PREVIEW:

"Ah, pasti karena ini di tengah hutan."

Ia merogoh tas untuk mencari kunci mobil. Keadaan yang gelap membuatnya harus berjalan dengan pandang menunduk pada tas. Ketika menemukannya, kepalanya menoleh beberapa kali, alisnya bertekuk, rasa takut membanjirinya hingga membuatnya berputar untuk menatap seluruh hutan yang gelap.

Ia tidak bisa menemukan VW tercintanya.

Apakah ia salah tempat?

.

.

.

Arthur, the Magical and Pitiful
from Arthur the Wizard Series: Volume 1

.

It may be a little vague for the characters, so here I give you the names.

Cast:

Main character — Arthur Kirkland (England)
The Beautiful Woman — Tina (Finland Nyotalia Ver.)
The Leader of the Forest / Baby Deer— Elizaveta (Hungary)
Princess of the Water — Angelique (Seychelles)
Prince of the Forest — Gupta (Egypt)

.

Chap 2 : The Green Wizard

.

.

.

Arthur berharap ini hanya mimpi, sungguh. Ia berdoa semoga saja tak sampai lima menit lagi akan terbangun oleh salah satu peri atau gnome di rumahnya, atau apa saja, yang jelas bisa meyakinkannya ia sedang tidur.

Karena kehilangan VW Beetle-nya lebih menyeramkan dari mimpi buruk.

Astaga, tak terbayang sedetik pun dalam pikirannya akan kehilangan mobil antik peninggalan orang tuanya, terlebih, di tengah hutan antah-berantah! Sekarang sudah malam, tidak ada penerangan kecuali jutaan bintang yang berdesakan di langit dan bulan purnama sebelum mereka hilang oleh kabut pagi buta. Jalan setapak yang tadi dilaluinya juga hilang—entah karena ia tidak melihatnya atau benar-benar hilang, seperti abakadabra.

Yang jelas, ia tidak pernah sepanik ini.

Berkali-kali Arthur menjambak rambut pirangnya, menghirup udara dingin dalam-dalam dan menghembuskannya dalam sentakan. Pupil hijaunya mengecil, sepasang sayap elang di atas matanya seperti mengepak ketika ia mengerjap-ngerjap. Jantungnya berdetak keras, ia bahkan bisa merasakan kakinya bergetar.

Tiba-tiba ia mengepalkan tinju dan melemparnya ke pipinya sendiri.

Bagus, satu lagi lebam yang baru.

"Sadarlah, Arthur, kau tidak apa-apa," ucapnya pada diri sendiri walau dengan gemetar. "Kau hanya tersesat di tengah hutan, itu saja. Tidak akan ada bandit atau serigala yang akan muncul tiba-tiba. Mobilmu juga pasti ada di suatu tempat, kau hanya tidak melihatnya saja. Ya, kau hanya tidak melihatnya, Arthur! Hahaha!" ia menertawai ucapannya.

Dan terapi diri ini berhasil membuatnya tenang. Setidaknya, sudah bernapas normal dan bisa menggunakan logika dengan dingin.

"Sekarang, apa yang harus aku lakukan?" gumamnya.

Sesuatu tiba-tiba bergerak di balik semak-semak. Ia bisa melihatnya berkat cahaya remang rembulan dan suara gesekan daun di sepinya malam.

Arthur terlonjak kaget, mundur dua langkah. Bayangan para bandit dan serigala yang baru saja ia hilangkan, kembali muncul.

Dan ia takut sesuatu itu akan meloncat ke depan wajahnya dan menerkamnya.

Apakah ini balasan dari dosa-dosanya yang terdahulu, sebagai berandalan?

Sesuatu lagi-lagi bergerak di balik semak-semak. Kini samar-samar ia bisa melihat sesuatu yang berpendar. Tidak mungkin kunang-kunang, karena sinarnya bukanlah putih atau kuning pucat. Tapi… biru muda.

'Roh?'

Apapun itu, ia terus bergerak. Syukurnya menjauhi Arthur.

Mata hijaunya tidak bisa berhenti mengikuti arah cahaya biru itu pergi. Tanpa sengaja ia melihat di sela-sela kacamatanya dan menemukan sepasang kaki putih dan jenjang yang… kekar. Tunggu, kekar?

Ia segera melepas kacamatanya, dan tertegun lama. Pasalnya, terlepas dari kenyataan dia bisa melihat berbagai makhluk, tapi yang satu ini… belum pernah.

Seekor kuda betina, gagah dan cantik. Surai peraknya bergoyang lembut di setiap tapak kakinya, cahaya biru muda berpendar dari bulu-bulu putihnya. Dan terlebih, kuda itu memiliki tanduk emas.

"Unicorn?!"

Arthur segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kuda itu tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arahnya.

'Oh, sial, aku keceplosan,' rutuknya.

Kuda itu tak bergerak dan terus menatapnya dengan sepasang mata violet di bawah bulu mata lentik. Arthur tidak tahu apa yang harus ia lakukan—ia sedikit gugup, namun di atas semua itu, senang bukan main. Ternyata benar, selama ini Unicorn benar-benar ada, bukan sekedar keyakinan mendiang ibunya semata.

Dengan anggun dan tenang, kuda itu kembali berjalan. Namun rasa penasaran tidak membiarkan Arthur meninggalkanya begitu saja. Dengan perlahan dan menjaga jarak, ia mengikuti Unicorn itu.

