Naruto by Masashi Kishimoto

Black or Red

By Yuki'NF Miharu

Chapter 4

Warning! : AU, OOC(banget), typo, miss typo, dan masih banyak kekurangan lainnya. Don't Like? Don't Read. Please Leave This Page.

Enjoy and hope you like it!

.

Bagi Naruto, sosok Sakura Haruno memiliki daya tarik yang kuat. Pertama kali ia menginjakkan kaki di Tokyo High School enam bulan lalu, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah rambut musim semi itu. Kedua, iris emeraldnya. Dan yang ketiga, wanita muda itu sulit untuk didekati.

Naruto merasa penasaran. Bagaimana sikap Sakura kalau ia berhasil mendekati gadis itu? Apa Sakura Haruno bisa bersikap manis? Membayangkannya saja sudah membuat Naruto tersenyum. Sial, sosok Sakura sangat membangkitkan rasa penasarannya.

"Apa tinggal di Jepang membuatmu gila?"

Lamunan Naruto hancur seketika ketika sebuah suara tak asing masuk ke dalam indera pendengarnya. Langkahnya terhenti. Dari jarak dua meter, ia bisa melihat seseorang yang memiliki paras sama dengannya sedang bersandar di depan pintu apartemennya dengan sebuah koper hitam.

"Oh, jadi setelah menyerah menghubungiku, kau langsung ke apartemenku, Menma?" tanya Naruto sambil tersenyum sinis. Ia kembali melanjutkan langkahnya dan mendekati pintu apartemennya.

Menma mundur selangkah, membiarkan Naruto membukakan pintu. "Aku bukannya menyerah. Aku sudah tahu kalau kau pasti tidak akan pernah mau mengangkat teleponku lagi setelah itu."

Naruto memutar kenop pintu. "Jadi, kau memutuskan untuk langsung menemuiku?" tanyanya seraya membuka pintu.

"Tepat sekali! Tidak mungkin aku bicara dengan adikku yang keras kepala melalui ponsel, kan?" Menma meraih kopernya dan menariknya.

"Eits! Kau mau kemana?" Naruto menahan tubuh Menma yang hendak masuk ke dalam apartemennya.

Menma memutar bola matanya. "Tentu saja mau masuk! Aku mau tidur! Kau tidak tahu betapa lelahnya penerbangan dari Amerika ke Jepang? Belum lagi aku harus menunggumu di sini selama berjam-jam."

Naruto menaikkan sebelah alis. "So?"

Menma menghela napas. "So, let me in and I'm going to sleep right now!" tanpa menunggu izin Naruto, Menma membuka pintu apartemen Naruto lebih lebar dan masuk bersama kopernya.

Naruto menatap punggung Menma dari mulut pintu. Bisa-bisanya saudaranya itu masuk seenaknya. "Dasar sialan!" maki Naruto sambil menutup pintu apartemen dan menyusul Menma masuk. Belum reda kemarahannya, sosok Menma yang sekarang merebahkan diri di atas kasurnya membuat Naruto kembali naik darah. Ia meraih kerah baju yang dikenakan Menma dan menariknya. "Hei, masih ada kamar di sebelah! Jangan tidur di kamarku!"

"Mendokusei, aku malas merapikan tempat tidurnya," balas Menma dengan mata terpejam dan sama sekali tak memedulikan saudara kembarnya yang murka.

"Hah? Kau tinggal memasang kasurnya dengan seprai! Apa susahnya?!"

"Itu merepotkan."

"Kalau begitu jangan tidur di sini! Tidur di sofa luar saja!"

Dan kali ini Menma tidak merespon. Sepertinya saudara kembar yang lebih tua tujuh menit darinya itu sudah terlelap. Naruto melepaskan cengkeramannya dan membiarkan Menma tidur di atas kasurnya. Yah, mungkin sebaiknya ia tidur di kamar sebelah. Untung saja ia menyewa apartemen besar dengan dua kamar sebagai tempat tinggalnya. Jadi, ia tidak perlu tidur di sofa saat kamarnya dikuasai orang lain seperti saat ini.

Naruto menutup pintu kamarnya dan hendak masuk ke dalam kamar lainnya. Namun suara ponsel yang berdenting dua kali membuat langkahnya terhenti. Naruto menoleh ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Sepertinya Menma langsung meletakan ponselnya begitu saja saat ia masuk tadi.

Naruto meraih ponsel itu dan menadapati sebuah pesan.

From : Sara Akazawa

To : Menma Namikaze

Kau sudah sampai? Tolong kabari aku kalau kau sudah bertemu Naruto.

Naruto kembali menekan tombol home pada ponsel itu. Lalu Naruto menatap sendu layar ponsel Menma yang memperlihatkan sebuah foto wanita cantik dengan rambut merah panjang.

"Bagaimana mungkin aku mau menikahi wanita yang disukai saudaraku sendiri? Sedangkan aku sama sekali tak menyukainya."

