Warning: Fanfic ini mengambil tema Boys Love atau Shonen-ai, MPREG, pair utamanya si cahaya dan bayangan, ini drama banget karena genrenya juga drama, future AU, OC bertebaran, maybe OOC, trying to realistic settings.

.

KRIIINNGG

KRIIIINNNGGG

Suara telepon yang nyaring dari ruang tamu sukses membangunkan dua manusia yang tengah terlelap di kamar tidur. Salah satu dari mereka menyuruh yang satunya mengangkat telepon. Sementara yang disuruh, berjalan ke ruang tamu sambil bertanya-tanya, ada perlu apa menelpon tengah malam begini?

Ruang tamu mereka begitu gelap, namun lubang-lubang ventilasi membiarkan lampu depan apartemen mereka menyelinap masuk dan memberi cahaya remang di ruangan itu. Tanpa menyalakan lampu, kita bisa melihat orang yang sedang meraih gagang telepon adalah seorang pemuda bertubuh mungil dan berambut biru lembut.

Pemuda itu segera menempelkan telepon ke telinganya setelah berhasil meraih gagangnya. "Disini kediaman Kagami," ucapnya sopan.

"TETSUYA!? APA ITU KAU!?" tanya seseorang di seberang dengan panik.

Yang dipanggil Tetsuya segera mengenali suara wanita yang sedang menelponnya. "Ya, ada apa, Kaa-san?" tanyanya.

"Tou-san tiba-tiba ambruk dan sekarang masuk ICU!"

Tenggorokan Tetsuya tercekat. Ia tak tahu harus menjawab apa, dan bagaimana. Ini seperti pukulan hebat di kepalanya. Ayolah, dia bahkan masih setengah sadar dan langsung diterjang dengan kabar seperti ini.

"Tetsuya, tolong berikan teleponnya pada Taiga," pinta orang yang menelponnya―ibu dari suaminya―kini dengan nada yang sudah agak tenang.

"Baik, Kaa-san tunggu sebentar."

Pemuda bersurai baby blue itu segera kembali ke kamarnya. Dilihatnya seseorang yang masih terlelap nyenyak diatas ranjang mereka, dengan dengkuran halus dan nafasnya yang teratur. Tetsuya segera membangunkan orang itu―suaminya―dengan pelan. Ia mengguncang-guncangkan dadanya atau menepuk-nepuk pipinya.

"Taiga-kun, Taiga-kun, ayo bangun. Tou-san masuk rumah sakit!"

Dan sang empunya segera terduduk diatas kasur. Sama seperti yang tadi dialami Tetsuya, Taiga pun merasa seperti dipukul keras begitu saja. "Apa―segera ganti bajumu, Tetsuya. Kita segera berangkat kesana."

"Tapi telepon Kaa-san?"

"Bilang dulu padanya kalau kita segera kesana saja. Aku akan ganti baju duluan."

"Baik."

.

.

.

HOW?

Kuroko no Basket fanfiction by kepitingbesi

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

Main Pair: Kagami Taiga x Kuroko Tetsuya

Rate: PG-14 or older

Genre: Family, Drama & Sci-fi

Don't like? Don't read! ENJOY…!

.

.

.

Chapter 1

Kagami Taiga dan Kagami Tetsuya sampai di depan ruang ICU dengan nafas yang terengah-engah. Butuh beberapa jam dari Tokyo untuk sampai ke Osaka jika dengan bermobil. Mereka segera berlari sekuat mungkin dari tempat parkir agar cepat sampai ke tempat sang ayah. Hati mereka benar-benar kalut, takut terjadi hal yang buruk.

Kagami Tetsuya atau nama sebelumnya adalah Kuroko Tetsuya―mari kita tetap memanggilnya dengan nama sebelumnya, agar lebih familiar―segera mengatur nafasnya dan menghampiri ibu suaminya yang tengah terduduk lemas di salah satu kursi ruang tunggu di depan ICU, disusul suaminya yang juga melakukan hal yang sama.