Hutan yang tertutup dan tanah yang penuh akar berlumut, jadi terlihat memiliki jalan setapak setelah mengikuti langkah kaki sang Pegasus yang ternyata meninggalkan jejak bersinar. Arthur tidak henti-hentinya tertegun, terlebih setelah menyadari bahwa Unicorn itu juga memiliki sepasang sayap raksasa seperti milik burung dara.

'Ah, ternyata itu Pegasus.'

Semakin lama mereka berjalan, semakin gelap malam, dan Arthur bisa merasakan semakin banyak makhluk yang mengekor di belakangnya. Namun Pegasus itu terus berjalan seolah tidak menyadari sedang dibuntuti. 'Atau ia sebenarnya sedang menuntun mereka?'

Mata-mata besar itu mengintip dari semak-semak dan celah pepohonan. Beberapa memiliki kaki yang kecil dari langkah ringan mereka berlari ketika Arthur menoleh, beberapa bahkan terlalu besar untuk bergerak cepat.

'O-ogre?!' tatapan Arthur tertuju pada sesosok manusia raksasa bungkuk yang berdiri kikuk di samping pohon pinus besar. Arthur membeku di tempat, untungnya tidak menyuarakannya lagi—oh, rahangnya hanya bisa membuka kaku.

Ia memilih untuk kembali mengikuti Pegasus itu saja.

Namun jejaknya menghilang di balik sebuah pohon oak raksasa. Arthur menunggu, memicingkan mata namun masih tak berani untuk mendekat. Ia melihat cahaya biru itu lagi, menyeruak perlahan dari balik pohon. Sesosok wanita dengan gaun panjang berjalan perlahan. Tatapan beku Arthur bertemu dengan sepasang mata violetnya, membuat wanita itu tersenyum dan mendekatkan telunjuk ke bibir.

Arthur merasa pernah melihatnya. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Di jalan, kampus, pasar, atau salah satu mimpi basahnya? Demi Tuhan, kenapa tiba-tiba pikirannya kosong? Rambut pirang pucat dan tubuh indah gitar spanyol itu mengacaukan otaknya! Dan entah kenapa, dia memilki kepercayaan bahwa wangi lembut vanila yang menguar di udara itu bersumber dari gaun birunya yang bercahaya.

Untuk sebuah mimpi, bahkan ini terlalu tinggi.

Ketika ia kembali memperhatikan sekitarnya, wanita itu telah melangkah semakin jauh, entah kemana, tapi Arthur rasa ia begitu yakin dengan tujuannya. Lagipula makhluk-makhluk yang sedari tadi bersembunyi di belakangnya sudah berjalan mendahuluinya, jadi tidak ada alasan baginya untuk diam di tempat.

Wanita itu berhenti di balik semak-semak, di mana Arthur melihat sepasang rusa dewasa tengah berbaring dengan kepala berdekatan. Perut salah satunya mengembung, Arthur rasa tengah hamil. Wanita itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh perut sang betina, membuatnya ikut bercahaya. Perlahan, sebuah siluet terlihat dari kulit tipis sang rusa. Arthur tidak mau mengakuinya, tapi ia merasa siluet 'bayi' yang dilihatnya tidak mirip dengan bayi rusa.

Arthur tidak tahu lagi apa yang wanita itu lakukan—sepengelihatannya, wanita itu hanya memasukkan tangannya ke dalam perut sang betina, dan tiba-tiba di tangannya sudah merengek-rengek seorang bayi manusia, masih basah dengan darah.

Ya, bayi manusia. Tidak salah lagi. Sebodoh-bodohnya Arthur dengan biologi, ia masih bisa membedakan mana manusia mana hewan.

Alunan ringan nada lullaby digumamkan wanita itu. Sentuhan yang begitu halus, dekapannya tinggi agar bisa melihat wajah bayi itu lebih jelas. Perlahan tangisan sang bayi mereda, tertidur begitu saja. Samar-samar cahaya hijau berpendar dari tubuh sang bayi, dan Arthur tidak tahu harus melakukan apa lagi selain mengabadikan setiap inci pemandangan dua makhluk yang ia sendiri tidak tahu apa itu.

Wanita itu menoleh, matanya kembali bertemu emerald Arthur.

"Kemarilah, Tuan Kirkland."

Arthur tidak yakin ia yang dipanggil, tapi tidak mungkin ada lagi 'Tuan Kirkland' selain dirinya di sini.

Ia mendekat dengan kaku dan ikut berlutut di samping wanita itu.

"Indah bukan? Sebuah kehidupan baru. Kau pasti bisa melihatnya, kan, Tuan Kirkland? Jiwa suci yang tercipta dari intisari hutan, terlahir dari para makhluk sihir sehingga dapat menyerupai ciptaan Tuhan paling sempurna, manusia. Ialah yang akan menjadi penguasa dari hutan ini, memimpin makhluk-makhluk yang sedari tadi bersembunyi di belakangmu," wanita itu terkekeh, "Maka dari itu, aku menitipkannya padamu."

Ada jeda untuk Arthur menyadari kalimatnya. "…Ha? Apa? Aku? Kenapa?"

"Ya, kau, Arthur Kirkland." Wanita itu menyerahkan sang bayi ke rengkuhan Arthur. "Karena kaulah sang penjaga hutan ini, sang Penyihir Hijau."

"T-tunggu dulu!" Ada rasa geli ketika kulit lengannya bertemu kulit lembab dan lembut sang bayi, dan itu membuatnya salah tingkah. "Aku tidak mengerti satu pun kalimatmu! Lagipula, ini perasaanku saja atau kita pernah bertemu?"

Wanita itu mengembangkan senyum geli—yang secara menggelikan, sama sekali tidak terlihat mengejek. "Semua makhluk di hutan pasti juga pernah."