Naruto kembali meletakan ponsel Menma di tempat semula dan ia kembali menuju kamar. Sepertinya besok ia dan Menma akan melakukan perdebatan panjang mengenai wanita bernama Sara Akazawa itu.

xxx

"Jadi, aku minta kau pulang bersamaku ke Amerika sekarang juga!" seru Menma sambil menunjuk Naruto dengan sumpit yang sedang dipegangnya.

"Eh? Kau kan baru sampai di Jepang kemarin dan sekarang kau mau ke Amerika lagi? Kau yakin?" tanya Naruto sebelum menyesap sup miso di mangkuk kecil yang ada di tangannya.

"Yah, kalau begitu minggu depan." Menma kembali menyantap sarapannya.

"Menma, bukannya kau menyukainya?" tanya Naruto ketika sup di mangkuknya tandas.

Menma menghentikan kegiatannya, ia terdiam cukup lama, lalu meletakkan sumpitnya. "Tapi, dia menyukaimu," ujarnya dengan suara rendah. Menma menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Kau tahu? Ini pilihan yang sulit. Tapi, aku sudah menyetujui pernikahan kalian. Aku akan turut bahagia kalau dia bahagia."

Naruto tahu, kalimat terakhir yang Menma ucapkan itu amatlah berat untuknya. Entah sesesak apa rasanya melihat wanita yang kaucintai ternyata mencintai saudaramu yang lain. Karena itu, Naruto memilih lari.

"Dan kau tidak memikirkan kebagaianku?" tanya Naruto sambil melirik Menma yang duduk di seberangnya. "Bagaimana bisa aku bahagia kalau aku tidak mencintai wanita yang akan kunikahi? Bagaimana caranya aku bahagia kalau wanita yang kunikahi adalah wanita yang dicintai saudaraku sendiri?"

Menma mengepalkan kedua tangannya, sedangkan giginya saling beradu kuat.

"Menma, kau sudah menyerah?" tanya Naruto lagi.

"Sekarang aku menyerah," lirih Menma.

"Kenapa? Kenapa kau menyerah? Dasar pengecut."

Menma mendecak. "Kau pikir karena siapa aku menyerah?! Setiap aku bertemu dengannya, hanya kau saja yang selalu dia pikirkan! Hanya kau yang dia bicarakan! Lama-lama aku muak mendengarnya!"

Kedua iris Naruto sedikit melebar. Ia tak menyangka Menma berbicara dengan suara tinggi padanya. Naruto menatap Menma yang tertunduk dan tersenyum tipis. "Hei, Menma," panggilnya sukses membuat Menma mengangkat kepala. "Apa kau benci padaku?"

Menma terdiam, menggigit bibir bawahnya, lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah lain. "A-aku..."

"Kau tak perlu menjawabnya. Aku sudah tahu," ujarnya dengan senyum tipis sebelum bangkit dari tempat duduk. Naruto merapikan alat-alat makannya dan membawanya ke dapur untuk dicuci.

xxx

Naruto tersenyum simpul ketika netranya menangkap surai merah muda yang dikenalinya sedang berjalan di trotoar dari balik kaca mobilnya. Naruto sedikit menepikan mobilnya dan membuka kaca ketika bersebelahan dengan gadis itu.

"Ohayou, Sakura." Naruto tersenyum lebar saat gadis itu menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.

"Naruto-sensei?"

"Bagaimana kalau berangkat denganku?"

Dan di sinilah Sakura sekarang. Duduk di kursi penumpang dengan Naruto yang duduk di kursi kemudi di sampingnya. Sakura melirik Naruto. "Apa hari ini sensei terlambat? Biasanya kau sudah di sekolah pagi-pagi sekali, kan?"

Naruto menoleh ke arah Sakura sesaat, lalu tersenyum tipis. "Kau mau tahu?"

Sakura melempar pandangannya ke luar jendela. "Tidak."

Naruto tertawa kecil—meskipun dalam hati ia tertawa keras—lucu sekali murid didiknya ini. Apa ini yang namanya tsundere? Apa yang diungkapkannya tidak sesuai dengan keinginan. "Ada sedikit masalah saat di rumah," kata Naruto.

Kepala Sakura kembali menoleh ke arah Naruto dan ia memiringkan kepalanya. "Kenapa sekarang kau memberitahuku?"

"Karena aku yakin, kau pasti mau tahu." Lalu Naruto tertawa keras dan membuat gadis di sampingnya itu mendengus kesal.

xxx

Dua jam berlalu begitu saja dan Menma sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan di sini. Menyebalkan sekali karena ia tak memiliki kegiatan. Menma bangkit dari sofa yang didudukinya, lalu masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaiannya dengan kemeja hitam dan jeans. Berhubung ia sedang di Jepang, ia ingin jalan-jalan dulu.

Baru saja ingin mengantungi ponsel ke dalam saku celana, ponsel itu bergetar bersamaan dengan nada dering berbunyi. Menma membaca nama 'Sara Akazawa' di layar ponselnya. Ia terdiam cukup lama, lalu mengangkat panggilan itu.

