Haunted
.
.
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
Warning: Typo, misstypo, Mature Content, and many more.
.
.
.
I know if I'm haunting you, you must be haunting me..
.
.
.
Aku membuka mata saat cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah jendela yang terbuka karena hembusan angin pagi hari. Aku melirik pada pintu kamar yang terbuka, Ibuku sudah pergi lebih awal dariku.
Aku masuk ke dalam kamar mandi. Menutupnya rapat-rapat yang sudah menjadi kebiasaan sejak dua puluh dua tahun yang lalu. Kebiasaan yang baik tentunya.
Menyikat gigiku dan berkumur-kumur dengan cairan antiseptic khusus rongga dalam mulut yang ku beli di supermarket terdekat. Rasanya tak lengkap jika hanya menggosok gigi saja tanpa berkumur-kumur dengan cairan khusus itu.
Oke, mengesampingkan kegiatanku. Hari ini jadwal kuliah berlangsung mulai siang hari. Sebagai mahasiswa yang baik, tentunya aku berharap dosenku datang dan ia memberikan waktunya untuk menjelaskan sesuatu ketimbang membiarkan kelas dalam keadaan kosong.
Namaku Haruno Sakura, mahasiswi tingkat akhir di Universitas Tokyo, Jepang. Sebenarnya, aku tak tinggal bersama Ibuku. Aku tinggal bersama seorang sahabatku dari kelas Jurnalistik, Yamanaka Ino.
Aku sendiri berada di jurusan yang sangat jauh berbeda dengan Ino. Aku termasuk mahasiswi kelas Sastra, lebih tepatnya Sastra Inggris. Keinginanku sejak duduk di bangku Menengah Atas.
Ayahku sudah lama pergi meninggalkan kami berdua. Ia tewas dalam kecelakaan mobil lima tahun lalu. Masa-masa kelam lima tahun lalu sudah mulai terlupakan sedikit demi sedikit. Meskipun tidak seluruhnya, tapi aku berusaha untuk tidak mengingat luka lama yang membuatku akan kembali menangis.
Ibuku tinggal di apartement mewah ini karena kekasihnya. Uh, benci jika mengatakannya. Ibuku bukanlah seorang wanita yang baik. Menurut pandangan orang lain. Bahkan terkadang aku juga berpikir sama, tapi ia tetaplah seorang Ibu, Ibuku. Aku menyayanginya apapun dia.
"Sakura?"
Aku mengangguk tanpa perlu menoleh siapa yang mengintip dari pintu kamarku. Suara Ibuku sudah familiar di telingaku. Ia membuka pintu kamarku dan masuk, memberikan senyum tipisnya yang selalu ku liat setiap pagi.
"Ibu sudah siapkan teh lemon kesukaanmu, sayang. Ibu harus pergi." Aku tersenyum enggan saat bibir itu mengenai keningku dengan kilat. Tanpa menoleh ke belakang lagi, Ibuku pergi meninggalkanku sendiri.
Aku membuka jendela kamar lantai lima apartement mewah ini. Bisakah aku tertawa? Rasanya sangat menyedihkan, tinggal dibawah bayang-bayang orang lain. Ibuku tidak mempermasalahkan tentunya. Tapi berbeda denganku.
Aku menggigit bibir bawahku ketika sosok laki-laki berjas hitam keluar dari apartement yang sama denganku. Sosok laki-laki yang atensinya tak pernah aku abaikan. Sosoknya begitu gelap namun terasa kental menyentuh seluruh tubuhku. Ada perasaan lain yang terbawa ketika aku memandangnya dari kejauhan.
Wajahnya terlalu tampan. Di atas rata-rata laki-laki pada umumnya. Ia jelmaan Dewa Yunani! Sial. Aku tak pernah jatuh ke dalam pesona laki-laki hingga sejauh ini.
Sudah dua bulan lamanya, semenjak aku tinggal bersama Ibuku karena Ino yang pergi ke luar kota untuk study kampusnya, aku memilih untuk tinggal bersama Ibuku sementara waktu sampai Ino kembali. Jepang sedang ramai dengan kasus pembunuhan, pemerkosaan wanita besar-besaran dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Maka dari itu, aku memutar otak lagi jika ingin berpergian keluar malam hari tanpa ditemani Ino atau temanku yang lain.
Aku jatuh cinta.
Ya, perasaan yang pernah aku rasakan ketika duduk di bangku Menengah Pertama. Sekitar sembilan tahun yang lalu. Dan sekarang perasaan itu tumbuh kembali. Kali ini lebih kuat.
Pada orang yang tak ku kenal.
Menyedihkan.
