A GLOWING HUG
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto-sensei
Warning : AU, typo(s), OOC, etc.
Rated M
Pairing : Namikaze Naruto Hyuuga Hinata
.
.
If you don't like, so don't read.
.
Happy Reading!
.
.
.
CHAPTER 1
.
Ia berlari.
Terus berlari.
Nafasnya memburu karena langkah kakinya yang terlalu cepat dan udara malam yang terasa begitu dingin menerpa kulit wajahnya yang terbuka. Jantungnya menyentak seiring dengan langkah lebarnya. Gadis itu memeluk erat buku tebal dalam dekapannya. Ia merasa ketakutan.
Jalanan yang ia lewati begitu sepi hanya di terangi sebuah lampu yang terus berkedip. Gadis itu merapalkan doa dalam hatinya. Tangannya mulai memucat begitu pula dengan wajah cantiknya. Ia terus menatap ke depan, tak berani memalingkan wajahnya barang sedetik pun ke belakang dimana suara langkah kaki terdengar semakin jelas. Seluruh tubuhnya gemetar tak terkendali. Kakinya mulai terasa berat.
Ia tidak boleh berhenti. Tidak di jalan sempit dan gelap seperti ini. Tidak, tidak. Tapi kakinya sangat berat untuknya menyeimbangkan tubuhnya, hingga sesekali gadis itu harus tersandung. Tawa rendah tertangkap pendengarannya. Orang itu tahu jika ia tidak akan bisa kabur darinya. Dengan satu sentakan tangan, pria itu menangkap dirinya. Menarik tubuhnya memasuki sebuah lorong gelap dan bau. Menyentakkan tubuh gadis itu ke sebuah tembok di ujung lorong gelap itu. Tidak, tidak, tidak. Apa yang pria itu lakukan!
Kedua tangannya dicengkeram erat di atas kepalanya. Pria itu meraih bagian depan bajunya yang dalam satu tarikan ia robek dengan kasar. Dengan tangan besarnya pria itu memainkan jarinya di payudara gadis itu yang menyembul dari balik branya. Menatap setiap senti tubuh gadis itu dengan pandangan yang membara dan menjijikkan.
"Tidaaaak!"
Hinata tersentak bangun dari alam bawah sadarnya. Nafasnya memburu dengan tak beraturan. Degup jantung memburu. Keringat mengucur deras dari pelipisnya. Dengan panik ia menatap ke sekililingnya. Tubuhnya menggigil dengan hebat. Tempat itu terasa asing baginya. Tangannya mencengkeram erat dadanya yang terasa sesak. Tunggu, di mana kemejanya?! Tidak, tidak. Ia yakin ia tidak sedang mengenakan kaos berwarna putih dan rok pendek ini. Tubuhnya membeku. Sekelebat gambaran-gambaran membayang di ingatannya. Gadis itu menggeleng tak percaya.
"Tidak, tidak! Ini tidak mungkin!" gumamnya.
Ia menjerit dengan keras. Kedua tangannya menekan erat kepalanya yang berkedut nyeri seakan-akan hendak mencabut seluruh surai indigo gadis itu. Mata gadis itu membulat tak percaya. Tubuhnya bergetar hebat.
Hinata memeluk lututnya, bergelung di ranjang. Seluruh tubuhnya terasa nyeri terutama di bagian pangkal pahanya. Ia mengingatnya. Ia mengingat semuanya. Hinata meloncat dari ranjang seketika. Ia masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar itu dan menguncinya. Gadis itu menyalakan shower dan terduduk lemas di lantai. Ia membiarkan guyuran air dingin menerpa tubuhnya, membasahi seluruh pakaiannya serta tubuhnya yang terasa menjijikkan. Tak peduli dengan kedinginan yang menusuk-nusuk kulitnya.
Hinata menjerit dengan keras. Air mata mengalir deras di pipinya. Kepalanya tertunduk dalam. Ia menjijikkan. Ia merasa terhina. Pria itu mempermalukannya, menghinanya dengan sentuhan-sentuhannya. Membuatnya menjadi gadis yang paling menjijikkan di dunia ini dengan mengambil keperawanannya. Ia merasa dipermalukan, diperlakukan dengan kasar dan tak berkemanusiaan.
Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Ia tidak mampu berdiri. Tubuhnya terasa mati rasa. Begitu pula dengan hatinya yang terasa begitu sakit. Gadis itu memukul-mukul kakinya. Ia menjerit dan mengusap kasar seluruh tubuhnya seolah berusaha menghilangkan setiap sentuhan dari bajingan itu. Tapi kenyataan pahit menerpanya. Semuanya telah terjadi. Ia mengingat dengan sangat jelas.
.
Malam itu, tepatnya di pertengahan musim dingin. Hyuuga Hinata berada di kelas untuk mengerjakan sebuah tugas. Kealpaannya di kampus selama beberapa hari membuatnya menumpuk tugas yang harus segera ia berikan pada dosennya. Sehingga, ia memilih untuk lembur di kampus. Awalnya, Hinata tidak sendiri. Gadis itu bersama beberapa temannya, Ino dan Sakura. Tapi mereka berdua harus segera pulang karena ada kegiatan lain. Hinata membiarkan sahabatnya itu pergi karena ia menganggap sebentar lagi tugasnya akan selesai. Sayangnya, hingga selarut ini. Ia masih belum menyelesaikannya. Gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sudah jam 10," gumamnya.
Ia membereskan beberapa buku yang ada di mejanya dan beberapa alat tulis ia masukkan ke dalam tas punggungnya. Gadis itu menghela nafas lelah dan menyandarkan tubuh rampingnya di punggung kursi. Ia menatap keluar jendela dimana langit terlihat biru gelap dan bintang bersinar dengan terang. Tidak ada salju yang turun meskipun ini musim dingin. Ia memandangi langit dari lantai atas kelasnya sebelum ponselnya bergetar. Hinata melihat satu nama yang ada di layar itu. Seulas senyum memperindah wajah manisnya. Ia terima panggilan itu dengan bersemangat.
"Moshi moshi, Naruto-kun?"
Hinata mendengarkan suara orang terkasihnya dengan serius. Ia mengangguk mengiyakan permintaan pria itu untuk berkunjung ke rumahnya. Saat kecil, Naruto tinggal di dekat rumahnya. Hinata sangat dekat dengan keluarga Naruto, begitu pula dengan pria itu. Sayangnya, setelah pria itu menginjak bangku SMA, keluarga Naruto memutuskan untuk pindah ke rumah barunya. Memang mereka masih berada di kota yang sama. Namun, jarak rumah mereka cukup jauh dan berlawanan arah.
