You're a Broken Man

.

.

.

.

Aomine Daiki, Haruno Sakura, Kagami Taiga

.

.

.

©Aomine Sakura

.

.

.

Masashi Kishimoto, Fujimaki Tadatoshi

.

.

.

Dilarang COPAS dalam bentuk APAPUN!

Don't Like Don't Read!

Selamat membaca!

oOo You're a Broken Man oOo

"Aozora! Kembali kesini, dasar anak nakal!"

Haruno Sakura memandang putra semata wayangnya yang berlari menjauhinya sembari membawa bola basket. Emeraldnya memandang putranya dan dadanya terasa sangat sesak. Ini bukan pertama kalinya putranya ngambek, dan masalah yang membuat putranya adalah sama.

Haruno Aozora tahun ini genap berusia enam tahun. Putranya itu mewarisi semua genetik milik ayahnya. Mulai dari rambut hingga warna kulit. Hanya matanya yang menurun pada Aozora. Bahkan sifat menyebalkannya pun sama.

Aozora mulai mengerti dengan keadaan sekitarnya. Dia menanyakan kemana ayahnya dan Sakura selalu berkelit. Aozora bukanlah anak yang penurut, dia akan membantah dan kabur ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Sifatnya sangat mirip dengan Aomine.

.

.

.

Seorang anak kecil mendrible bolanya dan memasukannya dengan mudah ke dalam ring. Di usianya yang ketujuh tahun, dia bisa mengalahkan beberapa pebasket jalanan dengan kekuatannya. Ibunya mengatakan, jika hal itu diturunkan dari ayahnya.

Setiap kali dia bertanya soal ayahnya, ibunya akan mengelak dan tidak mau menjawab. Dia hanya ingin tahu siapa ayahnya. Dia selalu iri ketika melihat teman-temannya memiliki ayah namun dirinya tidak. Dia ingin memiliki ayah, dia iri dengan teman-temannya yang memiliki orang tua yang lengkap.

Paman Kagami dan Paman Tatsuya selalu menemaninya ke acara sekolah untuk menggantikan sosok ayah. Dia menyukai keduanya, meski baginya paman Kagami sangat kaku dan tidak bisa menghadapi anak kecil. berbeda dengan paman Tatsuya yang murah senyum. Terkadang paman-pamannya itu sering bertengkar karena hal kecil dan dia hanya tertawa.

Keduanya sudah mengajarkannya basket saat usianya berusia empat tahun. Dia dengan mudah menerima segala pelajaran yang diajarkan padanya dan meski begitu, dia tidak bisa mengalahkan kedua pamannya. Menurut cerita keduanya, semua bakatnya diturunkan dari ayahnya yang juga pemain basket profesional.

"Aozora, aku tahu kamu ada disini."

Menolehkan kepalanya, Aozora memandang Kagami Taiga yang berjalan mendekat. Pamannya iu masih mengenakan seragam kepolisiannya yang menandakan jika pamannya itu baru saja pulang kerja.

"Jika paman ingin membujukku pulang. Aku tidak ingin pulang."

Kagami menatap Aozora yang sedang memasukan bola ke dalam ring basket dengan lincahnya. Dia seperti melihat sosok Aomine dalam versi mini. Aozora benar-benar menurunkan semua gen milik Aomine.

Tidak banyak bicara. Kagami duduk di samping Aozora yang sedang memasukan bola ke dalam ring. Dia yakin, jika Aozora tidak akan bisa berlama-lama ngambek, bocah laki-laki itu memiliki hati yang baik.

"Paman Kagami."

Nah kan, apa dia bilang.

"Kenapa paman tidak menjadi ayahku saja?"

Kagami tidak bisa mengatakan apapun ketika mendengar pertanyaan dari bocah yang sebentar lagi genap berusia tujuh tahun itu. Sudah beberapa kali dia melamar Sakura dan hasilnya sama saja, Sakura menolaknya dan dia tidak bisa memaksakan perasaannya.

