Eunoia
.
Kadangan hal yang paling susah dilakukan manusia adalah memandang manusia lain sebagai manusia.
Walau fakta bahwa aku lebih sering dilihat sebagai sampah ikut mempengaruhi pemikiranku
Tapi jujur, hal itu sering terjadi
.
Arc II: Beragam Masalah Himejima Akeno
Chapter II: Sore Yang Seperti Semburat Wajah Himejima Akeno
.
2.1
.
Oke, aku tahu aku itu tak ganteng.
Wajahku di bawah standar dan punya kemampuan unik untuk membangkitkan emosi seseorang.
Tubuhku walau lumayan tinggi, tapi selalu membungkuk, jadi bukannya gagah malah keliatan seperti kacang kecambah kurang sinar matahari.
Bahkan rambut pirang dan mata biru yang biasanya bisa mengangkat penampilan si empunya, tak banyak membantu. Malah, ia melengkapi ketidaksempuraan penampilanku dan membuatku terlihat seperti yankee pemabuk suka marah yang kerjaannya cuma buat onar.
Nilaiku memang bisa dibilang lumayan.
Aku masuk sepuluh besar saat tes masuk kemarin dan berhak mendapatkan beasiswa secara cuma-cuma.
Menjadikan uang yang harusnya kubayarkan untuk sekolah bisa kugunakan untuk berkencan dengan Naruko.
Ah iya, ngomong-ngomong aku sudah lama tak kencan dengan adikku. Sejak ada masalah dengan senior bangsat ketua Klub Basket itu waktuku dengan Naruko jadi sering kepotong.
Tapi, walau aku masuk sepuluh besar, setidaknya sampai detik ini, tak ada yang peduli.
Jadi, itu bahkan tidak mengubah apapun.
Aku takkan seujug-ujug menjadi pujaan satu sekolah hanya ketika namaku terpampang di urutan ketiga atau keempat di papan pengumuman hasil tes.
Apalagi, mengingat apa yang telah kulakukan pada cowok idaman mereka.
Bahkan, mungkin ketika aku berhasil mengalahkan nilai Sitri -yang mustahil bisa dikalahkan, dan menempati ranking satu, semuanya takkan peduli.
Khususnya anak-anak basket sialan yang selalu merepotkanku dengan mengeroyokku setiap sore.
Walau aku tak peduli dengan semua itu -asalkan Naruko tak membenciku, keadaan saat ini agak membuat otakku melakukan utilisasi seratus persen.
Secara singkat, aku ulangi lagi, aku itu jelek, dan sama sekali tak punya poin positif,
Tapi, faktanya, sekarang aku sedang dalam posisi yang sama sekali bahkan tak pernah kupikirkan sebagai seorang pembenci sosial.
Seorang cewek yang cantiknya nggak tanggung-tanggung sedang bilang dengan wajah yang memerah: "Su-sudah lama aku me-menyukai Uzumaki-san! Kumohon jadilah pacarku!"
Tidak, tidak, tidak.
Apaan dengan suasana ini!
Menimbang semua pencapaian burukku di sekolahku ini akibat guru ubanan sialan itu, hal paling mustahil yang bisa terjadi dalam hidupku tiga tahun ini adalah aku disukai seorang cewek.
Maksudku, jikapun aku menjadi seseorang yang pasif dan tak pernah terlibat masalah apapun, kemustahilan itu tetap sama tingginya. Tapi setelah aku dengan tidak elegannya mengalahkan seorang idola sekolah, kemustahilan itu jelas sudah menembus batas.
Situasi seperti ini jelas ada di luar perkiraanku. Memang sih, aku sudah sering diberi surat cinta, tapi biasanya punya kedok di belakangnya, yang ujung-ujungnya cuma surat tantangan yang bikin dongkol.
Tapi ini beneran cewek.
Berapem, bukan berpentung.
Ayolah, Uzumaki… pikirkan apa yang terjadi di sini!
Apakah masa kepopuleranku sudah tiba?
Kok jadi geer gini.
Oh iya, tadi Bu Rossweisse bilang sesuatu tentang klub. Tentang seorang siswi yang tak ikut ekskul apapun dan menjadi korban dari kekacauan yang sedang terjadi.
Walau aku jujur tak terlalu paham akan situasinya, tapi ada kemungkinan juga itu terjadi.
Pasti itu!
Eh, tapi tunggu. Aku juga punya firasat lain.
Sebagai seorang penyendiri yang terasing dari sosial, aku punya kemampuan yang sudah terlatih dari perilaku bertahun-tahun. Karena aku tak pernah masuk ke dalam sosial, aku punya kebiasaan mengamati sekeliling untuk mengisi waktu. Setelah kurang lebih sepuluh tahun aku mengamati orang lain, sedikit banyak aku tahu bahasa tubuh mereka.
