Disclaimer : Naruto adalah kepunyaan Mashashi Kishimoto. Saya tidak mengambil keuntungan material apa pun dari fiksi penggemar ini. Hanya untuk kesenangan!

.

.

BAB 1

Setidaknya, menikahlah dengan orang yang mencintaimu. Meski, kau tidak mencintainya. Dari situ, hidupmu akan aman. Kau akan dikasihi, dibela sampai mati, tidak akan ada rasa sepi. Ia akan ada untukmu. Dan berharap saja hatimu tergerak untuk tidak lagi mengingat masa lalu.

Hinata tidak mengubah perasaannya saat pertama kali melihat anak lelaki itu. Sejak gadis kecil itu masih selalu ketakutan. Sejak ia bahkan belum mencecap bangku akademi. Perasaan itu mungkin tidak akan berubah. Perasaan untuk lelaki berambut kuning itu.

Naruto tidak mengubah perasaannya saat menjalani akademi. Saat anak lelaki itu melihat gadis kecil cerewet dan berambut feminim merah jambu. Bersaing ketat antara hatinya sendiri dan hati gadis itu yang memilih sahabatnya, seorang anak lelaki bermata hitam kelam dan minim ucapan.

Cinta sulit berubah. Satu kali hatimu tergetar, ia akan bertahan—mungkin selamanya.

.

.

"Tidakkah kau ingin menikah, Naruto?" Gadis yang selama ini menjadi sahabatnya membuat lelaki yang kini genap berusia 23 tahun mendongak kaget. Ia tidak percaya bahwa sahabatnya akan menanyakan soal pribadi. Menikah? Sebuah senyum simpul terbentuk di bibir hokage baru yang beberapa hari yang lalu dilantik.

Mereka berdua sedang menghabiskan waktu luang sore hari yang sangat jarang terjadi. Senja sebagai awal mula waktu bebas mereka setelah bekerja. Naruto menjadi luar biasa sibuk karena limpahan tugas dari hokage sebelumnya. Guru Kakashi, begitu Naruto masih setia memanggil lelaki setengah baya dengan mata tertutup sebelah, memberikan bertumpuk-tumpuk berkas yang berisi berbagai macam misi rahasia yang dilakukan oleh sejumlah shinobi.

Hokage baru itu telah meraih mimpinya. Menjadi seorang pemimpin desa Konoha. Impian sejak kecil bermula. Seperti ayah yang hanya bisa dihitung jari ia jumpa. Naruto mendesah antara rasa lelah namun ada rasa bangga. "Aku berhasil, ayah. Aku menjadi seperti ayah." Itulah kata-kata pertama saat Naruto berdiri di atas sebuah podium sambil melambaikan tangan pada seluruh warga berlambang seperti api.

"Kau sudah cukup umur," lanjut Sakura. "Lagipula sekarang kau sudah menjadi hokage. Nanadaime." Sakura tertawa kecil pada nama baru Naruto yang tersemat.

Sepanjang hari saat Naruto masuk akademi untuk calon ninja, tak ada habisnya para murid memanggilnya begitu. Lelaki itu tentu senang karena ia kembali mengenang masa kecilnya di akademi bersama teman-teman.

Naruto ikut tertawa kecil mendengar celotehan Sakura. "Begitu menurutmu?"

Sakura mengangguk antusias. "Bukankah itu ide yang menarik. Hidup bahagia dengan berkeluarga."

"Jadi itu ide menarik bagimu?" Naruto kembali tersenyum. Padang rumput di pinggiran desa bergoyang tertiup angin. Musim gugur akan segera tiba. Mereka berdua duduk sambil menikmati senja. Rasa dingin yang menusuk tidak begitu dirasa. Hanya ada keheningan dan sedikit canda.

