My Older Crush

Genre: romance, drama, family, hurt/comfort

Pairing: Yunjae (genderswitch)

Disclaimer:

Cerita ini hanya fiktif belaka. Saya hanya meminjam nama pemeran. Cerita dan kejadian hanya khayalan saya semata, tidak ada hubungannya dengan kejadian di dunia nyata.

Summary:

Kim Jaejoong adalah seorang gadis berusia 18 tahun. Ia bersahabat dengan Jung Junsu sejak masuk SMA. Perlahan-lahan ia mulai menyukai ayah Junsu yang sudah lama menduda.

Jung Yunho, seorang duda tampan berusia 40 tahun, kehilangan istrinya setelah istrinya itu melahirkan putri mereka. Selama 18 tahun menduda ia berusaha mencari cinta yang baru, yang juga bisa menerima kehadiran putrinya di dalam hubungan mereka.

Chapter 1

My Crush

Direktur Jung merasa sangat gugup hari ini. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja ruang rapat. Ia sedang menunggu kedatangan Direktur Jun dari perusahaan yang menjadi rekan bisnisnya. Mereka akan bertemu untuk membicarakan projek kerja sama perusahaan mereka.

Direktur Jung sudah lama mengenal direktur wanita berusia 34 tahun itu. Hubungan mereka menjadi semakin akrab seiring dengan kerja sama di antara perusahaan mereka yang semakin erat. Ia sudah sering bertemu dengan direktur wanita itu di luar pekerjaan. Apakah mereka berkencan? Entahlah, ia memang menganggapnya sebagai kencan, tetapi bagaimana dengan Direktur Jun sendiri? Ia tidak mengetahui perasaan Direktur Jun kepada dirinya.

Jun Jihyun adalah nama wanita itu. Ia berjalan dengan anggunnya memasuki ruang rapat. Selain cantik, ia juga sangat berkharisma. Tidak hanya bisa membuat kaum pria terpesona, ia pun membuat para pria merasa segan kepadanya. Oleh karena itu, sampai saat ini ia masih melajang.

"Selamat datang, Direktur Jun! Silakan duduk!" Direktur Jung menyambut tamunya.

"Terima kasih, Direktur Jung!" Direktur Jun menebarkan senyumannya. Senyumannya terlihat sangat elegan, membuat para lelaki yang berada di dalam ruang rapat tersebut meleleh.

Yunho atau Direktur Jung berusaha untuk mengendalikan dirinya. Ia harus fokus pada pekerjaannya, bukan pada wanita yang berada di hadapannya. Ia harus menunggu sampai urusan pekerjaan mereka selesai sebelum nanti ia berbicara dengan Jihyun mengenai urusan pribadi mereka.

.

.

.

"Jihyun, apakah kau mempunyai waktu malam ini?" Yunho mengejar Direktur Jun yang sudah jauh meninggalkan ruang rapat.

Direktur Jun Jihyun menoleh ke belakang. Ia menemukan Yunho yang berhasil menyusulnya. "Ah, Yunho! Ya, malam ini aku belum memiliki agenda apa pun. Apakah kau ingin mengajakku keluar?"

Yunho tersenyum lebar. "Sudah lama kita tidak pergi bersama karena kita sama-sama disibukkan oleh pekerjaan kita. Bagaimana jika kita makan di tempat biasa?"

Jihyun tampak sangat antusias. "Ide yang bagus. Sudah lama aku tidak makan ramyun."

Yunho tampak sedikit terkejut. Ramyun adalah makanan kesukaan Jihyun. Wanita itu pernah mengakuinya sendiri. "Lalu apa saja yang kau makan selama ini?"

"Aku sedang menjalankan program diet. Aku hanya makan sayuran dan buah-buahan," jawab Jihyun. Ia tampak tidak senang dengan program dietnya.

"Bukankah itu akan merusak program dietmu? Kalau begitu, kita tidak usah makan di sana. Kita makan di tempat lain saja yang menyediakan menu sayuran," ujar Yunho.

"Tidak apa-apa. Melanggar sedikit tidak apa-apa, bukan? Aku merasa tersiksa dengan program diet ini. Aku tidak bisa memakan makanan kesukaanku." Jihyun menggembungkan pipinya. Ia tidak merasa malu untuk memasang raut wajah seperti itu di hadapan Yunho. Yunho adalah orang yang sangat dekat dengannya.

"Jika kau merasa tersiksa, lalu mengapa kau berdiet? Tubuhmu sudah langsing." Yunho memandang Jihyun dari atas ke bawah.

"Ibuku yang memaksaku untuk berdiet. Menurutnya aku terlihat gendut, sehingga tidak ada lelaki yang mau menjadikanku sebagai kekasih." Jihyun terlihat kesal.

Yunho tertawa. Di dalam hatinya ia merasa lega karena tidak ada lelaki lain yang berani mengejar Jihyun. "Kau sangat cantik. Kau tidak perlu melanjutkan dietmu."

Jihyun terdiam. Ia tersipu malu. Pendapat Yunho lebih penting daripada pendapat pria lain.

"Baiklah, kalau begitu kita putuskan saja sekarang bahwa nanti malam kita akan makan ramyun." Yunho menarik kesimpulan. "Sampai jumpa nanti malam!"

.

.

.

Jung Junsu menatap formulir pendaftaran untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Jantungnya berdegup dengan kencang. Ia tidak percaya bahwa ia telah memilih jurusan sains. Jika ia lulus seleksi dan diterima di jurusan sains, ia akan bisa bertemu dengan senior yang ia sukai.

Junsu menyukai seniornya saat SMA, Park Yoochun. Saat Yoochun lulus SMA, Junsu merasa sedih karena ia tidak bisa lagi bertemu dengans seniornya itu. Setahun berlalu dan ia pun lulus SMA. Ia berharap bahwa sebentar lagi ia bisa bertemu dengan seniornya itu. "Aaaaaahhh!" Ia tidak bisa menahan kegembiraannya. Ia berteriak secara spontan.