"Kenapa kau menelepon? Di sana masih malam, 'kan?" sahut Menma sebelum orang yang meneleponnya sempat berkata 'halo'.

"Aku hanya ingin tahu, apa kau sudah bertemu Naruto?"

Menma tersenyum pahit. "Tenang saja. Aku sudah bertemu dengannya. Mudah sekali menemukan tempat tinggalnya."

"Benarkah? Syukurlah. Apa dia mau kembali? Aku dan Bibi Kushina sudah membahas banyak hal."

Kali ini Menma terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa hingga suara Sara yang memanggilnya membuat dirinya tersadar. "Oh, soal itu. Yah, Naruto masih belum mau kembali ke Amerika," jawab Menma seadanya dan membuat orang di seberang sana terdiam cukup lama. Wajah sedih Sara terbayang dalam benak Menma, cepat-cepat ia kembali berujar, "kau tenang saja. Kalau dia tidak mau pulang, akan kuseret dia."

Kali ini Sara tertawa. "Kalau begitu, aku mengandalkanmu, Menma-kun."

Menma tersenyum perih. "Serahkan padaku. Tunggu saja di sana."

Lalu sambungan terputus dan Menma mendesah keras. Sial! Kenapa ia lemah sekali jika berhadapan dengan Sara? Sara terlalu mencintai Naruto dan ia tidak tega melihat Sara menangis jika wanita itu tahu bahwa Naruto tak mencintainya.

"Cinta benar-benar membuatku pusing," gumam Menma sambil mengantongi ponselnya ke dalam saku celana sebelum mengambil langkah menuju pintu apartemen. Ia benar-benar butuh refreshing saat ini.

xxx

Bel pulang sekolah telah berdentang sepuluh menit yang lalu. Sakura masih berkutat dengan buku bahasa inggris di tangannya. Seperti biasa, setiap pulang sekolah ia menunggu Naruto di kelasnya. Sudah berapa lama ia tidak pulang dengan Ino? Untunglah Ino punya Shikamaru yang selalu bersamanya.

"Kau menunggu lama?"

Suara yang amat Sakura kenali membuatnya tersentak. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati Naruto yang tengah menghampirinya dengan tangan kosong tanpa membawa buku apapun.

"Tidak juga," sahut Sakura seadanya. "Kita belajar apa hari ini?"

"Bagaimana kondisi kakimu?" tanya Naruto, mengabaikan pertanyaan Sakura dan lebih memilih mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan gadis itu.

"Sudah lebih baik. Lagipula ini kan sudah seminggu."

Naruto tersenyum tipis. "Baguslah. Bagaimana kalau hari ini kita libur?" tanyanya dengan antusias.

"Apa artinya sekarang aku boleh pulang?"

"Tidak. Kau belum boleh pulang dulu." Naruto menggerakkan telunjuknya ke kanan-kiri di depan wajah Sakura.

Sakura menautkan kedua alisnya. Apa yang diinginkan guru bahasa inggrisnya ini? Sakura tidak bisa mengerti keinginan terselubung Naruto. "Lalu, aku harus apa?"

"Temani aku jalan-jalan."

Permintaan Naruto sukses membuat kedua iris hijau Sakura melebar. Sakura mengalihkan perhatiannya ke arah lain, sedangkan kedua tangannya kini tanpa sadar saling meremas. "Aku adalah muridmu. Bagaimana kalau ada yang lihat?"

"Aku akan mengantarmu pulang dulu, lalu kau bisa ganti baju. Setelah itu kita keluar bersama." Ucapan Naruto membuat Sakura terdiam. Apa gadis di depannya ini tidak mau menemaninya keluar? Jerit Naruto dalam hati. "Kumohon, temani aku, ya?"

Pada akhirnya Sakura menghela napas. "Baiklah."

Dan setelah itu Naruto melompat kegirangan. Namun cukup membuat sudut bibir Sakura sedikit tertarik ke atas.

xxx

Ini adalah kali pertama Naruto menginjakkan kakinya di rumah Sakura. Apartemen tempat tinggal anak didiknya ini cukup luas. Besarnya hampir sebesar apartemen miliknya. Naruto menatap sekeliling di ruang tamu, sedangkan Sakura masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti seragamnya.

Lalu atensi Naruto terhenti pada satu objek yang tergantung di dinding putih itu. Sebuah bingkai besar yang di dalamnya berisi foto Sakura ditemani oleh sepasang suami-istri. Tanpa sadar Naruto tersenyum melihat senyum lebar Sakura di figura itu.

Naruto kembali melihat-lihat foto yang ada, baik yang tergantung maupun yang diletakkan di atas meja perabot. Foto Sakura yang mengenakan seragam TK, SD, hingga SMP. Semua foto itu menampakkan sosok Sakura yang sedang tersenyum lebar.

"Apa yan kaulakukan, Sensei?"

