Disclaimer

Naruto © Masashi Kishimoto

Naruto gaiden

.

.

.

GUIDING LIGHT

Colaboration Fanfiction

Ide cerita : Mahmudh Khem

Penulis : Hikari Syarahmia

Pairing : Naruto x Hanabi

Genre : Family/hurt/comfort

Rating : T

Jumat, 14 Agustus 2015

.

.

.

Summary:

Cahaya penuntun atau Guiding Light itu telah tiada sekarang. Hinata, sang matahari yang berada di dalam hati Naruto sudah mati. Hinata menjadi cahaya yang telah sirna di dalam hati suaminya dan meninggalkan dua anaknya untuk selamanya. Akankah Naruto dapat menemukan pengganti cahaya penuntun di hatinya itu?

.

.

.

Soundtrack this story

Voyage by Ayumi Hamasaki

Maksud dari soundtrack ini adalah sebagai pengiring cerita ini saat saya menulis dan membaca ulang cerita ini. Karena dengan lagu ini, saya berusaha untuk mengungkapkan dan memahami cerita ini agar lebih terasa hurt/comfort-nya. Mungkin saya rasa dari maksud lagu tersebut mungkin tidak berkaitan erat dengan cerita ini.

Oke, selamat membaca ya! ^^

.

.

.

GUIDING LIGHT

Chapter 1. Ayah, aku rindu ibu

.

.

.

Di bawah langit biru yang sangat cerah, burung-burung beterbangan secara berkelompok. Mereka akan pergi entah kemana dengan tujuan yang sama. Ke arah yang sama. Tidak pernah terpisah dan saling mempererat hubungan baik di antara satu sama lainnya. Mereka akan mencapai tempat yang sama dengan penuh perjuangan.

Tapi, ada satu dari antara mereka memutuskan untuk memisahkan diri. Lalu dia pun terbang menuju ke suatu tempat yang ada di desa Konoha. Kemudian ia mendarat di salah satu atap sebuah kantor yang bernama kantor Hokage.

Tampak di jendela bening bagaikan es, seorang pria berambut pirang pendek sedang duduk membelakangi jendela. Matanya biru seindah langit yang cerah. Ia mengenakan jubah jingga dengan atasan yang sewarna dengan jubahnya. Bawahannya celana hitam dan sepatu ninja hitam membungkus kakinya. Umurnya 26 tahun. Namanya adalah Uzumaki Naruto. Dia adalah Nanadaime atau Hokage ketujuh yang memimpin desa Konoha itu.

Beberapa tumpukan berkas penting menjulang tinggi hampir memenuhi meja kerjanya. Membuat Naruto sangat frustasi saat mengerjakannya. Banyak yang harus dia kerjakan. Terlebih ditambah dengan berita mendadak dari seseorang yang tergesa-gesa menemuinya.

TOK! TOK! TOK!

Pintu diketuk oleh seseorang. Naruto menyadarinya.

"Ya, masuk!"

BRAAAK!

Pintu terbuka dengan keras. Seseorang itu langsung masuk dengan wajah yang sangat panik.

"LAPOR, TUAN HOKAGE!"

Naruto menatap orang itu dengan datar.

"Ya, ada apa? Ada kabar buruk lagi tentang Bolt?" tanya Naruto sembari menebak.

Orang itu mengangguk cepat.

"Ya, kabar buruk, tuan Hokage. Bolt membuat kekacauan lagi di desa. Kali ini ia mencoret-coret dinding rumah para warga dengan cat air. Semua warga menjadi kesal karena ulahnya itu."

Naruto menepuk jidatnya. Lalu ia menghelakan napasnya. Ia semakin stres menghadapi masalah yang satu ini.

"Dasar anak itu. Dia selalu membuat masalah," muncul sudut perempatan di kepala Naruto."Akan aku atasi masalah ini secepatnya. Aku yang akan pergi sendiri untuk menghentikannya."

"Baik, tuan Hokage. Kalau begitu, saya permisi dulu," orang itu memberi hormat.

"Ya, silakan!" Naruto mengangguk.

Orang itu pun keluar dari ruang Hokage.

Naruto bangkit dari kursinya. Secara langsung ia membentuk sebuah segel tangan.

POF!

Saat itu juga, Naruto menghilang dari tempat itu dan meninggalkan begitu saja pekerjaannya yang masih sangat banyak.

.

.

.