"Well, maaf saja, tapi aku bukan makhluk-makhluk hutanmu—aku bahkan bukan dari sini."

"Tidak, Tuan Kirkland. Dari sinilah kau berasal."

Menggelikan. Tidak mungkin Arthur melupakan identitasnya sendiri. Dia seorang pemuda Inggris asli yang lahir di London, sebuah hutan beton belantara di selatan Inggris, bukan hutan belantara sesungguhnya.

"Apa maksudmu?" Arthur berdecak, kini agak kesal.

"Tuan Kirkland, kau pasti bertanya-tanya kenapa semua ini bisa berbeda dari duniamu, kan?" Wanita itu menyentuh lengan Arthur, jarinya lembut, namun dingin—membuat pandangannya berpaling sesaat sebelum kembali ke sepasang violet sang wanita yang bercahaya. "Karena sekarang kau berada di zaman yang berbeda. Ini adalah zaman yang kau cari, di mana Raja Alfred hidup."

Napasnya tercekat, namun kedua matanya membesar—entah ingin terkagum-kagum atau tertawa mencemooh. "Jangan bercanda."

"Tidak ada satu pun kalimatku yang merupakan candaan, Tuan Kirkland. Meskipun, masih terlalu cepat untuk menyebutnya raja—sang Pangeran Alfred Foster Jones. Dia masihlah calon pangeran yang berumur empat tahun, seorang bocah yang ditinggal mati ibunya sejak lahir, dan kini baru saja kehilangan ayahnya. Namun hanya sampai di situ yang bisa kuberitahukan padamu. Jika kau benar-benar ingin tahu tentangnya, maka lihat dan pelajarilah sendiri."

Ada kerutan di atas hidung Arthur ketika alisnya menukik tajam. "Maksudmu, aku harus menunggunya menjadi raja? Sudah cukup dengan candaanmu, Nona. Bukankah itu sama saja dengan aku harus tinggal di sini untuk beberapa tahun ke depan? Asal kau tahu saja, masa skorsku cuma seminggu, dan aku tidak ingin berjalan di kampus sebagai kakek-kakek."

"Kalau begitu aku akan membekukan waktu untukmu," ujar wanita itu, dari senyum dan pandangannya sudah terlihat bahwa itu bukan tawaran. Itu perintah. "Kau tidak akan bertambah tua atau merasa lelah. Dan ketika jawaban dari pertanyaan terbesarmu telah terjawab, dan sejarah telah berubah, kau akan kembali ke masamu, tepat di detik kau pergi meninggalkannya."

Wanita itu kemudian mencondongkan badan, membuat Arthur secara reflek menghindar ke belakang. Namun apa daya, masih bisa dijangkau oleh sebuah kecupan dari sepasang bibir merah jambu merona yang lembut di keningnya. Sensasi yang dapat mendebarkan jantung begitu keras itu membuatnya mematung dan setengah sadar. Hingga tanpa ia sadari, tubuh wanita itu memudar.

"Tunggu, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!" seru Arthur, mulai panik melihat wanita cantik itu perlahan tembus pandang.

"Kau tahu, Arthur. Kau sudah mempelajarinya seumur hidupmu. Dan semua yang kaubutuhkan…" wanita itu menyentuh dada kiri Arthur yang tertutup kemeja tipis musim panas, "ada di sini." Wanita itu memperlebar senyumnya. "Dan di sini," ia tiba-tiba menunjuk tas Arthur.

Kemudian, seperti abakadabra, sosoknya musnah seketika—meledak dari dalam dan meninggalkan serbuk-serbuk biru bercahaya di udara.

Apa yang kauharapkan? Arthur mengucapkan selamat tinggal? Tidak, dia masih mematung, sama sekali tidak percaya dengan yang baru saja terjadi meskipun ia sudah melihat hantu sejak ia bisa mengingat.

Gerakan lembut di lengannya membuat Arthur menunduk. Bayi itu masih memancarkan cahaya hijau yang redup, kepala mungilnya yang terlihat penuh dengan sepasang pipi tembam, bergerak perlahan ketika kelopak matanya membuka, dan berkedip. Kemudian, sepasang emerald yang lebih gelap dari miliknya, menyambut Arthur dengan hangat.

Arthur semakin membeku—kali ini ia yakin alasannya karena terpesona dengan bayi imut ini.

Perlahan-lahan rasa tenang mulai memenuhi dada. Ia melupakan segala hal tentang tersesat, Pegasus, skorsing, dan Raja Alfred untuk sesaat. Ia hanya ingin membuat bayi ini nyaman bersamanya.

Suara langkah kaki-kaki yang berat dan gesekan dengan dedaunan, menyadarkan Arthur. Tiba-tiba saja ia sudah dikelilingi oleh makhluk-makhluk hutan yang mengikutinya tadi, walau ia tidak menyangka akan sebanyak ini.

'A-apa ini?' batinnya, keringat dingin mulai turun. 'Mereka akan menyakitiku karena anak ini?'

Tiba-tiba cahaya hijau dan biru kembali menyeruak dari tengah hutan yang gelap. Dan tebakan Arthur bahwa akan muncul lagi makhluk-makhluk ajaib sebangsa peri, ternyata benar.

Seekor serigala hitam yang mengingatkan Arthur dengan Anubis* berjalan melewati lingkaran makhluk-makhluk hutan dengan dada dibusungkan. Tak berapa lama, seekor lumba-lumba berenang di udara dan mendarat di samping serigala hitam itu. Sinar hijau dan biru yang tadi dilihatnya, memancar dari tubuh dua hewan itu.