Wanita yang sudah aku lupa namanya ini sejak tadi menggenggam tangan dan enggan menatap wajahku. Dari sudut pandangku yang lebih tinggi darinya, aku bisa melihat dengan jelas bola matanya selalu bergerak, dan cenderung ke kiri.
Ah.
Dia sedang berbohong.
Ada yang memaksanya melakukan ini.
Kembalikan rasa geer-ku, dasar pemberi harapan palsu!
Sekarang semuanya jelas.
Dia benar-benar terpaksa melakukan ini karena ancaman dari seseorang.
Jadi, setelah menghilangkan harapan kalau aku akhirnya mencapai masa kepopuleran di SMA seperti kebanyakan orang, yang sangat sedikit di otakku, kugenggam pundaknya.
"Bilang padaku, siapa yang mengancammu sampai kau rela melakukan hal ini!"
Akan kuhajar orang itu, karena sudah membuatku berpikir yang tidak-tidak!
Seorang Uzumaki adalah pemegang janji terbaik!
Yah, walau dalam keadaan genting aku rela tidak disebut Uzumaki.
Tapi, jujur, sekarang adalah kali pertama di SMA ini rasa emosiku tidak disumbangkan oleh Sitri, Bu Rossweisse dan ibuku yang durhaka.
"Eh?!" setelah ia kupegang pundaknya, ia terpaksa bertatap muka deganku. "Ta-"
"Jangan takut, mukaku emang bawaan lahir begini."
Hei, kau baru saja menembakku 'kan?!
Jangan menangis hanya karena takut pada wajahku, dasar tidak sopan!
Bagaimana kalau tadi aku tidak bisa berpikir jernih, dan dengan gobloknya mengiyakan pernyataan cinta (palsu)-mu itu!
Entah kenapa, hanya memikirkannya saja sudah membuatku seolah menjadi seorang antagonis di doujin NTR.
"Ma-maaf."
Dengan wajah yang jelas sekali masih menampakan ketakutan, dia menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya.
"Hm. Kalau kau sudah lebih tenang, tolong jelaskan apa yang membuatmu mengambil rute seberbahaya ini?"
Dan apapun itu, itu jelas sesuatu yang serius.
"Te-tentu, i-itu, ka-karena, a-ku suka pa-da Uzumaki-san."
Wah, cewek ini ngeselin.
Masih ngeyel aja.
Aku terima cintamu baru tahu rasa, kau nona muda.
Padahal wajahnya, bahkan ketika ia sudah tenang, masih terang-terangan menunjukan kalau ia takut padaku.
"Aku tak tahu namamu, tapi demi apapun, tolong katakan siapa yang membuatmu melakukan ini semua."
"Ng-ngak. Nggak ad- hi!"
Tuh kan, aku cuma mendelik dikit aja dia udah njerit kaya lihat hantu.
"Hah…" aku menghela napas. "kalau kau memang tak mau bilang siapa yang membuatmu melakukan ini, mari anggap kau beneran menyatakan cintamu padaku."
Saat aku bilang begitu, aku bisa melihat air mukanya berubah. Antara lega, dan menyesal secara bersamaan.
Hei, tenang saja nona. Aku juga tak sebodoh itu.
"maka daripada itu, berikan aku waktu untuk menimbang pernyataan cintamu."
Aku beneran harus mendiskusikannnya dengan Sitri.
Bagaimanapun, kalau dugaan Bu Rossweisse benar, ia sedikit banyak juga terlibat.
"Ba-baiklah. Ba-bagaimana kalau besok?"
Oh, kau sungguh tidak sabaran nona.
Tapi… "Oke. Besok, sehabis sekolah kau dan aku bertemu di sini!"
Dan setelah aku melepaskan pundaknya, ia langsung balik badan dan lari menjauh dariku.
Beneran, kalau tadi aku ke-geer-an dan menerima cinta (palsu)-nya aku tak tahu bagaimana ini akan berlanjut.
.
2.2
.
Saat aku turun dari atap, hal pertama yang kulakukan adalah menuju komplek belakang sekolah dan memasuki sebuah gedung yang terlihat agak mengerikan.
Dengan sedikit tenaga, aku memutar gagang pintu masih terasa dingin itu.
Pintunya sudah mulai berkarat, meskipun belum pada tahap di mana itu harus diperbaiki, namun butuh sedikit usaha ekstra untuk membukanya.
Sejak Gremory masuk ke klub tak jelas ini, ada banyak perubahan yang datang ke gedung ini.
