A SasuHina Fanfiction

(Ini hanya sebuah FanFiction bersetting Canon jadi harap dimaklumi jika ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan Manga ataupun Animenya).

WARNING : sebelumnya saya akan memberikan sedikit peringatan. Dalam Funomo mungkin tidak akan ada romance yang berlebihan dan akan mengalir seperti imajinasi saya. Karena itu saya meletakan romance pada genre kedua setelah adventure. Jadi jika reader mencari FF full romance saya beritahukan jika anda salah tempat. Mohon hargai apa yang saya pilih...sekian^^


Chapter 1 – Syarat

::

Futari No Monogatari

SasuHina Fanfiction

Naruto © Masashi Kishimoto

::

Kedamaian adalah sesuatu yang selama ini ia cari. Sesuatu yang telah direnggut darinya oleh kedua tangan aniki-nya sendiri. Kedamaian adalah sesuatu yang memudar dari dirinya sejak semua klannya dibantai dan hanya menyisakan ia seorang. Sejak saat itu, baginya— kedamaian adalah sebuah kata yang hilang.

Kedamaian adalah saat ia menjadi kuat. Kedamaian adalah saat ia membalaskan dendamnya. Kedamaian adalah saat ia membunuh aniki-nya. Tapi nyatanya ia salah. Bukan kedamain yang ia dapatkan melainkan kenyataan pahit yang harus ia telan.

Semenjak itu kedamaiannya berubah. Kedamaian adalah sesuatu yang akan ia dapat jika ia bisa menghancurkan Konoha. 'Ialah' yang membuat aniki-nya memilih jalan neraka untuk hidupnya atas nama kedamaian menurut mereka. Tapi kali ini ia masih salah. Karena bukan seperti ini jalan yang akan membawanya pada kedamaian yang sesungguhnya.

Ketika perang usai orang-orang berkata inilah kedamain. Ia memang mendapatkan kata 'kedamaian' tapi lagi-lagi ia salah. Kedamaian yang ia cari ternyata bukan hanya sebuah kata, akan tetapi sebuah rasa dari dalam hatinya.

Orang bilang, rasa damai akan muncul ketika berada di rumah dengan orang-orang yang saling menyayangi. Ia memang berada di rumah— di Konoha, bersama orang-orang yang menyayanginya. Tapi kali ini di sinilah letak kesalahannya. Tak ada satupun orang yang disayangi olehnya.

Hingga ia sadar— mungkin, kedamaiannya bukan di tempat ini...

::

::

Mata hitam kelam Pemuda berdarah Uchiha menatap lurus pada pintu di depannya. Ekspresi wajahnya tampak datar meski di kepalanya muncul beberapa pertanyaan. Kenapa Hokage tidak menemuinya di ruangan Hokage seperti biasa, dan malah menyuruhnya untuk datang ke ruangan yang ia tahu, tidak sembarangan shinobi diperbolehkan masuk ke ruangan tanpa seizin Hokage itu sendiri. Ia yakin jika Hokage tidak sedang ingin membicarakan sebuah misi. Mungkin sesuatu yang lebih penting.

Pada akhirnya pertanyaan itu hanya ia buang jauh-jauh dari kepalanya dan memilih untuk bergegas masuk kedalam tanpa permisi, tidak mengherankan karena Sasuke memang orang yang irit bicara dan agak buruk dalam sopan santun.

"Akhirnya kau datang juga, kami sudah menunggumu!" Sambut sang Rokudaime ketika Sasuke tiba.

Bukan hanya Hokage saja yang menunggunya. Di dalam ruangan tersebut masih ada dua orang lainnya yang sudah tidak asing lagi untuknya. Seorang pimpinan klan kekkei genkei di Konoha, Hyuuga Hiashi. Juga seorang gadis dengan garis wajah yang tak jauh berbeda.