"Kaa-san, bagaimana kejadiannya?" tanya Kuroko, ingin tahu.

"Itu terjadi cepat sekali. Saat aku terbangun hendak mencari minuman di kulkas, aku menemukannya tak sadarkan diri di depan dapur." Wanita paruh baya itu menutupi wajah dengan kedua tangannya. Ia pasti pergi dengan buru-buru ke rumah sakit ini, terlihat karena ia masih mengenakan gaun tidur di dalam jaketnya.

"Apa dokter sudah memberi kabar?" kini giliran Kagami yang angkat bicara.

"Belum, mereka masih memeriksanya dan memberikan pertolongan pertama."

Dan disaat yang bersamaan, pintu ruang ICU terbuka. Menampilkan sesosok pria berusia 60-an dengan kacamata berbingkai emas dan jas dokernya putih bersih. Ibu Kagami segera menghampirinya dan menghujaninya dengan sejuta pertanyaan.

Ia berdehem pelan sebelum bicara. "Maaf, aku ingin kita bicara di ruanganku saja," ucap dokter itu.

.

.

Kagami dan Kuroko tidak diperkenankan ikut dengan dokter tadi, karena dokter itu bilang ia tidak suka membicarakan kondisi pasiennya pada banyak orang sekaligus. Biarlah nanti ibu Kagami yang menjelaskannya pada mereka.

Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak mereka ditinggalkan berdua di ruang tunggu yang sangat sepi itu. Hanya ada perawat jaga malam yang sesekali lewat. Kuroko tahu Kagami sedang sangat mengantuk, karena hari ini ia pulang agak larut, dan harus menyelesaikan sedikit lagi pekerjaannya sebelum tidur tadi. Pria berambut merah kehitaman itu berkali-kali hampir ketiduran, tapi segera bangun kembali.

Kuroko berdiri dari tempatnya dan menghampiri mesin minuman di salah satu sudut ruangan.

"Tetsuya, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Kagami basa-basi, mungkin bicara bisa mengusir kantuknya.

"Aku membelikanmu kopi, Taiga-kun." Setelah memberikan kopi yang dibelinya, Kuroko kembali duduk di samping Kagami dan sedikit memijat-mijat bahu suaminya.

"Terima kasih, Tetsuya." Satu kecupan penuh cinta diberikan Kagami pada pasangan hidupnya. "Aku sangat penasaran apa yang terjadi dengan Tou-san," gumamnya.

"Apapun itu, semoga bukan sesuatu yang buruk. Semoga ia cepat sembuh…" walau nada suara datar, tapi tentu saja Kagami tau bahwa Kuroko pun sangat mengkhawatirkan ayahnya, ayah mereka.

Dua detik kemudian, ibu Kagami datang bersama dokter tadi. Tapi, sang dokter segera meminta izin undur diri, dan pergi ke arah lorong yang lain.

"Tou-san terkena stroke," ucap ibu Kagami singkat. Jelas sekali perasaan kalut di air wajahnya.

"Tapi… Tou-san kan tidak pernah hipertensi?" tanya Kuroko heran.

"Dokter tadi bilang, beruntung ini hanya TIA atau stroke ringan. Ini bisa terjadi pada siapa saja." Kini, ibu Kagami membuat isyarat dan mengajak pasangan itu ikut bersamanya, memasuki ruangan dimana ayah Kagami terbaring lemah.

Begitu pintu terbuka, mata mereka menangkapnya. Seorang pria paruh baya dengan banyak alat medis terpasang di tubuhnya, terbaring tak berdaya. Tangisan sang istri pecah dan langsung menghambur memeluk suaminya yang mulai sadar itu erat-erat.

"Meiko…?" ucap ayah Kagami lirih. "Taiga… Tetsuya…?"

"Ya, Tou-san… kami disini," ucap Kurok lembut.