Pertama, musim dingin yang selalu hampir membunuhku dan Sitri sekarang tak terlalu beda dari musim lain. Penghangat ruangan sudah terpasang. Bahkan kalau nanti musim panas klub ini mengadakan agenda, aku dan anggota lain takkan khawatir akan panasnya cuaca karena sistem pendingin ruangan juga sudah terpasang.
Kedua, kalau dulu apa yang bisa disajikan hanya minuman, meski kualitas terbaik, sekarang hampir semuanya ada. Masalahnya klub ini sudah punya kulkas yang entah bagaimana selalu berisi penuh tak peduli aku -Uchiha juga kadangan, makan sebanyak apa.
Ketiga, ada sekat baru di lantai bawah.
Dan banyak perubahan-perubahan lainnya.
Proposal yang klub ini tulis entah bagaimana selalu diterima kalau Gremory yang mengajukan. Mungkin statusnya sebagai pemilik sekolah agak berpengaruh, ditambah proposalnya selalu ditulis Sitri yang entah bagaimana selalu bisa membuat proposal yang sebenarnya tak penting bisa menjadi penting.
Maksudku, siapa yang butuh seket ruangan di klub yang hanya berisi tiga orang?
Tapi itu diterima.
Walau aku tak yakin bagaimana caranya.
Dasar nepotis!
Bodo amat sih. Aku bukan tipe orang puritan juga.
Selama klub ini tak jadi lebih mengerikan dari Alcatraz, aku tak masalah. Malah, aku bersyukur dengan perubahan ini. Setidaknya waktu yang kuhabiskan selama kurang lebih satu jam setengah di ruangan ini tak lagi semengerikan dulu.
Saat aku mengingat satu setengah-satu setengah jam yang dulu kuhabiskan berdua hanya dengan Sitri di ruangan yang bukan hanya dingin secara kiasan namun juga harfiah ini, tulangku malah mulai merinding.
Dan dengan itu aku mulai berjalan menaiki tangga.
Hari ini lumayan panjang.
Diejek oleh ibuku sendiri, berdiskusi dengan Bu Rossweisse yang kerjaannya bikin masalah, sampai ditembak (bohongan) oleh cewek.
Mari berharap takkan ada masalah lagi setelah ini.
Saat aku masuk ke lantai kedua, tempat klub beraktifitas, hal pertama yang kulihat adalah dua cewek yang sedang menikmati kesibukan masing-masing.
Yang berambut merah sedang sibuk dengan ponselnya.
Sementara yang rambut pendek sibuk dengan novel.
Tak ada yang menyambut kedatanganku.
Karena sudah biasa begini, dengan santai kemudian aku duduk di bangku ujung meja tempat biasanya aku duduk.
Saat aku mulai menarik kursi, mereka bahkan tak sadar aku ada di sana.
Dengan perlahan kemudian aku mulai duduk dan membuka tasku.
Kemarin aku beli komik baru, dan dari sampulnya sih agak menarik.
Tanpa mengganggu mereka, aku mulai membaca.
Hari ini harusnya sih jadwalnya Gremory yang buat teh, tapi karena aku datangnya telat mungkin nanti aku buat teh sendiri.
Ruangan ini tetap senyap untuk beberapa menit.
Setidaknya sampai Sitri mengambil cangkir teh dan dengan tak sengaja menatapku.
"Oh, Uzumaki-kun. Sudah dari tadi?"
"Hn. Setidaknya dari sepuluh menit lalu."
Gremory yang masih asyik dengan ponselnya juga kemudian menatapku. "Loh, kok aku nggak sadar?"
"Kepekaanmu terhadap sekitar berarti masih rendah, Gremory."
"Eh?! Aku ini punya kepekaan sosial tinggi lho! Buktinya kawanku lebih banyak darimu."
Tunggu, siapa yang bilang kepekaan sosial? Dan jangan bangga-banggakan keahlian khusus spesies riajuu-mu itu di depanku.
Tapi sebelum aku sempat menayakan itu, Sitri dengan tidak sopannya menyela. "Tenang saja, Gremory-san, bukan kepekaanmu yang rendah. Tapi memang bakat Uzumaki-kun yang telah terlatih dari kecil yang membuatmu tak bisa merasakan auranya."
"Aku memang sedari kecil punya firasat kalau aku ini mirip-mirip intel."
Tumben Sitri bicara baik soal-
"Karena sedari kecil ia tak punya siapapun untuk diajak berkelompok, dan hanya jadi karakter tanpa wajah seperti di komik-komik remaja, jadi kau takkan mudah untuk menyadari dirinya bahkan ketika ia ada di sampingmu." ia menatapku dengan tatapan yang membuat tanganku gatal. "aku hanya penasaran seberapa banyak wanita yang sudah jadi korbanmu, Muttsulini-kun?[1]"
-ah, aku harusnya bisa menduga ini.
