Author's Note
Sepertinya Author sudah dituntut untuk update yaa. He he. Gomen, minna. Ternyata satu bulan buat minnasan sudah terlalu lama ya…
Author hanya berharap chapter ini tidak terlalu mengecewakan untuk minna. Tambahan, Author harap kalian tidak salah paham dengan Naruto-kun di chapter ini. :D
Ah, dan Author hanya ingin bilang kalau mulai chapter depan sepertinya Author tidak bisa update cepat karena projek final Author terus menghantui, He he. Gomennasai *ojigiojigi
But, still, see you next chapter XD
.
.
.
A GLOWING HUG
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto-sensei
Warning : AU, typo(s), OOC, etc.
Rated M
Pairing : Namikaze Naruto & Hyuuga Hinata
.
.
DON'T LIKE DON'T READ!
.
Happy Reading!
.
.
.
CHAPTER 7
.
Jika di dunia ini ada hal yang paling ia takuti, maka salah satu dari hal itu adalah bertemu dengan gadis bersurai pirang di hadapannya.
Hinata tidak pernah menyangka jika mereka akan dipertemukan secepat ini. Ia tentu tahu jika Naruto masih memiliki perasaan pada sosok cantik tersebut. Hatinya terasa sakit hanya dengan memikirkannya.
Hinata tidak bergeming dari tempatnya berdiri, hanya menatap gadis itu seakan pertanda buruk sedang melambai menggoda di depannya. Hinata menelan ludah, membasahi tenggorokkannya yang terasa kering.
"Lama tidak berjumpa, Hinata-san," ucap gadis itu dengan bibirnya yang bergetar hebat. Bibir tipis Shion terangkat melengkungkan senyum terpaksa.
Hinata menggigit bibirnya dengan keras, menahan kegugupan yang tiba-tiba mendera dirinya. Ditariknya kedua sudut bibirnya, membalas senyuman Shion. "Senang bertemu kembali denganmu, Shion-san," ucapnya, sangat terpaksa.
"Kudengar kau menikah dengan Naruto." Shion tersenyum muram ketika melihat respon Hinata. "Jadi benar ya.."
Hinata menurunkan pandangannya, tidak berani menatap tepat ke mata gadis bersurai pirang itu. Ia merasa bersalah setelah melihat seberkas sorot terluka di mata Shion. Ia menunduk. Rasa kasihan menyentaknya ketika melihat bibir gadis itu yang mulai membiru. Hinata kembali mengangkat kepalanya, menatap wajah Shion yang mulai memucat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Hinata tanpa menutupi kekhawatirannya. "Bibirmu mulai membiru, Shion-san. Apa kau kedinginan?"
Secara naluriah Hinata melangkahkan kakinya mendekati Shion. Ia merasa dirinya sangat bodoh bertanya seperti itu setelah melihat dari dekat tubuh Shion yang menggigil hebat. Diperhatikannya dengan seksama keadaan gadis itu. Tidak ada bagian yang kering dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Hinata meringis ngeri menyadari tipisnya kaos yang dipakai gadis bersurai pirang itu, hingga mencetak dengan jelas bra berenda yang tersembunyi di baliknya. Hinata merasa gusar di tempatnya, tidak tahu harus melakukan apa.
Tanpa pikir panjang, Hinata melepas sweater hangat yang dikenakannya, kemudian menyampirkannya ke bahu Shion. Ia mengamati sejenak, sebelum menarik kembali rajutan putih dengan garis biru itu. Sebelum sempat Shion terlonjak, Hinata terlebih dulu memasukkan lubang sweater itu ke kepalanya. "Pakailah. Setidaknya itu dapat menutupi tubuh bagian depanmu," katanya, merasa terganggu.
Shion menatap Hinata dengan takjub. Ia bergumam terima kasih kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam pakaian tebal itu.
Hinata mengamati langit yang masih terlihat gelap. Ia mendesah berat. Wajahnya menoleh pada Shion.
"Kita harus menerjang hujan ini segera. Jika tidak kau bisa mati membeku di sini, Shion-san. Rumahku tidak jauh dari sini, kau bisa menghangatkan dirimu di sana."
Sebersit keraguan nampak di mata Shion ketika melihat guyuran air yang jatuh dari langit di hadapannya. Bulir-bulir air jatuh dalam ukuran yang besar dan menghantam aspal jalan dengan bunyi berdentum keras.
"Aku membawa payung. Yah, walaupun hanya satu," Hinata menunjukkan payung lipat di tangannya. "Kau tidak keberatan berbagi payung denganku, bukan?" sambungnya, terdengar skeptis.
Shion menggelengkan kepalanya lemah.
"Baguslah. Kita harus segera bergegas."
Dengan cepat Hinata menyentak payungnya terbuka, kemudian mengangkat kantong belanjaannya dengan satu tangan. Hinata meminta Shion untuk mendekat melalui tatapan matanya. Setelah merasa yakin jika tubuh mereka berada di bawah pelindung itu, Hinata berlari dengan Shion dalam irama langkah yang sama.
Ia mengutuk pembawa berita cuaca hari ini yang berbohong padanya, mengatakan bahwa hari ini hanya akan mendung atau paling tidak hujan ringan. Tapi, cuaca memang tidak pernah bisa ditebak. Bahkan di padang pasir pun dapat turun salju.
Hinata berlari menerjang angin yang berhembus kencang dari depannya. Udara sangat dingin menusuk tulangnya. Ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri yang merasa hampir mati rasa tanpa sweaternya.
Dalam beberapa langkah besar, akhirnya Hinata tiba di depan gerbang rumahnya. Tangannya dengan lincah membuka kunci dan menarik Shion menyeberangi halaman. Hinata mendesah lega setelah masuk ke dalam ruang tamunya yang hangat. Diletakkannya kantong plastiknya di dekat getabako, kemudian beranjak untuk menyalakan pemanas ruangannya.
"Duduklah, Shion-san. Akan kuambilkan baju hangat untukmu," ujar Hinata sebelum menghilang dari balik tangga.
.
.
.
Shion menunggu dengan sabar di ruang keluarga milik Hinata. Ia berdiri memandang keluar jendela, merasa tidak enak untuk membasahi sofa lembut yang ada di sana. Tubuhnya menggigil dengan hebat, meski ruangan itu terasa sangat hangat. Ia menyesal tidak melihat berita hari ini.
Shion membalikkan badannya saat mendengar pintu yang berderit. Alisnya terangkat ketika melihat sosok tinggi yang berdiri beberapa langkah darinya. Wajahnya merona ketika matanya bertemu dengan sepasang mata sapphire yang sangat ia rindukan. Perutnya berdesir geli dan jantungnya berdetak di luar kewajaran.