Ayah Kagami terdiam sejenak, menenangkan istrinya sambil mengelus kepalanya. Setelah ibu Kagami tak lagi menangis, ia kembali angkat bicara. "Aku merasa kalau… hidupku tak akan lama lagi," ucapnya dengan nada bercanda. Namun, semua yang ada disana tahu, bahwa ia tidak sedang bercanda.

"Tou-san, kau tak boleh bicara seperti itu!" omel Kagami.

"Ya, tak apa-apa… lagipula, hidupku sudah hampir lengkap kok…"

Kagami dan Kuroko tertegun, sedikit kilasan-kilasan masa lalu menghampiri pikiran mereka masing-masing. Saat dulu bagaimana mereka melewati berbagai cobaan untuk bisa menikah. Karena pernikahan mereka mendapat tentangan dari banyak pihak. Dengan berbagai alasan tentunya.

Mereka pikir, sampai saat ini mereka telah melakukan dosa yang besar dan mengecewakan orang tua Kagami. Sebuah ledakan kebahagiaan tengah Kuroko rasakan di hatinya saat ini. Apa akhirnya ayah Kagami benar-benar tulus merestui mereka?

"Memangnya apa yang belum lengkap?" ibu Kagami bertanya lirih. Dalam hatinya, ia sangat tak ingin mengikuti alur pembicaraan ini, seperti dirinya sudah rela ditinggal saja. Namun, ia juga tak bisa bohong pada dirinya sendiri. Ia pun penasaran juga apa yang ingin suaminya katakan.

"Cucu…"

"Eh?"

"Ya… aku ingin melihat seperti apa rupanya kalau seandainya aku punya cucu…"

Ya, banyak pihak yang menentang pernikahan Kagami dan Kuroko. Alasannya, karena mereka masih terlalu muda―waktu itu delapan belas tahun―dan alasan utama keluarga Kagami sangat menentangnya, karena mereka sama-sama laki-laki.

Kuroko sudah kehilangan ayahnya karena kecelakaan saat ia duduk di kelas dua SMA. Sejak itu, ibu dan neneknya pindah dan tinggal di Hokkaido. Kedua wanita itu memang tak banyak menuntut, asalkan Kuroko bahagia, maka mereka merestuinya.

Sebelumnya, Kagami sudah dijodohkan dengan seorang wanita pilihan ayahnya yang tak ia kenal. Karena itulah, begitu mengetahui kabar itu, dia yang sudah berangkat ke Amerika untuk kuliah segera kembali ke Jepang dan melamar kekasihnya―Kuroko. Mencegah pernikahannya sendiri dengan wanita itu, membangkang dari perintah ayahnya dan bersusah payah memohon restunya. Bagi Kagami maupun Kuroko, itu merupakan masa-masa sulit, namun mereka bisa kuat karena bersama, serta berkat dukungan teman-temannya.

Saat itu, setelah melihat kegigihan anaknya sendiri serius ingin menikahi kekasihnya―walau laki-laki―hati seorang ayah tak bisa selamanya sekeras batu. Ayah Kagami akhirnya mengizinkan mereka menikah di Amerika. Tapi sekarang, hal yang selalu mengganggu Kuroko benar-benar menjadi kenyataan. Mimpi buruknya.

"Tapi―ah, Tou-san tenang saja. Kami memang sudah berencana untuk mengadopsi anak," kilah Kagami, sukses memecah kecanggungan di ruangan itu.

"Dia tidak akan menjadi cucuku, hanya anak kalian. Aku ingin melihat cucuku yang mewarisi darah Kagami dalam tubuhnya." Ia pun tak tahu kenapa. Biasanya ia selalu bicara hati-hati jika ada menantunya itu di dekatnya. Ia sudah pernah bilang pada anaknya bahwa ia ingin segera punya cucu. Ini bukan pertama kalinya ia mengatakan itu. Namun, mungkin ini pertama kalinya menantunya yang berambut baby blue itu mendengarnya. Sungguh, untuk kali ini saja ia tak ingin menahan diri dari mengatakan hal itu.

