DING! DONG!
Suara bel yang dibunyikan beberapa kali oleh pemuda berambut jingga itu tidak pernah mendapatkan jawaban dari yang ada di dalamnya. Dahinya berkedut, menunggu selama ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"…dia sudah berangkat?"
Asano Gakushuu segera mengambil handphonenya. Menghubungi beberapa kali, hanya untuk mendapatkan nada sambung tanpa ada jawaban dari yang dihubungi. Sekelibat rasa cemas menyerang, namun ia tidak ingin disangka pencuri dengan mendobrak atau memasuki rumah dari jendela tanpa alasan jelas.
Ya, dia sempat memikirkan itu—namun memutuskan untuk melupakannya.
"Mungkin…"
'Aku akan berangkat duluan, jam makan siang—jangan lupa datang ke gedung utama.'
Kembali sebuah pesan, terkirim dan ia segera berbalik meninggalkan rumah itu.
.
.
I Dare You to Love Me
Rated : T
Genre : Angst / Romance
Pairing : Asano Gakushuu x Akabane Karma
Ansatsu Kyoushitsu—story and character made by Yusei Matsui, fanfiction ini hanya diperuntukkan untuk kesenangan belaka. Tidak ada keuntungan yang didapatkan dari pembuatan cerita ini.
.
.
"Shiota Nagisa juga tidak bisa dihubungi…"
Jam makan siang sudah berbunyi, dan ia tidak mendapatkan balasan pesan sama sekali. Biasanya Karma akan membalas meskipun dipenuhi oleh kata-kata cercaan dan juga makian yang setidaknya harus disensor untuk kepentingan rate cerita ini.
Tetapi ini tidak, tidak ada balasan sedikit apapun dari Akabane Karma di handphonenya.
Apakah terjadi sesuatu padanya?
Apakah pada akhirnya ia mencoba menghindarinya?
Ataukah keduanya?
'Tetapi bagaimanapun Karma sudah berjanji. Dan harga dirinya terlalu tinggi untuk dijatuhkan hanya karena hal ini.' Asano tetap mencoba untuk berpikir positif meskipun saat ini apapun yang ia kerjakan selalu menimbulkan perasaan yang tidak enak.
Terutama saat mengetahui jika Karma belum menghubunginya sama sekali sampai saat ini. Lamunannya buyar saat suara pintu terbuka lebar tampak terdengar dan tampak Ren berada disana dengan napas memburu.
"Asano, aku mendengar berita dari kelas 3-E. Akabane Karma dibawa ke Rumah Sakit," iris ungu itu membulat, "dan kondisinya—Asano!"
Ren tidak sempat untuk melanjutkan saat Asano segera berlari dan meninggalkan sekolah itu. Meskipun jam pulang masih sangat lama dan ia akan menghadapi hukuman dari ayahnya jika yang bersangkutan mengetahui hal ini.
.
.
"Angkatlah…"
Asano Gakushuu mengutuk dirinya yang tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Ren. Saat ini, ia mencoba untuk menghubungi Karma dan tidak ada hasil sama sekali. Tentu saja ia kalut, entah sudah berapa kali ia menghubungi Karma.
CKLEK!
"Ha—"
"Shiota Nagisa!" Pada akhirnya Karma menghubungi satu-satunya orang yang ia yakin berada bersama dengan Karma. Dan tentu saja dengan segera Nagisa menjawabnya dan tampak sedikit terkejut, "kau bersama Karma bukan?"
"Iya—"
"Bagaimana keadaan—"
"Suaranya berisik sekali Nagisa, itu lipan busuk itu bukan?" Suara itu membuat Asano terdiam. Tentu saja ia kenal suara dengan nada menyebalkan itu. Langkah kakinya lebih lamban, hingga berhenti pada tepi jalan di dekat penyebrangan.
"Itu, suara Karma bukan?"
"Ahaha, begitulah—"
"Jelaskan…"
"Sebenarnya…"
.
.
'Akhir-akhir ini Karma benar-benar menghabiskan waktu bersama dengan Asano-kun, apakah ia baik-baik saja?' Nagisa menghela napas, berjalan pada malam hari dan tanpa sadar sudah sampai di depan rumah Karma yang tampak sepi. Itu hanya berjarak 15 menit setelah Asano pulang dari rumah Karma.
Nagisa menekan bel rumah Karma, menunggu beberapa saat namun tidak ada suara dari interphone yang ada disana. Dahinya berkerut, dan ia mengambil handphone yang ada di tasnya, menghubungi pemilik rumah yang ia yakin sudah kembali ke rumahnya.
"Aneh…" Karma tidak pernah sesusah ini untuk dihubungi. Nagisa sudah menghubungi sebanyak 4 kali dan tidak ada jawaban dari sebrang. Tangannya memegang gagang pintu, dan cukup terkejut menemukan pintu rumah dalam keadaan tidak terkunci.
Sedikit ragu, namun Nagisa mencoba untuk memberanikan diri. Tentu saja, ia sudah terbiasa menghadapi pembunuh bayaran, dan hanya seorang maling—itu tidak akan susah. Nagisa meyakinkan diri, meneguk ludah dalam-dalam sebelum membuka pintu rumah itu.
Keadaan cukup gelap, dan hanya ruang keluarga yang dalam keadaan menyala lampunya.
"Karma?" Nagisa berbicara dengan suara cukup lantang, namun tidak ada jawaban. Ia berjalan, dan melihat suasana di ruang keluarga yang sepi tanpa ada orang lain disana. Menurutnya.
DUK!
"Aw!" Nagisa tersandung sesuatu, hingga ia terjatuh dan mengaduh sambil memegangi kepalanya, "apa i—" matanya membuka lebar, saat tahu apa yang ia sanding adalah Karma yang tidak sadarkan diri di lantai, "—K—Karma!"
.
.
"Begitulah," Nagisa tertawa canggung, Asano menghela napas. Lelah dan lega yang membuatnya jantungan. Dan mendengar suara Karma tadi, ia tahu Karma sudah sadar dan setidaknya tidak membuatnya cemas, "kau tidak apa-apa Asano-kun?"