Naruto tidak mengetahui jika saat ini ia masih ada di kampus dan meminta Hinata untuk menemui Kushina yang merasa kesepian berada di rumah sendirian. Minato sedang ada tugas ke luar kota sehingga wanita itu hanya berdua dengan Naruto. Namun, Naruto memiliki kencan dengan kekasihnya. Sehingga ia meminta Hinata untuk menggantikannya. Lagipula, Kushina sangat merindukan gadis itu. Hinata terlalu lembut untuk menolak permintaan Naruto. Gadis itu selalu mengiyakan apapun yang pria itu minta padanya. Termasuk berjalan sendiri ke rumah Naruto. Jujur saja ia merasa takut. Mengapa? Karena ia harus melewati jalanan sempit jika ia pergi dari kampus menuju rumah Naruto. Tapi karena ini adalah permintaan pria yang paling ia cintai, Hinata tidak bisa menolak.
Hinata turun di halte terdekat dari kompleks rumah Naruto. Ia berjalan dengan langkah lebar setelah menyadari malam semakin larut. Jalanan yang ia lalui sangat sepi. Hanya ada beberapa mobil yang melintas. Tubuhnya bergidik menyadari sebuah bayangan seseorang yang terlihat di balik dinding sebuah rumah. Berusaha mengenyahkan pemikiran konyolnya, Hinata berjalan ke belokan tersebut, melewati pria bertubuh tinggi yang bersandar pada tembok dengan kedua tangan yang ia masukkan di kantong celananya. Pria itu mengenakan tudung jaket sehingga Hinata tak dapat mengenali wajah pria itu. Ia hanya melewati pria itu begitu saja. Namun, semakin lama ia berjalan, Hinata merasa seseorang mengikutinya. Ia tidak berani melihat ke belakang apakah dugaannya benar atau salah. Mulanya ia berpikir mungkin itu hanya imajinasinya. Tapi suara langkah kaki itu semakin jelas di telinganya. Wajah Hinata memucat ketakutan. Ia mempercepat langkah kakinya. Tersandung-sandung saat ia menyadari jika ia mulai setengah berlari. Nafasnya memburu. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk. Gadis itu mendekap bukunya dengan erat. Bersiap-siap menggunakan buku itu sebagai senjata jika diperlukan.
Ia melihat dua buah jalan tak jauh darinya. Di sinilah jalanan yang paling membuat Hinata ngeri. Satu jalan menuju rumah Naruto, dan satu lagi sebuah jalan buntu. Kedua jalan itu tidak ada bedanya bagi Hinata karena sama-sama gelap dan sepi. Tidak banyak orang yang melewati daerah itu. Setidaknya jalan menuju rumah Naruto diterangi sebuah lampu yang sudah agak redup. Sangat lebih baik di banding lorong gelap satunya. Tanpa pikir panjang ia berjalan melewati jalan itu, melirik jalan buntu yang sangat gelap dari sudut matanya. Hanya beberapa langkah ia berjalan, sebuah tangan menarik pinggangnya dan membekap mulutnya. Menyeret tubuhnya yang memberontak ke jalan buntu tadi. Pandangan Hinata terasa gelap karena tidak ada pencahayaan sama sekali di sana. Bau tidak sedap tercium saat ia melewati sebuah tempat sampah. Namun, pria itu terus menarik tubuhnya lebih jauh hingga tubuhnya terdorong ke sesuatu yang keras―ia yakin jika itu adalah sebuah dinding pembatas. Hinata menggeleng memohon saat pria yang tak terlihat wajahnya itu menyeringai jahat. Ia tahu apa yang akan terjadi padanya berikutnya.
Hinata memberontak ketika pria itu mulai menyentuhnya dengan kasar. Memperlakukan tubuhnya seperti sampah. Menghujam dirinya dengan keras hingga ia tidak lagi tahu apa tubuhnya masih utuh atau tidak. Gadis itu menjerit dalam ciuman kasar pria itu. Semua terjadi dengan begitu cepat. Pria brengsek itu pergi begiu saja setelah membisikkan kata terima kasih dan… maaf?
Hinata tidak tahu lagi dimana ia berada saat ini. Bahkan ia tidak dapat merasakan dingin yang menusuk kulitnya. Pandangannya kosong. Tubuhnya mati rasa dan nyeri di segala tempat. Air mata turun dari matanya dengan deras namun tanpa suara. Ia menatap hampa kegelapan di depannya. Seseorang mendekat padanya, semakin dekat, dan berdiri di depan tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Sontak Hinata mundur, merapat pada sudut dinding. Matanya membulat dengan lebar. Tubuhnya bergetar ketakutan.
"Jangan mendekat!" pintanya dengan lemah dan ketakutan. Tapi, orang itu terus mendekat yang membuat Hinata meringkuk di dinding. Tangannya meraba tanah hingga ia mendapatkan sesuatu yang ia yakini sebagai tasnya. Ia gunakan tas itu untuk menutup bagian tubuhnya sebisa mungkin ketika pria itu menatap tubuhnya dengan mata birunya yang terluka.
"Tenanglah, Hinata. Aku akan membawamu pulang," bisiknya dengan lembut.
Hinata menggelengkan kepalanya tak mempercayai pria di hadapannya yang terlihat seperti orang yang dicintainya―Naruto. Mungkin itu hanyalah ilusi yang ia buat ketika berharap pria itu ada di sini bersamanya. Kepalanya terasa nyeri. Ia tidak lagi bisa mengendalikan irama jantungnya yang berdetak liar. Dadanya terasa sesak seakan paru-parunya tak mampu mencakup udara yang di butuhkannya. Kabut tebal bergulung menyelimutinya, menghilangkan segala suara dan pandangan, dan ia terbenam dalam kegelapan tak berdasar.
.
.
Suasana ruang keluarga Namikaze diselimuti ketegangan. Naruto terduduk di sofa dengan kedua tangan yang mengepal di pahanya. Kepalanya menunduk dalam. Ia menyesal. Berkali-kali kata maaf keluar dari bibirnya. Tidak ada air mata yang keluar dari mata sebiru lautan miliknya, meskipun seluruh tubuhnya bergetar dan dadanya yang terasa dicubit dengan keras. Kushina menggenggam tangan putranya yang bergetar hebat. Namun, wanita itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Begitu pula dengan dua pria yang duduk di hadapannya.
