Chapter 12

The End of the Beginning

Seperti biasa pagi ini pun Jaejoong menyiapkan keperluan suaminya, bahkan memasak sarapan untuk keluarga. Biasanya ia melakukan hal itu dengan senang hati dan riang gembira. Namun, pagi ini rasanya lain. Hatinya terasa sangat sedih. Besok aku tidak akan melakukan ini lagi. Berat baginya untuk meninggalkan suami yang sangat dicintainya. Akan tetapi, ia sudah memutuskan untuk pergi.

Yunho melihat perbedaan pada tingkah laku dan raut wajah istrinya. Istrinya itu terlihat sangat murung. "Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat tidak bersemangat pagi ini." Ia melihat dengan sangat jelas bahwa tangan Jaejoong bergetar saat memakaikan dasi pada lehernya. "Seharusnya kau tidak menungguku tadi malam."

Hati Jaejoong semakin terasa ngilu. Ia benar-benar merasa tidak diharapkan oleh Yunho. "Maaf." Hanya itu yang sanggup ia katakan.

"Lain kali kau tidak perlu menungguku pulang." Yunho berkata dengan tegas. Ia tahu bahwa Jaejoong sangat keras kepala. Oleh karena itu, menurutnya ia harus bersikap tegas agar Jaejoong menuruti perkataannya.

Mungkin tidak akan ada lain kali. Jaejoong mengangguk.

Yunho merasa bahwa tingkah laku Jaejoong terlalu aneh pagi ini. Namun, ia membiarkannya saja. Mungkin istrinya itu sedang jenuh atau lelah.

"Sudah selesai," ujar Jaejoong lemah.

"Ayo kita sarapan!" Yunho menggenggam tangan Jaejoong dengan erat dan membimbing istrinya itu untuk pergi ke ruang makan.

Tanganmu terasa sangat hangat menggenggam tanganku. Mungkin aku tidak akan bisa merasakan lagi betapa hangatnya tanganmu. Jaejoong ingin memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia meremas tangan Yunho dengan kuat dan tak ingin melepaskannya.

Yunho tersenyum saat merasakan tangan Jaejoong meremas tangannya. Namun, entah mengapa ia merasa aneh. Remasan tangan Jaejoong terasa sangat posesif. Jantungnya berdebar. Ia merasakan firasat buruk. Apa yang terjadi dengan istrinya?

.

.

.

Masakan Jaejoong pagi ini terasa hambar, sesuai dengan suasana hatinya. Namun, tak ada seorang pun yang berani berkomentar. Mereka ingin menghormati dan menjaga perasaan Jaejoong. Mereka berpikir mungkin Jaejoong memang sedang lelah.

Jaejoong sama sekali tidak memakan makanannya. Dadanya terasa sesak. Ia tidak sanggup untuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Jae, apakah kau merasa mual?" Ny. Jung masih berpikir bahwa Jaejoong sedang mengandung.

Jaejoong menggeleng. "Tidak, Bu. Aku hanya sedang tidak nafsu makan."

"Yun, apakah kau sudah membawa Jaejoongie ke dokter?" Ny. Jung bertanya kepada putranya.

"Belum, Bu. Jaejoongie mengatakan bahwa ia baik-baik saja, sehingga aku tidak jadi membawanya ke dokter." Yunho menjelaskan.

Ny. Jung menatap tajam ke arah putranya. Putranya ini tidak perhatian kepada istri. "Kau ini tidak peka. Walaupun istrimu mengatakan bahwa ia baik-baik saja, bukan berarti kau bisa menghiraukannya. Kadang-kadang kami para wanita berkata baik-baik saja agar suami kami tidak terlalu khawatir."

Yunho hanya bisa mengangguk saat ia sedang diceramahi oleh sang ibu. Walaupun ia adalah kepala keluarga, ia sangat patuh dan menghormati ibunya.

Junsu berusaha menahan tawanya saat menyaksikan sang ayah yang sangat ia segani diomeli oleh neneknya. Sekilas ia melirik Jaejoong. Sahabat sekaligus ibu tirinya itu masih saja termenung. Apakah Jaejoong dan ayahnya benar-benar sedang bertengkar karena Jihyun?

.

.

.

Seperti biasa Yunho mengantar istri dan anaknya ke kampus sebelum ia berangkat ke kantor. "Jun-chan, kau pergi duluan!" Ia menahan istrinya di dalam mobil dan menyuruh putrinya pergi ke kelas.

Setelah Junsu menjauh, Yunho menggenggam tangan Jaejoong. "Nanti sore kita pergi ke dokter ya." Ia mulai menganggap bahwa Jaejoong memang sedang sakit.

Jaejoong menggeleng. "Tidak perlu." Ia memandang lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah suaminya. "Ibu mengira bahwa aku sedang mengandung." Ia akan merasa sangat bahagia jika ia benar-benar mengandung anak Yunho. Akan tetapi, tentu saja itu tidak mungkin. Mereka belum pernah berhubungan suami istri, padahal sudah hampir dua bulan menikah. Menyedihkan sekali, bukan?

"Kau memang terlihat sakit, walaupun kau tidak hamil. Pokoknya nanti sore kita pergi ke dokter," tegas Yunho. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Jaejoong.

Mata Jaejoong mulai berkaca-kaca. Suaminya itu memaksanya untuk pergi ke dokter pasti karena takut dimarahi oleh Ny. Jung. "Aku merindukan kedua orang tuaku."

Yunho tertegun. Selama dua bulan menikah mereka belum pernah mengunjungi kedua orang tua Jaejoong, padahal tempat tinggal mereka tidak jauh. Istrinya itu selama delapan belas tahun tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasti sangat berat bagi Jaejoong untuk meninggalkan rumah kedua orang tuanya untuk tinggal di rumah suaminya. "Baiklah. Nanti sore kita tidak pergi ke dokter, tetapi pergi ke rumah orang tuamu."

Jaejoong akhirnya menoleh ke arah suaminya. "Aku bisa pergi sendiri sepulang kuliah. Izinkanlah aku untuk menginap di rumah orang tuaku selama beberapa hari! Bolehkah?"

Yunho menatap mata istrinya yang berkaca-kaca. Ia tidak tega untuk tidak mengabulkan keinginan Jaejoong. "Tentu saja boleh. Kau boleh tinggal di sana selama yang kau mau."

Ia sama sekali tidak mencegah kepergianku. Apakah ia memang tidak mengharapkan kehadiranku di sisinya? Lagi-lagi Jaejoong berpikiran negatif. "Terima kasih."

Yunho kemudian mengecup kening Jaejoong. "Sekarang pergilah ke kelas. Aku tidak ingin kau terlambat masuk kelas."

.

.

.

Selama di kampus Jaejoong sama sekali tidak berbicara dengan Junsu. Ia bahkan mengambil tempat duduk yang jauh dari Junsu. Sebelumnya mereka selalu duduk bersebelahan di kelas. Ia ingin menghindari sahabatnya itu.

"Jae, mengapa kau menghindariku?" Junsu menarik tangan Jaejoong. Jadwal kuliah mereka sangat padat, sehingga ia baru memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Jaejoong.

"Lepaskan tanganku!" Jaejoong menarik tangannya dari genggaman Junsu.

"Jae, apa yang terjadi denganmu? Mengapa kau marah kepadaku?" Junsu meminta penjelasan Jaejoong.

"Ya, aku memang marah kepadamu." Terpancar api kemarahan dari mata Jaejoong.

Junsu mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti mengapa Jaejoong marah kepadanya. "Mengapa? Memangnya apa salahku kepadamu?"

"Kau masih saja bertanya-tanya." Jaejoong membentak Junsu. "Tanyakan kepada dirimu sendiri! Sahabat macam apa kau ini?"

"Aku sama sekali tidak mengerti, Jae." Junsu balas menatap Jaejoong. Tidak pernah Jaejoong semarah ini kepadanya.

Jaejoong tertawa mengejek. "Kau tidak mengerti, hah?"

Raut wajah Junsu terlihat sangat serius. "Aku benar-benar tidak mengerti, Jae. Katakan kepadaku apa salahku kepadamu!"

Jaejoong berhenti tertawa. Ia kembali menatap Junsu dengan marah. "Aku tidak menyangka bahwa kau berbuat setega itu kepadaku. Kau mengatakan kepada ayahmu bahwa aku akan bunuh diri jika ayahmu tidak mau menikahiku."

Wajah Junsu memucat seketika. Ia tidak bisa berkelit lagi.

"Mengapa kau diam saja? Tidak berniat untuk menyangkalnya, hah?" lanjut Jaejoong. "Kau tidak bisa menyangkalnya karena yang kukatakan memang benar. Bukankah begitu?"

Junsu merasa ketakutan oleh amarah Jaejoong. Sahabatnya itu sebelumnya tidak pernah marah, walaupun ia sering bersikap menyebalkan. Selama ini Jaejoong selalu bersabar dengan semua tingkahnya. "Maafkan aku, Jae."

"Maaf?" Amarah Jaejoong tidak kunjung reda. "Apakah maaf saja sudah cukup? Apakah kau tidak sadar bahwa kau telah mempermainkan hidup orang lain, Nn. Jung?"

Junsu hanya menunduk. Ia memang sangat pantas untuk menerima kemarahan Jaejoong.

Dada Jaejoong mulai terasa sesak. Ia mengatur nafasnya. "Kau telah membuat hidupku dan hidup ayahmu berantakan."

"Akan tetapi, kau mendapatkan yang kau inginkan, bukan? Kau akhirnya mendapatkan ayahku." Junsu mencoba membela diri.

Jaejoong semakin memelototi Junsu. Bisa-bisanya Junsu masih membela diri dari kesalahan yang begitu besar.

"Kau mencintai ayahku, bukan? Aku melakukan semua ini untukmu. Aku tidak tahan melihatmu menangis karena cintamu bertepuk sebelah tangan. Hatiku ikut merasa sakit," ujar Junsu.

Air mata Jaejoong mulai mengalir. Ia tidak bisa lagi menahannya. "Kau tidak tahu seberapa banyak aku menangis setelah menikah dengan ayahmu. Apa kau pikir aku akan bahagia dengan pernikahan yang dipaksakan seperti itu? Batin kami tersiksa karenamu."

Junsu mulai merasa bersalah. Ia tidak mengetahui bahwa Jaejoong tidak bahagia menikah dengan ayahnya. "Apakah ayah tidak mau menerimamu sebagai istrinya? Kulihat kalian berdua terlihat mesra. Kupikir ayah sudah bisa mencintaimu."

"Ayahmu mencintai wanita lain. Bagaimana bisa ia semudah itu melupakan kekasihnya dan mencintaiku?" balas Jaejoong.

Junsu semakin merasa bersalah. Ia tidak pernah berpikir bahwa akhirnya akan seperti ini.

"Kau tidak hanya menyakitiku dan ayahmu, tetapi kau juga menyakiti wanita itu," lanjut Jaejoong. "Mereka berdua saling mencintai. Kami tidak bisa terus hidup begini, berpura-pura bahwa rumah tangga kami baik-baik saja."

"Apakah kalian berdua akan bercerai?" Junsu merasa sedih.

"Aku tidak tahu. Mungkin saja," jawab Jaejoong. "Aku sedang ingin sendirian. Jangan ganggu aku!"

.

.

.

Akhirnya, setelah hampir dua bulan lamanya, Jaejoong kembali menginjakkan kakinya di rumah orang tuanya. Betapa ia sangat merindukan tempat ia tumbuh ini dan tentu saja orang tua yang sudah membesarkannya selama ini. Ia berlari ke dalam rumah dengan sangat antusias. Ia sudah sangat tidak sabar untuk memeluk ibunya. "Ibu, aku pulang!" Ia langsung mencari ibunya ke dapur.

Ny. Kim terlonjak kaget. Ia tidak memercayai penglihatannya. Ia sering memimpikan putrinya itu dan masih sering merasa bahwa putrinya itu masih tinggal bersamanya. Apakah ia berhalusinasi?

