Aku tidak pernah menyangka bahwa bekerja di H.A.C adalah hal yang menyenangkan meski aku harus mengakui bahwa di sini tidak ada komunikasi apapun mengingat semua orang hanya berinteraksi dengan benda bersejarah.

Sudah sekitar sebulan aku bekerja di H.A.C, aku bersyukur tidak ada yang mengenaliku sebagai Hyuuga. Mungkin ini berkat penampilanku, Aku masih setia dengan lensa Hitamku dan model rambutku yang selalu aku ikat setengah serta kacamata berbingkai cokelat.

Di H.A.C ada banyak karyawan magang dan beberapa petinggi yang sengaja turun langsung untuk meneliti benda bersejarah di sini.

Aku di tempatkan di ujung barat kota Konoha, di distrik yang terkenal mewah namun penuh misteri. Di distrik ini aku bisa dengan jelas melihat bagunan istana yang masih kokoh meski usianya mencapai puluhan ribu tahun.

"Hinata-san, Aku mencarimu dari tadi!" Suara seorang wanita mengintrupsi kegiatanku yang tengah mengamati sebuah guci tua.

"Ah, Mei-san. Ada apa?" aku mengalihkan pandanganku memandang Mei-san yang saat ini berdiri dengan kemeja birunya.

"Kita diminta menuju ruang aula di lantai dua, ini mengenai keluarga Uchiha." Aku terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Mei-san.

"Baiklah, tapi aku ingin menyinpan laporanku terlebih dahulu."

Setelah selesai menyimpan laporanku untuk hari ini aku memutuskan menyusul Mei-san menuju lantai dua.

.

.


.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto –sensei

.

.

.

Warning: Berbau hal dewasa (tinggalkan jika kamu di bawah umur), AU, OOC, Alur Gaje, Typo(s), Update tidak tentu–biasakan untuk membaca Author Note dibagian paling bawah—

.

DON'T LIKE, DON'T READ!

.

.

Cerita ini mungkin tidak masuk akal, karena cerita ini hadir dari khayalan author tanpa campur tangan siapapun.Kalian bisa pergi jika tidak menyukai jenis cerita yang rambu buat

.

.

.

NO COPY! NO SHARE!

.

.

Hyuuga Hinata (19), Sasori (17), Konohamaru (16), Shimura Sai (22)

.

:: o.O Rambu no Baka ::

:: Present ::

.

.

.


Manshion Hyuuga

"Tousan tidak setuju kau tinggal di flat!" Hiashi berbicara dengan nada yang dibuat setenang mungkin, meski wajahnya terlihat gusar.

"Aku butuh flat ayaaaaah, ini demi penyamaranku." Hinata memandang wajah ayahnya lama, meyakinkan bahwa kali ini dia benar-benar serius.

"Manshion ini lebih dari cukup untuk tempatmu tinggal Hime…" Hiashi menghampiri Hinata, memegang pundak sang anak dan berusaha meyakinkan bahwa manshion Hyuuga adalah tempat teraman dan ternyaman.

"Baiklah… Flat, atau aku tidak akan pulang ke manshion ini." Tatapan Hinata menajam, mengabaikan wajah ayahnya yang kini terlihat pucat pasi.

'Hinata belajar mengancam dari mana sih' batin Hiashi yang kini terduduk sambil memandang Hinata yang menghilang ke kamar.

Haruka hanya tersenyum menghampiri Hiashi yang kini duduk termenung di sofa.

"Jangan tanya Hinata punya sifat seperti itu dari siapa…" Kekeh Haruka sambil mengusap punggung sang suami.

"Yaa… aku sangat tau itu sifat siapa. Tapi setidaknya dia harus mau tinggal di sini untuk seterusnya."

"Seharusnya kau mengerti perasaan Hinata, dia masih belum terbiasa berada di sini-"

"Tidak!" Hiashi memotong ucapan sang Istri, dan melanjutkan ucapannya.

"Aku hanya merasa bersalah karena tidak bisa melihatnya tumbuh menjadi gadis secantik sekarang." bersandar pada pundak istrinya, menikmati aroma tubuh sang istri dan kenyamanan yang begitu dirindukannya.

"Paling tidak kau bisa menemaninya menjadi dewasa dan kelak mengantarnya mengikat janji suci…" Haruka mencubit hidung sang suami.

