Namanya adalah Kirana Jones, gadis – jadi-jadian– yang saat ini sedang berlari menembus tatapan-tatapan tajam. Crinoline berbalut sutra indigo polos sama sekali tak mengganggu kegiatan gadis itu. Ia terus berlari, berlari, lalu menghilang tertelan horizon. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali muncul –kali ini ia berjalan santai. Ia kembali menapaki jalan yang sama lalu berbelok ke arah utara.

Ada gerak lengkung ke atas di sudut bibirnya. Gerakan itu samar tapi ia bisa merasakan pergerakan tersebut. Hijaunya terus menatap ke satu titik, titik dimana gadis Jones itu menghilang.

" –ta. Apa kau mendengarkanku, Arthur?"

Ia, Arthur, mengerjapkan matanya, "tentu, Natalia. Allistor sudah menyetujuinya. Pertunangan kita akan diresmikan begitu kita lulus."

Natalia bangkit dari duduknya lalu memeluk Arthur dari belakang. "Ingatlah, Art. Hanya aku yang bisa menyelamatkan dirimu, begitupun dengan dirimu," ujarnya.

Arthur diam. Tak bersuara, juga tak bergerak. Matanya masih menatap titik itu. Jiwanya terbang mengikuti satu-satunya gadis yang berlari di bawah sana.

.

.


.

.

.

Dear My Girl.

Hetalia by Hidekazu Himaruya.

Dear My Girls by KIM Hee Eun.

Kuroshitsuji by Yana Toboso.

T. AU, OC, OOC, FEM!INA, REVERSED HAREM, MISS-TYPOS, SUDUT PANDANG BERUBAH-UBAH, ETC. Tidak ada keuntungan yang didapatkan dari pembuatan karya ini dan dibuat untuk kesenangan semata. Based on: Dear My Girls dan Kuroshitsuji.

.

.

.


.

.

Keriuhan menyambut kedatangan mereka. Trotoar yang dipadati oleh kaum muda dan dewasa, jalan-jalan yang tak pernah berhenti menyuarakan suara tapak kuda, dan pintu-pintu toko yang selalu sibuk membuka dan menutup tubuhnya. Gelombang-gelombang manusia terus berdatangan –gelombang yang mampu menghanyutkan dirimu jika Anda melamun sedetik saja– dan tak akan ada habisnya hingga matahari menutup matanya.

Ada sebuah strategi yang dilancarkan oleh keluarga Jones untuk meminimalisir peluang tragedi terseretnya anggota Jones di dalam gelungan ombak manusia. Alfred berada di depan –ia berfungsi sebagai ujung tombak– sembari menggenggam erat Maya, di barisan kedua ada Elizabeth –ia bertugas sebagai pengamat, berikutnya ada Kirana –satu-satunya entitas yang berpotensi hilang paling besar, dan diposisi ekor ada Antonio –tugasnya paling berat karena harus mengamati Kirana dan menjaga Kirana tetap di posisinya. Strategi barisan induk bebek dan anaknya berhasil.

Setidaknya selama tiga puluh lima menit pertama. Sebelum sang ekor mengeluarkan makarnya.

"Hei, hei, hei." Kirana menoleh ke samping, saudara-saudarinya semakin tak nampak, "Antoniooo~ Hei, astaga, jika Elizabeth menyadari –"

Antonio berhenti, begitupun dengan Kirana. Ia menoleh ke belakang, "sejak kapan seorang Kirana Jones takut?" ejek Antonio.

Kirana melepas tangannya kasar, lalu menghela napas, katanya, "aku sudah berjanji pada Elizabeth untuk tidak membuat kekacauan hari ini."

"Aku yang akan bertanggung jawab apabila Elizabeth marah."

"Never break a promise, Antonio. Saat kau berjanji pada seseorang, itu sama saja dengan kau memberinya sebuah harapan dan jika kau mengingkari janji itu, kau membunuh harapannya," ujar Kirana.

Antonio bertepuk tangan pelan, "sepertinya udara di Cambridge membuatmu semakin bijak."

Kirana tersenyum, "seseorang yang berkata seperti itu kepadaku," ucapnya lembut. Ada afeksi dan kerinduan terpendam dalam kelembutan itu, perasaan yang amat sangat dalam.

Antonio hanya ingin menghentikan waktu. Mengkristalkan momentum berharga ini selama-lamanya. Kelembutan ini terasa seperti gulali, begitu manis, tapi terkandung sebuah nikotin berbahaya yang mampu membuat Antonio ingin memakannya lagi, lagi, dan lagi. Semakin banyak makan, semakin besar rasa tak puasnya; dan ini bukanlah pertanda baik bagi kewarasan Antonio.