Naruto menyesal. Sungguh. Ia tidak tahu jika permintaannya pada Hinata dapat menyebabkan suatu insiden yang menghancurkan seluruh kehidupan gadis itu―gadis yang selalu ia anggap sebagai adiknya sendiri. Jika ia tahu apa yang akan menimpa gadis itu. Jika saja ia tahu jika gadis itu masih berada di kampusnya saat itu. Jika saja ia menjemput Hinata sebelum pergi berkencan dengan Shion―kekasihnya.
Tapi, semua telah terjadi. Dan itu semua salahnya. Ia bertanggung jawab atas segala yang menimpa Hinata.
"Maafkan aku," gumamnya sekali lagi. Suaranya bergetar. "Sungguh, maafkan aku. Ini semua salahku," akunya.
Kushina menangis melihat putra semata wayangnya yang terus menunduk dengan tubuh bergetar. Memahami betapa terlukanya hati putranya itu saat ini.
"Brengsek, kenapa kau menyuruhnya untuk datang kemari selarut ini, ha?!" murka Neji. Aniki Hinata sekaligus sahabat Naruto itu mengepalkan tangannya dan bersiap menerjang pria bersurai kuning di hadapannya sebelum sebuah tangan mencengkeram tangannya.
"Tenanglah, Neji," perintah pria seumuran Kushina itu. Wajah Hyuuga Hiashi terlihat begitu datar meskipun di dalamnya ia merasa sangat terluka.
"Tapi, Jisan―"
"Duduklah," katanya pada Neji yang terlihat tak setuju dengan ucapannya. Neji menatap wajah pamannya yang tak menampakkan ekspresi apapun. Namun, rahang pria itu mengeras, yang diketahui Neji jika pria itu sedang berusaha menahan amarahnya. Neji menghela nafas kasar dan kembali duduk di kursinya. "Semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk itu," ujar Hiashi.
Kushina mengusap air matanya, tangannya terus menggenggam lembut kepalan tangan Naruto. Ia memandang wajah Hiashi yang terlihat sangat tenang di hadapannya. "Setidaknya, Naruto berhasil menemukan Hinata sebelum sesuatu yang lebih buruk menimpanya," lanjut Hiashi.
Kushina menatap Naruto sendu ketika merasakan kepalan tangan anak itu yang semakin mengeras setelah mendengar perkataan Hiashi. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Hiashi? Hinata pasti sangat terluka dengan semua ini."
Hiashi terdiam untuk kemudian membuka kembali bibirnya. Pria itu menghembuskan nafasnya. Raut kesedihan tidak bisa lagi ia tutupi. "Aku mengkhawatirkan reputasi dan keadaan psikisnya akan tergoncang dengan semua yang telah terjadi. Kita tidak bisa memastikan apa orang itu telah menanamkan benihnya pada Hinata," ujarnya pahit.
Naruto mendongak, menatap Hiashi dengan tak percaya. "Itu tidak boleh terjadi!" serunya.
Hiashi menggeleng, "Tidak ada yang tahu tentang itu."
Neji terdiam. Tidak ada yang bisa ia katakan.
"Lantas apa yang harus kita lakukan? Oh, Hinata yang malang," bisik Kushina sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia merasa sangat terluka. Bagi Kushina, Hinata sudah menjadi anaknya sendiri. Ia tidak ingin gadis itu menderita.
"Aku akan segera mencari suami untuknya," tukas Hiashi yang langsung saja membuat ketiga pasang mata yang ada di ruangan itu menatapnya tak percaya.
"Tapi, Jisan, Hinata tidak akan menyetujuinya. Itu hanya akan membuatnya lebih menderita," protes Neji.
"Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan reputasinya."
"Kita bisa memikirkan cara lainnya, Hiashi," sahut Kushina mendukung pendapat Neji.
"Tidak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu, Kushina. Hanya itu jalan terbaik yang dapat kita lakukan saat ini," jelas Hiashi.
Untuk sesaat tidak ada suara yang terdengar di ruangan besar itu. Naruto terdiam. Ia menyadari jika mungkin itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan reputasi Hinata. Semua orang akan menganggap rendah gadis itu jika sampai mengetahui segala hal yang gadis itu alami hari ini. Meskipun, Naruto yakin jika Hiashi tentu dapat segera menangani semuanya. Tapi―
"Tidak akan ada pria yang ingin menikahinya jika mengetahui apa yang akan terjadi padanya," cetus Neji setelah bungkam beberapa saat.
Hati Naruto mencelos. Neji benar. Tidak akan ada pria baik di luar sana yang akan menghormati Hinata jika mengetahui semuanya. Yang ada hanya pria brengsek yang hanya akan menyakiti gadis mungil itu. Jangan katakan jika―
"Tidak akan ada yang menolak kerja sama dengan perusahaan Hyuuga," tandas Hiashi dingin. Naruto membelalakkan matanya. Pria tua itu sungguh tidak memiliki sedikit pun perasaan pada putrinya sendiri.
"Apa kau berniat menjualnya?" bentak Naruto seketika. Amarah telah menyelimutinya menyadari betapa tidak berharganya Hinata bagi seorang Hyuuga Hiashi.
Kushina membulatkan matanya, "Naruto," tegurnya mendengar nada putranya yang meninggi. "Tentu bukan itu yang dimaksudkan oleh Hiashi. Ia tidak akan melakukan hal itu pada Hinata," ujarnya lembut.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Tidak akan," tegas Naruto.
"Naruto!"
Kushina menatap anaknya tajam. Ia tidak suka mendengar anaknya begitu kasar. Tapi anak itu dengan lantang berbalik menatap tajam dirinya. Mata sewarna mata milik suaminya itu berkilat penuh amarah.
"Orang itu hanya akan melakukan hal yang tidak baik pada Hinata. Ia tidak akan membuat Hinata bahagia. Pria itu hanya akan menyakitinya," jelas Naruto dengan murka.
"Tidak ada cara lain, Naruto."
Pria dengan tiga garis halus di pipinya itu menatap tak percaya pada pria bersurai coklat panjang di depannya. Tadi pria itu menentang gagasan Hiashi. Lantas sekarang ia membelanya?!
"Apa yang kau pikirkan Neji! Kau akan membiarkannya begitu saja?" tanya Naruto tak percaya.
Neji menatap Naruto tajam dengan ekspresi dinginnya, "Ya."
"Kau brengsek," umpat Naruto.