Keduanya begitu menikmati kebersamaan ini, tidak menyadari Hinata yang mengintip dengan tangisan penuh kebahagiaan.

.

.

.

Hinata POV

Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hari ini aku terpaksa pulang malam,karena deadline reportku. Handphone dan semua alat elektronik diletakkan di loker, kecuali senter dan beberapa alat pendeteksi besi ataupun emas.

Aku masih merangkum laporanku ketika aku mendengar ada suara langkah kaki.

'tak tak tak'

Aku hanya mengangkat bahu dan kembali menekuni laporanku. Aku di sini sendiri, karena yang lain ditugaskan di lantai dua. Semakin aku serius, suara langkah itu terdengar semakin berisik.

'tak tak tak tak tak tak'

Arah suaranya berasal dari lantai dua,

Aku menghentikan pekerjaanku dan memfokuskan pendengaranku, akhirnya ku beranikan diri menuju lantai atas. Menapaki tangga yang melingkar dengan ornamen kayu yang begitu indah dan kokoh.

'BRAK!' kali ini suaranya semakin gaduh, membuatku semakin bergegas menuju lantai dua.

Tepat ketika tiba di lantai dua, suara itu mendadak menghilang.

Sunyi.

Sepi

Seolah tidak pernah ada derap langkah yang terdengar.

Tidak ada siapapun yang dapat aku temui di lantai dua ini 'mungkin yang lain ada di ruangan tugasnya masing-masing' batinku masih sambil mengedarkan pandanganku.

Lantai dua pada gedung yang bisa disebut istana ini terdiri dari banyak ruangan. Aula pada bagian kanan, di sana terdapat tangga menuju lantai tiga dan empat. Puluhan kamar prajurit yang tugasnya menjaga bagian dalam istana, dapur untuk para prajurit ada di bagian lainnya.

Mataku kembali menjelajah dan kini pandanganku terpaku pada 'gerombolan' prajurit yang terlihat seolah tengah berjalan terburu-buru. Sesuatu hal yang terlihat ganjil.

Aku mendekat.

Posisi prajurit itu sekitar sepuluh meter dari pintu keluar . Jumlahnya sekitar sepuluh hingga duapuluh orang. Aku semakin mendekat dan kini posisiku hanya beberapa langkah dari sosok para prajurit.

Ini sangat aneh, begitu anehnya hingga bulu kudukku meremang. Aku ingat betul saat tadi aku mengantar formulir untuk nona Mei, Prajurit-prajurit ini sudah berada di dalam kotak kayu dan siap dikirim ke kantor pusat.

Pandanganku terangkat, memandang setiap detail dari para prajurit. Mereka terbuat dari batu kokoh yang dipahat langsung bukan dicetak sehingga setiap prajurit memiliki bentuk tubuh dan wajah yang tertutup topeng dengan bentuk yang berbeda-beda. Bentuk pakaian mereka terdiri dari banyak lapisan dengan diakhiri pakaian dari besi -semuanya terlihat sempurna meski hanya pahatan-. Di setiap tangan kanan prajurit memegang katana dan ada beberapa yang membawa tombak.

Snap

Kali ini pandanganku terhenti pada seorang prajurit, wajahnya tertutup topeng berbentuk spiral dengan hanya satu lubang untuk mata.

Crack

"Aku tau kalian bukan prajurit biasa… berhenti bertingkah seperti patung!" Aku berteriak sekencang yang aku bisa, meski aku sadar bahwa tidak ada suara yang dihasilkan pita suaraku.

Ku genggam katana milik prajurit bertopeng spiral, kemudian tanganku kualihkan pada pakaiannya. Mengenggamnya erat, dan setelahnya yang kurasakan adalah serat kain yang begitu halus. Bukan pahatan bebatuan. Bukan. Karena sebenarnya mereka bukan patung biasa.

Deg

Deg

Deg Deg

Degub jantungku bertalu semakin parah ketika aku merasakan keseluruhan prajurit telah berubah selayaknya manusia biasa. Mata mereka terlihat penuh selidik memandang diriku. Entah ekspresi wajah seperti apa yang mereka keluarkan.

'maaf hime sama, anda tau terlalu banyak dan itu akan menghambat kami'

Dan selanjutnya hanya kegelapan yang aku rasakan…

End Hinata POV

.

.

.

Hinata terbangun di kasur dan ruangan serba putih. Bau obat obatan dan jarum infuse yang melekat pada tangannya menjadi penanda bahwa dirinya berada di rumah sakit.