Aozora membiarkan bola di tangannya menggelinding entah kemana, dia menarik napas panjang dan duduk di samping Kagami. Dia menekuk lututnya dan membiarkan rambut birunya diusap dengan lembut oleh Kagami.

Dia tidak keberatan jika paman berambut merah di sampingnya yang menjadi ayahnya. Ketika sekolahnya mengadakan lomba, dia mersa minder karena beberapa teman-temannya mengolok-olokinya yang tidak memiliki ayah. Dia merasa sedih dan membenci ibunya yang tidak mau memberitahu tentang siapa ayahnya. Padahal dia hanya ingin tahu saja.

"Aku tidak keberatan jika paman menjadi ayahku."

Yah.. dia sebenarnya juga tidak keberatan untuk mengasuh Aozora. Dia sudah menganggap Aozora seperti putranya sendiri dan menyayangi bocah laki-laki itu sepenuh hatinya. Saat Aozora masih bayi, dia yang membantu Sakura untuk membesarkan Aozora.

"Aozora, mau paman beritahu siapa ayahmu?" Kagami menatap Aozora. "Tapi, jangan katakan pada ibumu."

Aozora menganggukan kepalanya dengan mata yang berbinar.

"Um, aku janji!"

.

.

.

.

.

Sakura melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap cemas jalanan sepi dihadapannya. Ini sudah hampir jam makan malam dan Aozora masih belum muncul juga. Meski dia yakin jika putranya akan baik-baik saja, tetapi sebagai ibu dia khawatir dengan putranya yang memiliki kebiasaan kabur jika sedang ngambek.

Terkadang dia heran, kenapa seluruh gen milik Aomine menurun kepada Aozora. Bahkan hingga sikap menyebalkannya pun sama seperti Aomine. Kenapa hanya matanya saja yang menurun pada putranya yang menggemaskan itu?

Dari kejauhan, dia bisa melihat Aozora datang sembari membawa bola basket di tangannya. Sakura akan memarahi putranya, namun seketika niatnya menghilang ketika Aozora memeluknya. Putranya itu memeluk pinggangnya dan membenamkan kepalanya.

"Aozora, ada apa?" tanya Sakura dengan lembut. Sebagai seorang single parent, dia tidak mungkin tega memarahi putranya yang sedang merajuk manja itu.

"Maafkan aku, kaa-chan. Aku tidak tahu jika selama ini merepotkan kaa-chan."

Sakura tidak bisa menahan senyumnya dan melepaskan pelukan Aozora. Senyum gelinya terbit ketika melihat wajah putranya yang memerah dengan air mata mengambang di pelupuk matanya. Putranya itu tampak sangat menggemaskan.

"Kamu tidak merepotkan kaa-san, anak nakal." Sakura mencubit pipi Aozora dengan gemas. "Kamu menangis, eh?"

"A-aku tidak menangis!" Aozora buru-buru menghapus air matanya.

"Hai' hai', makan malam sudah siap."

Sakura tidak bisa menahan senyumnya dan mencubit pipi Aozora dengan gemas. Putranya itu tetaplah putranya yang menggemaskan namun menyebalkan. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada putranya, tetapi putranya kini mulai sedikit berubah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hari sudah mulai larut malam dan Aozora tidak bisa memejamkan matanya barang sedetikpun. Dia memandang ibunya yang tertidur di sampingnya dengan nyenyak. Lampu kamarnya dibiarkan menyala, karena dia tidak suka dengan kegelapan. Entah mengapa, dia tidak pernah bisa tidur dengan lampu yang padam.

Dia kembali teringat dengan perkataan paman Kagami tadi sore. Itu membuatnya terganggu sekaligus shock. Kemudian dengan pelan, tangannya merogoh saku celananya dan mengambil sebuah foto.

Foto seorang pria dewasa dengan rambut biru sepertinya.

Itu ayahnya.

"Nama ayahmu adalah Aomine Daiki. Kau tahu, dia itu pria berandalan yang baik hati. Tidak sekali dua kali dia menolong ibumu yang sembrono, meski Aomine sama sembrononya dan dia adalah pebasket yang hebat. Dia adalah rivalku yang paling sulit untuk ditaklukan. Aku hanya pernah menang sekali dan Aomine bertambah kuat setiap aku bertanding dengannya.