Belum juga Arthur mempersiapkan diri untuk kejutan yang lain, dua makhluk itu berubah dalam kedipan mata menjadi seorang pemuda dan pemudi berkulit coklat terang dengan rambut hazelnut. Telinga mereka runcing, mata mereka tajam namun indah. Ada sesuatu semacam torehan cat berwarna putih di wajah mereka yang malah terkesan artistik.

Pemuda itu, yang membalut tubuhnya dengan jubah hitam, berlutut di hadapan Arthur. "Segala kerendahan hati bagimu, Tuan. Saya Gupta, sang Pangeran Hutan. Terimalah hamba untuk melayanimu, Tuan Penyihir Hijau."

Gadis di sampingnya yang mengucir dua rambut panjangnya, juga melakukan hal yang sama. "Betapa senangnya kami bisa bertemu Anda setelah penantian yang panjang, Tuanku. Saya Angelique, sang Putri Air. Selamat datang, Tuan Arthur Kirkland."

Semua hewan, tumbuhan, bahkan batu-batu berlumut yang ternyata sekumpulan troll pun, ikut berlutut di hadapan Arthur.

Hening sejenak untuk Arthur mencubiti pipinya.

"Sakit," gumamnya. Ia kembali berkeringat dingin. "Sial, ini bukan mimpi."

.

-:-

.

"Arthur."

Ada sebuah pengelihatan, tentang masa lalu yang sangat jauh. Di dalamnya, Arthur melihat ibunya. Wanita dengan rambut pirang jerami sepundak, tengah menunduk menghadapnya yang berbaring di ranjang.

"Aku tidak bisa tidur, Bu. Nona Williams selalu muncul di ambang pintu ketika aku menutup mata. Ibu… tidak berpikir aku gila, kan? Soalnya anak-anak lain berkata seperti itu. Tapi aku melihatnya, Ibu. Hanya saja Nona Williams sekarang bisa berjalan melayang. Wajahnya pucat dan kadang ada darah mengalir dari matanya. Tanganku juga bisa menembusnya ketika aku ingin menyentuhnya. Lalu, tubuhnya tembus pandang. Tapi Nona Williams masih hidup kan, Bu? Dia… bukan hantu, kan, Ibu?"

Tangan kanan sang ibu menyentuh kepala Arthur yang saat itu belum genap lima tahun, dan mengelusnya perlahan. Telapaknya yang hangat membuat bocah itu nyaman. Senyum manisnya bahkan lebih indah dari milik para malaikat yang pernah dilihatnya dahulu.

"Arthur, kau tidak gila. Nona Williams mengikutimu karena dia sayang padamu—kau satu-satunya anak di sekitar sini yang mau berbicara dengannya. Dia menyayangimu, sama seperti Ibu menyayangimu. Dia tidak bermaksud menakutimu, hanya ingin merasakan bagaimana menjadi seorang ibu setelah meninggal karena kegagalan operasi pengangkatan rahim. Bersikap baiklah padanya, ya?"

Arthur mengangguk. Bocah itu langsung melompat dari kasur dan berhenti di ambang pintu. Pipi tembamnya memerah ketika ia menengadah, dan berkata, "Aku juga menyayangimu, Nona Williams. Terimakasih sudah menjagaku selama ini. Tapi aku masih memiliki ibu, sedangkan anakmu di sana tidak. Jadi, kurasa akan lebih adil jika kau bersamanya dan Tuan Williams juga."

Sophie Williams—hantu wanita muda yang terbalut pakaian pasien rumah sakit dan berambut coklat gelap, membungkuk perlahan mendekati Arthur. Samar-samar setetes air mengalir dari pelupuk matanya seiring tubuhnya yang perlahan menghilang.

"Salam untuk Jonathan, ya! Walau aku tidak pernah melihatnya dengan daging dan kulit, tapi aku sudah menganggapnya adikku sendiri."

Nona Williams tersenyum, dan menghilang begitu saja.

Arthur kembali ke ranjang, dengan takut-takut menatap ibunya. Apakah ibunya akan menghakiminya juga sekarang?

Namun, Amanda Kirkland malah memeluk anaknya dengan hangat. "Kau anak yang baik, Arthur. Itulah sihirmu."

"Ibu percaya sihir?"

"Tentu. Dan kau pun juga harus percaya, bahwa semua orang memiliki sihir di dalam dirinya. Arthur, tetaplah menjadi penyihir cahaya, bukan hanya bagi Ibu, tapi untuk semua orang. Sekarang, saatnya kau tidur. Jangan takut, berbaringlah dan tutup matamu. Ibu akan memberikan sihir agar kau bisa bermimpi indah."

Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Arthur untuk beberapa saat. "Ibu menyayangimu, Arthur."

.

-:-

.

Ketika pagi datang dan cahaya menyilaukan mentari menyusup ke dalam mata, Arthur berharap bahwa mimpi yang tadi tidak akan berakhir. Ia rindu ibunya, bahkan di saat-saat ia sering menangis karena dikagetkan hantu yang muncul tiba-tiba.

'Sial, pasti aku membasahi bantal lagi,' batinnya.

Pemuda dua puluh tiga tahun itu mengulurkan tangan untuk mengelap air matanya, kembali berkedip perlahan, namun sadar bahwa air matanya mengalir bukan melewati pipi, tapi kening.

Tunggu… apa? Kening?

Setelah diperhatikan, semua barang dan perabotan melayang terbalik di udara, dan seluruh darah seakan mengendap di kepalanya.