Naruto tersentak. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Sakura yang memakai kemeja biru muda berlengan pendek dengan rok putih lima senti di atas lutut. Naruto merasa wajahnya menghangat.

"Sensei?" panggil Sakura lagi.

Naruto menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa. Kau tahu, Sakura? Kau yang sekarang dengan dulu itu beda, ya?"

Sakura menautkan alis, ia menyampirkan tas tangan di pundak sambil memandang Naruto bingung. "Maksudnya?"

"Di foto ini senyummu lebar sekali, tapi sampai saat ini aku belum pernah melihatmu tersenyum."

Kalimat Naruto membuat Sakura terdiam, cukup lama. Bahkan Sakura tak mau membuat kontak mata dengan Naruto dan akhirnya memilih menunduk, menatap lantai putih apartemennya.

"Dan juga kemana orang tuamu? Harusnya aku minta izin dulu pada mereka."

"Mereka tidak di sini."

"Apa mereka berdua bekerja?"

Kedua tangan Sakura terkepal erat di sisi tubuh. "Naruto-sensei, kalau kau bertanya lagi, aku akan mengusirmu dari sini." Sakura menyipitkan mata dan menatap Naruto tajam.

Naruto bergidik ngeri melihat aura hitam yang menguar dari tubuh Sakura. Ia mengangguk pasrah dan tak bertanya apa-apa lagi. "Baiklah, ayo jalan."

.

Sakura tak menyangka kalau dirinya akan dibawa Naruto ke taman hiburan. Apalagi di jam sore seperti ini. Kelap-kelip lampu telah dinyalakan. Membuat suasana taman hiburan semakin meriah meskipun matahari mulai menyamarkan sinarnya.

"Berhubung sudah hampir malam, lebih baik kita makan malam dulu."

Dan tanpa persetujuan Sakura, Naruto menarik tangannya dan menggenggamnya erat ke salah satu restoran yang tak jauh dari sana. Masuk ke dalam dan langsung mengambil tempat duduk. Naruto memanggil pelayan, lalu keduanya memesan makanan.

"Aku tak bawa uang banyak. Kenapa malah masuk ke restoran mahal?" tanya Sakura sambil mengingat jumlah uang di dompetnya tidak banyak. "Aku harus hemat tahu!"

Naruto tertawa kecil. "Jangan dipikirkan. Karena ini permintaanku, aku yang akan bayar semuanya."

Sakura menatap ragu Naruto. Bagaimanapun juga seharusnya Naruto tidak perlu mengeluarkan banyak uang, apalagi gaji guru tidaklah banyak.

"Kau meragukanku, ya?" tanya Naruto seakan tahu isi pikiran gadis di depannya ini. Naruto mendekatkan dirinya ke arah Sakura yang duduk berseberangan dengannya. "Jangan bilang siapa-siapa, tapi aku ini cucu Kepala Sekolah."

"Kau bercanda?"

Naruto memutar bola matanya. "Menurutmu wajahku ini terlihat bercanda?"

Sakura mengalihkan atensinya ke arah lain. "Sepertinya, tidak."

Naruto kembali membenarkan posisi duduknya. Tepat saat itu pesanan mereka datang dan disajikan di atas meja. Keduanya makan tanpa suara hingga makanan mereka habis. Sakura yang baru saja menghabiskan jus stroberinya melirik Naruto yang sibuk mengaduk-aduk es jeruknya.

"Anak Jiraiya-sensei itu pengusaha besar, kan?" tanya Sakura, menarik perhatian Naruto.

Naruto mengangguk. "Ya, dia itu Ayahku."

"Tapi nama keluargamu bukan Namikaze."

Naruto menghela napas. "Karena suatu alasan aku memakai nama keluarga Ibuku. Tapi nama asliku adalan Naruto Namikaze."

"Apa kau—"

Belum sempat menyelesaikan kalimat, nada dering ponsel Naruto berdering, membuat Sakura menghentikan sejenak apa yang hendak ia utarakan. Sakura menautkan alis saat melihat Naruto yang tak kunjung mengangkat telepon itu. Lelaki itu terlihat malas meskipun hanya sekadar melihat nama yang tertera di layar dan akhirnya Naruto kembali menyimpan ponselnya yang masih bergetar.

"Kau mau bilang apa tadi?" tanya Naruto, lalu kembali menyesap es jeruknya yang tersisa hingga tandas.

"Kenapa tidak menjawab panggilan itu?" tanya Sakura yang lebih penasaran atas kelakuan Naruto.

"Aku tidak kenal nomornya. Mungkin salah sambung." Dan detik itu ponsel Naruto kembali berdering. Kali ini ia tidak mengambil ponselnya.

"Kenapa tidak diangkat saja? Kau tinggal bilang salah sambung, kan?"

Naruto mendesah. Kenapa di saat seperti ini? Ia lalu bangkit dari posisi duduknya. "Aku ke toilet dulu," ujarnya dan melangkah pergi dari sana.

.