Sebuah tanya kembali muncul di kepalanya. Bukan karena kedatangan dua anggota klan Hyuuga di ruangan ini. Melainkan karena jejak air mata yang masih mengenang di kedua iris mata gadis Hyuuga itu. Sasuke bisa melihatnya dengan jelas meski kepala gadis itu terus menunduk.

"Aku sudah memutuskan jawaban tentang permintaanmu meninggalkan Konoha untuk mengembara." Suara sang Rokudaime Hokage- Hatake Kakashi memecah pemikiran Sasuke tentang gadis bermata bulan yang berdiri tak jauh di sampingnya. Kembali ia menatap lurus pada sang pimpinan Konoha.

Sesuai dugaan, Hokage tidak sedang ingin membicarakan misi dengannya. "Jadi.. Bagaimana keputusanmu?" tanya Sasuke datar.

"Aku menyetujuinya." Jawab Hokage.

Sasuke mengerutkan dahi. Ini sedikit aneh. Seminggu yang lalu ketika ia meminta izin pada Kakashi untuk mengembara, Kakashi langsung menolaknya mentah-mentah. Dan sekarang...

"Tapi dengan satu syarat!" Hokage menatap Sasuke dengan serius.

"Syarat? Apa syaratnya?" tanya Sasuke enteng. Ia sudah menduga sejak awal ada sesuatu yang tak beres, yang pasti ada sangkut pautnya dengan kehadiran dua orang lainnya di ruangan ini.

Kakashi melirik sekilas pada gadis Hyuuga yang masih tertunduk di samping Hiashi. Kemudian kembali menatap Sasuke yang menuntut jawaban darinya. "Bawa Hinata bersamamu!"

Keadaan menjadi hening sejenak. Tidak bisa dipungkiri jika mantan nuke-nin ini cukup terkejut dengan keputusan bersyarat yang Rokudaime tawarkan, meski lagi-lagi hanya ekspresi datar yang muncul di permukaan.

"Aku tidak berniat membawa siapapun dalam perjalananku." Sasuke menolak dengan halus.

Kakashi menghela nafas. Ia tidak boleh terbawa emosi menghadapi mantan murid keras kepala di hadapannya ini. Sejak awal ia yakin ini tak akan mudah. Sasuke bukanlah orang yang penurut apalagi dia bukanlah orang yang mudah menerima kehadiran orang lain tanpa kemauannya sendiri.

"Dengar Sasuke. Kau harus tahu siapa dirimu. Kau harus tahu seberapa kuatnya dirimu dan kau juga harus tahu betapa polosnya dirimu." Hokage membenahi posisi duduknya dan menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kau seharusnya tahu, ada banyak pihak yang menginginkan kekuatanmu. Meskipun kelima negara sudah membentuk Aliansi tapi tidak menutup kemungkinan akan adanya pihak dengan maksud buruk yang mencoba menghasutmu untuk kembali menyerang Konoha." jelasnya.

Pemuda pemilik mata sharingan dan rinnegan itu mendecih tak suka. Tapi sejauh ini memang seperti itulah keadaan yang terjadi.

"Maka dari itu, aku menenempatkan Hinata dalam misi penebusan dosamu. Salah satu alasannya agar Hinata dapat menyadarkanmu jika hal yang tidak diingikan terjadi. Yah, meski aku sendiri tidak yakin sepenuhnya, tapi kuharap akan terjadi seperti itu. Itu hanya salah satunya." Imbuh Kakashi.

Ini sangat tidak masuk akal bagi Sasuke. Apa semua ini artinya Konoha masih belum mempercayainya?

"Bagaimana jika aku menolak?" Sasuke masih bersikeras.

"Aku sendiri yang akan mencegahmu!" ancam Hokage. "Dan kau tidak boleh melupakan kedua sahabatmu. Aku yakin mereka tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Tapi jika aku yang mengijinkanmu untuk pergi, mereka tidak akan lagi punya hak untuk menghalangi kepergianmu?" Kakashi tersenyum licik di balik masker yang selalu menutupi sebagian wajahnya saat melihat reaksi Sasuke. Ia tahu jika Sasuke akan menolak karena itulah tindakan antisipasi telah ia persiapkan. Dari reaksinya, Kakashi yakin Sasuke tak punya pilihan lain kali ini.