Awalnya, mereka bertemu saat sekolah menengah atas. Saat itu ayahmu terpuruk dengan kematian cinta pertamanya, Momoi Satsuki. Dan ibumu yang seorang komite kedisiplinan mulai mendisplinkan hati ayahmu. Ayahmu adalah anak broken home, Aozora. Semua tindakan berandal yang dilakukannya semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatian orang tuanya, tetapi ayahmu terjerumus terlalu dalam."

Keheningan tercipta diantara mereka. Aozora mendengarkan ceritanya dengan pandangan terkagum-kagum bahkan sampai tidak bisa melakukan apapun. Aozora bahkan tidak berkedip.

"Lalu, sekarang dimana ayahku?"

"Penjara."

Aozora menatap Kagami dengan pandangan tidak percaya.

"Pen.. jara?"

"Iya. Dia adalah tahananku. Paman yang menangkapnya atas tuduhan balapan liar dan meresahkan warga. Dibalik kehebatannya memainkan bola basket, ayahmu sangat hebat dalam balapan motor. Namun, sepandai-pandainya monyet bersembunyi, akhirnya tertangkap juga."

Kagami tersenyum dan mengusap rambut Aozora dengan lembut.

"Percayalah, ibumu menyembunyikan tentang ayahmu dengan maksud baik. Dia tidak mau kamu semakin dijauhi oleh teman-temanmu ketika mengetahui ayahmu seorang narapidana. Jika sudah waktunya, ibumu pasti akan memberitahu yang sebenarnya."

Aozora mengusap sudut matanya yang berair. Dia sekarang tahu, bagaimana perjuangan ibunya.

"Jangan kecewakan ibumu lagi, jagoan."

Sejak saat itu, dia bertekad akan membahagiakan ibunya. Ibunya telah berjuang sendirian tanpa ayahnya yang berada di penjara. Sekarang dia mengerti maksud semua tindakan ibunya. Dia menyesal telah melakukan hal yang kejam pada ibunya.

Memasukan kembali foto ayahnya kedalam saku celananya, Aozora terlelap sembari memeluk ibunya.

oOo

"Aomine Daiki! Bangunlah dan segera bantu yang lainnya membersihkan halaman penjara!"

Aomine Daiki membuka matanya dan menatap ruang tahanannya yang sempit, pengap dan gelap. Dia sudah terbiasa tidur beralaskan lantai yang dingin dan meringkuk di dalam kegelapan. Dia merasa, apapun itu adalah hukuman untuknya.

Petugas membuka pintu jeruji besinya dan dia berjalan keluar. Hampir tujuh tahun lamanya, dia tidak mendengar kabar Sakura. Wanita itu bagaikan hilang ditelan bumi. Setiap kali dia bertanya pada Akashi atau Midorima. Keduanya menjawab tidak tahu. Saat dia ingin bertanya pada Kagami, si brengsek itu sudah naik pangkat.

Saat melewati sebuah cermin, dia melihat wajahnya yang semakin dewasa dan jenggot mulai tumbuh seperti rumput liar. Rambutnya juga memanjang dan dia tidak berniat memotongnya. Wajahnya semakin dekil, meski sebenarnya dia memang sudah dekil dari sananya.

Catatannya hampir keseluruhannya baik. Dia adalah tahanan yang dihormati dan hampir semua tahanan tidak ada yang mengganggunya atau berurusan dengannya. Padahal dia hanya sekali memukul seorang tahanan dan berakhir di sel isolasi.

Semenjak saat itu, dia menjadi salah satu tahanan yang dihormati dan menguasai penjara. Tetapi, biarpun begitu, dia tidak mau menggunakan kekuasannya seperti dulu.

"Kakek, biar aku bantu." Aomine membantu salah seorang tahanan tua yang mencoba mengangkat beberapa batu yang besar. Dia adalah tahanan yang ditangkap karena mencuri makanan setelah seminggu tidak memakan apapun. Terkadang, dunia ini begitu miris.