"Aku yakin setiap gadis di desa akan bersedia menjadi pendamping seorang hokage luar biasa sepertimu," kata gadis itu lagi begitu lancar tanpa tahu bahwa Naruto menatap perempuan itu lama. Mata biru lelaki itu tak berkedip. Rasa yang dipendam sejak akademi tidak pernah pudar. Malah semakin menguat saat gadis cerewet itu terus saja merindukan lelaki lain.

Ironis. Sakura tidak pernah tahu mengenai isi hati Naruto. Perempuan itu hanya tahu satu hal : hatinya memilih Sasuke sejak awal mula.

"Setiap gadis?" ada nada menggoda dari pertanyaan Naruto. Ia begitu berharap Sakura adalah salah satu dari kata 'setiap gadis' itu. Namun mustahil. Hokage muda itu tahu Sakura memilih Sasuke sejak awal mula.

Sakura mengangguk semangat sambil terus mengamati langit yang berubah menjadi gelap. Bintang mulai terlihat dan mega bergerak lambat. Hawa dingin semakin menyeruak. Syal merah yang dikenakan gadis itu sudah mulai tidak mampu menahan rasa dingin yang mencari celah masuk ke dalam tubuh.

Naruto dengan cekatan melepas jaket hokage yang dulu juga dikenakan ayahnya dan menyampirkan ke bahu perempuan itu. Ada gumam terimakasih dari bibir Sakura. Mendengar suara Sakura itu sudah cukup bagi Naruto. Melihat Sakura tak lagi bersedih merindukan bahkan bukan dirinya, sudah cukup. Perasaan cinta sejati bukankah cukup sampai di situ jika tak ada balasan? Melihat seseorang bahagia meski bukan dengan dirinya? Itu yang Naruto percaya.

Sering Naruto merasa iri pada kedua orangtua; Minato dan Kushina. Dua orang itu sangat beruntung. Saling mencintai, saling mngungkapkan. Dipertemukan kemudian menikah atas dasar ada cinta dari keduanya. Ingin Naruto seperti itu. Hasratnya dulu menjadi seorang hokage sudah terpenuhi. Sekarang, ia membutuhkan semangat lain. Semangat untuk terus menebar hal positif. Dan Sakura telah memberikannya satu hal yang selama ini Naruto abaikan. Cinta.

"Apa itu juga termasuk kau?" tanya Naruto. Ia tertawa kering karena jujur, pertanyaan itu adalah sebuah harapan.

Sakura meninju sedikit keras bahu Naruto yang setengahnya diganti dengan tangan palsu. Kehilangan bagian tubuh bersamaan dengan lelaki yang dicintai Sakura.

"Kau!" kata Sakura jengkel. "Bagaimana pun aku menunggu Sasuke. Bukan dirimu." Selesai mengucapkan itu Sakura tertawa. Naruto tersenyum miris. Sudah dapat diduga bagaimana akhirnya. Cinta itu bertepuk sebelah tangan.

"Sakura," panggil Naruto pelan.

Sakura menoleh. "Ya?"

"Jika kau harus memilih pada dua pilihan. Kau menikah dengan orang yang tidak kaucinta tapi ia mencintaimu begitu dalam dengan kau mencintai seseorang tapi ia tidak mencintaimu; kau hanya bisa menunggu tanpa kepastian, kau akan memilih mana?"

Mata Sakura membesar. Sungguh sebuah kejutan seorang dengan iq sedikit memprihatinkan seperti Naruto berkata-kata mengenai hal yang sulit dimengerti. Cinta? Bahkan Sakura pun sedikit bingung menjawab.

Cukup lama suasana hening, Sakura mendesah berat. "Entahlah." Matanya terpaku pada bunga dandelion yang terlihat merana tak jauh dari situ. Bunga itu terlihat sengsara pada perjuangannya terhadap musim yang tidak bersahabat.

"Pilihan yang sulit, heh?" Naruto terkejut.

"Antara membahagiakan orang lain dan ketidakpastian." Ada sarkasme pada perkataan Sakura. "Setiap orang yang berhati baik pasti akan memilih membahagiakan orang lain daripada menghabiskan hidupnya dalam ... entahlah, kesia-siaan?"