"Aku akan mengajukan lamaran pada Orochimaru," cetus Hiashi. Seketika mata Naruto membulat. Tentu ia tahu siapa yang disebut sebagai Orochimaru. Pria kasar yang sering terlibat dalam tindak kejahatan itu. Apa pria tua itu kehilangan akalnya?!
"Aku tidak setuju," protes Naruto.
"Kita bisa mengajukan lamaran pada Akasuna. Mereka akan dengan senang hati menerima sebagian saham milik Hyuuga," usul Neji.
Hanya ada satu nama Akasuna di pikiran Naruto. Tentu saja Akasuna Sasori. Pria hidung belang yang senang memainkan hati wanita. Menidurinya kemudian ditinggalkan di ranjangnya di pagi hari. Gila. Itu gila.
"Aku menolak," protes Naruto, lagi.
Neji menggeram kesal. "Kalau begitu, Uchiha."
"Tidak. Sasuke hanya akan menyakiti Hinata. Itachi sudah menikah," jelas Naruto.
"Sabaku," tawar Neji.
"Tidak boleh." Gaara terlalu dingin bagi gadis lembut seperti Hinata. Pria itu tidak akan melakukan Hinata dengan lembut.
"Hidan," usul Neji.
"Apa kau gila?! Penyembah dewa Jashin yang terobsesi untuk menjadi abadi itu! Kau tidak waras Neji."
"Lantas, Bee-san. Ia memiliki perusahaan entertainment paling terkenal di Jepang."
"Ha! Ditolak!"
Dahi Neji mulai berkedut kesal. Matanya menatap tajam pria bersurai pirang di hadapannya. "Tidak ada yang tepat menurutmu, Naruto! Lantas siapa yang kau inginkan, ha?!" bentaknya.
Tentu saja. Hinata gadis yang lemah lembut. Semua lelaki di dunia ini tidak akan bisa menjaga gadis itu. Tidak ada yang bisa ia percaya untuk menjaga Hinata dan menjaminnya tidak menyakiti gadis itu. Semua pria kecuali dirinya. Naruto tersentak dengan gagasannya sendiri. Benar, ia akan menjaga Hinata lebih baik dari siapapun. Ia tidak akan meyakiti gadis mungil itu. Ia akan memperlakukan Hinata dengan sayang seperti biasanya. Ia tidak akan menjauhi, memperlakukan kasar hanya karena kenyataan jika gadis itu telah mendapatkan pelecehan seksual. Naruto akan membuka mulutnya tepat ketika sebuah jeritan terdengar dari dalam kamarnya.
.
Naruto terlonjak dari sofa. Ia berlari menaiki tangga menuju salah satu ruangan yang tidak asing baginya. Tepat di samping tangga, ia membuka pintu kayu kamarnya. Mata sapphirenya beredar ke seluruh ruangan. Namun, nihil. Hinata tidak ada di ranjangnya. Suara air mengucur keras dari dalam kamar mandinya. Pikiran buruk terbersit.
"Hinata?" tanya Naruto memastikan jika gadis itu berada di dalam kamar mandi. Namun tidak ada sahutan apapun. Neji menghampirinya. Melayangkan pandangan 'apa yang terjadi?' dari sorot mata amethystnya. Disusul dengan Hiashi dan Kushina yang muncul dari balik pintu.
Naruto mengangkat bahunya. Ia tidak tahu apa yang Hinata lakukan di dalam sana.
"Hinata?" Kali ini Neji yang bersuara. Tapi, nihil. Tetap tidak ada jawaban dari dalam. Keempat orang yang ada di luar mulai panic. Kushina menyatukan tangan di dadanya dengan erat. Sedangkan, Hiashi menatap pintu kamar mandi dalam diam, namun, Naruto dapat melihat raut cemas di sana. Neji? Pria bersurai coklat itu memutar kenop pintu berkali-kali. Pintu itu terkunci dari dalam yang berarti jika seseorang berada di sana.
"Biar aku yang membukanya," bisik Naruto. Sekilas Neji menatap wajah serius kawannya itu. Kemudian ia mengangguk.
"Jika kau tidak membukanya, maka aku akan mendobraknya," ancam Naruto pada Hinata sebelum ia benar-benar menghancurkan pintu kamar mandinya sendiri. Satu, dua, tiga… tidak ada respon. Naruto mendecih kasar kemudian mendorong tubuhnya dalam sekali hentakan ke pintu itu hingga terdengar dentuman keras.
Pintu itu terbuka lebar, memperlihatkan tubuh seorang gadis bersurai indigo yang tergeletak di lantai kamar mandinya. Dengan panic, Neji menghampiri tubuh tak berdaya adiknya. Satu tangannya ia letakkan di belakang lutut gadis itu, dan satu tangannya lagi ia letakkan di lehernya dan membawa gadis itu ke atas ranjang Naruto. Tubuh Hinata terasa seringan kapas. Pria yang biasanya selalu memasang muka datar itu menatap sendu adik sepupu kesayangannya. Ditaruhnya tubuh mungil Hinata dengan perlahan, seakan takut satu sentuhan saja mampu menghancurkan tubuh gadis itu.
Kushina melihat dengan panic wajah cantik Hinata yang terlihat lebih pucat. Seluruh tubuh gadis itu basah oleh air. Wanita bersurai merah itu menatap Hinata nanar. "Biarkan aku mengeringkan badannya. Kalian keluarlah. Dan Naruto, tolong ambilkan baju Kaasan di lemari," kata Kushina dengan cepat.
Tanpa menunggu lama Naruto berlari ke tempat pakaian ibunya disimpan. Mengambil asal pakaian Kushina dan kembali ke kamarnya. Ia memberikan pakaian itu pada ibunya. Menatap sebentar gadis yang terbaring di ranjangnya. Seperti ada sesuatu yang mengiris dadanya hingga rasanya sangat menyakitkan. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Naruto keluar. Ia menutup pintu kayu itu. Dua pria berdiri dengan kokoh di depan kamarnya. Dua sosok dengan ciri fisik yang serupa itu menampakkan sorot khawatir. Bahkan Neji terus mondar-mandir di depan kamar Naruto.
Naruto mengepalkan tangannya di samping tubuhnya. Ia teringat sesuatu yang awalnya ingin ia katakan. Sesuatu yang sangat berpengaruh pada hidupnya dan hidup Hinata. Dengan yakin, ia mendongakkan wajahnya. Menatap mata amethyst milik seorang Hyuuga Hiashi.
"Aku akan bertanggung jawab," katanya.
