Selepas Jongin meneleponnya, Luhan segera bergegas menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam menuju apartemen Sehun. Sambil diam-diam berusaha mengingat-ingat jalan menuju apartemen Sehun dan juga mengingat berapa nomor kamar pria itu. Ia harus menemukan Sehun dengan cepat sebelum terjadi sesuatu yang buruk.

Jongin bilang Sehun sudah menghilang selama beberapa hari dan itu membuatnya khawatir.

Bisa saja Sehun melakukan hal diluar nalar atau mungkin pria itu sudah sekarat sekarang.

Dia memang bukan siapa-siapa Sehun, memang belum, tapi tetap saja seolah ia memiliki tanggung jawab besar untuk mengetahui keadaan Sehun. Apalagi Jongin meminta bantuannya untuk melihat kondisi pria itu.

Jadi ia berlari secepat mungkin setelah menemukan tempat parkir. Masuk lift dengan tergesa, sedikit merasa beruntung karena tidak ada banyak orang di dalam sana. Luhan harus cukup bersabar untuk bisa melihat nomor lantai Sehun karena lift berjalan sangat lambat baginya, kemudian ia berlari saat pintu terbuka di lantai paling atas.

Ia menekan bel kamar Sehun beberapa kali, berusaha mengetuk dengan tidak sabaran. Ia harus bisa bertemu Sehun secepatnya sekarang. Rasa cemasnya muncul saat dari dalam sana tidak ada jawaban dan ia mulai memutar otak untuk bisa masuk ke dalam kamar pria itu.

Bisa saja Luhan mengatakan pada penjaga keamanan kalau Sehun sedang sakit dan butuh bantuan, lalu menyuruhnya membuka pintu kamar Sehun menggunakan kunci cadangan.

Tapi detik berikutnya ia mendesah lega karena pintu kamar Sehun terbuka. Pria itu berdiri disana, sedikit terkejut melihat Luhan yang mematung di depan pintu masuknya. Sehun tampak sangat pucat dan juga terlihat seperti orang sakit –atau sekarat, Luhan juga tak terlalu bisa membedakan. Pria itu mengerjap beberapa kali saat melihat Luhan, mungkin memastikan sedang tidak berhalusinasi.

Dan Luhan mengamati Sehun dari atas hingga bawah dengan raut wajah penuh kecemasan.

"Luhan," bisiknya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Ya, kedengarannya, Sehun sudah tidak bicara selama beberapa hari karena suaranya terdengar serak dan hampir habis.

"Sehun, kau baik-baik saja?" ia sedikit mendorong Sehun dan masuk ke dalam kamar pria itu tanpa ijin. "Kau tampak tidak baik," tambahnya saat melihat wajah Sehun lagi, mengamatinya sekali lagi untuk memastikan Sehun masih bernapas dengan benar.

Luhan mendorong pintu hingga tertutup dengan kaki, kemudian memegangi erat=erat tubuh Sehun yang tampak bisa tumbang kapan saja. Ia menyentuh dahi pria itu, terasa panas dipunggung tangannya yang dingin. Berani bertaruh, pasti Sehun sudah sakit selama beberapa hari.

Demi Tuhan, padahal dia seorang dokter, bagaimana bisa seceroboh ini kesehatannya sendiri.

"Hey, kau baik-baik saja?" tanyanya lagi, sedikit menguatkan pegangan tangannya pada lengan Sehun lagi. Sementara napas pria itu sedikit memburu sekarang.

"Senang melihatmu disini, Luhan," suara Sehun terdengar seperti orang sekarat dan itu semakin meyakinkan Luhan bahwa pria itu tidak sedang baik-baik saja.

Sehun sakit, sangat sakit.

Mendengar ucapannya yang melantur, semakin meyakinkan Luhan bahwa pria itu tidak normal.

"Ada apa denganmu?" Luhan seolah bicara dengan dirinya sendiri karena Sehun juga mungkin tidak bisa merespon ucapannya. Dengan hati-hati, ia membantu Sehun berjalan, menidurkan pria itu di atas sofa, kemudian menyalakan lampu. Sejak tadi masuk, kamar Sehun tampak begitu gelap.

Dan entah apa yang membuat Sehun tahan berlama-lama dalam ruangan nyaris gelap gulita.

Luhan membuka mantelnya dengan cepat, kemudian berlari menuju kamar Sehun untuk mengambilkan pria itu selimut. Cuaca masih dingin tapi Sehun hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang. Sungguh, itu tidak akan bisa menghangatkannya.

Dengan satu gerakan cepat, Luhan menutupi tubuh Sehun dengan selimut. Pria itu berbaring di atas sofa dengan mata terpejam dan kening berkerut dalam seolah sedang merasakan sakit. Ya, Luhan juga tau Sehun pasti sedang merasa sangat sakit sekarang.

Tubuhnya, juga mentalnya.

Wajah pucatnya tampak lebih tirus dibandingkan saat kali terakhir Luhan melihatnya. Kantung mata menghitam di bawah matanya yang terpejam. Dan Luhan lupa bagaimana warna bibir Sehun karena sekarang bibir pria itu berwarna putih pucat.

Ia menyentuh dahi Sehun lagi untuk memeriksa seberapa tinggi demamnya. Jujur saja, Luhan belum pernah merawat orang sakit. Terlebih merawat seorang dokter, ia tak tau harus berbuat apa ekarang untuk membuat Sehun lebih baik lagi. Tapi, diam-diam, dalam hatinya sudah bertekad, jika Sehun semakin parah dan mulai mengigau, ia harus memaksanya pergi ke rumah sakit.

Bukan untuk bekerja tentu saja, tapi untuk berobat.

"Sehun, kupikir kita harus ke rumah sakit sekarang," Luhan nyaris berteriak, tapi kemudian Sehun membuka mata. Pria itu menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan, perlahan, kepalanya menggeleng. "Kau sakit, dan kau harus diobati, Sehun," ia kembali mendebat.

