Disclaimer © Masashi Kishimoto

Story © Felicia Novresca a.k.a

Pair © Uchiha Sasuke, Hyuuga Hinata

Rated © T

WARNING : OOC akut, typo, alur cepat dan teman-temannya.

Summary © Sebuah kesalahan dan surat berwarna biru menjadi awal pembantaian misterius/Kejadian aneh yang dialami menjadi pertanda korban pembantaian/SasuHina/DLDR ya tapi RnR juga, haha.

Note © Ditengah-tengah peredaran cerita romance, dengan kepercayaan diri level minus derajat celcius dan dengan modal nekat, gue tetep pengen publish ni fic. (pundung di pojokan meluk Sasuke)

.

.

.

A Letter at 3 a.m.

Chapter 4

.

.

.

"Aku... mendapat surat biru" Sasuke memperlihatkan dompetnya yang berisi surat biru kepada teman-temannya.

"Siiaaaalll...!" Naruto menepuk kepalanya frustasi memandang surat lusuh di dompet Sasuke, Gaara bahkan merasakan kakinya tidak mampu berdiri lagi.

Hinata menutup mulutnya tak menyangka bahwa Sasuke adalah target berikutnya, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah makan. Kepalanya menggeleng perlahan saat mata ungu miliknya menangkap sosok gadis berambut merah duduk di salah satu kursi di sudut ruangan. Wajahnya menunduk sambil tertawa, Hinata tahu bahwa hanya ia yang dapat melihat penampakan gadis itu. Mulut pucat gadis tersebut bergerak, ia berbicara... berbicara pada Hinata tapi tampaknya Hinata tidak mampu mendengar apapun yang dikatakan oleh gadis tersebut, Hinata terlalu takut pada tatapan mata yang seolah-olah akan menusuknya dengan benda tajam.

"Oeh... Hinata, ayo!" teriakan Naruto mengagetkan Hinata, Hinata kembali memandang ke arah tempat ia melihat arwah Karin tapi sepersekian detik berikutnya, Karin sudah tidak ada. Ia... menghilang.

Mobil Honda Jazz melaju dengan kecepatan tinggi melewati area pegunungan, berbelok tajam, melewati tanjakan dan turunan yang sangat terjal.

"He-hei, Gaara... bawa mobilnya pelan-pelan saja.." Naruto yang duduk di jok penumpang depan ketakutan dengan cara Gaara mengemudikan mobil yang terbilang sangat terburu-buru. Naruto takut Gaara tidak sempat melihat kendaraan yang berpapasan dengan mereka ataupun kendaraan yang akan menyalip. Kalau sudah seperti itu, tanpa surat biru pun mereka berempat bisa mati dalam sehari.

"Diam... kita harus secepatnya tiba di Konoha, Sasuke harus segera istirahat" meskipun Naruto meragukan cara menyetir Gaara tapi Gaara terlihat begitu fokus dan berusaha fokus mengemudikan mobil, beberapa bulir keringat tampak membasahi rambut merah bata miliknya, kalau boleh jujur tangan Gaara gemetar memegang stir. Gemetar ketakutan.

"Daijoubu ka, Sasuke?" Naruto berbalik menatap Sasuke yang duduk di jok penumpang bagian belakang.

Sasuke tampak tidak sehat setelah ia menemukan surat biru di dompetnya, darah tiba-tiba mengalir deras dari hidungnya saat otaknya memproses bahwa dia yang akan menjadi target pembunuhan berikutnya. Sasuke memang sangat ketakutan, tapi ia tak menyangka kondisi fisiknya tiba-tiba menurun, badannya sangat dingin, bibirnya pucat, mata onyx yang biasanya menatap tajam berubah menjadi mata sayu yang sangat mengkhawatirkan, pelipis dan dahinya basah oleh keringat. Sasuke bahkan sudah tidak mampu duduk dengan baik, ia duduk sambil bersandar di bahu Hinata. Oleh karena, itu ia menyerahkan mobilnya pada Gaara untuk dikemudikan, Naruto terlalu takut membawa mobil melewati medan pegunungan yang penuh dengan tikungan tajam.