Lelaki itu masuk ke dalam mobil mewah berwarna hitam yang sering ku lihat beberapa hari terakhir ini. Tipikal laki-laki kaya dengan uang sebagai harga diri mereka.
Mobil hitam itu melesat menjauhi gedung apartement. Aku menghela napas pendek, hanya ini yang bisa ku lakukan sebagai seorang wanita. Tidak bisa bertindak lebih hanya untuk orang yang dicinta.
Aku menatap gedung pencakar langit bertuliskan 'Mangekyou Enterpises' Huu, siapa yang tak tahu Perusahaan besar yang menguasai bisnis dunia?
Namanya sudah sering menjadi bahan pembicaraan koran-koran pagiku. Membosankan. Palingan hanya seorang kakek tua berumur enam puluh tahun ke atas pemiliknya.
Aku mengunci kamar apartementku. Memasukkannya ke dalam tasku dan segera beranjak pergi.
.
.
Aku meremas kuat-kuat kertas yang berisikan catatan-catatan kecilku setelah seminar kemarin. Aku sudah menyalinnya di buku catatan. Aku lupa membuangnya. Ibuku pasti akan memarahi sikap cerobohku yang terlalu sering menimbun sampah di sudut kamar.
Pintu lift terbuka. Aku menggeser posisiku saat seseorang masuk hanya seorang diri ke dalam lift. Aku menarik napas dan menoleh saat tatapan mata lelaki itu sedang mengarah padaku.
Sial.
Aku membuang mukaku. Dia laki-laki yang menjadi objek pandanganku setiap pagi. Laki-laki yang membuat jantungku berdetak tak teratur karena melihatnya.
Aku keluar lift ketika pintu terbuka. Lantai 1. Lantai yang aku tuju. Aku berusaha melangkah menjauhi lift sesaat sebelum memberanikan diri dengan menoleh ke belakang. Lagi.
Lelaki itu memberikan seringai kecilnya padaku dan pintu lift tertutup rapat.
Sial. Aku akan mati berdiri jika begini caranya.
.
.
Pelajaran Nyonya Tsunade hanya angin lalu di telingaku. Aku tidak bisa menangkap jelas apa yang ia terangkan saat ini. Pikiranku fokus pada kejadiaan di lift tadi. Pesona dan intensitasnya tidak bisa ku alihkan dengan hal lain.
Aku tidak tahu namanya. Berusaha mencari tahu saja gagal. Aku hanya tahu wajah dan tubuhnya. Tidak tahu darimana dia dan apa pekerjaannya.
Aku membuka buku catatanku. Berusaha melupakan memori yang terjadi tadi. Hanya dengan tatapannya membuatku terbakar karena rasa panas dan gairah.
Oh, Tuhan.
Ino memelukku dari belakang dengan tiba-tiba. Membuatku harus menahan napas karena pelukan kencangnya. Aku mendengar tawa geli Ino di belakang tubuhku dan wanita itu segera memutar tubuhku untuk memelukku lagi.
"Aku merindukanmu, my darling."
Aku terkekeh geli saat Ino kembali memelukku. Jujur, aku merindukannya. Sangat. Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Membuat hubungan pertemanan kami yang sebelumnya hanya sebagai teman satu kamar berubah menjadi persaudaraan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
"Katakan! Kau merindukanku juga 'kan?" tanyanya mendesak.
"Tentu, Ino. Aku merindukanmu. Aku rindu masakanmu, aku rindu suaramu saat mendengkur dan hm, apalagi ya?" kataku polos dibuat-buat.
Ino memukul bahuku pelan lalu tertawa keras. Mau tak mau, aku juga ikut tertawa. Tawa itu menular.
"Bisakah hari ini aku berkunjung ke apartement mewahmu?" Ino bertanya dengan nada menggoda. Aku paling tidak menyukai saat Ino berbicara mengenai hal itu. Desas-desus tentang hubungan gelap antara Ibuku dan pemilik klub malam di kota Jepang terhembus menjadi bahan pembicaraan anak-anak kampus.
"Ino," aku berusaha menegurnya lembut. "Jangan pernah katakan hal itu di depanku. Itu bukan apartementku. Ibuku hanya tinggal sementara di sana. Aku sedang mencari rumah tempat tinggal tetap untuknya."
"Oh, benarkah?"
Aku mengangguk malas. "Aku tak tahan tinggal bersama dengan orang-orang kaya arogan di sana. Begitu angkuh dan sombong. Bertegur sapa saja terasa sulit bagi mereka."
Ino menganggukkan kepalanya mengerti. Wanita itu lalu menarik tanganku dan membawaku pergi menuju kantin kampus.