"Aku ini tipe orang yang tahu bagaimana cara menggunakan kemampuan sebaik-baiknya. Jadi, meskipun aku dianugerahi bakat seluarbiasa itu aku akan menggunakannya untuk kebaikan." memfoto Naruko ketika tidur misalnya.
"Itu juga yang dikatakan oleh para politikus ketika kampanye."
"Aku tak tertarik politik. Jadi omonganku bisa kau pegang."
"Oh. Lalu apa kau bisa menjelaskan foto wanita pirang yang sedang tertidur di ponselmu?"
"Itu adikku! Dan dari mana kau tahu foto itu?!"
Sitri sialan, suaraku jadi naik.
Padahal aku mengharapkan sore yang tenang.
Lagipula, apa kau tahu melanggar privasi seseorang bukanlah hal yang sopan? Dasar tidak sopan!
"Semua orang akan tahu kalau kau menjadikan foto itu sebagai layar kunci, layar utama, layar menu, bahkan kau sering senyum-senyum tak jelas saat menatap foto itu. Siapapun itu, tolong cepat akui kesalahanmu padanya, dan beristirahatlah di sel tahanan dengan tenang."
Kok orang ini nyebelin gini…
"Kubilang sekali lagi, Sitri. Itu adikku, dan sebagai kakak sudah kewajibanku untuk merekam pertumbuhannya. Tak ada yang salah di sini, tak ada undang-undang yang melarang itu."
"Wha… kau terdengar seperti ayah mesum yang suka berbuat mesum pada anaknya sendiri, dasar mesum!"
Gremory yang dari tadi menatapku sama jijiknya dengan Sitri juga mulai bicara.
Lagian, bukannya kau kelebihan kata mesum?
"Selama masih menjadi konsumsi privat hal tersebut bukanlah masalah."
Selain itu, aku takkan membiarkan siapapun mengumbar keimutan Naruko saat tidur dalam bentuk apapun. Jadi takkan terjerat undang-undang pornografi.
"Wha! Orang ini mesumnya udah akut!"
"Gremory, sekali lagi, merekam pertumbuhan adikku sendiri bukanlah hal yang mesum."
Gremory terdiam. Tapi, sorot matanya mulai membuat hatiku sakit.
Hei, beneran lho, aku ini bukan orang mesum.
"Uzumaki-kun, bertobatlah."
"Jangan tatap aku seperti aku ini pendosa yang bahkan tak pantas diampuni! Dan jangan alihkan pandanganmu dariku, woi!"
Aku mungkin kelewatan ketika memfoto Naruko tanpa izinnya.
Tapi sumpah, aku ini nggak mesum!
.
2.3
.
Aku mulai berdiri.
Setelah memberi tanda pada komik, aku berjalan menuju dapur.
Gremory dan Sitri kembali ke kegiatan mereka lagi. Satu sibuk dengan ponselnya dan kadangan ketawa sendiri, satunya lagi sibuk dengan novel.
Bu Rossweisse sering bilang padaku kalau Gremory pasti akan membawa perubahan pada klub ini.
Karena faktanya dia itu riajuu dan punya kelebihan dan bersosialisasi dibanding aku dan nona tampang tembok itu.
Aku tak bisa menyangkal itu sih.
Tapi faktanya, adanya Gremory hanya punya sedikit pengaruh dalam perubahan suasanan klub ini.
Setidaknya, klub ini tak hanya diisi oleh dua orang penyendiri yang suka lempar ejekkan.
Hanya itu.
Rencana Bu Rosweisse seperti biasa, hanya teori yang gagal dalam tahap pengujian.
Gremory adalah seorang riajuu, yang secara alamiah adalah musuh penyendiri. Ini seperti menempatkan kucing persia di kandang anjing liar. Bukannya menjadikan anjing jadi jinak, malahan kucing tadi bisa-bisa ikutan liar.
Pada awalnya dia mungkin memang banyak bicara.
Tapi karena responku dan Sitri yang minim, dan malah dengan jelas menampakkan wajah terganggu, lama-lama dia bosan sendiri.
Sekarang dia hanya bicara kalau aku atau Sitri yang mulai.
Aku sih tak terlalu perduli.
Malah, semakin tenang tempat ini, semakin betah aku di sini.
Aku terus berjalan menuju dapur.
Air panas hasil rebusan Gremory di teko sudah dingin, dan memaksaku untuk merebus air lagi.
Kuambil teko di atas kompor itu, membuang air di dalamnya dan mengisinya dengan air yang baru. Kunyalakan kompor dan kutaruh kembali teko itu di sana.
