Our Love for The Last

Genre : Romance, Drama & Friendship

Disc. : Walaupun bang Masashi bilang mau pensiun, Naruto tetap punya bang Masashi.

Warning : Fiksi saya mengandung unsur sho-ai, yaoi, pelangi dan semacamnya. Jangan lupakan kemungkinan typos yang muncul.

Chapter 4

Ehm.. ehm... #siapsiapdigetok..

Hehehe.. akhirnya update juga chap 3 nya huahaha. Bagi reader yang menunggu, sungguh ane minta maaf. Dalam beberapa bulan ini ane sibuk ngambil air karena musim kemarau wkwkwkwkwk... Kekeringan di tempat ane masih merajalela sedangkan bagian kampung udah hujan gede tiap hari, hadeuuuuh... hm hm..

Bagi yang masih setia menunggu ane, ane akhirnya publish chap ini. Dan bagi readers Recaptured, maaf bahkan chap ketiganya masih belum ane ketik. Jadi diharap bersabar, kecuali ada yang mau kirimin ane Sasu ama Naru, live action di depan ane wkwkwkwk..

Udah ah, bagi readers sekalian selamat membaca.

O ya, bagi yang menemukan typo, maaf update yg ini tanpa edit, jadi sekali lagi maaf ya.

.

#

reiths_89

#

.

"Ohayou, Teme."

"Hn."

"Sarapan kita apa, Teme?"

"Hn."

"Hmm harumnya, cepat Teme, aku sudah lapar!"

"Hn."

"Teme.."

"Hn.."

"Minta digetok?"

Saphire dan onyx bertubrukan. Mata keduanya menatap tajam tak ingin mengalah.

"Habisnya jawabmu hanya hn, hn, hn tak jelas begitu," wajah berkulit tan mengerucut kesal. Pandangan Naruto beralih menjauh, tak mau lagi menatap mata di depannya. Sasuke hanya menggeleng pasrah, kembali mengerjakan pekerjaannya di pagi hari.

"Apa bentoku sudah selesai?"

'Ctak', perempatan muncul di dahi Sasuke. Apa Naruto tidak tahu, Sasuke itu paling kesal jika diganggu ketika sedang bekerja?

"Duduk dan tunggu!"

Pemuda pirang pun langsung duduk di kursi meja makan, mendengar geraman Sasuke. Naruto masih ingin pergi sekolah, daripada dikurung Sasuke di apartemen karena membuatnya kesal dan harus menjadi pembantunya seharian. Oh tidak, menjadi pembantu Sasuke sama dengan masuk neraka, mana mau Naruto melakukannya.

"Itadakimasu!" teriakan nyaring Naruto mengisi seluruh ruangan apartemen. Dengan lahap, pemuda berambut jabrik menikmati makanan hangat di depannya. Sementara Sasuke hanya meminum secangkir kopi panas di tangan. Tak lupa, koran pagi yang bertengger. Entah kapan Sasuke keluar, membuat Naruto bingung juga. Pemuda ini pergi selama dua tahun, jadi malah penggila bangun pagi rupanya.

"Teme.."

"Hn."

"Aku belum bertanya padamu sebelumnya," nada keraguan dari bibir Naruto membuat Sasuke menurunkan koran yang sedang dibacanya.

"Selama dua tahun ini, apa yang kau lakukan?" mata keduanya bertemu. Sasuke masih memandangi Naruto, merangkai kata yang akan diucapkan pada sahabatnya itu.

"Melanjutkan studiku dengan sistem kebut. Belajar menjalankan perusahaan di belakang Itachi, sekaligus pergi kesana kemari, tidak ada yang istimewa," Sasuke menggedikkan bahu pelan. Naruto hanya mengangguk tanda mengerti dan kembali menikmati makanannya.

"Lalu Itachi nii, bagaimana kabarnya?"

"Baik. Ia masih terobsesi menjadi kakak yang baik," Naruto terkekeh mendengarnya. Itachi nii masih sama seperti yang dulu.