"Kau akan baik-baik saja, Sasuke" Hinata menatap Sasuke yang memejamkan mata sambil mengusap-usap punggung Sasuke.

"Benarkah? Ka-kalau tidak, bagaimana?" Sasuke membuka matanya, ia mendongak menatap Hinata.

"Aku... aku akan melindungimu, Sasuke.." Hinata tersenyum kecil mengusap rambut Sasuke, ia berharap perlakuannya bisa memberikan perasaan tenang kepada Sasuke.

"Kau hanya perlu terjaga sampai pukul 3 pagi..." Naruto berusaha memberikan semangat kepada Sasuke, Naruto ragu Sasuke bisa bertahan sampai pukul 3 pagi dengan keadaan yang seperti ini, ia bahkan bersyukur jika Sasuke tidak mati sebelum mereka tiba di Konoha.

"Tapi kondisi Sasuke sedang tidak fit, tidak ada jaminan bahwa ia bisa terjaga semalaman" Gaara menatap Sasuke yang tertidur di bahu Hinata dari kaca spion.

"Tunggu... kalau tidak salah, arwah Karin hanya mengincar sepasang kekasih. Sepengetahuanku, Sasuke belum punya itu... tapi kenapa..." Naruto mencoba berpikir tentang keanehan ini.

"Apa kau sedang menyukai seseorang, Sasuke?" Sasuke agak sedikit terkejut saat mendengar pertanyaan Gaara.

"Ummm... sepertinya begitu" jawab Sasuke singkat.

"Siapa gadis itu, Sasuke? kita harus memperingatinya!" Naruto berseru.

"Tidak perlu.." jawab Sasuke sekenanya.

"Apa maksudmu tidak perlu, kau-" Naruto berontak, ia sama sekali tidak mengerti dengan perkataan Sasuke.

"Kau berisik sekali"

.

.

.

Naruto menghembuskan nafas lega saat mereka memasuki gerbang 'Selamat Datang di Konoha'. Ia memutar kepalanya dan mendapati Sasuke masih bernafas.

'Yokatta...' batinnya.

"Kita akan kemana?" tanya Gaara yang juga mulai merasa tenang saat memasuki Konoha, suasana perjalanan yang baru saja mereka lalui adalah suasana yang sangat mencekam bagi Gaara.

"Ke rumahku saja. Aku ingin istirahat" bahkan berbicara pun sangat sulit bagi Sasuke saat ini.

Di saat seperti ini, rumah Sasuke malah kosong. Gaara dan Naruto membopong Sasuke menuju kamarnya di lantai dua, sementara Hinata mengekor di belakang mereka.

"Aku baik-baik saja, sebaiknya kalian pulang. Kalian pasti lelah selama perjalanan, aku akan sehat setelah tidur" Sasuke menarik selimut dan mulai memejamkan matanya.

"Mana mungkin kami meninggalkanmu sendirian, bodoh" Naruto berdiri protes di samping kasur biru Sasuke.

"Sebaiknya kita biarkan Sasuke istirahat. Kau hanya perlu terjaga saat pukul 3 pagi, Sasuke..." Gaara berjalan menuju pintu kamar untuk meninggalkan Sasuke istirahat, Naruto dan Hinata mengikuti Gaara dari belakang.

"Hinata..."

Sasuke duduk bersandar di sandaran kasurnya memanggil Hinata saat Hinata akan keluar dari kamarnya. Hinata yang mendengar namanya dipanggil oleh Sasuke menghentikan langkahnya dan kembali mendekat ke arah Sasuke. Hinata duduk di tepi kasur Sasuke, ia membuka kalungnya kemudian memasangkannya pada Sasuke.

"Everything's gonna be okay, Sasuke" kata Hinata pelan sambil memasangkan kalungnya di leher Sasuke.