Pandangan matanya menuju satu titik cahaya menyilaukan dari kaca jendela yang tidak tertutup tirai. Sambil mengingat apa yang membuatnya berada di ruangan ini, Hinata memijit-mijit pelan kepalanya yang terasa pening.

"Nona, Akhirnya anda sadar juga." Pandangan mata yang redup kini terfokus pada seorang suster yang membawa baki berisi makanan.

"Sudah berapa lama aku di sini?" Tidak ada kata basa-basi layaknya di sinetron.

"Tiga hari. Nona sudah tiga hari tidak sadarkan diri." Sang suster membantu Hinata untuk duduk dan memberinya segelas air.

"Hmm… terima kasih, kalau boleh tahu siapa yang mengantarku ke sini?"

"Teman kerja anda yang mengantarkan anda ke sini nona. Beliau bilang bahwa anda ditemukan pingsan diruang kerja, dan dokter menjelaskan bahwa anda terlalu lelah bekerja."

"Ah? Aku merasa baik-baik saja saat bekerja, dan aku masih tidak percaya kalau bisa selama itu aku tak sadarkan diri. Adakah keluargaku yang menjenguk?"

"Belum ada keluarga anda yang menjenguk, terakhir yang saya tahu, hanya pacar nona yang menemani setiap malamnya. Dia bilang keluarga nona sedang melakukan penelitian di luar negeri."

"Pacar? Benarkah?" Hinata terdiam sejenak sambil memandang pergelangan tangannya yang berhias jarum infuse "Apa Sai yang menemaniku? Ah tentu saja pasti dia, kan hanya dia yang tahu siapa aku sebenarnya."

"Ah suster, boleh aku meminjam ponselmu? Aku akan mengganti biaya pulsanya." Hinata meminjam handphone sang suster untuk menghubungi Sasori yang ternyata sudah tahu akan keadaan dirinya.

.

.

.

Hampir seminggu sudah Hinata tidak bekerja, bahkan dirinya masih harus banyak istirahat di kasur rumah sakit. Alasan klasik menurutnya.

"Nee-san, maaf aku baru bisa datang." Sayup terdengar suara yang begitu familiar ditelinganya. Hinata mengerjapkan mata, pandangannya masih buram saat melihat sekelebatan helaian merah di hadapan wajahnya.

"Saso?" Hinata memastikan bahwa yang dia lihat adalah adiknya.

"Ugh… maaf aku membangunkan nee." Sasori saat ini sedang duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang Hinata. Tangannya mengenggam tangan sang kakak seolah menguatkan.

Senyum Hinata mengembang saat melihat sang adik, kedua tangannya terangkat memberi kode untuk memeluk Sasori. Kedua Saudara beda ibu itu berpelukan layaknya adik kakak kandung –atau lebih dari itu.

Tanpa ragu Hinata mengeratkan pelukannya pada tubuh Sasori dan menempatkan wajahnya pada ceruk leher sang adik. Menghirup aroma menenangkan bak mahoni dan rumput di hutan.

"Nee… uugghh… ini sess-saak" Sasori bergumam dengan suara seperti orang sesak nafas namun masih membiarkan Hinata memeluknya.

"Aku dilupakan" Kali ini suara lain mengintrupsi kegiatan peluk-memeluk Hinata dan Sasori, pandangan keduanya teralih pada sosok Konohamaru yang berada di dekat pintu.

"Hahaha… kalian sama manjanya seperti Ayah… ah dan jangan lupakan sikap posessif kalian." Ucap Hinata sambil melepas pelukannya pada tubuh Sasori dan memberi kode agar Konohamaru mendekat. Ketiganya tertawa bersamaan sambil saling memeluk.

Entahh sejak kapan, tapi yang Hinata tau keluarganya semakin terasa lengkap dengan kehadiran kedua adiknya ini.

"Ah, apa Hinata-nee tau kalau tousan baru saja merombak manshion utama?"

"Ah iya, tousan juga bilang kita sementara akan tinggal di manshion dekat distrik barat." Sahut Sasori menambahkan ucapan sang adik.

"Ayah tidak bilang apa-apa kok…"

"Ya… memang hal ini dilakukan mendadak, tousan bilang ada surat dari keluarga bangsawan. Aku sih belum tahu isi suratnya apa, tapi aku yakin itu sangat penting." Konohamaru memandang Hinata dan Sasori bergantian.

