Sehun merasakan angin malam yang membuat tipisnya menari. Kepalanya sedikit menengadah ke langit, malam ini taburan bintang tiba-tiba terasa sangat indah baginya. Mulutnya sudah kebas dan tangannya gatal ingin merokok, tapi Kris bisa menendangnya lagi. Jadi dia menghirup oksigen sebanyak yang paru-parunya mampu dan menghembuskannya.

Kris berdiri di dua langkah dari kanannya, sebelah tangan bertopang di pagar balkon dan sebatang rokok terselip di telunjuk dan jari tengah tangannya yang lain.

"Sebenarnya kita tidak perlu bicara tentang ini," Sehun membuka suara, dirinya malah berdehem, sehingga suaranya terdengar serak.

"Apa kau tidak merindukan Luhan?" Kris bertanya tiba-tiba dan membuat tulang belakang Sehun sejenak terasa disetrum.

Sehun bungkam enggan menjawab.

"Aku tidak membicarakan orientasi seksualmu. Aku hanya bertanya apakah kau merindukan Luhan?" Kris bertanya lagi dengan nada kelewat santai. Itulah yang membuat Sehun ingin melayangkan telapak kakinya ke rahang itu.

Sehun mendengus, "Aku mencintainya—lebih dari yang kau tahu. Waktu itu kau berada di sana, melihatku dengan mata kepalamu sendiri seorang Sehun yang hilang kewarasan. Dan sekarang kau bertanya apa aku merindukannya, heh?" Sehun tertawa cukup keras sampai setitik air mata keluar dari sudut matanya.

"Luhan gadis yang menarik. Dan seiring waktu berjalan aku mengerti kenapa kau begitu naïf bersedia menampung penyakitnya dalam tubuhmu,"

Sehun tersenyum miring mendengar perkataan Kris. Dia memang mencintai Luhan. Namun ketika Kris bertanya hal itu tadi, ia merasa tertohok. Dulu dirinya mati-matian bersumpah akan mencintai Luhan selamanya ketika gadia itu meninggal di depan matanya, dalam dekapannya.

Sehun berusaha meyakinkan diri sendiri kalau dia benar-benar, amat sangat merindukan Luhan. Namun pada dasarnya dia bukanlah orang yang gampang membodohi atau mensugesti diri sendiri.

Apakah itu artinya dia tidak mencintai Luhan lagi?

"Suho bilang," Kris membawa Sehun kembali ke keadaan nyata. "Kau akan berhenti minum obat."

"Tadinya kupikir juga begitu—"

Kris terkekeh, mungkin kalau Kai berada disana, dia akan berpikir kekehan Kris itu menyeramkan. "HIV memang belum ada obatnya. Tapi virus itu bisa ditekan supaya tidak jadi AIDS."

Sehun membuka mulut namun mengatupkannya lagi. Melihat itu, Kris melanjutkan. "Kau bilang, kau ingin hidup sampai kakek-kakek dan hidup bahagia di panti jompo."

Sehun lagi-lagi mendengus. Seenak wajah jeleknya, Kris mengganti kalimat Sehun dulu.

"Kupikir kau tertarik pada Kai."

"Aku baru saja bilang padanya untuk jangan jatuh cinta padaku,"

"Jadi sebenarnya kau yang jatuh cinta padanya, kan?"

"Apa aku jahat kalau melupakan Luhan secepat ini?"

"Ini sudah lima tahun, bodoh." Kris menempeleng kepala belakang Sehun. "Aku tidak mau kau jadi duda—"

"Aku bahkan belum sempat mengucapkan sumpah di altar bersamanya."

"Lebih baik tidak. Luhan pasti malu mempunyai suami super tolol."

.

.

Title : Watashi Wa Nani O Suru Tame No Rakka

Writer : Dirty Noble's master

Main Cast : Oh Sehun & Kim Jongin

Rated : M

.

.

Kai duduk di samping ranjang sempit Sehun. Tangannya masih enggan melepaskan tangan Sehun yang digenggamnya erat.

Ini sudah hari ketiga dia bolos dari sekolah dan Kris yang mengaku sebagai walinya meminta izin ke pihak sekolah Kai. Kai sangat berterimakasih karena Kris tidak sesangar wajahnya. Pada kenyataannya, dia hanya ingin dirinya yang pertaman kali melihat Sehun membuka mata.

Kai meringis melihat keadaannya sangat menyedihkan dengan selang dimasukkan ke dalam hidung sampai ke paru-paru. Perban di kepala dan tangannya dan plester di sana sini. Dokter bilang tulang panggul Sehun patah.

Setiap kali dokter masuk ke ruangan, pertanyaan yang sama selalu meluncur dari Kai. "Apakah Sehun akan sembuh?" dan "Kapan dia bangun?".

Ketika dia menunggu, rasanya seperti sudah seabad berlalu. Dan sepanjang waktu itulah Kai menyadari besarnya arti Sehun baginya. Selama ini dia tak pernah memikirkan memiliki perasaan semacam itu kepada kaumnya sendiri.

