaanku campur aduk antara harus lari atau membantunya.
Suara letusan pistol semakin menggema. Aku menutup telingaku dan masih berlari keluar rumah itu. Mobil Sasuke terlihat di mataku, tidak sampai sebuah pisau melayang mengarah padaku dan melintas tepat di atas kepalaku.
Aku menahan napasku. Menyadari ada sosok lain yang tengah menyeringai ketika aku menatapnya. Sosok itu, sosok yang aku kenal. Aku ingin berteriak dan dia dengan cepat menutup mulutku dan mengarahkan moncong pistolnya ke dahiku.
"Diam atau kau akan mati." Desisnya.
Mataku melebar ketika melihat ada sosok lain yang mengarahkan pistolnya pada sosok yang ingin membunuhku. Menyeringai tak kalah kejamnya dan bunyi pelatuk berbunyi membuat desiran darahku semakin bergerak cepat.
Tuhan, bantu aku keluar dari lingkaran ini secepatnya.
.
.
.
Tbc.
.
.
.
Author Note:
Sebelumnya, saya udah kasih warning kalau fic ini engga akan jadi fic santai kayak Outside dan Locked Out of Heaven. Jadi, akan ada konflik berantai dan mungkin ada tambahan karakter lagi buat pemanas konflik. Tapi, belum sejauh itu.
Terima kasih banyak yang mau nunggu fic ini dan saya lelet updatenya. Tapi lagi-lagi saya selalu bilang, saya bakalan update fic-fic saya. Jadi tunggu aja, ya! Dunia RL sedang membutuhkan saya.
Lots of Love
Delevingne