"Harapan. Harapan yang tak kunjung tiba," Naruto menyahut pelan.

Dua insan saling merindu itu sedang patah hati karena ketidakpastian. Mereka saling menunggu.

"Sakura," panggil Naruto lagi pelan.

"Ya?"

Naruto bergerak gelisah. "Orang-orang mencintaiku sejak perang shinobi berakhir." Ada jeda sejenak pada konversasi itu. Benak Naruto menggeliat setiap kali berkata soal mencintai. "Menurutmu, apakah ada dari mereka semua yang menyukaiku sejak ... sejak mereka semua membenciku? Tahu bahwa aku menjadi tempat tinggal monster?"

Sakura lagi-lagi terkejut. Gadis itu mampu merasakan celah kehampaan yang dialami sahabatnya. Rasa kepercayaan mengenai persahabatan memang Naruto berikan pada teman-temannya. Namun soal ini, cinta, Naruto tak pernah memberitahu isi hati itu padanya. Ia hanya tahu bahwa ada satu orang yang mencintai Naruto bahkan sejak mereka belum genap tujuh tahun. Gadis bermata menyeramkan. Nasib dibenci orang-orang yang sama persis dilalui Naruto. Gadis berambut indigo dan terlihat lemah padahal begitu kuat.

Hinata Hyuuga.

Apa Naruto tidak ingat sejak pertarungan melawan Pain dulu? Apa lelaki itu tidak ingat ada satu gadis yang rela mengorbankan nyawa demi ia yang dibenci banyak orang? Sebuah tanda tanya tak terjawab terbentuk. Naruto tidak pernah menyinggung ungkapan cinta Hinta pada siapa pun. Sakura malah curiga Naruto melupakannya.

"Naruto," ganti, suara Sakura memanggil Naruto. Lembut dan tegas berbaur membuat hati Naruto masih saja tergetar.

"Ya?"

"Ada seseorang yang begitu terhadapmu. Mencintaimu bahkan sejak semua orang menjauhimu."

Naruto terhenyak. Ia tahu siapa yang Sakura maksud. Seorang wanita bersurai biru gelap. Seorang wanita yang secara mengejutkan membuka perasaannya. Hanya saja ...

Naruto tidak mencintai wanita itu.

Naruto hanya menyukainya sebagai seorang sahabat.

Wanita hebat itu.

Hinata Hyuuga.

.

.

"Apa kakak tidak berniat untuk menikah?" gadis remaja itu menggoda kakak perempuannya yang sedang sibuk merajut. "Klan butuh penerus. Sebentar lagi kakak akan menggantikan ayah," katanya lagi.

Perempuan yang merajut itu tersenyum geli. "Menikah bukan soal karena penerus, Hanabi."

"Salah satunya untuk itu. Aku benar." Hanabi bersikeras.

Hinata tertawa kecil. "Baiklah, Tuan Putri. Kau benar. Lalu apa hanya untuk itu saja?"

"Bukankah kakak mencintai seseorang. Kakak cantik, seksi, pandai memasak, dan hebat untuk seorang shinobi. Siapa yang tidak mau menikahi kakak?" celotehnya.

Hinata berhenti sejenak dari kegiatan merajut. Memori beberapa tahun lalu kembali hadir. Memori saat ia pertama kali bertemu dengan seorang anak kecil yang membelanya saat sekelompok anak mencaci Hinata sebagai seorang monster karena matanya yang aneh. Memori itu bergulir cepat pada pertarungannya melawan Pein. Keberanian yang dibentuk bertahun-tahun membuncah ketika anak lelaki yang sudah tumbuh dewasa itu nyaris mati. Sebuah ungkapan cinta terpendam selama bertahun-tahun. Dan memori lagi-lagi bergulir sesaat setelah kematian Neji. Tangan hangat pemuda itu menggenggam erat tangan Hinata dan mengusir kesedihan teramat sangat atas kematian sepupunya.