Sontak Neji berhenti dari kegiatannya. Menatap tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Hiashi menatap mata biru Naruto dalam diam, menyelami mata itu untuk menemukan seberkas keraguan maupun kebohongan dari matanya. Namun, tidak ada satupun keraguan di sana. Pria itu bersungguh-sungguh.
"Tolong izinkan aku menikahi, Hinata," tambah Naruto dengan tegas.
Pria itu mengulas senyum tipis kemudian menganggukkan kepalanya. Ia menantikan kata itu keluar dari mulut bocah Namikaze itu sedari tadi. Tapi ternyata perlu waktu cukup lama bagi pria itu untuk mengatakannya. Hiashi menyadari tidak ada yang lebih pantas bersanding dengan putrinya selain seorang Namikaze Naruto. Ia percaya pada putra sahabatnya Minato dan Kushina itu.
"Aku percayakan Hinata padamu, Naruto," ujarnya.
.
.
.
Hinata tertidur dengan pulas di kamarnya. Nafasnya berhembus dengan teratur. Wajahnya terlihat sangat damai ketika ia terlelap. Tidak ada satupun cela di kulit putihnya yang bersinar oleh cahaya mentari yang menembus masuk melalui celah tirai ruang besar itu. Hanabi tersenyum miris mengenang betapa sempurnanya sosok Hinata di matanya. Ia menangis dalam diam melihat keadaan rapuh anekinya itu. Sesuatu yang tidak layak gadis lugu itu dapatkan baru saja menimpanya. Hanabi menggigit bibir bawahnya. Ia bersumpah akan membunuh bajingan jika ia berjumpa dengannya. Kedua tangannya terkepal erat di atas pahanya. Sesekali menekan lembut tangan halus milik Hinata. Ia duduk di tepi ranjang, tidak berusaha untuk beranjak dari tempat itu.
"Pergilah tidur, Hanabi. Kau sudah di sini semalaman," tegur Neji. Pria itu membawa sebuah nampan berisi makanan dan segelas air putih. Ia letakkan benda itu di atas nakas. "Biarkan aku yang menjaganya." Neji menarik sebuah kursi yang ada di kamar itu.
Hanabi menggelengkan kepalanya. Walaupun tubuhnya meraung meminta ranjang.
"Tidurlah. Kau bisa ikut sakit jika memaksakan diri," ujar Neji. Pria itu menatap wajah sayu Hinata yang belum terbangun sejak pingsan di lantai kamar mandi Naruto semalam. "Aku sudah mengizinkanmu membolos sekolah hari ini. Jadi turuti perkataanku dan kembalilah ke kamarmu."
Hanabi menunduk memandang Hinata. "Baiklah," sahutnya pasrah dengan nada final sepupunya itu.
Suara pintu tertutup terdengar ketika Hanabi meninggalkan Neji dan Hinata. Pria itu menatap Hinata dalam diam. Memandang wajah tenang gadis itu dengan sendu. Setetes air mata terjatuh dari pelupuk matanya. "Maafkan aku tidak bisa melindungimu," sesalnya.
.
.
Hari sudah mulai siang ketika Hinata membuka matanya. Dengan perlahan membuka amaethystnya, menyesuaikan netranya dengan cahaya yang masuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Tidak ada satupun suara yang tertangkap telinganya. Hinata terdiam sendirian di atas ranjangnya. Seluruh badannya masih terasa nyeri. Membawanya ke sebuah ingatan bahwa semalam ia benar-benar telah dihina dan dipermalukan. Air mata mengalir melalui sudut matanya, membasahi pelipisnya.
Ia tidak ingin beranjak dari kamarnya. Semua terasa nyaman menyadari bahwa ia berada di tempat yang aman. Hatinya terasa kebas. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Ia tidak memilik nafsu makan setelah menyadari sebuah nampan berisi penuh makanan terletak di atas nakasnya. Ia hanya ingin terus seperti ini. Menatap langit-langit kamarnya hampa dengan air mata yang terus mengalir dari matanya.
Hinata memiringkan tubuhnya menghadap ke dinding ketika sebuah suara ketukan di pintunya terdengar. Ia tidak peduli siapa yang memasuki kamarnya. Ia tidak peduli apa yang ia lakukan. Suara tarikan kursi berdecit menggesek lantai kayu. Hinata menunggunya bersuara. Tapi tidak ada satupun yang orang itu katakan. Ia hanya tidak ingin membuka suaranya, sehingga hanya ada bunyi detik jam menyelimuti mereka selama beberapa menit. Hinata tidak tahu siapa orang yang saat ini duduk di belakangnya dan apa yang ia lakukan. Ia berharap orang itu segera pergi meninggalkan Hinata sendirian di kamarnya.
Seakan mendengar permohonan Hinata, orang itu beranjak dari kursinya dan menutup pintu kamarnya.
Beberapa kali pintu kamar Hinata dibuka, entah itu Hanabi maupun Neji selalu bergantian masuk dan memastikan keadaan Hinata. Membuat hati gadis itu terasa hangat. Tetapi, ia tidak memiliki tenaga untuk menanggapi semua yang mereka bicarakan. Ia hanya terus terdiam, bergelung membentuk bola di atas ranjangnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia tidak mempedulikan suara perutnya yang terus berbunyi nyaring. Selera makannya hilang entah kemana. Bibirnya teras kering tetapi ia tidak berniat untuk membukanya hingga siang berganti malam. Hinata tertidur karena terlalu lelah dengan penderitaannya sendiri.
Baru saja ia menutup matanya. Membiarkan kegelapan menyelimutinya. Menariknya lebih dalam ke dalam sebuah ketakutan tak berdasar yang menganga di bawahnya. Membawanya kembali ke tempat dimana ia tergeletak tak berdaya dengan tubuh telanjang dengan seorang pria yang menyeringai tepat di atas tubuhnya bersiap menghujam tubuhnya.
"Tidak! Tidak! Tidaaaak!"
Hinata terbangun dari mimpi buruknya. Badannya terasa lengket oleh keringat dan nafas yang memburu. Tiba-tiba pintu kamarnya terdorong dengan keras. Menampilkan wajah tiga orang yang hampir serupa dengan penuh kekhawatiran.
Neji menatap mata Hinata dalam kepanikan. Begitu pula dengan Hanabi dan ayahnya―Hiashi.
"Kau baik-baik saja?" tanya Neji tanpa menutupi kecemasannya.
"Neesan," bisik Hanabi dengan khawatir.