Di salah satu sudut desa, tepatnya di sebuah rumah warga. Seorang anak laki-laki berusia enam tahun sedang mencoret-coret dinding rumah warga dengan cat air secara diam-diam. Ia tertawa cekikikan saat melakukannya.

"Dengan begini, Ayah akan datang sebentar lagi," harapnya.

Suasana di tempat itu sungguh sepi. Hanya ada bocah laki-laki yang berambut pirang itu.

POF!

Tiba-tiba, muncul seseorang yang datang dan menegurnya dengan keras.

"BOLT!"

Anak laki-laki berambut pirang seperti duri dan bermata biru. Nama lengkapnya adalah Uzumaki Boruto atau biasa dipanggil Bolt. Anak pertama Naruto yang dikenal selalu berbuat onar dan sangat hiperaktif.

Bolt menoleh ke arah orang yang memanggilnya tadi. Dia tahu siapa itu.

Rupanya Naruto. Ia menghampiri sang anak dengan muka yang sewot.

"APA YANG KAMU LAKUKAN, HAH?" bentak Naruto keras.

Bolt tertawa cengengesan.

"Tentu saja mencoret rumah warga, Ayah. Keren, kan?"

Dengan bangga, Bolt memperlihatkan hasil karya seninya yang menakjubkan. Sebuah gambar aneh yang sesuai dengan pola pikirnya yang masih berumur 6 tahun.

Naruto menjadi sewot melihat hasil karya Bolt yang membuat rusak lingkungan sekitar. Seketika urat perempatan muncul lagi di kepala Naruto.

BUUUK!

Kepala Bolt dijitak keras oleh sang Ayah. Bolt meringis kesakitan.

"Aduh, sakit tuh, Yah!"

"DASAR, ANAK PAYAH! AYO, CEPAT BERSIHKAN SEMUA DINDING WARGA YANG KAMU CORET ITU SEKARANG!"

Bolt cemberut. Ia mengerucutkan mulutnya sambil memegang kepalanya yang benjol.

"Tidak mau."

"AYO, CEPAT AYAH BILANG! KAMU ITU BANDEL SEKALI, BOLT!"

"Biarin. Aku tetap tidak mau."

SYAAAAT!

Bolt pun melesat kabur. Ia melompat ke arah sudut rumah warga.

Naruto terperanjat. Segera saja, ia mengejar anaknya itu.

"BOLT, JANGAN KABUR KAMU! AYAH AKAN MEMBERIMU PELAJARAN!" teriak Naruto yang sangat kesal. Suaranya menggema hampir memenuhi langit desa.

Terjadilah aksi kejar-kejaran antara anak dan ayah. Mereka saling melompat di antara rumah warga ke rumah warga yang lain. Bolt malah senang karena dirinya dikejar oleh Ayahnya.

"Coba tangkap aku kalau bisa. Ayah pasti tidak akan berhasil menangkapku!" tantang Bolt sembari terus melompat.

Membuat Naruto kesal setengah mati mendengarnya.

"BOLT, AWAAAS YA KAMU!"

"HAHAHA!" Bolt tertawa cengengesan. Ia hendak melompat terjun ke bawah.

SYUUUT! GYUUUT!

Kerah baju Bolt berhasil ditarik oleh Naruto. Bolt tidak jadi melompat ke bawah.

"Hahaha, akhirnya tertangkap juga kamu, anak nakal!" Naruto tertawa menyeringai.

Bolt pun memberontak untuk melepaskan dirinya.

"LEPASKAN AKU, AYAH!"

"Tidak akan Ayah lepaskan," Naruto berwajah sewot."Kamu harus bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan sekarang."

"TIDAK MAU!"

CTAAAK!

Sekali lagi, kepala Bolt dijitak keras oleh Naruto.

"DASAR, ANAK YANG KERAS KEPALA! AYAH AKAN MEMAKSAMU UNTUK MEMBERSIHKAN SEMUA DINDING WARGA YANG KAMU CORET ITU. ORANG-ORANG SUDAH PROTES SAMA AYAH, TAHU. KAMU MEMANG SUDAH MEMBUAT AYAH REPOT!"

"BIARIN. ITU BAGUS, KAN?"

"APANYA YANG BAGUS, HAH?"

Naruto menjewer telinga sang anak. Membuat Bolt kesakitan lagi.

"SAKIT TUH, YAH! AMPUUUN!"

"INI HUKUMAN BUATMU, ANAK NAKAL!"