Saat makan bersama, sesekali mereka menonton televisi dan dia hanya bisa tersenyum miris. Memang di Jepang adalah negara yang disiplin dan tidak kenal ampun. Beberapa diantara pejabat mengundurkan diri ketika melakukan kesalahan, paling berat adalah melakukan harakiri. Namun, ada beberapa yang dihukum berat karena masalah sepele dan masalah besar hanya dihukum sepele.

Dunia memang tidak adil dan begitulah kenyataannya.

"Oh, Aomine-san! Mau senam bersama kami setelah ini?" beberapa tahanan menyapanya.

"Aku bosan senam terus." Salah satu dari mereka menyapanya.

"Mau bermain basket?" tanya Aomine.

"Oh, boleh-boleh. Aku lihat ada petugas yang menyimpan bola basket di suatu tempat. Biar aku ambilkan."

Selagi beberapa tahanan menyulap halaman penjara menjadi lapangan basket mini. Aomine melakukan pemanasan, dia sudah lama tidak bermain basket. Tetapi, sepertinya tidak akan mengurangi kemampuannya.

Karena yang bisa mengalahkan dia hanya dirinya sendiri.

.

.

.

"Selamat datang, kapten Kagami."

Kagami melepas topinya dan menganggukan kepalanya. Dia memandang beberapa tahanan yang sedang bermain basket di halaman. Beberapa sipir penjaga tetap bersiaga, mereka tidak mau lengah dan membiarkan tahanan berbuat seenaknya atau kabur.

Matanya memandang Aomine yang melewati beberapa tahanan dan mendunk bola. Melihat cara Aomine mendunk bola mengingatkannya pada masa lalu. Sepertinya stamina dan kekuatan Aomine tidak menurun juga.

"Whoah, bagus!"

"Aomine-san kau hebat!"

Aomine menyeka keringatnya. Dia memantulkan bolanya di lantai dan saat semua orang berhenti. Mengikuti arah pandang teman-temannya, dia bisa melihat seseorang dengan seragam kepolisian berjalan kearahnya. Beberapa sipir bahkan menundukan kepalanya.

"Sepertinya staminamu tidak mengendur, Aomine." Kagami membuang jasnya dan melepas beberapa kancing bajunya.

"Aku terima tantanganmu." Aomine tersenyum sombong.

.

.

"Whoah! Whoah!"

"Hebat!"

"Ada apa ini?"

"Kapten Kagami sedang bertanding dengan salah satu tahanan!"

"Kekuatan mereka hampir sama!"

"Aomine! Kalahkan dia!"

"Kapten Kagami! Jangan mau kalah!"

Pertandingan keduanya berjalan seimbang. Salah satu sipir tahanan yang menjadi wasit bahkan tidak bisa menutup mulutnya. Pertandingan kecil ini membuat beberapa tahanan ataupun polisi terkagum-kagum melihatnya.

Aomine mendirible bola dan berlari melewati Kagami yang ada dihadapannya. Keduanya sama lincahnya dan Kagami mencoba menghalangi Aomine yang mencoba melewatinya. Memantulkan bolanya ke lantai, Aomine memutar tubuhnya dan melewati Kagami. Membuat sorak sorai semakin terdengar keras.

Dengan kecepatannya Aomine memasukan bola dalam sekali dunk.

"Aomine menang!"

Kagami mendudukan dirinya di tanah dan mengambil banyak udara. Sepertinya staminanya yang menurun karena selama naik pangkat, dia tidak banyak berolahraga kecuali bersama dengan Aozora.

"Sepertinya kau kalah lagi, eh?" Aomine mengulurkan tangannya.

"Sial. Kau selalu hebat." Kagami menerima uluran tangan Aomine dan mengambil jasnya yang berada tidak jauh darinya. "Aomine, aku butuh bicara denganmu."

.

.

.

"Aozora, makan makananmu." Sakura tersenyum dan mengusap rambut putranya. "Makan sayuranmu."