"Lalu, kenapa harus Hinata? Membawa kunoichi lemah hanya akan membebani perjalananku." Pemuda dengan satu tangan ini masih berusaha menolak dan memberi alasan dengan kata-kata yang hampir seluruhnya tajam.

Hinata mengeratkan kepalan tangannya. Dia tidak suka disebut lemah tapi sayangnya itu adalah kenyataan.

"Maaf menyela pembicaraan anda Rokudaime-sama!" Hiashi yang sedari tadi memilih diam kini buka suara dan berjalan mendekati Sasuke yang berdiri di hadapan Hokage. "Untuk selanjutnya, izinkan saya yang menjelaskan secara empat mata pada Uchiha Sasuke, Rokudaime-sama." Pinta Hyuuga Hiashi tanpa mengurangi sedikitpun hormatnya pada Hokage.

Kakashi terdiam sejenak sembari berfikir. "Baiklah! Kurasa akan lebih baik jika anda sendiri yang menjelaskannya." Jawab Hokage pada akhirnya.

"Terima kasih Rokudaime-sama." Hiashi membungkuk hormat.

Hokage berdiri, berjalan menghampiri Sasuke dan menepuk pundaknya pelan. "Pikirkan hal ini dalam satu minggu. Aku menunggu jawabanmu secepatnya." Iapun melangkah melewati Sasuke kemudian berhenti tepat di depan pintu keluar. "Hinata!"

Hinata menoleh kearah Hokage ketika namanya disebut. "Ha-hai"

"Ikut aku. Kita harus membiarkan mereka berdua berbicara."

"Hai. Hokage-sama." Hinata membungkuk entah ke arah ayahandanya atau Sasuke karena keduanya berdiri bersebelahan lalu berjalan mengikuti langkah Hokage.

Tanpa sadar, Sasuke terus memperhatikan saat Hinata melangkah pergi. Sejak kehadirannya, Hinata tak pernah menatap dirinya sekalipun. Ia hanya menunduk, begitu pula saat membungkuk untuk berpamitan tadi. Sasuke merasa Hinata seolah-olah mengacuhkannya, dan entah kenapa itu sedikit menganggunya.

"Kurasa ini pertama kalinya kita berbincang." Hiashi kembali membuka pembicaraan.

"Aa. Kurasa begitu." Jawab Sasuke datar dan kembali fokus pada pimpinan klan Hyuuga di depannya.

"Sebenarnya Hinata bukanlah gadis yang lemah. Hanya saja Hinata terlalu mirip dengan ibunya, dia terlalu baik. Karena itulah Hinata kalah kuat dengan Hanabi adiknya, hingga akhirnya para tetua memutuskan untuk menjadikan Hanabi sebagai penerus sah klan Hyuuga."

Sasuke mendengarkan dengan seksama, tanpa ingin mengomentari sedikitpun. Sebenarnya ia tidak terlalu tertarik dengan apa yang dikatakan Hiashi. Tapi karena ini bersangkutan dengan 'permintaannya' mau tak mau bungsu Uchiha ini mendengarkan apa yang Hiashi katakan.

"Bukan penerus sah klan, itu berarti keluar dari keluarga utama. Keluar dari keluarga utama itu berarti Hinata akan menjadi seorang bunke, dan menjadi seorang bunke itu artinya..." Hiashi menghentikan penjelasannya. Sangat berat baginya menceritakan hal buruk yang akan menimpa putri kesayangannya. Putri sulungnya yang merupakan kopian sempurna dari mendiang sang istri yang teramat dicintainya. "Hinata... akan disegel sebagai seorang bunke."