.
.
Aku menyetir mobilku dengan hati-hati. Setelah mengantar Ino pulang, aku segera bergegas kembali ke apartement. Aku takut dengan kegelapan malam hari. Itu bukanlah hal yang baik bagi seorang wanita sepertiku.
Aku memarkirkan mobilku ke dalam tempat parkir. Setelah selesai, aku beranjak dan pergi menuju lift untuk membawaku ke tempatku.
Suasana sudah tampak sepi. Tidak banyak orang yang berlalu di sini. Aku segera masuk ke dalam setelah pintu lift terbuka untukku.
.
.
"Uh, sayang. Jangan disitu, ah!"
Aku menutup telingaku dengan bantal ketika suara menjijikan itu terdengar hingga ke dalam kamarku. Aku melirik pada pintu kamar dan celahnya masih terbuka sedikit. Aku tidak menutupnya rapat.
Aku lompat dari kasur berukuran besarku dan menutup pintu serta menguncinya dari dalam. Sebelum aku menutup pintu, aku melihat Ibuku bersama pria yang lebih muda darinya sedang bercumbu panas di atas sofa ruang tamu. Ibuku berpikir aku sudah tidur, seperti biasa. Ia akan membawa pelanggannya kemari dan tidur bersama di kamarnya.
Terlalu sering aku melihat ini. Tak perlu aku membaca adult novel atau menonton film bergenre porn saat aku bisa melihat live actionnya kan? Lucu.
Aku menutup mataku. Berusaha menahan bulir-bulir air mata yang terasa menyakitkan ketika wajah Ayah yang tersenyum melintas di pikiranku. Ayah yang begitu menyayangiku, yang begitu mencintai Ibuku. Pahlawan di dalam hidupku.
Haruskah berakhir seperti ini?
All stories have an ending. Aku ingat kutipan itu saat mengerjakan tugas mingguanku dengan menonton film dari Negara dengan bendera berwarna merah dan dipenuhi bintang kecil yang memenuhi setiap sisi bendera.
Aku percaya dengan kata-kata itu. Setiap cerita selalu punya akhirnya. Dan beginilah akhir cerita Ayahku. Atau Ibuku?
Bagaimana denganku? Memikirkannya saja membuatku lelah, aku menutup mataku dan kembali tertidur nyenyak. Suara-suara mengganggu itu sudah tak terdengar lagi sampai pagi tiba.
.
.
Aku memejamkan mataku saat lift gedung membawaku ke tempat tujuanku. Pintu lift kembali terbuka dan aku masih enggan untuk tahu siapa yang masuk ke dalam lift bersamaku.
"Inikah wanita yang selalu melihatku setiap pagi?"
Aku membelalakkan mataku terkejut saat ada tubuh lain yang berdiri di belakangku. Aromanya begitu memabukkanku. Aku bisa menciumnya dan terasa kental menusuk hidungku. Aku menahan napasku saat bibir dinginnya merayap di belakang leherku.
"Apakah ini yang selalu kau inginkan, hm?"
Aku melenguh tanpa sadar. Terbuai karena sentuhan intimnya. Ia memutar tubuhku. Memandangku dengan tatapan gairahnya. Aku merasa terbakar. Tubuhku membutuhkannya.
Sesaat dan semuanya menjadi semakin kacau saat bibir kami saling menempel. Memangkas jarak di antara kami saat tubuhnya menarik tubuhku untuk semakin mendekat. Aku terlalu menikmatinya hingga tangan nakalnya merayap masuk ke dalam organ dalamku.
"Oh, sial." Aku membuka mataku dan mengerjap terkejut saat tak merasakan apapun selain merasa kosong karena aku masih di dalam lift seorang diri. Aku memukul kepalaku dengan kepalan tangan kananku. Merutuki diriku sendiri yang berpikiran kotor karena laki-laki itu.
Pintu lift berdenting menyadarkanku. Aku segera keluar dengan wajah kacau karena berusaha menahan rasa mualku terhadap diriku sendiri. Ini karena efek semalam. Aku melihat Ibuku yang bercinta panas dengan laki-laki brengsek di luar sana.
Aku berlari kecil menuju mobilku dan mulai menginjak pedal gas dengan kecepatan di atas 60 km/jam. Aku tak peduli. Pikiranku lebih kacau dari ini.
.
.
"Sakura? Kau baik-baik saja?"
Ino menggenggam tanganku setelah kami sampai di gedung Mangekyou Enterpises untuk tugas Ino. Wanita itu terlihat khawatir karena wajahku yang masih terlihat pucat dan juga … kacau. Tentu saja! Bagaimana bisa aku membayangkan hal kotor pada orang yang tak ku kenal?