"Ya, aku akan segera ke—"
"Hei Nagisa, kalau lipan itu dengar, katakan padanya untuk menepati janjinya. Aku tidak ingin bertemu dengan orang yang ingkar janji. Ketua OSIS Kunugigaoka menjenguk si pembuat onar? Itu lelucon terbaik yang pernah didengar!" Nagisa tidak sempat menjawab saat Asano mendengar perkataan dari Karma. Kakinya yang baru saja akan melangkah tampak berhenti kembali. Ia tahu yang dimaksud Karma.
Ia tidak bisa mengistimewakannya karena penyakit itu.
"…baiklah, aku akan menepati janjiku. Tetapi—katakan padanya untuk menepati janjinya juga, aku akan menunggunya sampai kapanpun."
.
.
"Sudah 2 hari bukan?"
Ren menatap horror pada Asano yang tampak mengerjakan pekerjaannya di ruangan milik ketua OSIS. Ia tahu Asano tidak jadi pergi ke Rumah Sakit saat itu. Ia tahu jika Karma baik-baik saja, namun kali ini yang menghawatirkan adalah Asano yang sama sekali tidak menyentuh makanan sejak itu.
"Makanlah walaupun hanya sedikit, kau tidak lihat aku dan yang lainnya khawatir?"
"Aku masih baik-baik saja, lagipula Karma akan menepati janjinya," Asano menghela napas dan membaca laporan di tangannya lagi. Tidak peduli dengan wajah kesal dari Ren yang tampak tidak bisa mengatakan apapun lagi.
Ia tidak tahu janji apa yang dibuat oleh Asano dan Karma, tetapi ini benar-benar menggelikan.
"Setidaknya kau pikirkan jika bukan hanya Akabane Karma yang harus kau lihat Asano."
…
Ren melihat kearah Asano yang hanya diam. Tidak bisa menjawab itu, namun juga tidak bisa menuruti apa yang dikatakan oleh Ren. Asano keras kepala, begitu juga dengan Karma.
"Terserah…"
Dan hanya satu kata itu, sebelum Ren berbalik dan meninggalkan Asano sendirian.
.
.
"Lakukan sesuatu dengan perjanjian bodoh kalian yang kekanakan itu."
Ren merasa dirinya seperti orang idiot yang berkeliling hanya untuk menyelesaikan masalah dari dua orang yang keras kepala seperti Karma dan Asano Gakushuu. Dan kali ini, ia hanya berdiri dan menatap kearah Karma yang masih membaca buku di tangannya.
"Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, ia sudah tidak menyentuh makanan apapun sejak 3 hari yang lalu," Ren menatap tajam kearah Karma yang menghentikan pergerakannya beberapa detik sebelum melanjutkannya. Karma mengerti yang saat itu dimaksud Asano untuk menepati janji.
Tetapi apakah hanya karena janji bodoh itu, Asano sampai seperti ini?
"Ia yang bodoh sampai menahan diri karena perjanjian bodoh itu," Karma menghela napas dan tampak tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Ren. Melihat itu, Ren segera berjalan dan menepis buku yang dipegang oleh Asano hingga terlempar dari tangannya.
"Hei!"
"Kalau kau memang akan mati, jangan mengajak Asano bersama denganmu. Ia memiliki kehidupan yang lebih panjang dari milikmu kau tahu," Ren menatap Karma yang membulatkan matanya sebelum menatapnya kesal. Oke, itu bukan kata-kata yang salah, tetapi apakah harus ia menegaskannya?
"Kenapa kau begitu peduli dengannya?" Ren kali ini terdiam. Mendengarkan perkataan dari Karma yang seolah menggigit lidahnya hingga kelu untuk berbicara, "—kalau kau yang begitu perhatian dengannya? Kenapa kau tidak menjauhkannya dariku?"
…
"Apakah kau pikir aku ingin bersama dengannya? Jauhkan dia dariku, aku tidak butuh apapun dan belas kasihan darinya."
"Belas kasihan? Dia tidak—" Karma memalingkan wajahnya, seolah tidak ingin mendengar perkataan Ren lebih jauh lagi. Ren yang menyadari hal itu tampak berdecak, sebelum ia berbalik dan meninggalkan ruangan itu.
"Terserah kalian!"
Tanpa sadar seseorang mendengarkan omongan mereka berdua sedaritadi.
.
.
"Sakakibara-kun."
Ren menoleh kearah Nagisa yang tampak tergopoh-gopoh berjalan kearahnya. Berhenti di depan Ren, Nagisa mencoba mengatur napasnya sebelum ia tertawa pelan, "maaf, kalau Karma seperti itu. Ia tidak bermaksud untuk mengatakan hal seperti—"
"Kau mendengarnya tadi?"
"U—uh, aku hanya ingin menjenguk Karma seperti biasa. Tetapi tidak sengaja mendengar kalian berbicara," Nagisa tertawa dan Ren hanya menghela napas dan berjalan kembali. Seolah mengerti apa yang dipikirkan Ren, Nagisa segera mengikutinya hingga mereka sampai di taman Rumah Sakit.
.
.
"Mereka berdua benar-benar keras kepala. Aku tidak mengerti sebenarnya apa yang mereka inginkan," Ren menghela napas dan mengacak rambutnya frustasi. Rasanya ia benar-benar dibuat gila karena kedua orang itu, tetapi yah sebagai sahabat tentu saja ia tidak bisa membiarkan Asano seperti sekarang.
"Karma tidak ingin kalah dari siapapun, makanya dia keras kepala."
"Tetapi sampai tidak membiarkan Asano sampai menjenguknya, lalu Asano yang tidak ingin memakan apapun dengan alasan yang tidak jelas," Ren menghela napas pasrah sekali lagi, "—memangnya mereka anak berusia 5 tahun…"
"Sakakibara-kun benar-benar perhatian pada Asano-kun," Nagisa tertawa dan menatap kearah Ren yang menggaruk dagunya, "kau benar-benar menyukai Asano-kun ya…"
"Bukankah sama sepertimu?" Ren menoleh pada Nagisa yang menghentikan tawanya, "—kau menyukai Akabane Karma seperti aku menyukai Asano."