Ponsel berhenti berdering, namun ketika Naruto masuk ke dalam toilet, ponselnya kembali berbunyi dan dengan kesal Naruto menjawab panggilan itu.

"Ah, akhirnya kau menjawab!"

Suara seorang wanita terdengar dari seberang sana. "Apa maumu?" tanya Naruto dengan suara dingin.

"Hei, ada apa denganmu, Naruto? Tentu saja aku ingin kau kembali ke Amerika sekarang juga!"

"Untuk apa aku kembali?"

"Tentu saja merencanakan pernikahan kita!"

Naruto tertawa dan mendengus pelan. "Kau tidak tahu alasanku pergi ke Jepang? Itu karena aku tidak mau menikah denganmu, Sara!"

"Ta-tapi kenapa? Bibi Kushina sudah menjodohkan kita."

"Dan aku tidak mau dijodohkan. Kenapa kau hanya melihatku di saat ada orang lain yang lebih mencintaimu, Sara?"

"Tapi aku mencintaimu!"

Suara Sara meninggi, membuat Naruto sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. "Tolong jangan hubungi aku lagi. Selama ini kau hanya kuanggap sebagai sahabat, tidak lebih." Lalu tanpa menunggu balasan dari Sara, Naruto memutuskan sambungannya secara sepihak. Seperti yang sering ia lakukan sebelumnya, ia langsung menonaktifkan ponselnya dan kembali menyimpannya di dalam saku celana.

Naruto mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menghmpiri Sakura, lalu tersenyum lebar seakan lupa dengan perbincangannya dengan Sara beberapa saat lalu.

"Ayo. Kita nikmati semua wahana ekstrem di sini."

Sakura bangkit dari tempat duduknya. "Baiklah."

Keduanya pun beranjak dari restoran itu setelah Naruto meletakkan sejumlah uang di meja tempat mereka makan tadi.

xxx

"Wahana apa yang sebaiknya kita coba?" tanya Sakura dengan suaranya yang datar dan tampak seperti tidak terlalu antusias.

"Bagaimana kalau roller coaster dan histeria? Kau pasti takut." Naruto menyeringai ke arah Sakura.

Sakura mendengus, melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau pasti bercanda. Kita ini baru saja selesai makan."

"Ah, kau pasti takut," goda Naruto sambil tertawa.

"Ayo! Kau pikir aku takut?!"

Akhirnya mereka benar-benar menaiki dua wahana ekstrem itu dan berakhir dengan Naruto yang sekarang tengah mengeluarkan isi perutnya. Sedangkan Sakura hanya mampu menghela napas. Ia memang sedikit mual, tapi ia tidak akan berakhir memalukan seperti guru bahasa inggrisnya ini.

"Dasar sensei bodoh. Sudah kubilang jangan naik wahana ekstrem sehabis makan." Sakura melipat kedua lengannya di depan dada.

Naruto berbalik, lalu mengetuk pelan kepala Sakura. "Hei, tidak ada murid yang mengatai gurunya bodoh."

Sakura mengusap kepalanya. "Apa sebaiknya kita pulang?" tanyanya saat menyadari wajah pucat Naruto.

Naruto menggeleng. "Tidak. Belum saatnya pulang."

"Kau tidak bisa naik wahana ekstrem lagi."

Naruto menyeringai. "Bagaimana kalau rumah hantu?"

"Sensei yakin?"

"Kenapa? Kau takut, Sakura?"

"Justru aku malah khawatir kalau sensei pingsan di dalam sana."

Naruto tertawa kecil sesaat. "Tidak mungkin." Naruto meraih pergelangan tangan Sakura, lalu menariknya menuju wahana rumah hantu.

Setelah masuk ke dalam sana, sepuluh menit kemudian Sakura keluar bersama Naruto yang wajahnya pucat pasi dan berkeringat dingin. Sedangkan Sakura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan untuk menenangkan dirinya sehabis melihat hantu-hantu—yang pastinya palsu—di dalam sana.

"Astaga, Tuhan! Aku nyaris pingsan di sana!" gumam Naruto yang masih berusaha menormalkan jantungnya yang berdetak cepat.

"Kan sudah kubilang."

Naruto langsung menegakkan tubuhnya dan berbalik menghadap Sakura yang tengah memandangnya dengan tatapan 'dasar payah'. Naruto juga heran, bagaimana bisa Sakura hanya menunjukkan ekspresi terkejut normal tanpa berteriak histeris nan lebay seperti kebanyakan gadis lainnya.

Sosok yang Naruto sukai memang beda. Limited Edision.

"Jadi apa lagi yang akan kita lakukan?" tanya Sakura.

Naruto melihat jam yang melingkar di pergelangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. "Berhubung besok masih sekolah, kau tidak boleh pulang larut. Bagaimana kalau kita tutup jalan-jalan ini dengan bianglala?"

Sakura tersenyum tipis. "Ide bagus."