Sasuke menangkap raut kesedihan terpancar dari wajah pemimpin klan Hyuuga, tapi bagaimanapun itu bukan urusannya. Sasuke masih bergeming.

"Aku sudah berusaha bernegosiasi dengan para tetua klan. Tapi sebuah peraturan, tetaplah peraturan. Jika aku menolak, tentu saja akan menjadi contoh yang buruk bagi bunke lainnya yang diharuskan untuk tunduk dan patuh pada souke." Tutur Hiashi dengan nada kecewa. "Dan dengan beralasan demi kepentingan klan, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mematuhi peraturan" Hiashi menarik nafas untuk menenangkan pikirannya, meski hatinya justru bertindak sebaliknya. "Tapi saat secara tidak sengaja aku mendengar tentang keinginanmu untuk menempuh perjalanan penebusan dosa. Aku pikir masih ada kesempatan untuk menyelamatkan..."

"Jadi, ini semua demi Hinata?" tandas Sasuke memotong kalimat Hiashi. Sejujurnya Sasuke tidak terlalu senang mendengar alasan sebenarnya yang terkesan memanfaatkan dirinya. Di sisi lain jika Kakashi tidak mengizinkan, tentu Naruto dan Sakura akan menghalangi kepergiannya. Ini akan lebih sulit dari yang ia bayangkan.

"Kumohon, bawalah putriku!"

Mata Sasuke melebar tak kala melihat sang kepala klan Hyuuga- seseorang yang diharuskan menjujung tinggi martabatnya sebagai kepala keluarga bangsawan tiba-tiba berlutut memohon di hadapannya.

"Hanya kau yang bisa menyelamatkan Putriku. Uchiha Sasuke."

::

::

Suasana malam yang hening menyelimuti kedua Hyuuga ayah dan anak yang tengah duduk berhadapan di ruangan itu. Hiashi tampak begitu tenang menunggu tanggapan yang keluar dari mulut putrinya dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Meskipun ia sudah menemukan jawaban sebenarnya lewat air mata yang mulai menggenang di kedua mata bulan putrinya.

"Ja-jadi Sa-suke-kun, menyetujuinya?" Guman Hinata tak berani menatap wajah sang ayahanda.

"Benar." Jawab Hiashi. Sejenak ia memandang ke arah Hinata yang masih menunduk, tangan di pangkuan putri sulungnya mulai bergetar. Sejujurnya Hiashi merasa tak tega tapi ia tetap harus mengatakannya. "Hokage memutuskan untuk memberangkatkanmu besok lusa, dua hari lebih awal dari kepergian Uchiha Sasuke" Tutur Hiashi. "Untuk menghindari kecurigaan Hokage akan memberitahukan jika kau sedang menjalankan misi rahasia tingkat S agar tidak ada yang menanyakan tentang kepergianmu dari Konoha." Lanjutnya. Tidak ada tanda-tanda sama sekali jika sebenarnya Hiashi sendiri juga tak merelakan kepergian putri sulungnya.

"Segera persiapkan semuanya. Besok aku sendiri yang akan mengantarmu."

TES

Setetes cairan bening dengan lancang jatuh begitu saja di punggung tangan Hinata yang bertumpu di kedua lututnya. Telapak tangannya mengepal. Tidak, ini bukan saatnya untuk menangis. Hinatapun mencoba membangun pertahan sekuat mungkin untuk menahan air matanya yang siap meluap dari kedua mata bulannya.

"Hai otou-sama, aku mengerti." Hinata bangkit dan membungkuk kemudian melangkah pergi meninggalkan ayahandanya sendiri.

Setiba di kamarnya Hinata berusaha meyakinkan dirinya jika ini hanya misi yang biasa ia lakukan. Hanya saja tidak akan ada lagi Kiba ataupun Shino, melainkan hanya ada Uchiha Sasuke yang akan menjadi partnernya dalam misi kali ini. misi? Entahlah. Hinata lebih merasa jika ini adalah cara untuk mengusirnya secara halus.