Hinata kemudian mendekatkan bibirnya di telinga Sasuke, ia membisikkan sesuatu.

"Umm..." Sasuke tersenyum sambil mengangguk, ia dengan terpaksa melepas genggaman tangan Hinata.

.

.

.

Hinata, Gaara dan Naruto berdiri d halte menunggu bus untuk mengantarkan mereka ke rumah masing-masing. Gaara meregangkan seluruh tubuhnya, ia sangat kelelahan menyetir mobil dengan keadaanya yang gemetar karena ketakutan, belum lagi ia, Naruto dan Hinata tidak memiliki kesempatan untuk istirahat. Ada baiknya mereka pulang ke rumah masing-masing untuk sejenak merebahkan diri setelah melalui perjalanan yang sangat melelahkan.

"Kenapa Sasuke... menurutmu, siapa gadis yang ia sukai?" Naruto masih penasaran mengapa Sasuke juga mendapatkan surat biru, Sasuke selalu terbuka kepadanya tentang gadis-gadis yang mendekatinya tapi seingatnya, Sasuke tidak pernah bercerita tentang gadis yang ia sukai.

"Saa... ore mo wakaranai.." Gaara pun tidak menemukan satu nama gadis yang bisa ia jadikan tersangka sebagai orang yang disukai oleh Sasuke.

Cahaya petir tiba-tiba membelah langit disusul suara gemuruh yang memekakkan telinga, suara gemuruh yang seolah saling berkejaran, tak lama kemudian tetesan air hujan turun membasahi bumi.

"Sial... kenapa tiba-tiba hujan" Gaara mengusap-usap kedua telapak tangannya yang pucat kedinginan.

Cuaca tiba-tiba berubah, matahari yang bersinar terik dan awan biru yang cerah menghilang terhalangi oleh awan hitam dan hujan yang sangat deras, kendaraan berlalu lalang dengan kecepatan normal. Hinata berdiri tak jauh dari Gaara dan Naruto, rambut panjangnya melambai-lambai tertiup angin, angin yang selama ini mengintainya. Ia menyentuh lehernya, ia agak khawatir setelah melepas kalungnya, sebenarnya kalung peninggalan leluhurnya adalah salah satu pelindung dari makhluk-makhluk yang mengancam nyawanya tapi kalung tersebut telah ia serahkan kepada Sasuke. Hinata bahkan tidak yakin kalung tersebut mampu berfungsi atau tidak pada Sasuke, ia hanya menuruti nalurinya yang membimbingnya untuk menyerahkan kalungnya pada Sasuke.

Jantung Hinata terasa berhenti berdetak saat melihat sesuatu di ujung jalan. Seorang gadis berseragam sekolah yang sangat lusuh dan kotor berdiri tak bergeming membiarkan seluruh tubuhnya basah oleh derasnya air hujan, kakinya tanpa alas bergerak pelan berjalan menuju ke arah Hinata, rambut panjang berwarna merah menutupi wajahnya, air matanya yang berwarna hitam semakin membuat wajahnya terlihat sangat menakutkan saat terguyur hujan. Gadis tersebut berjalan tanpa tertabrak kendaraan yang melewatinya, mata Hinata begitu terpaku terhadap sosok yang semakin memperpendek jarak dengannya, Hinata seolah merasa sesuatu mengontrolnya, ia tidak dapat bergerak satu jengkal pun. Bahkan ia tak mampu mengalihkan tatapan matanya dari arwah Karin yang semakin mendekat ke arahnya.

"Biarkan aku membawanya bersamaku..." Si gadis pembantai berdiri tepat di samping Hinata membisikkan permintaan untuk membawa Sasuke bersamanya, kulitnya yang pucat kini bertambah pucat dan keriput, air hujan yang membasahi tubuhnya menetes perlahan dari ujung roknya. Suaranya yang pelan dan agak serak membuat Hinata semakin ketakutan.