Beberapa bulan tidak melihat Naruto membuat Shion terkesima dengan wajah tampan pria itu. Naruto terlihat lebih menawan, mempesona, dan lebih dari itu, pria itu terlihat semakin menggoda. Rambut pirangnya yang basah menambah kesan seksi pada pria itu. Shion merindukan sosok maskulin di hadapannya. Bahkan tubuhnya bergetar hebat hanya mendengar suara pria itu yang berat dan serak memanggil namanya.
Shion mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha menarik kesadarannya kembali dari pesona Naruto. Hanya menatap pria itu mampu membuat tubuh Shion memanas. Ia merindukan berada dalam pelukan lengan kekar Naruto. Berbagi kehangatan bersama.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya pria itu, nadanya tenang dan lembut.
Shion menekan bibirnya kuat, tidak tahu harus berkata apa. Tangannya bergetar di lengannya, berpikir keras bagaimana ia harus menjawab pertanyaan pria itu. Tepat saat ia akan membuka mulutnya, suara pekikan kaget Hinata menginterupsinya.
"K-Kau sudah pulang," seru Hinata.
Naruto menganggukkan kepalanya pelan, menatap Hinata dengan sorot mata dingin. Pria itu jelas terlihat berbeda saat menatap Hinata dan dirinya, membuat Shion merekahkan senyum bahagia tanpa sadar. Terutama ketika Naruto hanya berjalan melewati Hinata begitu saja, meninggalkan gadis itu yang menunduk dalam.
Shion melangkahkan kakinya mendekati Hinata, merasa tidak nyaman dengan suasana barusan.
"Hinata-san?" panggilnya dengan lembut, mencoba menarik perhatian gadis itu kepadanya.
Hinata terlihat menahan tangis saat Shion melihat wajahnya. Tapi ia tidak berniat untuk membuat perasaan gadis itu menjadi lebih baik. Ia mengangkat dagunya, mencoba terlihat percaya diri di hadapan Hinata.
"Itu untukku?" tanyanya penasaran melihat pakaian yang diremas oleh tangan halus Hinata. Seketika wajah gadis Hyuuga itu berubah panik, kemudian dengan sangat cepat mengulurkan pakaian itu padanya. Tinggi tubuh mereka yang sama, tidak perlu membuat mereka menunduk atau mendongak untuk menatap satu sama lain.
"Terima kasih." Shion tersenyum puas. Matanya menatap ke dalam mata Hinata, bertanya di mana ia harus mengganti pakaiannya. Ia mengangguk setelah Hinata menunjukkan sebuah pintu di ujung dekat tangga.
.
.
.
Hinata menekan bibirnya menahan tangis. Matanya menatap nanar tiga cangkir cokelat panas di depannya. Jantungnya terasa sangat sakit melihat Naruto bertemu dengan Shion. Namun ia tidak dapat berbuat apapun.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya, membuat Hinata bergerak gelisah di tempat duduknya. Telapak tangannya mengepal di atas pahanya. Ia mendongak, dan berjengit saat matanya bertemu dengan mata Naruto. Pria itu menatapnya dengan dingin. Sedangkan, Shion terlihat berjalan dari balik bahu Naruto dengan senyuman lebar. Sontak Hinata mengerutkan dirinya, merasa ciut melihat dua orang yang terlihat sangat serasi itu.
Tubuh Shion berjalan dengan anggun dalam balutan kaos lengan panjang dan rok pendek miliknya. Hinata mengerang dalam hati, merutuki kebodohannya yang memilihkan pakaian yang justru membuat Shion terlihat lebih menggemaskan. Rambut panjangnya yang basah tergerai melewati bahunya, membingkai dengan pas wajah cantiknya. Dan Hinata tidak dapat merasa lebih ciut lagi ketika melihat gadis itu yang berdiri di samping Naruto dengan wajah merona merah.
Hinata mengalihkan pandangannya dari dua orang yang pernah menjadi pasangan itu. Ia menggigit bibir bagian dalamnya, menahan rasa sakit di jantungnya. Haruskah ia beranjak dari sana dan meninggalkan kedua pasangan itu? Atau haruskah ia bertahan dan menahan sakit hatinya?
Pilihan kedua bukan hal yang buruk.
"Terima kasih untuk cokelat panasnya, Hinata-san. Kau sangat pandai membuatnya,."
Hinata mendongak, mengangkat dengan terpaksa bibirnya. Pujian Shion justru terasa semakin menoreh luka di hatinya.
"Kau pasti sangat bersyukur menikah dengannya, Naruto," lanjut Shion. Hinata menatap tidak suka saat gadis itu dengan sangat jelas mengulas senyum manja pada pria yang duduk di sebelahnya.
Hinata memberanikan diri menatap Naruto. Pria itu hanya bergumam tidak jelas, dengan tenang menyesap cokelat panasnya, terlihat tidak peduli. Suasana di sekeliling Hinata terasa sangat tidak nyaman baginya. Dialihkannya pandangannya ke luar jendela, melihat hujan yang masih deras mengguyur Konoha.
Rasa penasaran menggugah Hinata untuk menyalakan televisi di depannya. Tanpa ragu mencari channel yang sedang menayangkan berita cuaca hari ini. Ia memerhatikan dengan seksama, berharap wanita dalam setelan jas itu mengatakan jika cuaca akan segera membaik. Namun satu lagi kesialannya hari ini, orang itu justru mengatakan akan ada badai besar melanda Konoha, sehingga setiap orang diharapkan tidak keluar dari rumah mereka.
Hinata mendengus dalam hati. Sangat berkebalikan dengan respon Shion, bibirnya melekuk kecewa, meskipun demikian, raut bahagia justru terlihat sangat jelas di paras cantiknya.
"Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku pulang sekarang," katanya dengan raut sedih yang dipaksakan. Shion menatap Hinata dengan pandangan memelas, kemudian beralih menatap suami Hinata dengan penuh harap.
Hinata adalah orang paling naïf yang tidak pernah bisa menolak atau berbuat tidak sopan pada seseorang. Apalagi ketika orang itu menatapnya dengan pandangan memohon, membuat Hinata menjadi tokoh antagonis jika ia menolaknya.
Ia melirik Naruto sekejap dari sudut matanya, pria itu hanya diam, menutup rapat bibirnya. Tentu saja Hinata tidak mengharapkan reaksi lain dari suaminya itu. Bertemu dengan orang yang paling dicintainya adalah sebuah kesenangan bagi Naruto, dan Hinata tidak mungkin mendapatkan sebuah penolakan jika Shion bertahan di rumah mereka sedikit lebih lama.
"Kalau begitu, Shion-san bisa menginap di sini malam ini." Setelahnya, Hinata merutuki dirinya sendiri.
Ia kembali melirik Naruto, menunggu tanggapan dari suaminya itu. Sudut bibir Naruto terangkat membentuk seringai tipis, seakan ia tahu apa yang akan Hinata katakan berikutnya. Dan seumur hidup, Hinata akan membenci dirinya sendiri untuk itu karena membuat pria itu merasa sangat puas sore ini.