Karena pembimbing klub ini punya kegemaran membawa teh ke sini, aku dan anggota lain punya stok teh yang lumayan banyak. "Tapi kalau cuma teh setiap hari kayaknya nggak asyik juga, deh..."
Mulai dari awal aku masuk ke klub ini, tak ada minuman lain yang kuminum selain teh.
Kualitasnya emang nggak bisa ditanya sih... tapi, bosen juga lama-lama.
Mungkin lain kali aku harus bawa kopi.
Hn, ide bagus.
Lagipula, tak diragukan lagi aku butuh kafein agar tidak cepat tua ketika menghadapi manusia seperti Sitri.
Baiklah, nanti pas pulang aku akan minta Naruko untuk memilihkan kopi yang paling pas untuk menjaga pikiran tetap tenang meski kau ingin meninju orang.
Bersamaan dengan itu, suara nyaring didihan air mulai terdengar, dan dengan buru-buru aku segera menyiapkan gelas untuk diisi dengan teh serta gula. Kumatikan kompor dan menuangkan air panas dari teko ke dalam gelas.
Setelah kuaduk, kubawa teh itu ke luar dapur.
Panas di gelas itu mulai menyebar, dan memaksaku untuk berlari kecil.
"Ah, maaf, Uzumaki-kun, kau jadi harus bikin teh sendiri."
Saat aku meletakan teh itu di meja, Gremory yang hari ini piket mengatakan itu. "Tak apa. Lagian ini salahku juga..."
"Oke deh." dia berhenti sebentar. "tapi tumben telat. Biasanya yang paling pertama ke sini kamu."
Hei, apaan ekspresimu itu.
Aku tahu aku ini nggak punya teman, tapi jangan tatap aku gitu juga kali.
Sitri yang mulai tertarik dengan pembicaraanku dan Gremory, mulai mengalihkan perhatiannya. Kutebak ia punya ide lagi untuk mengejekku.
Sembari menengguk tehnya, aku bisa melihat dengan jelas ia sedang memikirkan kalimat apa yang kira-kira akan ia gunakan untuk menyakitiku.
Jadi, sebelum itu terjadi, aku bicara duluan.
"Ada cewek yang nembak aku."
Singkat, padat dan jelas.
Tapi aku tak pernah tahu kalau kalimat itu punya pengaruh yang tak pernah kubayangkan.
"UHUK, UHUK, UHUK- ADUH BUKUKU BASAH!"
Itu dari Sitri.
Sementara dari arah Gremory, aku bisa mendengar suara kletak yang lumayan keras. "PONSELKU!"
Hei, Sitri-san, Gremory-san, sekedar informasi, reaksi kalian agak bikin aku sakit hati lho.
"Hei, aku juga tahu kalau aku punya banyak kekurangan. Tapi, bisa nggak sih jangan berlebihan nanggapinnya? Hoi, kalo orang ngomong dengerin!"
Sitri masih sibuk dengan bukunya sembari terbatuk-batuk, dan Gremory masih meratapi ponselnya yang baru saja terjatuh.
Dari wajah mereka tergambar jelas kalau mereka masih syok.
Orang-orang ini...
"Aku tahu kalau setiap orang punya mimpi, uhuk, tapi aku tak pernah mengira kalau kau sudah sampai ke tahap itu, Uzumaki-kun. Sadarlah, hadapi duniamu!"
"Hn, Sitri-chan bener. Lagian, walau aku tahu aku penyebab dirimu jadi begini, tapi sadarlah Uzumaki-kun. Berpimpi hanya akan mengobatimu sesaat..., rasa sakit itu akan terus ada."
Aku beneran butuh kopi.
Sumpah, entah kenapa tanganku gatel sekarang.
"Aku nggak mimpi! Lagian Gremory, aku begini sudah dari SD, jadi jangan tatap aku dengan wajah memelas seperti itu!"
Huh, kayaknya keputusanku untuk menunda pembicaraan dengan Sitri dan langsung menghadapi cewek kucir kuda itu agak salah.
Kalau mereka lihat secara langsung bagaimana aku ditembak (secara palsu), semuanya takkan jadi seperti ini.
"Oh iya, aku masih punya suratnya kalo nggak salah."
"Dunia itu memang kejam, Uzumaki-kun. Terkadang ketika kita terlalu sering melihat sesuatu yang menyakitkan kita akan terbiasa dan malah menganggap hal tersebut sebagai hal yang menyenangkan." Sitri sepertinya sudah sembuh dari batuk. "Simpan saja surat itu, aku percaya padamu. Yang aku ingin kau lakukan adalah bangun, dan hadapi duniamu."
"Ini bukan surat tantangan kayak biasanya, oi! Ini beneran."