Aozora dengan patuh memakan sayurannya dan Sakura menopangkan dagunya sembari tersenyum. Dia menjadi fotografer sampai usia Aozora beranjak lima tahun, setelah itu dia menjadi pekerja bebas dan mengerjakan apapun yang dia bisa. Dia tidak mau kehilangan waktu bersama Aozora, apalagi dengan pria yang dia cintai yang entah akan kembali atau tidak.

Putranya memiliki banyak teman, biasanya saat hari libur tiba seperti ini. Dia banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bermain basket seperti kebiasaan ayahnya. Tetapi, entah mengapa putranya ini banyak menghabiskan waktu di rumah dari pada diluar.

Putranya juga lebih patuh dari biasanya dan itu membuatnya sedikit heran. Tetapi, dia senang karena putranya menjadi lebih baik. Dia masih bertanya-tanya apa yang membuat putranya berubah seperti ini.

"Makan yang banyak, sayang." Sakura tersenyum.

"Kaa-chan." Aozora memanggilnya. "Apa malam ini aku bisa tidur lagi bersama kaa-chan?"

Sakura tidak bisa menahan tawanya dan menganggukan kepalanya.

"Tentu saja."

.

.

"Aomine Daiki."

Aomine yang sedang duduk menyandar pada tembok di belakangnya menolehkan kepalanya. Dia melihat Kagami berdiri diluar jeruji penjara sebelum mendudukan dirinya diatas lantai.

"Ada apa?" tanyanya.

"Lusa kamu sudah bisa bebas. Setelah itu apa rencanamu?"

Rencana ya?

Dia sudah memikirkannya matang-matang. Hal pertama yang akan dia lakukan adalah mengunjungi makam Satsuki dan setelah itu dia mungkin akan tinggal beberapa hari di rumah teman-temannya dan mencari pekerjaan. Dan setelahnya.. mungkin mencari keberadaan Sakura.

"Kagami, ada yang ingin aku tanyakan."

"Aku tahu." Kagami memotong pembicaraan Aomine. "Sakura, kan? Dia baik-baik saja bersama dengan putra kalian."

Putra? Tunggu dulu, apa katanya tadi?

"Maksudmu-"

"Putra kalian lahir tujuh tahun yang lalu, namanya adalah Haruno Aozora. Dia sangat mirip sepertimu." Kagami menyerahkan selembar foto yang langsung diterima oleh Aomine.

Disana, terdapat foto seorang bocah laki-laki yang tersenyum lebar dengan bola basket di tangan kirinya. Di tangan kanannya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. Rambutnya biru dengan warna kulit sepertinya. Itu adalah putranya.

Kagami tidak bisa menahan keterkejutannya ketika melihat air mata mengalir di pipi Aomine. Dia mendenguskan senyumnya. Sepertinya, Sakura memang pantas bersama dengan Aomine.

"Oi, Bakagami." Suara Aomine terdengar. "Ceritakan tentangnya."

oOo

Hari Senin adalah hari dimana kegiatan sangat sibuk. Untungnya sekolah libur karena kenaikan kelas. Sakura sibuk menata rumahnya, karena dia sibuk akhir-akhir ini.

"Kaa-chan, cuciannya diletakan dimana?"

Aozora muncul dengan tumpukan pakaian yang sudah disetrikanya. Sakura yang sedang memasak sarapan tersenyum memandang putranya.

"Letakan saja diatas meja sana, nanti biar kaa-san masukan ke dalam lemari."

Dia tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat perubahan putranya. Biasanya putranya yang pemalas ini jika libur lebih memilih bermain dengan teman-temannya atau tidur seharian. Tetapi entah mengapa, Aozora banyak membantunya dan dia cukup senang dengan perubahan positif yang dilakukan putranya.

"Kaa-chan masak apa?" tanya Aozora.

"Um, kaa-san masak makanan kesukaanmu." Sakura mengusap rambut putranya. "Jika kamu sudah selesai, istirahatlah dulu."

"Ya!"

Aozora mengambil segelas susu dari dalam kulkas dan meneguknya. Bel pintu rumah mereka terdengar dan Aozora buru-buru meletakan gelasnya dan berlari untuk membukakan pintu bagi tamu yang datang.