Bersamaan dengan momen berharga ini, ada kecemburuan yang berjalan beriringan. Rasa cemburu pada seseorang yang ia tak kenal, tak pernah ditemui, dan tak pernah Kirana sebut. Cemburu pada seseorang yang mungkin saja tidak tinggal di dunia ini. Menyesakkan, tapi selama Kirana tak pernah berkata-kata mengenai sosok itu, harapan selalu ada.

Antonio berdeham sekali untuk merebut atensi Kirana, tapi gadis itu tetap pada gemingnya. Dua kali dan hasilnya sama. "Kita akan ke mana?" Pita suara Antonio bergetar. Cara ini selalu berhasil menarik atensi Kirana keluar dari dunianya.

Mata Kirana mengerjap tanda bahwa ia baru saja kembali menginjak bumi. "Bukankah kau akan membeli peralatan baru?" Alis Kirana sedikit melengkung saat mengatakannya.

"Aku lupa." Gigi-gigi putihnya terlihat. "Tapi, aku ingin ke suatu tempat terlebih dahulu."

"Ke mana?"

Senyum Antonio semakin lebar, "cake shop."

.

Satu tangan membuka pintu, satu tangannya lagi membawa kardus kecil berisi kue-kue. Setelah sang gadis melewati pintu, barulah ia masuk dan menutup pintu. Ini adalah toko kedua yang Kirana dan Antonio kunjungi. Tujuan utama hari ini.

Toko remang-remang ini akan habis dinikmati dalam satu putaran. Tak banyak barang yang terletak di atas meja-meja kayu setinggi perut manusia. Delapan puluh tiga persen, Kirana mengenal bentuk dan cara kerja alat-alat yang siap untuk dibeli. (Terima kasih kepada Antonio yang membuat Kirana tidak kuper dalam hal sulap menyulap.)

Toko satu putaran itu sudah terjamah setengah oleh mata Kirana. Di sudut, dekat dekat pemilik toko yang sedang berbicara dengan Antonio, ada sepasang kelinci putih yang terkurung dalam kandang kubik. Manik coklat muda itu terpaku. Sepasang kelinci yang sangat mirip dengan kesayangannya. Apple dan Cheesecake. Kebahagiaan tertinggi miliknya sebelum orang itu datang.

(Berbicara tentang orang itu, jika mereka bertemu, Kirana akan memotong habis rambut kebanggaannya itu. Pasti.)

Niat baik itu meluruh saat menyadari sesuatu. Kirana tak mungkin bertemu dengan lelaki jabrik itu lagi. Cambridge sudah musnah, tidak mungkin kaki lelaki itu menginjak tanah Inggris lagi.

Aah, Kirana bergeleng pelan. Keraguan menyusup di rongga dadanya. Ia ingin kembali, tapi ada harga yang harus ia bayar jika ia memutuskan untuk kembali. Keluarga Jones, Antonio, dan Arth–

–hur. Otot dahinya tertarik menghasilkan dua kerutan dalam. Kirana tak mengerti kenapa otaknya mengeluarkan nama Arthur secara spontan. Arthur adalah seorang Kirkland, jadi tidak mungkin dirinya masuk ke dalam daftar korban Kirana. Yang pasti ia akan lebih sering bertemu dengan dirinya jika nama Cambridge terdaftar sebagai nama belakangnya.

Tunggu...

Dahi Kirana kembali rapi dan mulus. Bagaimana reaksi Arthur jika dirinya –yang sering Arthur panggil dengan monyet atau bar-bar– tahu bahwa dirinya adalah putri tunggal keluarga Cambridge? O, pasti akan seru sekali. Dan Kirana benar-benar ingin melihat reaksi konyol itu secepatnya.

Bayangan akan wajah gentleman yang menganga lebar membuat Kirana tersenyum. Tapi, sepersekian detik kemudian, satu kesadaran menampar imajinasinya. Ia adalah putri keluarga Jones. Keluarga pedagang kaya yang dihormati oleh orang-orang di sekeliling mereka. Ia hanyalah manusia normal, tanpa gelar maupun kekuasaan.

Kirana menjauhkan tangannya dari sangkar tersebut. Ia berbalik lalu mendekati Antonio, katanya, "belum selesai? Aku bosan."