"Lalu, apa kau sudah punya kekasih?" Sasuke terkesiap mendengar pertanyaan yang ini. Matanya memandang Naruto yang tidak mau menatap ke arahnya.

"Memangnya kenapa kalau aku sudah punya kekasih?"

Jemari Naruto berhenti bergerak. Pertanyaan Sasuke seakan kembali terngiang. Memangnya kenapa kalau Sasuke sudah punya kekasih? Tidak, tidak apa sih, tapi itu artinya, situasi seperti ini tidak akan berlanjut lama kan? Sasuke juga akan meninggalkannya begitu?

"Aku tidak punya kekasih, aku tidak tertarik akan hal itu," Naruto melirik ke arah sahabatnya yang kembali membaca koran di depannya. Senyum kecil terkembang di wajah manisnya. Naruto merasa lega mendengarnya, walau ia sendiri tak mengerti kenapa ia merasa lega.

.

#

.

Syal hijau kembali melingkari leher tan berbalut gakuran. Bento berkain orange pun bergelayut manja di tangannya. Naruto berjalan dengan siulan di bibirnya. Moodnya masih tetap baik, seperti kemarin. Sesekali ia cekikikan, entah apa yang dipikirkan.

'Buk'

"Eh?" apa dia menabrak dinding? Tapi kalau memang dinding kenapa sama sekali tidak sakit.

"Kau terus terusan menyengir aneh, apa ada sesuatu yang terjadi?"

"To-Toneri," Naruto mundur selangkah, menyadari dinding yang ditabraknya adalah tubuh Toneri.

"Ohayou, Naruto kun."

"O-ohayou Toneri. Ta-tapi kau mengagetkanku! Kau ini seharusnya menyapaku sebelum aku menabrakmu, huh," Naruto membuang muka dan berlalu meninggalkan Toneri.

"Kau marah?" Toneri mengiringi di belakang. Senyum jahil bermain di wajah tampannya.

"Tidak!"

"Benarkah?" Toneri masih melihat bibir yang mengerucut kesal. Naruto sepertinya punya kebiasaan menggembungkan pipi dan cemberut jika sedang kesal, membawa kesan manis pada dirinya sendiri yang pasti tidak disadarinya.

"Naruto, jangan mengerucutkan bibirmu seperti itu."

"Memangnya kenapa? Bibirku kok!"

"Memang, tapi kau membuatku ingin menciummu.."

'Buak'

Lagi lagi pemuda pirang itu terjatuh di jalanan yang licin. Toneri membatu, seperti Naruto yang juga terdiam. Bingung.

"Pfft..."

"Jangan tertawa!"

"Ma..pffftt.."

"Kubilang jangan tertawa!"

"...mmmmm.."

"Aku masih mendengarmu!"

"..."

Naruto masih menggerutu, matanya menatap marah pada Toneri yang membantunya berdiri, namun sesekali membuang muka, menahan tawa yang akan keluar. Jika saja ini bukan jalan umum, mungkin Naruto akan menghajar pemuda tampan di depannya ini agar tidak menertawakannya lagi.

Tapi saphire segera beralih, menatap ke arah belakang. Mata itu langsung membulat horor.

Di belakang sana, bento berkain orange itu terbuka. Nasi dan lauknya berceceran di jalanan.

"Hueee.. Bentoku!" baby blue langsung menatap serius. Ada kegembiraan tersendiri di dalam mata yang memandang ke arah makanan yang tercecer di jalanan.

"Bagaimana ini, aku tidak bawa uang jajan, bentoku jatuh, aku bisa mati kelaparan," Toneri mengangkat satu alis pada kalimat yang terlalu ironi dan hiperbola keluar dari mulut si pirang yang sekarang memunguti tempat bentonya.

"Naruto kun sudahlah," Toneri berusaha membujuk Naruto yang masih memasang tampang sedihnya pada bento yang berserakan.

"Tapi, .."