"Aku baik-baik saja," bisiknya dengan suara parau. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Luhan dan gadis itu mendekatkan diri, membuat jemari Sehun berhasil menyentuhnya. "Rasanya seperti mimpi melihatmu disini," ia tersenyum setelah mengucapkan kalimat itu dengan susah payah.

Luhan pikir Sehun mulai mengigau sekarang.

"Kau harus makan, oke? Aku akan membuatkan bubur untukmu. Kalau kau tidak mau makan, terpaksa aku akan menyeretmu ke rumah sakit," ia nyaris berteriak, melepaskan jemari Sehun dipipinya. Kemudian beranjak menuju dapur.

Apapun yang terjadi, ia harus membuat pria itu makan.

Entah apa yang bisa ia lakukan dengan dapur, jadi dengan bodohnya, Luhan membuka internet untuk menemukan cara membuat bubur. Ia tak pernah memasak makanan-makanan seperti ini sebelumnya. Lagipula, di rumah ada Kyungsoo dan Baekhyun, yang selalu dengan senang hati memasak untuknya, jadi ia tak perlu repot-repot memasak.

Ia tak perlu khawatir rasa buburnya akan aneh, toh, Sehun juga sakit. Seenak apapun makanan yang dimakannya, ia tidak akan bisa merasakan.

Jadi disinilah Luhan, memandangi Sehun yang masih memejamkan mata sementara ia membawa semangkuk bubur panas. Luhan tidak mencicipinya karena ia tidak suka makan bubur. Ia menarik napas panjang, meletakkan bubur di atas meja dan duduk di samping Sehun yang mungkin sudah terlelap.

"Oh Sehun, bangun," ia berbisik tepat di telinga pria itu, membuat Sehun meleguh singkat, membuka mata sebentar kemudian menutupnya lagi. Sehun mengernyit seperti sedang merasa sakit sementara Luhan seolah bisa merasakannya juga. "Setelah makan dan minum obat, kau bisa tidur lagi," ia mengguncang tubuh Sehun perlahan, takut jika gerakannya membuat Sehun semakin sakit.

Sehun membuka mata setelah mengerjap beberapa kali. Ia menggumam tidak jelas, tapi membiarkan Luhan membantunya duduk. Masih memejamkan mata, Sehun menyandarkan punggungnya pada bantalan sofa, seolah-olah ia tidak sanggup meskipun hanya membuka mata.

"Oh Sehun, kau bisa mendengarku?" kembali, ia menggumam tidak jelas. Dan Luhan mulai menghitung sudah berapa lama Sehun seperti ini. "Kau harus makan sekarang,"

Perlahan, pria itu membuka mata. Ia mengerang kasar saat Luhan membantunya duduk tegak. Beberapa kali memejamkan mata kemudian membukanya lagi. Sementara Luhan menopang punggung Sehun dengan sebelah tangan, takut kalau-kalau pria itu akan tumbang jika tidak dipegangi.

"Aku tidak sakit," bisiknya tanpa suara. "Aku hanya–." Sehun tidak lanjut bicara lagi.

"Ya, aku tau, Sehun. Sekarang kau harus makan sementara aku menelepon Jongin dan tanya obat apa yang bisa kuberikan padamu," Luhan mulai mengoceh, mengaduk-aduk dan meniup buburnya untuk Sehun.

Sementara pria itu tersenyum tipis, membuat Luhan memandanginya dengan tatapan aneh. Dalam hati mulai bertanya-tanya apa yang sedang terjadi pada Sehun sekarang. Mungkinkah Sehun benar-benar sakit parah kali ini.

Luhan masih memegangi mangkuk bubur dengan sebelah tangan sementara Sehun mulai memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyah sedikit, kemudian mengerang keras saat menelan. Luhan pikir tenggorokan Sehun sakit karena makan. Padahal sepertinya ia membuat bubur yang cukup lunak.

"Makan sedikit saja," bisik Luhan lagi saat Sehun kembali mengerang. "Kau pasti belum makan," ia menambahkan dan Sehun tersenyum lagi melihat Luhan yang panik.

Kembali, Sehun berusaha makan.

"Jangan mengganggu Jongin," kata Sehun saat Luhan baru saja mengambil ponsel dari saku. "Aku punya semuanya di dalam kotak obat,"

"Oke," tanpa bicara lagi, Luhan setengah berlari menuju dapur dan mengambil kotak obat Sehun dari dalam sana. Ia mengambil semuanya karena tidak tau apa yang harus Sehun minum sekarang. Jadi ia meletakkan itu di atas meja, membuat Sehun memandanginya dengan senyum tipis.

"Aku tidak perlu minum obat sebanyak itu, Luhan," bisiknya.

"Aku tidak tau yang mana," desahnya ringan. Ia melirik Sehun sudah berhasil menghabiskan separuh mangkuk dan dalam hati bersyukur karena Sehun masih mau menuruti ucapannya, juga tidak tidak memuntahkan makanannya. "Sekarang minum obatnya sementara aku menyiapkan air hangat,"

"Untuk apa?" tanya Sehun lagi, pria itu mulai memilih-milih obat yang Luhan bawakan untuknya. Memicingkan mata untuk membaca tulisan-tulisan kecil yang tertulis disana.

"Kau harus membersihkan diri, Sehun,"

.

.

"Aku tak pernah membayangkan berada dalam satu kamar mandi yang sama denganmu," bisik Sehun saat Luhan membantunya mencuci wajah di dalam kamar mandi.

Dan Luhan mengernyit heran memandangi pria yang sedang duduk di atas closet itu, sementara ia mengusapkan handuk basah pada wajah Sehun.

"Kau mengigau, ya?"