Jaejoong melompat ke pelukan ibunya. "Ibu, aku sangat merindukanmu." Ia memeluk erat tubuh ibunya.

Ny. Kim membalas pelukan Jaejoong. Ternyata ia tidak berhalusinasi. Putrinya ini nyata sedang memeluknya. Ia sampai menitikkan air mata. "Jaejoongie, putriku, bagaimana kabarmu, Nak? Apakah kau baik-baik saja selama tinggal di rumah suamimu?"

Jaejoong mengangguk. Ia masih belum melepaskan pelukannya. "Aku baik-baik saja, Bu. Ibu dan ayah bagaimana?"

Ny. Kim melepaskan pelukannya. Ia ingin memandang putrinya. "Kami juga baik-baik saja di sini. "Apakah kau datang kemari sendirian? Tidak bersama suami atau anak tirimu?" Ia tidak melihat siapa pun selain Jaejoong di sana.

Jaejoong kembali mengangguk. "Ya, aku datang sendirian. Yunho kan sedang bekerja."

"Kau sudah meminta izin suamimu terlebih dahulu untuk datang kemari, bukan?" tanya Ny. Kim.

"Tentu saja," jawab Jaejoong. Ia masih ingat nasihat ibunya bahwa seorang istri harus berbakti kepada suaminya.

"Baguslah kalau begitu." Ny. Kim merasa lega. "Jangan sampai kau datang kemari tanpa sepengetahuan suamimu. Walaupun kami adalah orang tuamu, sekarang kau sudah menjadi istri orang lain. Suamimu adalah prioritasmu yang utama."

Jaejoong merasa sedih. Ia teringat akan masalah rumah tangganya.

Ny. Kim menyadari kesedihan pada raut wajah putrinya. "Ada apa? Apakah kau bertengkar dengan suamimu?"

Jaejoong merasa bahwa ia tidak akan bisa menyembunyikan hal ini dari ibunya. Wanita itu sangat mengenal dirinya. Ia ingin meluapkan segala kegundahan hatinya. Ia pun menangis di hadapan ibunya tanpa ragu-ragu.

"Ada apa, Sayang? Ceritakanlah kepada ibu!" Ny. Kim membelai pipi Jaejoong yang basah oleh air mata. Ia kemudian membawa Jaejoong untuk duduk dan membuatkan secangkir teh untuk Jaejoong.

Jaejoong menyesap teh buatan ibunya. Setelah puas menangis, hatinya terasa lebih ringan sekarang.

Ny. Kim duduk di hadapan Jaejoong. Ia menggenggam tangan Jaejoong. "Apakah kau ingin menceritakan sesuatu kepada ibu, hmm? Ibu akan mendengarkanmu."

Jaejoong tertegun. Ingin sekali ia mencurahkan semua perasaannya kepada sang ibu. Namun, ia merasa ragu untuk mengatakannya. Permasalahan yang sedang dihadapinya bukanlah masalah rumah tangga biasa. Ia merasa bahwa hal ini tidaklah pantas untuk diceritakan kepada orang lain. Ia tidak ingin membuat citra Yunho menjadi buruk di mata orang tuanya. Ia pun menggeleng. "Ini hanya masalah rumah tangga biasa."

Ny. Kim tersenyum. Ia tahu bahwa masalah yang sedang dihadapi oleh Jaejoong pastilah bukan masalah kecil. Namun, ia menghormati keputusan Jaejoong yang tidak ingin menceritakan masalah rumah tangganya. Keputusan Jaejoong itu layak diacungi jempol. Jaejoong ingin menjaga nama baik suaminya dengan tidak menceritakan masalah rumah tangganya kepada sang ibu. Seringkali permasalahan rumah tangga menjadi runyam karena campur tangan orang tua. Sebisa mungkin pasangan suami istri menyelesaikan masalah pribadi mereka tanpa melibatkan orang luar. "Tidak apa-apa jika kau tidak ingin menceritakannya. Ibu hanya bisa memberikan nasihat kepadamu. Dalam kehidupan rumah tangga tidak selamanya semua berjalan sesuai dengan keinginan kita. Sebagai seorang istri kita harus memahami benar sifat suami. Kadang-kadang sifatnya menyenangkan dan kadang juga menyebalkan. Kita harus tahu cara menghadapi sifat suami yang berubah-ubah seperti itu. Kau harus bisa menghadapi dirinya yang sedang senang, sedih, atau marah. Kau juga harus mengetahui apa yang ia sukai dan tidak ia sukai. Ia hanyalah manusia biasa, mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bersyukurlah atas semua kelebihannya dan bersabarlah atas semua kekurangannya. Kaulah yang menutupi semua kekurangannya dan ia juga akan menutupi semua kekuranganmu. Suami istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, komunikasi sangatlah penting. Jika ada masalah, bicarakan secara baik-baik dengan suamimu. Carilah solusinya bersama-sama."

Komunikasi? Jaejoong merasa bahwa sepertinya ia dan Yunho belum bisa berkomunikasi dengan baik satu sama lain. Mereka masih belum bisa bersikap terbuka kepada satu sama lain. Namun, bagaimana cara ia memperbaikinya? Haruskah ia mengutarakan semua kegelisahannya kepada Yunho agar Yunho mengetahui apa yang ia rasakan dan pikirkan? Bagaimana jika Yunho marah?

.

.

.

Setelah mendapatkan wejangan dari ibunya, Jaejoong beristirahat di kamarnya. Ibunya masih suka membersihkan kamarnya agar tidak berdebu dan siap ditempati kapan pun ia kembali. Ia sangat merindukan kamarnya dan koleksi boneka Hello Kitty-nya. Ia tidak membawa boneka-bonekanya ke rumah Yunho. Jika ia mempunyai anak perempuan, ia akan mewariskannya kepada anak perempuannya.

Jaejoong merenungkan nasihat-nasihat ibunya. Sepertinya ia memang harus berbicara dengan Yunho dari hati ke hati. Ia harus mengutarakan semua perasaan dan pikirannya kepada Yunho. Sebaliknya, ia juga harus meminta kejelasan posisinya dalam hidup Yunho.

Bagaimana jika ternyata memang benar Yunho tidak mencintainya? Jaejoong harus siap untuk mendengar jawaban itu dari Yunho. Jika memang Yunho merasa tersiksa hidup bersamanya, dengan berat hati ia harus rela untuk berpisah dengan Yunho.

Ponsel Jaejoong berbunyi. Ia melihat sebuah SMS masuk, dari Yunho. Ia merasa malas untuk membacanya. Dengan kondisi emosinya yang seperti ini, ia tidak ingin berbicara dengan Yunho. Ia pun tidak menghiraukan pesan tersebut dan membacanya. Ia memilih untuk tidur.

Yunho menunggu-nunggu pesan balasan dari Jaejoong. Namun, setelah lima belas menit ia tidak kunjung juga mendapatkan balasan. Ia mulai merasa khawatir. "Mungkin ia sedang asyik melakukan sesuatu dengan ibunya dan tidak mendengar bunyi ponselnya." Ia berusaha untuk berpikiran positif. Namun, hatinya tidak bisa tenang jika ia belum mendapatkan jawaban dari Jaejoong.

Yunho pun akhirnya memutuskan untuk menelepon Jaejoong. Namun, Jaejoong sama sekali tidak menjawab panggilannya.

Jaejoong merasa terganggu oleh bunyi ponselnya. Ia melihat nama dan foto Yunho muncul pada layar ponselnya. Mood-nya menjadi semakin buruk. Ia pun mematikan ponselnya dan kembali tidur.

Yunho sedikit terkejut saat Jaejoong menolak panggilan telepon darinya. Mengapa Jaejoong melakukan hal itu? Apakah panggilan darinya mengganggu Jaejoong? Memangnya apa yang sedang istrinya itu lakukan?

Yunho merasa sedih. Ditolak oleh Jaejoong adalah hal yang menyakitkan, walaupun hanya sekedar panggilan telepon. Ia tidak suka jika Jaejoong lebih mementingkan hal lain daripada dirinya. Ia merasa cemburu, entah kepada siapa.

.

.

.

Yunho pulang ke rumah sekitar pukul tujuh malam. Ia memasuki rumahnya dengan lesu. Pekerjaannya hari ini tidak sebanyak kemarin, tetapi malam ini ia merasa sangat tidak bersemangat. Tidak ada yang menyambutnya di depan pintu sambil tersenyum. Ia merindukan senyuman itu.

Yunho melewati ruang makan. Bibi Hwang sedang menata makanan di atas meja. Ia memandang makanan di atas meja. Malam ini bukan istrinya yang memasak, pasti rasanya lain. Ia hanya bisa menghela nafas.

Yunho membuka pintu kamarnya. Malam ini kamarnya terasa lebih luas karena ia hanya sendirian di dalamnya. Lagi-lagi ia menghela nafas.

Yunho melepaskan sepatu dan jasnya sendiri. Tidak ada lagi yang membantunya malam ini. Rasanya terasa sepi.

Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian santai, Yunho tidak bergegas pergi ke ruang makan untuk makan malam bersama ibu dan putrinya. Ia malas pergi ke sana karena tidak ada Jaejoong.

Yunho berbaring terlentang sambil memandangi langit-langit. Kamarnya kembali menjadi sepi seperti dahulu.

"Ayah, ayo makan!" Terdengar suara Junsu dari balik pintu.

Yunho pun bangkit dari tempat tidur. Jika Junsu tidak mengingatkannya, mungkin ia tidak akan keluar dari kamar untuk makan. "Ya, ayah akan turun sebentar lagi."

Yunho tidak terlalu bernafsu untuk makan. Namun, ia tetap harus menghargai Bibi Hwang yang sudah memasak. Seperti dugaannya, rasa makanannya terasa berbeda. Bukannya Bibi Hwang tidak pandai memasak, justru Bibi Hwang adalah juru masak yang sangat handal, hanya saja ia sudah terbiasa memakan masakan Jaejoong. Ia bisa merasakan cinta dari setiap makanan yang dibuat oleh Jaejoong. Jaejoongie sedang apa ya? Apakah ia juga sedang makan bersama keluarganya? Menu apa yang ia makan malam ini?

.

.

.

Yunho berniat untuk cepat tidur malam ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi. Seperti biasa ia akan mandi sebelum tidur agar badannya lebih segar dan bisa tidur nyenyak.

Biasanya Yunho akan menunggu air hangatnya siap sambil berbaring di atas tempat tidur. Namun, malam ini ia harus menyiapkannya sendiri.

Yunho mengatur putaran kran air panas dan air dingin untuk mendapatkan temperatur air yang diinginkannya. Ternyata tidak mudah mendapat air dengan temperatur yang benar-benar pas. Ia harus terus memeriksa temperatur air dengan mencelupkan tangannya ke dalam bak mandi. "Ah, sepertinya ini sudah cukup." Perlu waktu cukup lama baginya untuk menyiapkan air mandinya sendiri.

Setelah menanggalkan pakaiannya, Yunho berendam di dalam bak mandi berisi air hangat. Ia menyandarkan punggungnya dan merilekskan tubuhnya. Ia memejamkan matanya.

.

.

.

Seperti halnya Yunho, Jaejoong juga tidak memiliki nafsu makan, padahal ibunya sudah memasak makanan kesukaannya. Ia makan sedikit sekali malam ini. Ia mulai merindukan Yunho.

Tn. Kim tidak banyak bicara kepada Jaejoong. Ia masih belum bisa menerima pernikahan putrinya itu dengan Yunho. Rasanya aneh sekali mempunyai menantu yang seusia dengannya.

Dari luar Tn. Kim seperti terlihat marah kepada putri semata wayangnya. Namun, di dalam hatinya ia sangat mengharapkan kebahagian putrinya. Ia merestui pernikahan Jaejoong dan Yunho, hanya saja ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.

.

.

.

Jaejoong kembali ke kamarnya setelah membantu ibunya membereskan meja makan dan mencuci piring. Ia lupa bahwa sejak tadi ponselnya ia matikan. Ia pun menyalakan kembali ponselnya untuk memeriksa apakah ada pesan yang penting.