Jauh di dalam hatinya Hinata ingin menolak mentah-mentah perintah yang ayahandanya berikan. Ia tidak ingin pergi dari Konoha, ia tidak ingin pergi bersama Sasuke, sejujurnya ia tidak terlalu senang dengan sifat dan perangai pemuda Uchiha itu yang bagaikan langit dan bumi dengan orang yang dicintainya— laki-laki yang menjadi alasan terbesar Hinata untuk tidak pergi meninggalkan Konoha.

Seandainya ia punya keberanian untuk menolak atau setidaknya mengatakan keberatan atas perintah sang ayahanda, mungkin masih ada kesempatan merubah keadaan. Tapi terlahir di keluarga bangsawan, mengharuskan Hinata untuk selalu bertindak demi kepentingan klan dan menghapus keegoisannya, sehingga ia hanya bisa menuruti perintah dan berharap semua akan baik-baik saja.

Sesaat kemudian, tiba-tiba ia merasakan cakra seseorang yang begitu dikenalinya mendekat.

'otou-sama?'

Hinata bergegas membukakan pintu kamarnya dan ayahanda yang selalu dihormatinya tepat berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah yang terlihat sendu. "Otou-sama ada perlu a..." perkataan Hinata terputus tatkala lengan kekar sang ayahanda merengkuh tubuhnya dalam pelukan. "Tou-sama?"

Hangat. Pelukan ayahandanya benar-benar hangat. Pelukan ayahanda yang telah lama ia rindukan. Bahkan Hinata tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia merasakan pelukan hangat seperti ini dari ayahandanya.

"Maaf sudah membiarkanmu memilih jalan yang sulit. Hinata!" Hiashi memeluk Hinata dalam dan erat setelah beberapa saat ia melepas pelukannya. Hinata tercengang, untuk pertama kali dalam hidupnya Hinata melihat setetes air mata jatuh dari mata bulan ayahandanya. Air mata yang bahkan tidak ia lihat saat kematian mendiang ibundanya dahulu.

"Sangat sulit bagiku untuk membiarkanmu pergi meninggalkan Konoha dan menyerahkanmu pada orang lain. Akan tetapi akan lebih sulit lagi bagiku jika harus melihatmu hidup dengan segel bunke seumur hidupmu."

Ini sudah kedua kalinya Hinata mendengar sang ayahanda berbicara demikin hanya saja kali ini berbeda dari sebelumnya. Sebelumnya semua perkataan ayahandanya terkesan seperti perintah yang tidak menerima penolakan, tapi kali ini Hinata bisa merasakan jika apa yang ayahandanya lakukan benar-benar untuk melindungi dirinya.

"Hinata, untuk selamanya kau akan tetap menjadi putriku, putri kesayanganku. Sesulit apapun jalan yang akan kau tempuh kelak. Aku harap suatu saat nanti kau akan mengerti, kenapa aku memilihkan jalan ini untukmu."

Seolah telah memahami segalanya lewat setetes air mata ayahandanya. Tanpa berkata apapun Hinata kembali memeluk sang ayahanda dan untuk kali ini ia tak akan menahan air matanya lagi. Hiashi tersenyum haru, ia membalas pelukan Hinata yang kini menangis di dadanya, untuk kali ini juga Hiashi akan bersikap selayaknya seorang ayah pada putrinya. Perlahan satu tangan Hiashi tergerak menepuk-nepuk pelan punggung Hinata untuk mengisyaratkan semua akan akan baik-baik saja.

::

::

Hari ini Hinata bermaksud untuk menjenguk Naruto sekaligus mengucapkan selamat tinggal, tapi ia mengurungkan niatnya ketika mendapati kehadiran gadis iryo-nin di dalam ruang rawat Naruto. ia mengikik pelan ketika melihat tingkah lucu Naruto lewat celah pintu yang sedikit terbuka tempat ia mengintip. Senyumnya begitu manis dan tulus, sayangnya Naruto tak pernah menyadari betapa manis dan tulusnya senyuman Hinata yang selalu tertuju padanya. Luka Naruto lebih parah dari luka yang dialami Sasuke sehingga membuatnya harus menjalani pengobatanketat dan rutin lebih lama.