Jaejoong segera membekap mulut Junsu. Sahabatnya itu telah membuat semua orang menoleh ke arah mereka. "Diam, kau membuat kita malu!" bisiknya. Ia melihat sekelilingnya. Semua pendaftar masih menatap mereka dengan heran.

Junsu segera mengendalikan dirinya. Ia membungkuk ke sekitarnya untuk meminta maaf karena ia telah menyebabkan kegaduhan.

Jaejoong segera menarik Junsu pergi meninggalkan tempat pendaftaran setelah mereka mendapatkan formulir untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Mereka sudah terlanjur malu. "Apa kau yakin akan mengikuti tes masuk jurusan sains?"

Junsu mengangguk. Ia terlihat sangat percaya diri. "Aku merasa yakin seratus persen."

Jaejoong memandang Junsu dengan tatapan serius. "Kumohon kepadamu untuk memikirkannya lagi! Ini menyangkut masa depanmu. Kau tidak bisa sembarangan memilih jurusan. Kita masih akan tetap bersahabat, walaupun kita berkuliah di jurusan yang berbeda. Kau tidak perlu mengikuti pilihanku."

Junsu tersenyum kepada sahabatnya. "Siapa bilang aku memilih jurusan sains untuk mengikutimu, Nn. Kim?" Ia menunjuk dada Jaejoong dengan telunjuknya.

"Lalu apa alasanmu untuk memilih jurusan sains?" Jaejoong terlihat heran. "Tidak mungkin ayahmu yang menyuruhmu untuk kuliah di jurusan sains. Ayahmu pasti akan menyuruhmu untuk memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatmu. Kita semua mengetahui bahwa sains sama sekali bukanlah minatmu."

Junsu masih tersenyum dengan lebar. "Kupikir aku mulai tertarik dengan sains." Ia berlalu meninggalkan Jaejoong.

Jaejoong mengejar sahabatnya. "Jangan bercanda, Jung Junsu! Aku sangat mengenalmu. Kau tidak mungkin tiba-tiba menyukai hal yang kau benci begitu saja."

Junsu menghentikan langkahnya di halte bis. "Hal itu tidaklah mustahil, Jae. Sains sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia."

"Apa yang terjadi denganmu?" Jaejoong menatap Junsu dengan penuh curiga. "Apakah kepalamu baru saja terbentur benda yang sangat keras?"

Junsu masih saja menyunggingkan senyuman. Ia merasa senang karena telah membuat sahabatnya penasaran. "Memangnya kenapa jika aku memilih jurusan sains? Sudah lama aku memikirkannya dan aku sudah merasa sangat mantap sekarang."

"Mengapa kau tidak pernah mengatakannya kepadaku?" Jaejoong merasa kecewa karena Junsu menyembunyikan hal yang sangat penting darinya.

"Aku ingin memberimu kejutan." Junsu tertawa puas.

Jaejoong terlihat sangat kesal, tetapi di dalam hatinya ia merasa senang. Jika Junsu lulus seleksi masuk jurusan sains, itu artinya mereka akan bisa terus bersama dan ia masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan ayah Junsu. Ia menyukai ayah dari sahabatnya itu, duda tampan yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada menjadi kekasihnya. Namun, masih ada hal yang harus mereka khawatirkan, Junsu sangat kurang dalam bidang sains. Bagaimana sahabatnya itu bisa lulus seleksi?

"Mengapa kau hanya termangu? Bis kita sudah datang." Junsu menepuk bahu Jaejoong.

"Oh!" Jaejoong tersadar dari lamunannya. Ia segera menyusul Junsu ke dalam bis.

Junsu memilih tempat duduk di belakang yang masih belum terisi. Ia diikuti oleh sahabatnya yang kemudian duduk di sebelahnya.

"Apakah kau sudah mempersiapkan diri untuk ujian seleksinya?" Jaejoong mengira bahwa Junsu pasti sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian seleksi masuk jurusan sains karena sahabatnya itu terlihat sangat yakin saat menentukan pilihan.

Senyuman Junsu lenyap seketika. "Aku sama sekali belum belajar." Tidak terpikirkan olehnya untuk belajar sebagai persiapan menghadapi ujian. Yang terpikirkan olehnya adalah ia akan bertemu dengan senior yang ia sukai jika ia memilih jurusan sains. "Bagaimana ini? Ujiannya akan dilaksanakan dua minggu lagi." Ia terlihat sangat panik.

Jaejoong juga ikut panik. Tentu saja ia tidak ingin sahabatnya itu gagal. Namun, ia harus berusaha bersikap tenang dan menenangkan Junsu. "Jangan panik!" Ia menggenggam tangan Junsu. "Aku akan membantumu belajar untuk persiapan menghadapi ujian."

Junsu masih terlihat sedikit panik. "Aku hanya memiliki waktu dua minggu untuk belajar. Apakah itu mungkin?"

"Tenang, Jun-chan!" Jaejoong menepuk-nepuk punggung Junsu. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan membantumu belajar siang dan malam."

"Benarkah? Kau janji?" Junsu sangat mengharapkan bantuan Jaejoong.

Jaejoong menggangguk. "Tentu saja. Kau adalah sahabatku. Kita akan berjuang bersama-sama."

"Terima kasih, Jaejoongie!" Junsu memeluk Jaejoong. "Nanti malam tolong temani aku untuk berbicara kepada ayahku! Aku ingin kau membantu untuk meyakinkan ayah agar ia mengizinkanku untuk memilih jurusan sains."

Jaejoong melepaskan pelukan Junsu. Ia menatap sahabatnya itu. "Jadi, kau belum mendapatkan izin dari ayahmu?"

Junsu mengangguk. "Aku bahkan sama sekali belum memberitahunya."