Jaejoong membaca pesan dari Yunho.

From: Paman Jung

Sayang, apakah kau sudah sampai di rumah orang tuamu? Jangan lupa makan ya! Sampaikan salamku kepada ayah dan ibu. Mohon maaf aku belum sempat untuk mengunjungi mereka.

Jaejoong tersenyum membaca pesan dari Yunho. Rasa rindunya kepada sang pujaan hati sedikit terobati. Sekilas dari pesan yang dikirimkan oleh Yunho kepadanya tidak tampak bahwa rumah tangga mereka sedang bermasalah. Yunho menunjukkan perhatiannya melalui pesan tersebut.

Mata Jaejoong kemudian tertuju pada notifikasi yang tertera pada ponselnya. Ada pesan yang belum ia baca pada aplikasi chatting di telepon pintarnya. Ia pun membuka aplikasi tersebut untuk memeriksa pesan yang masuk. Di antara sekian banyak pesan yang masuk ia menemukan sebuah pesan dari Yunho. Pesan tersebut masuk ke ponselnya kemarin siang. Mengapa ia tidak menyadarinya? Ia pun membaca pesan tersebut.

Paman Jung:

Sayang, nanti malam aku akan pulang terlambat. Aku ada rapat dengan Direktur Jun untuk membicarakan projek kerja sama perusahaan.

Direktur Jun sangat sibuk, sehingga rapat baru akan dimulai pada pukul tujuh malam.

Aku tidak bisa memperkirakan kapan rapatnya akan selesai. Sebaiknya kau tidak usah menungguku pulang. Tidurlah duluan!

Jaejoong merasa terkejut oleh pesan tersebut. Ternyata Yunho memberi tahu dirinya mengenai rapat dengan Jihyun. Ia merasa bersalah karena telah menuduh Yunho tidak memberi kabar kepada dirinya.

Jaejoong berpikir untuk membalas pesan Yunho. Namun, ia merasa ragu. Apakah Yunho mengharapkan kabar darinya atau tidak?

Jaejoong juga merasa gengsi. Seharusnya ia marah kepada suaminya itu karena Yunho bersikap dingin kepadanya setelah bertemu dengan Jihyun. Namun, ia terlalu mencintai pria itu, sehingga ia tidak bisa marah kepada pria itu. Bukan salah Yunho jika Yunho masih mencintai Jihyun.

Setelah mengalami pergolakan batin dan berdebat dengan dirinya sendiri, Jaejoong pun memutuskan untuk membalas pesan Yunho.

Aku sudah makan bersama ayah dan ibu. Apakah kau juga sudah makan?

Perlu waktu beberapa menit bagi Jaejoong untuk benar-benar mantap menekan tombol 'kirim'.

Jaejoong merasa sangat gugup menunggu balasan dari Yunho. Bagaimana jika responnya negatif? Ia sudah menunggu selama dua puluh menit, tetapi Yunho tidak kunjung membalas pesannya.

Jaejoong menggembungkan pipinya kesal. Yunho pasti marah kepadanya karena ia baru membalas pesan dan menolak panggilan telepon dari suaminya itu.

.

.

.

Yunho berendam cukup lama di dalam bak mandi, sampai airnya menjadi dingin. Hampir saja ia ketiduran di sana.

Yunho keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk pada pinggangnya. Tidak ada piyama di atas tempat tidur, juga tidak ada segelas susu hangat di atas meja. Ia benar-benar kehilangan Jaejoong.

Setelah mengenakan piyamanya, Yunho berbaring di atas tempat tidur. Tempat tidurnya itu terasa sangat luas dan dingin.

Yunho memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur ia memeriksa ponselnya. Mata sipitnya memembelalak melihat pesan dari Jaejoong. Pesan tersebut dikirim sekitar setengah jam yang lalu.

Yunho sudah tidak sabar untuk berbincang-bincang dengan gadis yang sangat dirindukannya itu. Karena ia tidak terlalu cekatan dalam mengetik pesan pada ponsel, ia pun menelepon Jaejoong. Semoga saja Jaejoong belum tidur.

.

.

.

Jaejoong belum tidur. Ia sedang sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri saat ponselnya berdering karena ada panggilan masuk. Jantungnya berdegup kencang saat melihat nama dan foto Yunho yang sedang tersenyum memenuhi layar ponselnya.

Jaejoong ragu-ragu untuk menerima panggilan telepon dari Yunho. Apa yang harus ia katakan kepada suaminya itu? "Ha...halo?"

Suara Jaejoong terdengar sangat merdu di telinga Yunho. Oh, betapa ia sangat merindukan suara itu. "Sayang, apakah kau sudah tidur?"

"Belum," jawab Jaejoong singkat.

"Apa yang sedang kau lakukan jika kau belum tidur?" Yunho ingin tahu kegiatan Jaejoong tanpa dirinya.

"Berpikir." Lagi-lagi Jaejoong menjawab dengan sangat singkat.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Yunho lagi.

"Banyak hal," jawab Jaejoong lagi.

Yunho merasakan nada bicara yang sangat dingin dari Jaejoong. Ada apa ini? Seharusnya Jaejoong kembali ceria setelah bertemu dengan kedua orang tuanya.

Yunho sebenarnya merasa penasaran dengan apa yang membebani pikiran Jaejoong. Namun, dari nada bicaranya sepertinya Jaejoong tidak ingin berbagi dengannya. "Sekarang sudah malam. Jangan terlalu membebani dirimu dengan memikirkan hal yang tidak penting. Kuharap kau bisa beristirahat dengan baik malam ini. Selamat tidur, Sayangku!"

.

.

.

Yunho tidak bisa tidur. Rasanya aneh tidur sendirian. Tidak ada sang istri yang bisa ia peluk sambil tidur. Ia sudah terbiasa tidur dengan memeluk Jaejoong, menghirup aroma tubuh yang sensual.

Yunho membuka lemari pakaian. Ia mengambil sepotong pakaian milik Jaejoong. Ia berharap ia bisa menemukan aroma tubuh Jaejoong pada pakaian itu. Namun, hanya aroma pewangi pakaian yang tercium. Semua pakaian Jaejoong di dalam lemari beraroma pewangi pakaian. Ia kembali menghela nafas.

Sudah lama Yunho tidak memandangi bintang. Aktivitas memandang bintangnya sudah tergantikan oleh aktivitas memeluk istri. Kini istrinya sedang tidak ada. Ia pun mencoba untuk memulai kembali aktivitas memandangi bintangnya.

Yunho membuka pintu yang menuju balkon. Udara di luar terasa sangat dingin. Ia membungkus tubuhnya dengan selimut dan duduk di balkon sambil memandang langit.

Hujan turun rintik-rintik dan langit diselimuti oleh kabut. Tidak ada bintang yang terlihat malam ini. "Bahkan bintang pun enggan menemaniku malam ini. Langit pun menangis untukku." Suasana langit benar-benar sesuai dengan suasana hatinya, mendung, sedih, dan sepi.

.

.

.

"Jae, apakah kau benar-benar marah kepadaku?" Junsu sudah tidak tahan didiamkan oleh Jaejoong.

"Sebenarnya aku tidak ingin marah kepadamu. Kau adalah sahabat yang paling dekat denganku, orang yang paling kupercaya selama ini. Namun, karena itu lah aku tidak bisa begitu saja memaafkanmu. Kau benar-benar menyakiti hatiku. Aku merasa terkhianati." Jaejoong ingin memberi pelajaran kepada Junsu agar Junsu bisa bersikap lebih dewasa dan berhenti bermain-main dengan perasaan orang lain.

"Jae, maafkan aku! Kumohon! Aku berjanji bahwa aku tidak akan pernah melakukannya lagi." Junsu memelas.

"Kata-katamu tidak bisa dipegang, Jung Junsu. Kapan kau bisa bersikap dewasa, berhati-hati dalam bertindak, dan bertanggung jawab atas semua perbuatanmu?" Jaejoong mengomeli anak tirinya.

"Jadi, apa yang harus kulakukan agar aku bisa menebus kesalahanku dan kau mau memaafkanku?" Junsu menyayangi Jaejoong. Ia tidak tahan diperlakukan seperti ini oleh Jaejoong.

"Sebaiknya kau tidak melakukan apa pun mengenai hal ini. Jangan sampai kau memperburuk keadaan!" Sulit bagi Jaejoong untuk memercayai Junsu lagi.

"Jae!" rengek Junsu. Kini ia mendapatkan balasan atas perbuatannya. Jaejoong kini membencinya.

.

.

.

"Tumben sekali kau tidak memata-matai Yoochun Sunbae? Kuperhatikan dua hari ini kau terlihat sangat murung." Changmin menghampiri Junsu yang sedang termenung sendiri di bawah pohon rindang. "Kau bertengkar dengan ibu tirimu, ya? Kalian berdua duduk berjauhan di kelas dan tak saling bicara."

"Jaejoong sudah mengetahui semua akal bulus kita untuk menjebak ayah." Tatapan Junsu terpaku pada tanah basah di bawahnya.

Changmin sangat syok. "Bagaimana bisa?" Namun, suaranya masih terdengar tenang.

"Ia mendengar percakapan kita di kantin tempo hari." Junsu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia benar-benar menyesali perbuatannya. "Ia marah besar kepadaku. Kini ia membenciku. Sahabatku membenciku." Ia menangis.

Changmin tertegun. Ia juga merasa bersalah karena ialah yang telah memberikan ide itu kepada Junsu. Ia telah menyebabkan berpisahnya dua insan yang saling mencintai, yaitu Yunho dan Jihyun. Ia juga telah menyebabkan perpecahan di antara dua sahabat, yaitu Jaejoong dan Junsu.

Cinta kadang-kadang bisa membutakan hati. Demi mendapatkan orang yang dicintai, Junsu dan Changmin tega berbuat keji. Akan tetapi, lihatlah mereka sekarang! Apa yang telah mereka dapatkan? Mereka tidak mendapatkan apa-apa. Junsu tetap tidak bisa membuat Yoochun mencintainya, meskipun Jaejoong sudah menikah dengan ayahnya. Begitu pula dengan Changmin, ia tetap tidak bisa mendapatkan perhatian Junsu yang tergila-gila kepada Yoochun.

.

.

.

Tidak banyak yang bisa Jaejoong lakukan di rumah orang tuanya. Semua pekerjaan rumah tangga sudah diselesaikan oleh ibunya sebelum ia pulang dari kampus. Lama-lama ia merasa bosan.

Saat merasa bosan seperti ini Jaejoong teringat akan Yunho. Ia sangat merindukan suaminya itu. "Kira-kira ia sedang apa, ya? Apakah ia bekerja dengan baik hari ini?"

Jaejoong membuka galeri foto di ponselnya. Isinya penuh dengan foto-foto Yunho. Ia melihat betapa bahagianya mereka saat berbulan madu di Bali. Banyak sekali kenangan yang tak terlupakan di sana. Ingin rasanya ia mengulang kembali bulan madunya. Ia dan Yunho benar-benar seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta. Andaikan saja bulan madunya itu tidak pernah berakhir dan mereka tidak perlu kembali ke Korea.

.

.

.

Yunho merasakan kehampaan yang sama seperti kemarin malam saat ia pulang ke rumah. Hari ini ia cukup sibuk, sehingga ia tidak sempat untuk menanyakan kabar Jaejoong. Istrinya itu juga mengapa sama sekali tidak menghubunginya?

Sayang, bagaimana kabarmu hari ini? Kau sedang apa sekarang?

Yunho harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan balasan dari Jaejoong.

My Lovely Wife:

Baik. Aku sedang melihat-lihat foto.

Yunho segera mengetik balasan untuk Jaejoong. Ia sangat bersemangat.

Foto apa?

Lagi-lagi Yunho harus menunggu lama untuk mendapatkan balasan dari Jaejoong.

My Lovely Wife:

Kenangan masa lalu.