"Hmm.. mm," Antonio bergumam pelan. Pandangan tertanam jauh ke dalam bola kristal yang di bawanya saat ini. Berusaha menemukan sesuatu di dalam bola itu. "Tidak ada," gumam Antonio lagi.

"Apa yang kaulihat?" tanya Kirana, bayangan wajahnya terpantul di permukaan bola kristal itu.

"Dirimu, eh, maksudku, wajah calon istriku di masa depan," jawab Antonio.

Segera, Kirana mengambil bola kristal itu dari tangan Antonio. Gadis itu mengamati bola kristal itu dengan seksama, tidak ada satu sentipun yang terlewat. "Kosong," kata Kirana yang tak menemukan gambaran apapun.

"Kau harus benar-benar ingin melihatnya. Jika hanya setengah-setengah, bola ini tak menunjukkan apapun," ujar Antonio.

Sekali lagi, Kirana melakukan hal yang sama, kali ini dengan sungguh-sungguh. Kerutan di pangkal hidungnya lah yang menjadi bukti. "Aku ti– Oh, tunggu, aku melihat sesuatu. Pria dengan wajah seperti–"

"Sudah kukatakan, bahwa dengan alat ini Anda akan menjadi terkenal. Para gadis akan berlomba-lomba memperebutkan Anda. Bagaimana? Anda akan mengambil bola ini?"

Ekspresi serius itu menghilang. "Seperti apa cara kerjanya?" tanya Kirana.

"Buka bola ini, lalu sisipkan foto di dalamnya," jawab si pemilik toko. Mendengar jawaban tersebut, Kirana mengembalikan bola kristal tersebut kembali ke tangan Antonio. Kirana terdiam sedetik sebelum pergi begitu saja dari toko remang-remang tersebut.

Dengan cepat, Antonio mengambil foto miliknya, memberikan bola itu kepada penjaga toko, dan berlari menyusul Kirana. Sungguh, dirinya tak bermaksud membuat Kirana marah. Ia hanya bermain-main, dan ia tak mengira bahwa seorang Kirana Jones juga tertarik pada hal-hal wanita seperti ini.

Pintu terbuka dan membawanya ke dunia lain. Tak seramai dengan jalan utama, tapi menemukan gadis lincah seperti Kirana tetaplah susah. "Oi, Kira – na..." Suara Antonio terputus, gadis itu sudah lenyap ditelan manusia.

"Mati aku."

.

Marah. Kirana sangat marah dengan Antonio. Kali ini, lelucon Antonio sangat keterlaluan. Ia masih bisa terima jika foto yang digunakan adalah foto dirinya sendiri atau Alfred, tapi tidak dengan foto dari mendiang kakeknya. Ini sama sekali tak lucu!

Orang yang sudah meninggal tak pantas dijadikan lelucon. Terlebih, darimana Antonio mendapatkan foto kakek dari ayahnya itu?

Tap, langkah Kirana terhenti ketika menyadari sesuatu. Oke, tampaknya ada kesalahpahaman di sini. Kirana segera berbalik untuk kembali ke Antonio, tapi,

"Aku di mana?"

Iris coklat muda milik Kirana bekerja ekstra. Setiap sudut gedung maupun jalan dapat memberi petunjuk di mana dirinya berada. Sayangnya, sebanyak apapun petunjuk yang diberikan oleh benda-benda di sekelilingnya, gadis ini tak mengenal daerah ini.

Matanya mengerjap, beberapa anak kecil berlari melewati dirinya dengan penuh semangat.

"Sudah pasti aku yang terpilih!"

"Tidak. Aku yang terpilih!"

"Aku lebih tua, sudah pasti Tuan Orion memilihku."

Jantung Kirana berdetak kencang saat mendengar kata Tuan Orion. "Tunggu!" Spontan Kirana berteriak. Satu anak perempuan berhenti.

Kirana berjalan mendekati anak perempuan itu kemudian mengeluarkan satu poundsterling. Ia berjongkok, "bolehkah aku tahu, kalian akan ke mana?"

"Ke tempat Nona Lída. Utusan Tuan Orion sudah tiba," jawab si anak perempuan begitu menerima satu poundsterling dari Kirana.

"Nona Lída? Tuan Orion?"

"Nona Lída, pemilik bar nomor satu di daerah ini. Dan Tuan Orion adalah penyelamat anak seperti diriku. Beliau selalu datang setiap bulan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik."