"Bloody hell!" mencengkram poninya kuat-kuat, Arthur berusaha untuk kembali menapak tanah—secara harfiah—sampai dengan susah payah menggunakan teknik renang gaya bebas untuk bahkan menyentuh meja. Namun apa yang kauharapkan dari seseorang yang tidak bisa berenang? Apalagi ini di udara, bukan air.

Lalu, apalagi yang harus ia lakukan? Ketika sedang menerka-nerka, tas dan sepatunya melayang dan menghantam tubuhnya.

'…tas?'

Kenapa rasanya tas itu penting sekali? Tiba-tiba saja ia mengingat wanita Pegasus yang mengecup keningnya. Ia mengatakan sesuatu tentang segala yang Arthur butuhkan dan menyentuh dada kiri, kemudian tasnya.

"Segala yang… kubutuhkan?" Cepat-cepat diraihnya tali tas selempang itu sebelum terbang menjauh. Seperti yang diingatnya, isinya tidak terlalu penting, hanya dompet, telepon genggam—oke, ini penting—beberapa surat parkir, alat-alat tulis beserta buku catatan kecil, dan sebuah buku sihir bersama secarik surat tua yang diambilnya kemarin.

Tunggu, buku sihir?

Arthur membukanya—tanpa sengaja melihat nama yang tertera di sampul, dan kembali teringat ibunya—dan matanya langsung terkunci pada sebaris kalimat yang entah kenapa terlihat menarik.

"Ef ladhei auet ac eithaf!" serunya.

Seketika itu juga, semua barang yang melayang, jatuh ke tanah—termasuk dirinya.

Rasa sakit terasa terutama di daerah dada dan muka yang mendarat lebih dulu. Arthur terbangun tertatih-tatih, masih tidak bisa menangkap keadaan.

Tiba-tiba, terdengar gelak tawa bayi. Seluruh rambut halus di tengkuknya berdiri, bagaimanapun, ia paling tidak suka dengan hantu anak kecil. Mereka bisa sangat menyeramkan dengan cara yang polos, dan itu selalu membuat Arthur hampir gila. Namun gelak tawa itu semakin keras, terdengar begitu hidup seolah masih memiliki napas dan detak jantung.

Atau, memang iya?

Ia mengikuti arah suara itu berasal dan menemukan seorang bayi kemerah-merahan di sebuah keranjang dengan dibalut sweater-nya.

Arthur langsung tersadar sepenuhnya, mau tidak mau menerima kenyataan bahwa semalam ia bertemu seekor Pegasus yang berubah menjadi wanita cantik dan menyerahkannya seorang bayi rusa, dan tiba-tiba makhluk-makhluk hutan berlutut di hadapannya. Karena lelah, ia membawa sang bayi ke gubuk tempat pertama kali ia datang, menyalakan api untuk penghangatan, menyelimuti bayi itu, dan tertidur begitu saja. Begitu bangun, ternyata semalaman ia tertidur seperti kelelawar.

Dan ternyata semua itu nyata.

Tangan gempal dan mungil bayi itu meraih-raih udara ketika sepasang peri kecil melayang di atasnya. Paras mereka yang indah serta pakaian yang berkilauan membuat bayi itu tertawa riang. Arthur tanpa sadar tersenyum, merasakan setitik kehangatan di hatinya yang telah lama beku.

Tunggu, kenapa ia merasakan hal itu? Sejak orang tuanya meninggal, tidak ada yang pernah membuat hatinya sehangat ini.

Tiba-tiba, tawa riang itu terganti jerit tangis. Arthur panik, disambarnya bayi itu dan didekapkan di depan dada. "Cup, cup, jangan menangis. Kau membuatku panik." Tapi bayi itu malah menangis semakin keras. "Kau kenapa, sih?"

Seorang peri mendekat ke telinga Arthur dan berkata, "Tuanku, Yang Mulia lapar."

"Hah, apa?" Arthur menaikkan sebelah alisnya tinggi-tinggi, masih tidak tersadar siapa yang dipanggil 'Tuanku' oleh peri tadi hingga beberapa saat. "Oh, lapar?"

Pandangan dari kristal emerald-nya menyisir seluruh ruangan. Dan sejauh yang ditangkapnya, tidak ada satu pun yang dapat dikategorikan sebagai makanan.

Menghela napas keras, Arthur mengambil sweater-nya dan berjalan menuju hutan. Ia bukanlah anggota pramuka, bahkan mempelajari walau secuil pun tidak pernah, tapi ia yakin selalu ada sesuatu di hutan yang dapat membuatnya bertahan hidup, termasuk bayi yang secara teknis terlahir dari makhluk hutan ini.

Ngomong-ngomong soal lahir, baru beberapa menit berjalan—dalam kepanikan batin—Arthur menemukan kijang yang sekiranya melahirkan bayi itu. Entah kenapa ia yakin tidak salah hewan, mungkin karena warna mata rusa itu yang sama dengan bayi ini. Tangisan sang bayi semakin keras, perlahan rusa itu mendekat dan mengeluskan moncongnya ke pipi sang bayi. Rengekan itu perlahan memudar, walau masih terselingi isakan.

Rusa itu merebahkan diri ke tanah. Arthur menatapnya dengan bingung, dan saat itulah sebuah suara menyusup ke kepalanya, 'Serahkan saja dia padaku, Tuan.'

Tunggu, rusa itu… bicara?

"Apa?" Arthur merasa bodoh karena tidak mengerti percakapan untuk yang kedua kali di pagi hari. "Kau gila? Mana bisa begitu!"

Karena seruan Arthur, bayi itu kembali menangis.