"Kau bisa tidur di kamar Naruto-kun," usulnya. Hinata menelan ludah ketika seringai Naruto semakin lebar. Ia merasa ingin bunuh diri saja saat ini.
Lagi dan lagi. Shion berpura-pura ragu dengan pendapat Hinata, walaupun harus diakui jika ia cukup terkejut dengan penawaran istri Naruto itu. "Apa tidak apa-apa?" tanyanya, sehalus dan selembut beledu, namun terdengar sangat memuakkan di telinga Hinata.
Hinata menggigit bibirnya, sebelum mengangkat bahunya ringan. "Kalian juga sudah sering melakukannya," tukasnya, jelas menyindir.
Saat ini tidak ada yang Hinata inginkan kecuali membenturkan kepalanya di tembok. Kata-kata yang ia keluarkan selalu saja pemikiran yang tidak pernah ingin ia ucapkan, sesuatu yang mengganjal di hatinya, namun berhasil menguasai seluruh otaknya.
Naruto menoleh memandang Hinata, menatap tepat ke dalam mata amethyst gadis itu. Seringai lebar merekah di bibirnya seolah menantang gadis itu. Kepalan tangan Hinata semakin mengerat. Naruto selalu mengeluh jika pria itu selalu ingin menyentuhnya, pria itu tersiksa setiap saat karena gairah besar yang selalu ditahannya. Dan Hinata tidak ingin pria itu terus merasa seperti itu.
Shion datang padanya, seperti sebuah hadiah bagi Naruto. Hinata menyadari bagaimana cara Naruto menatap gadis itu. Lalu jika itu yang membuat Naruto merasa terbebas, maka Hinata akan menghiraukan rasa sakit yang bersarang di hatinya. Ia tentu masih ingat penawaran yang ia ajukan pada Naruto di awal pernikahan mereka. Mungkin pria itu hanya tidak memiliki kesempatan untuk bertemu Shion, dan salah mengartikan perasaannya pada Hinata. Sekarang, kesempatan itu terbuka lebar di hadapannya. Dan Hinata, akan membiarkan Naruto memanfaatkan kesempatan itu dengan sempurna.
.
.
.
Naruto menaiki tangga setelah menyelesaikan makan malamnya, meninggalkan Hinata dan Shion hanya berdua di meja makan.
"Apa kau hanya memiliki pakaian tebal seperti ini, Hinata-san?" tukas Shion seketika Naruto menghilang dari penglihatan mereka. "Meskipun, udara di luar sangat dingin, tapi pemanas ruanganmu bekerja dengan sangat baik, dan itu cukup membuatmu mudah untuk berkeringat."
Hinata mengangkat kepalanya, menatap tepat ke mata Shion. Gadis bersurai pirang itu duduk dengan santai di kursinya. Salah satu kaki rampingnya menggantung di atas kaki lainnya dengan tangannya yang menyilang di depan perutnya. Ia menatap kaos Hinata mengejek.
"Kurasa begitu. Apa kau ingin memakai pakaian yang lebih tipis, Shion-san?" tanya Hinata penuh sindiran. Shion mengangguk dengan senyum manisnya.
"Naruto lebih menyukaiku memakai baju tipis, terutama yang mencetak jelas bentuk tubuhku. Dia bilang itu membuatnya semakin bergairah," jawabnya tanpa memandang Hinata sebagai istri dari bahan pembicaraan mereka. Shion jelas terlihat lebih nyaman berbicara dengan Hinata setelah gadis itu dengan sangat jelas mendapatkan tanda positif untuk mendekati suaminya.
Hinata memejamkan matanya, menarik nafas menahan perih. Wajahnya memerah pekat hingga ke telinganya, mendengar kata-kata vulgar gadis di seberangnya. Gadis itu berbicara seolah status Hinata bukanlah hal yang penting.
"Dan kau tahu.." Shion mendekatkan tubuhnya pada Hinata, berbisik dengan bersemangat. "Dia akan menjadi liar dan merobeknya seketika. Yah, aku jadi sering membeli baju karena itu," sambungnya, menarik dirinya kembali.
Jika saja bukan untuk kebaikan Naruto, Hinata tidak akan pernah membiarkan Shion berbicara seperti ini, menganggap rendah dirinya, seakan mengetahui jika Naruto tidak pernah sekalipun menyentuh tubuh Hinata. Meski memang seperti itulah kenyataannya.
Hinata mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan diri untuk tidak melompat menerjang gadis di hadapannya.
"Jadi itukah alasanmu memakai kaos tipis dan berusaha menemui Naruto-kun hari ini?"
"Salah satunya itu. Tapi aku benar-benar tidak tahu jika hujan akan turun dengan lebat," akunya.
"Sepertinya Kami-sama berpihak padamu, Shion-san," sindir Hinata.
Shion mengangkat bahunya, mengulas senyum lebar. "Kupikir juga seperti itu―termasuk dirimu, Hinata-san."
Hinata tersenyum murung.
"Apa kau tidak percaya diri untuk memenuhi gairah Naruto di ranjang?"
Hinata membelalakkan matanya, membaca ekspresi Shion sebelum membuka mulutnya. "Sepertinya begitu," jawab Hinata, menambah kepuasan di wajah Shion yang mengejek. "Kupikir dia hanya menginginkanmu."
Hinata mendorong mundur kursinya, merasa tidak lagi sanggup bila harus mendengar celotehan Shion tentang kegiatannya di ranjang bersama Naruto. Hinata sangat tergoda untuk menarik kasar rambut pirang gadis yang sedang mengikutinya itu, berjalan di belakang Hinata tanpa rasa malu.
.
.
.
Naruto mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, kemudian melemparkan benda persegi itu ke dalam keranjang cucian. Ia menatap dirinya sejenak di cermin, mengacak-acak rambutnya sebelum memutuskan keluar dari kamar mandi.
Hinata memekik kaget tepat saat Naruto membuka pintu, dengan cepat gadis itu menundukkan kepalanya saat melihat mata sapphirenya. Naruto tersenyum miring.
Hinata menggeser kakinya untuk melangkah melewati Naruto, tapi pria itu tidak membiarkannya. Naruto bergerak sesuai dengan tubuh Hinata. Melangkah ke kiri saat gadis itu melangkah ke kanan, dan melangkah ke kanan saat gadis itu bergerak ke kiri. Naruto hanya ingin menghalangi jalannya, membuat Hinata marah dan mendongak menatapnya. Sayangnya, gadis itu tetap bergeming dengan kepala menunduk.
Hinata berpikir Naruto mengikutinya sepenuhnya, berharap jika ia melangkah maju, maka Naruto akan mundur. Namun, Naruto bukan orang sebodoh itu, ia bukan orang yang dengan mudah melepaskan kewaspadaannya. Dan ketika Hinata maju selangkah, Naruto tidak bergerak, sehingga gadis itu dengan terpaksa menabrak tubuhnya.