…
"Tetapi kita tidak mungkin bisa berharap bukan?"
"Itu kau," Ren duduk dan menengadah pada langit biru saat itu, "—jika memang Karma akan tewas, aku masih bisa mendapatkan Asano kembali. Hanya untukku…"
"Kau yakin ia akan sama seperti sebelumnya? Saat tahu Karma sudah meninggal?" Tidak perlu jawaban dari pertanyaan Nagisa, baik Nagisa ataupun Ren sama-sama tahu bagaimana itu akan terjadi. Asano tidak akan kembali seperti sebelumnya.
"Aku akan membuatnya melupakan Karma."
"Atau kau bisa mencari seseorang yang lain," Ren menatap tajam kearah Nagisa yang tampak tertawa canggung. Sepertinya lelucon itu tidak tepat untuk mereka sekarang.
Dan keheninganpun tampak menyelimuti sesaat sebelum akhirnya dipecah oleh suara handphone yang berdering—milik Ren.
"Araki?" Ia menoleh pada phone ID yang ada disana, dan segera mengangkatnya, "ada apa Araki?"
…
"—huh?!"
.
.
"Karma/Akabane!"
Suara itu hampir membuat Karma terjatuh dari tempat tidurnya. Bahkan beberapa perawat yang ada disana tampak kesal dan mengatakan untuk tidak berteriak dalam rumah sakit. Namun kedua pelaku—Nagisa dan Ren sama sekali tidak peduli dan tampak menatap kearah Karma.
"Ada apa kalian berdua?"
"Kami baru mendengar kabar, jika Asano-kun pingsan di sekolah!"
.
.
"Orang bodoh seperti apa yang memilih orang idiot sepertimu menjadi ketua OSIS?"
Asano Gakushuu tampak menghentikan bacaan bukunya saat melihat Akabane Karma yang berdiri di depannya dengan tatapan kesal. Sekarang, kenyataannya Asano benar-benar pingsan setelah 3 hari tidak makan apapun. Dan Karma, membenci dirinya sendiri saat tanpa sadar melangkahkan kakinya ke SMP Kunugigaoka masih dengan piyama rumah sakitnya hanya karena mendengar berita itu.
"Aku tidak bodoh, hanya tidak suka dengan orang yang suka mengingkari janji."
"Kau tahu aku sedang sekarat bukan? Kalau sampai saat itu aku sudah tewas, kau benar-benar akan tidak makan sampai mati?" Karma meninggikan suara, menatap Asano yang masih tenang.
"Ah, benar juga—itu ide yang bagus. Kau juga yang mengatakan untukku menepati janji bukan? Apakah hanya aku yang harus melakukannya?" Asano menatap dengan tatapan menantang pada Karma yang berdecih kesal. Ia kalah debat, hanya untuk kali ini.
"Besok…"
"Hm?"
"Besok aku akan membuatkanmu bekal. Apapun yang aku masak, yang bisa terhitung sebagai bekal. Tidak ada protes dan tidak ada penyesalan!" Asano membulatkan matanya, "aku hanya tidak ingin tidak lulus hanya karena menyiksa anak kepala sekolah. Tidak peduli sih, tetapi setidaknya sebelum aku tewas, aku ingin lulus dari neraka ini."
"Baiklah," Asano tidak perlu berpikir beribu alasan dan syarat dari Karma untuk menerima perkataan itu, "aku tidak akan sabar menunggu besok."
.
.
"Masih mencoba membuat bekal?"
Nagisa memang hampir setiap hari menjenguk Karma pada malam hari. Dan hari itu, Nagisa sudah tidak bisa menghitung berapa jam Karma berada di dapur untuk membuat sebuah bento. Padahal, nilai praktek H.E milik Karma bisa dikatakan (sangat) anjlok.
Korosensei hampir berhasil dibunuh hanya karena memakan makanan Karma.
"Sebentar lagi, aku ingin membuat racun yang pas untuk membunuh Asano Gakushuu," Karma tampak menatap usil kearah makanan yang ia buat seolah apa yang dikatakan olehnya benar. Namun Nagisa bisa melihat bagaimana Karma berusaha untuk membuat masakannya terlihat bagus dan enak, "—ow! Pisau sialan, kenapa aku tidak bisa menggunakannya lebih baik seperti saat membidik gurita itu…"
"Karma…"
"Akabane-kun, sudah saatnya meminum obatmu," Nagisa dan juga Karma tampak menoleh ke asal pintu dan menemukan dokter penanggungjawab Karma yang sudah menunggu disana dengan senyumannya, "jangan sampai kau bilang lupa memakannya ya…"
"Tidak, hanya belum saja, ah—sudah jam segini?!" Karma tersentak saat melihat kearah jam dinding yang ada disana. Melepaskan apron putih yang ia kenakan, dan tampak tidak peduli dengan dapur yang lebih tampat seperti bangunan korban Tsunami daripada sebuah dapur rumah sakit.
"Aku akan membereskannya…" Nagisa menghela napas dan mulai membersihkan kekacauan yang dibuat Karma. Karma sendiri kembali ke kamar dan membiarkan dokter menyuntikkan beberapa obat dan meminumkannya beberapa obat.
"Oke, hari ini kau beristirahat saja."
"Bagaimana keadaanku?" Karma menghela napas dan menggulung kembali pakaian tidur rumah sakit yang ia kenakan. Sang dokter hanya diam, tidak mengatakan apapun dan hanya gugup karena pertanyaan Karma, "oh ayolah, aku yang sakit dan aku yang paling tahu dengan keadaan tubuhku. Tetapi, aku hanya ingin tahu apakah obat ini bisa membuat waktu hidupku lebih lama? Walaupun sebenarnya aku tidak begitu peduli…"
"Penyakit ini lebih cepat menyebar dari yang kami perkirakan sebelumnya—" Sang Dokter menyudahi perkataannya dan menatap kearah Karma yang kali ini diam, "—obat yang kami berikan sudah berada dalam dosis yang paling tinggi. Kami tidak bisa melakukan apapun lagi…"
…
"…heh, begitu?"