Suara itu kembali menyusup, 'Tidak apa-apa, Tuanku. Aku ibunya.'

Arthur terdiam. Ia selalu merinding dengan hubungan 'ibu-anak', sesuatu yang suci dan tulus, sekaligus kuat dan dalam—tidak bisa dijelaskan. Dan mungkin juga karena perasaan itu, Arthur turut merebahkan bayi tanpa busana itu di samping sang rusa.

Sebenarnya, sampai detik ini Arthur masih menganggap ia bermimpi, apalagi melihat seorang bayi dengan nalurinya sendiri menerima susuan seekor kijang. Sudahlah, semua ini membuatnya sakit kepala. Ketika berpikir ingin membasuh muka, ia mendengar gemericik air tak jauh dari sana. Arthur berdiri dan menengadahkan kepala. Kilauan-kilauan cahaya mentari yang terpantul di birunya sungai, menyambut mata hijaunya walau sedikit terhalang pepohonan yang lebat.

Dan jika dipikir-pikir, hutan ini terlalu gelap untuk daerah Paleartik.

"Tuanku, Arthur sang Penyihir Hijau."

Arthur tiba-tiba terloncat sambil berseru kaget. Ketika pundaknya menegang dan pandangannya menyebar, ia melihat pohon-pohon di dekatnya bergerak dan menampakkan sewujud wajah di kerak-kerak kulit mereka.

"Tuan Arthur, Tuan Gupta sudah memberitahu kami untuk melayani Anda sementara beliau pergi."

Dan mengerikannya, mereka bicara.

Rahang Arthur lagi-lagi tertahan di udara. "…Gupta…?" Ingatan akan semalam kembali berkelebat bagai serbuan gagak di dalam kepalanya. "Oh, maksudmu pemuda jelmaan Anubis itu? Si Pangeran Hutan?"

"Benar, Tuanku," sahut salah satu pohon, yang paling dekat dengan Arthur dan kijang betina itu. "Kami mendengar pertanyaanmu tentang kami. Kami tumbuh tinggi, lebat, dan hidup karena air suci dari Gunung Fangorn mengaliri akar-akar kami selama ratusan tahun, dan terus berjalan menuju peradaban manusia lewat sungai Seychelles hingga kini. Dan jika Tuanku berkenan, biarkan kami menuntun Anda menuju sungai itu. Putri Angelique akan menyambut Anda."

"Eh… te-terikamasih," balas Arthur. Di luar dugaannya, pohon ajaib di sini ramah—kelewat santun, malah—tidak seperti yang di The Lord of The Ring.

Pohon-pohon itu kemudian bergerak perlahan, membuka jalan yang disinari sinar matahari pagi yang tampak bertabur serbuk-serbuk emas, langsung menuju aliran sungai yang begitu biru dan berkilau hingga membuat Arthur merasa dapat meminum airnya langsung.

Tanpa ragu ia melangkah, sesekali melihat satu-dua peri mengintip dari balik daun dan batang pohon sambil memperhatikannya. Arthur terkekeh—semua peri itu mengingatkannya pada peri-peri tamannya di rumah, yang cantik, mungil, dan ramah.

Ketika telah sampai di tepi sungai, ia langsung mengambil setangkup air di tangannya dan meneguknya dengan cepat. Ia bahkan tidak sadar dirinya sehaus ini. Pantulan dirinya di permukaan air membuatnya sadar betapa usang wajahnya dan muncullah keinginan yang besar untuk melepas baju dan menceburkan diri ke dalam dinginnya air sungai.

Perlahan ia tanggalkan pakaiannnya satu-persatu. Rasa malu mulai menjalar ketika ia sadar bahwa sejak tadi para peri hutan masih mengikuti. Dengan wajah memerah bagai tomat, ia mempercepat pelepasan pakaiannya—karena hanya itu yang ia bawa—dan bergegas melangkah masuk ke dalam sungai yang dingin. Ia berseru keras karena rasa dingin yang menjalar hingga tulang, namun memberanikan diri untuk semakin memasukkan diri sebatas dada dan menemukan kenyamanan dalam lembutnya arus sungai dan segarnya air.

Yang tidak ia sangka adalah, saking asyiknya berendam karena merasa sudah lama tidak merasa sesegar ini, ia tidak menyadari pakaian yang dengan sembrono ia lepas terbawa arus sungai. Dan ketika ia menyadari hal itu, pakaiannya sudah berenang terlalu jauh untuk dijangkaunya.

"A-ah! Tidak! Pakaianku!"

Lucu. Bahkan pakaiannya lebih pandai berenang dibanding dirinya.

Ketika membeku di tempat itulah, dengan wajah panik karena membayangkan akan manjadi Tarzan lebih cepat dari perkiraannya, Arthur kembali dikagetkan oleh kepala yang tiba-tiba menyembul dari dalam air.

"Tuan, ada masalah apa?" Gadis tadi malam, yang menjelma dari seekor lumba-lumba, menatapnya heran dengan sepasang mata hazelnut-nya yang besar.

Arthur kembali menjerit keras. Kali ini karena sadar dirinya tidak memakai apapun sedangkan di sampingnya ada lawan jenis. Secara insting, dengan cepat ia meraih beberapa daun teratai untuk menutupi tubuhnya.

"K-kenapa kau muncul dari dalam sungai?" seru Arthur, ngeri.

"Hm? Saya 'kan memang tinggal di sungai," jawabnya dengan polos.

Dan Arthur kembali membeku dengan wajah bodoh, seketika itu hantaman memori membuatnya tersadar. Bahwa saat ini tidak ada satupun di sekitarnya yang normal. Dan gadis ini, baiklah Arthur akan memperhatikan bagian tubuh bawahnya di dalam air, ternyata memang setengah ikan.