Jatuh cinta itu sulit. Dan terkadang kutipan-kutipan yang sering ku lihat juga mengatakan hal yang sama.
Cinta datang kapan saja, dimana saja, dank au tak bisa menghindarinya.
Iya, aku merasakannya.
"Aku tak apa, Ino. Mari, biar aku menemanimu bertemu dengan CEO Perusahaan ini. Semoga dia bukanlah Kakek Tua dengan sekali kedipan mata kau akan langsung jatuh dengan pasrah."
"Apa maksudmu?" Ino bertanya dengan nada tak sukanya.
Aku menghela napas lelah. "Kau membuka kakimu hanya karena kedipan matanya yang menggoda. Dan setelah itu kau akan jadi kaya." Aku berkata dingin karena mengingat bagaimana kondisiku yang sebenarnya.
Ino hanya tertawa. Langkah kami terhenti setelah seorang wanita berbaju pendek di bawah lutut menghampiri kami. Wanita berambut sama dengan Ino tersenyum ramah. Ia menyuruh kami untuk duduk menunggu.
"Silakan, Nona Yamanaka dan Nona.. Hm, siapa nama Anda?" Wanita seksi itu bertanya padaku. Aku melirik nametag yang bertuliskan Keiko di sana.
"Aku Haruno Sakura." Kataku cepat.
"Ah, Nona Haruno. Silakan masuk. Tuan muda Uchiha menunggu Anda." Aku melangkah di belakang Ino mengikuti wanita itu. Pintu ruangan terbuka dan aku tak bisa mencegah mataku yang langsung memandang penuh seisi ruangan dengan takjub.
Sial. Ini benar-benar besar.
"Ah, Tuan Uchiha Sasuke."
Aku menoleh pada Ino yang sedang bersalaman dengan laki-laki muda—
Astaga!
Tubuhku terasa kaku ketika Ino menyuruhku untuk bersalaman dengan Tuan Uchiha yang sial, lelucon macam apalagi ini?
"Haruno Sakura." Aku berusaha setenang mungkin meskipun kakiku bergerak gelisah meminta untuk melarikan diri dari sini.
"Uchiha Sasuke." Ia menyeringai kecil sebelum aku membuang wajahku untuk menghindari tatapan mata kelamnya yang menghipnotisku.
"Sebaiknya aku tunggu di luar saja, Ino." Aku berbisik pada Ino dan ia mengangguk setuju setelah aku mendesaknya dengan sedikit paksaan.
Aku melangkah menjauhi dua orang berbeda gender itu. Menenangkan pikiranku yang kacau karena kejadian memalukan pagi tadi.
"Kenapa Nona Haruno tidak bergabung bersama kita di sini?"
Tuhan. Tolong aku.
Aku menoleh, memberikan senyum terbaikku pada lelaki yang menatap tajam padaku. Ia serasa membakarku dengan tatapan intens-nya itu.
"Hmm, aku akan menunggu di luar saja, Tuan," aku memutar mata untuk mencari alasan yang tepat. "Aku tidak akan mengganggu wawancara kalian." Lalu membuka pintu ruangan dan melarikan diri dari sana.
Jantungku berdegup kencang seperti sehabis memutari lapangan besar dengan dua kali putaran. Wajahku memerah dan aku sangat bersyukur karena tidak menunjukkannya di depan lelaki itu.
Uchiha Sasuke. Aku tahu namanya.
Aku duduk di kursi tunggu sendiri menunggu Ino selesai. Aku melirik pada wanita-wanita cantik yang terlihat sibuk berlalu-lalang sembari memegang dokumen di tangan mereka. Aku membuka ponselku. Panggilan tak terjawab dari Ibuku langsung menyambutku.
Aku kembali mematikan ponselku. Tidak peduli bagaimana Ibu akan memarahiku nanti. Aku akan bilang pergi bersama Ino dan tinggal beberapa hari lagi aku akan segera pindah dari sana.
Ino keluar dengan wajah sumringah. Oke, ia tertarik dengan Direktur muda yang jauh sekali dari bayanganku selama ini. Uchiha Sasuke hanya mengangguk kecil merespon kalimat ucapan terima kasih Ino yang begitu berlebihan menurutku.
Aku menghampiri Ino dan menariknya untuk segera cepat pergi dari sini. Dan hanya hitungan detik, pandangan Sasuke berpindah padaku. Ia tetap memandangiku dan setelah aku menjauhinya, pandangan it uterus mengikutiku. Seakan menusuk punggungku.
Itu bukan tatapan biasa. Itu tatapan gairah terpendam.