"Disana kau rupanya," suara baritone membawa keduanya menatap pada lelaki yang kelihatannya sedikit kelelahan karena berlari. Sebuah buku tulis bersampul orange, berada di tangannya.

"Sas'ke? Ada apa?" Toneri memandangi wajah berkulit tan yang berubah khawatir. Rasa kesal kembali menjalar di dadanya. Hanya karena Sasuke Uchiha yang kelelahan, Naruto bisa khawatir? Menyebalkan!

"Dobe, ini buku prmu, kau meninggalkan di kamar."

'Puk'

Buku bersampul orange mendarat di kepala pirang. Pipi tan menggembul kesal.

"Ya, ya maaf," jemari Naruto meraih buku bersampul orange. Sedikit lupa dengan bento yang masih tercecer.

"Kau menjatuhkan bentomu," pernyataan dari Sasuke membuat cemberut di wajah tan berubah, raut pink muncul di wajah manisnya.

"Eto," Naruto menggaruk pipinya yang tidak gatal, bingung mau menjawab apa.

"Dobe, sini," bento box beralih tangan.

"Eeeh..."

"Apa kau bawa uang jajan?"

Naruto menggeleng. Sasuke mendesah dan meraih sesuatu di dalam kantong celananya. Wajah tampannya menjadi masam, cih ia melupakan dompetnya karena terburu buru.

"Aku yang akan mentraktir Naruto kun di kantin hari ini," Toneri menyela dua sahabat yang sedari tadi sibuk dengan urusan keduanya. Onyx menatap tak suka dengan pernyataan Toneri.

"Toneri bilang mau mentraktirku, jadi tidak apa apa deh, Sasuke. Sudah kami ber-"

"Kau berangkat duluan, ada yang ingin kubicarakan dengan Otsutsuki san," saphire mengerjap bingung. Sasuke sama sekali tidak memandang ke arahnya, sama dengan Toneri. Keduanya saling bertatapan dengan pandangan yang Naruto sendiri tidak mengerti.

"Tapi," Naruto menatap keduanya bergantian. Tatapan ragu masuk di relung hatinya, perasaan yang tak nyaman.

"Tidak apa apa, Naruto kun, aku juga ingin membicarakan sesuatu dengan Uchiha san," Toneri kali ini tersenyum pada Naruto, berusaha menghilangkan keraguan dalam diri si pirang.

"Em.. Baiklah. Aku berangkat dulu," Naruto berjalan pergi, tapi sesekali matanya memandang ke belakang, masih ragu dengan keputusannya. Toneri melambaikan tangan pada Naruto, berharap pemuda itu tidak terlalu memikirkan apa yang akan mereka lakukan.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Uchiha?" Toneri memandangi Sasuke yang bersedekap. Bento box berkain orange bergelayut di jemarinya. Mata keduanya beradu dalam diam.

"Apa tujuanmu datang ke Konoha? Ini hanya desa kecil, bukan tempat yang bagus untuk melebarkan usaha," Toneri masih menatap Sasuke, beradu pandang dengan onyx yang tidak bersahabat.

"Kalau yang ingin kau bicarakan soal bisnis, maaf saja, Uchiha Itachi lebih menjadi pilihanku," Toneri memandang angkuh pada Sasuke yang mendecih, tak suka disepelekan.

"Aku tak peduli soal bisnis untuk sekarang, yang ingin kutahu, apa tujuanmu datang ke desa kecil ini, jika sebelumnya kau selalu tinggal di kota besar."

"Sebelum aku menjawab, kau sendiri, apa tujuanmu kembali pada Naruto kun?"

Pandangan menyelidik dan tidak suka, tersampir di kedua pasang mata.

"Ini tempat aku lahir dan dibesarkan, aku punya banyak alasan untuk kembali kemari, apalagi aku punya sahabat di tempat ini."

"Sahabat? Setelah luka yang kau torehkan di tangan kanannya, kau masih berani menyebut dirimu sahabat Naruto kun?"