"Sakura-chan, bisakah kau memperlakukanku dengan lebih lembut. Itu tadi sakit sekali-ttebayo!"

"Makanya kau jangan banyak bergerak saat aku menganti perban di tanganmu ini Naruto!"

"Tapi, Telapak kakiku terasa gatal Sakura-chan!"

"Jangan membuat alasan yang aneh."

"Ini serius Sakura-chan. Apa kau mau menggarukannya. Ini!" Naruto mengangkat telapak kakinya tepat di depan wajah Sakura.

"Naruto, kau ini..." Sebuah pukulan keras mendarat tepat di kepala Naruto.

"Ite-te-te-tebbayo! kenapa kau malah memukulku Sakura-chan!"

"Salah sendiri kenapa kau meletakan kakimu di depan wajahku, dasar tidak sopan."

"Tapi Sakura-chan..."

Hinata kembali tersenyum saat melihat pertengkaran Naruto dan Sakura. Meskipun kedua sahabat ini sering bertengkar tapi mereka terlihat begitu akrab dan bahagia. Terkadang Hinata merasa iri terhadap Sakura. Ia selalu bisa bersama Naruto karena memang gadis bersurai merah jambu itu adalah rekan satu timnya, lagi pula sudah menjadi rahasia umum jika Naruto sangat menyukai seorang Haruno Sakura. Tidak mengherankan jika pemuda jinchuriki itu selalu berusaha untuk ada di dekatnya.

Dadanya berdesir ngilu, perlahan senyuman di wajah putihnya memudar. Hinata mengengam erat sebuah bungkusan di dalam pelukannya. Seiring debaran jantung yang kian lama kian menusuk. Hinata cemburu.

Kepalanya tertunduk. Menatap bungkusan berisi syal merah yang ia buat dengan tangannya sendiri sebagai kado perpisahan untuk Naruto. Ia mengigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tangisnya tertahan. Ia merasa seperti seorang pengecut yang tak berani memberikan kado spesial untuk orang yang sejak kecil ia cintai, hanya lantaran merasa tidak enak jika kehadirannya akan mengganggu keakraban Naruto dan Sakura. Mungkin, syal merah ini memang tidak ditakdirkan untuk sampai ketangan Naruto.

Setelah malam ini semuanya akan berbeda. Karena malam ini adalah malam terakhirnya di Konoha.

Hinata mencoba tersenyum. Ia merasa cukup, bisa melihat tawa Naruto untuk terakhir kalinya. Dan setidaknya akan tetap ada orang yang bisa membuat Naruto tertawa saat dirinya tidak ada.

'Sayonara, Naruto-kun!'

::

::

"Aku akan jujur padamu. Dalam keadaan normal kau akan dipenjara seumur hidupmu. Tapi satu-satunya alasan kenapa kau dimaafkan adalah karena bantuan yang kau berikan dalam membatalkan jutsu mugen-tsukuyomi. Dan karena itulah aku mengijinkanmu pergi untuk menjalankan misi penebusan dosamu. Tapi jangan melakukan hal yang ceroboh. Sebab nantinya kepalaku yang akan mereka penggal jika kau macam-macam." Cerca Kakashi yang bersadar pada salah satu pintu gerbang Konoha.

Jujur Sasuke merasa sedikit risih dengan ucapan selamat tinggal dari sang Rokudaime yang lebih mirip dengan ceramahan itu. Tapi terlepas dari semua perkataannya, dirinya berhutang pada kakashi yang telah membantu menjelaskan tujuan keperginnya pada Sakura, yang kini ikut mengantar ke gerbang utama Konoha. Meskipun ada sedikit masalah saat menjelaskan tujuan kepergiannya pada si bodoh Naruto.