Hinata terkesiap saat dengan tiba-tiba Naruto menarik pinggulnya mendekat, dan memutar tubuh gadis itu untuk ia sudutkan di dinding dalam kamar mandi. Ditahannya tubuh Hinata di sana, sehingga Hinata tidak punya pilihan lain selain mendongak.
Seperti harapan Naruto, Hinata menatapnya dengan tajam, tapi tidak berusaha untuk mendorongnya menjauh. Sikap menantang Hinata membuat Naruto merasa bersemangat. Ia menyeringai, dengan perlahan mendekatkan wajahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya saat Hinata menutup matanya.
"Kau berusaha dengan sangat keras," bisik Naruto di telinga Hinata, menjaga suaranya tetap tenang. "Terima kasih untukmu karena telah menghangatkan ranjangku malam ini."
Naruto meninggalkan Hinata yang membeku di tempatnya. Dengan puas melihat reaksi istri kecilnya. Pria itu menekukkan bibirnya, tersenyum malas. Kemudian, berjalan dengan santai ke dalam kamarnya.
.
Tidak ada yang mengejutkan bagi Namikaze Naruto saat melihat Shion tengah berada di dalam kamarnya. Hal yang mengejutkan jika gadis itu justru tidak berada di sana. Naruto tentu menyadari maksud kedatangan gadis itu ke rumahnya. Dan melihat sikapnya tadi, semakin memperkuat asumsinya. Naruto mendengus sebelum mendekati mantan kekasihnya itu.
"Untuk apa kau datang kemari?" tanyanya, lebih mirip bisikan.
Shion mengalungkan lengannya ke seputar leher Naruto, bergelayut manja seperti yang dulu sering ia lakukan. "Aku merindukanmu," katanya, mengabaikan pertanyaan Naruto. "Setiap malam aku selalu mendambakanmu, Naruto. Kau tahu, aku mendadak insomnia karena dirimu."
Naruto menajamkan pandangannya, bersikap tidak peduli dengan penjelasan gadis yang memeluknya erat.
"Hubungan kita sudah berakhir, Shion," lirihnya, tidak berusaha menghindar saat gadis itu mengusap tengkuk lehernya.
"Hubungan berakhir saat kedua belah pihak menyetujui," timpal Shion, dengan perlahan menarik lepas tangannya dari tubuh Naruto, membuat jarak selangkah darinya. Naruto memutar bola matanya, sangat hafal dengan gadis itu. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya, dengan bangga menunjukkan penampilannya yang menantang.
Naruto mengangkat alisnya, merasa takjub.
Shion berdiri dengan percaya diri. Tangannya saling menggenggam di belakang tubuhnya, membiarkan Naruto menikmati pemandangan indah bagian depan tubuhnya di balik kemeja tipis yang dikenakannya. Dengan tubuh dan wajah yang dimiliki Shion, Naruto yakin tidak akan ada pria yang dapat menolaknya. Ditambah sikap penggoda gadis itu, merupakan suatu paket lengkap yang tidak tertandingi.
Shion sama sekali tidak berubah dari terakhir kali mereka bersama. Gadis itu masih saja berani seperti biasanya, terutama dalam hal menaikkan gairah pria itu. Ia selalu mengerti apa yang Naruto inginkan.
"Aku tau kau menyukainya," kata Shion, suaranya serak menggoda. Pipinya merona merah.
Tanpa rasa malu, gadis itu kembali mendekatkan tubuhnya, melekatkan tubuhnya pada tubuh Naruto seperti sendok. Ia menyandarkan kepalanya di dada Naruto kemudian menggeleng. "Aku tidak ingin putus darimu," gumamnya. Tangan kecilnya menekan punggung Naruto, merayu pria itu dengan sentuhan tubuhnya. Naruto dapat merasakan tonjolan payudara Shion di perutnya, yang dengan pelan bergerak menggodanya. Naruto mendecih saat gadis itu tidak membiarkannya menjauh.
"Sentuh aku, Naruto," bisik Shion, merasa putus asa.
Naruto melingkarkan satu tangannya di punggung Shion, memutar pelan gadis itu saat melihat sekilas bayangan dari celah pintu kamarnya. Naruto menyeringai ketika menyadari kehadiran seseorang di balik pintu kamarnya..
Dengan tidak sabar Naruto menangkup payudara dari balik kemeja Shion, meremasnya lembut hingga gadis itu mendesah dan mengerang menyebut namanya. Naruto menyeringai puas. Melirik dari sudut matanya sebuah tangan yang bergetar mencengkeram roknya, memastikan jika gadis itu masih berdiri di sana.
Tidak cukup dengan itu, Naruto menurunkan mulutnya ke leher terbuka Shion, menjilatnya sensual hingga gadis itu menggelinjang karena sentuhannya. Naruto menahan desahannya sendiri yang hampir lolos karena ciuman menggebu Shion secara tiba-tiba. Merasa tidak suka dengan itu, Naruto dengan lincah menelusupkan tangannya ke dalam kemeja Shion, mengangkat bra yang digunakan gadis itu, kemudian kembali bermain dengan gundukan kenyal milik Shion, membuat pemiliknya mendesah lebih keras dari sebelumnya, memohonnya untuk meminta lebih.
Naruto tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari gadis di balik pintu kamarnya. Ia tersenyum puas saat melihat kaki gadis itu yang bergetar hebat hingga hampir merosot ke lantai. Saat itu juga, Naruto melepas ciuman Shion, menyentak gadis itu menjauh darinya.
"Tidurlah," katanya saat mendapat tatapan bingung dari Shion. Tidak mempedulikan protes gadis itu, Naruto melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Tangan Shion menahannya di ambang pintu, mencengkeram dengan erat pergelangan tangannya yang bersiap menarik kenop pintu kamarnya.
Mata birunya menatap dengan tajam ke dalam mata Shion, seakan dapat membelah gadis itu menjadi berkeping-keping hanya dengan tatapannya. Disentaknya kasar pergelangan tangan Shion, yang membuat gadis itu merintih kesakitan. Shion menatap Naruto tidak percaya.
"Naruto.." gumamnya dengan suara bergetar menahan tangis. "Ada apa denganmu? Apa aku membuat kesalahan?"
"Maafkan aku, Shion."
Gadis itu menatapnya tidak mengerti, bibirnya terbuka meminta penjelasan. Shion tersenyum pahit, dengan lembut berusaha meraih kembali tangan Naruto. "Apa yang kau bicarakan, hm? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Naruto. Sungguh."
Naruto mendengus tidak sabar. Ditepisnya lepas tangan Shion yang bergetar di tangannya, kemudian menekan lembut bahu gadis itu ke dinding kamarnya. Shion menatapnya seperti seekor kelinci yang masuk ke dalam kandang singa, bersiap menjadi mangsanya.
Tanpa memandang gadis itu yang merintih dalam cengkeramannya, Naruto menundukkan wajahnya tepat ke mata Shion.