"Tidak," pria itu tersenyum simpul, membiarkan Luhan mengusapkan handuk basah pada lehernya. "Aku sadar, seratus persen sadar," Sehun mengulurkan tangan, menyentuh pipi Luhan yang berada di depan wajahnya, membuat kerutan dikening gadis itu semakin dalam. "Sepertinya aku sedang bermimpi,"

"Sehun, kau sedang tidak mimpi. Aku memang ada disini, membantumu membersihkan diri, oke?" ia menekankan ucapannya.

"Oke, aku tau ini bukan mimpi," ia tersenyum lagi dan Luhan mulai berpikir akan diam-diam membawa Sehun ke rumah sakit. "Tubuhku sakit semua tapi senang melihatmu disini,"

"Sesakit itu, ya?"

Sehun menggeleng ringan, mengedipkan sebelah mata. "Tidak juga,"

Luhan semakin bingung melihat kelakukan Sehun yang semakin lama semakin aneh saja. Jadi ia pikir, akan jauh lebih baik kalau Sehun lebih cepat beristirahat. Ia sedikit memeluk tubuh Sehun dari samping saat membantu pria itu berjalan.

"Kau akan pergi?" tanya Sehun saat Luhan hendak beranjak.

Ia tersenyum tipis. "Aku akan mengambil selimutmu di bawah dan kembali kesini,"

"Oke,"

Saat Luhan kembali, Sehun sudah berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Ia memandangi wajah pucat Sehun cukup lama sebelum akhirnya menutupi tubuh pria itu dengan selimut, dan disaat yang sama, Sehun membuka mata.

"Kau sudah lebih baik?"

Ia mengangguk ringan, sedikit mengernyit lagi. "Makan dan minum obat membuatku jauh lebih baik,"

Luhan terkekeh geli mendengar ucapan pria itu. Sehun yang ia kenal sebagai pria misterius yang selalu sempurna dimatanya, nyatanya memiliki sisi yang berbeda sekarang. Bukannya membuat Luhan kecewa, hal ini malah membuatnya lega karena Oh Sehun benar-benar manusia normal seperti kebanyakan pria.

Dia bisa sakit meskipun sempurna.

Karena selama ini, ia tidak pernah melihat kekurangan Sehun.

Dimatanya, Sehun terlalu sempurna dan nyaris bukan seperti manusia normal.

"Kau keberatan jika menemaniku, Luhan?" tanyanya dengan suara yang lebih terdengar jelas dari sebelumnya.

"Tidak, aku memang berniat menemanimu,"

"Senang mendengarnya,"

Tiba-tiba saja, Sehun menarik tubuhnya hingga ia berbaring di samping pria itu. Sehun menutupi tubuh Luhan dengan selimut yang sama, lalu menggeser tubuh untuk memandanginya. Sementara ia mematung seperti orang bodoh.

Detak jantungnya mulai kehilangan tempo normal saat mata keduanya bertemu.

"Maaf aku membuatmu khawatir, Luhan," ia mengatakan itu dengan suara tipis, nyaris berbisik.

Luhan kehabisan kata. "Bukan masalah,"

Sehun membalikkan tubuh gadis itu hingga keduanya bertatapan. Tiba-tiba, Luhan bisa melihat gurat kesedihan terpancar dari wajah Sehun yang pucat, kemudian satu hembusan napas berat keluar dari bibir pria itu. Melihat Sehun yang seolah hancur, tanpa sadar, membuat hatinya berdenyut nyeri juga.

"Maaf aku tak menghubungimu. Aku hanya perlu waktu untuk berpikir," kata Sehun sambil membelai wajahnya dengan jemari tangan. "Aku juga tak ingin membuatmu khawatir,"

"Aku tau," balas Luhan, tersenyum simpul. "Kau butuh waktu sendiri, Sehun,"

"Rasanya benar-benar hancur," ia menambahkan dengan satu desahan berat. "Aku membunuhnya dengan tanganku sendiri," Sehun menatap tangannya sendiri dengan pandangan jijik, kemudian mendesah lagi.

"Kau tidak membunuhnya," Luhan memotong ucapan pria itu dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. "Kau berusaha menyelamatkannya, tapi Tuhan punya rencana lain. Ini bukan salahmu, Sehun. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kau sudah berusaha keras,"

Sehun menjatuhkan tangannya dari wajah gadis itu, kemudian menggelengkan kepala beberapa kali. "Sepertinya aku memang belum mampu melakukannya,"

"Tidak, Sehun," ia sedikit bangkit, suranya terdengar keras, dan Sehun terkejut mendengar itu. "Jangan pernah berpikir seperti itu. Kau menyelamatkan banyak nyawa, ini bukan kesalahanmu. Kau pernah menyelamatkanku, dan juga ribuan orang diluar sana. Jangan meragukan dirimu sendiri," suara Luhan terdengar berapi-api dan Sehun menatapnya dengan pandangan tidak percaya, terkejut karena kalimat itu keluar dari bibir Luhan.

"Luhan, aku–,"

Mendadak saja, Luhan menempelkan bibirnya pada bibir Sehun yang panas. Memotong ucapan pria itu dengan ciuman tiba-tiba. Ia memang tidak pandai mencium, tapi setidaknya Luhan mencoba menghentikan pikiran gila Sehun sebelum itu semakin menyakiti hatinya sendiri.

Luhan bisa merasakan Sehun terkesiap saat ia mulai menggerakkan bibirnya dengan lembut di permukaan bibir Sehun. Pria itu mencengkeram pinggangnya sementara ia menarik kepala Sehun mendekat agar bisa menciumnya lebih dalam. Luhan mendesah lega saat Sehun membalas ciumannya, bahkan jemari pria itu bermain-main di punggungnya.

Tanpa sadar, Luhan menarik kepalanya menjauh, melepaskan ciuman itu karena ia kehabisan napas. Keduanya terengah-engah dan ia memandangi Sehun yang berada di bawahnya. Mendadak saja, perasaan malu mulai menjalari hatinya sekarang.

Sadar ia baru saja mencium Sehun.

"Sorry, Sehun," cicitnya.