Onyx menatap nyalang. Darimana pemuda Otsutsuki ini tahu tentang bekas luka Naruto? Apa Naruto menceritakan sesuatu padanya? Tidak, tidak mungkin, Naruto bukan orang yang seperti itu!

"Jangan berlagak seperti kau yang paling suci, Uchiha. Aku tahu apa yang kau lakukan pada Naruto saat kalian masih remaja. Kau membencinya dan melukainya pada hal yang tidak ia lakukan, lalu kau pergi selama dua tahun setelah meminta maaf, kembali dua tahun kemudian. Seharusnya kau malu Uchiha dan jangan pernah muncul lagi di depan Naruto kun!"

Bento box terjatuh keras di jalan beraspal. Jemari tangan yang terkepal bertengger di kerah gakuran hitam.

"Urusan pribadiku dengan Naruto bukanlah urusanmu, Otsutsuki. Lagipula apa pedulimu pada urusanku dan Naruto?" Sasuke berteriak marah, sementara Toneri menyeringai mengejek.

"Peduliku pada urusanmu dan Naruto, tentu saja ada, Uchiha," Toneri mendorong tubuh Sasuke menjauh darinya. Tak sudi berdekatan dengan Sasuke.

"Baiklah kukatakan tujuanku padamu, Uchiha. Tujuanku adalah untuk mendapatkan kembali tanah leluhurku, salah satunya Konoha, setelah Kirigakure dan Kumogakure. Seharusnya ketika tiba di tempat ini, tujuanku hanyalah Konoha," Toneri merapikan gakurannya yang sempat berantakan karena Sasuke.

"Seharusnya?" Sasuke tidak suka dengan arah pembicaraan mereka saat ini.

"Ya, seharusnya. Tapi, tak kusangka, Konoha memiliki seorang malaikat, karena itu tujuanku bertambah. Aku juga ingin memiliki sang malaikat. Aku menginginkannya menjadi milikku, matahari di musim dingin, Uchiha," Toneri menyeringai, matanya menantang pada Sasuke.

"Malaikat? Matahari di musim dingin?" matahari?Apa maksudnya matahari? Matahari?

Bayangan pemuda pirang yang tersenyum bagaikan matahari, dengan mata biru langitnya yang menawan menelusup masuk, Sasuke terkesiap. Raut wajahnya langsung mengeras marah.

"Jangan macam macam Otsutsuki, Naruto bukanlah barang yang bisa kau milikki!"

"Aku tahu. Karena itu, akan kubuat Naruto menjadi milikku. Lagipula kau juga harus sadar posisimu sendiri, Uchiha, kau hanyalah sahabat Naruto, bukan kekasihnya atau orang tuanya. Kau tak pantas menentukan masa depan Naruto! Kau hanyalah orang yang pernah menyakiti Naruto dan tak pantas berada di sisi Naruto. Camkan ini baik baik Uchiha Sasuke. Uzumaki Naruto akan menjadi milikku!"

Rahang keduanya mengeras. Bahkan dingin yang menyelimuti, tak mampu mendinginkan hati keduanya.

.

#

.

Bento box kotor duduk tak bersalah di depan Sasuke di atas meja makan. Mata kelamnya menatap ke arah tembok cream di depan, namun pikirannya masih melayang pada apa yang diucapkan sang pewaris Otsutsuki Group. Mengingatnya saja membuat hatinya terbakar. Berani beraninya pemuda bersurai silver itu ingin menjadikan Naruto miliknya. Dan berani beraninya, dia mencari tahu tentang masa lalu Sasuke dan Naruto.

Raut wajah yang mengeras, berubah perlahan. Wajah yang penuh penyesalan, kini malah mengganti raut marah. Masa lalu. Seandainya saja, Sasuke tidak melakukan hal bodoh dulu, Naruto tidak akan pernah terluka. Seandainya saja ia bisa memutar ulang semuanya, Sasuke akan mengubah kebodohannya. Seandainya saja.

"Sas'ke.."