Yunho mengira bahwa Jaejoong sedang melihat-lihat album foto masa kecilnya. Sepertinya ia telah mengganggu kegiatan istrinya itu. Ia pun menutup obrolan mereka.

Oh.

Jangan tidur terlalu malam, ya!

Selamat malam, Sayangku!

Jaejoong merasa bahwa Yunho seperti seorang ayah yang menyuruh anaknya untuk cepat-cepat tidur. Mungkin ia memang lebih pantas menjadi anak Yunho daripada istrinya.

Beberapa saat kemudian Jaejoong mendapatkan pesan lagi dari Yunho.

Paman Jung:

Kapan kau akan pulang?

Jaejoong tidak tahu kapan ia akan pulang. Ia masih perlu waktu untuk menenangkan diri. Ia bahkan tidak tahu apakah ia akan kembali ke rumah suaminya atau tidak. Oleh karena itu, ia tidak membalas pesan Yunho.

Yunho menunggu-nunggu jawaban Jaejoong. Mengapa sulit sekali bagi Jaejoong untuk menjawab pertanyaannya? Jika Jaejoong masih ingin lebih lama lagi tinggal di rumah orang tuanya, mengapa tidak berterus terang saja? Ia mulai mencurigai sesuatu. Apakah Jaejoong marah kepadanya dan pulang ke rumah orang tuanya untuk menghindari dirinya?

.

.

.

"Jun-chan, kemarilah, Nak!" Setelah sarapan Yunho memanggil putrinya ke ruang kerjanya.

"Ya, Ayah." Junsu merasa gugup. Raut wajah ayahnya terlihat sangat serius pagi ini.

"Apa kau tahu mengapa Jaejoong memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya?" Yunho mencoba untuk mengorek informasi dari Junsu.

Junsu mulai ketakutan. Apa yang harus ia katakan kepada ayahnya?

"Jawab ayah, Jun-chan! Kau pasti mengetahui sesuatu." Yunho menatap putrinya. "Kau adalah orang terdekatnya. Tidak mungkin kau tidak mengetahui apa pun."

Lidah Junsu kelu. Ia sulit untuk berkata-kata.

"Jun-chan?" Yunho menunggu jawaban Junsu.

"Ka...kami bertengkar." Junsu menunduk. Ia bersiap-siap untuk dimarahi oleh ayahnya.

"Mengapa kalian bertengkar?" Suara Yunho masih terdengar sangat tenang. "Apa yang kalian berdua perdebatkan?"

Junsu mengangkat wajahnya. Ia menatap ayahnya dengan matanya yang sudah basah oleh air mata. "Maafkan aku, Ayah! Semua ini adalah salahku." Ia menceritakan semua akal bulus yang ia lakukan untuk menyatukan Jaejoong dengan ayahnya. Ia berharap dengan menceritakannya kepada Yunho dapat meringankan beban di hatinya. Ia juga berharap masalah ini akan dapat diselesaikan dengan baik.

Yunho mendengarkan cerita Junsu dengan seksama. Jujur saja ia sangat terkejut mendengarnya. Ia juga merasa marah kepada putrinya. Namun, ia ingin menjadi seorang ayah yang baik. Emosinya tidak boleh terpancing.

"Hiks...hiks! Maafkan aku, Ayah!" Junsu sudah pasrah jika ayahnya ingin menghukumnya. "Aku benar-benar menyesal." Ia berlutut di hadapan ayahnya.

Yunho merasa iba melihat putrinya berlutut di hadapannya. Amarahnya mereda seketika. Ia pun membantu Junsu untuk berdiri. "Bangunlah, Anakku!"

"Hiks...hiks! Aku bersalah. Aku siap untuk menerima hukuman apa pun yang akan ayah berikan kepadaku." Junsu benar-benar menyesal.

"Menghukummu tidak akan menyelesaikan masalah," ujar Yunho. "Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki semuanya."

Junsu mengusap air matanya. "Apa yang akan ayah lakukan? Apakah ayah akan menceraikan ibu?"

Yunho menggeleng. "Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Aku harus memikirkannya terlebih dahulu. Solusinya harus yang terbaik bagi semua orang." Yunho masih syok dari kenyataan yang baru saja ia ketahui.

.

.

.

Sepulang dari kantor Yunho tidak pulang ke rumah. Untuk apa ia pulang cepat-cepat? Di rumah pun ia merasa kesepian.

Yunho memutuskan untuk pergi ke planetarium. Ia ingin melihat bintang. Selain itu, ia juga ingin mengenang momennya bersama Jaejoong di planetarium. Ia tersenyum mengingat-ingat saat ia dan Jaejoong kerepotan mencari Junsu. Sayang sekali Jaejoong terluka saat itu.

"Paman Jung!" Tidak sengaja Yoochun melihat Yunho di planetarium. Ia sedang menemani ibu dan adiknya ke sini.

"Eh, Yoochun," balas Yunho. "Apakah kau datang sendirian kemari?"

"Tidak, aku datang bersama ibu dan adikku. Adikku ingin sekali melihat bintang," jawab Yoochun. "Paman sendiri bagaimana? Aku tidak melihat Jaejoong atau Junsu di sini."

"Aku datang sendirian," jawab Yunho. "Istriku sedang pulang ke rumah orang tuanya."

Kedua orang tua Yoochun bercerai. Setahunya seorang istri akan pulang ke rumah orang tuanya jika sedang bertengkar dengan sang suami. "Apakah kalian berdua sedang bertengkar?" Ia masih mencintai Jaejoong. Ia ingin Jaejoong hidup bahagia.

Yunho tersentak. Mengapa Yoochun menyimpulkan hal itu?

"Paman tidak boleh menyakitinya. Ia adalah istri paman. Paman tidak boleh menyia-nyiakannya." Yoochun tidak rela Jaejoong bersedih. Ia merelakan Jaejoong untuk Yunho karena ia mengira bahwa Yunho akan bisa membahagiakan Jaejoong. "Paman akan menyesal jika paman menyia-nyiakannya."

"Mengapa kau berkata seperti itu?" Yunho tidak mengerti alasan Yoochun mengatakan hal itu kepadanya.

Yoochun memberanikan diri untuk menatap mata Yunho. "Sudah lama aku mencintai Jaejoong, Paman."

Satu lagi kabar yang membuat Yunho terkejut. Jadi, pemuda di hadapannya ini menaruh perasaan kepada istrinya.

"Aku mencintainya sejak SMA dan sampai saat ini pun aku masih mencintainya," lanjut Yoochun.

Darah Yunho mendidih. Ia mulai khawatir Yoochun akan mengambil Jaejoong darinya.

"Hatiku hancur berkeping-keping saat aku menyaksikan pernikahan kalian. Namun, aku berusaha untuk merelakannya karena aku merasa yakin bahwa paman jauh lebih baik daripada aku. Aku merasa yakin bahwa paman akan bisa membuatnya bahagia." Entah dari mana Yoochun mendapatkan keberanian untuk menghadapi Yunho. "Malam ini aku sadar bahwa penilaianku kepada paman ternyata salah. Paman tidak bisa membahagiakannya. Aku tidak akan membiarkan Jaejoong bersedih. Jika paman masih saja menyakitinya, aku akan mengambil Jaejoong dari paman. Biar aku yang akan membahagiakannya. Akulah yang akan mengukir senyuman di wajahnya."

"Hey, Anak muda! Berani sekali kau menantangku." Yunho merasa tidak terima diremehkan oleh Yoochun. "Apakah kau pikir aku tidak bisa membahagiakan istriku?"

Yoochun menyeringai. "Buktinya Jaejoong pulang ke rumah orang tuanya. Jika paman memang bisa membahagiakannya, buktikan! Jangan hanya banyak bicara!"

Yunho merasa semakin panas. "Lihat saja nanti! Aku pasti akan membuktikannya."

"Tunggu apa lagi? Ayo segera jemput dia! Apa paman mau aku yang menjemputnya?" Yoochun semakin memanas-manasi Yunho.

Tanpa basa-basi Yunho segera berlari keluar dari planetarium. Tunggulah, Sayang! Aku akan membawamu kembali ke rumahku, ke rumah kita.

.

.

.

Setelah menempuh jarak yang sangat jauh, akhirnya Yunho sampai juga di rumah orang tua Jaejoong. Ia tiba sekitar pukul sepuluh malam. Ia tahu bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bertamu. Namun, ia merasa memiliki keharusan untuk menjemput istrinya. Bagaimana pun ia adalah suami yang bertanggung jawab atas Jaejoong.

"Siapa yang datang malam-malam begini?" Tn. Kim sudah mengantuk. Terpaksa ia harus keluar dari kamarnya karena ada yang membunyikan bel rumahnya.

Tn. Kim membuka pintu rumahnya. Ia tidak menyangka akan menemukan Yunho di depan pintu rumahnya. Wajahnya berubah serius. "Untuk apa kau datang kemari, Tn. Jung? Tidak tahukah kau bahwa sekarang sudah malam?"

"Maafkan aku, Tn. Kim! Maafkan aku yang telah mengganggu istirahatmu! Aku datang kemari untuk menjemput istriku." Yunho merasa sedikit tidak enak karena telah mengganggu mertuanya malam-malam begini.

Tn. Kim memandang sinis menantunya. "Jadi, kau masih menganggap putriku sebagai istri? Ke mana saja kau baru datang sekarang?"

Yunho menunduk. "Maaf, saya hanya tidak ingin mengganggunya melepas rindu kepada keluarganya."

"Apa kau pikir putriku pulang kemari hanya karena ia merindukan orang tuanya?" Tn. Kim terlihat marah. Ia tidak terima putrinya diperlakukan tidak baik oleh Yunho. "Aku telah memercayakan putriku satu-satunya kepadamu. Namun, kau telah menyia-nyiakannya. Sebagai ayah Jaejoong aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak akan mengizinkan Jaejoong untuk kembali ke rumahmu untuk kau sia-siakan lagi."

"Akan tetapi, Tn. Kim..." Yunho menyela Tn. Kim. "Jaejoong adalah istriku. Tempatnya adalah di sisiku. Ia harus tinggal bersamaku."

"Untuk apa ia tinggal bersamamu jika ia tidak merasa bahagia?" Tn. Kim mendecih. "Lebih baik ia tinggal di sini bersama orang tuanya, bersama keluarga yang menyayanginya. Di sini ia tidak akan kekurangan kasih sayang."

"Di rumahku pun Jaejoong tidak akan kekurangan kasih sayang. Ada Junsu dan ibuku yang sangat menyayanginya," ujar Yunho.

"Semua itu percuma saja jika ia tidak dihargai oleh suaminya sendiri," balas Tn. Kim.

"Tentu saja aku menghargainya. Aku sangat menghormatinya. Jika ia meminta, apa pun akan kuberikan." Yunho tampak bersungguh-sungguh dengan perkataannya.

"Jika kau menghargainya, lantas mengapa ia pergi meninggalkan rumahmu?" Tn. Kim menuntut penjelasan dari Yunho.

Yunho menunduk malu. Sepertinya Tn. Kim tidak mengetahui masalah yang sebenarnya. Jangan sampai masalah ini diketahui oleh mertuanya. Jika mertuanya sampai mengetahui alasan pernikahannya dengan Jaejoong, mereka mungkin tidak akan pernah mengembalikan Jaejoong kepadanya. Keluarga Kim akan membenci keluarganya karena semua ini adalah ulah putrinya, Junsu. Sebagai ayah Junsu ialah yang harus bertanggung jawab.

"Kau tidak menjawab karena semua yang kukatakan itu benar, bukan?" Tn. Kim merasa kecewa kepada menantunya itu. "Sebaiknya kau pulang saja. Tidak ada gunanya kau ada di sini. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama, yaitu menyerahkan putriku kepadamu."

Yunho merasa sakit hati karena tidak dipercaya oleh ayah mertuanya. Seburuk itukah dirinya di mata Tn. Kim? "Aku tidak akan pergi dari sini tanpa Jaejoong." Ia berikeras.