"Uzumaki-kun, aku tak pernah menyangka pengalaman burukmu berurusan dengan klub basket bisa membuatmu seperti ini..., dari lubuk hatiku aku beneran minta maaf!"
"Delusi itu bisa disembuhkan, kok. Tenang saja, Uzumaki-kun."
"Benar! Semua itu hanya imajinasi yang perlahan akan menyakiti dirimu sendiri. Sadarlah!"
Bisa nggak sih kalian nggak sekongkol bikin aku tambah dongkol?!
"Ini surat cinta beneran! Ah...! Mana lagi tadi? Bangke!"
Kalau nggak salah tadi kumasukkan ke saku.
Apa sudah aku masukkan tas ya?
Kuambil tasku dari bawah kursi dan merogoh isinya.
Rencanaku seharusnya, sebelum aku menemui cewek pemberi harapan palsu itu aku datang dulu ke klub ini.
Tapi karena aku terlalu santai, dan beranggapan seperti mereka, aku tak melakukan itu.
Maksudku, mana mungkin orang kayak aku disukai sama cewek?
Bahkan kalau aku adalah satu-satunya cowok di sekolah perempuan konglomerat dan dijadikan sampel orang biasa, aku tak yakin ada cewek yang mau mendekatiku.[2]
Jadi dengan dugaan kalau surat itu pasti palsu, aku dengan percaya diri datang ke atap.
Dan...
Yah, seperti yang kita tahu.
Ternyata ada cewek beneran yang menungguku di sana.
Walau aku akhirnya tahu kalau itu palsu, sih.
Tapi jujur agak kicep juga sih awalnya.
Ishh, jugaan mana lagi itu surat?!
Di saku nggak ada, di tas nggak ada, apa ketinggalan di kelas?
Nggak kayaknya, deh.
Sehabis kubaca di ruangan Bu Rossweisse, perasaan tak kukeluarkan lagi.
Aku bukan perjaka bego yang mendadak jadi idiot akibat sirat cinta pertamanya, seperti di anime-anime romcom.
Walau aku perjaka sih.
Jadi aku tak menyentuh dan bahkan cenderung tak peduli dengan surat itu lagi sehabis aku membacanya.
Di mana?
Dua cewek sialan ini masih menatapku dengan melas, lagi...
Aku tak tahu bagaimana jadinya sakit hatiku nanti kalau aku tak bisa menunjukkan surat itu.
Kami-sama, Hotoke-sama, Naruko-sama, bantulah hamba-Mu ini!
Dan tak berselang lama dari doaku pada Dewi Naruko, mukjizat-Nya yang agung langsung menyelamatkanku dari mulut biadab dua cewek sialan ini.
Seorang wanita dengan rambut putih berkilau datang dengan derap langkahnya yang anggun.
Suara hak sepatu yang menendang keramik berderap pasti.
Dan dengan suaranya, dia menghentikan usaha Iblis Sitri yang bersiap untuk membuka mulutnya lagi untuk menenggelamkanku dalam lautan emosi.
Bagai sabda kata-kata itu terngiang di kepalaku.
"Nyariin ini surat, Uzumaki? Untung aku lihat pas jalan ke sini."
Jemari tangannya mengapit sebuah surat yang bisa membuat pengaruh jahat Iblis Sitri terhenti.
"Rossweisse-sama!"
.
2.4
.
"Sudah kuduga."
Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Sitri ketika Bu Rossweisse menjelaskan apa yang terjadi pada cewek berkucir kuda hingga kenapa ia menembakku.
"Hn. Uzumaki-kun ditembak cewek jelas adalah hal terakhir dari apa yang bisa kubayangkan."
Dan itu dari Gremory.
"Tapi faktanya aku memang ditembak cewek."
"Walau kau harus menambahkan kata bohongan setelah kata ditembak, Uzumaki."
"Setidaknya biarkan dia berkhayal, Bu. Kenyataan memang terkadang menyakitkan."
"Aku tahu! Dan bukannya yang menyuruhku untuk bangun dari mimpi itu kau, Sitri!"
"Benar, aku tak menyangkalnya. Namun setelah mendengar apa yang terjadi, aku tak akan melarangmu untuk berkhayal."
"Lagian, berkhayal asal tidak berlebihan baik untuk kesehatan, kok."
Sekarang aku mulai berpikir kalau Gremory punya kemampuan membuat orang sakit hati sama dengan Sitri.
Setiap kali aku salah ucap, dua orang ini langsung membuliku.
Awas saja, kalau nanti ada kesempatan, akan kubuat kalian menangis.
"Tapi, mari kesampingkan imajinasi Uzumaki. Yang terpenting sekarang, bagaimana kita harus menanggapi Himejima-kun."