"Untuk apa?" Sehun tersenyum manis, ia menarik Luhan dalam pelukannya dengan satu gerakan cepat, kemudian mengecupi puncak kepala gadis itu berkali-kali dengan lembut. "Jadilah milikku, Luhan,"

"Sehun," ia berbisik tipis di dalam pelukan Sehun yang panas, hendak menarik tubuh menjauh tapi Sehun menahannya. "Apa kau bilang?"

Pria itu terkekeh ringan. "Besok akan kukatakan lagi dengan lebih jelas, sekarang biarkan aku tidur karena kepalaku masih sakit,"

"Oke," balasnya tanpa suara.

Pikirannya berkecamuk tapi pelukan Sehun tidak membiarkannya berpikir lebih jauh lagi.

Sehun bisa saja mendengar detak jantungnya yang menggila, tapi Luhan terlalu malas untuk peduli tentang hal itu sekarang.

.

.

"Hey, kau sudah lebih baik?" tanya Luhan sore harinya saat melihat Sehun baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah di bagian depan.

Pria itu tersenyum, berjalan menghampiri Luhan yang duduk di atas ranjangnya. "Senang masih melihatmu disini,"

"Aku akan disini sampai kau benar-benar sembuh,"

"Aku tak mau sembuh kalau begitu,"

Kau gila, ya?

Luhan hanya menggelengkan kepala beberapa kali mendengar ucapan bodoh pria itu. "Apa kau masih merasa sakit, Sehun? Jongin menanyakan hal itu baru saja,"

"Jongin?" tanya Sehun dengan kening berkerut dalam. "Dia menghubungimu?"

"Tidak," ia nyaris berbisik saat Sehun duduk disebelahnya. "Jongin baru saja kesini untuk membawakanku baju ganti,"

"Bagaimana Jongin bisa membawa bajumu?" Sehun memasang ekspresi bodoh.

Ia tertawa renyah tanpa sadar, menanggapi ucapan Sehun. "Ini baju Kyungsoo," dan Sehun hanya menganggukkan kepala beberapa kali sambil membulatkan bibir lucu. "Setelah ini, mungkin aku akan pulang,"

"Oke," balasnya, terdengar sedikit kecewa dan Luhan bingung melihat raut wajah itu. "Maaf menahanmu disini terlalu lama," ia nyengir.

"Bukan masalah, Sehun. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan temanku,"

"Luhan," perlahan, Sehun menyentuh kedua tangannya, membuatnya harus menatap pria itu dengan gugup. "Berhentilah menganggapku teman, oke?" dan ia tersentak saat Sehun mengatakan hal itu. "Jadilah milikku, Luhan,"

Apa kau bilang?

Perlahan, Sehun mendekatkan wajahnya pada wajah Luhan, secara otomatis membuatnya memundurkan kepala menghindari bibir Sehun yang nyaris menyentuh bibirnya. Entah mengapa ia menolak Sehun, hanya saja, rasanya masih ada sesuatu yang harus dipikirkan lebih jauh tentang hal ini.

"Jadilah milikku, Luhan," kembali, Sehun membisikkan kalimat itu dengan suara yang terlampau lembut.

Sementara ia membeku, menatap mata Sehun yang tampak berkilau. Ia mencoba mencari kebohongan dalam tatapan mata itu, tapi tak bisa menemukan apapun disana. Mata Sehun tampak memancarkan sesuatu yang sering ia sebut dengan ketulusan.

Masih dengan bibir yang nyaris menempel, Sehun tersenyum. "Aku tau kau memiliki perasaan yang sama, Luhan. Kau hanya tidak pandai menunjukkan perasaanmu. Sama sepertiku, tapi sekarang, aku tidak akan menyimpan perasaanku sendiri,"

Ya, kau ada benarnya juga, Sehun.

Rasanya jantung Luhan tidak bisa menemukan tempo normalnya. Sehun yang memandanginya dari jarak sedekat itu, kalimat yang keluar dari bibir pria itu, juga bibis Sehun yang nyaris menyentuh bibirnya, tak memberikan Luhan kesempatan untuk berpikir lebih jauh lagi. Juga tak membiarkannya mengatur detak jantung yangberantakan.

Berani bertaruh, dengan jarak yang sedekat ini, Seuhn pasti bisa mendengar detak jantungnya.

"Oh Sehun," ia berbisik saat Sehun seolah tak memberinya kesempatan untuk menghindar.

Pria itu tersenyum lagi, sebuah senyuman yang bisa membuat otaknya menggila. "Kau bisa menolakku, Luhan. Aku tidak memaksamu menjadi milikku. Aku cuma ingin kau tau perasaanku, itu saja,"

Begitukah caramu menyatakan cinta, Sehun?

Kemudian bibir Sehun menempel dibibirnya. Ia tercekat, matanya membola sempurna saat bibir Sehun bergerak disepanjang bibirnya dengan lembut. Sehun menikmati bibirnya dengan penuh dan hangat, membuat Luhan bisa mengecap rasa manis pada bibir pria itu. Ragu-ragu, bibirnya bergerak, berusaha mengimbangi gerakan bibir Sehun yang terasa menakjubkan untuk dinikmati.

Memangnya kapan aku bisa menolak Sehun.

Luhan mengabaikan fakta bahwa Sehun baru saja sakit dan mungkin sedang tidak sadar dengan apa yang dilakukannya sekarang. Tapi ia tak ambil pusing dengan hal itu kali ini, masa bodohlah, bibir Sehun pantas dinikmati secara penuh.

Kedua tangan Sehun merengkuh wajahnya, sedikit menarik wajahnya mednekat agar bisa menciumnya lebih dalam. Dan Luhan menerima itu dengan terbuka, tanpa tipu daya, membiarkan Sehun menikmati mulutnya.

Desahan Luhan yang tanpa sadar mengalun lembut membuat pria itu terpaksa melepaskan ciumannya. Sehun menatapnya dengan senyum manis lagi, sementara Luhan terengah-engah mengatur napas yang berantakan.