Tn. Kim menatap tajam menantunya. "Keras kepala sekali kau. Silakan saja jika kau ingin berdiri semalaman di sini." Ia menutup pintu rumahnya dengan cara membantingnya sekuat tenaga.

Wajah Yunho hampir terkena pintu. Untung saja ia menahan pintu tersebut dengan tangannya. "Setidaknya izinkan untuk bertemu dengan Jaejoong. Aku harus bicara dengannya. Kami harus menyelesaikan masalah kami."

"Kau benar-benar keras kepala. Apakah aku harus menghajarmu terlebih dahulu baru kau mau pergi dari sini?" Kesabaran Tn. Kim sudah habis. Ia bersiap-siap untuk memukul Yunho.

"Ayah, hentikan! Jangan pukul dia!" teriak Jaejoong. Ia harus mencegah ayahnya menghajar Yunho.

Yunho merasa lega melihat Jaejoong. Ia benar-benar merindukan sosok istrinya itu. Akhirnya, ia bisa melihat Jaejoong lagi.

"Ayah, kumohon ayah tidak usah ikut campur dalam urusan rumah tangga kami!" Jaejoong memelas kepada ayahnya. "Aku sudah dewasa. Tidak sepantasnya aku menyusahkan ayah dan ibu. Ini adalah masalahku. Aku harus menyelesaikannya sendiri tanpa melibatkan ayah dan ibu. Kumohon!"

Hati Tn. Kim melunak. Ia tidak tega melihat putrinya memohon-mohon kepadanya. Ia membelai kepala putrinya. "Ternyata kau sudah besar, Nak! Baiklah jika kau tidak ingin ayah ikut campur. Ayah hanya bisa menaruh kepercayaan kepadamu."

"Terima kasih, Ayah! Sekarang lebih baik ayah beristirahat. Aku akan menanganinya." Jaejoong meyakinkan ayahnya.

Tn. Kim melirik sekilas ke arah Yunho sebelum ia pergi meninggalkan putrinya dan Yunho. Sebagai seorang ayah ia hanya menginginkan kebahagiaan untuk putrinya. Ia merasa sakit hati karena ia Jaejoong kabur dari rumah Yunho. Namun, ia tidak bisa melarang Jaejoong jika putrinya itu ingin kembali ke pelukan Yunho.

"Masuklah!" Jaejoong mempersilakan Yunho masuk ke dalam rumah orang tuanya. Tidak baik jika tetangga sampai mendengar mereka.

Setelah mempersilakan Yunho duduk di ruang tamu, Jaejoong duduk berseberangan dengan Yunho. Sesungguhnya ia sangat merindukan suaminya itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana ia harus bersikap di hadapan Yunho sekarang. "Maafkanlah ayahku! Ia bersikap seperti itu karena ia terlampau menyayangiku. Ia hanya tidak ingin aku disakiti oleh siapa pun."

"Jaejoongie, Sayangku, pulanglah!" pinta Yunho.

"Aku tidak bisa kembali ke rumahmu. Di sana bukanlah tempatku." Suara Jaejoong bergetar.

"Mengapa kau berkata seperti itu? Itu adalah rumahmu, rumah kita." Yunho sedang membujuk Jaejoong.

Jaejoong menggeleng. "Tidak. Rumah itu tidak akan pernah menjadi rumahku. Aku tidak akan pernah menjadi nyonya rumah di sana."

"Kau adalah istriku. Tentu saja kau adalah nyonya di rumah kita," ujar Yunho.

"Istri hanyalah status bagiku. Aku tidak akan pernah benar-benar menjadi istrimu," balas Jaejoong. "Kau tidak menganggapku sebagai istrimu. Kau tidak bisa mencintaiku karena kau mencintai wanita lain."

"Aku sudah mengetahui apa yang Jun-chan lakukan." Yunho memberi tahu Jaejoong. "Apa karena itu kau berpikir bahwa aku tidak menerimamu sebagai istriku?"

Jaejoong terkejut. Apa yang akan Yunho lakukan setelah mengetahui hal itu? Langsung menceraikannya?

"Pada awalnya sulit bagiku untuk menerimamu sebagai istriku. Pertama, kau adalah teman Jun-chan. Usiamu sama dengan anakku. Kau lebih pantas untuk menjadi anakku daripada istriku." Yunho berterus terang kepada Jaejoong.

Hati Jaejoong merasa sakit mendengar pengakuan Yunho. Ternyata memang benar Yunho melihatnya sebagai seorang anak.

"Kedua, aku mencintai wanita lain." Yunho mengerti bahwa pengakuannya ini akan menyakiti hati Jaejoong. Namun, ia harus mengatakannya.

Air mata Jaejoong mengalir. Rasanya sakit sekali mendengar pengakuan Yunho yang mencintai wanita lain. Ia terisak. Ia merasa tidak berharga.

"Aku sangat mencintainya. Aku baru saja menjalin hubungan dengannya setelah sekian lama memendam perasaanku kepadanya," lanjut Yunho. Ia membiarkan Jaejoong menangis. Setelah meluapkan semua emosi, Jaejoong akan merasa lega, pikirnya.

"Dan wanita itu adalah Direktur Jun Jihyun, bukan?" tanya Jaejoong.

Yunho mengangguk. "Benar sekali."

"Sudah kuduga," lirih Jaejoong. "Apakah kau bermaksud akan menceraikanku dan kembali kepadanya setelah mengetahui kebenarannya dari Jun-chan?" Ia tidak sanggup untuk menatap Yunho.

"Tentu saja tidak," jawab Yunho.

"Mengapa?" Jaejoong memberanikan diri untuk menatap Yunho. "Bukankah kau sangat mencintainya?"

"Cinta itu tidak harus memiliki. Seandainya pun aku masih mencintainya, aku tetap tidak akan kembali kepadanya." Yunho menatap mata Jaejoong, dalam. Ia merasa bersalah karena telah membuat Jaejoong menangis.

"Apakah diriku membuatmu sangat terbebani? Aku akan melepaskanmu jika itu adalah yang terbaik. Jika perlu, akulah yang akan mengajukan perceraian." Jaejoong berusaha untuk merelakan cintanya.

"Aku dan Jihyun tidak berjodoh. Kami berdua tidak bisa bersatu," balas Yunho.

"Semuanya belum terlambat. Kau masih bisa kembali kepadanya. Ia belum mendapatkan penggantimu, bukan?" Jaejoong merasa lelah untuk melanjutkan pernikahan dengan pria yang tidak mencintainya.

Yunho menggeleng. "Sudah terlambat. Akhirnya aku sadar bahwa kaulah yang tercipta untukku, bukan dia. Beberapa hari terakhir hidupku terasa hampa tanpa dirimu. Aku tidak bisa tidur setiap malam karena tidak ada yang memelukku. Kamarku terasa sangat luas dan sepi tanpa kehadiranmu. Aku tidak enak makan karena bukan kau yang memasak makanan untukku. Tidak ada yang menyambutku di depan pintu saat aku pulang. Dengan melihat dirimu yang menyambutku dengan senyuman, rasa lelahku seketika hilang. Tidak ada lagi yang melayani semua kebutuhanku..."

"Jadi, selama ini kau hanya menganggapku sebagai seorang pelayan?" potong Jaejoong. "Dia pasti bisa melakukan semua itu lebih baik daripada aku."

Yunho kembali menggeleng. "Tidak, bukan begitu."

"Dia lebih cantik. Matamu akan terasa lebih segar memandangnya. Dia lebih cerdas dan jauh lebih hebat. Kau bisa membanggakan dirinya." Emosi Jaejoong membuncah.

"Semua itu percuma saja jika ia bukanlah jodohku," balas Yunho. "Kaulah yang telah diciptakan oleh Tuhan untukku. Manusia bisa berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Tuhan menginginkan dirimu yang menjadi pendampingku."

"Jika kau mau, kau bisa menjadikannya sebagai jodohmu," ujar Jaejoong.

"Sayangnya aku tidak mau," kata Yunho dengan penuh keyakinan.

"Mengapa?" Jaejoong mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti dengan argumen Yunho.

Yunho mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Jaejoong. "Aku tidak ingin berpisah lagi dengan wanita yang kucintai untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau hidup dengan seseorang yang tidak kucintai."

Wajah Jaejoong merona. Apakah ini artinya Yunho mencintainya? Ah, ia tidak ingin merasa senang dahulu.

"Kita baru menyadari bahwa sesuatu itu berharga setelah hal itu menghilang dari hidup kita. Aku mencintaimu, Kim Jaejoong. Aku membutuhkanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu." Kata-kata Yunho berasal dari lubuk hatinya yang terdalam.

Air mata Jaejoong kembali mengalir. Benarkah yang dikatakan oleh Yunho? Apakah -sungguh mencintainya? Bagaimana jika semua itu bohong?

"Jangan membohongiku hanya demi membuatku senang dan mau kembali kepadamu!" Jaaejoong terisak. "Sepahit-pahitnya kenyataan, itu lebih baik daripada kepalsuan. Aku tidak mau lagi menjalani pernikahan palsu."

Yunho mengusap air mata Jaejoong. "Pernikahan kita tidak palsu. Kita menikah secara sah berdasarkan agama dan hukum, disaksikan oleh banyak orang. Aku tidak pernah menganggap pernikahan ini palsu. Aku serius menjalaninya denganmu."

Ingin sekali rasanya Jaejoong memercayai semua yang dikatakan oleh Yunho. Namun, ia merasa sangat takut. Ia takut bahwa semua yang Yunho katakan itu tidak benar. Ia memejamkan matanya. Ia mencoba untuk menimbang-nimbang.

"Jadi, maukah kau pulang bersamaku?" Yunho mengulurkan tangannya. Ia menunggu Jaejoong untuk menyambut uluran tangannya.

Jaejoong membuka matanya. Ia menatap mata Yunho. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memercayaimu atau tidak. Aku tidak ingin kecewa."

Yunho tersenyum tipis. "Ikuti saja kata hatimu! Hatimu tidak akan bisa membohongimu." Ia merasa sangat yakin bahwa Jaejoong begitu mencintainya.

"Aku tidak tahu." Jaejoong masih ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Hatinya menginginkan Yunho. Akan tetapi, ia juga harus menggunakan pikirannya. Jangan sampai ia menyesali keputusannya.

"Kau tidak perlu memutuskannya sekarang. Aku akan menunggumu sampai besok." Yunho melihat kebimbangan pada diri Jaejoong.

"Jadi, apakah kau akan datang lagi besok pagi?" tanya Jaejoong.

Yunho merasa senang. Ia tersenyum lebar. "Apakah kau berharap bisa melihatku lagi besok?"

"Aku hanya bertanya." Jaejoong tidak mau mengakuinya.

Senyuman Yunho semakin lebar. Ia tahu bahwa Jaejoong juga sangat merindukannya. "Tenang saja, aku tidak akan pulang. Sekarang sudah larut malam. Aku sudah terlalu lelah untuk menyetir. Aku akan tidur di dalam mobil."

Jaejoong merasa kasihan kepada Yunho. Tidur di dalam mobil pasti rasanya tidak nyaman. Namun, ia membiarkannya.

.

.

.

Jaejoong merasa gelisah. Ia tidak bisa tidur. Ia mengkhawatirkan keadaan Yunho. Berkali-kali ia mengintip mobil Yunho dari jendela kamarnya.

Yunho juga tidak bisa tidur. Ruang di dalam mobilnya terasa sempit. Ia tidak bisa berbaring dengan nyaman. "Demi dirimu aku harus tahan tidur di dalam mobil. Apa pun akan kulakukan untukmu, Sayangku."

Jaejoong tidak peduli lagi dengan gengsinya. Ia tidak bisa membiarkan Yunho tidur di dalam mobil. Ia segera berlari keluar kamarnya, menuruni tangga menuju lantai bawah. Di luar hujan cukup deras. Tidak lupa ia membawa payung.

Yunho terhenyak saat Jaejoong mengetuk kaca mobilnya. Ia pun membuka pintu mobilnya.

"Masuk!" Jaejoong masih bersikap ketus.