Obrolan ketiganya mengalir seputar pendidikan, pekerjaan dan kesibukan ketiganya. Yang paling banyak bicara itu Sasori, dia selalu Out Of Character jika sedang bersama Hinata. Sedangkan Konohamaru asik bermanja dengan Hinata yang justru terlihat makin pendiam.

"Ah ya, siapa pria yang kemarin mengantar nee-san ke sini?"Sasori mengalihkan pembicaraan , yang justru membawa mereka ke hal yang lebih rumit.

"Pria? Bukankah aku ditemukan rekan kerja perempuanku? Suster bilangnya begitu kok…" Hinata bingung, sedangkan Sasori dan Konohamaru saling bertukar pandang.

"Loh ! nee-san tidak tahu? Selama nee di rumah sakit hampir seluruh suster membicarakan pria itu. Bahkan aku saja sampai merasa iri." Wajah Hinata makin terlihat bingung.

"Ah! Bahasnya nanti saja, Tousan tadi memintaku datang untuk menjemput nee-san. Ayo kita ke manshion! Ibu sudah membuatkan masakan kesukaan nee-san."

Konohamaru mendelik ke arah Sasori sambil membuat gesture meminta Sasori merapikan perlengkapan Hinata untuk dibawa pulang.

.

.

.

Manshion Hyuuga -Distrik Barat-

"Hai hime… Kali ini tidak ada alasan untuk pindah ke flat." Bukan menyambut dengan ramah, Hiashi justru mengingatkan Hinata tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Ya! Tentang Hinata yang meminta tinggal di flat.

"Tetap saja aku akan tinggal di flat!" Memasang wajah yang cemberut Hinata menghampiri sang ibu. "Ayah selalu saja semaunya sendiri!" ucap Hinata pada ibunya masih dengan wajah cemberutnya yang menggemaskan.

"Kali ini Ibu setuju dengan ayah, kau harus ada di sekeliling kami. Ah tidak, kami harus selalu berada di sekelilingmu hime." Haruka mengusap lembut rambut Hinata.

"Perombakan manshion utama sudah selesai dilakukan. Semua sudah sesuai keinginan dari keluarga bangsawan atas perintah putra tengah tuan Uchiha. Mereka menyediakan ruangan khusus untukmu-" Hiashi menjeda ucapannya sambil melirik reaksi yang Hinata tampilkan.

"Ruangan khusus? Aku akan diisolasi?" Bukan raut bahagia yang Hinata tampilkan, melainkan raut kekecewaan dan kaget.

"Bukan begitu nee-san , keluarga bangsawan Uchiha menempatkan paviliun untuk nee-san. Ruangan dua lantai di sayap kanan manshion." Kali ini Hinata terperangah mendengar ucapan Konohamaru, mulutnya sedikit terbuka sambil memandang orang-orang yang ada di sana bergantian.

'bruk!' pelukan erat nan hangat menerjang tubuh renta Hiashi. Hinata memeluknya. Yak ! memeluk tubuh Hiashi dengan air mata yang berlinang.

"Aku tahu seharusnya aku berterima kasih pada keluarga Uchiha, tapi karena aku tidak kenal mereka, aku memeluk ayah sebagai gantinya." Isak tangis dan tawa menyatu dengan kalimat yang baru saja Hinata ucapkan.

"Jadi, kau hanya mau berterima kasih pada tuan Itachi?" Kini Hiashi yang menekuk wajah.

"Hahahaha… aku hanya bercanda ayah! Terima kasih sudah mengembalikan moodku setelah membiarkanku menginap selama seminggu di rumah sakit." Hinata mendesakkan kepalanya ke dada sang ayah, berusaha menahan tawa yang semakin mulus keluar dari bibirnya.

"Sudah bercandanya, sebaiknya kita segera makan dan bersiap menuju manshion utama. Iyakan Konohamaru?"

"Iya Okaa-san" semua kembali ketempat semula dan mulai menyantap hidangan yang sudah disediakan koki dari manshion distrik barat keluarga Hyuuga. Manshion yang biasanya digunakan untuk menginap karyawan H.A.C.

.

.