Ini kali pertama seseorang menciumnya seperti itu.

Panas dan penuh gairah.

Jemari Sehun perlahan terangkan dan terulur untuk mengusap sudut bibir Luhan yang basah. Itu membuatnya sedikit bergidik saat Sehun menyentuh bibirnya seperti itu. Entah menyebutnya apa, tapi seolah tubuhnya dikendalikan oleh hal lain sekarang.

Kebutuhan alami yang mendadak saja muncul.

"Sehun," bisiknya lagi dengan tersengat.

Sehun membalasnya dengan senyuman. "Rasanya aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu, Luhan. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghilangkan perasaan itu," perlahan, Sehun mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di atas ranjang. Masih dengan napas terengah, Luhan memandangi pria itu dengan tatapan setenagh takut, ragu-ragu. "Kumohon, jadilah milikku seutuhnya,"

Ia tau apa yang akan Sehun lakukan padanya, tapi rasanya ini masih terlalu awal, kan?

"Oh, Sehun, apa yang kau lakukan?" cicitnya saat Sehun mulai merangkak diatas tubuhnya.

Dengan satu kekehan ringan, Sehun membelai wajahnya dengan lembut. Pria itu duduk mengapit pahanya, bertumpu pada lutut, sementara Luhan seolah membeku menatap Sehun dengan posisi seintim itu sekarang dengannya.

"Hanya jika kau tidak menolakku," ia menambahkan, sedikit mencondongkan tubuhnya hingga sekarang keduanya tidak berjarak.

Luhan menelan ludah kasar, menatap Sehun yang sedang berada di atasnya itu dengan pandangan takjub. "Aku tidak menolakmu," akhirnya, kalimat itu bisa lolos dari bibirnya setelah sekian lama ia teriakkan dalam hati.

Sehun tersenyum lagi, jemarinya membelai Luhan lagi. "Aku tau kau memiliki perasaan yang sama," ia berbisik.

Kembali, Luhan menelan ludah kasar saat Sehun perlahan menarik kaus dengan gerakan indah melewati kepalanya sendiri. Luhan tak pernah melihat seorang pria telanjang secara langsung di depan matanya, dan sekarang, melihat tubuh Sehun yang terpahat sempurna tanpa sadar membuat detak jantungnya menggila.

Napasnya tercekat saat mau tak mau matanya terpaku pada tubuh Sehun yang ramping dan berotot. Pinggang pria itu sempit dan lekukan-lekukannya terbentuk dengan sempurna. Pundak yang lebar, dada tegap, apalagi yang lebih indah dari ini.

Bagaimana seornag gadis tidak gugup saat melihat tubuh telanjang Sehun.

Luhan sempat berpikir Tuhan menciptakan Sehun dengan sukacita, kemudian ia menyadari pemikiran bodohnya itu.

Sehun tersenyum lagi saat Luhan sedikit terkesiap, pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan untuk menatap Luhan lebih dekat lagi. Dengan jemarinya, Sehun membelai wajah Luhan yang mendadak saja terlihat pias.

"Kau cantik sekali," bisiknya dengan suara lembut.

Dan luhan tercekat.

Dengan gerakan telampau pelan, Sehun berusaha melepaskan kaitan kemejanya. Napasnya tercekat, sebisa mungkin tidak menunjukkan kegugupan meskipun Sehun bisa membaca itu dengan jelas di wajahnya.

Tangan Sehun mengangkat tubuhnya untuk membebeskan Luhan dari kungkungan pakaian yang menyesakkan. "Kau begitu indah," gumam Sehun, takjub melihat Luhan yang nyaris telanjang.

Suara Sehun begitu menghipnotis, Luhan tak bisa melakukan apapun untuk menolak. Bahkan, berpikir jernih saja, Sehun tak memberinya kesempatan untuk itu.

Jemari pria itu perlahan menelusuri permukaan kulitnya yang tipis. Dari leher, terus turun hingga menyentuh garis dada, kemudian bermain-main di sekitar perutnya yang rata. Dan sentuhan itu berhasil membuat tubuhnya mengejang sempurna.

Punggung Luhan merinding saat Sehun menyapukan jemarinya di sekitar dada, tepat di puncak payudaranya, dan ia lupa cara bernapas dengan benar. "Sehun," desahnya dengan suara parau.

Sehun tersenyum lagi, ia sedikit merangkak di atas tubuh Luhan untuk menatap wajahnya lekat-lekat. Detik berikutnya, Sehun kembali melumat bibirnya, lebih keras dari sebelumnya.

Ciuman Sehun sangat lembut dan panas. Nyaris bisa membakarnya hanya dengan sentuhan bibir itu. Tangan Luhan tanpa sadar merayap di punggung Sehun, memeluk pria itu lebih dekat agar bisa menciumnya lebih dalam, sementara sebelah tanagn Sehun mulai meremas dadanya.

Luhan meleguh, terkejut karena Sehun menyentuh bagian tubuhnya yang sensitif secara tiba-tiba.

Sementara Sehun tak membiarkan Luhan melepaskan ciuman mereka, jadi pria itu menciumnya dengan lebih panas, lebih menyesakkan lagi, lebih menuntut dari sebelum-sebelumnya. Luhan bisa merasakan perutnya melilit dan itu adalah rasa aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Desahan napas pendek Luhan membuat Sehun tepaksa melepaskan ciuman mereka. Ia menarik wajahnya menjauh sedikit untuk menatap Luhan dengan senyum memabukkan, sementara Luhan terengah-engah.

"Kau benar-benar cantik, Luhan," bisiknya lembut, jemarinya kembali membelai wajah Luhan dengan lembut.

"Sehun, aku –oh, Ya Tuhan, Sehun," ia memekik saat tiba-tiba bibir pria itu menghisap lehernya agak keras.