"Dengarkan baik-baik, Shion. Jika aku mengatakan hubungan kita telah berakhir, maka hubungan kita benar-benar berakhir. Tidak peduli kau setuju atau menolak, kenyataan tidak akan pernah berubah," desisnya tajam.
Tubuh Shion bergetar hebat saat mata Naruto menjelajahi tubuhnya, tiba-tiba merasa gugup dan takut di saat bersamaan. "Kenapa?" tanyanya mencicit, tidak berdaya dengan perubahan sikap Naruto yang mendadak. "Apa karena Hinata?"
Naruto mengangkat salah satu alisnya, matanya berbinar dengan seringai mengejek.
"Tentu saja, tidak, Kau tidak akan bisa membandingkan aku dengannya," ejek Shion, suaranya bergetar saat tawa berhasil lolos dari bibirnya, matanya menatap Naruto dengan penuh keyakinan. "Lagipula, kita hampir bercinta tadi," lanjutnya, dengan manja mengusap perut Naruto. "Aku tahu kau masih menginginkanku." Ia mengulas senyum saat Naruto meresponnya, menekan lembut tangannya. Ia menanti penuh harap ketika Naruto mencondongkan tubuhnya mendekat, berbisik di telinganya.
"Jangan pernah menganggap rendah istriku seperti itu. Kau bahkan tidak akan menyangka betapa mengagumkannya dia." Naruto berhenti, memberi jeda. "Aku minta maaf harus mengatakannya, tapi sejujurnya aku sama sekali tidak tertarik dengan rayuanmu tadi."
Shion menyentakkan wajahnya, menatap Naruto dengan tidak percaya. Mulutnya menganga, merasa harga dirinya terluka.
"Naruto.." panggilnya, seakan sedang berhadapan dengan seseorang yang berbeda.
"Aku akan memaafkanmu karena telah mengusik rumah tangga kami hari ini. Tapi, tidak untuk hari lainnya," ancam Naruto di sisi wajah Shion. "Dan, jangan pernah bersikap tidak sopan pada Hinata, karena dia adalah istriku," desisnya penuh penekanan dalam setiap katanya.
Tubuh Shion merosot seketika Naruto melepas genggamannya, meninggalkan gadis itu dalam keterpanaan. Ia merasakan matanya memanas hingga pandangannya buram oleh air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. Shion menatap lurus ke dinding kamar Naruto, berharap semua hanya mimpi ketika Naruto melangkahkan kakinya menjauh. Hatinya berdebar kencang saat langkah kaki pria itu benar-benar berhenti.
"Ah, satu hal―kemeja itu lebih cocok dipakai pemilik sebenarnya," tukasnya, kemudian suara berderit pintu meyakinkan Shion jika Naruto benar-benar meninggalkannya.
.
.
.
Hinata terlonjak mundur ketika pintu berderit terbuka di belakang tubuhnya.
Naruto menatapnya dengan seringai mengerikan di wajah tampannya, sehingga Hinata merasa mengerut di depan pria itu.
"Apa yang kau lakukan?" seru Hinata saat tangan pria itu mengunci pintu di belakangnya.
"Sepertinya ada pengganggu kecil yang baru saja mengintip ke dalam kamarku." Hinata membelalak kaget. Dadanya bergemuruh. Naruto berjalan perlahan, semakin mendekat padanya, membuat setiap detik berlalu dengan penuh ketegangan. "Aku hanya berpikir mungkin kau tahu siapa pengganggu itu, istriku?"
Hinata menelan ludahnya. Tentu saja ia tahu, sangat tahu malah.
"T-Tidak," bohongnya. Hinata menyesal setelah mendengar suaranya sendiri yang bergetar ketika berbohong.
"Benarkah?"
Hinata mengangguk. Bibirnya bergumam mengiyakan. Tapi sepertinya semua sia-sia saja. Hinata tidak bergeming saat Naruto melingkarkan lengannya di seputar pinggulnya, menahan tubuhnya yang hampir ambruk karena kakinya yang bergetar hebar.
Naruto meletakkan wajahnya beberapa senti di depan wajah Hinata yang memerah padam. Tubuhnya bergetar saat merasakan hembusan nafas pria itu di kulit wajahnya. Mata amethystnya bergerak tidak terarah menatap ke dalam mata Naruto.
"Kau tahu hukuman jika kau membohongiku?"
Hinata terdiam, terlalu terhipnotis oleh mata bening Naruto. Tanpa tenaga menggelengkan kepalanya.
"Aku akan menciummu seperti ini.." Naruto menempelkan bibirnya dengan cepat di bibir Hinata. Hinata merasa seperti tersengat listrik, hingga tubuhnya terasa mati rasa untuk beberapa detik.
"Dan jika kau melakukannya lagi, maka aku akan melakukannya seperti ini.." Naruto menurunkan bibirnya ke rahang Hinata, menggesekkan kulit wajah pria itu dengan lembut di sana, kemudian berhenti di perpotongan lehernya, menciumnya selama beberapa detik hingga membuat Hinata merasa hampir gila. Hinata menahan nafas, ketika pria itu menenggelamkan wajahnya di lehernya.
"K-Kembalilah," pinta Hinata dengan sisa kekuatannya. Dengan pelan ia dorong bahu lebar Naruto. Tapi, pria itu sama sekali tidak bergeming dari posisinya.
"Apa kau melihatnya?" tanya Naruto, suaranya teredam di ceruk leher Hinata.
"A-Apa?"
"Kau tahu apa yang sedang kubicarakan."
Hinata menelan ludahnya, merasa gugup dengan pembicaraan Naruto. "Tidak," jawabnya.
Sesaat Naruto hanya diam tidak bereaksi. Hinata mengira pria itu pasti sedang mempermainkannya. Naruto pikir Hinata sedang berbohong sekarang dan bersiap menciumnya seperti yang pria itu lakukan tadi. "Aku tidak sedang berbohong. Aku memang tidak melihat apa yang kalian lakukan. A-Aku.. Aku hanya.. mendengarnya," jelasnya, merasa malu karena harus mengakui jika ia baru saja menguping.
"Apa saja yang kau dengar?"
Hinata menekan bibirnya, tidak yakin. "D-Desahan Shion-san," katanya, suaranya bergetar.
"Bagaimana perasaanmu?"
Hinata menutup matanya. Ia menahan debaran tidak sabar di jantungnya. Ia mengakui jika ia bersalah telah mendengarkan urusan orang lain tanpa ijin, dan Hinata tahu jika Naruto benar-benar sedang menghukumnya saat ini. Pria itu sungguh membuat Hinata tidak dapat berkutik.
"Perasaanku bukanlah hal yang penting."
"Jawab saja." Naruto menekan punggung Hinata, memeluknya lebih erat.