"Huwaaaa… Ruangan kamarku terlihat lebih artistik dan antik! Ah Hanabi apakah ada yang menyakitimu? Ugh! Kau penuh dengan debu…" Entah untuk keberapa kalinya Hinata mengabaikan keberadaan kedua adiknya. Dia mulai mengambil kain lap, mengisi sebuah mangkuk dengan air, memberikan mangkuk itu sejumlah cairan beraroma bunga dan mulai membersihkan Hanabi dari debu yang menempel.

"Nee? Apa aku boleh membantu membersihkan patung itu?" Konohamaru mendekat. Belum sampai jarak dua meter, Hinata memandang Konohamaru dengan tatapan tajam.

"Sebaiknya kalian kembali ke kamar masing-masing. Aku harus mengecek kembali barang-barang di ruangan ini." Kali ini nada bicara Hinata menjadi sinis.

"Ayo Maru, lagipula besok pagi kita harus mengadiri meeting pertama kita!" Sasori menarik tangan sang adik sambil sesekali melirik kearah Hanabi yang seolah menatapnya penuh makna.

'karya nee-san selalu terlihat nyata, jadi semua karyanya seperti hidup.' Batin Sasori sambil menutup pintu ruangan Hinata.

.

Malam semakin menggelayut, tapi Hinata masih asik mengamati setiap detail kamarnya yang kini berlantai dua. Semua bagian penuh dengan sejarah, persis seperti cerita dalam lingkungan kerajaan Uchiha. Ah ya! Dia baru sadar satu hal. Semua hal di ruangan ini berisi penelitian teman-temannya di H.A.C mengenai generasi Uchiha dan keturunannya.

Tangan Hinata menyentuh sebuah ukiran dari kayu yang membentuk telapak tangan. Dua telapak tangan. Telapak tangan besar dan panjang, yang Hinata perkirakan adalah ceplakan dari tangan laki-laki, dan satu telapak tangan kecil yang berada tepat di tengah telapak tangan besar.

Shuuuuutt! Drap drap drap drap

Langkah kaki seseorang -oh bukan! – suara langkah kaki dari banyak orang menggema dari halaman depan rumahnya, atap kamarnya pun terasa bergetar seperti ada kucing yang sedang bertengkar.

Angin kencang berhembus menerbangkan gorden. Suara ketukan pintu yang pelan namun masih terdengar membuat seluruh kuduk Hinata meremang.

"Nona?" suara tegas seorang laki-laki membuat hinata terperangah.

"Astaga!" Hinata berjalan mundur sambil menutup mulutnya saat melihat banyak sekali prajurit di depan kamarnya.

"Maaf mengganggu waktu istirahat nona, bolehkah aku bicara sebentar?" Prajurit yang bicara dengan Hinata adalah prajurit bertopeng spiral.

"Ada apa? Kenapa banyak sekali orang- ah maksudku prajurit di sini? Bukankah kalian yang waktu itu aku temui di Istana Uchiha?" Hinata masih mengerjap.

"Hyuuga-san kami adalah pengawal pribadi tuan bungsu. Sebelumnya kami mohon maaf atas kejadiaan di istana minggu lalu. Kami hanya tidak ingin ada orang luar tahu. Maaf sudah membuat Hyuuga-san tidak sadarkan diri." Kali ini prajurit- oh tidak, tapi pengawal bertopeng yang ada di sana menunduk tanda permohonan maaf.

"Ah ya! Aku memaafkan kalian, tapi apa perlu kalian beramai-ramai datang kesini? Dan bagaimana bisa kalian diizinkan oleh penjaga gerbang manshionku?"Hinata memandang lagi pengawal yang ada di sana. Jumlahnya lebih dari dua puluh orang. Bahkan ada yang berada di pohon dan atap ruang utama.

"Sebuah surat membawa kami kesini Hyuuga-san, mungkin anda masih bingung. Tapi apa kami boleh masuk untuk menjelaskan lebih detailnya?"

Hinata memandang keseluruhannya, lagi dan lagi seolah member tanda bahwa dia tidak setuju.

"Baik, jika Hyuuga-san keberatan. Izinkan kami berlima saja untuk masuk."

Hinata mengangguk dengan wajah yang penuh kebingungan.

.

.

"Jadi, apa tujuan kalian? Dan, bukankah kalian adalah patung Istana?" Hinata sudah duduk di sofa miliknya.