Aku menekan tombol lift dan memandang Uchiha Sasuke untuk terakhir kalinya. Ia memandangku, memberikanku seringai tipisnya yang amat menggoda dan pintu lift itu tertutup. Meninggalkanku dengan tubuh lemas dan wajah memerah.
Aku terjebak pesonanya.
.
.
"Sayang, ibu buatkan makan malam. Kenapa kau pulang larut?"
Ibuku langsung menghampiriku. Memelukku dengan erat seakan aku baru saja kembali setelah sekian lamanya. Aku memeluknya sekilas sampai ia merasakan dirinya kembali tenang.
"Aku akan langsung tidur. Selamat malam."
Aku masuk ke dalam kamarku. Kembali terdiam saat Ibu mengucapkan kalimat yang membuatku terlempar ke masa bahagia kami dulu.
"Ibu menyayangimu, Sakura."
.
.
Aku masuk kelas seperti biasa. Berjumpa dan bercanda kecil dengan Ino sebelum kami sama-sama pergi untuk kelas selanjutnya. Pikiranku masih tidak bisa jauh-jauh dari sosok Uchiha Sasuke. Ah! Aku tahu namanya.
Tapi tetap saja, ia bukanlah tipe lelaki yang akan melirik wanita sepertiku. Wanita yang tidak berpengalaman banyak hal. Uh, sudah berapa kali aku merendahkan diriku sendiri?
Terlalu larut dalam pikiranku aku tak sadar kalau anak-anak kelas sudah berhamburan keluar ruangan. Kelas selanjutnya kosong dan aku memilih untuk membaca ulang catatanku ketimbang melamun memikirkan hal yang tak jelas.
Aku mendongak, mendapati Sasuke sedang melangkah bersama Kepala Dosen di kampusku. Lelaki itu tampak tenang mengutarakan perkataannya. Aku berusaha untuk pergi menghindar tapi gagal. Lelaki itu kini menatapku.
Aku hanya bisa diam di tempat. Melangkah mundur rasanya mustahil. Akhirnya, dengan langkah dipaksakan aku melangkah melewati mereka. Terus begitu sampai tatapan itu mengikutiku di ujung belokan lorong.
Aku menghela napas. Menghindari sosok yang selama ini menghantuiku sangat sulit.
.
.
"Tapi, bukankah itu tugas mahasiswa lain?"
Dosen berambut coklat itu menggeleng tegas padaku. Jelas sekaliia tak ingin dibantah apapun lagi. Aku menarik napas kasar, mengapa harus aku?
"Pergilah, Sakura. Kau mau lulus 'kan? Berperilakulah yang baik." Senyum bengkoknya ditujukan padaku. Aku menghembuskan napas. Untuk tenang rasanya sangat sulit diraih. Aku memutar tubuhku, pergi meninggalkan dosen yang berubah menjadi dosen menyebalkan saat ini juga.
.
.
"Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?"
Suara wanita pirang itu menyapu telingaku. Aku mengangguk kecil, menyerahkan amplop yang diberikan Dosenku tadi pada wanita itu.
"Silakan masuk ke ruangan Direktur saja," ucapnya yakin.
Aku menggeleng kecil, masih mempertahankan zona amanku di sini. "Tidak, tidak, aku tidak punya janji apapun sebelumnya dengannya. Itu bukanlah ide yang bagus." Kataku tegas.
Wanita itu mengangguk sekilas pada wanita berambut ungu di sampingnya. Wanita itu segera pergi ke ruangan Sasuke, berselang tiga menit, ia keluar dengan anggukan kecil.
"Sekarang, Tuan Sasuke akan menemui Anda."
Aku ingin sekali berbalik pergi dan memacu mobilku dengan kecepatan tinggi pergi jauh dari sini. Apapun asalkan tidak kembali ke sini lagi.
Aku membuka pintu kayu ruangan Sasuke yang terlihat mewah di depanku. Menelan ludah gugup karena merasakan tubuhku yang kacau beberapa saat.
"Uh, sepertinya ada keperluan yang mendesak sampai membuat mahasiswi Sastra kemari untuk menemuiku."
Aku menatapnya. Menyembunyikan seluruh perasaanku di dalam mata beningku. Memandangnya seolah aku tak tahu siapa dirinya.
"Duduklah."
"Oh, tidak, terima kasih." Aku menolak penawarannya dengan sopan. Attitude ku akan dinilai di sini. Aku tak akan main-main.
Aku melangkah mendekati mejanya. Menyerahkan sebuah map dan amplop yang diberikan Dosen Yakumi padaku. Aku tak tahu apa isinya dan aku tak peduli.