"Ini yang terakhir jika aku membawanya bersamaku..." wajah menakutkan itu tiba-tiba muncul di hadapan Hinata, wajah mereka hanya berjarak beberapa mm. Hinata tidak mampu mengatakan apapun, bahkan bernafas pun sangat sulit ia lakukan.

Arwah sang gadis berjalan membelakangi Hinata membiarkan dirinya basah oleh guyuran air hujan, ia berjalan sambil mengeluarkan gunting dari balik kemejanya, gunting yang biasa digunakan untuk memangkas rumput, gunting yang berlumuran darah, gunting yang akan ia gunakan untuk membawa Sasuke bersamanya. Sesaat sebelum menghilang diantara kendaraan, arwah gadis tersebut berbalik sejenak dan menyeringai kepada Hinata.

"Jama shinai de yo (jangan menghalangiku)..." setelah mengucapkan kata-kata tersebut sang gadis menghilang dari balik kendaraan yang melewatinya.

"Uhhuukk... Uhhuukkk..." Hinata menutup mulutnya saat ia terbatuk.

"Ooeeehhh.. Hinata, kau kenapa?" Gaara panik saat melihat tangan Hinata berlumuran darah.

"Astaga, kalian berdua ini kenapa? Tadi Sasuke? sekarang kau batuk dan memuntahkan darah.." Naruto mengeluarkan sapu tangannya untuk membersihkan darah dari mulut Hinata.

.

.

.

Matahari yang tak lama lagi akan kembali ke peraduannya memberikan warna kuning kemerahan di langit dan burung-burung pun mulai beterbangan kembali ke sarang mereka.

"Sebentar lagi akan gelap..." gumam Hinata menatap matahari yang akan tenggelam dari balik kaca jendela kamarnya.

Hari sudah gelap tapi tak ada setitik cahaya pun di kediaman Uchiha. Tiga orang penghuni rumah besar ini sedang tidak ada di rumah, hanya satu orang yang ada di rumah dan orang tersebut bahkan tak mampu meninggalkan kasurnya.

Jarum jam terus bergerak seolah tak memberikan waktu untuk mencegah pukul 3 pagi. Sasuke dengan keadaan yang tidak memungkinkan untuk begadang semalaman saat ini masih menutup matanya, ia seolah tidak peduli dengan apa yang akan mendatanginya tepat di pukul 3 pagi. Ia masih tertidur tak bergeming, ia bahkan terlalu lemah untuk sekedar menekan saklar lampu di kamarnya. Kamarnya kini benar-benar gelap gulita.

Teng... Teng... Teng...

Jam besar di ruang tamu yang di bawa pulang oleh Fugaku dari Milan berdentang sebanyak tiga kali, menandakan bahwa waktu telah menujukkan pukul 3 pagi. Sasuke masih tak bergeming di kasurnya, ia tetap tertidur meski keringat dingin masih terus membasahi seluruh tubuhnya.

Kaca jendela kamar Sasuke bergeser perlahan membiarkan sinar bulan menerangi kamar gelap yang di dominasi oleh warna biru, tirai putih melambai-lambai tertiup angin seakan menyambut seorang tamu yang akan membawa Sasuke pergi bersamanya. Angin berhembus pelan namun terasa begitu mencekam. Bersamaan dengan bertiupnya angin, seorang gadis melayang memasuki kamar Sasuke, kemudian ia berdiri tepat di samping jendela tak jauh dari kasur Sasuke.

"Bangunlaaaahh... Uchiha-san, ikutlah bersamaku..." Dengan sekali kedipan, lampu di kamar Sasuke menyala.

Sasuke mulai bergerak tak nyaman saat cahaya lampu menyinari matanya yang masih tertutup. Ia terkejut menatap lampu diatasnya yang tiba-tiba menyala secara misterius, ia tak pernah bangun dan menekan saklar lampu tapi kenapa lampunya menyala? Sasuke terduduk di atas kasurnya memandang sekeliling kamarnya, nyawanya seakan direnggut saat ia mendapati sesosok gadis yang berdiri tak jauh dari jendela kamarnya. Tak perlu bertanya, Sasuke sudah tahu bahwa gadis inilah yang akan mengakhiri hidup seseorang setelah ia mendapat surat biru. Ia mendapat surat biru yang artinya ia akan berakhir di tangan gadis yang kini menyeringai padanya.