"Intinya, kami diminta menitipkan sebuah seni tak bernilai. Kami sudah sering berpindah dan mencari keberadaan seseorang yang dimaksud dalam surat. Namun selalu salah. Tapi kali ini, kami yakin dengan sepenuh jiwa bahwa nona adalah orang yang dimaksud." Pengawal bertopeng spiral kembali bicara. Tatapan matanya tajam penuh keyakinan.

"Apa yang akan kalian titipkan? Seni tak bernilai seperti apa?"

"Anda akan tahu sebentar lagi nona, bisakah anda menggunakan ini?"

Sebuah kain berwarna navy kini berada di tangan Hinata. Kain itu dibentangkan memanjang. Hanya kain biasa menurut Hinata.

"Akai akan membantu anda menggunakannya. Tenang saja, dia adalah wanita." Hinata hanya menurut. Seluruh pakaian dalamnya benar-benar dilepas, Hinata seolah pasrah dan membiarkan Akai membalut tubuhnya dengan kain navy yang pengawal spiral berikan.

Sementara Hinata berganti pakaian, pengawal yang tidak masuk ruangan Hinata kini masuk dan membawa sesuatu.

Pengawal spiral melangkah menuju ukiran kayu di sudut ruangan. Tangannya meraba ukiran kayu berbentuk dua telapak tangan. Besar dan kecil. Sebuah pintu terbuka. Pintu berbentuk sudut siku-siku menyambungkan ruangan Hinata dengan sebuah kamar lain.

Pengawal lainnya meletakkan apa yang mereka bawa di tengah ruangan pada bangku bertahta permata dengan ukiran kayu yang tak kalah rumitnya. Seni tak bernilai.

.

.

.

Sinar berwarna lavender berpendar dari kain navy yang Hinata gunakan. Kain yang semula polos, kini berubah menjadi kain penuh dengan sulaman benang berwarna lavender.

Hinata dibawa masuk ke kamar lain. Pandangannya di pusatkan pada seni tak bernilai yang sejak awal dibicarakan.

"Nona, kami titip patung tuan bungsu di sini. Patung ini adalah perwujudan tuan bungsu ketika dewasa, tidak ada yang tahu seperti apa wujud tuan bungsu, karena beliau diasingkan di negeri lain. Patung ini adalah seni tak bernilai. Bukan karena tidak ada harganya, tapi tak ada satupun harta yang bisa dibandingkan oleh patung ini. Kami semua rela mati lagi demi menjaga keutuhan patung ini."

.

"Perlakukanlah patung ini layaknya manusia biasa, meski hanya patung, gantilah pakaian tuang bungsu dengan pakaian pemuda jaman sekarang. Jika diperkirakan, patung ini menggambarkan tuan bungsu saat berusia 23 tahun."

.

"Jika berkenan, kecuplah keningnya setiap Hyuuga-san ingin tidur. Nona dilarang menyentuh wajah tuan bungsu dengan tangan. Ceritalah padanya apa yang Hyuuga-san alami selama seharian. Kasur dan peralatan di sini semua adalah untuk Hyuuga-san. Lakukan apa yang Hyuuga-san suka. Menyentuh, meraba, meng- ehem … maaf, lakukan apa yang menurut Hyuuga-san nyaman dan menyenangkan." Wajah Hinata memerah mendengar perkataan sang pengawal ramah.

.

"Jadilah diri sendiri saat Hime berada di dekat tuan bungsu. Ini saat terakhir kami bertugas, kami akan kembali jika 'dia' benar-benar terwujud. Jangan beritahu siapapun tentang ini. Hime bisa masuk ke ruangan ini dengan menyatukan tangan Hime pada ukiran telapak tangan yang kecil."

.

"Kami pamit. Jagalah tuan bungsu. Pakaikan dia baju yang layak, dan untuk celananya mungkin anda bisa melilitkan kain saja. Atau bisa juga dengan celana jika anda mau direpotkan… hihihi…"

.

"Kami menyarankan agar anda meneruskan studi saja. Jangan terlalu mengurusi Istana Uchiha. Anda adalah permata dari keluarga Hyuuga dan anda adalah kunci dari setiap pintu yang kami lalui."

.

Beberapa dari pengawal mulai keluar kamar rahasia ini. Meninggalkan sang pengawal spiral.

"Ada satu syarat lain yang harus nona penuhi. Kemarilah…" Hinata berjalan mendekati sang pengawal.