Jaejoong menepuk keningnya. "Ya, ampun! Ayahmu pasti tidak akan mengizinkanmu, apalagi jika ia mengetahui bahwa kau sama sekali belum mempersiapkan apa pun."

Raut wajah Junsu terlihat memelas. "Karena itulah, aku sangat mengharapkan bantuanmu. Jika kau yang berbicara, ia pasti akan percaya."

Jaejoong tersenyum kaku. Di dalam hatinya ia merasa senang. Itu artinya ia akan bertatap muka dengan ayah Junsu, pria yang disukainya. "Baiklah, aku akan membantu untuk membujuk ayahmu."

"Terima kasih, Jaejoongie! Kau memang sahabatku yang paling bisa diandalkan." Junsu memeluk Jaejoong lagi.

.

.

.

Yunho menjemput Jihyun di kantornya. Ia menunggu Jihyun di tempat parkir sambil bersandar pada mobilnya. Ia merasa sangat gugup. Ia berencana untuk menyatakan perasaannya kepada Jihyun malam ini. Mereka sudah lama saling mengenal. Ia tidak mempunyai alasan untuk memendam perasaannya itu lebih lama lagi.

"Apakah kau sudah menunggu lama?" Jihyun menghampiri Yunho.

Yunho melirik jam tangannya. "Aku baru tiba tujuh menit yang lalu." Ia membukakan pintu mobilnya untuk Jihyun.

.

.

.

Yunho membawa Jihyun ke tempat makan favorit mereka, kedai ramyun di pinggir jalan. Kedai tersebut sangat ramai karena menjual ramyun yang sangat enak.

"Malam ini lebih ramai dari biasanya." Yunho sedang memikirkan kapan waktu yang tepat untuk ia menyatakan cintanya. Sepertinya ia tidak bisa mengatakannya di tempat seramai ini. Ia harus membawa Jihyun ke tempat yang lebih tenang.

"Aku sudah sangat lapar." Jihyun terlihat sangat bersemangat. Ia sangat merindukan makanan kesukaannya itu.

Yunho pun memesan ramyun untuk mereka berdua.

.

.

.

Yunho mengantarkan Jihyun pulang setelah mereka kenyang makan ramyun. Ia belum mempunyai kesempatan untuk mengatakan perasaannya kepada Jihyun. Ia menghentikan mobilnya di depan rumah Jihyun.

"Terima kasih, Yunho! Kau sudah mentraktirku malam ini. Lain kali aku yang akan mentraktirmu." Jihyun melepaskan sabuk pengamannya.

"Jihyun, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu." Yunho menahan Jihyun agar tidak keluar dari mobilnya.

"Apa itu?" Jihyun terlihat penasaran.

Jantung Yunho berdetak tak karuan. "Sudah lama kita saling mengenal. Seiring dengan kedekatan kita, aku mulai memiliki perasaan kepada dirimu."

Jihyun menunggu Yunho untuk melanjutkan kata-katanya. Namun, ia sudah bisa menebak apa yang ingin Yunho katakan kepadanya.

"Jihyun, maukah kau menjadi kekasihku?"

.

.

.

"Mengapa ayah lama sekali?" Junsu sudah tidak sabar menunggu kepulangan ayahnya.

"Ayahmu pergi makan malam bersama teman wanitanya." Ny. Jung memberi tahu Junsu.

"Teman wanita?" Junsu menatap tajam neneknya. "Apakah sekarang ayah memiliki seorang kekasih?" Ia tidak menyukai hal tersebut.

Jaejoong yang duduk di sebelah Junsu di ruang makan merasa hatinya berdenyut. Ia tidak ingin ayah Junsu berhubungan dengan wanita lain. Ia berharap semoga saja itu tidak benar.

Ny. Jung mengangkat bahunya. "Nenek tidak tahu. Kau tanyakan saja sendiri kepada ayahmu." Ia tidak sengaja mengatakan kepada cucunya bahwa Yunho pergi dengan seorang wanita. Seharusnya ia tidak mengatakan kepada Junsu bahwa Yunho pergi dengan seorang wanita.

"Mengapa nenek tidak memberitahuku bahwa ayah tidak akan makan malam di rumah? Kita kan tidak perlu menahan lapar untuk menunggunya pulang." Junsu mulai mengambil makanan yang tersaji di atas meja makan. "Jaejoongie, ayo makan!" Ia menaruh daging di atas piring Jaejoong. "Kau harus banyak makan agar tidak terlalu kurus."

"Menurutku Jaejoongie sudah lebih berisi sekarang. Ia tidak terlalu kurus seperti dulu. Ia menjadi jauh lebih cantik dan segar sekarang," ujar Ny. Jung.

Jaejoong tersipu malu. Ia baru saja dipuji oleh 'calon ibu mertuanya'. Di dalam hatinya ia berharap bisa menikah dengan ayah Junsu.

"Aku pulang!" Yunho menghampiri keluarganya di ruang makan. "Mengapa kalian belum selesai makan?"

Junsu menatap tajam ayahnya. "Kami baru mulai makan malam karena menunggu ayah. Ayah pergi dengan siapa?"

Yunho menatap ibunya. "Apakah ibu tidak memberi tahu Jun-chan bahwa aku tidak akan makan malam di rumah?"

Ny. Jung tertawa kaku. "Ibu lupa."

"Ayah belum menjawab pertanyaanku." Junsu menunggu jawaban ayahnya.

Yunho tidak ingin menjawab pertanyaan anaknya. Ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. "Eh, ada Jaejoongie juga di sini. Bagaimana kabarmu? Apakah orang tuamu baik-baik saja? Sudah lama aku tidak pergi memancing bersama ayahmu." Ia berteman cukup dekat dengan ayah Jaejoong karena anak-anak mereka bersahabat.

"Aku dan keluargaku baik-baik saja, Paman." Hati Jaejoong berbunga-bunga setiap kali menatap wajah pria yang disukainya itu, apalagi wajah Yunho terlihat sangat cerah malam ini, ditambah dengan senyuman maut yang menghiasi wajah tampannya itu.