Rasa senang Yunho meluap-luap. "Ternyata kau memang sangat perhatian kepadaku."

Jaejoong tidak membalas. Wajahnya merona.

Jaejoong hanya membawa sebuah payung. Tubuh Yunho lebih tinggi. Ia memegangi payung untuk Jaejoong.

"Mengapa kau tidak berlindung di bawah payung juga?" Jaejoong merasa heran karena Yunho hanya memayunginya tanpa ikut berlindung di bawah payung.

Yunho tidak henti-hentinya tersenyum. "Payungnya terlalu kecil untuk kita berdua. Jika kau berbagi payungmu denganku, kau tetap akan kebasahan."

Jaejoong semakin tersipu. Ia tidak boleh luluh oleh kata-kata manis Yunho.

Jaejoong mengantar Yunho ke kamar tamu di lantai bawah. Ia mengambilkan handuk untuk Yunho dari dalam lemari. "Kau basah kuyup. Keringkan tubuhmu dengan ini!"

Yunho sedikit menggigil kedinginan. Ia menggunakan handuk yang diberikan oleh Jaejoong untuk mengeringkan rambutnya.

Jaejoong mulai mengkhawatirkan kondisi Yunho. Bagaimana jika Yunho sakit?

Yunho membuka kemejanya yang basah. Celananya juga basah, sehingga ia pun menanggalkannya. Sekarang ia hanya mengenakan celana pendek. Ia kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut. Namun, selimutnya terlalu tipis, sehingga ia masih kedinginan.

Jaejoong tidak bisa membiarkan Yunho seperti itu. Ia merasa bahwa ia harus merawat Yunho. "Selimut di kamarku lebih tebal. Aku akan membawanya kemari."

"Tidak usah," tolak Yunho. "Jika kau memberikan selimutmu kepadaku, bagaimana denganmu?"

"Aku akan baik-baik saja. Aku tidak kehujanan sepertimu," balas Jaejoong.

"Aku baik-baik saja. Aku tidak akan sakit hanya karena hujan kecil seperti ini." Yunho tidak boleh terlihat manja di depan Jaejoong.

"Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja. Aku akan merawatmu." Jaejoong duduk di samping Yunho.

"Aku tidak ingin merepotkanmu. Lebih baik kau tidur saja. Besok pagi kau harus memberitahukan keputusanmu kepadaku," ujar Yunho.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini. Bagaimana jika kau membutuhkan sesuatu?" Jaejoong tidak tega meninggalkan Yunho di kamar tamu yang berada di lantai bawah, jauh dari kamarnya yang berada di lantai atas. "Kau tidur di kamarku saja."

Yunho menatap Jaejoong. "Bolehkah?"

Jaejoong mengangguk. "Status kita sampai detik ini masih sebagai suami istri. Jadi, sepertinya tidak apa-apa kau tidur di kamarku."

"Lalu bagaimana dengan ayahmu? Ia pasti akan marah jika mengetahuinya." Yunho malas berkonfrontasi dengan ayah mertuanya.

"Sekarang sudah larut malam. Ayah pasti sudah tidur," kata Jaejoong.

"Baiklah." Yunho tidak bisa menolak permintaan Jaejoong. Ia mengikuti Jaejoong menuju kamar Jaejoong di lantai atas.

Jaejoong merasa sangat gugup karena sekarang Yunho berada di dalam kamarnya. "Kau bisa menggunakan selimutnya untukmu sendiri."

"Lalu bagaimana denganmu?" Yunho tidak begitu saja menerima selimut milik Jaejoong.

"Aku bisa memakai selimut tipis yang sedang kau gunakan," jawab Jaejoong.

"Selimut yang ini kurang hangat. Kau bisa kedinginan. Kita berbagi saja." Yunho mengajak Jaejoong untuk menyelinap ke bawah selimut bersamanya.

Jaejoong merasa canggung. Bukankah ia dan Yunho sedang bertengkar?

"Mengapa kau diam saja, Sayang? Ayo!" ajak Yunho lagi.

Jaejoong akhirnya mau berbaring di sebelah Yunho. Apa salahnya mereka tidur bersama?

Yunho langsung memeluk istrinya dengan erat. "Dingin sekali."

Jaejoong hanya diam. Ia tidak menolak atau pun memberontak saat dipeluk oleh Yunho. Sebaliknya, ia merasa sangat nyaman. Ia merindukan pelukan Yunho yang tidak bisa ia rasakan selama beberapa malam yang lalu.

Jaejoong baru saja akan terlelap saat ia merasakan tangan Yunho membelai-belai pahanya. Matanya kembali terbuka lebar. Ia terkejut karena wajah Yunho sudah berada sangat dekat dengan wajahnya. "A...apa yang kau lakukan?"

"Sejak tadi kau memakai celana yang sangat pendek. Kuperhatikan sejak tadi tampaknya tidak ada yang mengganjal. Aku sedang memastikannya lagi." Tangan Yunho kini menyentuh organ kewanitaan Jaejoong dari luar celana. "Ternyata benar, datang bulanmu sudah selesai."

"Baru selesai tadi pagi," celetuk Jaejoong.

"Berarti sekarang boleh, kan?" Yunho sangat berharap.

Jaejoong mengerti maksud Yunho. Ia berpikir mungkin dengan melakukan hal itu hubungan mereka akan membaik. Kalau pun pada akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah, setidaknya ia pernah merasakan diperlakukan sebagai seorang istri oleh Yunho, lagipula mereka masih sah sebagai suami istri. Ia masih berkewajiban untuk melayani kebutuhan biologis suaminya. "Sepertinya boleh."

Yunho merasa senang bukan main. Akhirnya, tiba juga hal yang dinanti-nanti. Jika sudah begini, ia bisa menganggap masalah rumah tangganya sudah selesai. "Benarkah, Sayang?" Ia langsung menindih tubuh Jaejoong.

Jaejoong mengangguk. "Apakah kau ingin aku berubah pikiran?"

"Oh, tentu tidak." Yunho menciumi leher Jaejoong. "Hmm, aku merindukan aroma tubuhmu."

Jaejoong memejamkan matanya. Ia menikmati isapan Yunho pada lehernya.

"Jangan tidur dulu, Sayang!" Yunho mengira bahwa Jaejoong hendak tidur.

"Hmm, aku tidak tidur. Lanjutkan saja!" Jaejoong menggumam.

Yunho melepaskan tank top yang dikenakan oleh Jaejoong. Ia mengenakan pakaian minim di rumah orang tuanya. Mengapa saat tinggal di rumahku tidak pernah?

Yunho membelai-belai paha dalam Jaejoong. Ia mencoba mengirimkan rangsangan.

Jaejoong bergidik. Ia mulai kesulitan bernafas.

Yunho menyeringai. Ia menggelitiki paha dalam Jaejoong.

"Aah! Geli!" Jaejoong meracau.

Yunho kemudian menelusupkan tangannya ke dalam celana Jaejoong. Lagi-lagi .

"Yunho, hentikan! Aku tidak tahan." Tubuh Jaejoong menggeliat.

Yunho kemudian mengacak-acak daerah kewanitaan Jaejoong untuk mencari klitorisnya. Aha! Ia menemukannya. Ia pun menekan-nekan klitoris tersebut dengan jarinya.

"Ah, Yunho! Apa yang kau lakukan?" Jaejoong tidak bisa melihat aktivitas tangan Yunho di balik celananya.

Yunho kemudian memasukan jari tengahnya ke dalam lubang senggama Jaejoong. Ia mengaduk-ngadukkan jarinya di dalam sana.

Jaejoong merasakan sesuatu di dalam lubang perawannya. Rasanya perih.

Sementara jarinya mengaduk-aduk lubang Jaejoong, Yunho mencium bibir Jaejoong. Ia melumat bibir Jaejoong sesuka hatinya. Ia ingin melepaskan kerinduannya. "Aku mencintaimu, Kim Jaejoong. Aku berbuat begini bukan tanpa alasan. Kuharap kau tidak meragukan cintaku lagi.

Pikiran Jaejoong melayang-layang. Ia merasakan perih pada vaginanya, tetapi juga nikmat. "Sentuh aku lebih jauh lagi, Yunho!"

"Dengan senang hati, Sayangku." Yunho melepaskan celana pendek Jaejoong dan melemparkannya.

Jaejoong membelai dada suaminya. "Jangan pernah kecewakan aku, Yunho! Malam ini kuserahkan jiwa dan ragaku kepadamu."

"Tidak pernah ada niat sedikit pun untuk mengecewakanmu, Sayang." Yunho mencium Jaejoong lagi. Ia juga menanggalkan bra yang dikenakan oleh Jaejoong. Ia meremas buah dada Jaejoong dengan kedua tangannya.

"Ah, Yunho!" Jaejoong mendesah di sela-sela ciuman mereka.

Yunho terus meremas payudara Jaejoong. "Aku akan membuatmu ketagihan, sehingga kau tidak akan rela untuk berpisah denganku."

Tubuh Jaejoong melemas tanpa daya. Ia hanya bisa mendesah. Ia tidak peduli lagi dengan masalah rumah tangganya. Saat ini ia hanya ingin menikmati momen kebersamaannya dengan Yunho.

Ciuman Yunho turun ke bahu Jaejoong. Ia menciumi setiap inchi kulit Jaejoong. "Kulitmu sangat mulus, aku sangat menyukainya."

Jaejoong hanya berbaring. Ia menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya.

Yunho mencium dada atas Jaejoong dan memberikan sedikit gigitan di sana. Ia ingin memberikan sedikit efek kejutan.

"Aah!" Jaejoong tidak menyangka bahwa Yunho akan menggigitnya. "Mengapa kau menggigitku?"

Yunho terkekeh. "Aku merasa gemas kepdamu."

Jaejoong menarik kepala Yunho ke dadanya. Sekarang ia tidak hanya terdiam pasif.

Yunho mulai mengisap-isap gumpalan payudara Jaejoong. Ia sampai meninggalkan jejak di sana. "Kau adalah milikku. Aku telah menandaimu." Ia lanjut mengisap payudara Jaejoong sambil meremas-remasnya. Remasannya tidak kalah kuat dari isapannya.

Jaejoong merasakan linu pada payudaranya. Namun, ia sangat menyukainya. Tubuhnya sudah terangsang. Cairan mengalir deras dari organ kewanitaannya.

Lidah Yunho menari-nari di sekitar puting kanan Jaejoong. Ia membuat puting tersebut tegak berdiri oleh sapuan lidahnya.

Jaejoong merasakan gatal pada vaginanya. Ia ingin segera menanggalkan celana dalamnya.

Sementara kedua tangannya masih meremas-remas dada Jaejoong, ciuman Yunho menelusuri belahan dada Jaejoong, kemudian ke perut, dan sampailah di pusar. Ia memainkan lagi lidahnya di sana.

Jaejoong sedikit mengangkat kepalanya untuk menyaksikan apa yang Yunho lakukan kepadanya. Yang ia lihat payudaranya bergerak-gerak memutar sesuai arah pijatan tangan Yunho.

Yunho menarik turun celana dalam Jaejoong yang sudah basah. Ia mengisap bibir vagina Jaejoong dan menggigitnya sedikit.

"Aargh! Kau nakal. Kau terus saja menggigitku," protes Jaejoong.

Yunho kembali terkekeh. Lidahnya kemudian melakukan penetrasi. Ia tidak ingin langsung memasukkan penisnya ke dalam sana. Ia ingin membuat lubang Jaejoong terbiasa dahulu.

Jaejoong merasakan ada lagi benda yang memasuki lubangnya. Ia menyukainya. Rasanya tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Ia membuka lebar kakinya untuk mempermudah akses Yunho. Ia juga menekan-nekan kepala Yunho.

Yunho sudah tidak bisa menahan hasratnya. Ia berdiri dan menanggalkan celana pendeknya. Batangnya sudah tegak dan mengeluarkan sedikit cairan dari ujungnya.

Nafas Jaejoong terengah-engah. Ia mengangkat tubuhnya dan bertumpu pada kedua sikutnya. "Apakah aku harus berbaring terlentang?"