"Ikutlah bersamaku..." arwah gadis tersebut tiba-tiba melayang dan terbang perlahan ke arah Sasuke yang masih duduk di kasur. Tubuh Sasuke seolah terkunci, ia tak mampu bergerak dan mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya terasa ingin berdarah saat seorang gadis melayang ke arahnya sambil membawa gunting rumput yang berlumuran darah.

"Matilahh...!" Karin menghujamkan gunting ke bagian leher Sasuke, mata Sasuke berair, mulutnya menganga, ia bahkan tidak melakukan perlawanan apapun seolah ia pasrah bahwa hidupnya akan berakhir malam ini.

"Nani..." mata Karin membelalak saat gunting yang akan ia gunakan untuk membunuh Sasuke tiba-tiba terlempar menjauh.

"APA YANG TELAH IA LAKUKKKAAANNN" Karin berteriak terbang ke arah Sasuke berisap untuk mencekik Sasuke tapi lagi-lagi ia bahkan tak mampu menyentuh ujung rambut Sasuke.

'A-apa... ke-kenapa, ke-kenapa ia tidak bisa menyentuhku' batin Sasuke saat Karin tak mampu menyentuhnya.

Karin yang dari tadi melayang kini mendaratkan kakinya di lantai dingin kamar Sasuke, ia mengamati apa yang aneh terhadap Sasuke sehingga ia tak mampu menyentuhnya. Sesaat, mata Karin menangkap liontin kalung milik keluarga Hyuuga melingkar di leher Sasuke. Karin melangkah perlahan ke belakang, ia menutup matanya sambil menautkan kedua tangannya.

'A-apa... a-apa yang akan ia lakukan..' Sasuke mulai tidak tenang, ia ingin berlari, berteriak tapi tidak bisa.

Karin yang tadinya berpenampilan rapi kini perlahan-lahan berubah, kaki yang tadinya lengkap dengan kaos kaki dan sepatu kini berubah menjadi kaki pucat nan keriput berlumuran darah, seragam sekolahnya tiba-tiba menjadi kotor oleh lumpur dan darah, wajah berseri miliknya berubah menjadi wajah menakutkan yang penuh dengan darah.

"HHAAAAA...!" Karin berteriak sambil mengarahkan tangannya ke arah Sasuke, angin yang begitu kuat tiba-tiba muncul memutuskan kalung pemberian Hinata pada Sasuke. Kalung tersebut terlepas dan jatuh ke lantai.

"Hahaha...penghalangmu telah rusak..." Suara tawa karin menggema di seluruh sudut ruang kamar Sasuke.

Karin kembali melayang melawan gravitasi, ia mengarahkan tangannya pada gunting yang terlempar tak jauh dari tempatnya, gunting tersebut melayang perlahan ke arah genggaman tangan Karin.

"HAAAAA...!"

Karin kembali berteriak dan terbang melayang ke arah Sasuke bersiap untuk memutuskan leher Sasuke menggunakan gunting di genggamannya. Sasuke menutup matanya pasrah terhadap apapun yang akan terjadi padanya malam ini.

"Matilaaahhh..."

"Karin..." seseorang membuka pintu dan memanggil nama Karin.

Gunting yang bersiap untuk memutuskan leher Sasuke tiba-tiba terjatuh, Karin yang melayang kini mendaratkan kakinya. Tatapan matanya yang dingin dan penuh hasrat untuk membunuh berubah saat ia menatap seseorang di pintu kamar Sasuke.

"U-uchiha...-san" Karin membelakangi Sasuke yang lebih memilih menatap seseorang yang kini tersenyum ke arahnya.