Junsu terlihat kesal karena sang ayah tidak mengacuhkannya. "Huh, sebal!"

.

.

.

Setelah makan malam Junsu mengajak Jaejoong untuk menemui ayahnya di ruang keluarga. Ia merasa sangat gugup. Peluangnya untuk mendapatkan izin dari sang ayah sangatlah kecil. Ia berharap banyak kepada Jaejoong untuk membantunya membujuk sang ayah.

"Mengapa kau mengendap-ngendap seperti itu?" Yunho melihat putrinya ragu-ragu untuk menghampiri dirinya. "Apakah ada yang ingin kau katakan kepada ayah?" Pandangannya masih tertuju pada buku yang sedang dibacanya.

Junsu menarik tangan Jaejoong dan menghampiri ayahnya. "Jaejoong ingin mengatakan sesuatu kepada ayah."

Jaejoong menatap tajam sahabatnya. Mengapa Junsu menumbalkan dirinya? Tugasnya hanya menemani dan membantu Junsu untuk meyakinkan ayah sahabatnya itu, bukan?

Yunho menutup buku yang sedang dibacanya dan meletakkannya di atas meja. "Apa yang ingin kau katakan kepadaku, Jaejoong?" Ia membuka kacamata bacanya dan menatap Jaejoong dengan mata sipitnya. "Duduklah!"

Jantung Jaejoong hampir melompat keluar saat Yunho menatapnya. Jiwanya melayang-layang ke atas awan.

Junsu memaksa sahabatnya untuk duduk. Ia sendiri duduk di samping Jaejoong.

"Jadi, apa yang ingin kau katakan kepadaku?" Yunho semakin mendekatkan wajahnya ke arah Jaejoong.

"Uhm, begini Paman Jung…" Jaejoong berusaha untuk memilih kata-kata yang tepat.

"Ada apa?" Tatapan dan nada bicara Yunho mengintimidasi Jaejoong.

"Err…" Jantung Jaejoong berdetak semakin cepat.

"Ya?" Tatapan Yunho masih lekat pada Jaejoong.

Junsu mencubit lengan Jaejoong agar sahabatnya itu segera berbicara. "Cepat katakan!" bisiknya.

"Begini Paman Jung, Junsu memerlukan tanda tanganmu di formulir pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi." Jaejoong menyodorkan formulir pendaftaran milik Junsu ke hadapan Yunho.

"Oh, hanya ini." Yunho memeriksa formulir tersebut.

Junsu terlihat sangat gugup. Ia menggenggam tangan Jaejoong dengan erat.

Yunho mengerutkan keningnya saat membaca formulir milik Junsu. "Apakah aku tidak salah lihat? Kau memilih jurusan sains, Jun-chan."

Junsu tersenyum kaku kepada ayahnya. "Hehehe! Mata ayah sama sekali tidak salah. Aku memang memilih jurusan sains."

Yunho kini menatap anaknya. "Mengapa kau memilih jurusan tersebut? Bukankah kau tidak menyukai sains?"

Junsu takut untuk menjawab pertanyaan ayahnya. Ia melirik sahabatnya.

Jaejoong menangkap sinyal yang dikirimkan oleh Junsu. "Uhm, Paman,…" Ia mengalihkan perhatian Yunho dari Junsu. "Jun-chan sudah mulai memiliki ketertarikan pada sains. Ia bersungguh-sungguh ingin kuliah di jurusan sains."

Yunho menghela nafas. "Kau sangat berbakat di bidang seni. Ayah pikir kau akan mengambil jurusan seni atau jurusan lain yang kau minati. Akan tetapi, sains? Kau sendiri bahkan pernah mengatakan bahwa kau membenci pelajaran sains di sekolah."

"Apakah ayah pernah mendengar ungkapan 'benci menjadi cinta'? Mungkin itu yang terjadi kepadaku." Junsu mencoba untuk membela dirinya.

Yunho masih belum percaya kepada Junsu. "Apakah kau memilih jurusan sains hanya karena Jaejoong? Aku merasa yakin bahwa ia memilih jurusan tersebut."

"Tidak, Ayah! Aku memilihnya bukan karena Jaejoong," sangkal Junsu.

"Lalu?" Yunho menunggu alasan Junsu yang bisa lebih masuk akal. Pemilihan jurusan di perguruan tinggi akan mempengaruhi masa depan putrinya.

"Paman, kumohon paman untuk tidak menekannya!" Jaejoong berusaha untuk melindungi Junsu. "Junsu benar-benar serius untuk belajar sains. Beberapa bulan terakhir ia memintaku untuk mengajarinya sains." Ia terpaksa harus berbohong.

"Benarkah?" Yunho menatap Jaejoong dengan mata elangnya.

Jaejoong menelan air liurnya. Tatapan Yunho memang menakutkan, tetapi baginya tatapan tersebut sangat seksi dan memesona. Lagi-lagi pria itu membuatnya meleleh. Dengan susah payah ia mengangguk. "Aku berani menjaminnya. Selama dua minggu ke depan aku akan membantunya untuk mempersiapkan ujian masuk."

"Baiklah." Yunho melepaskan tatapannya dari Jaejoong. Ia kemudian meraih pena yang ia selipkan di antara halaman buku yang tadi dibacanya. Ia pun membubuhkan tanda tangannya pada formulir milik Junsu.

Junsu kini bisa bernafas dengan lega. Jaejoong memang sahabatnya yang bisa diandalkan.

"Kau harus berterima kasih kepada Jaejoong yang berani menjaminmu." Yunho menyerahkan formulir yang sudah ditandatanganinya kepada Junsu.

"Terima kasih, Ayah! Terima kasih, Jae!" Yunho tersenyum gembira.