"Terserah kau saja. Kau menginginkan posisi apa?" Yunho mengocok-ngocok batangnya.

"Aku tidak tahu." Pengetahuan Jaejoong masih sangat minim.

"Berbaring juga boleh." Yunho mendorong tubuh Jaejoong dan menindihnya.

Detak jantung Jaejoong semakin tak beraturan. Ia bisa merasakan batang Yunho menggesek-gesek di sekitar pintu masuk lubangnya.

Yunho mengangkat kedua kaki Jaejoong dan melingkarkannya pada pinggangnya.

Jaejoong menatap wajah Yunho. Saatnya akan segera tiba. Tubuh mereka akan menyatu.

"Aku mencintaimu, Sayang." Yunho mengecup bibir Jaejoong dengan lembut, sementara ia melakukan penetrasi di bawah sana pelan-pelan. "Aku melakukan ini karena aku mencintaimu."

Mata Jaejoong membelalak saat sesuatu yang besar menerobos masuk. Rasanya sakit. Dindingnya dipaksa untuk melebar.

Yunho membungkam mulut Jaejoong dengan ciumannya. Ia tidak ingin Jaejoong terlalu kesakitan.

Jaejoong merasa penuh. Terasa mengganjal di bawah sana. Rasanya perih.

"Apakah kau sudah siap, Sayang?" Yunho mengusap peluh di dahi Jaejoong.

Jaejoong mengangguk. Sepertinya ia akan baik-baik saja.

Merasa mendapatkan lampu hijau dari sang kekasih, Yunho mengeluarkan batangnya dan kemudian menghentakkannya lagi.

Jaejoong merasakan panas dan perih pada bagian bawahnya. Namun, ada sensasi lain yang terasa saat gesekan terjadi. Ia merinding. Tubuhnya seperti terkena sengatan listrik.

Yunho terus bergerak keluar masuk. Ia meningkatkan temponya.

Jaejoong mulai mendesah. Rasanya bagaikan terbang di angkasa.

"Aku mencintaimu, Sayang." Yunho terus membisikkan kata cinta di telinga Jaejoong. Setiap hentakan, satu kata cinta terucap dari bibirnya.

Jaejoong merasa bahagia. Ia tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis bahagia. Yunho mencintainya. Cintanya kini terbalaskan.

Jaejoong melingkarkan kedua lengannya pada leher Yunho dan menarik wajah Yunho mendekat. Ia mencium suaminya itu dengan sangat ganas. Ia kini tidak ragu-ragu lagi. Ia merasa yakin sepenuhnya pada cinta Yunho kepadanya.

Yunho sedikit terkejut saat Jaejoong menciumnya. Selama ini Jaejoong tidak pernah berinisiatif untuk melakukannya. Namun, ia merasa senang sekali. Ini adalah sebuah kemajuan.

Secara spontan pinggul Jaejoong bergerak berlawanan dengan gerakan Yunho. Ia sudah bisa mengimbangi permainan suaminya.

Yunho merasa bahwa ia sudah hampir mencapai puncak. Ia semakin mempercepat gerakannya. "Aah! Jaejoongie!" Ia pun menyemburkan spermanya di dalam.

Nafas Jaejoong terengah-engah. Rasanya luar biasa sekali. Ini adalah pengalaman yang baru baginya.

Yunho bangkit dari atas tubuh Jaejoong. Ia memandang tubuh istrinya yang bermandikan peluh. Ia melihat darah keluar dari organ kewanitaan Jaejoong, bercampur dengan cairan spermanya. "Sakit?"

Jaejoong mengatur nafasnya. Dadanya bergerak naik turun. "Sedikit," lirihnya.

Yunho berbaring di sebelah Jaejoong. "Jadi, apakah besok pagi kau bersedia untuk pulang bersamaku?" tanya Yunho.

"Apakah kau masih perlu bertanya setelah apa yang baru saja terjadi di antara kita?" Jaejoong balik bertanya.

Yunho terkekeh. "Mungkin saja perbuatanku itu membuatmu tidak senang dan semakin membuatmu ingin mengajukan cerai."

"Yunho, masih ada satu hal yang mengganjal di hatiku." Jaejoong mencoba untuk memberanikan diri dalam mengungkapkan perasaannya. Sekarang mereka harus lebih terbuka kepada satu sama lain.

"Apakah itu, Sayang?" Yunho memperhatikan wajah Jaejoong dengan serius. "Katakan saja! Kau tidak perlu takut."

"Jika kau sudah tidak mencintainya lagi, lalu mengapa kau bersikap dingin kepadaku malam itu, setelah kau bertemu dengannya?" Jaejoong terbakar api cemburu.

"Hah?" Yunho merasa tidak bersikap dingin kepada Jaejoong.

"Kau berbicara ketus kepadaku dan kau menolakku untuk melayanimu." Jaejoong meluapkan perasaannya. "Sakit hatiku kau perlakukan seperti itu."

Yunho akhirnya mengerti. Ia pun tertawa. Istrinya ini lucu sekali jika sedang cemburu.

"Mengapa kau tertawa? Memangnya apa yang lucu?" Jaejoong merasa kesal. "Aku sedang serius."

Yunho berhenti tertawa. Ia tidak ingin membuat istrinya lebih kesal. "Jadi, kau pergi dari rumah hanya karena itu?"

Jaejoong terdiam. Jika dipikir-pikir, memang kelakuannya sangat kekanak-kanakan.

"Sayang,..." Yunho membelai rambut Jaejoong. "Aku sangat lelah setelah bekerja dari pagi sampai sore hari. Setelah itu aku masih harus menggelar rapat dengan Direktur Jun sampai larut malam. Aku sangat lelah dan mengantuk. Aku sangat tidak bersemangat dan ingin segera tidur. Maaf, jika malam itu aku tidak bersikap manis kepadamu karena aku terlalu lelah."

"Jika kau merasa lelah, seharusnya kau senang aku menawarkan diri untuk melayanimu. Sebaliknya, kau justru menolakku." Jaejoong masih menuntut penjelasan.

"Sayang, aku tahu kau juga pasti sangat lelah dan mengantuk. Kau menjalankan dua peran sekaligus, sebagai mahasiswa dan sebagai seorang istri. Keesokan harinya juga kau harus kembali beraktivitas. Aku tidak ingin merepotkanmu." Yunho menjelaskan kepada Jaejoong.

Jaejoong kembali terdiam. Mengapa hal itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya? Ia terlalu dibutakan oleh rasa cemburunya kepada Jihyun.

"Ada lagi yang ingin kau sampaikan kepadaku?" Yunho menunggu Jaejoong mengatakan sesuatu kepadanya.

Jaejoong merasa malu karena ia sudah berprasangka buruk kepada Yunho. Ia benar-benar kekanak-kanakan. Lain kali ia harus bersikap lebih dewasa untuk mengimbangi Yunho. Ia menggeleng. "Tidak ada. Terima kasih atas penjelasanmu. Maafkan aku yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan."

"Sudah, itu saja?" Yunho masih menunggu sesuatu.

Jaejoong mengangguk. "Sudah."

Yunho tampak kecewa. "Sayang, apakah kau sempat menghitung berapa kali aku mengatakan bahwa aku mencintaimu malam ini?"

"Bagaimana mungkin aku sempat untuk menghitungnya? Yang pasti kau mengatakannya berulang ka..." Jaejoong akhirnya menyadari sesuatu. Mengapa ia bisa bersikap ceroboh dan tidak peka? "Yunho, maafkan aku!"

"Mengapa kau meminta maaf?" Yunho sudah tidak mempermasalahkannya.

"Tak terhitung banyaknya kau mengatakan cinta kepadaku, sedangkan aku sama sekali tidak mengatakannya." Jaejoong merasa bersalah. Ia membelai pipi Yunho.

Yunho tersenyum. "Kau tidak perlu mengatakannya. Yang penting aku tahu bahwa kau memang mencintaiku."

"Pernyataan cinta itu sangat penting dalam sebuah hubungan. Aku tidak tahu bahwa kau mencintaiku karena kau tidak mengatakannya," ujar Jaejoong. "Aku mencintaimu, Yunho."

Yunho mengecup hidung Jaejoong. "Aku juga mencintaimu. Aku akan mengucapkannya setiap hari agar kau tahu bahwa aku selalu mencintaimu."

"Aku juga akan mengucapkannya setiap hari," balas Jaejoong.

"Jadi, sudah tidak ada masalah lagi kan?" tanya Yunho untuk memastikan.

"Sepertinya tidak," jawab Jaejoong.

Yunho langsung menindih Jaejoong lagi. "Kalau begitu, kita bisa mulai ronde kedua."

.

.

.

Yunho bangun pagi-pagi sekali. Ia tidak ingin mertuanya memergokinya sedang berada di kamar Jaejoong. Hari masih gelap. Ia mengenakan kembali celana pendeknya. "Aduh, pakaianku tertinggal di kamar tamu."

Yunho membuka pintu kamar Jaejoong pelan-pelan. Jangan sampai ia menimbulkan suara. Ia membungkus tubuhnya dengan selimut tipis dari kamar tamu. Ia berjalan mengendap-endap. Kediaman Keluarga Kim masih dalam keadaan gelap. "Aman, mereka masih belum bangun." Ia melanjutkan langkahnya menuju tangga untuk turun ke lantai bawah.

Yunho harus melewati sebuah pintu untuk menggapai tangga. Ia tidak tahu ruangan apakah itu. Saat ia melewati ruangan tersebut, tiba-tiba pintunya terbuka dan Tn. Kim keluar dari dalamnya dengan mengenakan pakaian olahraga. Rupanya itu adalah kamar orang tua Jaejoong dan Tn. Kim bermaksud untuk pergi lari pagi.

Pandangan Yunho dan Tn. Kim bertemu. Suasana terasa sangat canggung.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" Tn. Kim membuka suara.

.

.

.

Yunho tidak bisa berhenti tertawa saat mengemudi untuk pulang ke rumahnya. Ia mengira Tn. Kim akan menghajarnya habis-habisan. Di luar dugaan Tn. Kim justru menyuruhnya untuk membawa Jaejoong. Sepertinya mertuanya itu bisa menerka apa yang telah ia lakukan bersama Jaejoong saat melihat dirinya hanya mengenakan selimut sambil mengendap-endap.

Saat Yunho dan istrinya pulang, Ny. Jung sudah bangun. Ia sedang memasak sarapan dengan Bibi Hwang di dapur.

"Bu, aku membawa kembali menantu kesayangan ibu." Yunho menggandeng istrinya.

"Akhirnya kau pulang juga, Nak." Ny. Jung memeluk Jaejoong.

"Maafkan aku! Beberapa hari ini aku tidak bisa membantu ibu memasak." Jaejoong juga merindukan ibu mertuanya.

"Apakah Jun-chan sudah bangun?" Yunho menanyakan putrinya. Ia ingin memberitahukan kepada Junsu bahwa ia dan Jaejoong sudah kembali bersama.

"Belum. Ini hari libur. Biarkan saja ia tidur lebih lama." Ny. Jung memang sangat memanjakan cucunya.

.

.

.

"Aku akan menyiapkan air mandi untukmu." Setelah masuk kamar Jaejoong langsung menuju kamar mandi. Mereka belum sempat mandi karena Tn. Kim buru-buru 'mengusir' mereka.

Yunho melepaskan pakaiannya, sementara Jaejoong menyiapkan air untuknya. Kini kamarnya tidak terasa sepi lagi. Hari ini ia merasa sangat bahagia. Ia kemudian menyusul Jaejoong ke kamar mandi. Ia memeluk istrinya dari belakang. Ia pun berbisik ke telinga Jaejoong. "Kau juga belum mandi. Mandilah bersamaku!"

Hembusan nafas Yunho membuat bulu kuduk Jaejoong berdiri. Ia mulai merasakan lidah Yunho menyapu lehernya.