Sasuke mengambilnya. Ia membukanya sebentar dan menutupnya. Matanya yang kelam berputar ke arahku. "Ada lagi?"
Aku menggeleng kecil. "Tidak, Tuan. Kalau tidak ada yang diperlukan lagi, aku undur diri." Huo, sikap sopanku masih melekat ketat di tubuhku.
Sasuke hanya diam di tempatnya. Kemudian ia berdiri memutari mejanya dan tepat berada di depanku. Jarak kami tak terlalu jauh dan aku bisa melihat jelas seringainya padaku.
"Kau."
Aku menarik napas gugup. "Apa?"
Sasuke memberikan senyum tipis sarat akan makna padaku. "Aku ingin kau."
Aku tertawa kecil menanggapi perkataannya. Sasuke kembali berwajah datar ketika mendengar tawa rendah dariku. Aku menatapnya penuh dengan ejekan di mataku. "Oh, Tuan," gumamku sembari tertawa kecil. "Kita berbeda jauh dan ku mohon untuk tidak melucu dengan lelucon tak masuk akalmu itu."
Sasuke menaikkan alisnya padaku. Ia masih diam tak menjawab.
"Itu apartementku."
Oh, sial.
"Aku tahu," ucapku yakin. Apa aku terlihat bodoh di matanya. Menyembunyikan kebohongan yang permanen di hatiku.
"Kau bukanlah pembohong yang baik." Katanya datar.
"Oh, memang. Dan untuk hal ini, berhentilah main-main Tuan Direktur. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu di sini. Selamat sore." Aku pergi meninggalkannya yang masih setia memandang punggungku yang menjauh darinya. Menutup pintu ruangannya dan segera pergi ke lift. Membawa tubuhku jauh dari areanya. Itu berbahaya.
Aku memutar tubuhku, menekan tombol angka di dalam lift dan tersentak kaget saat sosok Sasuke berada di depan lift dengan wajah datarnya. Tak berniat bergabung denganku di dalam sini.
Pintu lift tertutup. Aku menarik napas panjang. Bertemu Sasuke adalah ide yang buruk. Sangat berbahaya untuk kesehatanku.
.
.
Aku menunggu lift apartement yang biasa membawaku untuk menjalankan aktivitas. Hari ini aku akan kembali kerumah bersama Ino. Aku tahu, Ibuku melarangku dengan berbagai argumennya. Dan aku berusaha mempertahankan argumenku untuk tidak tinggal bersamanya sampai ia pindah dari apartement ini.
Aku terlalu keras kepala. Memang. Karakter kental Ayahku menurun padaku dan aku tidak bisa menghilangkannya.
Pintu lift terbuka, aku tersentak dan melangkah mundur tanpa sadar ketika melihat sosok Sasuke di lift hanya seorang diri. Ia memandangku, menungguku untuk masuk.
Aku masuk ke dalam lift. Masih dengan wajah tenangku. Beberapa kali aku melihat ia menghembuskan napas.
Pintu lift tertutup dan aku bisa melihat angka di dalam beranjak naik dan bukan turun. Aku berusaha menggapai angka itu sebelum tangan Sasuke mencegahku.
"Kau salah lantai, Tuan. Tapi aku benar-benar harus pergi kuliah," kataku masam. Sasuke tetap tak mau melepaskan tangannya dariku. Aku berusaha lepas dan sia-sia saja. Ia kini menurunkan tanganku dengan tangannya yang masih menggenggamku dan menarikku untuk mendekat padanya.
"Aku ingin kau," ucapnya di belakangku. Aku merasa oksigen akan pergi dariku sebentar lagi dan aku merasakan perasaan yang tak karuan mulai menyerang tubuhku saat ini juga.
Ia memelukku begitu erat. Genggaman tangannya mengerat seiring tubuhku yang berusaha memberontak minta dilepaskan.
"Wanita nakal yang selalu memandangku dari kamar setiap pagi."
Aku menegang mendengar perkataannya. Oh, Tuhan, jangan sekarang. Aku tak ingin mimpi kotor itu terjadi.
"Lantai lima dengan kamar bernama Haruno Mebuki. Aku tahu bagaimana jelas Ibumu."
Suaranya terdengar serak di telingaku. Aku masih terus berusaha untuk melepaskan diri. Aku menoleh dan tatapan yang membakar itu menyambutku sampai bibir tipi situ menempel di bibirku. Memotong jarak yang tersisa di antara kami berdua.
Aku takut. Tentu saja! Bagaimana kalau ada penghuni apartement ini menggunakan lift yang sama denganku saat ini? Ini akan bertambah kacau jika mereka lihat apa yang aku lakukan bersama dengan pemilik resmi apartement ini.