"Ah… um… bajuku tidak sengaja hanyut…." Arthur ragu untuk meminta pertolongan, tapi mau bagaimana lagi? Jika berenang ia sendiri yang akan menghilang. "Bisa tolong ambilkan?"

Gadis itu tersenyum cerita. "Tentu!" Dan dengan sekali lompatan yang menampakkan ekor birunya ke permukaan, peri sungai itu—mungkin?—sudah melesat mengikuti arus sungai.

Oh, sudah cukup. Arthur tidak ingin mandi di sungai lagi untuk beberapa waktu. Dan terlebih, ia tidak ingin memakai pakaian basah sepanjang hari. Dan lebih, lebih lagi, ia tidak ingin bertelanjang bulat di depan wanita. Kenapa semua mimpi buruknya muncul di saat yang bersamaan?

Benar saja, ketika gadis duyung sungai itu kembali, tak ada setitik tempat pun dalam pakaian Arthur yang kering—tentu saja, apa yang ia harapkan? Arthur menatap sweater, kemeja, celana, dan boxer-nya, yang kini kembali ke tangannya dan merasa ingin menangis saja.

"E-eh? Tuan Arthur kenapa?" tanya gadis itu—sekarang Arthur ingat namanya, Angelique—ikut panik. "A-aduh, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku mengambil pakaian yang salah? Haruskah aku ambilkan kulit kerang? A-apa aku panggil Tuan Gupta saja, ya?"

"Ti-tidak perlu. Aku hanya—" Arthur terisak, membuat dirinya cukup kaget. Oh, segala abnormalisme di pagi hari terlalu berlebihan bagi logikanya bahkan untuk menekan emosi. Ia butuh teh. Atau setidaknya sepotong roti.

Angelique, di satu sisi, malah yang berubah pucat. "Tuan Gupta!" Teriakan itu membahana, menggema di seantero hutan hingga tiba-tiba sosok Gupta dengan jubah hitam yang tadi malam muncul di tepi sungai.

"Ada apa, Tuanku? Adakah yang Anda inginkan?" tanya Gupta, membungkuk hormat.

"Ah… aku ingin baju."

Gupta mengangguk. "Akan saya persiapkan." Dalam sekejab mata ia menghilang bersama angin, dan kemudian kembali bersama segumpal kapas dan wol dalam pelukannya.

Arthur menaikkan alis. "Ini…?"

"Bahan untuk membuat baju."

"A-apa kau gila?!" seru Arthur, "Bagaimana caranya aku membuat pakaian? Aku memang bisa merajut, tapi saat ini tidak ada bahan dan peralatannya!" Kemudian ia bergumam, "Apakah orang di zaman ini benar-benar bodoh, atau sebenarnya mereka belum menemukan cara membuat pakaian?"

Gupta tak menggubris apa yang didengarnya. "Kalau begitu, gunakan saja sihir, Yang Mulia."

"Hah? Apa yang kaubicarakan?"

Kali ini, Gupta yang menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. "Anda adalah Penyihir Hijau, Tuan Arthur," jawabnya, seolah hal itu adalah sesuatu yang pasti.

Seketika Arthur terdiam. Oke, persetan dengan segala hal tentang menjadi penyihir. "Tapi tetap saja aku tidak bisa sihir. Kau kira aku Harry Potter yang bahkan bisa dengan mudah menggunakan tongkat sihir? Dan bahkan aku tidak punya tongkat sihir!"

"Tuan Arthur, coba dulu dengan pikiranmu."

Gupta ternyata bisa sedikit menyebalkan, tapi, toh, Arthur tetap mencoba sarannya. Akhirnya ia membayangkan benang-benag itu terajut perlahan menjadi baju, dan saat ia membuka mata, segumpal kapas itu membentuk sepintal benang dan terajut sendirinya menjadi satu-satunya pakaian yang dilihatnya, yaitu pakaian Gupta, yang terlihat seperti baju militer Kerajaan Inggris era Perang Dunia berwarna hijau, ditambah jubah tebal hijau tua berbahan wol.

Arthur terkekeh, bahkan ia sendiri tak bisa mempercayai ini. Kemudian ia tersadar dan mulai bertanya, 'Apa yang kubuat ini? Pakaian perang?' Seharusnya ia membuat sesuatu yang tipis seperti kemeja musim panas. Tapi, toh, ia tidak yakin dengan sihir yang digunakannya, dan tidak yakin bisa menggunakannya lagi, jadi ia menerimanya saja.

Lagi pula hijau adalah warna kesukaannya.

.

-:-

.

Beberapa hari pun berlalu. Arthur berusaha keras beradaptasi di hutan ini, mulai berkenalan dengan benar pada para makhuk sekitar—yang jenisnya ternyata lebih banyak dari yang dikiranya—dan tak lupa, belajar merawat bayi pula. Sebenarnya Arthur tidak melakukan banyak hal dengan bayi itu. Secara alami, Elizabeth—ia menamaninya begitu karena teringat begitu saja pada Ratu Inggris di masanya saking merasa homesick—dapat berbaur lebih baik dari Arthur, dan di luar dugaan, memiliki pertumbuhan yang cepat. Bayangkan! Baru tiga hari dan Elizabeth bisa berjalan!

Heran? Jelas. Tapi Arthur rasa ini adalah sesuatu yang wajar bagi makhluk magis.