Di sinilah mereka berdua sekarang. Sakura dan Naruto saling duduk berhadapan dan melihat pemandangan malam ketika bianglala beranjak naik menuju puncak. Belum ada konversasi di antara keduanya, dan Sakura terus menerus menatap wajah Naruto yang sedang mengalihkan perhatian ke luar sana.

"Ada apa?" tanya Naruto tanpa mengubah posisi.

Sakura tersentak. Ia tak menyangka Naruto mengetahui dirinya yang sedang memperhatikan lelaki itu diam-diam. Kali ini Sakura ikut memandang kelap-kelip lampu di bawah sana. "Tidak apa-apa. Aku cuma penasaran."

Naruto melirik Sakura. "Apa itu?"

"Kenapa sensei mengajakku jalan-jalan? Dan juga sepertinya kau peduli sekali padaku," balas Sakura, tetap bergeming di posisinya.

Seulas senyum tipis terukir di bibir Naruto. "Bagaimana kalau aku bilang bahwa aku menyukaimu?"

Kedua iris hijau Sakura melebar, rasanya tiba-tiba saja napasnya terhenti sesaat. Perlahan ia tolehkan kepalanya, menatap wajah Naruto yang tersenyum. Lalu detik itu Sakura mulai merasa wajahnya panas. "Kau pasti bercanda," sahut Sakura pelan dan mengalihkan pandangan.

Naruto mengedikkan bahu. "Yah, aku serius soal ini. Sayang sekali kau tidak menyukaiku, eh bukan, belum menyukaiku lebih tepatnya."

Sakura kembali memberanikan dirinya menatap iris safir Naruto.

"Dulu kau memberikanku warna hitam, kan? Yang artinya kau membenciku. Mungkin tidak sekarang, tapi aku akan membuatmu memberikan warna merah padaku. Yang pasti artinya adalah cinta." Lalu Naruto menyeringai lebar.

Lalu lidah yang mendadak kelu membuat Sakura tak mampu membalas kalimat Naruto.

xxx

Naruto meletakkan buku pelajarannya di atas meja. Ia mendudukkan diri di kursi dan bersandar pada punggung kursi yang empuk. Profesi mengajar cukup membuat badannya pegal karena terlalu lama berdiri.

"Naruto-sensei ini sudah jam istirahat. Anda tidak makan siang?" tanya seorang wanita cantik berambut hitam panjang.

"Ah, aku akan pergi ke kantin sebentar lagi, Kurenai-sensei," balas Naruto dengan senyuman ramah.

"Kalau begitu, aku duluan," balas Kurenai dan berlalu pergi setelah Naruto mengangguk.

Naruto kembali merilekskan tubuhnya. Kepalanya menengadah, sedangkan otaknya berpikir sesuatu. Ada satu masalah yang ia pikirkan sedari tadi. Kemana sosok Sakura Haruno? Ia sama sekali tidak melihat muridnya yang berambut musim semi itu. Apa dia tidak masuk karena ucapannya kemarin? Sial, jangan-jangan dia makin membenciku? Pikir Naruto sambil menarik surainya.

.

"Sakura? Sensei mencari Sakura?"

Naruto mengangguk. "Iya, apa kau tahu kenapa hari ini dia tidak masuk, Yamanaka-san?"

"Sensei belum tahu, ya?"

Naruto berkedip beberapa kali. "Tahu apa?"

"Setiap tanggal 25 September, Sakura memang tidak pernah masuk sekolah. Bahkan saat kelas satu dan dua."

Naruto menaikkan alisnya. "Memangnya kenapa?"

Ino menghela napas sesaat. Ia mengisyaratkan Naruto untuk mendekatkan diri ke arahnya, lalu Ino berbisik tepat di telinga Naruto. "Hari ini adalah hari kematian kedua orang tua Sakura," bisiknya pelan, lalu langsung menjauhkan dirinya sebelum Shikamaru—yang berdiri di sampingnya—menarik rambut panjangnya.

Naruto melebarkan kedua matanya. "Ja-jadi orang tua Sakura..."

Ino mengangguk sebelum Naruto menyelesaikan kalimatnya. "Sensei, bagaimana kalau kau datang ke rumahnya?" kata Ino dengan seringaian nakal.

"Kau yakin? Aku yakin dia ingin sendiri saat ini."

Ino menepuk bahu Naruto. "Ayolah, sensei. Coba saja dulu, kalau dia tidak mau diganggu, paling-paling kau hanya diusir dan kau tinggal pergi, kan?"

Naruto menelengkan kepalanya. "Benar juga, sih."

Ino menyeringai lebar, sedangkan Shikamaru nyaris menepuk keningnya. Bagaimana bisa seorang guru dengan mudahnya masuk ke lubang keisengan muridnya sendiri? Dan akhirnya Naruto undur diri setelah berterimakasih pada Ino.

"Jadi apa maksudmu menyuruhnya datang ke rumah Sakura?" selidik Shikamaru sambil menyipitkan matanya pada kekasihnya yang jahil.