"Seharusnya kau menghabiskan waktumu sejak kami mendiagnosismu dengan kanker di rumah sakit ini. Tetapi, semua aktifitas dan apa yang kau lakukan hanya memperburuk keadaanmu," Karma masih diam, ia bahkan tidak lagi kaget dengan apa yang dikatakan oleh sang dokter. Meskipun wajah pemuda bersurai jingga itu masih membekas di pikirannya saat ini.
"—jika kau punya hal yang ingin kau selesaikan, mungkin sebaiknya kau lakukan sebelum semuanya terlambat…"
.
.
Jadi, ia akan mati begitu saja?
.
.
"Kau ingin makan sesuatu Karma? Aku membelikan es krim strawberry tadi."
"Aku sudah kenyang dengan makanan percobaan itu."
"Bagaimana jika kita berjalan-jalan? Cuaca diluar bagus!"
"Ini sudah pukul 11 malam Nagisa, siapa yang mengajak orang sakit pergi malam-malam seperti ini."
"A—ah, bagaimana jika…"
"Kau mendengarnya tadi bukan?" Karma segera memotong perkataan Nagisa, menoleh pada pemuda berambut merah didepannya yang tersenyum padanya, "—kau tahu kau tidak akan bisa menyembunyikan apapun dariku bukan Nagisa?"
"Apa yang… akan kau lakukan sekarang Karma?"
"Tidak ada apa-apa, aku hanya akan menunggu sampai tubuhku menyerah. Mungkin satu-satunya yang bisa membuat hidupku menarik saat ini hanyalah melihat wajah bodoh Lipan itu yang berharap lebih jauh dariku," Karma menghela napas dan menghempaskan tubuhnya di kasurnya. Nagisa menggigit bibirnya, menatap kearah Karma yang menutup matanya.
"Apakah kau takut?"
…
"Takut? Sejak kapan aku takut Nagisa? Kita sudah banyak bertemu dengan para pembunuh bayaran gila yang bisa membunuh kita kapanpun! Dan kita sudah pernah menghadapi ketakutan akan bumi yang hancur karena wali kelas kita sendiri," Karma tertawa lepas mendengar apa yang dikatakan oleh Nagisa. Namun Nagisa hanya diam sebelum tersenyum sedih.
"Kau takut… setiap melihat Asano-kun Karma…"
Karma terdiam, melihat Nagisa yang seolah seorang esper yang bisa melihat kedalam pikirannya. Ia tahu perasaan yang ia rasakan setiap memikirkan pemuda itu adalah rasa takut—dan kalut. Tetapi ia bahkan tidak mengerti kenapa.
"Ia hanya orang bodoh yang mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Apa yang bisa kau harapkan dari orang yang sekarat bukan? Dan, membuatku bingung kenapa aku merasa takut—" Karma menghela napas dan mengeratkan kepalan tangannya, "—ia hanya lipan busuk yang tidak tahu diri…"
"Kau tidak pernah menyadarinya Karma-kun," Nagisa tertawa pelan sambil menggaruk dagunya dengan telunjuk, "apa yang kau rasakan. Perasaan takut dan juga kalut itu. Karena Karma menyukai Asano-kun, dan kau takut karena kau tidak ingin meninggalkannya…"
Satu jawaban sederhana, namun mengakhiri pembicaraan mereka berdua.
.
.
"Ini…"
"Jangan katakan apapun."
"Tetapi aku hanya ingin tanya," Asano menunjuk pada benda yang ada di depannya, "—apa ini?"
Sebuah benda berwarna abu-abu yang bergerak seolah menggeliat, dan dengan bentuk yang tidak karuan berada di kotak bento yang dibawa oleh Karma beberapa hari setelahnya. Asano tidak pernah menyangka jika Karma tidak memiliki ketrampilan dalam hal memasak, terutama saat ia mengira jika Karma sempurna dalam semua hal.
"Tentu saja bekal, kau kira aku repot-repot kemari karena apa? Oh, apakah karena aku lupa mengatakan jika aku sama sekali tidak bisa dan tidak suka memasak? Maaf saja kalau makananku seperti ini."
Karma mendengus, namun iris ungu Asano menangkap beberapa perban yang ada di jemari Karma. Dan itu membuatnya tersenyum sendiri.
—kelemahannya itu juga membuat Asano berpikir jika Karma itu manis. Dan tanpa sadar ia tertawa karena memikirkannya—dan sukses membuat Karma kesal karena itu. Mengambil garpu yang ada di dalam kotak bento, ia mengacungkannya ke leher Asano.
"Kau ingin mati Asano Gakushuu?"
"Ah tidak, maaf—aku bukan menertawakan bekalmu," Asano masih tertawa tenang tidak menggubris garpu yang siap menusuk tenggorokannya, "aku hanya merasa kalau kau benar-benar manis karena ini…"
"Ma—" Karma membisu, wajahnya merah seperti rambutnya. Sebelum butuh beberapa menit untuknya sadar dan melempar garpu di tangannya yang segera ditangkap oleh Asano dengan mudah, "kalau kau hanya ingin menertawakanku, aku akan kembali sekarang."
Karma berbalik, namun tangannya segera ditangkap oleh Asano.
"Jangan seperti anak perempuan yang ngambek, aku akan memakan apapun yang kau masakkan untukku. Tetapi, temani aku?" Karma menatap kearah Asano, yang tersenyum padanya. Sebelum ia duduk dihadapan Asano dan menunggu pemuda itu pingsan karena rasa makanan yang ia buat.
UHUK! UHUK!
"Sudah kukatakan bukan? Kau bodoh karena masih memakannya," Karma tertawa melihat Asano yang tersedak. Tangannya bergerak, memberikan sebuah kaleng minuman yang ada didekat sana, "aku senang melihatmu menderita, tetapi kalau kau tidak selesaikan ini dan membuang sampah itu, aku tidak akan bisa kembali. Jadi minumlah."