"Paman Tatsuya!"

Sakura bisa mendengar putranya berteriak. Mengecilkan volume kompornya, Sakura berjalan menuju ruang tamu dan melihat sahabatnya sedang tersenyum. Himuro Tatsuya tersenyum kearahnya.

"Halo, Sakura." Tatsuya tersenyum. "Aku ingin mengajak Aozora ke kebun binatang."

"Kebun Binatang?" mata Aozora membulat penuh kebahagiaan.

"Kalau begitu, ganti pakaianmu, jagoan." Sakura memandang Tatsuya. "Duduklah."

"Kau juga harus berganti pakaian."

Mengangkat satu alisnya, Sakura merasa ambigu dengan perkataan Tatsuya.

"Aku pikir-"

"Taiga menunggumu di depan."

.

.

.

.

"Taiga, kita akan kemana?"

Sakura merasa aneh karena tiba-tiba Kagami menjemputnya dan tanpa banyak bicara langsung mengajaknya masuk ke dalam mobil milik pria itu. Dia juga heran, kenapa Kagami tidak bekerja.

"Ke penjara."

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Sakura. "Kenapa kita harus ke penjara?"

"Bukankah kamu harus bertemu dengan Aomine dan menjelaskan semuanya?"

Sial. Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya.

"Tapi-"

Sakura baru saja akan protes ketika mobil yang dikendarai Kagami berhenti di parkiran pelataran rumah tahanan. Dia meremas ujung bajunya dan memutar otak, bagaimana dia harus menjelaskan semuanya kepada Aomine.

"Ayo, masuklah."

Mengikuti langkah Kagami, Sakura memandang sekelilingnya. Beberapa tahanan menatapnya dengan tatapan 'lapar' dan dia merasa sedikit risih. Rasanya sudah lama sekali dia tidak datang kemari dan mengunjungi Aomine. Semenjak dia hamil, dia sudah tidak pernah datang kemari lagi.

Sel tahanan Aomine ada di ujung ruangan. Bersama dengan beberapa tahanan lainnya. Dan saat dia sampai disana, Aomine sedang duduk menyandar pada tembok di belakangnya. Rambut Aomine lebih panjang dengan janggut dan bulu-bulu halus diatas bibirnya. Penampilan Aomine berubah total.

"Daiki-kun." Sakura mendudukan dirinya di depan sel tahanan. "Bagaimana kabarmu? Maaf, aku tidak bisa mengunjungimu."

"Sakura." Suara Aomine terdengar berat. "Kenapa kamu menyembunyikan putra kita?"

Rasanya ada pisau yang menusuk hatinya. Dia bahkan tidak bisa menatap mata milik Aomine.

"Taiga yang mengatakannya padamu, ya?" Sakura merasakan air matanya memenuhi bola matanya. "Maafkan aku menyembunyikan semuanya, Daiki-kun. Aku tidak mau membebanimu. Kamu bilang kamu tidak mencintaiku dan meninggalkanku begitu saja, meski aku tahu itu hanyalah sandiwaramu. Tapi.. aku hanya tidak mau membebanimu dengan masalah putra kita."

"Dan menyembunyikannya beitu saja? Demi Kami-sama, Sakura! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri."

Sakura tidak bisa menahan air matanya. Aomine sudah berubah, pria itu sudah berubah menjadi lebih baik. Dia mengusap matanya dan memandang Aomine.

"Daiki-kun.."

"Besok aku keluar dari penjara. Bisa kita memulainya lagi?"

Penjara yang gelap membuat Sakura tidak bisa melihat pipi Aomine yang merona merah. Mengusap sudut matanya, Sakura menganggukan kepalanya.

"Um."

.

.

.

Kagami hanya bisa tersenyum dan membalikan badannya. Dia memang tidak pernah bisa menggantikan posisi Aomine dihati Sakura. Dia tidak pernah memiliki kesempatan.