Wanita itu tidak akan pernah berhenti memikirkan lelaki itu.

"Untuk menikah tidak cukup hanya mencintai dari satu pihak, Hanabi," jelas Hinata dengan sabar. "Perlu dua hati yang saling mencintai dan menjaga."

"Mustahil jika orang yang kakak cinta tidak mencintai kakak," sahut Hanabi.

Hanabi yang sudah cukup dewasa itu tahu bahwa seluruh perhatian kakaknya saat ini tertuju pada satu orang. Orang yang berhasil membawa Hinata lepas dari keterpurukan. Meraih kepercayaan tinggi dari sosok pemalu luar biasa. Hanabi sangat bersyukur akan kehadiran pemuda itu. Meski ia jengkel mengapa harus lelaki itu. Lelaki yang cukup idiot untuk tidak menyadari bahwa kakak perempuan satu-satunya yang dikasihi mencintai pemuda itu nyaris seumur hidup.

Hinata hanya tersenyum pada komentar adiknya itu. Hingga kini, Hinata pun tidak tahu apakah cintanya terbalas. Naruto masih saja diam. Tidak ada hal lain selain pekerjaan yang seringkali Hinata dan Naruto bahas ketika mereka bertemu. Ini membuat hati Hinata gamang. Perasaan terlunta-lunta tanpa kepastian. Haruskah gadis itu mengungkapkan perasaannya lagi untuk yang kedua kali? Padahal untuk berucap cinta membutuhkan waktu bertahun-tahun. Harus sampai kapan ia menunggu? Haruskah ia menunggu lagi hingga ia siap?

Menunggu lelaki itu, tentu saja. Hinata akan melakukannya.

Uzumaki Naruto.

.

.

Hanabi meraih hasil rajutan kakaknya yang belum selesai. "Apa pemuda bodoh itu masih belum paham juga tentang perasaan kakak terhadapnya?" Hanabi mendesah. Sedangkan Hinata bergeming. Matanya menatap jemari yang saling bertaut. "Pernahkah kakak lelah menantinya?"

Ia ingin. Ia ingin merasa lelah seperti yang diucapkan adiknya itu. Berhenti sejenak—atau mungkin selamanya. Tapi hatinya tidak pernah sekalipun mengizinkan.

Hanabi semakin jengkel menatap kakaknya hanya bergeming. Rasa cinta mampu membutakan siapa saja. Bahkan tidak peduli akan rasa sakit yang dihasilkan dari sebuah ketidakpastian. Jelas tidak masuk akal. Bahkan Hanabi tidak habis pikir mengapa kakaknya begitu repot mempertahankan rasa sepihak itu? Pernah sekali waktu ia mendengar bahwa cinta pun juga butuh logika. Jika perasaan selalu merasa sakit, Hanabi pun tidak akan pernah sudi melanjutkannya. Tapi hal itu akan berdampak lain jika menyangkut soal kakak perempuannya ini. Kakaknya akan menjadi luar biasa hening jika Hanabi menyinggung lelaki itu.

Uzumaki Naruto.

Sebuah ruangan terlihat sedikit padat karena diisi oleh lima orang yang memiliki kemampuan bertarung hebat. Ruangan itu masih berukuran sama sejak pertama kali mereka pernah memasukinya. Hanya mereka berlima saja yang semakin besar.

Seorang duduk di sebuah meja sambil memangku dagu terus berpikir. Cukup mengejutkan melihat tingkahnya yang jauh berbeda ketika ia masih mengikuti akademi chounin yang terkenal memiliki daya paham memprihatinkan.

"Aku memerlukan kalian untuk melakukan penyelidikan mengenai akatsuki," terangnya. Sebelah tangannya yang sebenarnya adalah tangan implan meraih map merah.