"Sekarang sudah larut malam. Apakah kau ingin menginap, Jae?" Yunho bertanya kepada Jaejoong.

Jaejoong melirik Junsu sekilas, kemudian kembali melihat ke arah Yunho. "Aku tidak membawa pakaian ganti. Mungkin aku akan mulai menginap besok untuk belajar bersama Junsu."

"Baiklah kalau begitu. Aku akan mengantarmu pulang."

.

.

.

Jaejoong merasa sangat senang karena Yunho mengantarnya pulang. Ia bisa berduaan bersama pria itu di dalam mobil. Ia merasa sangat gugup.

Suasana terasa sangat hening di dalam mobil Yunho. Tidak ada satu pun di antara mereka berdua yang memulai pembicaraan. Memangnya apa yang bisa Yunho bicarakan dengan teman anaknya itu?

"Pemandangan Kota Seoul pada malam hari sangat indah ya." Jaejoong mencoba untuk berbasa-basi. Ia sangat tidak menyukai situasi yang hening seperti ini.

Yunho memutar musik di dalam mobilnya, musik instrumental, permainan saksofon dari Kenny G. "Sudah terlalu banyak polusi cahaya di Kota Seoul. Kita tidak bisa memandang indahnya cahaya bulan dan bintang di langit." Ia sama sekali tidak melirik ke arah Jaejoong. Ia fokus menatap jalanan.

"Benar juga," balas Jaejoong. "Mungkin kapan-kapan paman bisa mengajakku dan Junsu ke tempat kita bisa menikmati indahnya cahaya bulan dan bintang."

"Apakah kau ingin pergi ke planetarium?" tanya Yunho.

Jaejoong mengira bahwa Yunho mengajaknya pergi berdua. "Tentu saja aku mau, Paman." Ia tampak sangat antusias.

"Sayang sekali Junsu tidak suka pergi ke tempat seperti itu. Ia tidak menyukai astronomi dan benda-benda langit. Ia pasti menolak untuk pergi ke sana." Yunho masih juga tidak menoleh ke arah Jaejoong.

Kita pergi berdua saja, Paman. Jaejoong mulai berkhayal. "Akan tetapi, aku sangat ingin pergi ke sana untuk melihat benda-benda langit."

"Kita sudah sampai." Tidak terasa mereka sudah tiba di depan rumah Jaejoong. Yunho turun dari mobilnya dan membukakan pintu mobilnya untuk Jaejoong.

Jaejoong merasa seperti baru saja diantar pulang oleh kekasihnya setelah berkencan. Ah, andaikan Yunho benar-benar menjadi kekasihnya.

Ayah Jaejoong membuka pintu pagar rumahnya. Ia dapat mendengar mesin mobil Yunho dari dalam rumah.

"Tn. Kim, apa kabar! Aku mengantar Jaejoong pulang." Yunho menyapa ayah Jaejoong.

"Kami sekeluarga baik-baik saja, Tn. Jung. Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak memancing bersama," balas Tn. Kim.

"Akhir-akhir ini aku disibukkan oleh pekerjaan." Yunho terlihat akrab dengan ayah Jaejoong. "Besok pagi aku akan datang lagi untuk menjemput Jaejoong. Anak-anak mengatakan bahwa mereka akan belajar bersama untuk persiapan ujian."

"Ayah, aku meminta izin untuk menginap bersama Junsu untuk belajar selama dua minggu." Jaejoong segera meminta izin ayahnya.

"Tentu saja ayah mengizinkanmu. Belajar yang sungguh-sungguh ya, Nak!" ujar Tn. Kim.

"Tn. Kim, jika Jaejoong lulus seleksi, ajaklah ia ke planetarium sebagai hadiah kelulusannya!" Yunho berkata kepada Tn. Kim. "Ia mengatakan kepadaku bahwa ia sangat ingin pergi ke sana untuk melihat bintang-bintang."

"Oh, benarkah?" Tn. Kim menatap putrinya. "Mengapa kau tidak pernah mengatakannya kepada ayah?"

Jaejoong merasa kecewa karena Yunho mengatakan hal tersebut kepada ayahnya. Sebenarnya ia tidak terlalu antusias untuk mengunjungi planetarium. Ia hanya ingin pergi bersama Yunho.

.

.

.

Jaejoong memang merasa sedikit kecewa oleh ucapan Yunho kepada ayahnya mengenai keinginannya untuk pergi ke planetarium. Akan tetapi, ia tetap merasa senang karena malam ini ia bisa berduaan bersama Yunho di dalam mobil selama dua puluh menit, waktu yang cukup singkat, tetapi tetap menyenangkan baginya.

Jaejoong melompat ke atas tempat tidurnya. Tak henti-hentinya ia tersenyum. "Ah, aku senang! Kyaaaa!" Ia berguling-guling di atas tempat tidur sambil memeluk boneka Hello Kitty-nya. Mulai besok selama dua minggu ia akan menginap di rumah Yunho. Ia akan bisa lebih sering melihat pria itu.

.

.

.

"Yunho, aku mau menjadi kekasihmu."

Jaejoong terbangun dari tidurnya. Ia memegangi kedua pipinya. Ia bermimpi Yunho memintanya untuk menjadi kekasih pria itu. Jantungnya berdetak dengan kencang. "Huh! Mengapa ini hanya mimpi?"

Jaejoong mengambil segelas air di meja samping tempat tidurnya. Ia berusaha untuk menormalkan detak jantungnya. Ia pun kembali berbaring dan mencoba untuk tidur, tetapi ia tidak bisa. Mimpinya itu terus terngiang-ngiang dalam ingatannya. Yunho mengajaknya pergi berdua ke planetarium dan menyatakan cintanya di sana.

.

.

.

Yunho tidak bisa tidur. Tak henti-hentinya ia tersenyum sambil memikirkan kekasihnya. Jihyun kini sudah resmi menjadi kekasihnya. Sesuai dugaan, wanita itu tidak akan menolak cintanya. Mereka berdua sudah merasa nyaman satu sama lain.