Bu Rossweisse, sekedar informasi, ucapanmu barusan membuat imajinasiku terkesan laknat, lho.
Aku bukan perjaka yang kerjaannya masturbasi dan kemudian secara ajaib disukai banyak cewek![3]
Walau aku perjaka sih.
"lagian, Uzumaki... bukannya masalah seperti ini harusnya didiskusikan di klub dulu. Dipikir-pikir juga klub ini punya pengaruh dalam kesuliatan yang dialami Himejima-kun."
"Dan Ibu punya pengaruh yang paling besar."
Kalau ia tak secara tidak langsung memaksaku untuk berantem dengan Kak Taayama, klub ini nggak bakal punya tanggungan apapun.
"Ya deh. Sebagai pembimbing aku mengaku salah."
Woa... apaan kata-kata sebagai pembimbing itu?
Jadi kau mau lempar batu sembunyi tangan?
Dasar tidak bertanggung jawab!
"Tapi memang aku sempat kepikiran itu. Tapi aku kemudian sadar, bagaimana mungkin orang kaya aku ditembak cewek. Jadi aku datang ke atap. 'Ah, palingan juga cuma orang iseng yang ngajak berantem.' itu pikirku."
"Tapi kau salah."
"Hn. Aku mengaku kalau itu."
"Yah, kalau jadi Uzumaki-kun aku juga bakalan kepikiran kayak gitu juga sih..."
Liat, dari awal aku nggak berdelusi!
Aku itu tipe orang yang sadar diri, tahu!
"Bukannya menghajar semua klub dan menjadikan klub ini di tingkat atas hierarki klub adalah pilihan yang paling pas?"
Pas gundulmu!
"Kalau kau dan Sitri mau melakukannya, aku mah ikut aja. Tapi kalau aku sendiri, ogah!"
Berantem dengan anak basket sudah bikin soreku jadi buruk.
Makasih, tapi aku nggak mau nambah.
"Oh ayolah... Bukannya dengan itu, kau bisa membuka pintu masa muda yang cemerlang? Akan ada banyak cewek yang terpesona denganmu dan kau bisa jadi harem king di sekolah yang mayoritas cewek ini."
Entah kenapa aku merasakan nada ejekkan sangat kental di kalimat Gremory barusan.
Hei, aku tak seputusasa itu!
Lagian, aku haqqul yaqin, bukannya terpesona malah cewek-cewek akan semakin jijik dan takut padaku.
"Makasih banyak. Tapi tetep nggak."
"Tapi jujur, Uzumaki, aku juga masih kepikiran ide itu." jangan ikut paksa aku Bu!
"Sekali nggak, ya nggak!"
Ngebet amat sih!
"Yah, untuk kali ini aku agak mengerti perasaan Uzumaki-kun. Gremory-san, Bu Ross, sebagai orang yang biasa hidup dalam kesendirian, mengalami perubahan seratus persen dan membuatmu harus hidup dalam sosial secara terpaksa jelas ide yang buruk."
Oke, untuk jaga-jaga aku akan anggap orang ini bilang seperti itu sebagai sesama penyendiri.
"Lagian, bukannya hal itu hanya akan membuat sekolah ini semakin buruk. Sosok pemimpin, seperti Kak Takayama harusnya memang tak ada dari awal. Langkah klub ini untuk menggulingkannya sudah tepat. Setiap klub harus bekerja sebagaimana mekanisme sekolah. Tak ada perbedaan antara klub mayoritas, dan punya pengaruh, dengan klub minor yang tak punya pengaruh."
Whaa, kau seperti orator paham utopis dari Jerman, Sitri-san...
Lagian apa kau berencana jadi ketua OSIS? Kepedulianmu terhadap sekolah ini tak pernah kusangka sebesar itu...
Dan, eh, tumben ia tak mengejekku?
"Ma... Benar kata Sitri sih. Kalau misal klub ini sudah ada di atas, dan menerima setir kepemimpinan dari Klub Basket, lalu muncul orang yang lebih kuat dariku, maka kekacauan ini akan terulang kembali. Dan orang-orang seperti cewek kucir kuda itu akan terus muncul."
"Masuk akal."
Bu Rossweisse yang mengatakan itu. Tapi Gremory nampaknya setuju dengan itu.
Lalu dalam beberapa menit kemudian, klub ini terdiam.
Bu Rossweisse yang duduk di atas kursiku dan minum teh yang kubuat (keduanya dia ambil secara paksa, dan membuatku harus mengambil kursi dan bikin teh lagi), sekarang tampak sedang dalam mode berpikir.
"Jadi, apa kau ada ide lain Uzumaki?"