Bibir Sehun perlahan turun, menyusuri lehernya, turun hingga menyentuh puncak dadanya. Tanpa sadar, tubuhnya melengkung ke atas menerima sentuhan bibir Sehun yang basah dipermukaan kulitnya yang sensitif. Bibirnya mendesahkan nama Sehun dengan suara sarat permohonan, dan bahkan ia sendiri terkejut saat mendengarnya.

Dalam perutnya, Luhan bisa merasakan gejolak aneh yang terus menggelora, sebuah rasa panas yang belum pernah ia rasakan sama sekali.

Perutnya melilit, tapi ini sesuatu yang menyenangkan.

Luhan mengerang kasar saat Sehun berhasil melepaskan celana jeansnya di bawah sana. Ia menyadari bahwa sekarang benar-benar nyaris telanjang di depan Sehun dan itu bukan hal bagus. Lidah Sehun perlahan membasahi perutnya, pria itu membuat jalan setapak basah menuju bagian tubuhnya yang lain.

Dan Luhan menahan napas.

"Sehun, tunggu dulu," dan Sehun menarik wajahnya menjauh.

Cukup lama Sehun memandangi wajah Luhan yang terengah-engah. Luhan tau pria itu menunggunya bicara, tapi dalam hatinya masih mencoba mencari kalimat yang tepat untuk mengatakan hal ini.

"Ada apa?" desak Sehun.

"Aku–," ia menarik napas panjang sebelum bicara. "–aku belum pernah melakukan ini, Sehun,"

Dan Sehun tak bisa menyembunyikan keterkejutan dalam wajahnya. Ia menarik tubuhnya mundur hingga kembali dalam posisi duduk dan Luhan juga bangkit untuk membuat wajah keduanya sejajar.

"Luhan, maaf, aku –Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan," Sehun seolah bicara sendiri, kemudian mengerang kesal saat melihat tubuh Luhan yang nyaris telanjang karena ulahnya. "Maaf aku tidak tau kau masih–,"

"Aku tidak menolakmu," ia memotong ucapan Sehun. Dengan senyum lembut, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Sehun yang tampak masih kaget. "Aku tidak menolakmu," ia mengulangi lagi ucapannya.

"Tapi Luhan, aku tak mau menjadi pria brengsek yang mengambil kesucianmu. Ya Tuhan, apa yang kulakukan?" ia seolah bicara dengan dirinya sendiri dan terlihat sangat menyesal.

Luhan terkekeh, menggelengkan kepala beberapa kali mendengar perkataan Sehun. "Aku memang ingin kau yang melakukannya untuk pertama kali, Sehun,"

Dan Sehun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya karena pernyataan Luhan yang polos.

"Kau serius dengan ini?" ia mendesah ringan. "Belum terlambat untuk berhenti dan memikirkan semuanya dari awal,"

"Aku tidak akan membuatmu berhenti," dan kemudian, Luhan memberanikan diri untuk mencium Sehun. Ia sedikit menarik pria itu mendekat untuk menciumnya lebih dekat. Dan Sehun membalas ciuman itu dengan bibir terbuka. "Aku baik-baik saja," desahnya ditengah ciuman mereka, kemudian membuat dirinya kembali terlentang di atas ranjang sementara Sehun berada di atasnya.

Luhan pikir dirinya sudah gila, tapi siapa peduli.

"Sehun," erangan Luhan terdengar begitu merdu ditelinga Sehun. Terdengar begitu memohon, begitu mendamba, dan Sehun benar-benar ingin mendorong Luhan hingga gadis itu menyerah.

Ciuman Sehun perlahan turun hingga menyentuh lehernya, terus turun dan membasahi perutnya. Luhan tau ia mengeluarkan suara erangan mengerikan, tapi ia juga tak bisa mengendalikan dirinya sendiri yang seolah meminta Sehun melakukan lebih dari ini.

Luhan bisa merasakan di bawah sana, jemari Sehun berhasil melepaskan celana dalamnya. Bibir pria itu bermain-main di atas pahanya, perlahan naik dan terus naik hingga menyentuh pusat tubuhnya.

Luhan menahan napas.

Dan ia benar-benar menjeriykan nama Sehun keras-keras saat tanpa peringatan, lidah pria itu mulai bermain di dalam tubuhnya.

Tubuhnya melengkung sementara lidah Sehun mengendalikannya dari bawah sana. Tanpa sadar, jemarinya meremas rambus Sehun, mendorong kepala pria itu lebih dekat agar ia bisa menikmati lidah Sehun lebih dalam lagi. Luhan tak peduli erangan dan desahan yang keluar dari bibirnya terus menggila, ia bahkan tak bisa mengendalikan pikirannya sendiri.

Lidah Sehun yang basah dan panas membuat otaknya berhenti berpikir jernih.

Kenikmatan terasa sampai menyentuh setiap jengkal saraf di tubuhnya. Ia melemas di bawah sentuhan lidah Sehun yang memabukkan, berputar-putar seperti tornado. Pinggulnya mengencang tak tertahan. Untuk sesaat, Luhan kehilangan akal sehat. Otaknya sama sekali tak bisa digunakan dengan baik, bahkan rasanya ia tak bisa mengingat namanya sendiri.

Hanya ada Sehun.

Semua terasa begitu nikmat, kepalanya pusing tapi bahian tubuhnya yang lain terasa luar biasa. Rasa dan sensasi ini belum pernah ia rasakan sebelumnya dan ia nyaris bisa merasakan gerakan lidah Sehun yang menyeluruh, berputar-putar membukkan.

Sehun membuatnya menggila.

Luhan bisa merasakan gelora panas yang mengancamnya, terus mendorongnya, memaksanya melepaskan pusat gairah aneh yang terus menerus berdesir dalam dirinya. Ia tidak menolah, bibirnya mengerangkan nama Sehun lagi saat puncak gairahnya terlepas, dengan mulut terbuka lebar mencari udara, cengkeramannya pada rambut Sehun mengendur. Ia bergetar hebat sementara di bawah sana ia bisa merasakan pelepasannya yang basah dan panas.