"Kami sudah selesai merapikan ruangan ini… jadi nona bisa tetap berada di kamar ini hingga esok pagi." Sang pengawal berjalan menuju pintu, dan bersiap untuk keluar. Meninggalkan Hinata yang masih bingung dengan maksud sang pengawal.

"Jadi, syarat apa? Cepatlah, aku sudah tidak betah menggunakan kain ini. Suhu di sini sangat dingin, aku bisa mati membeku." Hinata cemberut, tanpa tahu bahwa dibalik topeng spiral itu sang pengawal sedang menahan mimisan.

"Baiklah, dengarkan dengan seksama. Ruangan ini akan berubah suhunya sesuai dengan apa yang nona rasakan dan nona butuhkan. Duduklah tepat di atas pangkuan patung tuan bungsu. Tolong jangan membantah. Yak! Jangan sekarang melakukannya. Tunggu saya keluar dan pintu ini tertutup rapat."

Hinata mengangguk polos dan kembali berdiri menghadap sang pengawal. Menunggu syarat lain yang belum diucapkan sang pengawal.

"Lepaskan seluruh pakaian nona saat berada di pangkuan tuan bungsu. Resapi apa yang nona rasakan. Dan sentuhkan bagian yang diminta dari suara yang akan nona dengar nanti. Itu suara hati nona. Dan yang nama tuan bungsu saat nona sedang berada di ruangan ini. Dan … Tuan bungsu bernama…

.

.

.

.

.

Uchiha

.

.

.

Sasuke

.

.

.

'Cklek' pintu kamar benar-benar tertutup rapat sekarang.

.

"Uchiha Sasuke?" Hinata mengulang ucapan sang pengawal yang kini sudah benar-benar keluar dari kamar itu. Kini pandangan matanya terarah pada patung yang sejak tadi menjadi sesuatu yang dia bingungkan.

"Jadi? Aku harus apa?" Wajah polos Hinata kini berubah jadi memerah saat memikirkan apa yang akan dia lakukan, meski hanya patung. Tapi melepas pakaian pada lawan jenis adalah hal yang baru bagi Hinata.

"Yosh! Baiklah tuan bungsu, ah tidak."

"Baiklah Sasuke, Mohon bantuannya." Hinata membungkuk pada sang patung, melepaskan bagian tudung yang sejak tadi menutupi wajah 'Sasuke' . Terperanjat, namun masih berusaha fokus dan sesaat kemudian Hinata mulai melakukan syarat yang diucapkan oleh sang pengawal spiral. Meski terdengar tidak masuk akal. Tapi entah kenapa Hinata yakin bahwa apa yang baru saja diucapkan adalah syarat mutlak.

.

.

Saat ini

Di bagian kamar lain di ruang kamarku

Aku menyatukan rasa dan hatiku pada 'seni tak berharga'

Pikiranku seolah kosong saat bagian tubuhku menyentuh kain yang membalut tubuh Sasuke.

Rasanya aneh, terutama saat aku memandang mata tajamnya yang seolah mengintimidasi diriku.

Sasuke.

Ya! Uchiha Sasuke

Sasuke Uchiha

Siapapun dia

Dia adalah bagian terpenting dalam sejarah kejayaan dan kekelaman kerajaan Uchiha.

Si Bungsu yang tak pernah Nampak

Dan si bungsu yang kini ada di hadapanku meski hanya sebuah patung

.

.

Di usia Sembilan belas tahun inilah semuanya berawal

.

.

.

.

.

.

.


.

.

.

.

.

.

.

-TBC-

.

.

.


A/N:

Maaf sudah menunggu lama. WB menyerang rambu, padahal setengah dari chap ini sudah di draf dari September 2015. 3k words ini sebagai gantinya…

Chap depan nggak bisa janji kapan updatenya, tapi dipastikan akan ada adegan Maturenya ^/^


Telimakasih untuk yang kemarin sudah baca dan berkenan untuk review di chapter 3

Linevy Hime-chan, ryuuki, Cahya Uchiha, Namikaze Otorie, I'm Hinata Lovers, onna miku, onyx dark blue, nurul851, yama-yuuri,hyuga ashikawa, , Betelgeuse Bellatrix, Vanpire Uchiha, wiendzbica732, Shion-Hana, little lily, tomeisan, sasuhina69, goodnight, ade854, Morita Naomi, Guest, Shinigami no widy, Daisuke, flo

.

.


Ditunggu review nya yaaa… Jaaa

.

.

.