"Su-Sumimasen, aku permisi dulu," ucap Kuroko tiba-tiba. Ia berdiri perlahan, kepalanya terus tertunduk.

"Kau mau kemana?" tanya Kagami.

"Toilet."

.

.

Kagami hendak mengejar 'istri'-nya sebelum sebuah tangan halus mencegahnya. Ibu dan ayahnya menatapnya dengan tatapan memohon, memintanya tetap di ruangan.

Perasaan tak enak langsung memenuhi dadanya saat ia kembali duduk di kursinya. "Ada apa?" tanya Kagami.

"Ceraikan dia," ucap ibunya singkat.

"APA!? TIDAK AKAN!"

"Ayolah, nak… demi kebaikanmu juga," ibunya berkata sangat lembut. Wanita yang baru dinikahi ayahnya delapan tahun belakangan itu tak pernah bicara selembut ini padanya. "Apa kau mau selamanya hanya berdua terus?"

"Aku tak bisa terima! Aku tak akan menceraikan Tetsuya!"

Seketika, air wajah ibunya mengeras. "Kalau begitu, cari wanita lain dan nikahi dia, tanpa menceraikan Tetsuya!"

Kagami mengepal tangannya, penuh kemarahan. "Aku tak bisa! Aku hanya mencintainya! Tak bisakah Kaa-san mengerti?" Ibunya saat ini bukanlah ibu kandungnya. Wanita itu awalnya adalah rekan kerja ayahnya yang kesepian. Mereka berdua sama-sama kesepian dan jatuh cinta, lalu akhirnya menikah, dan Kagami mendapat ibu baru. Seandainya wanita ini adalah ibu kandungnya, tentu ibunya akan lebih mengerti perasaannya.

"Aku… tidak memintamu berpisah dengan menantuku…" Tiba-tiba suara ayah Kagami ikut mengiterupsi. "Aku tau Tetsuya orang yang baik untukmu…"

"Tou-san…"

"Sayang, tapi kalau seperti ini, kita tak akan pernah mendapat cucu…"

Ayah kagami menghela nafas berat, menghasilkan embun yang banyak di dalam kaca alat bantu nafasnya. "Sebenarnya, aku pernah dengar ini saat masih di Amerika dulu…"

.

.

Kuroko tak bisa lagi menahan sesak di dadanya. Tubuhnya tak mau berhenti gemetar dan matanya terasa panas. Sedetik berikutnya, bulir-bulir asin itu benar-benar jatuh bebas mengaliri pipinya.

"Maaf… maafkan aku…" ia terisak, menangis tersedu-sedu.

Biasanya, ia bukanlah orang yang cengeng. Namun kali ini, hatinya terasa dicincang-cincang, ingin rasanya ia bersembunyi, menjauh dari suaminya dan keluarganya dahulu untuk sementara waktu. Ia bahkan sudah memikirkan beberapa cara, namun tentu saja itu hanya berjalan di pikirannya sendiri.

Ia sangat malu. Dirinya tahu betul alasan orang tua Kagami dulu tak mau merestuinya. Karena laki-laki, mau berapa ribu kalipun ia bercinta dengan Kagami, berdoa setiap hari agar berhasil mendapatkan anak, laki-laki tak akan bisa hamil.

Suara isakannya makin tak bisa ditahan. Ia memutuskan untuk pergi dari depan wastafel, dan masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi. Bersembunyi.

Disana ia berpikir keras bagaimana caranya agar bisa memberi mertuanya cucu. Apa dia harus menyuruh Kagami menikah lagi dengan wanita lain? Ya, mungkin itu yang terbaik. Mulai sekarang, Kagami Tetsuya harus menyiapkan hatinya. Harus bertambah kuat lagi dan lagi.

"Demi Tou-san, Kaa-san dan Taiga-kun juga…" bisiknya pada diri sendiri mencoba memberi semangat.