Luhan kalah dalam bibir pria itu.

Sial.

"Ya Tuhan, Sehun," desahnya lagi saat Sehun perlahan menyesapi sisa pelepasannya yang manis dan licin. Pria itu terkekeh ringan, menarik tubuh hingga berhadapan dengannya, kepala Sehun sedikit menunduk untuk mengecup bibirnya. Sedangkan Luhan menernyit jijik merasakan bibir Sehun yang basah.

Senyum Sehun terlihat manis dan nyaris memabukkan, membuat jantung Luhan kembali menggila.

"Kurasa kau sudah siap, Luhan," ia berbisik.

Suara Sehun yang berat mengalirkan getaran aneh yang membuat seluruh tubuhnya merinding. Bingung, ia menatap Sehun yang menjauh dari tubuhnya. Dengan gerakan cepat yang indah, Sehun berhasil meloloskan celana jeansnya sendiri. Dan berhasil membuat Luhan menganga melihat bagian tubuh Sehun yang membengkak –ereksinya, kejantanan Sehun yang luar biasa.

Ini gila.

Luhan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri yang menelan ludah kasar, jantungnya berdetak cepat sementara perasaan gugup benar-benar menguasainya sekarang.

"Jangan gugup," bisik Sehun dengan senyuman hangat menenangkan.

Sekarang bagaimana bisa aku tidak gugup melihat ini.

"Sehun," cicit Luhan saat pria itu hendak menciumnya lagi. Dan Sehun berhenti, memandangi Luhan dengan senyum lembut sementara ia memandangi Sehun dengan tatapan yang sulit diartikan. "Apa ini akan sakit?"

"Kita bisa menghentikan ini kalau kau masih takut, Luhan,"

"Bukan begitu," cepat-cepat Luhan berkata. "Perlahan, oke?"

Tawa lembut Sehun mengalun, tidak terdengar mengejek, hanya terdengar seperti gurauan. "Tentu saja. Jangan khawatir," balas Sehun, kemudian perlahan kembali mengecupi inci demi inci permukaan kulitnya. Bibir pria itu menghisap leher hingga dadanya, membuatnya sedikit memekik karena kaget.

Perlahan tapi pasti, Luhan bisa merasakan pria itu memposisikan ereksi didepan pintu masuknya –pusat tubuhnya yang basah dan panas. Menggoda Luhan hingga ia mengerang keras, sedikit mendesahkan nama Sehun diiringi leguhan keras. "Please, Sehun," suaranya terdengar seperti nyanyian sarat gairah.

Ia terdengar seperti jalang karena memohon kepada Sehun, tapi Luhan terlalu bergairah untuk peduli.

"Luhan, aku benar-benar akan bercinta denganmu," Sehun membisikkan kalimat itu didepan bibir Luhan yang terbuka, ia masih berusaha mengendalikan napas, sementara matanya menatap Sehun yang terlihat penuh pengharapan. Tanpa sadar, ia mengangguk, mengijinkan Sehun untuk melakukan apa yang memang seharusnya dilakukan.

Persetan dengan harga diri, Luhan hanya menginginkan pria itu seutuhnya.

Sehun tersenyum lagi, lalu mencondongkan tubuh sedikit. Bibir Sehun kembali menemukan bibirnya dan mencium dengan lembut. Sementara dibawah sana, perlahan, Sehun mulai mendorong maju. Butuh pengendalian diri lebih untuk tidak serta merta meluncur dan tenggelam dalam kenikmatan yang Luhan tawarkan. Sehun berusaha sebisa mungkin membuat ini tidak menyakitkan untuk Luhan.

Ya, meskipun keduanya tau itu sulit sekali.

Susah payah, Sehun berusaha menyempurnakan penyatuan mereka yang mendadak saja menjadi sangat erat. Luhan mencengkeram Sehun terlalu erat, seolah-olah tiudak memberikan kesempatan untuk meluncur lebih dalam. Dan saat Sehun sedikit mendorong lebih untuk masuk, Luhan menjerit keras. Tubuhnya melengkung ke atas, tanpa sadar melepaskan bibir Sehun, sedangkan jemari lentiknya mencengkeram punggung telanjang pria itu.

Cukup kuat hingga membuat Sehun meringis menahan perih.

"Ya Tuhan, sebentar Sehun," ia berbisik dengan mata terpejam erat dan dahi berkerut dalam. Ia meringis menahan sakit yang mulai menggerayangi pusat tubuhnya di bawah sana, sementara Sehun memandanginya dengan tatapan penuh rasa bersalah.

Sehun berusaha menahan napas sementara dibawah sana, Luhan benar-benar mencengkeram ereksinya dengan erat. Ingin rasanya Sehun mengakhiri semua ini dengan cepat dan membebaskan gairahnya sendiri. Tapi rintihan kesakitan Luhan dibawah tubuhnya membuat Sehun harus menahan hasrat lebih lama lagi.

Ia harus menahan diri agar tidak menyakiti gadisnya.

"Luhan," Sehun membisikkan nama Luhan dengan suara yang terdengar seperti geraman. Luhan meleguh sedikit, meringis menahan sakit dengan kening yang masih berkerut dalam. "Kita bisa hentikan ini,"

"Tidak, Sehun. Aku baik. Lanjutkan saja," bisiknya dengan suara nyaris habis.

Seolah mendapat persetujuan dari gadis itu, Sehun mulai bergerak lagi. Sehun menarik tangan Luhan yang berada di punggungnya dan menggenggam kedua tangan itu erat-erat, seolah berusaha membantu Luhan mengabaikan rasa sakit. Gerakan tubuh Sehun dibawah sana terlalu lembut, membuat Sehun sendiri tidak percaya bahwa ternyata ia bisa mengendalikan diri dengan baik seperti itu.

