Air, memang pendiam. Bahkan suaranya hanya ada ketika mengajakku makan, tidur atau apapun yang merupakan kalimat perintah.
Hingga ketika aku mengajak temanku yang memang hobi membaca teori penyakit mental hadir pada rumahku.
"Halilintar, kau tidak merasa janggal dengan adikmu?"
"Maksudmu?"
"Dia pendiam."
Aku berpikir sejenak. Kugelengkan kepalaku kemudian. Kurasa adikku normal saja.
"Dia memang seperti itu sejak awal."
Dia menggelengkan kepalanya berdecak.
"Sebagai kakak kamu tidak tahu, kalau dia menderita penyakit agliophobia?"
-oOo-
Feared
BoBoiBoy belongs to Animonsta Studios
HaliAir; sibling, not as brotherly love
.
.
.
Dedicated for challenge Mental Disorder
.
.
.
-oOo-
"Dia menderita Agliophobia."
Tubuhku kubaringkan pada sofa besar. Kepala kusandarkan, mengadah melihat langit-langit ruang tamu.
Aku tidak tahu ternyata adikku benar-benar mengidap penyakit mental.
Temanku; Fang, mendeskripsikan bagaimana penderita penyakit agliophobia. Katanya, seseorang pengidap penyakit tersebut memiliki ketakutan untuk bersosialisasi karena takut terluka.
"Dia cenderung akan diam untuk mengisyaratkan bahwa ia takkan juga bertutur jahat. Agliophobia itu penyakit mental dimana penderitanya ketakutan akan sesuatu yang dapat melukai fisik dan emosinya."
"Dia diam karena juga tidak mau dikatakan apapun? Begitu?"
Anggukan kecil dari Fang.
"Kau 'kan kakaknya, kenapa tidak mencoba mengajaknya berbicara dulu?"
"Haruskah?"
"Memang siapa lagi yang dapat mengajaknya bicara, selain kamu sendiri? Siapa tahu dia mau memberitahu apa alasan ia ketakutan."
Kamu tidak mengerti, Fang...
Kalau katamu penyakit mental itu diderita adikku, berarti penyebab ia mengidap juga...
Karena aku.
-oOo-
Kalau diingat-ingat mengapa aku mengatakan penyebabnya adalah aku, aku dahulu adalah sosok kakak yang cukup kejam juga suka berbicara blak-blakkan.
Aku mempunyai adik lainnya, yaitu Taufan, Gempa, dan Api. Hidup kami berantakan meski bersaudara satu darah. Aku, sebagai kakak pertama mereka; merasa dipojokkan oleh adik-adikku sendiri karena mereka tidak mau mendengarkan perintahku. Tidak jarang kadang aku beradu main tangan dengan beberapa dari mereka, padahal awalnya hanya saling perang mulut.
Aku sudah biasa dibenci.
Dan aku juga sudah biasa menjadi karakter antagonis.
Usia Air memang saat itu masih bocah untuk mengerti segala apa yang terjadi pada konflik keluarga kami. Tapi aku tertawa, karena aku juga tidak tahu bagaimana asal mula perperangan antar saudara kandung ini terjadi.
Mereka tidak tahan dengan kekuasaanku, yang selalu menegur mereka ketika mereka berbuat suatu kesalahan dalam satu atap. Gempa dari usia awal remaja, sudah sering bermain keluar rumah mengunjungi tetangga. Taufan juga, dan kadang ia bisa membawa lawan jenisnya masuk rumah dengan wajah gonta-ganti tiap harina. Api sering menyinggahi rental playstation untuk berkumpul bersama gengnya.
Ketika salah satu dari adikku pulang, konflik selalu ada dan selalu ada aku terlibat.
Yang membuatku berpikir Air memiliki penyakit mental, karena kemungkinan ia trauma.
Trauma dengan perselisihan keluarga kami yang sampai sekarang tidak kunjung harmonis.
-oOo-
Aku membeli nasi lemak pada luar rumah. Satu bungkus kutarh pada atas piring yang telah kuambil, satunya lagi masih kubiarkan dalam kantong plastik. Bungkus kubuka, dan aroma bumbunya b=menyeruak. Membuat hidungku gatal dan lidahku mengecap.
"Air! Kakak sudah belikan makanan!"
Suara derap langkah terdengar dari tangga penghubung lantai dasar dan dua. Tidak berapa lama, kudapati sosok laki-laki dengan iris biru laut muncul dari ambang pintu masuk ke dapur. Ia menghampiri meja makan dimana aku duduk.
"Ambil piringnya sendiri."
Ia mengangguk. Langkahnya menuju rak piring dan mengambil satu piring plastik disana.
Kadang aku suka jengkel dengan kebiasaan adikku yang hobi menyendiri bersama laptopnya jika tidak ada keperluan kerja, makan, atau belanja. Hidupnya enak banget. Makanan selalu aku yang membelikan. Kadang pakaian juga aku membelikan. Syukur rumah ini adalah peninggalan dari almarhum ibu. Aku tidak tahu kalau sudah tertekan ala ibu-ibu rumah tangga jika masih hidup dalam rumah kontrakan.
Air duduk di sebelahku dan membuka bungkus nasinya juga. Tujuh menit berlalu tanpa suara.
"Air, kamu bisa tidak... untuk sekali-kali bicara?"
Ia masih melanjutkan suapan sendoknya. Kepalaku terasa sesak menahan kesal.
"Temanku bilang kamu itu perlu sering bicara. Berbaur jika takut bicara."
Air meletakkan sendoknya. Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan keluar dari dapur.
Aku menghela napas kecil.
Bagaimana cara untuk bisa bicara baik-baik, bahkan kepada adikku sendiri?
-Tbc-