"Apa yang kau tahu tentangku? Kau yang sejak awal tidak punya orang tua, tahu apa tentang diriku? Tahu apa kau tentang aku yang kehilangan orang yang ku kasihi?"

Sasuke memainkan kain bento box yang kotor. Mengusap kain berwarna cerah kesukaan Naruto, membuatnya merasa seakan menyentuh kulit lembut Naruto.

"Kau mengerti kan Sasuke, orang yang bisa menahan amarahmu hanya aku. Jadi, jika kau ingin marah dan melampiaskannya, lampiaskanlah semuanya padaku. Aku akan menerimanya dan jangan sakiti orang lain."

Sasuke meremas rambut hitamnya. Rasa sakit ketika ia menyakiti Naruto kembali muncul, melingkupi seluruh dadanya yang terasa sangat sesak.

"Kenapa? Kenapa kau menerimanya dasar bodoh? Kenapa kau biarkan aku melukaimu? Kenapa?"

"Seorang sahabat akan berusaha untuk menahan sakit yang sama yang dirasakannya sahabatnya. Aku juga ingin merasakan rasa sakit di hatimu. Bagilah rasa kehilanganmu denganku Sasuke. Biarkan aku berada di sisimu. Biarkan aku ikut menempati hatimu."

"Bodoh, Naruto bodoh. Dasar Dobe, Naru Dobe," Sasuke bergumam lemah, mata kelam menatap sendu pada bento box yang kotor. Rasa bersalah itu kembali bergelayut di dalam hati kecilnya.

.

#

.

"Untung saja salju tidak turun lagi, ya, Naruto kun," Toneri berucap ceria. Kaki jenjangnya melangkah bersamaan dengan Naruto. Tapi mata biru langit berkata lain.

"Toneri, maaf..," Naruto berkata sungkan.

"Ya, Naruto kun?"

"Eto, itu.. Apa yang kau dan Sasuke bicarakan tadi pagi?" sesungguhnya Toneri memang menunggu pertanyaan ini muncul dari mulut Naruto. Pertanyaan yang sudah Toneri siapkan jawabannya.

"Hanya pembicaraan sekilas tentang bisnis dan masa lalu."

"Bisnis? Masa lalu?"

"Ya, bisnis, bukannya dia adik dari Uchiha Itachi, CEO muda Sharingan Group?" Naruto mengangguk pelan, masih terlihat ragu.

"Apa kau yakin tidak pernah dengar Otsutsuki Group?" Naruto sedikit berpikir, sedetik kemudian menggelengkan kepala. Toneri hanya tersenyum. Penduduk di desa kecil, tentu saja itu tidak aneh kalau Naruto tidak tahu.

"Ya, sudah tidak apa apa," Naruto tercekat. Jemari Toneri bermain di rambut pendek pirang miliknya. Bermain pelan dan lembut. Naruto merasakan detakan jantungnya yang menjadi lebih cepat.

.

#

.

"Tadaima," suara serak Naruto terdengar mengisi apartemen sederhananya. Namun, tak ada jawaban dari suara Sasuke. Padahal sepatu yang biasa ia kenakan masih berada di

Derapan langkah kaki membawa Naruto ke arah dapur, berharap bisa menemukan Sasuke di dalam dapur. Tapi, nihil. Naruto menggedikkan bahunya bingung.

Seandainya saja saphire miliknya tak melihat bento box kotor yang masih duduk santai di atas meja makan, Naruto pasti sudah langsung berjalan menjauh. Tubuh pemuda berambut pirang itu terpaku, matanya masih menatap pada bento box dan kursi coklat yang berpindah dari posisi awalnya.

Tubuh yang awalnya diam, langsung berlari masuk ke dalam kamar. Pintu kamar coklat pun terbuka. Kamar itu masih tertata rapi, futon yang biasa digunakan Sasuke pun masih ada di sisi ranjang milik Naruto. Hanya saja, baju hangat berwarna hitam milik Sasuke terlihat tidak berada di tempat seharusnya. Gantungan baju terlihat kosong.