Sejak kematian istrinya Yunho sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan wanita. Namun, hubungan-hubungannya yang terdahulu terpaksa harus berakhir karena mantan-mantan kekasihnya itu tidak bisa menerima kehadiran Junsu.

Yunho tidak perlu merasa khawatir dengan hubungannya kali ini. Jihyun sudah mengetahui bahwa ia mempunyai seorang putri yang sudah berusia remaja. Ia sudah sering bercerita mengenai putrinya itu kepada Jihyun dan wanita itu tampak tidak terganggu oleh ceritanya mengenai Junsu. "Kuharap kali ini hubunganku akan berhasil sampai ke pelaminan."

.

.

.

Jaejoong tidak bisa tidur nyenyak semalam. Ia terus saja memikirkan Yunho, postur tubuh Yunho yang tinggi, matanya yang tajam, suaranya, dan tentu saja senyumannya yang selalu bisa membuatnya meleleh. Selain itu, ia juga bangun pagi-pagi sekali. Yunho akan menjemputnya pagi ini. Ia harus terlihat memesona di hadapan pria itu. Ah, ia bisa berduaan lagi dengan Yunho di dalam mobil.

Jaejoong menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk mempersiapkan penampilannya. Ia harus menutupi mata pandanya yang didapatnya karena kurang tidur. Ia juga harus memilih pakaian yang akan ia kenakan dan menata rambutnya. Untung saja semalam ia sudah mengemas pakaian yang akan ia bawa ke dalam koper.

"Jae, Tn. Jung sudah datang untuk menjemputmu!" Teriak Ny. Kim dari bawah tangga.

"Sebentar, Bu! Aku masih harus merapikan rambutku." Jaejoong menata rambutnya dengan tergesa-gesa. Setelah itu ia membubuhkan sedikit pewarna bibir berwarna merah muda pada bibirnya.

"Mengapa kau lama sekali?" Junsu tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar Jaejoong.

"Jun-chan?" Jaejoong terkejut oleh kedatangan Junsu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Junsu akan ikut untuk menjemputnya.

Junsu terheran-heran melihat penampilan Jaejoong. Sahabatnya itu mengenakan rok pendek di atas lutut berwarna merah muda dan blus berwarna putih yang dihiasi pita berwarna merah. Sahabatnya itu juga menata rambutnya dengan rapi dan memakai jepit rambut berwarna perak. "Kau akan pergi ke mana? Bukankah kau sudah berjanji untuk belajar bersama di rumahku?"

"Aku memang akan pergi ke rumahmu," jawab Jaejoong.

Junsu memicingkan matanya. "Jae, untuk apa kau berpenampilan seperti itu? Kita hanya akan belajar di rumahku, bukan jalan-jalan ke mall."

"Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Mengapa aku tidak boleh berpenampilan seperti ini untuk pergi ke rumahmu?" balas Jaejoong.

Junsu memutar bola matanya. "Di rumahku hanya ada aku, ayah, nenek, beberapa asisten rumah tangga, sopir, dan tukang kebun. Kau ingin menarik perhatian siapa?"

Jaejoong tersipu. Junsu mengetahui bahwa ia ingin menarik perhatian seseorang. "Tidak ada."

Junsu mendekati Jaejoong dan menatap wajah sahabatnya yang memerah. "Kau pasti sedang jatuh cinta."

Wajah Jaejoong semakin memerah. "Tidak," sangkalnya. "Mengapa kau berpikir seperti itu?"

Junsu menyunggingkan senyuman misterius yang tak dapat Jaejoong artikan. "Aku adalah sahabatmu. Tentu saja aku sangat mengenal dirimu. Katakan kepadaku siapa pria itu! Apakah aku mengenalnya?"

Jaejoong merasa tersudut. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti dengan yang kau bicarakan."

"Oh, tidak!" Junsu tampak syok.

"Ada apa?" Jaejoong terlihat cemas. Jangan-jangan Junsu sudah mengetahui bahwa ia jatuh cinta kepada ayah sahabatnya itu.

Junsu menatap Jaejoong dengan penuh curiga. "Jangan katakan bahwa kau menyukai tukang kebunku yang baru! Ia memang tampan, tetapi ia sama sekali bukan tipemu. Jaejoong, katakan kepadaku bahwa itu tidak benar!" Ia mengguncangkan tubuh Jaejoong.

"Jun-chan, hentikan! Kau menyakitiku. Tukang kebun di rumahmu itu sama sekali bukan tipeku," ujar Jaejoong.

Junsu berhenti mengguncangkan tubuh Jaejoong. "Syukurlah!" Ia mengelus dadanya. "Ia memang bukan tipemu. Tipemu adalah pria tinggi, bermata sipit dan tajam, bibir bawah lebih tebal daripada bibir atas, tahi lalat di atas bibir,…"

Jaejoong membelalakkan matanya. Kapan ia mengatakan hal itu kepada Junsu? Ia sama sekali tidak mengingatnya.

"Tukang kebun di rumahku tidak terlalu tinggi dan bermata bulat. Jelas ia bukan tipe pria idamanmu." Junsu terus berbicara.

"Jun-chan, sebaiknya kita segera pergi ke rumahmu agar kita bisa mulai belajar." Jaejoong menarik Junsu keluar dari kamarnya agar sahabatnya itu berhenti berbicara.

.

.

.

Saat memasuki ruang tamu Jaejoong melihat Yunho yang mengenakan pakaian santai, kaus berkerah warna putih dan celana jins. Pria tersebut terlihat jauh lebih muda dari usianya. Ia semakin terpesona kepada Yunho. Pria tersebut terlihat sangat akrab berbincang-bincang dengan ayahnya. Ia membayangkan dua pria sebaya itu menjadi mertua dan menantu, lucu.