Hinata membelalakkan matanya, badannya bergetar hebat. Ia mencoba mempertahankan akal sehatnya, berpikir dengan tenang di tengah gemuruh liar jantungnya. Ia menggigit bibirnya sebelum membuka mulutnya. Ia ingin berkata dengan jujur jika ia tidak menyukainya, Hinata membencinya, dan rasanya sangat menyiksa. Tapi, kata-kata itu tidak terbentuk di suaranya. Ia hanya kembali menutup mulutnya, mengurungkan niatnya yang hanya akan berakhir dengan sebuah kesia-siaan.
"Kau tidak menyukainya, benar kan?"
Hinata ingin mengangguk, tapi ia tidak bisa. Air mata mengalir dalam diam menuruni pipinya, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di hatinya.
"Kau tidak ingin melihatku melakukannya dengan wanita lain, benar bukan?" Naruto mengangkat wajahnya dari ceruk leher Hinata, sedikit melonggarkan pelukannya. Sesaat Hinata dapat merasakan ketakutan yang besar, ia takut Naruto akan pergi meninggalkannya. Ia ingin menganggukkan kepalanya, tapi ia tahu itu akan menyakiti Naruto. Dan ketika pria itu benar-benar melepaskan pelukannya, Hinata dapat merasakan kekosongan dan kengerian yang menganga di hatinya.
Hinata dapat merasakan mata Naruto yang terpaku ke wajahnya, tapi Hinata tidak berani mendongak menatap wajah tampan suaminya. Melihat wajah Naruto hanya membuatnya takut untuk berharap. Ia ingin menahan Naruto di sisinya. Ia ingin Naruto tidak kembali pada Shion.
"Aku tidak akan kembali ke sana, jika kau menginginkanku tetap di sini," kata Naruto, lembut. Ia menunggu dengan sabar reaksi Hinata, berharap gadis itu menahannya. Namun, semua tidak berjalan sesuai harapannya. Hinata hanya terdiam, bibirnya tertutup dengan rapat.
Naruto merasa semuanya sudah jelas. Ia menghembuskan nafas lelah sebelum berbalik dan berjalan ke pintu. Tangan pria itu bersiap memutar kenop pintu sebelum sebuah tangan kecil menggenggam erat belakang kaosnya. Sebuah senyum lega sontak melengkung di bibir Naruto.
"J-Jangan pergi," pinta Hinata, suaranya pelan dan menahan tangis. Tangan kecilnya bergetar ketika mencengkeram kaosnya.
Perlahan Naruto membalikkan badannya, dengan dalam menatap mata Hinata yang memerah. Hati Naruto berkecamuk antara senang, terluka, kecewa. Kedua sudut bibirnya melengkung membentuk sebuah senyum tipis yang bergetar. Rasa puas yang membuncah membuatnya tidak dapat berpikir apapun kecuali memeluk erat tubuh mungil istrinya itu.
Sekali lagi dihirupnya ceruk harum leher Hinata. Di dekapnya tubuh Hinata seakan tidak ingin melepasnya, membuat gadis itu berjengit karena tindakannya yang tiba-tiba.
"Kumohon jangan membuatku melakukannya lagi, Hinata." Suara Naruto menggema pelan di telinga Hinata bagaikan sebuah alunan symphony yang menyakitkan. Naruto menghembuskan nafasnya, menggelitik kulit leher Hinata. "Dengan Shion, jangan pernah memaksaku melakukannya."
Seketika cairan bening kembali mengalir turun dari mata amethyst Hinata. Gadis itu merasakan hatinya berdesir menyakitkan. Apakah ia melukai pria itu―lagi?
Hinata melingkarkan lengannya di punggung kokoh Naruto, memeluknya dengan erat. Ia tidak dapat menahan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Kepalanya berdenyut nyeri hingga ia tidak lagi sanggup untuk mendongak. Hinata menguburkan wajahnya di bahu Naruto, membiarkan air mata membasahi kaos pria itu.
.
.
Naruto menyukai memandangi tubuh Hinata yang berbaring dengan nyaman di ranjang. Satu hal yang paling ia sukai adalah melihat wajah polos istrinya itu saat tertidur. Dan ia rela hanya memandangnya dari kursi di depan meja rias Hinata, memandangi punggung kecil gadis itu yang berbalik memunggunginya. Ia mengulas senyum tipis saat Hinata memutar tubuhnya menghadapnya. Wajah memerahnya membuat Naruto merasa gemas.
"N-Naruto-kun tidak ingin tidur?"
"Kau ingin aku kembali ke kamarku?"
Pertanyaan menggoda Naruto mampu membuat Hinata seketika menggeleng dengan cepat. Gadis itu memainkan jarinya di depan dadanya. Wajahnya yang merona dan bibirnya yang digigit membuat Naruto mengerti jika Hinata merasa malu saat ini.
"Kau ingin aku seperti ini?"
Naruto beranjak dari kursinya, kemudian berbaring dengan nyaman di samping Hinata. Seketika Hinata berjengit tidak percaya. Matanya terbelalak lebar, membuat Naruto tertawa geli melihat reaksi gadis itu. Merasa tidak tega karena terus menggoda istrinya, Naruto beranjak bangun dari ranjang.
"Hanya bercanda," katanya saat duduk di tepi ranjang.
Kakinya siap untuk berdiri sebelum Hinata menggenggam tangannya, membuat Naruto menoleh. Mata birunya menatap Hinata tidak mengerti. Namun ketika melihat wajah Hinata yang menatapnya dengan memohon membuat Naruto mengangkat kedua alisnya.
"Kau yakin?"
Dan Naruto tidak pernah merasa sesenang ini, saat Hinata mengangguk dengan malu-malu padanya. Ia tertawa tertahan saat melihat sekilas keraguan di mata Hinata. Naruto tentu menyadari kegelisahan istrinya. Diacaknya lembut rambut Hinata dengan tangannya yang bebas, membuat gadis itu merengut seperti anak kecil. "Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan kembali ke kamarku. Tidurlah."
Saat tangan kecil Hinata masih menggenggam tangannya erat, Naruto tidak dapat menahan keheranan yang muncul di pikirannya. Keningnya berkerut meminta penjelasan.
"N-Naruto-kun bisa tidur d-di sini," kata Hinata dengan wajah merona, sehingga Naruto tidak dapat menahan dirinya untuk tersenyum dan menuruti permintaan gadis itu.
Pertama kalinya bagi mereka untuk tidur di ranjang yang sama setelah beberapa bulan pernikahan mereka, dan hal itu membuat baik Naruto dan Hinata merasa berdebar. Naruto memiringkan tubuhnya menghadap Hinata, menyandarkan kepalanya pada salah satu tangannya.
"Kenapa kau belum memejamkan matamu?" tanya Naruto, ketika Hinata hanya terdiam di hadapannya.
"A-Aku belum mengantuk," jawabnya.
Naruto tertawa pelan. Ditariknya tubuh Hinata mendekat, dimana ia merasa takjub dengan tidak adanya penolakan dari istrinya.
"Ingin kunyanyikan sesuatu? Tapi, jujur saja aku tidak terlalu bagus dalam bernyanyi."