"Memang seperti apa Tuan O –"

"Wynona." Seorang perempuan dewasa dengan pakaian mini berseru. Di sisinya berdiri seorang pria yang Kirana tak kenal.

Wynona berlari menuju perempuan yang memanggil namanya sambil berseru, "Nona Lída!"

"Tuan menunggumu, pergilah," Nona Lída memberi perintah kepada Wynona. Segera, Wynona berlari menjauh.

"Jadi, Nona, apa yang kau tanyakan pada anak-anak miskin seperti Wynona?" Si pemuda asing bersuara.

Kirana berdiri sambil menjawab, "aku tersesat jadi aku menanyakan jalan."

Pemuda itu melangkah maju. "Mathias." Lída membentak begitu melihat pemuda di sampingnya bergerak.

Dengan tenang, Mathias maju sambil mengangkat kedua tangannya, "aku mengenal gadis ini. Tenang saja aku tak akan berbuat apapun," kata Mathias.

Mathias berjalan mendekat dan diiringi dengan tatapan was-was dari Lída. "Aku akan mengantarkanmu keluar dari tempat mengerikan ini, Nona Kirana Jones," ucap Mathias begitu dirinya dan Kirana hanya berjarak satu langkah.

"Kau mengenaliku?" tanya Kirana.

Mathias hanya tersenyum misterius, lalu ia mulai berjalan membimbing Kirana keluar dari dunia antah berantah ini.

.


.

Putih. Tak bernoda, polos, dan selalu menjadi warna kesukaan. Maya Jones, si bungsu yang selalu bersiap dewasa. Ia tak pernah meminta hal yang muluk-muluk; kertas, kanvas, cat, dan pensil; semua itu sudah cukup baginya. Maya Jones, ia berbeda dari saudari-saudaranya yang berambut pirang –dan itu membuatnya tak percaya diri. Tapi perbedaan itu tak mengurangi kasih sayang keluarganya.

Hingga, pagi itu tiba.

Ada dua kabar gembira yang Maya terima pagi itu. Pertama, kepulangan kedua orangtuanya. Kedua, Kirana. Maya suka dengan Kirana. Rambut hitam Kirana yang sama seperti miliknya membuat dirinya tak lagi seperti bebek di keluarga angsa. Tingkahnya yang sedikit bar-bar itu membuatnya bebas dari mata elang Elizabeta. Maya suka dengan kakak barunya; untuk sesaat.

Sebelum rasa suka itu berubah menjadi iri.

Maya iri dengan kedekatan Alfred dan Kirana, ia tak pernah sedekat itu dengan kakak kandungnya. Ia iri dengan perhatian Elizabeta pada Kirana. Ia iri dengan kebebasan yang dimiliki Kirana. Ia iri dengan cara orangtuanya memperhatikan Kirana. Ia iri dengan keanggunan Kirana –yang diam-diam dirinya dan Elizabeta kagumi.

Bukan hanya itu. Maya juga iri pada Kirana saat seluruh keluarganya berkumpul untuk bersekongkol memasukkan Kirana ke Hetalia Academy.

Maya benci pada Kirana yang sudah menodai warna putihnya.

.

Gadis berpita putih itu menaruh pensil kayunya. Helaan napas keluar dari mulutnya. Hilang sudah hasrat untuk menodai kertas putih dengan coretan-coretan miliknya yang khas. Kilasan balik hidupnya menghancurkan mood terbaik yang ia miliki.

Mungkin, gadis ini perlu bertemu dengannya, sang Moodboster.

Bangkit berdiri sambil memikirkan kemungkinan di mana orang itu berada.

"Hei, Nona dengan rambut segelap malam dan mata sejernih lautan,"

Ada gelombang asing yang tertangkap oleh gendang telinga Maya. Yang Maya sadari bahwa gelombang itu ditujukan padanya saat dirinya melihat dua pemuda asing berdiri di depannya.

Satu pemuda yang Maya yakini pemilik suara, mengambil satu langkah, berlutut, dan mencium punggung tangan kanan Maya sambil berujar, "akan kuberikan seluruh dunia padamu jika kau mau menerima satu-satunya hatiku, My Lady."

Kecupan berakhir. Cepat, Maya menarik tangannya. "Maaf, tapi aku harus pergi, Senior," pamit Maya.

"Woops. Bukan hanya dia saja, My Lady. Hambamu ini rela memberikan bulan demi mendapatkan perhatianmu," pemuda satunya berujar. Ia menghalangi jalur perjalanan Maya.