"Mengapa kau senyum-senyum sendirian?" Junsu berbisik. "Aku semakin merasa yakin bahwa kau sedang jatuh cinta."

Jaejoong tidak menghiraukan Junsu. Ia menarik kopernya ke ruang tamu. "Aku sudah siap."

"Mengapa kalian lama sekali? Apa yang kalian berdua lakukan di atas?" tanya Ny. Kim.

"Jaejoongie berdandan lama sekali," keluh Junsu.

"Kau terlihat sangat manis, Jaejoong." Yunho memuji penampilan Jaejoong untuk sekedar basa-basi. Ia merasa bahwa ia harus menghargai usaha Jaejoong untuk berdandan.

Hati Jaejoong berbunga-bunga. Ah, senangnya! "Terima kasih, Paman Jung!"

"Jika kau sudah siap, ayo kita pergi!" Yunho bangkit dari tempat duduknya. Ia mengambil alih koper yang dipegang oleh Jaejoong.

Jaejoong membeku. Baru saja tangan Yunho tidak sengaja menyentuh tangannya saat pria tersebut mengambil kopernya.

"Ayo, Jae! Mengapa kau diam saja?" Junsu menarik lengan Jaejoong.

Setelah Jaejoong berpamitan kepada kedua orang tuanya, mereka bertiga berlalu meninggalkan kediaman Keluarga Kim.

.

.

.

Jaejoong duduk sendirian di jok belakang mobil Yunho. Awalnya Junsu ingin duduk di belakang bersamanya, tetapi ia menyuruh sahabatnya itu untuk menemani Yunho mengemudi. Dengan demikian, ia bisa dengan leluasa menatap pria impiannya dari belakang.

Yunho adalah tipe pria yang serius. Saat mengemudi ia jarang sekali berbicara. Ia fokus pada jalanan di depannya.

Jaejoong bisa melihat wajah Yunho dengan jelas dari cermin di dalam mobil. Ia sangat menyukai raut wajah Yunho yang serius. Menurutnya ekspresi tersebut sangat keren.

"Jae, ceritakan kepadaku siapa pria yang kau sukai itu!" Junsu mengangkat kembali topik tersebut.

Jaejoong mulai khawatir. Ia tidak ingin Junsu atau Yunho mengetahui bahwa ia jatuh cinta kepada Yunho. "Apa yang kau bicarakan? Aku tidak sedang jatuh cinta kepada siapa pun." Wajahnya merona merah.

Junsu menoleh ke belakang. "Wajahmu memerah."

Jaejoong menjadi salah tingkah. "Mengapa kau terus menyudutkanku? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak sedang jatuh cinta?"

"Jun-chan, sudah jangan menyudutkan Jaejoong terus! Kau juga pasti akan merasa kesal jika disudutkan seperti itu." Yunho tiba-tiba berkomentar.

Junsu merasa kesal karena ayahnya lebih membela Jaejoong daripada dirinya. Namun, ia membenarkan perkataan ayahnya. Ia sendiri juga mempunyai rahasia yang tidak ia katakan kepada Jaejoong. Jaejoong sama sekali tidak mengetahui bahwa ia menyukai seniornya.

Jaejoong bersyukur karena Yunho menyelamatkan dirinya dari serangan Junsu. Ia semakin mencintai pria tersebut. Pria tersebut tidak memiliki cela di hadapannya.

.

.

.

Setelah menaruh koper Jaejoong di kamar Junsu, Yunho menelepon seseorang. Ia keluar dari dalam rumah untuk menelepon. Ia pergi ke taman belakang yang menghadap kolam renang.

Jaejoong memandang Yunho dari balkon kamar Junsu yang menghadap kolam renang. Ia melihat Yunho terlihat gembira saat berbicara di telepon. Ekspresi wajahnya jauh berbeda dari saat ia mengemudi tadi.

"Apa yang sedang kau lihat?" Junsu menata pakaian Jaejoong di dalam lemarinya.

"Ayahmu sedang berbicara dengan siapa di telepon?" Jaejoong merasa penasaran.

"Tidak tahu, mungkin temannya." Junsu tampak tidak peduli.

"Ia terlihat sangat senang saat berbicara di telepon." Jaejoong masih memerhatikan wajah Yunho. Ia sama sekali tidak membantu Junsu menata barang-barangnya.

"Apakah ayahku harus berwajah masam?" sahut Junsu. "Jae, bantu aku membereskan barang-barangmu! Apakah kau akan membiarkanku melakukannya sendirian?"

Jaejoong pun berpaling dari Yunho dan membantu Junsu. Hatinya merasa gundah. Tidak biasanya Yunho tersenyum seperti itu. Senyuman pria itu terlihat sangat berbeda dari biasanya. Pasti ada sesuatu yang membuat pria itu bahagia. Pria itu terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta.

.

.

.

"Maaf, aku tidak bisa makan siang bersama kalian!" Yunho menghampiri Junsu, Ny. Jung, dan Jaejoong yang sudah berkumpul di ruang makan. "Aku ada janji dengan seseorang."

Jaejoong merasa sedih. Ia menduga Yunho memiliki janji dengan seorang wanita, wanita yang disukai oleh pria itu. Ia merasa sangat khawatir. Ia tidak siap untuk merasakan patah hati.

Jaejoong cukup tahu diri. Usianya dan Yunho terpaut sangat jauh, 22 tahun. Ia tidak bisa mengharapkan Yunho untuk membalas cintanya. Pria dewasa seperti Yunho pasti menyukai wanita dewasa yang matang, bukan gadis remaja seperti dirinya.

"Tadi malam ayah tidak makan malam di rumah, siang ini juga," sindir Junsu.

Senyuman masih menghiasi wajah Yunho. "Setidaknya ayah sarapan di rumah pagi ini."