"Siapa bilang akan membuangnya. Lagipula aku hanya tersedak," namun Asano segera meminum minuman yang diberikan oleh Karma. Tertawa puas sambil menyendok makanan itu lagi, "—ini enak. Dan kurasa, aku bisa menghabiskannya kalau kau tahu…"
…
'Penyakit ini lebih cepat menyebar dari yang kami perkirakan sebelumnya—'
Karma terdiam, menghela napas mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Asano Gakushuu, yang siap untuk memerangkapnya semakin erat dengan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dan tanpa sadar, tangannya bergerak.
"Karma—?"
'—jika kau punya hal yang ingin kau selesaikan, mungkin sebaiknya kau lakukan sebelum semuanya terlambat…'
.
.
'Karma menyukai Asano-kun bukan? Itu sebabnya kau takut meninggalkannya…'
Karma bergerak, mencondongkan tubuhnya. Tangannya menarik kerah pakaian Asano yang ada dihadapannya, dan membawanya dalam sebuah ciuman mendadak yang membuat Asano membulatkan iris matanya. Dan sebelum ia bisa merespon, atau lebih tepatnya membalas ciuman itu, Karma melepaskan ciuman singkat yang ia lakukan.
"Kau—"
"Bukankah kau yang mengatakan akan menunjukkan padaku apa yang tidak pernah kulakukan?" Karma tersenyum sinis, Asano masih tertegun dengan apa yang Karma lakukan, "—kau sudah berjanji bukan? Maka tunjukkan padaku…"
…
"Sebaiknya kau katakan sekarang jika ini adalah salah satu leluconmu," kali ini Asano yang menarik kerah Karma, hingga jarak mereka hanya beberapa centi hingga bibir mereka bertemu, "—karena kurasa, aku akan menunjukkan lebih daripada ini padamu…"
"...heh. Benarkah?"
.
.
"Kau benar-benar tidak bercanda dengan omonganmu…"
Karma terkapar, tengkurap di atas sofa tempat ketua OSIS itu berada. Asano hanya tertawa saat Karma benar-benar 'tumbang' dan mendekati surai merah yang tampak berantakan saat itu. Kancing kemeja putih Karma masih terbuka seluruhnya, menampakkan sedikit bahu yang terekspos bebas disana.
"Sudah kukatakan bukan? Kau yang meminta pertama…"
"Jangan salahkan kalau penyakitku tambah parah karena ulahmu tadi," Karma bangkit perlahan dari sofa itu sambil memegangi pinggangnya yang terasa encok dan mau patah. Sungguh, apapun yang dilakukan Asano (yang mungkin para pembaca sudah bisa menebaknya), bisa membuatnya tidak bisa jalan sampai besok.
"Pinggangku sakit…"
"Aku akan mengantarkanmu dengan senang hati kembali ke Rumah Sakit, Karma-kun."
…
"Hanya itu bukti pertanggungjawabanmu?" Karma menyeringai, Asano duduk di sampingnya dan memberikan susu strawberry pada Karma yang segera menerimanya.
"Jangan mengatakan itu pada kekasihmu. Aku sudah cukup menahan diri kau tahu."
"Apanya, dan siapa yang kekasih? Aku masih belum mengatakan kau adalah kekasihku," Karma menghela napas dan membenahi kancing pakaiannya dengan susah payah karena tangan satunya memegang susu strawberry yang masih ia sesap.
"Lalu, kau mengundangku seperti tadi bukan karena menerima pernyataan cintaku?" Asano membantu Karma memasang kancing itu, namun sepertinya tangannya 'sedikit' gatal saat meraba bagian pinggang Karma dan sukses segera ditampar oleh sang korban, "—dinginnya…"
"Kemana tanganmu tadi," wajah Karma sedikit memerah. Namun ia segera diam dan tidak berbicara sejenak, sebelum menghela napas, "—hari kelulusan…"
"Hm?" Kali ini tangan jahil Asano tampak menyusup pada bagian bokong Karma, dan sukses membuat Karma melempar buku tebal di dekat tangannya kearah Asano.
"Setelah acara kelulusan. Aku akan mengakhiri permainan kita. Aku akan mengatakan sesuatu padamu…"
.
.
[ Lanjutan Scene Chapter 1 ]
.
.
"Meninggalkanmu? Jangan berbicara seolah kau tidak tahu jika kau sedang berhadapan dengan orang yang sekarat Asano," Karma tersenyum miris, menatap kearah lawannya yang tampak berdiri tegap di depannya tanpa memperdulikan musuh yang berada di depannya.
Ujian sudah berlangsung cukup lama, dan sebentar lagi akan selesai. Dan setelah itu, hanya tinggal menunggu hitungan minggu untuk mengetahui hasil dan kelulusan akan diadakan. Tidak akan dipungkiri jika Karma dan juga Asano akan lulus, namun pertarungan mereka berada pada siapa yang akan menduduki peringkat pertama.
"Aku tahu," Asano menghela napas, dan bergerak dengan senjatanya, "—dan sesuai keinginanmu, aku tidak akan mengalah begitu saja…"
Karma tertawa sambil memainkan pistolnnya, menghancurkan dengan mudah soal yang ada dihadapannya.
"Bagus, karena ini adalah akhir yang paling tepat untuk pertarungan kita."
.
.
"Hah…"
Karma mencoba mengatur napasnya dan menatap kearah kelas. Hari terakhir, ujian sudah selesai dan tampak beberapa murid senang dan tidak sabar untuk menunggu kelulusan. Nagisa menatap kearah sahabatnya itu, yang mendapatkan izin untuk mengikuti ujian setelah beberapa hari tidak masuk ke sekolah.
"Kau tidak apa-apa Karma?"