"Maaf." Hanya itu yang Sasuke katakan.

"Kau sudah mau pergi?" tanya Sakura sekali lagi. "Tsunade-sama baru saja ingin meyelesaikan pengobatan tanganmu dengan bantuan sel Hashirama."

Sasuke beralih menatap Sakura lalu berjalan mendekatinya. "Aku perlu meyaksikannya sendiri seperti apa dunia ini. Semua hal yang aku abaikan dan kedamaian yang aku inginkan. Aku punya firasat akan bisa melihatnya dengan lebih baik. Dan jika aku melewatkan kesempatan itu, tak akan ada lagi kesempatan berikutnya bagiku." Jelas Sasuke.

Sakura tampak kecewa. Bagaimanapun ia sungguh tak ingin berpisah lagi dengan Sasuke. "Ba-bagaimana... jika kubilang... kalau aku... ingin ikut denganmu?"

"Ini adalah perjalanan penebusan dosaku. Kau tidak ada hubungannya dengan dosaku." Tegas Sasuke yang membuat Sakura semakin menunduk kecewa. ia sudah menduga jika dirinya tak akan bisa mencegah Sasuke meski untuk kedua kalinya. Padahal baru beberapa bulan ia bisa berada di sisi cinta pertamanya dan sekarang...

"Eh!" Mata Sakura membulat ketika merasakan jemari Sasuke di keningnya. Wajahnya tiba-tiba memerah kala melihat senyum tulus Sasuke padanya. Tidak pernah dalam hidupnya ia melihat Sasuke tersenyum setulus itu.

"Aku akan menemuimu lagi. Terima kasih, Sakura."

Langkah Sasuke semakin menjauh dari gerbang Konoha. Sekali lagi Sasuke berpaling, berharap sahabat bodohnya juga akan datang mengantar kepergiaannya. Meskipun Naruto adalah rival terberatnya, tetap saja hanya Narutolah teman terdekatnya.

"Hinata pergi tanpa berpamitan denganku dan sekarang apa kau juga akan melakukan hal yang sama teme?" Entah dari mana Naruto muncul, yang jelas Sasuke cukup senang bisa melihat kehadiran tiba-tiba Naruto di depannya.

"Aku sudah berpamitan denganmu kemarin dobe!" Sasuke tersenyum sinis "Tak kusangka kau akan datang." Ia menatap nanar ke arah tangan kanan Naruto yang hilang karena pertarungan terakhir dengannya. Jika saja dirinya tidak terlalu egois mungkin teman terbaiknya ini tidak akan kehilangan satu tangannya.

"Kuharap aku segera mendapat tangan pengganti yang baru. Begitu juga denganmu." ujar Naruto seakan tahu arti tatapan mata Sasuke. Ya tangan kiri Sasuke juga ikut hilang karena pertarungan itu. "Ini, aku kembalikan!" Naruto mengulurkan tangan kirinya, menyerahkan hitai-ate Sasuke yang telah lama ia simpan. Angin berhembus di antara keduanya. Kini meskipun tanpa kata-kata, mereka berdua telah mampu berbagi rasa sakit dari hati masing-masing.

Perlahan tangan kanan Sasuke terulur menyambut hitai-ate yang Naruto berikan. "Aku akan menyimpannya," Sasuke tersenyum "sampai kita benar-benar menyelesaikan apa yang ada di antara kita berdua."

Tidak ada kata-kata perpisahan di antara mereka. Karena baik Naruto maupun Sasuke yakin jika takdir masih menautkan mereka dalam satu ikatan kuat. Ikatan yang mereka sebut sebagai pertemanan.

::

::

Hari pertemuan Uchiha dan Hyuuga telah ditentukan. Selain Kakashi sang Hokage keenam dan Hyuuga Hiashi tidak ada lagi yang tahu tentang kepergian Hinata yang sebenarnya adalah untuk menemani perjalanan Sasuke.