BRAAKK

"TETSUYA!?"

Suara yang sangat dikenalnya tiba-tiba menggema di seluruh toilet mewah dan luas itu. Ini masih terlalu pagi untuk melihat toilet yang dipenuhi orang-orang. Di tempat itu, saat ini hanya ada Kuroko saja.

Kagami melihat satu bilik yang terkunci dan mengetuknya agak kasar. "Kuroko!? Keluarlah, ini aku!"

"Tidak, tidak sekarang, Taiga-kun…" Kuroko masih terisak.

"Kenapa!?"

"Aku… aku…" berusaha menghapus air matanya.

"Kau kenapa?"

"Aku sedang buang air besar!" Kuroko segera menutup mulutnya sendiri. Ia tak tahu kenapa malah mengatakan hal konyol seperti itu. Yang jelas, ia hanya sedang duduk diatas closet sekarang.

"Ka-Kalau begitu, kutunggu!" ucapan Kagami mulai canggung.

"Tak usah, kau temani Tou-san saja, sepertinya bakal lama," dan Kuroko makin heran kenapa ia malah melanjutkan kalimatnya.

"Tidak akan. Lagipula, aku tahu kau bohong."

Suara air yang disiram ke dalam closet ikut menggema di ruangan itu. Sebagai kamuflase. Satu-satunya bilik yang terkunci mulai membuka perlahan, menampilkan Kuroko yang berwajah sembab dan jaket abu-abunya agak basah di bagian kerah.

"Lihat kan? Aku memang sedang menyelesaikan 'urusan'ku." Jelas sekali senyum si manik aquamarine itu dipaksakan. Ia berjalan melewati suaminya dan mencuci tangannya di westafel.

"Kau habis menangis?"

"Tidak kok."

"Jangan bohong."

"…"

"Benarkan, kau habis menangis?"

Kagami berusaha melihat wajah 'istri'-nya di cermin, karena pemuda itu membelakanginya. Namun, sia-sia karena Kuroko terus menunduk.

Pemuda bertubuh mungil itu mengangguk lemah. "Kita sudah menikah selama empat tahun… seandainya dulu kau benar-benar menikah dengan wanita pilihan ayahmu, mungkin sekarang kalian sudah punya dua anak kecil yang lucu-lucu," ucapnya sambil tersenyum pahit.

Sekarang, giliran Kagami yang merasa hatinya sakit. "Kau tak boleh bicara seperti itu, Tetsuya…"

"…"

"Ayo kembali. Tou-san dan Kaa-san sedang menunggu kita."

Di lorong rumah sakit yang sepi dan berbau obat, jantung mereka tiba-tiba berpacu. Dalam perjalanan tak sampai seratus meter itu, entah kenapa seperti berjalan seratus kilometer. Kagami tak tahu apa yang akan ayahnya katakan. Tapi perasaannya telah mendahulinya. Sementara Kuroko juga tak bisa melepaskan genggaman tangannya. Semakin erat saja. Apa dia juga merasakan kegelisahan suaminya?

.

.

To be continue

.

.

a/n:

Halo minasan!

Apalah ini ending chapternya tidak elit sekaliii :v

Akhirnya publish fic baru setelah 2 tahun… jadi, maaf kalo penulisannya jelek.

Saya lihat di fandom ini, fanfic KagaKuro mpreg masih sedikit banget. Jadi, saya nyoba menuangkan tema mpreg di pikiran saya untuk ultimate OTP saya ini. Hahaha

Kedepannya, ada sci-fi yang nyelip sana-sini. Doakan aja semoga bisa update kilat :D

Silahkan tulis apapun di kotak review, mau kasih saran & masukan, mau kenalan sesama kagakuro shipper atau mau maksa saya update juga silahkan!

-playlist: Chopin Ballade no. 4, Lily WAVE

8 pages, August 16 2015 at 19.03 PM