Kembali Naruto berlari keluar. Kali ini menatap ke arah rak sepatu. Sepasang sepatu pantovel hitam milik Sasuke tak berada di tempatnya. Jadi Sasuke keluar? Tapi kemana? Bahkan harus menggunakan pantovel dan bukan ketsnya?

Naruto terpaku, masih memandangi rak sepatu yang kosong.

.

#

.

Matahari senja yang dinaungi awan mendung, memberikan sinar merah pucat yang kurang terlihat karena tertutup awan. Beberapa orang berlalu lalang, mengisi jalanan umum. Entah baru pulang bekerja, atau sekedar berjalan jalan di sore hari.

Naruto mengeratkan pakaian hangat coklat ke tubuhnya. Berharap rasa hangat semakin menjalar ke tubuhnya. Mata saphirenya memandang lesu ke arah sepatu kets yang dikenakan. Tubuhnya masih terduduk di atas tangga sejak satu jam yang lalu. Masih menunggu.

Sayangnya, pemandangan yang sama masih terlihat ketika beberapa orang memandang Naruto heran. Seingat mereka sewaktu senja, mereka melihat Naruto duduk disana dan sejak tiga jam berlalu, Naruto masih duduk di anak tangga terakhir, diterangi lampu jalan yang menyala. Apa pemuda itu tidak kedinginan di cuaca sedingin ini? Bahkan wajah tannya sudah memucat.

"Naruto kun?" suara lembut menyapa telinga Naruto. Naruto terkesiap, kepala pirang langsung memandang ke depan.

"Hinata chan?"

"Apa yang kau lakukan?"

"Ti..tidak apa ap- eh..," Naruto yang mencoba berdiri, merasa oleng karena lama duduk di atas anak tangga.

"Naruto kun!" Hinata berlari cepat ke arah Naruto. Bungkusan yang ada di tangannya terlepas, kedua tangannya membantu Naruto untuk berdiri dengan benar sambil bersender pada dinding di sisinya.

"Ma..maaf," Hinata tercekat, bibir Naruto yang mencoba tersenyum begitu pucat.

Gadis manis itu bergerak cepat, mengambil kembali bungkusan yang terjatuh. Dari mata saphirenya, Naruto bisa menangkap syal merah yang dikeluarkan. Tak perlu waktu lama untuk syal merah itu menggantung di lehernya.

Lavender menatap lekat pada Naruto. Tatapan penuh kekhawatiran menguar dari mata lavender milik Hinata. Keduanya saling bertatapan.

"Hinata chan.."

"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di sini, Naruto kun. Tapi, apa kau gila duduk di tempat ini, dalam cuaca yang dingin? Apa kau ingin mati beku?" mendengar pernyataan Hinata, Naruto terdiam, sebelum kekehan muncul dari bibirnya. Kali ini giliran Hinata yang bingung.

"Aku tak menyangka, Hinata chan bisa marah juga ya," mendengarnya, tentu saja wajah Hinata memerah. Oh, tidak ia memang melakukan seauatu yang tidak biasa.

"Ma..maaf Na..naruto kun," Hinata memalingkan wajahnya dari Naruto. Dan baru disadarinya juga, Hinata berdiri sangat dekat dengan Naruto.

"Tidak apa apa, ayo masuk. Aku tidak boleh membuat gadis cantik kedinginan kan?" Naruto mengedipkan satu mata dan kembali tersenyum jahil melihat wajah memerah Hinata. Setidaknya, kedatangan Hinata membuatnya sedikit melupakan kekhawatiran yang melanda.

"Ini, Naruto kun," segelas coklat panas yang baru saja dibuat Hinata, diletakkan di atas meja.

"Terimakasih, Hinata chan," Naruto berujar senang. Syal merah menggantung di kursi cokelat. Hinata duduk berseberangan dengan lelaki pirang di depannya.

"Naruto kun."

"Ehm?"

"Sebenarnya apa yang kau tunggu di luar?" mata saphire yang dari tadi memandangi kepulan asap cokelat dari cangkirnya, sekarang memandangi Hinata yang menatapnya, memberinya perhatian penuh.