"Lepas." Aku masih memberontak dan ia sama sekali tidak berniat melepaskan bibirku. Bibirku menjadi tawanannya. Aku merasakan terdorong ke dinding dan melihat bagaimana tatapan berkabut yang besar di matanya.
"Aku ingin lebih dari ini," gumamnya parau dan ia menenggelamkan kepalanya di leherku. Aku menggapai tombol angka. Menekan angka satu dengan gerakan perlahan dan lift berpihak padaku.
Sasuke masih berusaha untuk menahanku. Ia sama sekali tidak melepaskanku. Hanya sekedar mengambil napas enggan dilakukannya.
Pintu lift berdenting. Aku melihat ia menyeringai kecil dan memberikan ciuman panas terakhir di bibirku sebelum aku melangkah keluar meninggalkannya.
"Kita akan bertemu lagi."
Aku mendengar gumaman rendahnya. Aku menoleh dan mata kelam itu masih menyimpan kabut nafsu yang besar.
Aku berlari menjauhi lift. Semoga setelah ini aku bisa melupakannya.
Semoga saja.
.
.
Ino sudah menungguku di rumah. Ia pasti memasakkan sesuatu yang sangat lezat untuk makan malam kami berdua. Aku tak sabar menantinya.
Aku pergi menuju parkiran mobil kampus. Mencari mobilku sampai dimana tubuhku ditarik seseorang dan aku di bawa masuk ke dalam mobil lalu pergi. Tanpa tahu siapa yang menculikku.
"Hei!"
Dua pria berjas itu masih diam. Mereka sama sekali tidak menoleh ke arahku. Bahkan mereka memasang alat penutup telinga di masing-masing telinga kiri mereka.
Aku memberontak, mencoba membuka pintu mobil dan tak peduli jika aku akan jatuh ke jalan raya.
Tubuhku menegang ketika mobil hitam ini membawaku masuk ke dalam gedung yang sangat tak asing lagi denganku.
"Apa-apaan ini?!"
Dua pria tadi menyuruhku untuk melangkah lebih dulu. Mereka berdua berjaga di belakang bagaikan bodyguard. Aku tidak melihat ada wanita yang selalu berjaga di sini. Ruangan ini tampak kosong secara sengaja.
Sampai salah satu pria di belakangku membuka pintu dan tubuhku sedikit terdorong ke depan. Aku hampir saja jatuh jika keseimbanganku tidak bagus seperti ini.
Dua pria itu segera menunduk kecil dan berlalu meninggalkanku sendiri. Aku menarik napas kesal, maju ke depan meja kerja Direktur bernama Uchiha Sasuke. Ia berdiri membelakangiku. Sikap arogannya terasa hanya dengan memandang punggungnya saja.
"Apa yang ingin kau lakukan?"
Sasuke memutar tubuhnya. Masih berdiri di tempatnya. "Kami butuh asisten pribadi. Ku pikir kau cocok untuk seleksinya."
Aku tertawa renyah. Menyadari kebodohannya. "Aku tak pernah berminat untuk menjadi asisten, apalagi asistenmu," mengesampingkan bagaimana perasaanku padanya. Mungkin setelah ini perasaanku akan hilang dengannya. "Aku akan keluar sebagai mahasiswi jurusan Sastra, dan tempatku tentu saja bukan di sini."
Sasuke terlihat tidak begitu menggubris perkataanku. Lelaki itu melangkah ke mejanya dan berdiri bersandar di sana.
"Bukan asisten seperti yang kau pikirkan."
Oh, apalagi ini?
"Lalu? Tuan, aku belum lulus dan tolong kau bisa cari wanita di luar sana yang sudah berpengalaman daripada aku."
Sasuke mendengus mendengar perkataanku. "Tak berminat."
Ia melangkah mendekatiku. Aku masih diam di tempat. Menantangnya. "Aku pemegang saham terbesar tempatmu bersekolah. Jangan bermain-main denganku."
Aku mendongak, memandang mata kelamnya. "Aku tak terkejut."
Ia mundur, duduk di kursi kebesarannya masih dengan tatapannya padaku. "Haruno Mebuki punya hutang yang besar pada mafia semenjak kematian suaminya," Sasuke mengangkat alisnya. "Apa aku salah?"
Aku hanya diam. Tidak berminat menjawab pertanyaan apapun darinya.
"Sayangnya, putrinya tidak mengetahui apapun," ia memberikan senyum miring mengejeknya padaku. "Salah satu mitra bisnisku adalah pelanggannya. Ia terlalu berbaik hati memberikan kamar apartementnya untuk Ibumu dan dirimu tinggal."