Dan kemudian Sehun menarik mundur, berhasil membuat Luhan memekik lagi. "Oh Sehun," jeritnya dengan suara keras.

Sehun meringis menatap Luhan yang masih tampak menahan sakit. Tapi pria itu tak bisa berhenti sekarang, sama sekali tidak bisa menundanya lagi. Jadi Sehun terpaksa mendorong maju, kembali diiringi jeritan keras dari Luhan.

Bahkan sekarang jeritan gadis itu seolah sudah menjadi candu untuknya.

Sementara beberapa detik berlalu, desahan Luhan mulai mengalun merdu bagai melodi. Sehun memulai dengan tempo pelan yang menghanyutkan. Melakukan gerakan tarik ulur dengan kelembutan yang membelai. Sehun memainkan tempo yang nyaris membuat Luhan gila karena nikmat. Pria itu memporak-porandakan pertahanan dirinya.

Dorongan Sehun perlahan berubah menjadi lebih menuntut, mata pria itu menatap matanya. Sementara Luhan sibuk mengerang dalam kenikmatan. Bibirnya terbuka untuk mendesahkan nama Sehun, diiringi dengan erangan kasar, tapi itu semakin membuat adrenalin berpacu cepat dalam tubuh Sehun.

Sehun menggula hanya karena Luhan mengerangkan namanya.

Pria itu kembali menundukkan kepala untuk menciumnya lagi. Sehun berusaha mencium dengan lembut, tapi gerakan tubuhnya dibawah sana semakin cepat. Seolah Sehun tak bisa mengendalikannya lagi, tak bisa mengendalikan gerakan tubuhnya didalam tubuh Luhan, soelah cengkeraman erat Luhan sudah benar-benar membuatnya menggila.

"Ya Tuhan, Sehun, please," jerit Luhan kasar, bersamaan dengan itu, ia mencengkeram Sehun lebih erat lagi. Luhan meluncurkan gairah panas yang membasahi Sehun dengan sempurna, membuat penyatuan mereka terasa lebih menyenangkan dan panas, kemudian terengah-engah.

Sehun berhenti sebentar, beberapa detik untuk membiarkan Luhan menikmati pelepasannya, ia tersenyum sedikit, lalu memulai lagi dengan tempo yang jauh lebih gila.

Tubuh Luhan yang mulai berpeluh, terhentak-hentak karena tempo gila yang Sehun mainkan semakin mendorongnya untuk menyerah lagi.

Sehun tersenyum manis padanya, masih mendorong Luhan dengan gerakan-herakan cepat. "Kau luar biasa, Luhan," ia berbisik dan Sehun benar-benar tak bisa mengendalikan rasa takjubnya saat melihat wajah Luhan yang berpeluh sambil menahan hasrat.

"Sial, Sehun," Luhan tak bisa berpikir hal lain.

Sehun bisa merasakan pengendalian dirinya yang nyaris menggantung. Pria itu bisa merasakan ujung gairahnya yang hampir meledak, dan Sehun tak berniat untuk menahan lebih lama lagi. Jadi ia mendorong lebih cepat, lebih dalam, lebih membuat erangan Luhan berantakan.

Pria itu bisa merasakan cengkeraman Luhan yang semakin erat, seolah menghisap ereksinya lebih dalam lagi. Luhan memohon padanya nyaris tanpa suara dan itu semakin membuat Sehun menggila.

Detik berikutnmya, Sehun melepaskan seluruh gelora panasnya, dengan satu dorongan kuat, diiringi pekikan Luhan karena gadis itu kembali membasahinya denganlava panas membakar. Sehun mengerang, tanpa sadar mendesahkan nama Luhan dengan suara yang terdengar mengerikan.

Napas Sehun terengah dan ia bisa mendengar helaan napas Luhan yang berantakan.

"Kau baik-baik saja?" tanya pria itu, sedikit khawatir saat Luhan memejamkan mata cukup lama.

Luhan mengerjap beberapa kali sebelum membuka mata dan memandangi manik menakjubkan milik Sehun. "Ini luar biasa," desahnya tanpa sadar.

Sehun terkekeh ringan, kemudian mendorong tubuhnya mundur untuk melepaskan tautan mereka, berhasil membuat Luhan kembali mendesah ringan. Pria itu menarik tubuh Luhan yang berpeluh dalam pelukannya, mendekapnya erat sambil mengecupi puncak kepalanya beberapa kali.

"Terima kasih, Luhan. Maaf aku membuatmu melepaskan kesucian dengan cara seperti ini,"

Dan gelak tawa Luhan terdengar. "Kau terdengar kuno, Sehun,"

"Aku serius," bisiknya lagi. "Kuharap kau tidak menyesal,"

Luhan menarik tubuhnya sedikit untuk menatap wajah pria yang paling bisa membuat jantungnya menggila itu. "Kalau kau besok meninggalkanku, aku pasti menyesal," guraunya.

"Aku tidak akan meninggalkanmu," dan begitu saja, bibir Sehun sudah kembali menemukan bibirnya.

Ini gila, Luhan tak bisa lebih bahagia lagi dari ini.

Semoga ini akan berakhir dengan baik.

Semoga.

.

.

TBC

.

HARI INI AUTHOR UPDATE BARENGAN SAMA FF CHANBAEK YANG YAOI JUDULNYA"A SINNER", SIAPA TAU ADA YANG BACA ITU JUGA JADI SILAHKAN DICHECK SEKALIAN

.

BTW, APRIL ITU BULANNYA HUNHAN JADI FF HUNHAN HARUS DILANJUT DONG HEHE

NIH FULL HUNHAN MOMENT KAN HAHAHA

Author ngerasanya ini FF emang sepi peminat jadi agak lama gitu updatenya hehe. Semoga bisa cepet end ya ini FFnya.

Oke itu aja. Buat kalian yang masi menunggu dan membaca, Author ucapkan terima kasih.

Jangan lupa review ya semua.

See yaa~

With love

lolipopsehun