Tetapi melihat bagaimana keduanya akan memulai kembali hubungan mereka, Kagami ikut senang. Dia ikut bahagia atas apa yang dilakukan Sakura. Apapun yang membuat Sakura bahagia, dia akan melepasnya.

Sekarang, sudah saatnya dia memikirkan kebahagiaannya sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pintu gerbang rumah tahanan terbuka dan Aomine muncul dengan pakaiannya yang biasa. Di tangannya terdapat tas yang berisi barang-barangnya selama dia di penjara. Mata birunya menatap Sakura yang berdiri tidak jauh dari gerbang. Rasanya, rindunya membuncah tak tertahankan.

Sakura terkejut ketika Aomine memeluknya dengan erat. Dia bisa menghirup bau harum maskulin milik Aomine. Tangannya terangkat untuk mengelus rambut biru milik Aomine. Betapa dia mencintai dan merindukan pria dihadapannya.

Sedangkan Aomine memeluk Sakura dengan erat. Banyak hal telah dia pelajari di dalam penjara. Tentang pelajaran kehidupan dan tentang betapa pahitnya kehidupan di dunia ini. Dia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan kehidupannya.

Dan dia tidak akan melepaskan wanita yang dicintainya.

Dari kejauhan, Kagami memandang kedua insan yang kembali bertemu itu. Disampingnya, Tatsuya menepuk bahunya dengan lembut.

"Sampai kapan kamu mau memandanginya terus?" tanya Tatsuya.

"Aku senang, akhirnya Sakura bisa bahagia."

Biar bagaimanapun, baginya, kebahagiaan Sakura adalah segalanya.

"Daiki-kun, apa ada tempat yang kamu ingin kunjungi?" tanya Sakura.

Melepaskan pelukannya, Aomine memandang Sakura.

"Ada."

.

.

.

.

.

.

.

"Satsuki, aku datang mengunjungimu."

Suasana pemakaman sore itu begitu sepi dan tenang. Daun-daun bergerak tertiup angin dan memainkan anak rambut Sakura yang duduk di samping Aomine. Pria berambut biru itu meletakan sebuket bunga dan mengelus batu nisan milik teman semasa kecilnya itu.

"Maaf karena aku tidak bisa mengunjungimu selama tujuh tahun."

Selama tujuh tahun, banyak hal yang membuatnya berubah. Dari pengalaman dia belajar, dia tak henti-hentinya belajar dan menata kembali kehidupannya. Dia akan memperbaiki semuanya, karena dia tidak bisa mengembalikan waktu yang telah dia buang.

"Aku akan menikah, Satsuki. Kamu pasti akan terkejut ketika mengetahui aku sudah memiliki seorang putra."

Aomine tahu, Satsuki pasti ada disana sekarang. Sedang mendengar keluh kesahnya. Tangannya menggenggam tangan Sakura dengan lembut sebelum menciumnya dengan penuh kasih sayang. Sakura tidak bisa menahan senyumnya dan memandang Aomine.

"Terima kasih karena telah menjadi penyemangatku, Satsuki. Semuanya akan terus begitu. Tetapi hidup terus berjalan dan masa depanku sekarang bersama dengan Sakura. Aku yakin jika kamu masih hidup. Kamu pasti menyukai Sakura."

Bangkit dari duduknya, Aomine tersenyum dan menggenggam tangan Sakura. Mereka harus meninggalkan pemakaman sebelum hari mulai gelap. Sakura tersenyum memandang makam milik Momoi Satsuki. Dia yakin, wanita berambut yang sama dengannya itu juga bahagia disana.

"Daiki-kun, bagaimana jika kita potong rambut dan membeli beberapa pakaian yang pantas untukmu bertemu dengan putra kita?"

"Boleh."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Aozora, kamu yakin tidak mau main kembang api bersama kita?"

Aozora tersenyum dan memantulkan bola basketnya di tanah. Dia harus pulang sebelum jam makan malam dan membantu ibunya. Dia tidak mau membiarkan ibunya sendirian dirumah.

"Aku yakin. Aku tidak mau meninggalkan ibuku sendirian."