"Sudah kukatakan aku harus pergi, Senior. Aku sudah terlambat,"

Maya berdusta, ia tak ingin berdekatan dengan mereka. Ada kewaspadaan yang terasa di tubuh Maya saat mendengar suara mereka.

"Tidak, tidak, jangan pergi. Biar kami yang mengurus gurumu jika kau terkena hukuman," si penghalang berkata lagi.

"Benar. Kami bisa mengurus gurumu itu. Sebutkan namanya, My Lady," ujar pemuda yang pertama kali bersuara. Saat tangannya hendak menyentuh pundak Maya, refleks, Maya menampar tangan milik pemuda itu.

"Sial. Dengarkan aku baik-baik, gadis kecil. Orang rendahan sepertimu seharusnya merasa tersanjung dengan pujian kami," desis si pemuda yang tangannya memerah akibat perbuatan Maya.

"Dan," tambah si penghalang, "sepertinya kami harus mendisiplinkan dirimu, Nona Rendahan," lanjutnya lalu menggenggam erat pergelangan tangan Maya hingga kertas gambar miliknya jatuh berserakan.

"Lepas!" titah Maya, ia menarik-narik tangannya.

"Tidak, Nona Rendahan."

"Lepaskan aku!" Suara Maya mulai meninggi, tarikannya pun semakin kencang.

"Baiklah." Satu kata, satu tindakan, yang berdampak bagi Maya. Tangannya bebas dan tubuhnya terduduk di atas rerumputan.

"Aku benci memukul seorang Lady, terutama yang berambut hitam. Tapi–," tangannya terangkat, "apa yang kautabur, itupula yang kautuai," sambungnya.

Dengan kedua iris birunya, Maya melihat tangan di udara itu bergerak ke arahnya. Menutup matanya dan bersiap menerima rasa sakit yang akan menghantam tubuhnya.

"Kirkland, sedang apa kau di sini?"

Tak ada rasa sakit, hanya suara tak suka dari orang yang akan memukul dirinya. Perlahan, Maya membuka kelopak matanya. Rambut pirang dan mata hijau yang pernah ia lihat menghentikan laju tangan yang sempat memerah itu.

"Melakukan apa yang harus kulakukan," jawab Arthur santai. "Dan kalian," kalimatnya terputus beberapa milidetik, "kita ada untuk melindungi mereka," Arthur menunjuk Maya lalu melanjutkan, "bukan sebaliknya, bukan begitu, Senior?"

"Cih!" desah dua pengganggu bersamaan.

"Nah, Senior ... ouch!"

Sang penyelamat terjatuh akibat satu hantaman di punggungnya.

"Kau apakan adikku?"

Maya tahu siapa yang bersuara, ia juga dapat melihat orang itu di depan matanya. Satu kaki orang itu menekan punggung sang penyelamat sambil menginterogasi.

Kirana. Maya tak tahu; apakah ia harus merasa lega karena kakak angkatnya itu mengkhawatirkan dirinya, atau marah karena kakak angkatnya itu sudah menghina dirinya dengan kedatangannya kemari. Tapi, yang pasti, warna putih itu memiliki noda baru.

Maya iri pada Kirana yang kuat.

"Katakan padaku, apa yang ia lakukan padamu?" Kirana bertanya pada Maya.

"Idiot. Dia yang menyelamatkanku," jawab Maya.

"Oh," lekas, Kirana menarik kembali kakinya. "Benarkah?" tanya Kirana yang masih ragu dengan jawaban adiknya.

Sambil melihat penyelamatnya berdiri, Maya berkata, "tentu saja. Dan kenapa kau di sini?"

"Menyelamatkan adikku satu-satunya," balas Kirana cepat.

Kata yang tak diharapkan Maya terucap keluar. Sungguh, Maya berharap Kirana akan berkata bahwa ia hanya kebetulan lewat. Ia tak ingin warna putihnya semakin ternoda. "Bohong. Pembohong! Seharusnya kau diam saja di tempatmu, tak perlu kemari. Aku tak butuh bantuan orang gagal sepertimu," bentak Maya.

"Aku tak bisa diam saja saat adikku –"

"Adik?" balas Maya.

"Tentu, kau adikku."

"Aku bukan adikmu. Kau hanya anak angkat."

Kirana terkejut dalam gemingnya dan Maya tahu akan hal itu, karena Maya selalu mengamati – sekecil apapun – gerak-gerik saudari angkatnya itu. Ketika tangan Kirana menjauh dari bahunya, Maya tahu, ia telah menang sekali lagi. Dan sekali lagi, Maya berhasil memukul mundur Kirana keluar dari hidupnya. Seharusnya Maya senang dengan pencapaiannya – tanpa perlumeyakinkan dirinya sendiri.