Hinata menatap lembut ketiga orang yang ada di hadapannya. Ia mengulas senyum tipis. Meskipun, ia terpaksa melakukannya agar ketiga orang terkasihnya dapat kembali tenang. "Aku baik-baik saja," lirihnya.
"Aku akan menemanimu malam ini," ujar Hanabi melangkahkan kakinya mendekati ranjang Hinata. Hinata menatap sendu adiknya itu. Tersenyum lembut ketika gadis kecil itu duduk di tepi ranjangnya.
"Tak perlu, Hanabi. Aku baik-baik saja, sungguh. Kembalilah ke kamarmu. Tousan dan Neji-niisan juga," ujarnya. Ketiga pasang mata serupa dengan matanya itu menatapnya ragu. Hinata menggigit bibirnya dengan gugup mendapat tatapan intens keluarganya. "Sungguh tidak apa-apa."
"Kau yakin?" tanya Hiashi khawatir. Hinata tersenyum lembut pada ayahnya kemudian memberinya anggukan mantap. Ia tidak menyangka jika seluruh keluarganya begitu cemas akan dirinya.
"Jika ada yang kau perlukan, kamarku ada di sebelah kamarmu."
Hinata terkekeh pelan mendengar ucapan Neji. Tentu ia tidak akan lupa di mana letak kamar anikinya itu. Sekali lagi, ia mengangguk.
"Biarkan Hinata tidur kembali," ujar Hiashi setibanya di pintu. Pria tegas itu menatap dalam putri bungsu dan keponakannya. "Kembalilah ke kamar kalian," perintahnya sebelum meninggalkan kamar Hinata.
Hinata menatap Neji dan Hanabi sekali lagi. Meyakinkan mereka jika ia baik-baik saja. Ia tersenyum lembut ketika Neji hendak menutup pintunya kemudian bernafas lega. Ia termangu di kesunyian malam. Ia melirik jam melalui sudut matanya. Ini masih tengah malam. Tapi, ia tidak lagi berani mnutup matanya. Hinata takut jika ia tertidur maka pria itu akan datang lagi ke mimpinya. Ia menekuk lututnya dan meletakkan kepalanya di sana. Kedua tangannya mencengkeram seprai dengan kuat. Tanpa sadar, air mata kembali membasahi pipinya.
.
Hinata mengatakan pada keluarganya jika ia baik-baik saja. Nyatanya, gadis itu masih mengurung diri di kamarnya. Ini sudah empat hari terhitung sejak gadis itu mengatakannya. Hinata menyadari jika ia tidak bisa membuat keluarganya terus menerus khawatir dengan keadaannya. Ia mencobanya―bersikap biasa saja seolah tak pernah terjadi apapun, menjalani harinya seakan kejadian mengerikan itu tidak pernah terjadi, tapi ia tidak berhasil. Setiap saat ia selalu berusaha melupakan ingatan menyeramkan malam itu, tapi justru pria itu kembali mengingatkannya di malam hari. Datang ke dalam alam bawah sadarnya. Memberinya mimpi-mimpi buruk, terus dan terus setiap malam. Membuatnya terbangun di tengah malam dengan tubuh basah oleh keringat, nafas menderu, dan irama jantung yang tak beraturan.
Hinata akan mengambil makan malamnya yang biasa Hanabi letakkan di depan kamarnya. Tepat saat tangan kecilnya membuka pintu, sebuah suara terdengar di telinganya.
"Kita… membawanya ke psikiater…psikisnya baik-baik saja."
"Aku tidak yakin apa dia akan menyetujuinya."
"Aku sangat mencemaskannya… Aku tidak… tidur setiap malam… khawatir ia akan berteriak ketakutan."
Begitulah suara samar yang setidaknya mampu Hinata tangkap. Ia mengambil nampan yang ada di depan pintu kamarnya kemudian menutup dan mengunci pintunya. Psikiater? Hinata tidak ingin pergi ke tempat itu, bukan karena ia takut. Tapi karena ia tahu itu akan memperburuk nama Hiashi jika seseorang sampai mengetahui salah satu anaknya mengalami gangguan psikis. Hatinya terasa diiris dengan kenyataan bahwa dirinya membuat keluarganya tidak bisa tidur karena mencemaskan dirinya. Ia tidak boleh terus begini.
Sudah empat hari Hinata mengurung diri di kamarnya. Menutup pintunya hingga tak seorang pun dapat masuk. Setiap saat hampir terdengar sebuah ketukan di pintunya, memastikan jika Hinata masih bernyawa di dalam kamar. Lucu sekali. Hanabi tidak pergi ke sekolahnya selama dua hari, begitu juga dengan Neji yang mengambil cuti dari kantor untuk menjaga Hinata di rumah. Hiashi mengatur jadwalnya agar selalu pulang lebih awal. Semua keluarganya mengkhawatirkannya. Tapi apa yang ia lakukan, hanya menangisi suatu hal yang tidak pernah bisa ia rubah di dalam kamarnya. Setiap hari mengambil makanan yang Hanabi letakkan di depan pintunya dan mengembalikkannya setelah berkurang dua sampai tiga sendok. Ia meringkuk di ranjangnya, menangis tanpa suara hingga kelelahan, lalu ia tertidur untuk bangun lagi karena mimpi buruk. Hidup Hinata sungguh bagai berada di neraka.
Hinata menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Ia tidak tahu jika penderitaannya justru membuat keluarganya ikut menderita. Ia bisa menahan siksaan pada dirinya. Tapi dengan keluarganya? Tidak, tidak. Ia tidak bisa melakukannya. Ia akan berhenti bersikap egois. Hinata bisa melakukannya, ia akan menyimpan jauh-jauh ketakutannya. Demi ayah, kakak, dan adiknya.
Hinata menatap makanan yang mendingin di nampan yang tadi ia letakkan di atas nakas. Memandang nampan itu sesaat lalu mengambilnya dan menaruhnya di pangkuannya.
"Mari mulai dari sini, Hinata," gumamnya. Gadis bersurai indigo itu mengenyahkan segala tidak nafsu makannya dan melahap habis seluruh makanan itu tanpa menyisakannya sedikitpun.
.
.
Hinata membuka matanya setelah melihat seberkas sinar matahari di ruangannya. Memang segalanya tidak berjalan dengan mudah seperti yang ia harapkan. Ia terus terjaga sepanjang malam setelah terbangun oleh mimpi buruknya. Lagi. Hinata tidak tahu apa lagi-lagi ia menjerit ketika ia terbangun, tapi, tidak ada, baik Hiashi, Neji, maupun Hanabi yang datang ke kamarnya. Ia hanya berharap setidaknya ada sedikit kemajuan dengan dirinya. Hinata meloncat turun dari ranjang. Menatap penampilannya di cermin. Hinata tentu menyadari jika ada warna kehitaman di bagian bawah matanya. Itu semua karena ia selalu tertidur satu atau dua jam sehari. Wajahnya terlihat pucat di kulitnya yang putih.