"Huu.. Aozora! Kau tidak seru!"

Terserah. Dia tidak peduli dengan apapun yang dikatakan oleh teman-temannya. Sekarang dia harus pulang untuk membantu ibunya. Ibunya sudah berjuang membesarkannya sendirian.

Sembari memantul-mantulkan bola basketnya ditanah, dia berjalan menuju rumahnya. Sesampainya disana, matanya memandang sebuah sepatu lelaki yang tidak dia kenali. Mengangkat satu alisnya, dia merasa curiga.

Itu bukanlah sepatu milik paman Kagami ataupun milik paman Tatsuya. Bukan juga milik teman-teman ibunya yang sering berkunjung. Sepatu itu terasa asing baginya.

"Tadaima."

Membuka pintu rumahnya, dia bisa mencium bau harum bakso udang buatan ibunya. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumahnya.

"Okaeri, Aozora-kun."

Matanya memandang ibunya yang sedang memasak dan seorang pria berambut biru yang sedang duduk sembari menikmati ocha hangat. Rasa-rasanya dia pernah mengenal pria itu.

"Kaa-chan." Aozora memanggil ibunya. "Dia ayahku.. kan?"

Sakura tidak bisa menahan keterkejutannya, namun dia tersenyum. Sedangkan Aomine memandang putranya dan rasanya seperti mimpi. Ini seperti keajaiban baginya, melihat seorang bocah laki-laki yang merupakan putranya dan sangat mirip dengan miniaturnya sewaktu kecil.

"Aozora?" tanya Aomine.

"Tou-chan!"

Aozora tidak bisa menahan dirinya dan segera memeluk ayahnya. Dia memeluk ayahnya dengan erat seolah tidak mau melepaskannya. Rasanya seperti mimpi, ayahnya yang selalu dia idam-idamkan sekarang ada di depan matanya.

"Maafkan tou-san karena meninggalkanmu terlalu lama."

Sakura mengusap sudut matanya yang berair. Dia senang ayah dan anak itu bertemu. Drama dihadapannya benar-benar membuat air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.

"Selamat datang, Tou-chan.."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Nice dunk, Aozora." Aomine tersenyum dan mengusap rambut putranya. "Tou-san lelah, mungkin tou-san akan menghampiri ibumu sebentar."

Mereka sedang berada di lapangan basket jalanan. Setelah makan malam, Aozora memintanya bertanding basket meski dia mengatakan jika ini sudah malam. Sakura juga mengomel tentang pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.

Tetapi Aozora memaksanya dan dia baru tahu jika sifat keras kepala miliknya juga menurun pada Aozora. Menghampiri Sakura, wanita berambut pink itu tersenyum.

"Mau minum?" Sakura menyodorkan air mineral dan diterima oleh Aomine. Calon suaminya itu menghabiskannya dalam sekali tegukan.

"Aku lelah." Aomine duduk di samping Sakura.

"Hmm.. Aozora sepertinya memiliki stamina sepertimu."

Aomine tidak bisa menahan dirinya untuk memeluk Sakura.

"Daiki-kun, keringatmu menempel," protes Sakura.

"Hmm.. aku merindukanmu." Sakura bisa merasakan napas Aomine di tengkuknya. "Mungkin aku masih memiliki stamina untuk memberikan Aozora seorang adik."

Dia heran, kenapa sifat mesum Aomine juga tak hilang.

Mungkin, beberapa minggu kemudian Aozora akan mendapatkan dua kabar gembira. Selain pernikahan ayah dan ibunya, juga tentang adik barunya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

-Owari-

Akhirnya tamat demi apa :o kwkwkwkwk.. akhirnyaaaaa!

Terima kasih bagi semua Aomine Lovers Sakura Centrics dan semua pendukung Saku. I love you guys! Terima kasih karena telah mengikuti cerita ini dari awal hingga akhir. Terima kasih karena telah mendukung Sakura dengan Kagami, meski akhirnya tidak terwujud :3

Apalagi ya? Pokoknya akhirnya tamat :3

Sampai ketemu di fict lainnya!

-Aomine Sakura-