"Ada sih. Aku agak kepikiran tentang sesuatu yang bisa membuat semua orang damai."
"Dan apakah itu?"
"Saat aku ditembak sama cewek tadi, dari ekspresinya aku bisa melihat kalau ia seratus persen berbohong. Pasti ada alasan kenapa ia berbohong. Sesuatu yang memaksanya. Seseorang. Makanya, kenapa tidak dicari saja pembuat masalah ini, lalu setelah ketemu suruh dia untuk melepaskan cewek tadi."
Dibandingkan hipotesa Bu Rossweisse, aku menyimpulkan hipotesaku sendiri.
Selain terpaksa karena keadaan sekitar, pasti ada seseorang yang memaksanya untuk menembakku secara khusus. "Maksudku, bisa dibilang aku ini pilihan terakhir kan? Menyimpulkan kalau dia menembakku hanya untuk mencari perlindungan adalah hal yang aneh."
Motif pemaksa itu aku tak tahu, tapi jelas bukan hal yang baik.
"Ucapanmu ada benarnya sih, Uzumaki. Tapi hal itu hanya akan menyelesaikan masalahmu, bukan masalah klub di sekolah ini."
"Yah, aku tak bisa membantah itu sih."
"Lalu, Sitri, bagaimana menurutmu?"
Gremory dan aku sudah, berarti Sitri yang terakhir.
"Akar masalah dari permasalah ini apa sebenarnya?" pernyataan itu retoris sepertinya. Jadi tak ada yang menjawab. "kekacauan karena klub-klub di sekolah ini kehilangan pemimpin tunggal."
Tak ada yang menyelanya.
"Tapi, kalau solusinya adalah mengangkat Uzumaki-kun sebagai pemimpin baru, jelas bukan solusi. Kita butuh sesuatu yang lebih kuat, dan punya pondasi. Ya, jalan satu-satunya adalah restorasi OSIS. OSIS sekolah ini sudah lama lesu, dan harus segera diperbaiki."
Futuristik sekali, nona muda ini.
"Restorasi OSIS memang jalan paling nyata, Sitri-kun. Tapi yang jadi masalah, apakah kita mampu?"
"Tentu saja. Tampuk kepemimpinan OSIS akan berganti beberapa bulan lagi. Jika kita bisa masuk ke dalam daftar pilihan ketua, dan terpilih, maka merestorasi OSIS bukanlah hal yang mustahil."
"Tapi itu masih beberapa bulan lagi, Sitri-kun."
"Iya sih. Tapi bagaimanapun, itu cara yang paling efisien."
"Benar sekali. Itu mungkin bisa kira jadikan rencana jangka panjang. Namun kita butuh rencana jangka dekat, untuk setidaknya menangulangi masalah Himejima-kun."
"Bu, gimana kalau kita pakai dulu cara Uzumaki-kun?"
Gremory mulai bicara.
"Coba jelaskan maksudmu?"
"Hipotesa Uzumaki-kun jelas masuk akal. Pasti ada seseorang yang memaksa Himejima-chan untuk menembaknya. Kira cari orang itu, nah, setelah ketemu, pasti dia punya berbagai informasi, yang bisa kita gunakan. Kita interogasi dia, korek informasi darinya. Kekurangan data ini yang membuat kita sulit menentukan cara bertindak."
Wah, aku tak pernah menyangka gal seperti Gremory bisa bilang sesuatu yang aku dan Sitri tak pernah pikirkan seperti itu.
Lain kali aku harus lebih mempertimbangkan usulannya.
"Hn. Aku setuju dengan Gremory-san. Tadi aku terlalu cepat menyimpulkan."
"Lalu kau Uzumaki?"
"Setuju. Cara itu yang paling realistis untuk dilakukan saat ini."
Bu Rosseisse tersenyum.
"Baiklah. Kita akan lakukan cara Gremory dahulu."
.
.
Catatan
1. Tokoh dari Baka to Test to Shoukanjuu. Yang suka ngambil foto dari tempat tersembunyi.
2. Plot cerita Shoumin Sample.
3. Tipikal anime harem.
.
A/N: Kalo ada yang ngerasa kalo bahasa ini lebih ringan, itu bener. Abis lama hiatus, saya nyari gaya bahasa yang lebih ringan, dan gini jadinya.
Btw, karena saya lagi ngefan sama Jun Fukushima, jadi bawannya nulis keinget sama Jun-san. Makanya Naruto di sini agak nyeleneh omongannya.
Saya bakalan jadiin Naruko imouto yang loveable kaya Ayumi, bukan fuckable kek Sagiri.
Dan yang paling penting. MAAF KELAMAAN HIATUSNYA.
.
.
.
Moga Untung Luganda, out.