"AMPUN. MAAFKAN AKU, AYAH!"

"TIDAK AKAN AYAH MAAFKAN!"

"AYAH! MAAF! AKU BENAR-BENAR MINTA MAAF!"

Naruto melepaskan jewerannya dari telinga Bolt. Bolt memegang telinganya yang sakit akibat dijewer kuat oleh Naruto.

Bolt mendelik ke arah Naruto.

"Ayah jahat karena nggak mau memaafkan aku. Ayah jahat. Ayah malah menjewer telingaku. Aku membenci Ayah, huh!"

Bolt manyun sambil melipat tangan. Ia membuang mukanya dari hadapan Ayahnya.

Naruto terdiam saat memperhatikan anaknya. Ia tersenyum simpul. Lalu ia memegang puncak rambut anak laki-lakinya itu.

"Begini saja, Ayah akan memaafkanmu jika kamu mau membersihkan semua coretan dinding itu, gimana?" bujuk Naruto lembut agar Bolt tidak manyun lagi."Setelah itu, Ayah janji sore ini Ayah akan membawamu dan Himawari berziarah ke makam ibu."

Mendengar hal itu, Bolt menoleh ke arah Naruto.

"Benar? Apa benar Ayah akan memaafkan aku jika aku membersihkan semua coretan dinding itu? Lalu apa benar Ayah janji akan membawaku dan Himawari ke makam ibu sore ini?"

Naruto berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Bolt. Ia tersenyum.

"Iya, Ayah memaafkanmu dan Ayah berjanji. Ayah tidak akan mengingkarinya."

Naruto mengacungkan kelingkingnya ke depan wajah Bolt. Bolt terpana. Sedetik kemudian, ia tersenyum.

"Ya, aku mau menurutinya, Ayah."

Segera saja, Bolt mengaitkan kelingkingnya pada kelingking sang Ayah. Bolt dan Naruto tersenyum bersama.

"Bagus, Bolt. Kamu memang anak Ayah yang baik."

"Tentu saja. Lalu aku sayang sama Ayah."

GREP!

Bolt memeluk erat leher Naruto. Naruto terpaku di tempat.

'Bolt, anakku ...'

Naruto membalas pelukan Bolt. Dia tersenyum simpul.

"Ya, Ayah juga sayang padamu."

Bolt tersenyum di balik leher Ayahnya. Seketika ia berwajah suram.

"Aku sangat rindu sama Ibu, Yah."

DEG!

Naruto membulatkan matanya ketika Bolt mengatakan hal itu. Ia menutup matanya rapat-rapat.

"Ya, Ayah tahu. Ayah juga rindu sama Ibumu."

Terdengar isakan halus dari Bolt. Rupanya Bolt menangis karena ia merindukan Ibunya. Naruto kaget sedikit.

Naruto memeluk erat sang anak. Ia berwajah sedih. Senyumannya menghilang seketika karena mengingat tentang istrinya yang bernama Hyuga Hinata telah tiada sejak tiga tahun yang lalu. Karena dia menderita penyakit yang sangat parah yaitu infeksi saluran indung telur.

Naruto tidak tahu bahwa Hinata mengalami infeksi saluran indung telur setelah melahirkan Himawari. Ternyata selama ini Hinata menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Ia tidak ingin membuat Naruto khawatir. Hingga setahun lamanya saat umur Himawari menginjak satu tahun. Barulah terkuak penyakit yang diderita Hinata ketika Hinata pingsan.

Naruto menemukan Hinata yang tergeletak di dekat tempat tidur ketika Naruto baru saja pulang. Lalu terlihat darah yang mengalir di kaki Hinata. Naruto yang sangat panik segera membawa Hinata ke rumah sakit.

Saat itu juga, nyawa Hinata tidak terselamatkan. Dokter ninja dan ahli medis lainnya tidak dapat menyembuhkan Hinata. Karena saluran indung telurnya sudah mengalami infeksi akut sehingga menyebabkan Hinata mengalami sakit perut yang hebat dan napas yang sesak sampai membuat denyut jantungnya melemah. Pada akhirnya Hinata menghembuskan napas terakhirnya di dalam pelukan Naruto. Naruto syok sekali karena menyaksikan istrinya meninggal di depan matanya.