"Karin... apa kau Karin teman sekelasku dulu?" Itachi melangkah memasuki kamar Sasuke disusul Hinata, Gaara dan Naruto. Hinata langsung menghampiri Sasuke dan memeluknya.

'Inikah arwah gadis yang telah membunuh Kiba, Shion, Sai dan Ino?' batin Gaara melihat penampakan Karin di hadapannya.

'Dia benar-benar mirip dengan foto teman sekelas kak Itachi..' Naruto pun tak mengalihkan pandangannya dari sosok Karin.

"Daijoubu ka?" tanya Hinata memeluk Sasuke yang gemetar tapi tak ada jawaban dari Sasuke.

"Kalungnya.." Sasuke menatap kalung pemberian Hinata yang telah rusak.

"Tidak apa. Kau sudah aman, Sasuke" Hinata mengeratkan pelukannya pada Sasuke.

Sementara itu, Karin dan Itachi berhadapan dengan hanya berjarak 2 meter. Itachi tidak menyangka akan bertemu lagi dengan temannya yang telah meninggal.

"I-Itachi..." penampilan Karin yang tadinya menyeramkan kini berubah menjadi Karin yang berpenampilan sebagaimana siswa High School pada umumnya.

"Suratmu ada bersamaku..." Itachi mengeluarkan surat biru dari saku celananya. Tadi siang sebelum Hinata pulang, ia meminta surat biru yang disimpan oleh Sasuke kemudian ia memberikannya pada Itachi.

"Daisuki naa...Itachi" kata Karin dengan mata berair.

"Maaf karena aku tidak sempat membaca suratmu saat itu, maaf telah membuatmu menunggu semalam" Itachi tak menyangka selembar surat cinta yang tak sempat ia baca membawa malapetaka yang mengorbankan banyak nyawa.

"Jadi kau tidak sempat membacanya?" tanya Karin mulai mengerti. Ternyata Itachi tidak mengabaikannya, Itachi hanya tak sempat membacanya.

"Hinata telah menulis ulang isi suratmu untukku, aku berterima kasih kau telah menyukaiku selama tiga tahun dan aku minta maaf karena aku tidak menyadari apapun" Itachi menatap sayu pada surat biru di genggaman tangan kanannya.

"Lalu jawabanmu...?" Karin kembali meminta jawaban pada Itachi, jawaban sederhana yang telah membuatnya nekat mengakhiri hidupnya dan bahkan bergentayangan membunuh orang-orang tak bersalah.

"Jawabanku untuk suratmu, aku beruntung pernah mengenal teman baik sepertimu, kesalahan dan hubungan tak tersampaikan biarlah berakhir pada kita berdua. Cinta atau hubungan apapun itu bisa kita saksikan dan kita rasakan pada mereka, generasi setelah kita. Kita telah berada di dunia yang berbeda, Karin, aku hanya ingin kau tenang di tempat seharusnya kau berada. Aku tidak akan pernah melupakanmu"

Bersamaan dengan perkataan Itachi, setetes air mata mengalir dari kedua sudut mata Karin. Gaara mematikan lampu ketika Hinata mulai menyalakan 3 buah lilin dan membuka gulungan peninggalan leluhur Hyuuga. Hinata bersiap untuk mengantarkan Karin ke alam seharusnya ia berada.

Hinata menutup matanya menautkan kedua tangannya di depan dada, sebuah cahaya dari langit menyinari tubuh Karin, seragam sekolah Karin berubah menjadi pakaian putih yang menjuntai panjang, kemudian dua sayap muncul dari punggung Karin.

"Sayonara, Itachi..." Karin tersenyum sebelum kedua sayapnya mengepak dan membawanya pergi. Karin menghilang, pergi persama perasaannya yang telah tersampaikan.

.

.

.

Hari-hari Sasuke, Hinata, Naruto dan Gaara kembali berjalan seperti biasanya, melakukan aktifitas seperti biasanya dan yang paling penting adalah mereka bisa tidur kapan pun mereka inginkan tanpa ada terror pembantaian. Toilet sekolah pun telah di bongkar dan di rekonstruksi, tidak ada lagi kamar toilet keramat dan sebagainya.