"Tentu, apa yang membuatmu berpikir kalau aku tidak baik-baik saja? Aku sudah cukup beristirahat saat di Rumah Sakit," Karma menoleh dari balik bahu Nagisa, menemukan Asano yang tampak sedikit memburu napasnya seolah ia terburu-buru untuk sampai kemari, "ah, si lipan busuk datang…"
"Bagaimana—"
"Ujianku?" Karma tahu jika Asano akan menanyakan keadaannya. Dan itu menggelikan untuk didengar. Maka ia segera memotongnya dan tersenyum sinis, "—maaf kalau aku merebut posisi pertama untuk ujian ini."
…
"Heh, jangan menangis karena kau jadi juara dua setan merah," Asano menghela napas, mengerti apa yang diinginkan oleh Karma. Dan melihat jawaban itu, juga sudah bisa menjawab pertanyaan jika Karma baik-baik saja.
"Oh aku lupa mengatakan sesuatu," Karma tampak menepuk kepalan tangannya pada tangan satu lagi, mengingat sesuatu tiba-tiba, "sampai kelulusan tiba, kau tidak boleh menemuiku sama sekali."
…
"Ap—!"
"Tidak ada protes," Karma menutup sebelah matanya dan tersenyum, "atau aku tidak akan menjawab apa yang kau tunggu Asano Gakushuu."
"Tetapi berjanjilah," Asano menyerah. Ia tidak bisa menang dari Karma untuk kali ini, "—kau akan baik-baik saja hingga kelulusan tiba."
"Tentu saja, kau pikir dengan siapa kau berbicara brengsek!"
.
.
"Kau ingin menjawabnya besok?"
Nagisa mendatangi Karma pada malam sebelum kelulusan. Setelah pengumuman kelulusan yang tentu saja menunjukkan jika Karma dan Asano berada pada peringkat yang sama, Karma menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk pemulihan. Asano sama sekali tidak berhenti untuk menanyakan kabarnya setiap hari, meskipun ia tidak diperbolehkan untuk datang oleh Karma.
Hingga akhirnya besok hari kelulusan dimana Karma berjanji untuk menjawab taruhan dari Asano beberapa minggu yang lalu.
"Mungkin seharusnya aku menjawabnya dari kemarin. Tetapi menyenangkan melihatnya penasaran setiap ia melihatku," Karma tertawa iblis, Nagisa tampak sweatdrop mendengarnya, "—aku tidak akan sabar melihat wajah pricelessnya besok."
Nagisa menatap Karma yang tertawa pelan dengan wajah sedikit memerah, tidak perlu mengetahui apa yang akan menjadi jawaban kemarin. Ia menghela napas, sudah menyerah untuk mendapatkan Karma. Yang bisa ia lakukan adalah merasa senang dengan sahabatnya yang memiliki semangat hidup hingga sekarang.
"…ah, aku benar-benar tidak sabar…" Nagisa tidak menyadari, namun saat melihat gerakan dada Karma yang tidak beraturan, ia tahu ada yang salah dengan pemuda bersurai merah itu.
"Karma?"
…
"KARMA!" Nagisa terkejut saat tubuh itu oleng, hampir terjatuh dari tempat tidur sebelum ia menangkapnya dengan segera. Beberapa kalipun Nagisa meneriakkan nama itu, pemuda berambut merah itu tampak tidak bergerak dan tidak menjawab sama sekali. Sebelum tangan yang mencoba mencengkram pakaian Nagisa melemah, hingga tangan itu terjatuh begitu saja.
"KARMA!"
.
.
"Selama 3 tahun berada di sekolah ini, aku belajar banyak hal. Selain tentang pendidikan, juga tentang sesuatu yang berharga, dan juga terkadang sesuatu yang harus didapatkan dengan mengorbankan hal lainnya."
Suara itu menggema di aula tempat para murid berkumpul, mengadakan perpisahan terakhir untuk para senior yang baru saja menyelesaikan pendidikan mereka di SMP Kunugigaoka. Tentu saja pidato disampaikan oleh pemegang nilai terbaik (setidaknya salah satunya) yang juga merupakan ketua OSIS SMP Kunugigaoka—Asano Gakushuu.
"Terima kasih untuk semua bimbingan yang diberikan oleh para pengajar, dan pengalaman yang diberikan pada kami. Dilain waktu, kami harap bisa bertemu dengan kalian, dalam keadaan yang lebih baik—dan menjadi orang yang sukses dihadapan kalian."
Dan pidato singkat itu ditutup dengan tepuk tangan dari para pengajar dan murid yang berada disana. Dan Asano Gakushuu segera berbalik, dan menerima piagam penghargaan sebelum keluar turun dari podium.
"Pidato yang bagus Asano," para Virtuoso tampak menyambutnya dan menepuk pundak Asano yang tersenyum dan mengangguk. Sebelum iris emasnya mengedar dan menemukan Ren yang tidak ada diantara para anggota Virtuoso disana.
"Dimana Ren?"
"Ia mendapatkan telpon beberapa saat yang lalu, dan sampai sekarang belum kembali. Mungkin ada sesuatu yang mendadak harus diselesaikan," Araki mengangkat bahunya dan menatap Asano yang tampak diam memikirkan sesuatu.
Tidak…
Ia tidak boleh membiarkan perasaan buruk yang memenuhi perasaannya sejak pagi mengganggu konsentrasinya. Ketidakhadiran Ren bukan sesuatu yang menguatkan itu. Ia harus menyiapkan diri, karena setelah acara ini selesai—ia akan kembali ke Rumah Sakit bertemu dengan Karma. Menunggu jawaban dari perasaannya.
Ia yakin, jawaban yang ditunggu olehnya akan ia dengar hari ini.
'Kau tidak akan mengingkarinya bukan—Karma…?'
.
.
"Shiota."
Para murid kelas 3-E sudah diberitahu jika Nagisa tidak akan datang ke pesta kelulusan meskipun tidak diberitahu alasannya. Dan hanya Sakakibara Ren yang saat ini berjalan masuk ke dalam ruangan privasi yang mengetahuinya.