Kini sosok istri dan ibu yang baik untuk kedua anaknya sudah tidak ada lagi. Kini Bolt dan adiknya yang bernama Himawari sudah tidak mempunyai ibu. Mereka menjadi anak piatu. Mereka sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Apalagi Naruto sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai Hokage dan sekaligus menjadi Ayah yang harus mengurus anak-anaknya. Bolt dan Himawari sangat membutuhkan perhatian darinya.

'Sepertinya aku harus pensiun dini dari jabatan Hokage ini. Ini demi Bolt dan Himawari. Aku harus menjaga mereka karena mereka masih kecil. Mereka sangat membutuhkan perhatian dariku. Karena itulah mereka selalu membuat masalah yang sangat membuatku repot. Walaupun aku tahu mereka bermaksud menarik perhatianku. Mereka sangat kesepian tanpa aku di samping mereka. Meskipun aku sudah menyuruh orang-orang khusus untuk menjaga mereka selama aku bertugas. Semua itu tidak cukup membuat mereka merasa nyaman. Bolt dan Himawari sangat membutuhkan kehadiranku sebagai orang tua mereka satu-satunya. Akulah orang yang diharapkan mereka. Ya, aku harus berhenti menjadi Hokage,' batin Naruto di dalam hatinya.

Naruto telah memikirkan hal ini matang-matang sejak lama. Bahwa dia memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi Hokage dan berhenti menjadi ninja untuk bisa menjaga anak-anaknya yang masih kecil. Dia sudah merencanakan akan mengatakan niatnya ini kepada petinggi desa agar dia digantikan dengan Hokage yang baru. Dia sudah mendapatkan orang yang tepat buat menggantikan posisinya sebagai Hokage.

'Dalam waktu dekat ini, aku akan mengundurkan diri sebagai Hokage. Ya, harus,' pikir Naruto yang sudah bertekad.

Naruto terus memeluk Bolt sambil berpikir keras di atap rumah warga. Hingga muncul dua orang bertopeng menghampirinya. Naruto menyadarinya.

"Ada apa?" tanya Naruto melirik dua orang yang merupakan anggota Anbu.

"Lapor, tuan Hokage," ucap orang bertopeng harimau sambil memberi hormat."Kami ingin menyampaikan sesuatu yang penting."

"Apa itu?"

"Anak Anda, Himawari. Dia menghilang lagi."

Saat itu juga, kedua mata biru langit Naruto membulat sempurna. Ia kaget setengah mati.

"APA? HIMAWARI MENGHILANG?"

Masalah Bolt hampir kelar. Masalah baru datang lagi. Sungguh membuat Naruto repot sekali.

.

.

.

Di kediaman klan Hyuga, tepatnya di sebuah rumah kayu dengan gaya arsitektur jepang kuno.

Tampak seorang wanita berambut coklat pendek model bob dan bermata lavender sedang duduk bersimpuh di lantai. Ia duduk berhadapan dengan Ayahnya yang sudah tua yaitu Hyuga Hiashi.

Wanita yang bernama Hyuga Hanabi itu menatap sang Ayah dengan serius. Ia mendengarkan sang Ayah yang terus berbicara.

"Hanabi, Ayah menunjukmu sebagai ketua pemimpin klan Hyuga ini."

Saat itu juga, Hanabi melebarkan matanya. Ia kaget dengan keputusan langsung dari Ayahnya tersebut.

"Tapi, Ayah. Aku masih muda. Umurku baru dua puluh satu tahun. Aku takut jika aku menjadi ketua klan Hyuga ini, akan memperburuk situasi yang telah terjadi saat ini. Aku tidak yakin aku mampu menjalani semua ini," Hanabi berusaha mengelak dari keputusan yang dicanangkan sang Ayah.

Hiashi menatap Hanabi dengan lama. Ia menutup matanya sebentar. Lalu dibukanya kembali matanya itu.

"Hanabi, Ayah sudah tua. Ayah tidak mampu lagi untuk menjalani tugas sebagai ketua klan Hyuga. Apalagi keadaan klan Hyuga sedang mengalami masa kritis. Sejak perang dunia shinobi keempat, sepuluh tahun yang lalu, kita kehilangan banyak shinobi yang berbakat seperti Hyuga Neji. Lalu Kakakmu Hinata juga sudah sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Siapa lagi yang pantas menggantikan jabatan Ayah sebagai ketua klan Hyuga. Hanya kamulah keturunan Hyuga yang terkuat saat ini. Hanya kamu yang bisa menggantikan Ayah. Ayah yakin kamu pasti bisa mengemban tugas ini dengan baik. Karena Ayah percaya padamu."