Hinata terkikik geli mendengar pengakuan kekanakan Naruto, kemudian ia menggeleng lembut. "Tidak perlu, terima kasih."
Dan ia dapat melihat Naruto tersenyum berterima kasih padanya. Hinata tentu tahu bagaimana cara membuat pria yang selalu mengisi hatinya itu merasa nyaman. Begitu juga dirinya yang dapat menyamankan dirinya sendiri dalam pelukan Naruto. Meski hatinya berdebar dengan kencang, namun Hinata harus mengakui jika ia menyukainya, dan perasaannya jauh lebih tenang saat Naruto berada di sampingnya. Hinata tidak dapat membayangkan jika Naruto berada di kamarnya saat ini, mungkin ia akan terjaga sepanjang malam, duduk bersandar di balik pintunya berharap pintu kamar suaminya akan segera terbuka. Lalu, pagi hari, Naruto akan melihat mata Hinata yang memerah karena kurang tidur.
"Memikirkan sesuatu?" Naruto menenggelamkan wajahnya di puncak kepala Hinata, mencium aroma shampoo yang memabukkan dari rambut gadis itu.
"T-Tidak."
"Kau berbohong."
Hinata mendongak. "K-Kau akan menghukumku?"
"Kau berharap aku melakukannya?" tanya Naruto, suaranya ringan dan ceria.
Seketika Hinata menjadi panik, mulutnya membuka dan menutup mencari alasan. "Tidak, maksudku, Naruto-kun benar-benar akan melakukannya setiap kali aku berbohong?"
Naruto mengangguk mantap.
"I-Itu tidak adil," protes Hinata.
"Itu menyenangkan, Hinata."
Hinata mengerucutkan bibirnya, "Bagi Naruto-kun."
"Kau yakin tidak menikmatinya?" Wajah Hinata memerah seketika.
"B-Bukan begitu―"
"Kalau begitu, aku akan melakukannya."
Hinata mengerutkan keningnya kesal saat melihat senyum kemenangan dari bibir Naruto. Hembusan nafas berat keluar dari bibir mungilnya. Hinata tidak akan pernah menang jika pria itu telah membulatkan keputusannya.
Mata Hinata masih terasa ringan sehingga membuatnya tetap terjaga setiap kali ia menutup matanya. Gadis itu dapat merasakan hembusan halus nafas Naruto di rambutnya. Ia mengulas senyum kecil menyadari sedikit keberuntungan yang ia dapat hari ini. Siapa yang menyangka jika harapan kecilnya untuk berada dalam pelukan Naruto saat ia tidur menjadi nyata seperti saat ini, dan Hinata tidak dapat berhenti bersyukur untuk itu.
Meskipun jantungnya bergemuruh―satu hal yang membuat Hinata takut jika Naruto mendengarnya, namun ia menyukainya. Seperti mendengar harapan Hinata, Naruto mendekapnya lebih dekat, membuat tubuh mereka melekat untuk berbagi kehangatan. Hinata merona, dengan canggung mengalungkan tangannya ke balik punggung Naruto. Ia menyukai aroma citrus dari tubuh pria itu, merasakan dada bidang Naruto di wajahnya, dan menikmati panas yang menguar dari balik tubuh suaminya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Hinata, saat menyadari suaminya yang masih terjaga.
Naruto bergumam tidak jelas, masih mempertahankan posisinya. Hinata dapat merasakan wajah pria itu yang menelusup semakin dalam ke helaian rambutnya.
"Aku menyukai harum rambutmu," katanya.
Hinata merona, rasa senang dan bangga mengalir di hatinya, menghangatkan hatinya yang berdesir kencang.
"Naruto-kun?"
"Hn?"
"A-Apa aku sedang membuatmu tersiksa?"
Naruto menarik tubuhnya, memberi jarak di antara mereka. Ditatapnya mata Hinata dengan tidak percaya. Namun melihat sorot bersalah dan khawatir di mata gadis itu membuat Naruto tersenyum tipis. "Ya. Kau membuatku gila, Hinata. Seluruh tubuhku bahkan terasa nyeri hanya dengan menyentuhmu seperti ini."
"Maafkan aku," sesal Hinata.
"Maaf untuk apa?"
"Membuatmu seperti ini."
Naruto mengangkat salah satu alisnya, merasa tertarik. "Kupikir kau tidak pernah merasa bersalah, gadis kecil." Hinata memukul bahunya pelan, membuat tawa geli lolos dari bibir Naruto.
"Aku bukan orang sejahat itu, tahu."
"Benarkah? Kurasa kau orang seperti itu, menyiksaku bahkan dengan tingkahmu yang polos."
Hinata menggembungkan pipinya kesal. "Itu pujian atau sindiran?" sinisnya.
Naruto tertawa mengerang. Dipeluknya kembali tubuh Hinata. Suara rintikan hujan di luar menjadi satu-satunya pengiring kebisuan di antara mereka. Dipandanginya wajah Hinata yang mulai terlihat mengantuk.
"Tidurlah," kata Naruto.
Hinata menggigit bibirnya, menatap mata Naruto dalam. Keengganan nampak jelas di sepasang amethyst indah gadis itu, membuat salah satu sudut Naruto berkedut geli. "Kau masih ingin seperti ini?"
Hinata mengangguk mengiyakan. Kepalanya mendesak semakin dalam pada dada Naruto, berusaha menutupi wajahnya yang merah merona.
"Kau ingin berbicara sesuatu?" tanya Naruto, merasa tidak nyaman jika hanya terdiam.
"Entahlah." Hinata berpikir sejenak. "Bagaimana keadaan Shion-san?"
Naruto mengangkat dahinya yang berkerut, merasa tidak suka ketika harus memulai perdebatan lagi dengan istrinya. "Tidak adakah hal lain yang bisa kau tanyakan selain dia?" ketusnya, merasa jengah.
"Aku hanya penasaran."
"Seberapa penasaran?"
Hinata mendongak, menatap tepat ke mata sapphire Naruto. "Sangat penasaran." Hinata meringis kecil saat Naruto menghela nafas bosan. "Sepertinya Shion-san sungguh-sungguh ingin bertemu denganmu, Naruto-kun―"
"Dan menghabiskan malam di ranjang bersamaku?" selanya.
Hinata tersenyum muram. "Benar."
"Apa kau menyesal karena aku berbaring di sini dan bukan di samping Shion?"
Selama sedetik jantung Hinata terasa terpelintir nyeri. Tentu saja pertanyaan itu membuat hatinya terasa perih dan terluka. "A-Aku tidak mengatakannya."
"Baguslah. Jangan pernah," desis Naruto.
Hinata mengulas senyum tipis, entah mengapa hatinya begitu bahagia hanya dengan mendengar nada mengancam di suara Naruto.
"Apa kau marah padaku?" Hinata memberanikan diri mengusap lembut punggung Naruto, mencoba memberikan ketenangan pada suaminya.