"Aku tak tinggal dengan Ibuku. Aku punya rumah sewa bersama sahabatku!" gertakku kesal. Dia sudah melewati batasnya.
"Uh, kau pikir pria itu akan bermurah hati begitu saja memberikan kamar apartement mewahnya pada Ibumu dan memberikan uang tunjangan sampai kau lulus kuliah?"
Aku diam. Merasa tertampar keras karena aku mengerti kemana arah pembicaraan ini.
"Ah, kau tahu," ia tersenyum meremehkan. Lagi. "Ia menginginkanmu, sayang."
Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat. Persetan! Aku terlalu muak dengan semua ini. Sasuke mengangkat bahunya, ia berdiri dan melangkah di depanku.
"Aku akan menawarkan bantuanku untuk melindungimu. Ah, aku juga akan melindungi Ibumu dari bahaya yang lebih besar lagi. Kita takkan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan." Aku memandangnya dalam. Hilang sudah pertahananku yang telah ku buat dengan benteng tinggi untuk melindungiku darinya.
"Apa?"
"Aku berpikir untuk tak menjadikanmu asisten. Kau benar, kami tidak membutuhkan asisten dengan lulusan Sastra. Itu lucu."
Oh, dia pintar.
"Lalu, apa?" tanyaku tak sabaran. Pikiranku mulai kacau.
"Kau harus menuruti apapun yang ku mau."
Aku mendecih kecil dan ia melihatnya.
"Jangan buat aku membencimu."
Sasuke tertawa kecil. Ia menggeleng kepalanya tegas. "Tidak berniat sejauh itu."
"Kau takkan pernah tersentuh oleh siapapun kecuali aku, dan Ibumu akan baik-baik saja. Kehidupan kalian akan tertanggung. Itu jika kau mengatakan, ya."
Aku mengerti bagaimana gilanya Ibuku yang takut akan kemiskinan. Tinggal di apartement Sasuke membuatnya terlihat muda karena rasa bahagia. Tentu saja, ia bisa memamerkan bagaimana mewahnya kehidupannya.
Aku yang dipertaruhkan. Antara perasaanku atau logikaku.
"Ya." Aku bisa merasakan napas pendekku. Aku berpikir aku akan mati saat ini juga.
"Uh, putri yang menyayangi Ibunya." Sasuke berkata dengan wajah senangnya. Ia mendekatiku, berusaha menciumku dan aku bisa menghindarinya.
"Apapun yang kau mau?"
"Apapun yang ku mau."
Bibirnya memaksaku untuk menyambutnya. Aku masih diam dengan perasaan kacauku. Ia menarik tubuhku mendekat ke arahnya. Masih dengan pagutan bibir di antara kami. Ciumannya begitu memabukkan dan membakar seluruh tubuhku. Bibirnya begitu handal menciumku. Keintiman yang terjadi di antara kami tak bisa terelakkan lagi.
Ia menciumku sekali lagi dan menjauhi bibirku. Matanya memandangi tubuhku dari atas sampai bawah. Melemparkan seringainya untukku.
"Sekarang, mari buka kemejamu dan kemarilah," Sasuke menarik tanganku dan ia memelukku. Tangan nakalnya membuka kancing-kancing kemejaku dengan perlahan. "Kita akan bercinta di meja kerjaku, sayang."
Kata-kata yang panas dan akalku telah hilang terbawa arus nafsu Sasuke yang besar padaku. Aku tak merasakan apapun selain perasaan menderita. Entah aku harus senang atau sedih.
Semoga setelah ini aku bisa membencinya dan bukan mencintainya lebih dalam lagi.
.
.
.
What goes up? Ghost around…
.
.
.
.
End?
.
.
.
Cuap-cuap Author:
Ada yang tau lagunya Beyonce judulnya Haunted? Remix untuk film Fifty Shades of Grey. Jadi yaa hanya inspirasi aja sih xD
Ini serius end loh. Hahahahaha /dibakar/
Saya gatau kenapa saya harus bikin cerita ini. Jadi inspirasi terbesar saya adalah waktu saya nginep di hotel beberapa hari lalu dan saya ketemu cowo di lift. Ya kira-kira umurnya dua puluh ke atas lah. He's so damn cucok(?) Yha pokoknya dia tipe-tipe badboy tapi bikin klepek-klepek. Dan semenjak itu saya sering ngeliat dia sampai saya check out dari hotel hihihihi /digetok
Tangan saya terbuka lebar untuk kritik, saran, review kalian! Terima kasih :D
Love
Delevingne Cara