Naruto mendesah dan kembali memandangi cokelat panas di depannya, tak menjawab pertanyaan Hinata yang sekarang menyesap cokelat panasnya.

"Apa menunggu Sasuke kun?" Naruto tersentak dan memandang Hinata yang tersenyum kecil.

"Neji nii kemarin bertemu dengannya dan memberitahuku," ah begitu. Naruto mengangguk pelan, kali ini mencoba menikmati cokelat hangat buatan Hinata.

"Aku tidak tahu kemana Sasuke pergi. Baju hangat dan sepatu pantovelnya tidak ada. Dan bento box itu tidak dicuci," Hinata kali ini menatap bento box yang dari tadi memancing keingintahuannya.

"Sasuke orang yang suka kebersihan dan kerapian. Rasanya aneh sekali ketika melihatnya tidak ada dengan kursi dapur yang tidak rapi dan bento box yang belum dicuci," kembali Naruto memandangi cokelat yang sudah diminumnya. Manis dan hangat.

"Kau khawatir, Naruto kun?"

Naruto menggenggam cangkirnya lebih erat. Bibirnya terkatup erat.

"Aku takut, Hinata chan."

"Takut, Naruto kun?"

"Aku takut Sasuke akan pergi lagi dan meninggalkanku, seperti sebelumnya," jemari pucat menggenggam erat cangkir miliknya. Rambut hitam panjang, menutupi setiap sisi wajah Hinata.

"Hinata, maaf bukannya aku ingin menghakimimu, tapi, seharusnya kau sadar, Naruto tidak menyukaimu, Hinata. Di dalam hatinya kau dan aku memiliki posisi yang sama, sebagai temannya."

Apakah apa yang dikatakan Neji nii, yang membuatnya sekarang berada bersama dengan Naruto, adalah sebuah kenyataan?

"Aku menyedihkan ya, Hinata chan?" Naruto mencoba tersenyum, mencoba menutupi kesedihan di mata biru.

"Tidak Naruto kun, aku jauh lebih menyedihkan," apakah ia akan mengatakannya sekarang? Setelah sekian lama menyimpan cinta ini, apa ia harus menyerah sekarang?

"Apa maksudmu, Hinata chan?"

Hinata mengangkat wajahnya, menatap saphire yang bingung. Hinata membawa cangkir mendekat ke bibirnya, menyesap cokelat hangat untuk menghangatkan tubuh.

"Aku berharap pada mimpi yang sejak awal memang bukan untukku," lavender menatap syal merah, diikuti saphire yang tak mengerti.

"Tapi sepertinya kali ini aku mengerti, aku harus melepaskannya," kali ini Hinata menatap Naruto dengan senyuman hangat. Sebuah senyum yang mengangkat beban berat dari pundaknya selama ini.

"Hinata chan, apa maksudmu?" Naruto bertanya masih tak mengerti.

"Aku menyukaimu, Naruto kun, sejak dulu," bibir yang mulai memerah karena hangat, terbuka dan kemudian menutup, mungkin berharap agar sesuatu keluar dari tenggorokannya. Tapi tidak ada yang keluar.

"Melihat reaksimu, sekarang saja aku mengerti, kau tidak menyukaiku kan?" Naruto masih tak mampu berkata kata. Kali ini memutuskan pandangannya dari Hinata.

"Maaf," hanya satu kata itu yang bisa keluar dari bibir yang memerah.

Hinata mengangguk, menerima permintaan maaf yang seharusnya tak perlu keluar dari bibir Naruto. "Tidak apa apa."

Keduanya menyesap cokelat hangat dalam diam, namun diam yang menenangkan.

"Kita masih bisa berteman kan, Hinata chan?" Naruto memandangi Hinata dari sudut matanya, masih tak berani mungkin beradu pandang.