Gupta menuntunnya ke sebuah desa pada suatu pagi atas permintaan Arthur untuk mengobservasi wilayah, membuat ia terkejut bahwa benar-benar ada peradaban di sekitar sini. Dan lebih terkejut lagi melihat kondisi masyarakat dan arsitektur di sana yang sangat… um, 'tertinggal'.

Arthur merapat ke arah Gupta, berbisik, "Hei, ada apa dengan orang-orang ini? Apa menurut mereka kita ini aneh?" Keringat dingin meluncur turun ketika tatapan tajam penduduk desa membuatnya risih.

Gupta, tanpa menoleh, membalas dengan datar, "Maaf, jika Tuan bertanya tentang pendapat manusia, Anda harus tahu bahwa peri tidak mengetahuinya."

"Katakan saja apa ada sesuatu pada kita yang tidak seperti masyarakat umumnya."

"Um, mungkin pakaian."

"Oi, oi, aku meniru pakaianmu saat aku membuat pakaianku. Jadi kau bilang pakaianmu tidak normal?"

"Bangsa peri berkembang lebih cepat dari manusia. Lagipula, peradaban kami juga lebih tua."

Arthur mengerutkan alis. "Sekarang tahun berapa?"

"Apakah Anda bertanya menurut perhitungan manusia?"

"Maaf saja jika ternyata ada yang lain, tapi aku ingin tahu yang perhitungan manusia dulu."

"Sekarang bulan Juli tahun 853 menurut perhitungan manusia, atau begitulah yang dipercayai kaum Romawi dahulu. Dan tahun 3278 menurut para peri. Jika Anda ingin tahu."

"Dan tempat?"

"Dusun Wantage."

"Wantage… Inggris bagian selatan tengah?"

Gupta menoleh, pandangannya sama seperti para warga. "Inggris?"

"A-ah…" Arthur rasa bahkan pada zaman ini belum terbentuk sebuah negara, jadi lebih baik ia diam saja. Yah, apa yang bisa diharapkan dari masa di mana bahkan Abad Pertengahan belum dimulai?

"Saya tidak tahu apa itu 'Inggris'," lanjut Gupta, "tapi yang saya tahu tempat ini termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Spade. Pinggirnya."

"Spade?" Arthur mengerutkan kening. "Kalau begitu ini benar kerajaannya Raja Alfred?"

"Seingatku raja saat ini bernama Densen. Tapi memang benar bahwa raja yang terdahulu mempunyai dua putra, salah satunya bernama Alfred."

"Sekarang di mana dia? Pangeran Alfred."

"Diasuh oleh perdana menteri terdahulu di kastilnya, tepat di luar desa ini."

"Bukankah ini aneh? Seharusnya pangeran diasuh di istana, kan? Setidaknya walau bukan oleh ayahnya, tapi oleh raja yang sekarang."

Gupta sedikit menaikkan pundak. Gesturnya terlihat tidak nyaman, dan dia sedikit menjauh dari Arthur. "Banyak hal yang terjadi, masalah politik, atau semacamnya." Kemudian ia menunduk. "Maaf, hal itu terlalu sulit dijelaskan."

"E-e-eh?!" Arthur merasa bersalah tiba-tiba, berpikir bahwa bukan pilihan yang tepat menanyakan tentang manusia pada bangsa peri. "I-ini bukan salahmu. Sepertinya aku yang bertanya terlalu banyak. Maaf, ya." Kemudian ia menepuk-nepuk pundak Gupta. "Sudah, tidak usah dipikirkan. Terimakasih informasinya."

Gupta mengangguk. Dari samping, Arthur bisa melihat sudut bibirnya melengkung. "Senang bisa membantu."

Huft. Ternyata seperti ini rasanya memiliki bawahan.

'Kerajaan Spade, Raja Densen, tahun 853... hm….' Arthur termenung, tanpa sadar menopang dagu dengan satu tangan. 'Apa ada yang terjadi di masa ini? Dusun Wantage, Raja Alfred…. Tunggu! Alfred?" Ia membuka mata, ekspresinya seolah baru saja menemukan sesuatu sampai Gupta ikut menoleh.

'A-Alfred…' Arthur menghentikan langkahnya, menatap kosong jalanan tanah dengan ngeri. 'Jangan-jangan, King Alfred… the Failure?'

.

.

.

-:-

-:-

-:-

.

.

.

To be continue

-:-

Finally, Lee is back!

I'm so sorry for the long-waiting-like-centuries update. Lot things happened this past year. (wait, it's been A YEAR already?!)

Oh, God, what can I say to you guys except thank you for your patiences! Buat yang review, favorite, follow, dan menjawab kuis di chapter 1, thank you very much! I love you all! Jawabannya betul, kok. 'Wanita cantik' itu adalah Finland, dan dia keluar lagi lho di chapter ini, khukhu. Kira-kira namanya jadi siapa, ya? Himaruya-san belum mengusulkan nama Nyotalia-nya secara official, jadi saran dari Anda akan sangat membantu. (Well, saran saya sih, Tina, soalnya nama aslinya Tino.)

Ket.

*Anubis : dalam legenda Mesir Kuno, Anubis adalah dewa pelindung dari kematian dan pembawa manusia ke alam baka. Dia biasanya digambarkan sebagai manusia berkepala serigala atau setengah manusia, atau dalam bentuk serigala lengkap mengenakan pita dan memegang cambuk di lekuk lengannya.

As I said on my profile, I'm on HIATUS till undefinted moment. But I will update anytime if I get mood to continue. So, please be patience, okay?

Sincerely,
(Sunday, May 17, 2016)
L.A.

NEXT CHAPTER: 'Prince Alfred'