Gelap mulai merambat seiring cahaya senja yang makin menghilang. Lompatan-lompatan cepat terus melaju membelah hutan. Byakugan yang aktif terus memastikan posisi tujuan yang anehnya terus saja bergerak. Hingga akhirnya, Hinata mendarat tepat di belakang Sasuke.

"Tu-tunggu Sasuke-kun!"

Pemuda Uchiha menghentikan langkahnya dan berbalik. Menatap tajam gadis Hyuuga dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ma-maaf aku terlambat, aku sudah berusaha... secepat mungkin." kata Hinata perlahan, bahkan hampir terdengar seperti berbisik. Entah kenapa tatapan Sasuke terasa semakin dingin dan menusuk, membuat gadis bersurai indigo ini menunduk takut.

"Hinata!" panggilnya.

Hinata mengangkat wajahnya menatap Sasuke. "Ha-hai"

"Pergilah! Dan jangan ikuti aku."

Seperti tersambar petir dari langit kata-kata Sasuke sungguh di luar pemikirannya. Hinata yakin tak ada yang salah dengan apa yang didengarnya. Uchiha Sasuke menyuruhnya untuk pergi bukan? Mulut Hinata terbuka bersiap untuk meminta penjelasan tapi pemuda berdarah Uchiha kembali melontarkan pernyataan tajam.

"Bukankah kau melakukan ini demi terhindar dari segel bunke?"

Hinata tercekat.

"Kau sudah mendapatkannya. Sekarang kau tempuh jalanmu sendiri dan aku... akan menempuh jalanku sendiri." Kata Sasuke dengan penekanan di setiap perkataannya.

Sasuke berbalik membelakangi Hinata dan mulai berjalan menjauh. Melompati pohon demi pohon tanpa menghiraukan Hinata yang masih terdiam. Tangan Hinata tersimpul erat di depan dadanya menahan sesak yang entah apa sebabnya. Apa karena Sasuke meninggalkannya?

Ketika punggung Sasuke benar-benar lenyap dari pandangannya. Hinata merasa seolah-olah kekuatannya menghilang, Kakinya seakan lemah tak bertulang, membuatnya jatuh terduduk di atas tanah dingin begitu saja.

Ada apa ini? Apa takdir telah mempermainkannya?

Setelah penolakan dari klan, penolakan dari ayahandanya sendiri serta penolakan secara halus yang Naruto berikan. Kini seorang mantan nuke-nin pun juga menolaknya mentah-mentah.

Apa salah Hinata? Apa salahnya sehingga semua orang menolaknya?

Air matanya kembali bergulir. Jika semua orang menolak dirinya. Harus kemana lagi ia. Sebelumnya Hinata merasa lega, saat dirinya diharuskan mengikuti Sasuke meski ia amat terpaksa melakukan itu, setidaknya Sasukelah yang menjadi tempatnya— seseorang yang akan mengakui kehadirannya. Tapi sekarang saat Sasuke juga menolaknya, Hinata tak tahu lagi harus berbuat apa.

'Kami-sama...'

Tak banyak yang ia inginkan sekarang. Hinata hanya butuh tempat, tempat—dimana seseorang bisa menerima kehadirannya.

::

::

::

TBC


Karena Masashi Kishimoto-sensei tidak memberikan kesempatan pada dua karakter ini untuk berinteraksi dalam Canon-nya. Maka dari itu, izinkan saya untuk memberikan atau lebih tepatnya membuatkan kesempatan pada Sasuke dan Hinata untuk saling mengenal dalam Fiction satu ini.

[Fic pertama di fandom Naruto ^^] Yoroshiku Onegaishimasu !

Saya tahu FF ini masih banyak kekurangan. Jadi, Review dan saran yang positif sangat saya terima di sini.

And Thanks for Reading ^^

Mind to Review..

-08/o1/2015-