Saat itu Sehun menyuruhnya untuk tidak jatuh padanya, dan ternyata Kai tidak bisa. Lalu ketika Sehun menyuruhnya mundur ketika mengakui bahwa dirinya seorang HIV, meskipun Kai tidak bisa menyembunyikan shock-nya, nyatanya tubuhnya tetap bergerak maju dan merengkuh Sehun.

"Paman bodoh.. Bangunlah. Aku berjanji tidak akan meyusahkanmu lagi. Aku janji aku akan pergi dan aku akan melupakanmu, tapi kumohon bangunlah."

Kai merapal kalimat yang sama setiap harinya. Dia tidak bisa tidur semenjak kecelakaan itu, mimpi buruknya mengambil alih sugesti bahwa Sehun tidak akan bangun lagi.

.

.

Kai hanya mendapatkan izin absen selama tiga hari dari pihak sekolah. Sebenarnya dia ingin membolos dan terus menemani Sehun, tapi Kris mengancamnya.

Seharian ini dia tidak fokus, beberapa kali ditegur karena melamun dalam kelas dan hampir melemparkan pemukul kasti ke kepalanya saat jam olahraga.

Kai menyeret langkahnya masuk ke perpustakaan. Mungkin tidur selama jam istirahat dan terbangun ketika bel berbunyi—pikirnya. Tangannya terulur untuk mengambil sebuah kamus Jerman di rak atas kepalanya. Memilih meja paling pojok, dan meletakkan pipinya ke atas kamus.

Tapi dirinya tidak lagi mengantuk. Malahan tiba-tiba matanya memanas.

Ujian kelulusan sebentar lagi, dan itu artinya akan ada seleksi perguruan tinggi. Kai bahkan belum sempat bilang pada Sehun kalau dia akan kuliah di Korea. Nanti kalau Sehun bangun, dia akan segera memberitahunya, dan tidak akan menyusahkan Sehun lagi.

Kai janji.

.

.

Kai hampir menangis terharu karena ketika dia sampai di depan ruangan Sehun, Kris memberitahu bahwa Sehun sudah bangun.

Kai menerobos pintu tanpa mendengarkan kata-kata Kris yang mengingatkan kalau Sehun tidak boleh banyak bergerak.

Bocah itu mendudukkan diri di bangku samping ranjang Sehun dan mendapati Sehun yang memandanginya dengan mata setengah terbuka. Tapi dirinya tahu persis Sehun tersenyum kecil dibalik selangnya.

Kai mengigit bibir dan meraih tangan Sehun. Kalau saja dia ngotot bolos sehari lagi, pasti dia bisa mendapati wajah Sehun yang sadar pertama kali.

"Dasar lemah.." bisiknya. Matanya berkaca-kaca, tapi dia terlalu gengsi menangis di depan Sehun.

Sehun menjawab lewat sorot matanya. Kai benar-benar ingin menangis. "Bahkan berbicara pun kau tidak bisa.."

"Aku ingin mengakui sesuatu—" genggaman tangannya pada Sehun mengerat. Dia ingin berteriak kalau dia menyukai Sehun, "—eh, tidak jadi deh."

Sehun tersenyum kecil lagi, terlalu sulit untuk terbahak rasanya.

"Sehun.."

Sehun mendengarkan.

"A –aku— Sebentar lagi ujian akhir. Aku akan kuliah di Korea—" Kai memperhatikan sorot mata Sehun yang menelanjanginya dan merasa gugup. "—m –maksudku.. Apa aku egois kalau memintamu mengejarku di bandara nanti?"

Sehun merasa pandangannya berputar, namun entah kenapa perutnya lagi-lagi terasa tergelitik. Dia ingin sekali mengatakan 'ya' dan menarik Kai untuk berciuman. Sialnya seluruh tubuhnya serasa mati rasa.

"Rasanya menyeramkan tahu, berbicara denganmu yang seperti ini. Kau tidak merespon, dan itu membuatku takut.."

Kai terus mengoceh, pandangan Sehun memburam. Dia merasa suara Kai semakin lirih dan menjauh.

Kai yang melihat Sehun tiba-tiba memejamkan mata dan tidak meresponnya lagi segera berteriak memanggil Kris di depan ruangan. Kris datang tepat ketika Sehun mulai kejang-kejang.

Sehun ingin berjuang ketika alam bawah sadarnya mendengar isakan Kai, padahal dia tahu tadi Kai mati-matian menahannya. Sialnya lagi, yang dia lihat sekarang adalah warna hitam—gelap total.

.

.

TBC ya/?

Aduh, apa ya?

Terimakasih yg udah ngasi respon positif. Kemaren-kemaren itu padahal udah saya edit biar ada batasnya, tapi tetep ga bisa ya, yaudah deh.

Fyi aja, saya duta HIV/AIDS di sekolah (duh ketauan masih sekolah/?), jadi kalo ada yg belum jelas atau mau tanya-tanya seputaran ttg itu, kalo mampu ya saya jawab. Hehe

Buat yg nanya-nanya gimana abis itu gimana abis ini, nanti tau sendiri kok sayang/? Dan keputusan saya sudah bulat untuk tidak mengubah genre fic ini /ketawa setan/

At least, review?