Darah Hanabi berdesir saat Ayah mengatakan kalimat yang terakhir yaitu "karena Ayah percaya padamu".

Hanabi menundukkan kepalanya sejenak. Ia berwajah suram.

"Jika itu sudah keputusan Ayah, aku akan menerimanya ...," Hanabi mengangkat wajahnya yang terlihat serius."Aku akan siap menjadi ketua bagi klan Hyuga."

Ayahnya tersenyum melihat kesungguhan dari wajah Hanabi.

"Bagus Hanabi. Ayah senang mendengarnya."

Hanabi tersenyum sambil tersenyum simpul. Ia bersikap sungguh-sungguh untuk menerima keputusan Ayahnya ini. Tapi, di hatinya lain kenyataannya.

'Apakah mungkin aku bisa menjalani semua ini dengan baik? Aku merasa tidak yakin. Aku jadi ragu,' batin Hanabi di dalam hatinya.

Ia bingung apakah ia dapat menjalaninya dengan baik.

Lihat saja nanti bagaimana selanjutnya.

.

.

.

Himawari, seorang anak perempuan berumur 4 tahun. Berambut indigo pendek di atas bahu. Bermata biru. Ia sedang berjongkok sambil meletakkan setangkai bunga matahari di dekat batu nisan yang bertuliskan "Hyuga Hinata". Ia berada di area pemakaman yang terletak di pusat desa.

Dia adalah anak kedua Naruto. Ia kabur dari pengawasan Konohamaru yang bertugas menjaga dirinya selama sang Ayah bekerja. Lalu ia memutuskan untuk pergi ke makam ibunya karena ia sangat merindukan ibunya. Ia sudah tidak sabar menunggu Ayahnya pulang. Sebab itulah, ia kabur dari rumah saat Konohamaru sedang tertidur.

Himawari yang masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Ia dapat merasakan bahwa ia sudah tidak mempunyai ibu lagi. Ibunya meninggal saat usianya baru menginjak satu tahun. Saat itulah ia kehilangan sosok sang ibu yang sangat menyayanginya. Bahkan di usianya yang sudah menginjak empat tahun sekarang, ia tidak pernah tahu bagaimana sosok ibunya itu. Ia hanya tahu dari foto ibunya. Ia hanya mengetahui ibunya sangat cantik di dalam foto itu. Lalu dari cerita sang Ayah kalau ibunya adalah seorang wanita yang kuat, lembut, baik hati dan penyayang. Ia mirip sekali dengan ibunya. Itulah yang dia tahu.

"Ibu, apa kabar? Ibu sehatkan di sana? Pasti ibu sedang tidur dengan nyenyak sekarang. Aku memberi ibu sebuah hadiah yang sangat indah. Hadiah bunga matahari yang kupetik di taman desa. Khusus buat ibu," kata Himawari dengan senyuman di wajahnya. Ia tidak tahu apakah harus sedih atau senang saat berziarah seperti ini.

TAP! TAP! TAP!

Seorang pria berjubah jingga datang menghampiri Himawari. Himawari menoleh ke arah seseorang yang menghampirinya.

"Himawari."

Himawari senang melihatnya. Secara langsung ia melompat ke arah orang tersebut.

"AYAH!"

Himawari memeluk pinggang Naruto. Naruto tersenyum sambil mengelus lembut puncak rambut Himawari.

Lantas Naruto berlutut untuk menyamakan tingginya dengan sang anak.

"Hima-chan, sedang apa kamu di sini?" tanya Naruto memegang dua bahu anaknya.

Himawari menunjuk ke makam ibunya.

"Tentu saja. Aku mau menemui ibu, Yah. Karena aku rindu ibu. Lalu aku pergi sendiri dan memetik bunga matahari di taman. Terus aku memberi ibu hadiah bunga matahari. Bagus, kan?"

Mendengar hal itu, membuat wajah Naruto menjadi suram. Apalagi melihat Himawari yang begitu senang sudah bertemu ibunya. Meskipun hanya kuburannya saja yang dapat digapai.

Naruto menggendong Himawari. Lalu ia dan Himawari mendekati makam Hinata. Kemudian Naruto berlutut di samping makam Hinata. Sedangkan Himawari duduk di atas paha Naruto.