Hinata menghela nafas dan menutup matanya. Sekali lagi meyakinkan dirinya tentang keputusan yang telah ia buat. Kaki kecilnya melangkah ke dalam kamar mandi, menyalakan shower dan membasuh tubuhnya. Tangannya bergetar saat menyentuh kulitnya. Hinata teringat dengan kejadian malam itu. Betapa tidak adanya bagian tubuh yang tidak tersentuh oleh pria brengsek itu. Terutama bagian pangkal pahanya yang seketika membuat kaki Hinata gemetar lemas. Ia menopang tubuhnya dengan kedua tangan memegang erat dinding keramik kamar mandi.
Hinata keluar dari kamarnya setelah memastikan jika ia berpakaian dengan baik hari ini. Gadis itu melangkah menuruni anak tangga dalam balutan celana jeans dan sebuah sweater, tak lupa dengan sebuah syal yang melilit leher jenjangnya. Udara terasa dingin ketika pagi tadi ia membuka jendela kamarnya.
Seperti yang Hinata terka, semua pasang mata di meja makan itu membelalak tak percaya dengan kehadiran dirinya di tempat itu. Akhirnya, Hinata keluar dari persembunyiannya. Ia mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di sebelah Hanabi. Gadis kecil itu memandanganya dengan takjub. Seakan ia baru saja melihat sebuah keajaiban.
Hinata memberikan senyum lembut pada gadis itu. "O-Ohayou," sapanya pada keluarganya. Ia agak gugup untuk melakukannya setelah beberapa hari tidak mengeluarkan suara. ia mendengar suaranya terdengar agak serak.
"Kau akan pergi ke mana, Neesan?" tanya Hanabi saat Hinata memasukkan makanan pertamanya pagi ini ke mulutnya. Ia mengunyah ikan di mulutnya sebelum mengeluarkan suaranya, "Tentu saja ke kampus, Hanabi."
Hinata kembali memasukkan sesumpit nasi ke mulutnya, mengunyahnya perlahan sembari menunggu respon dari ketiga orang di sekelilingnya.
"Kau sudah membaik?" Kali ini Neji yang bertanya padanya. Pria itu mengenakan kaos lengan panjang yang pernah Hinata berikan padanya. Sedikit terkejut menyadari jika anikinya itu berniat di rumah hari ini.
"Un. Apa Neji-niisan tidak pergi ke kantor?" tanyanya sembari mengamati penampilan Neji.
Neji terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan ragu Hinata. Sedikit terbata, ia menjawab, "A-Ah, sebentar lagi aku akan berangkat."
Hinata memandang polos wajah Neji yang datar namun menatapnya penuh kelembutan. Ia tersenyum tipis berpura-pura tidak menyadari tatapan penasaran di balik mata amethyst pria bersurai panjang itu.
"Biarkan Neji mengantarmu."
Hinata menoleh ke sudut meja dimana sosok besar Hiashi duduk dengan tegap. Tubuhnya terlihat mengurus dari yang terakhir kali Hinata lihat. Sudah beberapa hari ia tidak melihat kehadiran otousannya itu. Gadis itu merindukan wajah tanpa ekspresi nan tegas dari Hyuuga Hiashi. Wajah pria paruh baya itu terlihat lelah. Ada warna kehitaman di bawah matanya yang menarik perhatian Hinata. Namun, ia tidak mengatakan apapun. Ini semua pasti karena dirinya., sesal Hinata dalam hatinya.
"Tidak perlu, Tousan. Aku akan berangkat lebih dulu," ujarnya. Hinata mendorong kursinya pelan dan beranjak berdiri. Tidak ada perdebatan Hiashi. Kecuali, Neji dan Hanabi yang tampak akan melayangkan protes sebelum mendapat tatapan final Hiashi. Ia membungkuk pamit sebelum meninggalkan ruang makan, meninggalkan pandangan khawatir yang ditujukan padanya.
Hinata berhenti di pintu rumahnya. Ia mengambil sepatu yang diletakkan di getabako dan memasangnya di kedua kaki kecilnya.
"Hinata."
Hinata mendongak menatap sosok tinggi Naruto yang terkesiap melihat dirinya. Tak dapat dipungkiri jika saat ini dirinya pun juga terkesiap melihat kehadiran pria bersurai pirang itu di depannya.
"Kemana kau akan pergi?" tanyanya sebelum Hinata ingin membuka mulutnya. Hinata tersenyum pahit mengingat pertanyaan pertama yang ia dapatkan dari semua orang. Seperti ia akan pergi ke jurang saja dan menceburkan dirinya di sana.
"Kampus," jawabnya singkat sembari menarik tali sepatunya agar terikat dengan erat. Tanpa memandang ekspresi Naruto, Hinata membungkuk kecil kemudian pergi melewati pria itu.
"Aku akan mengantarmu," serunya yang tiba-tiba telah berada di samping Hinata. Hinata menelusupkan dagunya ke dalam syal ketika angin berhembus di kulitnya. Dingin, pikirnya. Ia terus melangkahkan kakinya tanpa berniat mempedulikan langkah kaki besar di sampingnya. "Tidak, terima kasih," jawabnya.
Hinata telah memikirkan Naruto semalaman. Memikirkan betapa ia sangat tidak pantas untuk memiliki perasaan pada pria itu. Ia menjijikkan. Itu sebabnya ia akan menjauh dari pria itu. Hinata akan berusaha melupakan pria yang telah dicintainya semenjak berusia enam tahun itu.
"Terlalu dingin di luar. Masuklah ke mobil," tawar Naruto saat Hinata terus berjalan melewati mobilnya yang terparkir di depan kediaman Hyuuga.
"Aku akan naik bus."
Hinata tidak ingin berdekatan dengan calon suaminya itu. Bukannya Hinata tidak tahu apa yang terjadi selama ini sementara dirinya berada di dalam tempat persembunyiannya. Hiashi yang memberitahunya secara langsung suatu malam ketika Hinata bergelung di ranjangnya. Pernikahannya akan diadakan sebulan lagi. Pria paruh baya itu mengatakan demi nama baik Hinata, ia harus menikah dengan Naruto. Ia khawatir jika gadis itu mendadak hamil setelah pemerkosaan. Konyol.