Entah sejak kapan Nagisa mengandalkan Ren untuk memberitahu hal yang tidak bisa langsung ia beritahukan pada Asano.
"Maaf membuatmu harus kabur dari acara itu Sakakibara-kun," Nagisa yang masih memeluk lengannya sendiri tampak terlihat cemas dan juga tegang. Ia menoleh pada sebuah jendela lebar yang ada di depannya, menampakkan sebuah tempat tidur dimana Akabane Karma berada disana bersama dengan alat-alat yang mengelilingi tubuhnya hanya untuk menyokong kehidupannya.
"Ia akan bertahan bukan? Asano menceritakan bagaimana ia menunggu hari ini untuk mendengarnya menjawab permainan bodoh mereka selama beberapa minggu ini," Ren mengencangkan kepalan tangannya, menatap pada Karma yang tidak bergeming dari tempat itu, "—aku akan menendangnya dari neraka jika memang itu bisa membuatnya bertahan…"
"Beberapa kali ia berhenti bernapas. Ia sudah memaksakan dirinya untuk tidak mendapatkan pengobatan ketika bersama dengan Asano-kun beberapa minggu ini," Nagisa menggigit bibir bawahnya, "—ia sudah berusaha…"
"Tidak jika ia tidak bisa bertahan hingga akhir permainan mereka…"
…
"Apakah Asano-kun tahu tentang keadaan Karma-kun?"
"Hanya wali kelasmu dan juga kepala sekolah yang tahu tentang ini, itulah sebabnya aku diberikan izin untuk datang saat mengatakan alasannya," Ren mengetuk lengannya yang menyilang di depan tubuhnya dengan telunjuknya. Tanda tidak sabar.
"Haruskah kita… memberitahunya?"
Ren melihat jam, waktu sudah menunjukkan siang hari.
"Acara akan selesai sebentar lagi. Mungkin, dengan Asano yang datang sendiri kemari akan membuat Akabane sadar dan membaik. Harga dirinya terlalu tinggi untuk dijatuhkan hanya karena mengingkari janjinya bukan?"
…
"Kuharap begitu…"
-Piiip… pip… piiip—
Suara itu memenuhi ruangan yang ada didepan mereka. Ren dan Nagisa sama sekali tidak mengerti tentang alat-alat yang berada di kamar itu, namun mereka tahu ada yang tidak beres saat para perawat dan dokter berlarian keluar masuk dari kamar ICU yang ada didepannya.
Saat grafik di layar terlihat melemah, dan saat para dokter mencoba untuk memasukkan beberapa obat ke tubuh Karma. Itu bukan suatu pertanda yang baik.
"Panggilkan dokter penanggungjawab pasien 201! Tekanan darah terus menurun drastis!"
"Saturasi oksigen berada dibawah batas normal!"
"Siapkan alat resusitasi!"
"Dokter, tubuh pasien tidak merespon obat!"
Beberapa percakapan yang tertangkap, namun tidak semuanya. Nagisa membulatkan iris mata birunya, tubuhnnya gemetar melihat jika sahabatnya berada diambang kematian, selangkah menuju kematian. Dan ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun.
Sementara Ren—
"Apa-apaan dia…" irisnya bergerak, melihat sosok Karma yang masih tidak bergeming meskipun para dokter dan perawat tampak mencoba untuk menyuntikkan segala obat yang tidak ia mengerti kedalam tubuhnya, "—aku tidak bercanda saat mengatakan kau akan kutendang dari neraka jika kau tidak bertahan sampai Asano datang…"
…
"Akabane Karma! Kau dengar aku?! Kau harus bertahan untuk Asano, brengsek!"
.
.
"Asano-kun, kumohon berikan kancing pertamamu untukku!"
"Tidak, untukku!"
"Biarkan kami berfoto denganmu untuk kenang-kenangan!"
Beberapa murid tampak mengerumuni Asano Gakushuu setelah acara selesai. Namun, yang dikerumuni tampak tidak fokus dengan apa yang ada disekelilingnya. Perasaan tidak enaknya semakin membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Ren tidak kembali hingga acara selesai, dan Karma sama sekali tidak membalas pesannya sejak semalam.
Terakhir yang ia ingat, Karma tidak membalas pesannya adalah karena kondisinya memburuk dan dibawa ke Rumah Sakit. Tetapi, tidak mungkin bukan—tidak mungkin kondisinya memburuk disaat seperti ini?
"Maaf, aku harus pergi sekarang. Ada yang harus kukerjakan…"
Dan Asano berlari meninggalkan para murid yang tampak kecewa saat ketua OSIS mereka berlari tanpa bisa mereka kejar. Asano sendiri hanya memikirkan bagaimana cara tercepat untuknya pergi ke Rumah Sakit itu.
'Setelah acara kelulusan. Aku akan mengakhiri permainan kita. Aku akan mengatakan sesuatu padamu…'
Ya, ia tahu Karma akan baik-baik saja. Karena janji terakhir Karma adalah untuk mengatakan sesuatu padanya. Sesuatu yang ia tunggu selama ini, perasaan pemuda itu padanya—apakah terbalaskan ataukah ia harus menyerah dengan sebuah penolakan.
Walaupun dalam hati, ia tahu bagaimana jawaban dari Karma saat itu.
'Aku tidak sabar melihat wajahnya saat mengatakan itu,' Asano tertawa dalam hati, membayangkan apa yang akan terjadi saat ia datang ke kamar Karma dan mengagetkannya. Ia mencoba untuk berpikir positif sekali lagi, meskipun perasaan aneh ia rasakan saat itu.
'Tunggulah Karma…'
.
.
"Kau dengar aku Akabane Karma!"
"Sakakibara-kun, tenanglah!"
Nagisa mencoba untuk menahan Ren yang mencoba menerobos masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi oleh para perawat dan dokter itu. Keadaan Karma semakin memburuk, dan tentu saja grafik yang ada di depan mereka tampak semakin melemah dan menunjukkan hampir mencapai garis lurus.