Ino mengangkat bahunya. "Membantu Naruto-sensei mendapatkan hati Sakura?"

Shikamaru menjitak pelan kepala Ino. "Dasar nakal!"

"Tapi kau cinta pada gadis nakal ini, kan?" tanya Ino sambil bergelayut manja di lengan Shikamaru.

Shikamaru tersenyum tipis. "Tidak perlu kujawab kau tahu jawabannya, kan?"

Lalu Ino semakin mengeratkan gandengannya pada Shikamaru dengan rona merah di wajah. Ia benar-benar mencintai lelaki pemalas dan jenius ini. Yah, meskipun ia masih belum bisa bersaing dengan Sakura. Walaupun begitu, selisih nilai Shikamaru selalu berbeda satu atau dua poin saja dengan gadis berambut musim semi itu.

xxx

Naruto berjalan mondar-mandir bak seterika di depan pintu apartemen Sakura. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, telunjuknya hendak menekan bel, namun kembali urung. Tanpa sadar Naruto menggigit ujung ibu jarinya dan mulai berpikir, bagaimana kalau Sakura akan marah padanya? Ia sudah membuat hubungannya dengan Sakura sedikit membaik.

"Naruto-sensei? Apa yang kaulakukan di sini?"

Tubuh Naruto menegang, lalu ia menolehkan kepalanya dan mendapati Sakura berdiri di belakangnya dengan pakaian berwarna hitam.

"Maaf hari ini aku tidak masuk sekolah. Apa kita akan belajar bahasa inggris?" tanya Sakura dengan datar. Bahkan wajahnya juga tampak muram.

Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ti-tidak. Kita tidak akan belajar hari ini," ujar Naruto dan tiba-tiba menatap Sakura dengan pandangan sendu. "Kudengar dari Yamanaka-san kalau hari ini adalah hari kematian kedua orang tuamu, ya?"

Sakura menunduk, menatap sepatu sandal yang dikenakannya, sebelum akhirnya mengangguk. "Aku baru saja ke rumah nenek-kakekku dan bersembayang bersama mereka."

"Kalau begitu sebaiknya aku tidak di sini. Kau pasti ingin sendi—"

"Apa sensei mau mampir ke rumahku?" sela Sakura.

"Kau yakin?"

Masih tak mau menatap wajah Naruto, Sakura mengangguk. "Tolong temani aku."

Dan Naruto tak mampu menolak permintaan dari murid kesayangannya ini.

.

Sakura mendudukkan dirinya di sofa, tepat di samping Naruto setelah gadis itu meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja. Sakura terdiam dan ia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Naruto yang ia minta untuk menemani dirinya.

"Hei, Sakura."

Suara Naruto yang memanggil namanya membuat dirinya tersadar. Sakura melirik Naruto, tanpa mengeluarkan suara.

"Bagaimana kalau kita saling berbagi?" tanya Naruto sambil menoleh ke arah Sakura mengulas senyum tipis.

Sakura menaikkan sebelah alisnya. "Berbagi apa maksudnya?"

"Bagaimana kalau kau ceritakan tentang dirimu padaku, dan aku akan menceritakan tentang diriku?"

Sakura mengalihkan pandangannya. Selama ini ia tidak bisa menceritakan perasaan sedihnya di setiap tanggal ini kepada siapapun, bahkan sahabatnya, Ino.

"Kalau tidak mau juga tidak apa-apa." Naruto meraih cangkir tehnya dan meminumnya beberapa teguk, lalu kembali meletakkannya di atas meja.

"Sebenarnya selama ini aku hanya merasa tertekan," ujar Sakura memulai ceritanya. Entah mengapa mulut dan hatinya ingin sekali mengutarakan seluruh perasaannya yang terpendam selama ini, sedangkan Naruto tersenyum tipis dan mulai mendengarkan tanpa ada niat menyela ucapan gadis itu. "Karena itu, untuk tersenyum dan kembali ceria seperti dulu malah membuatku bingung karena perasaan ini."

Sakura mengambil napas sesaat sebelum melanjutkan, "saat aku kelas tiga di sekolah menengah pertama, kedua orang tuaku ada bisnis di luar negeri. Pekerjaan mereka cukup lama. Bahkan setelah satu bulan, mereka tidak kembali ke Jepang untuk mengunjungiku. Saat itu aku tinggal bersama nenek dan kakekku. Hingga akhirnya aku memaksa mereka untuk pulang. Seharusnya mereka bisa pulang dalam waktu dua minggu kedepan, tapi aku memaksa mereka agar pulang besok karena aku terlalu merindukan mereka. Aku sampai menangis dan merengek bertemu mereka. Seperti yang kau tahu, aku ini anak semata wayang, jadi mereka langsung ambil tindakan untuk memajukan jadwal penerbangan mereka."