Salah satu dari mereka yang berdiri menghadap lelaki yang baru saja berbicara itu menyahut, "Naruto, bukankah semua anggota akatsuki sudah mati?" Lelaki dengan coretan warna merah dan sedikit berbau anjing itu menggosok dagunya; berpikir ini tidak masuk akal.

"Aku tahu, Kiba. Kita sudah melihat sendiri bahwa mereka tewas dalam perang shinobi," timpal sang Hokage. "Tapi anbu kita melacak sejumlah peristiwa aneh di daerah teritori Kazegake."

"Gaara?" Suara lembut dari wanita bermata putih pucat dan berambut indigo itu terkejut.

Naruto mengangguk. "Beberapa shinobi penjaga wilayah negara pasir menghilang tanpa jejak."

Suara lain—jauh lebih keras namun tetap feminim—menimpali, "Lalu mengapa dugaanmu mengarah pada kelompok akatsuki?" Itu adalah Sakura.

"Kau akan menyalahkan Orochimaru atau Kabuto?" Naruto membalikkan pertanyaan Sakura.

Sakura menggeleng. "Mungkin saja bukan akatsuki."

Naruto mendesah berat. Pekerjaan berat seorang Hokage nyatanya menguras pikiran terbatas yang dimiliki pemuda rambut kuning itu. "Anbu baru menduga karena ada sebuah lambang yang tergores. Lambang yang sama seperti anggota akatsuki miliki di lokasi kejadian hilangnya shinobi negeri pasir."

"Kau sudah mengontak Gaara, Naruto?" Rambut jabrik hitam dengan tingkat intelejensi tinggi itu bertanya. Sikap malasnya berkurang semakin ia dewasa. Berkurang sedikit. Setidaknya itu memengaruhi cara bicaranya saat seperti ini. Tidak menganggap segala hal menyusahkan.

"Tentu saja, Shikamaru," balas Naruto. "Tugas kalian ada beberapa hal. Oleh karena itu, aku akan membagi kalian dalam dua tim. Tim satu akan membantu Gaara untuk menyelidiki hilangnya shinobi. Dan tim lain segera selidiki setiap tindakan yang dilakukan Orochimaru dan Kabuto," perintah Naruto.

"Orochimaru dan Kabuto?" Sakura terkejut.

"Setiap orang perlu memiliki sikap skeptis, Sakura. Aku tidak ingin terkecoh dengan siapa saja yang mencoba mengangkat perang. Kita semua sudah kehilangan banyak orang yang kita cintai," kata Naruto bijaksana.

Tanpa beberapa orang sadari, Hinata menatap lantai sendu. Pikirannya kembali pada Neji. Perempuan itu tidak ingin ada perang. Sudah cukup rasa sakit karena kepergian salah seorang keluarganya itu.

Naruto memandang kedua sahabat lelakinya. "Shikamaru dan Kiba, kalian bertugas membantu Gaara." Kemudian tatapan Naruto berpaling pada dua wanita hebat sambil mengangguk. "Sakura, Hinata, dan aku akan mengawasi gerak-gerik Orochimaru dan Kabuto."

"Kau tidak harus terjun dalam pengawasan, Naruto," Sakura memprotes. "Kau harus ada di sini."

"Kita tidak bisa gegabah, Sakura," Naruto berkata penuh tekad. "Kita berhadapan dengan orang yang cukup pandai memanipulasi. Aku membutuhkan byakugan, medis, dan tentu saja Kurama untuk tugas ini jika terjadi sesuatu yang buruk."

Sakura diam. Tidak ingin memprotes hokage itu lagi.

"Kuharap ini segera berakhir," Naruto berkata pelan.

Semua orang meninggalkan ruangan Naruto dalam keadaan hening. Hinata adalah orang yang terakhir keluar dari ruangan itu. Sedari awal ia bahkan tak berani menatap Naruto langsung. Selalu ada desir yang sama saat ia menatap sang pujaan hati. Rasa rindu tak sampai pun juga dirasakan saat Naruto bahkan tak melihat ke arahnya. Perempuan itu gentar untuk memulai lagi. Memulai untuk menyatakan cintanya.