Tanpa menunggu respon Jaejoong Yunho menelanjangi istrinya itu. Ia pun kemudian menuntun istrinya itu ke dalam bak mandi. Ia menempatkan Jaejoong di antara kedua kakinya.

Jaejoong bersandar pada dada Yunho. Ia memejamkan matanya. Mereka hanya terdiam sambil berendam selama beberapa saat.

"Sayang, aku tidak ingin kau terlalu dekat dengan pemuda yang bernama Yoochun." Yunho memecah kesunyian.

Jaejoong menoleh ke belakang. "Mengapa?"

"Ia menyukaimu. Aku tidak ingin kau berpaling dariku kepadanya." Nada bicaranya terdengar sangat berkuasa.

Jaejoong cukup terkejut mendengar penuturan Yunho. Ia tidak pernah menyadari bahwa Yoochun menaruh hati kepadanya. "Tenang saja." Ia menenangkan suaminya. "Kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu dan tak akan melirik lelaki lain."

"Sayang,..." Yunho menarik dagu Jaejoong agar Jaejoong menatapnya. "Sepuluh tahun lagi aku akan berusia lima puluh tahun, sedangkan kau 28 tahun. Aku akan menua, sedangkan kau akan menjadi semakin cantik. Pasti akan banyak pria yang tertarik kepadamu. Mereka lebih muda dan tampan daripada aku. Kau pasti akan lebih memilih mereka daripada kakek tua sepertiku."

Jaejoong tersenyum. Ia membelai wajah Yunho. "Cintaku kepadamu tidak mengenal ruang dan waktu. Aku akan terus berada di sisimu, walaupun banyak godaan yang datang. Kita akan hidup bersama sampai maut memisahkan kita." Ia kemudian mencium bibir Yunho. Mereka pun berciuman dengan penuh perasaan.

Setelah puas berendam. Mereka saling menyabuni tubuh pasangannya. Mereka kemudian membilas tubuh mereka di bawah pancuran.

Setelah mandi mereka saling mengeringkan tubuh dengan handuk. Karena ini hari libur, mereka merasa malas untuk keluar dari kamar. Mereka hanya saling berpelukan di atas tempat tidur. Mereka masih ingin berduaan, melepas rindu.

Yunho mulai memberikan sentuhan-sentuhan yang sensual pada tubuh Jaejoong yang masih hanya dibungkus oleh jubah mandi. Ia menelusupkan tangannya ke balik jubah mandi Jaejoong.

"Hmm..." Jaejoong menikmati sentuhan-sentuhan yang Yunho berikan.

Perlahan Yunho mendorong tubuh Jaejoong. Ia menanggalkan jubah mandi yang menutupi tubuh polos Jaejoong. Ia menjelajahi sekujur tubuh Jaejoong dengan ciumannya. Mereka pun bercinta lagi pagi ini. Delapan belas tahun menduda, kini ia bisa melampiaskan semua hasrat seksualnya. Sudah terlalu lama ia menahannya.

.

.

.

Sekarang sudah pukul delapan pagi. Junsu belum bertemu dengan ayahnya pagi ini. Semalam jam berapa ayahnya pulang? Mengapa sang ayah belum bangun juga? Biasanya sang ayah tetap bangun pagi pada hari libur. Apa jangan-jangan ayahnya marah kepadanya dan tidak ingin melihatnya?

Junsu merasa sangat khawatir. Sepertinya ia harus meminta maaf lagi kepada Yunho. Ia pun pergi ke kamar ayahnya dan mengetuk pintu. "Ayah, apakah ayah sudah bangun?"

Junsu tidak mendapatkan jawaban dari ayahnya. Apakah ia harus membangunkan ayahnya? Bagaimana jika ayahnya itu ternyata sakit? Tidak biasanya sang ayah bangun sesiang ini. Ia pun memutuskan untuk masuk ke kamar ayahnya. Kebetulan pintunya tidak dikunci.

Betapa terkejutnya Junsu saat ia menemukan seorang wanita tidur bersama ayahnya, tanpa busana. Amarahnya seketika meledak. Bisa-bisanya sang ayah tidur dengan wanita lain saat ibu tirinya pulang ke rumah orang tuanya.

Junsu tidak bisa melihat wajah wanita itu karena wanita itu tidur di atas tubuh ayahnya dalam posisi tertelungkup. Paling wanita itu tidak lebih cantik dari istri ayahnya yang super cantik. Tanpa banyak berpikir ia membalikkan tubuh wanita itu. Ia bermaksud untuk menghajar wanita itu.

"Hmm..." Jaejoong merasa tidurnya terganggu. Namun, karena ia terlalu lelah dan mengantuk, ia kembali terlelap.

Mulut Junsu ternganga. Wanita yang ditiduri ayahnya tak lain adalah ibu tirinya sendiri. Ia pun segera berlari keluar kamar orang tuanya sambil berteriak. "Nenek, aku akan punya adik!"

The End

Kami, yunberry dan qwerty, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dengan cerita ini, terutama kepada para pembaca. Akhirnya cerita ini selesai juga. Mohon maaf jika endingnya sangat tidak memuaskan. Kami juga memohon maaf jika selama perjalanan cerita ini kami melakukan kesalahan baik yang disengaja, maupun tidak disengaja. Mohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam cerita ini.

alice: terima kasih. Ya, akhirnya masalah sudah selesai dan fanfiksi ini pun berakhir. Selamat membaca!

Asdfghjkl: sekarang tidak gagal lagi. Yunjae sudah berbahagia sekarang.

blingbling: tentu saja, sepandai-pandainya bebek berenang suatu saat tenggelam juga. Hahaha! Jika di chapter kemarin Jae yang tahu, sekarang Yun juga tahu.

hyejinpark: update! Selamat membaca chapter terakhir ini!

kimjaejoong309: tidak, Jae berpamitan terlebih dahulu kepada Yun.

jjshin: semoga chapter ini tidak membuatmu bersedih lagi.

Ranhy: ya, benar sekali. Di chapter ini semua permasalahan Yunjae selesai.

Park sinbi: Yunjae sama-sama kasihan, sama-sama menyesal.

lkjhgfdsa: sekarang tidak gagal lagi, bukan? Ya, selesai.

septyana lin kudo: puk-puk. Agar tidak salah paham, semuanya harus jelas terlebih dahulu. Untuk itu Yunjae akhirnya tahu tentang skenario Minsu.

Hana: tentu saja Yun merasa kehilangan dan merindukan istrinya.

min: tidak pergi jauh, hanya ke rumah orang tuanya. Kamu perhatian sekali. Saya jadi malu. Hahaha! Terkadang saya juga bingung dalam membalas komentar.

sweettaeminee: begitulah masa pengenalan dalam suatu hubungan, apalagi jarak umur mereka cukup jauh. Tidak, sekarang sudah berhasil, tidak gagal lagi. Hahaha!

Guest: update!

elfsissy701: puk-puk. Jae hanya pergi ke rumah orang tuanya. Jangan khawatir, kali ini tidak akan gagal lagi. Yunho berhasil.

kinchan: ok, update!

indy: ya, kamu benar. Sayang sekali tidak ada tambahan untuk Minsu. Min sudah wamil. Maaf ya! Hahaha!

JungKimCaca: sudah dilanjutkan. Semangat!

Azhela Park: puk-puk. Konflik nya sudah berakhir. Selamat membaca!

Guest: tidak gagal lagi. Ya mungkin karena Jae sedang datang bulan.

anakyunjae: kamu bad mood karena gagal terus ya? Bukan Jae yang bertemu Yoochun, melainkan Yun yang bertemu Yoochun.

Guest: benar sekali, tidak hanya pelajaran untuk Junsu, tetapi untuk kita juga.

shinhyun cassie: ya, sudah masuk klimaks. Update!

Panda: ya, ini sudah klimaks dan juga penyelesaiannya. Ada di chapter ini.

mimiloveminwoo: sebelum pergi Jae pamit terlebih dahulu. Selamat membaca!

dionini: tentu saja kamu merasa demikian karena cerita ini bergenre hurt. Update!

cha yeoja hongki: sudah dilanjutkan.

Chwang: update! Semangat!

Guest: sudah dilanjutkan.

Hana: apakah ini Hana yang sebelumnya? Ya, rumah tangga Yunjae memasuki babak baru.

KalunaKang61: update! Selamat membaca!

jung nana: benar. Hahaha! Karena Jae sedang datang bulan. Update!

Yukaka: tidak sampai seperti itu. Jae hanya pergi ke rumah orang tuanya. Ya, akhirnya Yun tahu skenario yang dibuat oleh Minsu. Selamat membaca!

KimJungJae: ke mana? Bukan kabur, hanya menenangkan diri di rumah orang tua nya. Update!

Guest: benar. Ok, update! Terima kasih.

momo chan: Yunho juga akhirnya tahu. Ya, selesai. Selamat membaca!

317.13: ya, benar. Jae butuh waktu untuk berpikir. Yunjae bersatu. Happy ending!

Kmg6384: Jae tidak kabur, hanya pamit pergi ke rumah orang tuanya. Tidak sampai seperti itu. Jika Jae meminta cerai, nanti tidak selesai masalahnya.

azurakim05: tentu saja Yun merasa kehilangan. Update! Selamat membaca!

rukee: ya, benar sekali.

Kozato: ya, Yun merasa kehilangan. Sebagai mahasiswa yang baik Jae tidak ingin bolos kuliah. Masalah pribadi atau keluarga tidak bisa menjadi alasan untuk membolos kuliah. Jika ia pergi ke Jeju, ya ia harus bolos kuliah.

cassie yeopo: benar dan juga jarak usia mereka membuat mereka tidak nyaman pada awalnya.

evilkyu: ok, update!

Fiki Zhang: ke rumah orang tua, tidak jauh. Terima kasih atas promosi gratisnya. Saya tidak perlu membayar kan? Mohon maaf jika ending-nya mengecewakan. Salam kenal!

mia cho: terimakasih ya. Update!

Guest: terima kasih. Mohon maaf karena kamu harus menunggu lama.

babiesyunjae: Kalau begitu jangan memihak. Saya pun tidak mengharapkan pembaca untuk memihak salah satu saja. Intinta banyak latihan dan banyak belajar. Sebelum menulis cerita, biasanya saya menyusun tahapan kejadian atau plot. Contoh: Jaejoong pergi ke sekolah, bertemu Yunho, sepulang sekolah pergi ke game center, dan lain-lain. Saya biasanya membuat target setiap kali menulis cerita. Contoh: dua ribu kata tanpa typo. Targetnya selalu ditambah setiap menulis lagi. Targetnya tidak harus dari banyaknya kata, bisa apa saja. Selesai menulis, baca ulang berkali-kali sambil diedit sampai dirasa tidak ada lagi yang perlu diperbaiki. Saya pikir bersikap perfeksionis juga penting dan kita tidak boleh cepat puas dengan apa yang sudah kita tulis.

kim jae ra: baiklah, keinginanmu terkabulkan. Hahaha!

stephanie kim: terimakasih. Saya juga berencana untuk melanjutkan cerita yang lama. Akan tetapi, mungkin tidak dalam waktu dekat.

emajung: ya, karena Jae masih sangat muda, belum lagi setelh bertemu Jihyun, kepercayaan diri Jae jadi semakin berkurang. Minsu? Bagaimana ya? Jun-chan masih sangat sibuk dengan konser solonya. Eh, maksud saya sibuk mengejar Yoochun. Mohon maaf.

Jj: kesimpulannya super sekali. Tidak, Jae ke rumah orang tuanya. Yun cemburu kepada Yoochun. Terimakasih ya. Selamat membaca!

Uknow Yunjae: biarkan Min dengan caranya sendiri. Suratnya sudah dibalas Min, kan? Hahaha!

Grasshopper: Jae sedang PMS. Bertemu Jihyun membuat ia tidak percaya diri. Jae terlalu terbawa perasaannya sendiri. Terimakasih.

AnaknyaBearGajah: update!

Key'va: benar sekali.

jung rere: sekarang tidak sedih lagi, bukan?

alysha stewart: lanjut! Terima kasih.