"Antonio, tolong bawa Maya ke asrama," kalimat terakhir Kirana sebelum berjalan menjauh.

"Kata-katamu keterlaluan, Nona Manis," bisik si penyelamat sembari memberikan selembar kertas ke tangan Maya.

.


.

"Kau pemberani, Nona Kirana. Tidak ada satupun murid Hetalia yang berani memasuki tempat ini."

Suara asing bergaung di telinga Kirana diiringi dengan ketukan langkah kaki. Memutar tubuhnya dan menemukan wajah tak asing.

"Kau murid Hetalia juga?"

Nada Kirana terdengar ambigu di telinga pemuda itu. Entah itu pertanyaan atau pernyataan, ia tak tahu. Tapi, ia tahu keterkejutan di mata Kirana seakan dirinya adalah arwah gentayangan. Ia terkekeh pelan sambil menghapus jarak, katanya, "Mathias Kohler, itu namaku, Nona Kirana Jones. Senang bertemu denganmu lagi di tempat yang lebih layak."

"Ngomong-ngomong, kau tidak menangis?" lanjut Mathias.

Pertanyaan itu dijawab dengan kerutan di dahi Kirana yang tersembunyi di balik poninya.

"Bukankah adikmu baru saja menghina dirimu? Kenapa diam saja? Seharusnya kau memberinya pelajaran karena sudah bersikap tidak sopan," ujar Mathias. Kini ia sudah berdiri di depan Kirana. "Kirana yang kuat. Kirana yang malang. Sebagai pelipur lara, aku sudah mempersiapkan hadiah untukmu."

"Ehmm. Ini adalah perpustakaan, bukan tempat mesum," satu lagi suara menggema di antara rak-rak buku yang sedikit berdebu.

Mathias melepaskan dagu Kirana sebelum berputar, "si kesatria putih sudah tiba. Apa kabarmu, si mungil Kirkland?"

Arthur berdecak pelan sebelum membalas dengan angkuhnya, "Rod ada di depan sana."

"Thanks, mungil. Dan, aku menantikan pertemuan kita berikutnya Nona Kirana," kata Mathias lalu keluar dari perkumpulan rak-rak buku.

Begitu suara langkah kaki Mathias tak terdengar lagi, Arthur berkata, "kukira aku akan menemukan dirimu meringkuk sambil menangis tersedu-sedu, ternyata aku salah."

"Art ..."

"Aku belum selesai bicara, Nona Monyet. Aku tak tahu apa saja yang kalian lakukan di tempat seperti ini. Tapi, lebih baik kau menjauh dari Mathias – jika kau tak ingin pa ... tah ... ha –ti –."

Arthur berhenti berbicara ketika Kirana menempelkan dahinya di dadanya. Untuk pertama kalinya, ia melihat Kirana tanpa tenaga kudanya.

Ternyata dia perempuan, pikir Arthur. Ia bersiap merengkuh Kirana untuk berbagi semangat sebelum suara Kirana menghentikan niatnya.

"Aku bisa gila kalau seperti ini. Bawa aku pergi dari sini, Art."

.


.

.

TBC.

.

.


MAKIN PENDEEEEK! /inisengajabukancapslockjebol. oke, saya minta maaf updatenya terlalu lama dan makin pendek. kerjaan saya buat saya stress dan tak ada waktu untuk melanjutkan. saya minta maaf sebesar-besarnya.

Angelkumala iya, ini sudah lanjut, maaf dan terimakasih buat penantian panjangnya. Freeze112 hehe.. ini lanjut setelah setahun berlalu dan maaf kalau makin pendek, semoga ga lupa sama ceritanya ya :"" . Gery O Donut kyaaaaah! /ikutikutanfgan pengennya lebih, tapi apa daya, tangan ini menolak untuk menulis lebih :"" . Black Fox iya, ini sudah lanjut. 01-February ini ga didiscontined kok, Cuma butuh waktu aja buat nulis :") iyup, sepertinya bakal ada puzzle-puzzle lainnya, sepertinya loh..:))

akhir kata, terimakasih buat yang sudah membaca, memfollow, dan memfavorit.

ps: Lída itu Czech jadi bukan OC ya *wink* berhubung saya tak tahu nama officialnya jadi kuberi nama Lída saja.