Selasar gedung pemerintahan begitu sepi. Sejumlah shinobi sibuk bertugas. Hinata berjalan sendiri setelah ia menghabiskan makan siang di sebuah kedai dan kembali bekerja. Tanpa sengaja ia melewati sebuah ruang yang pintunya sedikit terbuka.

"Aku belum mendengar apa-apa tentang Sasuke." Itu suara Naruto.

"Jangan banyak berharap padanya." Itu suara Sakura. "Lelaki itu paling ahli memberi harapan palsu pada siapa saja."

"Jika manusia itu tidak kunjung kembali, aku akan merebut hati Sakura!" setelah berkata itu, Naruto tertawa terbahak.

"Ya! Jika manusia berengsek itu masih saja berkelana tanpa peduli bahwa ada yang menunggu di sini, aku akan berkencan dengan hokage!" gelak tawa Sakura pecah.

Hinata berhenti cukup lama untuk mampu mendengarkan beberapa hal. Ia tersenyum tipis pada konversasi itu. Ia ingin tertawa bersama Naruto. Setelah perang berakhir seharusnya relasi Naruto dengannya akan semakin membaik tapi kenyataannya, ia hanya bisa mendengar Naruto dari kejauhan. Memori masa kecilnya kembali. Tatkala ia hanya bisa melihat Naruto dari jauh.

"Tawamu masih sama, Naruto-kun. Tawa yang membuat hatiku terus mencintaimu," gumam Hinata sangat lirih.

Beberapa langkah Hinata berjalan, sebuah suara memanggil namanya. "Hinata!"

"Sa-sakura!" Hinata terkejut. Ia takut kalau tertangkap basah mencuri dengan perbincangan antara Sakura dengan Naruto.

"Darimana saja kau?"

"A-aku baru selesai makan siang." Hinata merasa gugup. Baru saja Hinata akan membuka mulut lagi, Naruto berjalan di belakang Sakura. Lelaki itu menuju arah berlawanan. Punggungnya membelakangi Sakura dan dirinya. Kibaran jubah putih dengan motif api itu berkibar pelan seiring tiap langkah Naruto. Bahkan, Naruto tak melihatnya.

Hinata menggigit erat bagian dalam bibirnya untuk menghilangkan rasa kecewa dan pilu yang muncul. Apakah Naruto memang menjauhinya? Berpikir begitu, ia teringat akan celotehan Naruto dengan Sakura.

Jika manusia itu tidak kunjung kembali, aku akan merebut hati Sakura.

Naruto masih memendam perasaan itu. Rasa cintanya pada Sakura.

"Hei, Hinata!" Tangan Sakura melambai-lambai di depan wajah Hinata dan sontak, gadis yang rambutnya panjang itu mundur beberapa langkah.

"A-aku harus segera pergi. Kiba dan Shino menunggu. Maaf, Sakura." Hinata bahkan sudah berlari sebelum Sakura membalasnya.

Mengubah perasaan cinta seseorang tidak mudah.

Bersambung

Catatan penulis : Ini adalah fiksi penggemar multichapter pertama yang saya unggah. Terimakasih berkenan membaca. Boleh review? (Cerita sebelumnya saya hapus karena disclaimer yang tidak muncul padahal sudah saya save di doc manager. Harap memaklumi karena saya masih baru menggunakan jejaring ini.) Jika ada pertanyaan seputar pairing dalam cerita ini, saya mengikuti pola yang digunakan oleh Master Kishimoto. Naru-Hina dan Saku-Sasu. Sekalilagi, berkenan memberitahu saya bagi yang sudah lama di jejaring ini untuk menginfokan kesalahan apa saja yang ada dalam tulisan tersebut.