"Dasar Dobe, pantas saja Sasuke kun memanggilmu Dobe, kita ini akan selalu berteman, tahu?" Hinata terkikik melihat wajah Naruto yang memerah karena dikatai Dobe. Naruto memang polos dan Dobe ya. Suara tawa pun muncul dari keduanya, mengisi ruangan apartemen dengan kehangatan.

"Tapi ada yang ingin kuketahui, Naruto kun."

"Ya? Tanya saja Hinata chan."

"Syal hijau itu, siapa yang memberikannya padamu?"

"Oh itu," Naruto memandangi syal merah Hinata kembali dan terkekeh.

"Itu dari kaachanku. Sepertinya dititipkan pada Jii-chan yang mengurusku di panti asuhan dulu. Karena jii-chan meninggal sebelum bisa memberikannya untukku, syal itu disimpan bersama barang berharga jiichan lainnya. Untungnya Konohamaru mengobrak abrik gudang tempo hari dan menemukannya, lalu memberikannya padaku, memangnya kau pikir dari siapa, Hinata chan?"

"Hehe, kupikir dari gadis lain, Naruto kun," Hinata tersipu malu, yang juga dibalas kekehan dari Naruto.

.

#

.

Jendela yang terbuka memberikan Naruto pemandangan langit malam yang cantik dengan bulan purnama yang bersinar terang. Pemuda delapan belas tahun itu tak bisa menutup matanya barang sedetikpun. Rasa galau masih menyelimuti pikirannya. Apalagi Sasuke masih belum kembali. Napas hangat keluar dari bibirnya yang mendesah.

'Cklek'

Walaupun samar, Naruto masih bisa menangkap suara pintu depan yang terbuka. Dengan tergesa gesa, Naruto langsung beranjak dari tempat tidur yang sekarang terobrak abrik.

"Sas'ke, kau pulang!" teriakannya sedikit menyentak Sasuke yang baru saja melepaskan pantovel hitamnya. Napas Naruto masih menderu, penuh dengan kelegaan, akhirnya Sasuke pulang. Lelaki raven itu pulang ke apartemennya.

Sasuke hanya menjawabnya dengan anggukan. Dengan telaten, tangan putih pucatnya meletakkan sepatu hitam yang sekarang kelihatan kotor di atas rak sepatu. Naruto masih berdiri di depan kamarnya, menunggu Sasuke.

"Sasuke, kau darimana saja? Tadi aku meneleponmu tapi nomormu tidak aktif, aku khawatir sekali, kupikir, kupikir," Naruto menunduk, tak mau menatap Sasuke yang berjalan mendekat padanya. Pandangannya menatap ke arah kaki berselebung kaos kaki putih di atas lantai.

"Apa yang kau pikirkan, Dobe?" nada suara mengejek terdengar dari Sasuke. Onyxnya menatap dalam pada rambut pirang di depannya.

"Kupikir kau tidak akan kembali, Sasuke," Sasuke mengerjap, sedikit tak percaya dengan apa yang didengarnya. Apa Naruto takut Sasuke pergi meninggalkannya?

"Dobe-"

"Tolong, Sasuke. Lain kali jika kau pergi, katakan padaku. Tolong Sasuke, jangan buat aku menunggu dalam ketidakpastian begini," apa ini hanya perasaannya saja atau apa, tapi kenapa pernyataan Naruto ini terasa begitu ambigu?

"Aku-"

"Berjanjilah, berjanjilah, Sasuke, jangan tinggalkan aku lagi, tolong," tubuh berbalut piyama biru itu jatuh ke dada bidang yang masih berbalut baju hangat.

"Dobe? Naruto?" Sasuke memanggil manggil nama sahabat pirangnya yang kelihatan tertidur di pelukannya. Seakan terlelap dalam kelelahan dan melepaskannya di pundak sang raven yang sekarang memeluk tubuh ringkih itu ke pelukannya dengan sangat erat.

"Kau yang meminta, Naruto," Sasuke berbisik di puncak kepala pirang, "maka aku akan selalu ada di sisimu."

Mau tuberculosis apa to be continue (^_^)