Hari ini pelajaran olahraga baru saja selesai, seluruh siswa memang selalu kewalahan saat jam olahraga bersama Guy-sensei. Setelah beristirahat di bawah pohon tepi lapangan Konoha High School, siswa kelas XII.1 berjalan menuju kelas mereka untuk mengganti pakaian olahraga dengan seragam sekolah.

Tenaga Hinata terkuras habis, ia tidak tidur cukup tadi malam. Meskipun ia yakin bahwa arwah Karin tak lagi bergentayangan tetap saja Hinata tidak bisa tidur sebelum pukul 3 pagi. Hinata berjalan sambil meregangkan tangan dan lehernya berharap pegalnya sedikit hilang, ia menarik seragamnya dari laci meja dan betapa terkejutnya ia ketika sesuatu terjatuh dari balik seragamnya.

"A-apa...?"

Sebuah surat berwarna biru.

Jantung Hinata berdegup kencang, perasaan takut yang telah lama pergi kini kembali melandanya. Dengan tangan yang gemetar, Hinata menguatkan dirinya untuk meraih surat biru yang terjatuh di bawah mejanya.

Hinata menelan paksa ludahnya, membuka lipatan surat tersebut dan membaca isinya. Matanya membulat sempurna sangat terkejut dengan isi surat tersebut. Tanpa membuang-buang waktu Hinata berlari keluar kelas mencari seseorang.

Hinata berhenti di sebuah bangku tak jauh dari pohon besar yang terkenal di Konoha High School. Hinata memegang perutnya yang terasa sakit saat ia berlari, ia kesulitan mengatur nafasnya setelah berlari cukup jauh untuk mencari... Sasuke.

"Aku masih agak tidak terlalu sehat untuk olahraga bersama Guy-sensei" ucap Sasuke saat melihat Hinata berjalan ke arahnya.

"Sasuke..." Hinata duduk beberapa jengkal di samping Sasuke memandang surat biru di genggaman tangannya.

"Heh...? Kau mendapat surat biru, ya?" kata Sasuke santai.

"Umm..." Hinata mengangguk sambil menunduk.

"Ja-jadi... ba-bagaimana?" tanya Sasuke sambil melihat petugas kebersihan menyiram tanaman, ia terlalu malu menatap Hinata.

"Ba-bagaimana apanya? Kau mengagetkanku" kata Hinata dengan rona merah di pipinya.

"Kalau kau menolakku, mungkin saja aku akan bunuh diri dan menghantuimu seumur hidup" kata Sasuke dengan sedikit bercanda, yah... disertai senyum malu-malu. Surat biru telah memberikan pengalaman hidup tak terlupakan dalam hidupnya, surat biru yang identik dengan teror pembunuhan yang telah menghabisi nyawa teman-temannya. Sasuke ingin mengubah pemikirannya terhadap 'surat biru' akhirnya Sasuke menulis pertanyaan cintanya pada Hinata melalui surat biru.

"Aku sudah terlalu lelah dengan arwah Karin, aku mungkin terbunuh jika arwah Uchiha Sasuke yang bergentayangan" Hinata melebarkan senyumnya.

"Jadi... bisa dibilang...kalau kau..." Sasuke menggantung pertanyaannya.

"Aku menjawab iya kalau aku ditraktir es 3 skup" Hinata tertawa kecil

"Bahkan 5 skup pun tidak masalah.." Sasuke menarik tangan Hinata menuju stand es krim terenak di Konoha High School.

.

.

.

E N D

Gilaa... update-nya lama bgt, sori ya sori. Hehe

Thanks bgt buat temen-temen yang udah baca dan nge-review fic amatiran ini.

Sampai jumpa di fic-fic selanjutnya...

JANGAN LUPA BAHAGIA! Meski gebetan gak kunjung peka *eh

*Kissbye