"Sudah, biarkan saja ayahmu itu!" Ny. Jung memang sudah mengetahui bahwa putranya itu sedang dekat dengan seorang wanita. Ia sama sekali tidak keberatan putranya itu menjalin hubungan dengan seorang wanita, justru sebaliknya ia merasa senang. Selama delapan belas tahun Yunho hidup kesepian tanpa kehadiran seorang pendamping.

"Baiklah, sampai jumpa! Aku berjanji bahwa aku akan makan malam di rumah malam ini." Yunho mencium pipi ibunya, kemudian putrinya. Ia hampir saja mencium pipi Jaejoong. Namun, ia segera teringat bahwa Jaejoong bukanlah anggota keluarganya. Tidak sopan jika ia melakukan hal tersebut kepada Jaejoong. Ia merasa tidak enak kepada Jaejoong.

Jaejoong merasa sangat syok saat Yunho mendekat dan hampir saja mencium pipinya. Ia hampir saja terkena serangan jantung. Detak jantungnya kini tidak bisa dikendalikan.

"Semuanya, aku pergi!" Yunho pun berlalu pergi.

.

.

.

"Jae, mengapa kau tidak memakan makanannya? Apakah masakan nenek tidak enak?" Ny. Jung melihat Jaejoong hanya memainkan sumpit di atas nasi.

"Aku sedang tidak nafsu makan, Nek," jawab Jaejoong. Ia merasa tidak enak kepada Ny. Jung. Ia pasti sudah menyinggung perasaan Ny. Jung. Ia pun mulai memakan makanannya.

"Kau harus banyak makan. Bukankah kita akan belajar sampai larut malam? Kita membutuhkan banyak energi," ujar Junsu.

.

.

.

Pada saat belajar pun Jaejoong tidak bisa berkonsentrasi. Ia terus memikirkan Yunho. Wajahnya terlihat sendu.

Junsu merasakan keanehan pada diri Jaejoong. Ia menutup buku yang sedang mereka baca. "Ada apa denganmu? Tadi pagi kau terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta, sedangkan sekarang seperti orang yang sedang patah hati."

Jaejoong menghela nafas. "Sepertinya aku sedang terkena PMS. Moodku berubah-ubah secara mendadak hari ini." Ia mengarang-ngarang alasan.

"Semangat, Jae! Walaupun kau sudah pintar dan hampir bisa dipastikan lulus seleksi, kau tetap harus bersemangat." Junsu sangat bersemangat karena keinginannya untuk diterima di jurusan sains sangat tinggi. Demi mengejar seniornya ia rela belajar sains yang sangat tidak ia sukai.

.

.

.

Yunho menepati janjinya untuk makan malam di rumah. Pada saat makan malam pun raut wajahnya terlihat sangat cerah. Ia memang memasang wajah serius, tetapi semua orang yang melihatnya pasti bisa mengetahui bahwa pria tersebut sedang berbahagia.

Seharusnya Jaejoong merasa senang jika pria yang ia cintai sedang berbahagia, tetapi kali ini ia tidak bisa. Firasatnya mengatakan bahwa pria itu sedang jatuh cinta kepada wanita lain. Walaupun hal itu belum terbukti, tetap saja ia merasa sangat cemas sebelum ia mengetahui dengan pasti alasan yang membuat pria tersebut terlihat bahagia.

.

.

.

Jaejoong dan Junsu belajar sampai dini hari. Jaejoong tidak bisa tidur karena hatinya sedang dilanda kegundahan. Ia merasa sangat haus, tetapi air minum di kamar Junsu sudah habis. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kamar Junsu dan pergi ke dapur untuk mengambil air minum.

Jaejoong mendengar suara di dapur. Ada orang yang sedang berbicara di dapur. Siapa yang sedang berada di dapur pada dini hari? Apakah ada pencuri di dapur? Ia merasa sangat ketakutan, tetapi ia merasa sangat penasaran. Ia pun menajamkan pendengarannya.

"Apakah kau tidak mengantuk? Bukankah besok kau harus pergi pagi-pagi sekali?" Yunho berbicara di telepon.

Jaejoong mengenali suara Yunho. Tidak mungkin ia tidak mengenali suara pria yang sangat ia cintai tersebut. Ia merasa penasaran dengan siapa Yunho berbicara di telepon. Ia pun memasang telinganya dengan seksama.

"Aku akan pergi tidur jika kau juga pergi tidur." Yunho berbicara sambil tersenyum. "Jam berapa pesawatmu akan lepas landas? Aku akan mengantarmu ke bandara."

Jaejoong bisa menarik kesimpulan bahwa Yunho sedang berbicara dengan temannya yang akan melakukan perjalanan dengan pesawat besok pagi. Akan tetapi, Jaejoong merasa heran mengapa mereka berbicara di telepon pada dini hari. Apakah mereka tidak mempunyai waktu lain untuk mengobrol?

"Selamat tidur, Sayang! Sampai jumpa besok pagi! Aku mencintaimu." Yunho menutup teleponnya dengan wajah yang sumringah.

Jaejoong merasa jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. 'Selamat tidur, Sayang! Aku mencintaimu.' Kata-kata tersebut terus terngiang-ngiang di telinga Jaejoong. Sungguh sangat membahagiakan seandainya Yunho mengatakan hal tersebut kepada dirinya. Sayang sekali, ucapan tersebut diucapkan oleh Yunho untuk orang lain, bukan untuk dirinya. Hatinya kini hancur berkeping-keping. Tubuhnya terasa lemas. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, seakan-akan ia kehilangan tulang-tulang yang menyangga tubuhnya. Ia berdiri membeku di dekat dapur.

"Jae, apa yang sedang kau lakukan di sini?"

TBC

Saya kehilangan mood/feel dalam menulis. Cerita ini saya tulis untuk mencoba menaikkan mood sebelum nanti akan melanjutkan cerita yang lama.

Saya mengucapkan terima kasih kepada beta reader yang tidak ingin disebutkan namanya dan para motivator yang selama ini terus menyemangati saya untuk terus menulis.