"Iya."
"Karena aku meminta Shion-san tidur di kamarmu?"
Naruto menggeram, setengah tertawa. Dibaliknya tubuh Hinata sehingga gadis itu berbaring di bawahnya, yang tentu saja membuat gadis itu sangat terkejut. Tangan kecilnya masih mencengkeram erat kaos Naruto. Melihat wajah kaget Hinata, membuat Naruto menahan gairahnya untuk mencium gadis itu saat itu juga.
"Bukan," jawab Naruto.
Hinata mengerutkan alisnya, mencoba mencari alasan lain yang mungkin ia lupakan. Tapi tidak ada satu pun yang lebih salah dibandingkan membiarkan Shion berada di kamar pria itu.
"Lalu apa?"
Naruto terdiam sejenak, mata birunya menatap Hinata dalam, membuat hati Hinata bergetar. "Berpikirlah," tantangnya.
Hinata menyipitkan matanya, tidak yakin dengan pemikirannya. Ia akan membuka mulutnya sebelum Naruto mulai menciumnya. Hinata mengerang tertahan dalam pagutan bibir Naruto. Pria itu menciumnya dengan liar namun lembut, membuat Hinata kehilangan akalnya untuk berpikir. Ia mendesah putus asa saat lidah Naruto mendesak masuk ke dalam mulutnya. Dengan nakal benda lunak itu menginvasi seluruh bagian dalam mulutnya.
Hinata merasakan tubuhnya memanas seketika. Tangannya yang gemetar bergerak mengalung di seputar leher Naruto. "Beritahukan padaku," bisik Hinata di tengah kecupan-kecupan Naruto di bibirnya. Sikap menyerah Hinata membuat Naruto tersenyum puas.
Hinata merasa dunianya berputar, dan tubuhnya terasa lemas. Perutnya bergelenyar aneh seperti ribuan kupu-kupu sedang berterbangan di dalamnya. Hinata menyadari dirinya yang menginginkan Naruto lebih.
"Berpikirlah lebih dulu." Naruto mendesak Hinata ke ciuman yang lebih dalam. Hinata merasa putus asa dengan sentuhan Naruto, ia hanya bergerak sesuai instingnya. Diremasnya surai pirang Naruto, recara naluri mendorongnya untuk terus memperdalam ciuman mereka.
Hinata mengais udara saat paru-parunya terasa sesak oleh kebutuhan oksigen. "Aku tidak bisa berpikir," katanya terus terang.
Naruto terkekeh geli.
"Kau ingin tahu?" godanya.
Hinata mengangguk putus asa. Rasa penasaran yang membuncah di hatinya terasa membunuhnya.
"Aku lebih suka melihatmu penasaran seperti saat ini," kata Naruto.
"Naruto-kun!" seru Hinata, kesal. "Apa ada hal yang lebih membuatmu marah dibandingkan itu?"
"Apa yang akan kau lakukan agar aku memberitahumu?"
Kilatan menggoda di mata Naruto membuat Hinata menggembungkan pipinya kesal. Ia tahu jika Naruto akan terus bersikap seperti itu, menggantung perasaan Hinata dengan rasa penasaran yang menyesakkan. Hinata berpikir keras, mencari penawaran yang dapat membuat pria itu membuka mulutnya sekarang.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Hinata, merasa buntu dengan otaknya.
Naruto berguling kembali ke samping Hinata, berbaring dengan santai sambil memandang langit-langit kamarnya. Bibir pria itu menekuk seolah sedang mempertimbangkan beberapa hal.
"Entahlah. Aku tidak sedang menginginkan sesuatu," tandasnya.
Hinata mendecih pelan saat mata Naruto menatap mengejeknya. Wajah tampannya tersenyum seolah sedang mempermainkannya. Hinata merasa kesal melihat senyum kemenangan di wajah suaminya. Ia berpikir dengan keras, sebelum sesuatu membuatnya teringat.
Naruto mengangkat alisnya penasaran saat melihat senyum lebar di wajah Hinata. Matanya terbelalak saat tiba-tiba gadis itu beralih menindih tubuhnya. Naruto tersadar ketika melihat senyum puas di wajah istrinya itu.
"Aku akan menciummu," kata Hinata dengan senyum bersekongkol yang menakjubkan.
Naruto berusaha menahan sebuah senyuman. "Hanya itu?" tanyanya. Hal yang sama tidak dapat berlaku untuk kedua kalinya, batin Naruto.
Mata Hinata melebar tidak percaya. Sebersit keraguan muncul di matanya, namun tidak berhasil meredakan rasa penasaran yang mengganggu hatinya. "Aku akan melakukannya, seratus kali," tawarnya, seperti seorang pembeli yang berusaha mendapatkan benda langka di sebuah pelelangan.
"Baiklah." Naruto berpura-pura menyerah dengan kesepakatan itu. "Sekarang, lakukan."
Naruto menatap Hinata dengan terkesima. Gadis itu mengedipkan matanya beberapa kali, baru menyadari pemikiran konyolnya sendiri. Pipinya yang mulai kembali terlihat segar memerah seperti sebuah tomat matang, membuat Naruto ingin memakannya saat itu juga. Surai indigo Hinata dikucir ekor kuda, menyisakan beberapa helai rambut di bagian depan yang terjatuh membingkai wajah cantiknya. Naruto mengangkat salah satu alisnya saat Hinata masih bergeming.
"Menyerah?" tantangnya.
"T-Tidak akan," kemudian Hinata menempelkan bibirnya dengan cepat ke bibir Naruto, sangat cepat hingga Naruto tersenyum geli. "Satu," bisiknya.
Naruto hanya diam menikmati cara Hinata yang menggemaskan untuk membujuknya. Ia dengan senang hati memanfaatkan sisi penuh keingintahuan istrinya itu setiap saat. Lagipula, ia tidak dapat menolak rayuan malaikat kecilnya itu.
"Katakan, apa yang membuatmu marah padaku?"
Hinata berhenti di ciuman ke lima puluh tiga. Matanya yang memerah menahan kantuk menatapnya dengan memohon. Naruto meletakkan tangannya melingkari pinggul Hinata, bersandar santai di sana.
"Kau tidak menahanku untuk tidak pergi ke kamarku," jawab Naruto, suaranya parau.
"Eh?" Hinata terbeo. "Jika aku menahanmu, apa kau tidak akan pergi?"
"Tentu saja. Seperti yang kau lakukan tadi." Hinata menggigit bibirnya. "Menyesal?" sambungnya.
Hinata tidak menjawab pertanyaannya. Gadis itu berniat beranjak dari posisinya sebelum Naruto mempererat pelukannya. "Masih ada empat puluh tujuh ciuman lagi, istriku," ingatnya, dan Hinata mengerucutkan bibirnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Hinata untuk menyerah dan kembali melanjutkan menghujani bibir Naruto dengan ciumannya.
.
-Tsuzuku-
.
.
.
Review, please… :D