"Hima-chan, pasti ibumu senang bertemu denganmu. Dia sangat menyukai bunga pemberianmu. Bunganya bagus sekali. Sangat pas dengan nama ibumu. Nama ibu juga berarti bunga matahari. Sama seperti bunga matahari ini. Sebuah cahaya yang menghangatkan dan menuntun kita semua."

"Benarkah, Yah?" wajah Himawari berbinar-binar.

"Ya, benar," Naruto mengangguk cepat.

"Yeah, ibu menyukai bunga matahari ini. Aku senang."

Himawari tertawa senang. Naruto berusaha tersenyum untuk anaknya. Meskipun di dalam hatinya kini sangat sedih. Karena berada di dekat makam istri yang sangat disayanginya itu.

Cahaya penuntun telah hilang di hati Naruto. Kini dia tidak berdaya lagi menghadapi semua ini sendirian tanpa ada Hinata di sampingnya. Apalagi sepertinya Himawari dan Bolt sangat membutuhkan sosok pengganti ibunya. Seseorang yang mirip dengan Hinata dan bisa membuat kedua buah hatinya mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Tapi, siapa yang bisa menggantikan posisi Hinata di dalam hatinya? Sebuah cahaya penuntun itu pasti akan segera datang.

Naruto memegang batu nisan Hinata itu. Ia bermata sayu. Ia merasa sangat sedih sekarang.

'Hinata, aku sudah menyerah. Aku tidak dapat melanjutkan posisiku sebagai seorang Hokage. Aku memutuskan untuk berhenti menjadi Hokage demi Himawari dan Bolt. Aku tidak tega membiarkan mereka sendirian dan kesepian serta kekurangan perhatian. Aku akan menjaga anak-anak kita dengan baik. Aku akan menjadi Ayah sekaligus ibu buat anak-anak kita. Semoga kamu mengerti dengan keputusanku ini.'

Itulah isi hati Naruto saat ingin menyampaikan perasaannya pada Hinata. Himawari terdiam saat melihat sang Ayah meneteskan air matanya. Ia kaget.

"Ayah, kok Ayah menangis?" tanya Himawari dengan wajah polosnya.

Naruto tersentak. Buru-buru disekanya air mata itu. Setelah itu, ia tersenyum kecil.

"Hahaha, Ayah nggak nangis kok."

"Tapi, beneran lho. Aku lihat Ayah nangis. Ayah sedih ya?"

Naruto berusaha tersenyum. Ia tidak ingin anaknya mengalami apa yang ia rasakan. Ia ingin anaknya merasa bahagia walaupun tidak mempunyai ibu lagi.

"Suer lho, Ayah nggak nangis. Lihat Ayah tersenyum nih," Naruto menyengir lebar sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah untuk membentuk huruf v. Membuat Himawari juga ikut menyengir.

"Iya, betul. Ayah tersenyum. Berarti Ayah senang ketemu sama ibu."

"Iya, Ayah senang ketemu sama ibumu."

Himawari melihat ke batu nisan ibunya.

"Ibu, dengarkan apa yang dibilang Ayah kalau Ayah senang karena sudah ketemu ibu."

Naruto terdiam mendengarkan apa yang dikatakan oleh Himawari. Seketika kesedihannya pun bertambah.

"Lho, Himawari? Kak Naruto?"

Terdengar suara lembut yang menyapa mereka berdua. Naruto dan Himawari menoleh ke arah asal suara.

Seorang wanita berambut coklat pendek model bob menghampiri mereka. Himawari begitu senang ketika bertemu dengan wanita itu.

"BIBI HANABI!"

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

A/N:

Sebuah fanfic hasil kolaborasi saya dengan teman saya yang bernama Mahmudh Khem. Ide cerita berasal dari dia. Lalu saya cuma numpang menulis aja soalnya ide cerita ini punya dia. Dia memang hebat karena mempunyai ide cerita seperti ini. Saya nggak pernah kepikiran membuat cerita seperti ini. Tapi, saya suka banget dengan ide cerita teman baru saya ini.

Rencananya cerita ini mau dibuat tiga chapter saja sesuai permintaan mahmudh. Tapi, saya rasa bagus juga cerita ini cuma tiga chapter saja atau lima chapter.

Ok, gimana pendapatmu tentang cerita ini?

Terima kasih udah membaca fic teman saya ini.

Thank you for all.

Tertanda Hikari Syarahmia dan Mahmudh Khem.

Harap review setelah dibaca ya...

Sampai jumpa di chapter 2-nya yang akan update di bulan september.

Daaah, saya mau hiatus dulu.