Sakura menghentikan suaranya. Matanya mulai memanas, lalu ia terisak pelan. Sakura menutup mulutnya dengan tangan, mencoba meredam tangisnya agar tak pecah begitu saja. "Setelah mereka mengabariku kalau mereka sudah berada di dalam pesawat dan hendak lepas landas pergi ke Jepang, aku sangat senang mendengarnya. Hingga satu jam kemudian ada berita kalau pesawat yang ditumpangi orang tuaku terbakar dan akhirnya jatuh ke laut." Dan detik itu tangis Sakura pecah dengan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya.

"Bahkan jasad mereka tidak bisa ditemukan. Mereka mati karena aku. Kalau saja aku tidak egois, kalau saja aku tidak memaksa mereka pulang, kalau saja aku bersabar dan menantikan kepulangan mereka selama dua minggu, mereka pasti masih hidup. Ini semua salahku. Semuanya salahku, Naruto-sensei." Sakura membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya.

Naruto tak menyangka Sakura si pendiam yang dikenalnya saat ini terlihat sangat rapuh bak porselen yang mudah hancur jika kau menjatuhkannya. Selama hampir 3 tahun ini menanggung beban rasa bersalah atas kematian kedua orang tuanya.

Naruto menoleh ke arah Sakura yang masih membenamkan wajah di telapak tangan. Tubuh gadis itu bergetar dan isak tangis masih terdengar dari bibirnya. Naruto mengulurkan tangan, meraih kepala Sakura dan membawanya ke dalam dekapan. "Bukan salahmu," ujarnya lembut.

"I-itu salahku," rapal Sakura berkali-kali dalam dekapan Naruto.

"Tidak," bisik Naruto sambil mengusap kepala Sakura dengan sayang. "Semuanya sudah ditakdirkan oleh Tuhan, kau tidak bisa melakukan apapun jika Tuhan telah berkehendak. Yang harus kau lakukan adalah terus hidup."

Sakura menarik darinya dari dekapan Naruto. Ia menatap lelaki di depannya dengan mata sembab. "Ta-tapi karena aku—"

"Sshh..." Naruto meletakkan telunjuknya di depan bibir Sakura. "Kalau itu sudah takdir mereka untuk mati, bagaimanapun caranya kedua orang tuamu akan tetap mati."

Air mata terus mengalir di kedua pipi putih Sakura. Beban yang selama ini menghimpit dan menyesakkan hatinya perlahan menguar bersamaan dengan isak tangisnya. Beberapa menit berlalu, dan perlahan entitas air mata Sakura berkurang, lalu akhirnya mengering.

Sakura melirik Naruto yang tengah meminum tehnya. "Ceritakan tentang dirimu, Naruto-sensei," ujar Sakura serak dan menarik perhatian Naruto.

"Yakin mau dengar?"

Sakura menjawab dengan anggukan.

"Aku harus mulai dari mana, ya?"

"Kenapa kau malah jadi guru? Padahal orang tuamu punya perusahaan besar yang terkenal, kan?"

Naruto tersenyum tipis, lalu mulai menjawab pertanyaan itu lewat kisahnya selama ini.

xxx

Menma melepaskan jaket dan menggantungnya. Ia melirik jam bulat yang tergantung di dinding telah menunjukkan pukul enam sore. Seharian ini ia jalan-jalan ke Tokyo Tower dan keliling Akihabara. Acara wisatanya ini cukup lama dan Naruto juga belum pulang seperti kemarin? Kemana saja saudara kembarnya itu?

"Hari ini dia juga pulang telat? Kemana dia?" gumamnya sambil meraih botol air dari dalam kulkas, menuangnya di gelas dan meminumnya.

Ponsel Menma bergetar dari dalam saku celana. Oh, mungkin telepon dari Naruto. Begitu ia melihat layar, nama Sara menyambutnya. Menma mengulas senyum sebelum menjawabnya.

"Hai, Sara. Aku baik-baik saja di sini, bagaimana denganmu? Oh, syukurlah. Naruto belum pulang. Eh? Dia tidak menjawab panggilanmu? Akan kucincang dia nanti. Jadi ada apa kau meneleponku?"

Lalu suara Sara di seberang sana membuat matanya melebar. "Kau yakin ingin datang ke Jepang?"

.

To be continued

.

A/n : Halo semua! Rasanya saya seperti sudah melupakan fanfic ini. Tapi mendapat beberapa PM kalau ada yang menunggu kelanjutannya membuat saya senang :D. Alasan fic ini lama update sebenarnya karena awalnya saya tidak tahu harus memberi konflik seperti apa untuk cerita ini. Dan akhirnya konflik basi alias mainstream yang saya pake /ketawagaje/.

Yah apapun itu semoga kalian gak keberatan :") Silakan aja kalau ada yang mau ngasih saran buat fic ini. Kesan, pesan bahkan kritikan yang membangun bakal Yuki tunggu. Tulis saja uneg-uneg kalian di kolom review. Mulai dari yang penting sampe gak penting sekalipun. Bakal Yuki baca kok :")

Yosh, sampai bertemu di chapter selanjutnya.