"Kau pikir bagaimana perasaan Asano saat tahu kau tidak akan bisa membalas pertanyaannya?! Kau tahu apa yang ia selalu pikirkan sambil menunggu apa yang akan kau katakan padanya?!" Dalam hati Nagisa berdoa, satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk sahabatnya.
"Sudah kukatakan bukan?! Jika kau memang ingin mati, jangan bawa Asano denganmu! Kau akan membunuhnya jika kau tewas sekarang!"
"Tidak ada perubahan dok!"
"Tambahkan dosisnya!"
Sementara Ren tampak semakin tenang, Nagisa melepaskan pegangannya. Tangannya yang masih gemetar tampak mencoba untuk menekan tombol yang menghubungkannya pada nomor Asano. Mereka tidak akan bisa bertemu jika Asano tidak segera kemari.
Dan ia harus menghubunginya sekarang.
.
.
Trrrr…
Napas Asano memburu saat ia masih berlari menuju ke Rumah Sakit. Ia bahkan tidak berpikir untuk memakai Taxi yang lebih cepat menuju ke Rumah Sakit. Pikirannya sudah sangat kacau, ditambah dengan perasaan tidak sabar menemui Akabane Karma.
Tanpa tahu apa yang terjadi saat itu pada Karma.
"Shiota… Nagisa?" Napasnya masih satu-satu saat ia berhenti sejenak dan melihat siapa yang menghubunginya saat itu. Nagisa. Sebuah pesan yang segera saja ia buka tanpa menunggu lebih lama lagi.
"Asano-kun…"
"Ada apa Shiota, aku sedang terburu-buru sekarang. Aku tidak bisa lebih lama berbicara," Asano memutuskan untuk menjawabnya sambil berlari melanjutkan perjalanannya.
"Karma, dia—"
Langkah kaki Asano melambat hingga berhenti. Seolah mencoba mencerna kata-kata dari Nagisa.
"…apa?"
"AWAS!"
Suara teriakan terdengar, namun Asano masih terpaku di tempatnya. Kalimat dari Nagisa terngiang di kepalanya seperti sebuah kaset yang rusak. Saat kepalanya menoleh dan otaknya bekerja merespon apa yang terjadi, satu hal yang ia dengar adalah—
Suara klakson yang sangat dekat dengannya—
.
.
—dan sebuah mobil yang sangat dekat dengannya.
BRAK!
.
.
"Asano-kun?! Suara apa itu? Asano-kun, halo?!"
.
.
"A—Asano-kun, halo?"
Nagisa mencoba untuk mengeraskan suaranya, saat mendengar suara benturan hebat yang disusul dengan suara handphone yang tersambung itu terdengar terjatuh. Rasa kalut semakin menguasainya, Nagisa tampak menatap horror pada handphone yang dikenakannya saat itu.
"Shiota!"
Nagisa yang mematung segera tersadar saat Ren berteriak padanya. Dan satu hal yang ia tangkap dengan iris birunya, adalah saat layar yang ada di samping tubuh Karma menunjukkan garis lurus. Dan suara melengking yang memekakkan telinganya.
—Piiiiiiip—
.
.
"K—Karma?"
.
.
Sementara di tengah keramaian jalanan itu, orang-orang mengelilingi tubuh bersimbah darah yang ada di tengah mereka. Menunggu suara sirine yang datang mendekat, dan memecah keramaian untuk membawa surai jingga yang saat ini bercampur warna merah darah.
.
.
"Asano-san, saya mendapatkan kabar dari para murid yang baru saja pulang dari acara kelulusan. Terjadi kecelakaan di area Rumah Sakit di dekat sekolah."
.
.
To Be Continue/Tamat?
…
Ga, jangan baper dulu—masih ada chap terakhir (mungkin) apakah Asano bakal selamat? Karma mati? Atau dua-duanya mati? #ditendangReader pokoknya bisa ditunggu sambil berpikir sesuai imajinasi kalian.
XD makasih buat yang pada review, ga nyangka bakal banyak yang suka cerita pertama AsaKaru saya ini ;w; makasih banyak yaaa, ditunggu chap selanjutnya :*
Fuu As Poo—duh, saya malu : semoga tambah maso dengan chap ini *lambai-lambai* kalau duanya mati, bisa dibilang Sappy kan? #ditabok
Nagitsuya—Ini sudah Xv maaf lamaaa~ makasih :D
Asano Akabane Shiota—Oke ''b
Delicious sandwich—Oke? O.o
Hatsu to Haru—itu… sebenernya kaya cuplikan chapter ini. Kaya sekarang, yang kalimat terakhir sebelum TBC itu kalimat cuplikan buat chapter 5 XD—Karma tertolong, untuk chap sebelum ini. Tapi untuk yang ini—#dataError
Ratu Obeng—ini udah waktu kelulusan XD #disepak Asano Kecelakaan, Karma mati(?)—entah akhirnya gimana XD Dan ini lebih cliffhanger kan? ;-; om Gaku ditilpun buat tau Asano kecelakaan ;=;
Macaroom waffle—*ikut gigit om Gaku* #salah aduh saya tersanjung :' hasilnya? Ya dia pingsan karena 3 hari ga makan XDD
Yamashita Riku—om Gaku mungkin bakal lebih banyak keluar chap selanjutnya :v #mungkin
undeuxtroisWaltz—jangan incest! Kan masih ada Isogai #ditendangMae mungkin ikut nyusul kealam sana :v
chenchuu—Eeeeh Asano masih dapet bekal Karma kok :v tapi buat dapet jawabannya…. Engingeeeeng! #plak
Rangga Sengak—tisunya kepake XDD dan mereka berdua beneran mati! #gadeng #gatau
Miho-Gumiho—Ga, ga mati kok, scene yang ini lebih baper ga akhirnya? 8D #digorok
SheraYuki—lebih ga mampukah liat Asano ikutan diambang kematian? 8D #slapped ga kok, ini adegan setengah fluff setengah galow 8D
Yuukio—karena buat bikin adegan plup mereka di chap ini dong AwA tapi ending yang ini? Entah jebakan atau ga XDD