Hinata tidak pernah bisa membantah perkataan ayahnya. Begitu juga ia tidak bisa membuat ayahnya terluka dengan merusak nama baik Hyuuga. Alhasil, ia hanya terdiam yang dianggap sebagai sebuah persetujuan oleh Hiashi.
Hinata tidak mungkin bersama pria bersurai pirang yang terus saja mengekor di belakangnya. Ia tidak layak mencintai Naruto, apalagi bersanding dengan pria itu. Lagipula, ada seseorang yang dicintai Naruto. dan itu jelas bukan Hinata.
.
.
Naruto frustasi dengan kekeraskepalaan Hinata yang tak mempedulikan keberadaan dirinya. Ditambah sikap menghindar gadis itu darinya. Ia mencengkeram lembut pergelangan tangan gadis itu. Cuaca sangat dingin saat ini, dan Hinata bersikeras untuk naik bus. Tidak tahukah gadis itu betapa khawatirnya Naruto? Ia bahkan tidak yakin apa Hinata benar-benar dapat tiba di Universitas Konoha tanpa adegan pingsan atau apapun itu. Apa Hinata kira jika Naruto tidak tahu keadaan dirinya selama ini? Tentu, pria itu sangat mengetahuinya karena ia selalu berkunjung ke rumah Hinata setiap hari. Memastikan jika Hinata baik-baik saja.
Naruto menatap tajam Hinata. Mengamati tubuh gadis itu dari kepala hingga kakinya. Hinata terlihat sangat manis bagi Naruto. Meskipun, tubuhnya menjadi lebih kurus dan kulitnya sedikit lebih pucat. Hinata menatapnya dengan tidak nyaman, berusaha melepaskan genggaman tangan Naruto di tangannya.
"Ikutlah denganku," pintanya tulus sembari menarik pelan Hinata ke mobilnya. Gadis itu berdiri ragu saat Naruto membuka pintu untuknya. "Masuklah."
Hinata berpikir sejenak sebelum duduk dengan nyaman di kursi samping kemudi. Naruto mengulas senyum tipis kemudian berlari ke kursinya.
Selama di dalam mobil tidak ada satupun yang bersuara. Hinata terus memandang ke luar jendela. Begitu pula, Naruto yang serius menatap ke depan. Ia tidak benar-benar focus dengan jalanan di hadapannya. Hanya saja ia tidak tahu harus berlaku seperti apa. Ia menyadari jika hubungannya dan Hinata kini menjadi agak canggung. Naruto terus dihantui rasa bersalah atas kejadian yang menimpa Hinata. Namun, bibirnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf.
Ia melirik Hinata dari sudut matanya. Gadis itu duduk tenang dengan jari-jarinya yang terus bergerak di pangkuannya. Hinata gugup sama seperti dirinya. Naruto hendak membuka mulutnya untuk memecah keheningan tepat saat Hinata membuka bibirnya.
"Kau bicaralah lebih dulu," kata Naruto bersikap gentleman.
"Tidak. Naruto-kun bisa bicara lebih dulu."
Naruto menimbang-nimbang. Ia tahu jika Hinata hampir sama keras kepalanya dengan dirinya untuk beberapa hal. Ia menghembuskan nafasnya pelan sebelum mengatakan, "Bagaimana keadaanmu?"
Hinata menatap jalanan di depannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya lirih.
"Syukurlah." Naruto tersenyum lega. Ia kembali menatap jalanan dan berhenti tepat ketika lampu berubah menjadi merah.
"Apa kau sudah makan?" tanya Naruto mencoba basa-basi. Ia menatap wajah cantik Hinata dengan kekhawatiran yang terpancar di mata sapphirenya.
"Un," gumam Hinata mengangguk.
Selama beberapa detik Naruto hanya memandang wajah Hinata. Mengagumi dan mencemaskan gadis itu.
"Naruto-kun bisa membatalkan pernikahannya," ucap Hinata tiba-tiba yang membuat Naruto mengangakat kedua alisnya. "Tousan mengkhawatirkan jika aku hamil, sehingga memintamu untuk menikahiku. Tapi, aku tidak sedang mengandung benih siapapun, jadi Naruto-kun tidak perlu melakukannya."
Naruto kehilangan kata-katanya.
"Lagipula, kau sudah memiliki Shion-san," tambahnya tanpa memandang Naruto.
Naruto mengalihkan pandangannya ke kerumunan orang yang berjalan di depannya. Pegangannya mengerat pada kemudi. "Aku sudah memutuskan hubunganku dengannya," tukasnya datar.
Hinata sedikit tersentak mendengar ucapan Naruto. Setahu gadis itu, Naruto sangat mencintai gadis bersurai pirang itu. Hubungan mereka sudah berjalan semenjak di bangku SMA, dan semuanya berjalan baik-baik saja sampai saat ini.
"Kau tidak perlu membohongiku, Naruto-kun."
"Tidak. Aku bersungguh-sungguh."
Kaki Naruto bersiap menekan pedal gasnya ketika lampu berubah menjadi hijau. Laju mobil berjalan lebih cepat dari sebelumnya.
Hinata tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba berbagai pertanyaan yang ingin ia sampaikan tercecer berantakan di pikirannya. Ia hanya mengencangkan pegangannya pada seat belt. Ia merasa tidak nyaman dengan keadaan saat ini. Hinata melirik Naruto. Wajah pria itu mengeras. Mata birunya memandang tajam ke depan.
"Aku ingin segera menikah. Itu jika kau bertanya kenapa," bisik pria itu. "Shion tidak menginginkan sebuah pernikahan. Dan juga, Kaachan sangat menyukaimu. Jadi aku tidak akan membatalkannya," ujarnya tegas.
Itu bohong. Jelas itu bohong. Hinata tidak baru saja mengenal Naruto beberapa jam yang lalu. Ia selalu memperhatikannya selama bertahun-tahun. Ia sangat memahami pria itu lebih dari siapapun. Ia tahu jika pria itu masih sangat mencintai Shion, dan menginginkan wanita itu. Hati Hinata terasa seperti dipelintir, sangat sakit mengingat kenyataan pahit itu.
"Jika kau tidak bisa mengatakannya. Aku yang akan melakukannya," sahut Hinata dingin.
Naruto membelalakkan matanya, "Apa?" tanyanya ragu.
"Pernikahan kita."
.
.
-Tsuzuku-
.
.
.
Review, please… :D